Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022���������������������

 

PERAN MINDSET TERHADAP KETANGGUHAN MENTAL MAHASISWA

 

Ira Adelina1*, Priska Analya2, Yulita Anggelia3

1*,2,3Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Indonesia

Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan mindset terhadap ketangguhan mental mahasiswa. Mereka yang memiliki growth mindset percaya bahwa atribut manusia dapat ditempa dan karenanya dapat dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang lain. Dengan pola pikir bahwa kualitas diri dapat ditempa dan dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang lain, diharapkan seseorang lebih mampu menghadapi permasalahan dengan strategi penyelesaian yang lebih efektif, sehingga tercapailah ketangguhan mental. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif tipe survei kepada mahasiswa di Kota Bandung. Data dianalisis dengan regresi linear sederhana guna memperoleh gambaran kekuatan pengaruh mindset terhadap ketangguhan mental mahasiswa secara empirik. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh hasil bahwa variabel Mindset memberikan pengaruh signifikan (sig=.000) terhadap Mental Toughness sebesar 10.2%. Artinya walaupun berpengaruh secara signifikan, masih banyak faktor lain diluar mindset yang dapat memengaruhi ketangguhan mental Mahasiswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa ketangguhan mental seaeorang merupakan hasil sebuah proses panjang yang merupakan sinergi dari berbagai pihak terkait dengan faktor motivasional, sejumlah individu (yaitu pelatih / guru, teman sebaya, keluarga, rekan senior, psikolog), pengalaman, keterampilan dan strategi psikologis, dan keinginan yang tak pernah puas dan motif yang terinternalisasi untuk berhasil. (Declan, 2008).

 

Kata kunci: mindset, ketangguhan mental, mahasiswa.

 

Abstract

This study aims to determine the role of mindset on students' mental toughness. Those who have a growth mindset believe that human attributes are malleable and therefore can be developed through hard work, good strategies, and support from others. With the mindset that self-quality can be forged and developed through hard work, good strategies, and support from others, it is expected that a person is better able to face problems with more effective resolution strategies, thus achieving mental toughness. The research method used is a quantitative method of survey type to university students in Bandung City. The data were analyzed by simple linear regression to obtain an overview of the strength of the influence of growth mindset on the mental toughness of students empirically. Based on the results of data processing, it was found that the Mindset variable had a significant effect (sig = .000) on Mental Toughness by 10.2%. This means that even though it has a significant effect, there are still many other factors outside the mindset that can affect students' mental toughness. This is in line with the results of research that a person's mental toughness is the result of a long process which is a synergy of various parties related to motivational factors, a number of individuals (i.e. coaches / teachers, peers, family, senior colleagues, psychologists), experience, psychological skills and strategies, and an insatiable desire and internalized motive to succeed. (Declan, 2008).

 

Keywords: mindset, mental toughness, university students.


 


Pendahuluan

Mahasiswa yang berada dalam taraf perkembangan remaja memiliki tugas perkembangan yang tidak mudah. Menurut (Santrock, 2013), tahapan remaja merupakan masa transisi dari tahap kanak-kanak menuju tahap dewasa. Tahap perkembangan ini meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Sevara biologis, mahasiswa mengalami perubahan yang berkaitan dengan hormone dan kondisi fisiknya. Secara kognitif, mahasiswa mulai mengalami perubahan cara berpikir yang menjadi lebih abstrak, idealis, logis, dan bertanggung jawab. Secara sosio-emosional, mahasiswa mengalami perubahan emosi dan kepribadian dalam konteks hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, dalam masa pandemi COVID-19, mahasiswa mengalami peningkatan stres akibat berbagai perubahan yang terjadi, dalam kaitannya dengan akademik, psikososial, maupun sosioekonomi (Arima, et al., 2020). Mahasiswa terbukti mengalami tingkat stres yang tinggi akibat berbagai perubahan yang terjadi, khususnya terkait metode pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 (Arima, et al., 2020). Beberapa stressor lainnya merupakan kekhawatiran akan infeksi virus COVID-19, paparan media yang membombardir, masalah finansial, serta kurangnya interaksi dan dukungan sosial (Lai, et al., 2020).

Penting bagi mahasiswa untuk mengatasi berbagai stressor atau tekanan yang ada, agar terhindar dari berbagai dampak negatif dari stres tinggi, terkait dengan kesehatan mentalnya, seperti depresi, kecemasan, masalah tidur, dan lain-lain (Gerber & Haghighi, 2019). Hal tersebut menuntut sumber daya yang lebih besar bagi mahasiswa untuk mengatasi berbagai tuntutan yang ada dalam kehidupannya, Salah satu faktor perbedaan individual yang dapat membantu individu untuk bertahan dalam dan mengatasi situasi yang penuh tekanan adalah mental toughness atau ketangguhan mental. Ketangguhan mental (mental toughness) adalah kemampuan individu untuk melawan stresor yang biasanya menyebabkan penurunan tingkat kinerja (Clough & Strycharczyk, 2011).

