Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober
2023
IMPLEMENTASI
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UU KEPAILITAN TERHADAP KONSUMEN PROPERTI PEMEGANG
PPJB
Viona
Widjaja, R.M. Gatot P. Soemartono
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Pertumbuhan bisnis properti di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terbukti dari minat masyarakat dalam menginvestasikan pendapatannya di bidang properti, baik itu dalam bentuk jenis perumahan, ruko, apartemen maupun jenis lainnya. Sayangnya, keingingan untuk mendapatkan keuntungan tidak selalu seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi pada sebagian konsumen dimana harapan untuk mendapatkan keuntungan melalui pembelian sebuah properti, berakhir dengan kerugian pada saat pengembangnya dinyatakan pailit. Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK) dalam melindungi hak konsumen. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan spesifikasi yang bersifat preskriptif � evaluatif, dengan tujuan mendapatkan saran dan mengevaluasi bagaimana penerapan undang-undang terhadap kasus yang terjadi. Kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi UUPK dalam melindungi konsumen properti pemegang PPJB masih lemah dan tidak tegas karena tidak secara eksplisit menjelaskan perlindungan dalam hal penggantian kerugian bagi konsumen properti. Penerapan UUK sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, meskipun tidak bisa dihindari dengan pailitnya pengembang berdampak kerugian bagi konsumen pemegang PPJB, di mana konsumen pemegang PPJB masuk dalam status kreditor konkuren.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Kepailitan, Kondotel, PPJB.
Abstrak
The growth of
the property business in Indonesia is increasing from year to year. This is
evident from people's interest in investing their income in the property
sector, whether in the form of housing, shophouses, apartments or other types.
Unfortunately, the desire for profit is not always as expected. This happens to
some consumers where the hope of making a profit through purchasing a property
ends up making a loss when the developer is declared bankrupt. How is the
implementation of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK)
linked to Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt
Payment Obligations (UUK) in protecting consumer rights? This writing uses
normative research methods with prescriptive - evaluative specifications, with
the aim of obtaining advice and evaluating how the law is applied to cases that
occur. The conclusion shows that the implementation of the UUPK in protecting
property consumers holding PPJB is still weak and unclear because it does not explicitly
explain protection in terms of compensation for losses for property consumers.
The implementation of UUK is in accordance with statutory regulations, although
it cannot be avoided that the developer's bankruptcy process will result in
losses for consumers holding PPJB, where consumers holding PPJB are included in
the status of concurrent creditors.
Keywords:
Consumer Protection, Bankrupt, Condominium, PPJB.
Pendahuluan
Bisnis properti
terus berkembang di
Indonesia dari tahun ke tahun. Kemajuan
bisnis di bidang ini menarik minat
para pengusaha untuk ikut berlomba-lomba mengembangkan usahanya di bidang properti. Tak heran jika banyak
pengusaha yang tadinya tidak berkecimpung di dunia properti, kini mulai mengembangkan usahanya ke dunia ini, sehingga banyak
kita jumpai proyek-proyek baru yang dibangun oleh beberapa pengembang baru. Hal ini disebabkan karena harga tanah
selalu meningkat khususnya di beberapa daerah tertentu. Proyek tersebut sering disebut sebagai real estate.
Istilah real estate
yang artinya tanah dan semua kepunyaan atau hak yang terkandung
dan apapun yang diletakkan
di atasnya baik oleh kejadian alam atau
buatan manusia. Jadi real
estate merupakan tanah dan bangunan. Real estate dibagi ke dalam 4 (empat)
jenis, antara lain (Benny
Djaja, 2020): 1) Commercial, terdiri dari gedung perkantoran,
hotel, resort, mall dan shophouses atau dikenal dengan rukan atau ruko.
2) Residential, seperti apartemen,
kondominium, komplek perumahan. 3) Industrial, seperti
gudang, pabrik dan kawasan industri. 4) Public
Facilities, terdiri dari sekolah, universitas, rumah sakit, gereja dan tempat wisata.
Real Estate terus berkembang di Indonesia dan
sektor ini menjadi prospek yang menggiurkan bagi para investor. Kemajuan real estate di Indonesia tentunya
menarik minat para pengusaha. Semua pengusaha berlomba-lomba terjun ke dalam
bisnis real estate dan ikut
meramaikan dengan mengembangkan usahanya ke dalam bidang
ini. Tak heran, banyak pengusaha yang awalnya tidak berkecimpung
di dunia real estate, kini mulai
melebarkan sayapnya ke dunia ini, sehingga
kita jumpai banyak proyek-proyek baru yang dibangun oleh beberapa pengembang yang tidak dikenal sebelumnya.
Berkembangnya gaya hidup masyarakat juga berdampak pada jenis properti yang diinvestasikan. Apartemen mulai menjadi investasi menarik bagi sebagian
orang tentunya tanpa mengesampingkan bentuk properti lainnya seperti ruko, rumah
dan tanah. Investasi ditanamkan di apartemen, kondominium, dan kondotel yaitu kondominium hotel yang sedang disukai karena konsumen merasa seperti memiliki kondominium dengan standar hotel berbintang. �Konsumen tidak perlu pusing
untuk mengelola dan memelihara propertinya karena sudah langsung
dikelola oleh manajemen
hotel dan pemeliharaannya pun berstandar
hotel� (R. Adhi KSP, 2011).