Definisi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan ketangguhan mental berasal dari model teori �4C� dari (Clough, Earle, & Sewell, 2002); yang menjelaskan bahwa ketangguhan mental merupakan konstruk psikologis yang sebagian besar dapat menentukan bagaimana individu dapat secara efektif menghadapi tantangan, stressor, dan tekanan, terlepas dari keadaan yang ada (Clough & Strycharczyk, 2011). Hal ini dikarenakan susunan empat komponen (4C) dari ketangguhan mental, yaitu control, challenge, commitment, dan confidence.

Keempat komponen tersebut dianggap sebagai cerminan trait psikologis positif (McGeown, Clair-thompson, & Clough, 2015) yang menyangkut kecenderungan berpikir dan berperilaku dari individu dalam merespon berbagai situasi yang menantang atau stressor yang ada di sekitarnya; sehingga memungkinkan individu untuk berjuang dalam situasi yang menantang dan tetap relatif tidak terpengaruh oleh berbagai stressor (Lin, Mutz, Clough, & Papageorgiou, 2017). Lebih lanjut, Gerber (Gerber, et al., 2013) (Gerber & Haghighi, 2019) menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena, secara teoretis, komponen-komponen dari ketangguhan mental mencerminkan karakteristik yang bertentangan dengan penilaian kognitif pada proses munculnya stres.

Komponen control adalah sejauh mana seseorang merasa mereka mengendalikan hidup mereka. Beberapa individu percaya bahwa mereka dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap lingkungan kerja mereka, bahwa mereka dapat membuat perbedaan dan mengubah banyak hal. Sebaliknya, orang lain merasa bahwa hasil dari peristiwa berada di luar kendali pribadi mereka dan mereka tidak dapat memberikan pengaruh apa pun atas diri mereka sendiri atau orang lain (Clough & Strycharczyk, 2011). Mahasiswa dengan komponen control yang tinggi cenderung meyakini bahwa ia memiliki pengaruh atas berbagai aspek dalam dirinya, serta atas berbagai kejadian dalam perkuliahannya.

Komponen Control dibagi menjadi dua subkomponen, yaitu life control dan emotion control (Clough & Strycharczyk, 2011). Mahasiswa dengan life control yang tinggi akan lebih cenderung percaya bahwa mereka mengendalikan hidup mereka. Mereka merasa bahwa rencana mereka tidak akan digagalkan dan mereka dapat membuat perbedaan. Selain itu, mahasiswa dengan life control yang tinggi memiliki kemampuan untuk mengatur waktu dengan lebih baik, dapat mengatur dan memprioritaskan tugas yang ada. Selanjutnya, mahasiswa dengan emotion control yang tinggi dapat mengontrol emosinya dan sejauh mana kondisi emosionalnya akan ditampilkan pada orang lain. Mahasiswa dengan emotion control yang tinggi lebih mampu mengendalikan emosi mereka. Mereka mampu mengendalikan kecemasan dan cenderung tidak mengungkapkan keadaan emosional mereka kepada orang lain.

Komponen kedua adalah Challenge. Individu berbeda dalam pendekatan mereka terhadap tantangan. Beberapa menganggap tantangan dan masalah sebagai peluang, sedangkan yang lain mungkin lebih cenderung menganggap situasi yang menantang sebagai ancaman. Subskala ini mengukur sejauh mana seorang individu cenderung melihat tantangan sebagai peluang (Clough & Strycharczyk, 2011). Pada mahasiswa dengan komponen challenge yang tinggi, tantangan yang ada akan cenderung dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk mengembangkan diri. Cara mahasiswa memandang sebuah challenge atau tantangan merupakan kunci dari cara individu menghadapi dan mengatasi tantangan tersebut. Mahasiswa dengan komponen challenge yang tinggi akan melihat perubahan dan tuntutan akademik yang dialami dalam perkuliahan secara positif, yaitu sebagai kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru dan membuktikan dirinya pada orang lain, maupun pada dirinya sendiri. Sedangkan mahasiswa dengan Challenge rendah mungkin menghindari situasi yang menantang karena takut gagal atau keengganan untuk berusaha.