Konsumen tinggal
menerima return of investment (ROI) dari hasil penyewaan
propertinya. ROI tersebut menjadi passive income bagi konsumen. Selain itu, apartemen juga menjadi investasi masa depan yang menjanjikan, karena harganya yang kian tahun makin meningkat
serta pendapatan dari penyewaan apartemen tersebut dapat menjadi passive income bagi pemiliknya sendiri. Dengan manfaat tersebut menjadikan semakin banyak orang beralih ke investasi apartemen
(Latief, 2017). Sertipikat yang dimiliki
oleh konsumen baik itu kondotel, apartemen
ataupun rumah susun juga sama yaitu sertipikat hak milik atas
satuan rumah susun (SHMSRS).
Namun pada penelitian
ini, penulis akan berfokus pada suatu hunian dengan
konsep ganda yang kita sebut dengan
kondotel. Kondotel adalah suatu hunian
bertingkat seperti apartemen yang memiliki konsep pengelolaan berbeda dengan pengelolaan apartemen pada umumnya. Sejak tahun 2006, Kondotel menjadi suatu proyek
yang banyak diminati oleh
investor. Kondotel memiliki
konsep pengelolaan berstandard hotel, dimana pemilik unit dapat menyewakan dalam jangka panjang kepada pengembang untuk selanjutnya oleh pengembang disewakan dalam jangka waktu
pendek dan dioperasikan ke perusahaan managemen
hotel. (Adhi KSP, 2011). Beberapa contoh
kondotel antara lain: Citadines di H.R. Rasuna,
Bellevue di area Pondok Indah, The Grove di Kawasan
Epicentrum, dan Oakwood. Minat masyarakat terhadap apartemen maupun kondotel tentunya disambut dengan baik oleh para pengembang. Hal ini menimbulkan banyaknya muncul pengembang baru.
Dari sekian banyaknya pengembang properti di Indonesia,
tentunya akan ditemukan pengembang yang terkemuka yang artinya proyeknya sudah diakui, dipercaya dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Proyek yang dihasilkannya pun memiliki mutu dan kualitas yang baik yang menjadikan citra pengembang tersebut masuk dalam jajaran
pengembang terbaik dan terpercaya. Ada pengembang yang terpercaya pasti ada juga pengembang yang nakal dan melakukan wanprestasi. Hal ini dapat kita temukan
dalam banyaknya kasus-kasus wanprestasi dari pengembang karena tidak memenuhi
kewajibannya sesuai perjanjian yang telah dibuat antara pembeli
dengan pengembang.
Misalnya, ada pengembang yang nakal dengan melakukan penjualan dan sudah menerima uang dari pembeli padahal mereka belum mendapatkan
izin pembangunan atas lahan proyek
yang dijual. Berbagai kasus
telah ditemukan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) (Ali,
2020), misalnya ada yang membeli apartemen dan sudah melakukan pembayaran uang muka serta membayar cicilan sebanyak 6 (enam) bulan tetapi
proyek yang dibeli belum juga dibangun, sementara pengembang masih terus melakukan
penjualan. Selain itu, ditemukan juga kasus lain yang serupa dimana konsumen
diminta untuk melakukan pembayaran apartemen secara tunai akan tetapi
pengembang belum mendapatkan izin pembangunan atas apartemen tersebut.
Kasus lainnya juga terjadi pada seorang konsumen yang dijanjikan bahwa ia akan mendapatkan
fasilitas tempat parkir mobil, namun
kenyataannya fasilitas tersebut tidak ia dapatkan. Fasilitas
yang dijanjikan hanyalah sebuah janji belaka.
Para konsumen yang menjadi
korban akibat pengembang nakal, mengaku merasa serba salah. Jika tidak melanjutkan pembayaran, maka uang muka dan cicilan yang sudah dibayarkan kepada pengembang akan hangus. Sedangkan
jika terus dibayar, mereka mendapat apartemen tidak sesuai dengan
yang dijanjikan. Keluhan-keluhan
seperti ini sudah banyak sekali
dijumpai, bahkan diketahui oleh YLKI.
Berbagai kasus yang disebutkan di atas merupakan bentuk kasus akibat
pengembang yang nakal dan terjadinya wanprestasi. Belum lagi kasus-kasus lainnya yang diutarakan oleh para
konsumen apartemen akibat dari pengembang
yang mengalami kepailitan, dimana masih terdapat
perjanjian timbal balik antara pembeli dengan pengembang yang belum seluruhnya terpenuhi, tetapi pengembangnya mengalami pailit. Terkait kasus-kasus pengembang nakal, Sudaryatmo Pengurus Harian YLKI menyatakan bahwa adanya Undang-Undang
No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman sama sekali tidak
menjawab permasalahan kasus-kasus yang sudah terjadi seperti disebutkan di atas.
Isi undang-undang tersebut hanya memuat regulasi
dan seputar pengawasan, walaupun dalam Pasal 33 ayat (2) disebutkan bahwa Pemerintah berhak mencabut izin badan hukum yang tidak memenuhi kewajibannya dalam melakukan pembangunan perumahan. Tetapi masalahnya justru terletak pada perjanjian baku antara pembeli dengan pengembang dimana sudah ada
klausula baku yang harus ditandatangani dan disetujui oleh pembeli saat membeli proyek
tersebut (Ali, 2020)
Beberapa contoh
kasus pengembang nakal, di antaranya pengembang perumahan di Jatiasih, Bekasi yaitu PT Hadez Graha Utama. Pengembang ini sudah menjual rumah
dengan harga miring padahal belum memiliki
izin pembangunan. Akibat kelakuan pengembang tersebut, 260 konsumen mengalami kerugian. Belum lagi kasus Meikarta, dimana terjadinya aksi suap untuk
mendapatkan perizinan, serta penjualan sudah dilakukan sementara proyek tersebut harus dihentikan karena belum mendapatkan rekomendasi pemprov dengan lahan yang sudah dibangun.
Data dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menunjukkan
bahwa keluhan dan pengaduan masalah kasus konsumen perumahan termasuk salah satu keluhan tertinggi.
Dari data tersebut tercatat
bahwa dari tahun 2017 sampai awal Januari 2023 sudah tercatat 3.034 kasus konsumen masalah perumahan. YLKI mencatat pada tahun 2021 bahwa aduan konsumen kasus perumahan rata-rata mengenai pembangunan rumah mangkrak yang mencapai 37%. Hal ini terjadi karena efek dari promosi
dan iklan yang kerap dilakukan pengembang dan membuat konsumen tertarik karena harga yang murah, serta iming-iming fasilitas yang bagus dan menjanjikan. Dengan promosi sedemikian menarik sehingga membuat konsumen lupa mempertanyakan status lahan, perizinan serta latar belakang
pengembang.
Kasus serupa tentang pengembang yang ingkar janji karena mengalami
kepailitan terjadi pada PT PT PSA yang merupakan pengembang dari apartemen berlokasi di jalan Darmawangsa yang dikenal dengan nama Essence Darmawangsa. Putusan Mahkamah Agung Nomor 40 PK/Pdt.Sus-Pailit/2022 menyatakan bahwa PT PSA pailit dengan segala
akibat hukumnya. Bahwa seluruh harta
pailit PT PSA masuk dalam pengawasan kurator yang telah ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
Para konsumen mengajukan permohonan agar penandatanganan akta jual beli
dilakukan dengan segera sehingga unit apartemen yang telah mereka bayar dan telah lunas namun
masih berstatus Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) tidak dimasukkan ke dalam kategori
harta pailit.
Salah satu kuasa hukum
dari MM, konsumen 4 (empat) unit apartemen di Essence berkata bahwa seluruh
unit yang dibeli telah dibayar lunas pada tahun 2017 dan kami telah menunggu hampir 3 (tiga) tahun untuk
sertipikat kepemilikan unit
tersebut, namun dari PT PSA sendiri tidak ada informasi
tentang proses pengurusan sertipikat tersebut. Karena
status PPJB dan belum dapat
dilakukan akta jual beli menyebabkan
unit-unit di Essence tidak dapat
diperjualbelikan untuk sementara waktu sampai adanya putusan
dari Hakim Pengawas.
Sebagian para konsumen merasa panik khususnya mereka yang memerlukan dana dan ingin menjual apartemennya,
ditambah masa HGB yang akan
berakhir di tahun 2025 menyebabkan harga pasar unit apartemen tersebut menjadi turun drastis
dan tentunya hal ini merugikan para konsumen. Namun pada pertengahan September 2023, informasi
dari salah satu konsumen unit apartemen Essence
yang masih berstatus PPJB, menyatakan bahwa beliau telah mendapatkan
jadwal untuk menandatangani akta jual beli atas
unitnya, begitupun halnya dengan unit lainnya yang masih berstatus PPJB dapat segera dilakukan akta jual beli.
Permasalahan yang dikhawatirkan
oleh para konsumen� pemegang
PPJB dalam hal pengembang mengalami pailit telah terjawab
dengan adanya penjadwalan penandatanganan AJB
dan proses balik nama yang pengurusannya dilakukan oleh Kurator. Dengan demikian kasus ini telah selesai
dimana konsumen apartemen pada akhirnya mendapatkan status hak kepemilikan SHMSRS atas unitnya.
Namun pada kenyataannya,
tidak semua permasalahan dengan kasus serupa mendapatkan
solusi dan jawaban yang sama. Hal ini terjadi
dengan PT CUN yang merupakan
salah satu perusahaan pengembang yang disahkan melalui Akta Nomor
23, tanggal 26 Mei 2008, dibuat
di Notaris Musa Muamarta,
S.H bertempat di Jakarta. Salah satu
dari beberapa proyek yang dihasilkan oleh PT
CUN antara lain BWKB, yang bertempat
di Bali. BWKB adalah salah satu
proyek hasil PT CUN yang memiliki konsep kondotel, yaitu kondominium dengan operator pengelolaan managemen dari BW Hotel.
Proyek ini dipasarkan kisaran pada tahun 2009-2010. Kondotel dengan berbagai jenis tipe kamar
yang terdiri dari tipe standard dengan luasan kamar berkisar
18m2 (delapan belas meter persegi), superior dengan luas 20m2, deluxe dengan luas 22m2 sampai tipe junior suite dengan luasan 38.50m2.�
Harga kondotel tersebut
dijual dengan cukup tinggi dengan
daya tarik bagi konsumen bahwa
setiap konsumen yang membeli unit kondotel tersebut akan berstatus
sebagai investor dan mendapatkan
keuntungan selain return of
investment (ROI) sebesar 8% selama
3 tahun pertama sejak kondotel tersebut beroperasi, konsumen juga akan mendapatkan free menginap sebanyak 21 poin dalam waktu 12 bulan.
Harga yang ditawarkan oleh pengembang untuk tipe junior suite pada tahun 2010 adalah sebesar U$D 74,382 (Tujuh puluh empat ribu
tiga ratus delapan puluh dua dollar Amerika Serikat)
termasuk pajak PPN 10%, dengan kisaran Rp. 800,000,000
(PPJB Nomor 022/CUN-BWKB/IX/10). Setiap
transaksi jual beli kondotel ini
akan menempatkan konsumen menjadi investor. Transaksi jual beli ini disertai
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara
pengembang� dengan konsumen. PPJB ini akan dilampiri juga dengan Perjanjian Sewa dimana isi perjanjian
sewa tersebut menempatkan konsumen selaku pihak yang menyewakan dan pengembang sebagai pihak penyewa.