Komponen ketiga, Commitment mengacu pada ketahanan seseorang terhadap tujuan sehingga mampu menyelesaikan suatu tugas hingga selesai (Clough & Strycharczyk, 2011). Mahasiswa dengan commitment yang tinggi cenderung dapat menentukan suatu goal atau target dalam melaksanakan berbagai tuntutan. Mahasiswa akan memandang bahwa goal atau target membantunya untuk melihat kesuksesan yang akan dicapai, sehingga mahasiswa menjadi lebih termotivasi untuk mencapai goal atau target tersebut, sekalipun menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Sebaliknya, mahasiswa dengan Commitment rendah mungkin mudah teralihkan, bosan atau mengalihkan perhatian mereka ke tujuan lain.

Komponen keempat, Confidence adalah keyakinan diri untuk menyelesaikan tugas dengan sukses (Clough & Strycharczyk, 2011). Confidence yang tinggi pada mahasiswa ditunjukkan dalam keyakinan diri mahasiswa yang tinggi juga untuk dapat menyelesaikan berbagai tugas yang menantang dalam perkuliahannya, termasuk menguasai materi perkuliahan untuk ujian, serta menghadapi perubahan lingkungan akademik dan sosial. Keyakinan diri tersebut juga memungkinkan mahasiswa untuk dengan tenang menerima bahwa kemunduran atau kegagalan dalam perkuliahannya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Respon yang umumnya mengikuti adalah bangkit dari kemunduran yang terjadi dan melanjutkan usahanya dengan tekad yang lebih kuat lagi. Confidence pada mahasiswa terbagi menjadi dua subkomponen, yaitu confidence in ability dan interpersonal confidence.

Mahasiswa dengan tingkat confidence in ability yang tinggi cenderung mempercayai bahwa dirinya memiliki perangkat intelektual untuk melakukan dan menyelesaikan tugas- tugas yang sulit terkait tuntutan akademik dan transisi dalam lingkungan perkuliahan, sekalipun yang berkemungkinan gagal. Mahasiswa dengan tingkat interpersonal confidence yang tinggi cenderung memiliki keyakinan diri untuk menghadapi tantangan oral (misalnya kritik dan komentar buruk) dalam menjalani proses transisi dalam lingkungan perkuliahan, juga yang mungkin menghalangi mahasiswa dalam memenuhi tuntutan akademik perkuliahan. Mahasiswa juga cenderung lebih asertif dan jarang sekali merasa terintimidasi dalam situasi sosial. Selain itu, mahasiswa juga dapat lebih mampu untuk mendukung dirinya sendiri dalam sebuah kelompok. Keyakinan tersebut dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang menghadapi lingkungan sosial baru dalam perkuliahan.

Secara keseluruhan, individu dengan mental yang tangguh (mentally tough) dicirikan oleh kecenderungan yang kuat untuk memandang lingkungan mereka terkendali (controllable), memandang dirinya mampu dan bertanggungjawab, tetap berkomitmen pada goal atau target yang telah ditentukan sekalipun dalam situasi yang sulit, dan memandang masalah sebagai tantangan yang wajar dan dapat mendukung pertumbuhan personal ( (Clough, Earle, & Sewell, 2002), dalam (Gerber, et al., 2013)).

Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa individu dengan mental yang lebih tangguh (mentally tough) dapat menghadapi tekanan tinggi dalam lingkungan dengan lebih baik, sehingga mereka cenderung lebih berhasil dalam berbagai sektor, seperti sekolah atau pendidikan, kompetisi olahraga, pekerjaan, dan lainnya. Perguruan tinggi dapat dicirikan sebagai tempat di mana beragam kelompok pelajar dari berbagai usia dari berbagai latar belakang (seringkali non-tradisional) berkumpul untuk mengejar berbagai program studi. Kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan retensi dan pencapaian siswa mengakui bahwa program perguruan tinggi memiliki nilai tersendiri dan merupakan kunci untuk studi lebih lanjut.

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa ketangguhan mental dapat membantu individu untuk lebih efektif dalam mengatasi transisi besar dalam hidup mereka, seperti transisi menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi, transisi dari dunia kerja menuju dunia kerja (Clough & Strycharczyk, 2011). Sebuah penelitian di Belanda (Clough & Strycharczyk, 2011) menunjukkan bahwa siswa dengan mental yang lebih tangguh dapat melewati proses transisi tersebut dengan lebih efektif, serta memiliki performa yang lebih baik dalam ujian. Terlebih lagi dalam masa pandemi COVID-19 yang membuat mahasiswa harus menghadapi berbagai perubahan situasi dalam hidupnya.

Seringkali ketangguhan mental digambarkan sebagai mindset. Namun sebenarnya ketangguhan mental jauh lebih kompleks dari itu. Hasil penelitian memang menunjukkan bahwa intervensi kognitif mungkin dapat mempengaruhi ketangguhan mental seseorang. (Crust & Azadi, 2010) menyatakan bahwa