Seiring berjalannya waktu, tidak semua investasi
menguntungkan seperti yang diharapkan. Demikian yang terjadi pada salah satu konsumen. Berdasarkan hasil wawancara dengan konsumen pada awal Januari 2023 diperoleh beberapa informasi yang berguna (Wawancara, 2023). Dari sejak pembelian unit kondotel di tahun 2010 sampai saat wawancara
dilakukan, konsumen tidak pernah diberikan
informasi terkait Pasal 6.3 PPJB yang bunyinya�Pihak
Kedua (konsumen) memiliki sertipikat hak guna bangunan
sampai tahun 2040 atas namanya sendiri.�
Konsumen tidak dapat menikmati fasilitas penggunaan 21 (dua puluh satu) poin
atau 21 (dua puluh satu) malam selama
setahun sejak pengembang dinyatakan pailit. Bahwa konsumen
mengetahui pengembang pailit dari pihak
hotel. Pada saat menganalisis
kasus ini, Peneliti juga menemukan keluhan serupa yang penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum
dari tingkat Pengadilan Negeri sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung, dan gugatan yang ditujukan kepada pengembang yang sama adalah terkait wanprestasi atas pembayaran ROI.
Dalam kasus tersebut, Penggugat sebagai konsumen kondotel mengajukan ganti rugi atas wanprestasi
yang telah dilakukan oleh
PT CUN (PPJB Nomor 022/CUN-BWKB/IX/10). Hal ini menegaskan apa yang telah disampaikan konsumen dalam wawancara tentang keluhannya selaku konsumen yang mengalami kerugian akibat investasi kondotel yang dilakukannya. Niatnya melakukan investasi dengan harapan memperoleh keuntungan malah yang dialami justru sebaliknya.
Kerugian yang dialami
konsumen BWKB semakin bertambah pada saat PT CUN mendapatkan gugatan dari PT. Hardi Agung Perkasa. Putusan
Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat dengan nomor 307/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN tercatat tanggal 19 April 2022 berbunyi sebagai berikut (Putusan PN Nomor 307/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN): Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
PT CUN (dalam PKPU) telah berakhir; PT CUN (dalam PKPU)
yang beralamat di The Belleza Shopping Arcade Suite
30-31, Jl. Letjen Soepono
No. 34, Arteri Permata Hijau, kelurahan
Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan 12210 berada dalam keadaan Pailit
dengan segala akibat hukumnya; Menunjuk Yusuf Pranowo, SH, M.H,
Hakim Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas untuk mengawasi proses Kepailitan PT
CUN (dalam pailit); Menunjuk dan mengangkat: Jufriyadi, SH, Kurator dan Pengurus yang terdaftar di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Bukti Pendaftaran Kurator dan Pengurus No.
AHU-69-AH.04.03-2021 tanggal 2 Maret 2021; Tessa Budi
H. Simandjuntak, SH, MH, Kurator
dan Pengurus yang terdaftar
di Kementrian Hukum dan HAM RI dengan
Surat Bukti Pendaftaran No. AHU-278-AH.04.03-2018 tanggal 10 September 2018; Menetapkan
biaya kepengurusan dan imbalan jasa bagi
Pengurus serta biaya perkara dalam
proses PKPU PT CUN akan ditetapkan
kemudian setelah proses Pailit berakhir; Menetapkan biaya jasa pengurusan serta imbalan jasa
Kurator akan ditetapkan kemudian setelah Kepailitan berakhir; dan Menghukum PT CUN untuk membayar biaya perkara yang sampai hari putusan
ini ditetapkan sejumlah Rp. 6,120,000.
Putusan Pengadilan
Niaga tingkat pertama yang tercatat pada tanggal 19 April 2022 menjadi putusan inkrah. Melihat jarak waktu
antara putusan tersebut dikeluarkan sampai saat penelitian
ini dilakukan sudah melewati masa tenggang waktu permohonan kasasi, maka dapat dipastikan
tidak ada permohonan pengajuan kasasi dari pihak
pengembang. Berdasarkan Putusan dari Hakim Pengawas yang menyatakan status
PT CUN dalam keadaan pailit, maka timbul
akibat hukum bagi konsumen. Akibat Hukum tersebut diantaranya adalah: konsumen tidak mendapatkan ROI tepatnya sejak tahun 2019 Konsumen tidak dapat menikmati penggunaan free menginap sebanyak 21 poin selama 12 bulan sejak pengembang dinyatakan dalam pailit; Semua pengurusan
terkait aset-aset pengembang, termasuk di dalamnya BWKB diserahkan kepada pihak kurator;
dan Unit kondotel yang masih
PPJB termasuk dalam harta (boedel) pailit.
Akibat hukum
di atas merupakan kerugian langsung yang diderita oleh konsumen. Tujuan membeli properti untuk mendapatkan keuntungan passive income tetapi
yang terjadi justru sebaliknya, konsumen bahkan mengalami kerugian karena kehilangan hak-haknya. Padahal ide dasarnya kondotel sebagai sebuah kondominium hotel memiliki konsep kegunaan ganda yaitu selain merupakan
suatu hunian, juga sebagai hotel yang dikelola oleh pihak ketiga yang ditunjuk atau operator hotel, dan
konsumen akan mendapatkan passive income dari penyewaan tersebut� (Elmaliza,
2010). Investasi
dengan keuntungan yang diharapkan oleh konsumen berakhir rugi dengan
adanya putusan pailit.
Berdasarkan latar belakang di atas, timbul beberapa pertanyaan yang menjadi permasalahan untuk dikaji lebih lanjut
sebagai berikut: 1) Bagaimana implementasi UU Perlindungan Konsumen (UUPK) dan
UU Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
(UUK) dalam melindungi Konsumen Properti Pemegang PPJB? 2) Bagaimana implementasi dari kedua undang-undang tersebut terhadap hak-hak konsumen akibat kepailitan pengembang?
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode normatif, yaitu suatu metode penelitian yang mengkaji aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab permasalahan hukum yang diteliti (Marzuki, 2013). Spesifikasi penelitian ini bersifat preskriptif�evaluatif. Preskriptif yang artinya tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mendapatkan saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah hukum yang diteliti, serta merumuskan suatu permasalahan sesuai dengan kejadian yang ada.
Evaluatif artinya penelitian ini bertujuan untuk menilai melalui analisis mengenai hubungan yang terjadi antar variabel dalam penelitian ini, serta mencari jawaban tentang pencapaian tujuan yang diinginkan dengan cara mengevaluasi bagaimana penerapan undang-undang dalam menjawab permasalahan hukum yang diteliti. Jenis dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis sumber-sumber bahan premier dan bahan sekunder. Selain studi kepustakaan, dalam penelitian ini juga terdapat wawancara dengan salah satu konsumen yang merasa dirugikan dan kehilangan haknya.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil
penelitian diketahui bahwa permasalahan dalam kasus kondotel
tersebut terjadi karena pembelian yang dilakukan belum disertai levering (penyerahan). Pengembang belum melakukan kewajibannya secara penuh yaitu
penyerahan barang tidak bergerak. Dalam Hukum Perdata dikenal ada 3 (tiga) jenis
penyerahan yuridis (R
Subekti, 2021). Pertama
adalah penyerahan barang bergerak. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata atau menyerahkan
kekuasaan atas barangnya. Kedua, penyerahan barang tak bergerak. Penyerahan
ini terjadi dengan pengutipan sebuah �akta transport� dalam
register tanah di depan Pegawai Balik Nama (ordonansi
Balik Nama L.N. 1834-27).
Sejak berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) selanjutnya disebut UUPA, dengan pembuatan akta jual beli
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ketiga adalah, penyerahan piutang atas nama
yang masing-masing mempunyai caranya
sendiri. Penyerahan dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang diberitahukan kepada si berutang.
Berdasarkan permasalahan di
atas, penulis akan menganalisis dari 2 (dua) aspek yaitu UUPK dan UUK.
Pada dasarnya
sesuai dengan Pasal 3 UUPK, tujuan dari perlindungan konsumen adalah sebagai berikut Zulham (2014): (1) Meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; (2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan.atau jasa; (3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; (4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi; Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Di samping
itu terdapat beberapa asas yang perlu diperhatikan baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha (Pasal 2 UUPK), yaitu: (1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan; (2)�
Asas keadilan, dimaksudkan
agar partisipasi seluruh
rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; (3) Asas keseimbangan, untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spirituil; (4) Asas keamanan, dan
keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; (5) Asas kepastian hukum, agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin adanya kepastian hukum.
Untuk menganalisis
hasil penelitian, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Pasal 6 UUPK mengatur tentang hak pelaku usaha,
antara lain: (1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan; (2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik; (3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; (4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan (5) Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Pasal
7 UUPK mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, yaitu: (1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; (2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; (3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; (4) Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; (5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang
yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; (6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pergantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan (7)
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pergantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
Dari hasil
penelitian diketahui bahwa tanggung Jawab pengembang sebagai pelaku usaha dalam
hal ini belum
dilakukan sepenuhnya karena belum adanya
penyerahan yaitu akta jual beli
dan balik nama dari nama pengembang
ke nama konsumen.
Dari tanggung jawab pelaku usaha, beberapa
prinsip tanggung jawab perlu dipenuhi.
Prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut (Yodo
& Miru, 2004): 1) Tanggung
jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan 3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal-hal
tersebut, maka adanya produk barang
dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan
satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha, tetapi ini
meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Jadi, lingkup tanggung jawab pembayaran ganti kerugian terdiri dari 2 (dua) kategori sebagai berikut:
1. Tuntutan berdasarkan wanprestasi. Hal ini didasari karena adanya suatu perjanjian
antara pelaku usaha dengan konsumen.
Pihak yang dapat menuntut ganti rugi hanyalah pihak
yang terkait dalam perjanjian.� Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian� (Purwahid Patrik, 1994). Bentuk wanprestasi dapat berupa (Subekti, 2001): a) Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan. b) Melakukan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana
yang diperjanjikan c) Melakukan
apa yang sudah diperjanjikan tapi terlambat. d) Melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pihak yang merasa
dirugikan akibat wanprestasi yang dilakukan pihak lainnya memiliki
hak untuk menggugat untuk menuntut ganti rugi berupa penggantian
biaya, kerugian dan bunga jika ada.
Hal ini didasari oleh Pasal 1243 dan 1244 KUH Perdata.
2. Tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Berbeda dengan tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada wanprestasi, perbuatan melawan hukum tidak perlu
didahului dengan adanya perjanjian, sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi walaupun tidak
ada hubungan perjanjian antara para pihak (van
Dunne & van der Burght, 1988).
Selanjutnya, perlu
diketahui mengenai kerugian itu sendiri.
Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah� berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain�,
(Nieuwenhuis, 1985). Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi menjadi
2 bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda
seseorang. Kerugian harta benda sendiri
dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan
keuntungan yang diharapkan.
Kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan, maka pengertian kerugian seharusnya adalah berkurangnya/tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma
oleh pihak lain (Miru,
2013).
Menghitung besarnya
kerugian juga bukan merupakan hal yang mudah. Raad berpendapat bahwa penetapan kerugian harus dilakukan berdasarkan ukuran yang objektif (secara abstrak). Dalam penerapan metode abstrak, hakim tidak semata-mata mempertimbangkan hal khusus dalam
peristiwa yang bersangkutan
dengan keadaan subyektif dari pihak yang dirugikan, melainkan hakim meneliti pada umumnya kerugian yang dialami seseorang yang berada dalam posisi
sama seperti pihak yang menuntut ganti kerugian� (van
Dunne & van der Burght, 1988).
Ganti kerugian dalam UUPK hanya meliputi pengembalian uang atau pergantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ini berarti bahwa ganti kerugian yang dianut dalam UUPK adalah ganti kerugian
subyektif. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai Klausula Baku yang disampaikan pengembang kepada konsumen untuk ditandatangani, atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).
PPJB adalah suatu dokumen dalam
bentuk otentik maupun dibawah tangan atas suatu
tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum penjual
dan pembeli melakukan akta jual beli
di hadapan PPAT. PPJB biasanya
digunakan dalam transaksi jual beli properti antara
pengembang dengan pembeli sebagai jaminan pengikatan awal dimana transaksinya
belum selesai (Rona
Swastika, 2021). PPJB yang telah ditandatangani
merupakan bagian dari klausula baku
dimana posisi konsumen dan pengembang sebagai pelaku usaha disini tidak
seimbang, karena konsumen harus menandatangani perjanjian baku yang telah dibuat sepihak oleh pengembang tanpa adanya ruang untuk
bernegosiasi mengenai isi dari PPJB tersebut.
Pasal 1 angka
10 UUPK menjelaskan arti dari
klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula Baku memposisikan konsumen di pihak yang lemah, take it or leave it. Jika konsumen
tertarik untuk membeli maka konsumen
harus bersedia menandatangani PPJB tersebut, jika tidak setuju
just leave it. Sudaryatmo Pengurus
Harian YLKI juga menyatakan bahwa
banyaknya keluhan masuk yang dilaporkan konsumen perumahan terkait wanprestasi pengembang, bersumber pada perjanjian yang mengandung klausula baku. Bahkan Sudaryatmo menyatakan bahwa adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman sama sekali tidak
menjawab permasalahan kasus-kasus wanprestasi pengembang (Ali, 2010). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan klausula baku dalam PPJB menimbulkan keadaan bahaya bagi kedudukan
hukum konsumen dalam hal pengembang
pailit.
Salah satu
asas dari UUPK adalah asas keadilan
dan asas kepastian hukum. Dimana antara pelaku usaha dan konsumen harus memperoleh hak dan kewajiban yang seimbang dan adil. Akan tetapi dalam permasalahan ini konsumen menjadi
pihak yang dirugikan karena pengembang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian yang disepakati sehingga asas keadilan
tidak terpenuhi. Begitupun dengan asas kepastian hukum dimana negara menjamin adanya kepastian hukum, tetapi dalam UUPK sendiri tidak mengandung
aturan hukum yang pasti dan jelas mengenai ganti rugi terhadap konsumen
properti atas wanprestasi pengembang.
Pembahasan selanjutnya
adalah mengenai pengembang yang dinyatakan pailit. Pasal 1 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Terdapat beberapa asas hukum kepailitan
yang perlu diperhatikan dan
harus dipatuhi (Rahayu Hartini, 2012):
1) Asas
keseimbangan
UU Kepailitan
mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu di satu pihak
dimana terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur. Di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.
2) Asas
kelangsungan usaha (going
concern)
Asas ini
berarti adanya ketentuan yang memungkinkan debitur masih terus
melangsungkan kegiatan usahanya walaupun ia sudah dinyatakan
pailit.
3) Asas
keadilan
Asas ini
mengandung pengertian bahwa dengan dinyatakan
pailit, hal tersebut tetap dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas ini mencegah terjadinya
kemungkinan timbul kreditur yang mengusahakan pembayaran atas tagihan debitur tanpa mempedulikan kreditur lainnya.
4) Asas
integrasi
Asas ini
mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formil dan hukum materiil merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Saat ini
asas going concern diterapkan
dalam proses kepailitan pengembang kondotel tersebut. Asas ini berarti adanya ketentuan yang memungkinkan debitor (pengembang) masih terus melangsungkan
kegiatan usahanya walaupun ia sudah
dinyatakan pailit. Saat ini kondotel tetap
beroperasional dengan harapan pendapatan yang didapat akan digunakan
untuk membayar piutang-piutang kreditor sesuai urutannya. Namun tidak ada
kepastian sampai kapan going concern ini akan dilakukan, dan sampai kapan pembayaran
piutang kreditor akan terlaksana, khususnya konsumen sebagai kreditor konkuren.
Penghentian going concern dapat diminta berdasarkan
permintaan kreditor. Hal ini tercantum dalam
Pasal 183 ayat (1) UUK. Kreditor atau kurator
dapat mengusulkan kelangsungan usaha dihentikan jika usaha tersebut merugikan harta pailit atau jika
pada penerapannya going concern ini
tidak lagi memberikan added value bagi kreditor (Elyta Ras Ginting,
2018). Akibat kepailitan sendiri dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: 1) akibat kepailitan secara umum; dan 2) akibat kepailitan secara khusus (Jono, 2013).
Pada penelitian
ini, akan dibahas mengenai akibat kepailitan secara khusus karena
mengandung perjanjian
timbal balik antara debitor dan kreditor yang merupakan bagian dari akibat kepailitan
secara khusus. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik dapat dijelaskan
dengan memahami pengertian perjanjian lebih dahulu. Subekti
menerjemahkan arti perjanjian
dari Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, overeenkomst
yang berarti perjanjian (Subekti, 2003).
Pasal 1313 KUH Perdata
mendefinisikan Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Penjelasan ini memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak yaitu dimana
satu pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya yang berhak atas prestasi tersebut
(kreditor).�
�Dalam perjanjian timbal balik
yaitu suatu perjanjian bilateral dimana kedua pihak saling
berprestasi dan selalu ada hak dan kewajiban
di satu pihak yang saling berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lainnya, contohnya perjanjian jual beli� (Ridwan,
1992).
Pasal 36 ayat
(1) UUK menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian
dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepada
kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut tidak tercapai, hakim pengawas menetapkan jangka waktu tersebut
(Pasal 36 ayat 2 UUK).
Apabila dalam jangka waktu tersebut
kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia
melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan
sebagai kreditor konkuren (Pasal 36 ayat 3 UUK). Apabila kurator menyatakan kesanggupannya maka kurator wajib memberi
jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilakukan sendiri oleh debitor karena keahliannya misalnya melukis atau menyanyi.
Pada dasarnya
kedudukan kreditor adalah sama (paritas
creditorum). Setiap kreditor mempunyai hak yang sama atas
hasil eksekusi harta pailit sesuai
dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorate parte). Namun asas ini
memiliki pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas
kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan undang-undang. Jadi asas paritas creditorum hanya berlaku bagi
kreditor konkuren saja (Fred BG. Tumbuan, 2001).
Oleh karena itu, dalam kepailitan kreditor dibedakan menjadi 3 sebagai berikut:
1. Kreditor
Preferen
Adalah kreditor
dengan hak mendahului, yaitu tingkatan paling awal karena sifat piutangnya
oleh undang-undang diberikan
kedudukan istimewa. Sesuai Pasal 1139 jo. Pasal 1149 KUH Perdata dan UU
28/2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, yaitu bahwa tagihan pajak
merupakan piutang istimewa yang harus didahulukan. Akan tetapi Putusan MK No 67/PUU-XI/2013 mengubah
posisi tersebut dan meletakkan upah buruh atau pekerja
di atas kreditor preferen lainnya. Siapa saja contoh
kreditor preferen? Upah buruh/pekerja, pajak negara, dan kontraktor.
2. Kreditor Separatis
Adalah kreditor
pemegang hak jaminan kebendaan. Golongan kreditor ini tidak terkena
akibat putusan pailit, karena hak eksekusi mereka
tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan
debitor� (Elijana, 2000).
3. Kreditor konkuren
Kreditor ini memiliki kedudukan paling terakhir setelah preferen dan separatis. Kreditor konkuren juga berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor baik yang telah ada maupun
yang akan ada di kemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor preferen dan separatis secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditor konkuren tersebut (Remy Sjahdeni, 1999).
Berakhirnya kepailitan
dapat dibedakan: 1) akur atau perdamaian;
dan 2) insolvensi atau pemberesan harta pailit (Rahayu, 2012), yang penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1) Akur
atau perdamaian
Adalah perjanjian
antara debitur pailit dengan para kreditur dimana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan
syarat bahwa ia setelah melakukan
pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak
mempunyai utang lagi. Kepailitan yang berakhir melalui akur disebut
juga berakhir tanpa perantaraan hakim (pengadilan).
2) Insolvensi atau pemberesan harta pailit
Hal ini
terjadi bilamana dalam suatu kepailitan
tidak ditawarkan akur/perdamaian atau akur dipecahkan
karena tidak dipenuhi sebagaimana telah disetujui. Kurator harus memulai
pemberesan dan menjual semua harta pailit
tanpa perlu memperoleh persetujuan debitur apabila: a) Usul untuk mengurus
perusahaan deibut tidak diajukan dalam jangka waktu
sebagaimana diatur dalam undang-undang atau usul tersebut
telah diajukan tetapi ditolak. b) Pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan. c) Rehabilitasi.
Berakhirnya proses kepailitan
dalam permasalahan ini mengacu pada insolvensi atau pemberesan harta pailit, dimana kurator melakukan pemberesan harta pailit pengembang. Kurator melakukan pemberesan dapat berupa penjualan di muka umum atau
di bawah tangan dengan persetujuan hakim pengawas (Imran Nating, 2004). Kurator membagikan hasil pemberesan harta pailit kepada
kreditor sesuai dengan daftar pembagian.
Pasal 174 UUK mengatur
bahwa setiap waktu bila menurut
pendapat hakim pengawas tersedia cukup uang tunai, ia memerintahkan
suatu pembagian kepada para kreditor yang piutangnya telah mendapat pencocokan. Kurator tidak perlu
menunggu sampai harta pailit telah
habis dijual. Kurator akan menyusun
suatu daftar pembagian yang
harus disetujui oleh hakim pengawas. Daftar pembagian memuat suatu pertelaan
yang terdiri dari: 1) Penerimaan dan pengeluaran termasuk imbalan jasa kurator. 2) Nama para kreditor. 3) Jumlah yang dicocokkan dari setiap piutang. 4) Bagian atau persentase yang harus diterima kreditor untuk setiap piutang tersebut.
Dalam Pasal
175-187 UUK dijelaskan Kurator
dalam melakukan pembagian harta pailit, memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut: 1) Menyusun
daftar pembagian yang memuat
pertelaan tentang penerimaan dan pengeluaran, nama-nama kreditor, dan jumlah piutang yang telah dicocokkan atas persetujuan hakim pengawas. 2) Meletakkan daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas di kantor kurator agar dapat dilihat oleh para kreditor. 3) Tentang peletakan surat pembagian tenggang waktu, curator harus mengumumkan di surat kabar. 4) Menerima penetapan hakim pengawas perihal hari untuk
memeriksa perlawanan terhadap daftar pembagian di kantor kurator. 5) Menyampaikan alasan tentng penetapan daftar pembagian dalamsidang yang terbuka untuk umum.
6) Melaksanakan pembagian
yang telah ditetapkab setelah berkahirnya jangka waktu untuk
melihat surat-surat dan telah diucapkannya putusan atas perlawanan.
UUK menentukan
bahwa segera setelah kepada kreditor yang telah dicocokkan, dibayarkan jumlah penuh piutang
mereka atau segera setelah daftar pembagian penutup memperoleh kekuatan tetap, maka berakhirlah
kepailitan. Dengan demikian implementasi UUK dalam permasalahan ini sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang ada, akan tetapi dalam
pelaksanaan proses pemberesan
harta pailit memakan waktu yang lama dan tentunya keadaan ini memberi dampak
kerugian bagi konsumen.
Kesimpulan
Implementasi UU Perlindungan Konsumen dalam melindungi konsumen properti pemegang PPJB masih lemah dan tidak tegas. UUPK tidak secara eksplisit
menjelaskan perlindungan dalam hal penggantian
kerugian bagi konsumen properti akibat pengembang pailit, sehingga kondisi ini memposisikan
konsumen berada dalam pihak yang lemah. Terlebih lagi dengan adanya
klausula baku yang dibuat sepihak oleh pengembang yang menjadi keharusan bagi konsumen untuk menandatangani PPJB tersebut jika ingin membeli
properti.
Pengetahuan konsumen mengenai
apa yang seharusnya tertuang dalam PPJB juga sangat terbatas. Baiknya PPJB yang dibuat secara sepihak
oleh pengembang mencantumkan
tentang status kepemilikan tanah dan unit yang jelas, serta hak-hak yang seharusnya diterima oleh konsumen terkait status kepemilikan propertinya. Dalam realitanya, penerapan tanggung jawab pelaku usaha dalam
hal penggantian biaya ganti rugi
sesuai yang tercantum dalam UUPK belum terlaksana karena dengan pailitnya pelaku usaha/pengembang,
langsung memposisikan konsumen properti ke status kreditor konkuren yang proses pelaksanaannya
masuk ke dalam UUK.
Sedangkan penerapan UUK dalam permasalahan ini sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, akan tetapi tidak bisa
dihindari kenyataan bahwa proses pailitnya pengembang berdampak kerugian bagi konsumen
pemegang PPJB. Konsumen pemegang PPJB masuk dalam status kreditor konkuren yang memiliki hak untuk menuntut
ganti rugi atas perjanjian timbal balik yang masih belum dipenuhi secara keseluruhan, akan tetapi proses ini makan waktu
lama dan konsumen tidak mendapatkan kepastian kapan dan berapa lama mereka akan menerima
pembayaran piutang dari pemberesan harta pailit pengembang.
Pelaksanaan UUPK belum dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya keluhan yang masuk ke Badan Penyelesaian Konsumen Nasional (BPKN) yang sebagian
besar berasal dari konsumen properti.
Tercatat dari tahun 2017 sampai 2023 ini terdapat 3034 kasus konsumen perumahan. Selain itu, terlihat juga dari permasalahan pada PT PSA yang proses pailitnya
baru berakhir setelah beberapa tahun sejak dinyatakan
pailit.
Demikian juga halnya dengan
pelaksanaan UUK terhadap penelitian ini. Proses dari mulai perhitungan
rekapitulasi total aset debitor sampai kepada pembayaran utang debitor memakan waktu lama, mengingat UUK tidak memberikan aturan jangka waktu
proses tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu berapa
lama. Hal ini akan memposisikan konsumen dalam keadaan menunggu
dalam jangka waktu panjang.
BIBLIOGRAPHY
Elmaliza, K. B. T. T. P. (2010). Atas Bangunan
Rumah Susun yang dikuasai dengan Sistem Strata Title. Tesis, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Djaja, Benny.(2020). Hukum Real
Estate. Cetakan ke-1. Kencana.
Ginting, Elyta Ras. (2018).
Hukum Kepailitan : Rapat-Rapat Kreditor, Jakarta
Hartini, Rahayu. (2012). Hukum Kepailitan. (Universitas Muhammadiyah Malang, edisi revisi)
Marzuki,
P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno
Miru,
A. (2013). Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.
Nating, Imran. (2004). Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta
Nieuwenhuis (1985). Pokok Pokok Hukum Perikatan. Universitas Airlangga Surabaya
R
Subekti, S. H. (2021). Aneka perjanjian.
Ridwan,
S. (1992). Seluk Beluk dan Azaz Hukum Perdata. Bandung: Alumni.
van
Dunne, J. M., & van der Burght, G. (1988). Perbuatan Melawan Hukum,
Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata.
Ujungpandang.
Swastika, Rona �Analisis Yuridis Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah ditinjau dari Perspektif KUH Perdata�, (Surakarta: FH Universitas Muhammadiyah, 2021)
Subekti. (2001). Hukum
Perjanjian. Jakarta. PT Intermasa
Subekti dan R. Tjitrosudibio.
(2003). Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).
Jakarta
Shidarta. (2006). Hukum
Perlindungan Konsumen. Jakarta. PT. Grasindo
Sjahdeni, Sutan Remy. (1999).
Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi
oleh Perbankan. Bandung
Yodo, S., & Miru, A. (2004). Hukum Perlindungan
Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zulham. (2014). Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Copyright holder: Viona Widjaja; R.M. Gatot P. Soemartono (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |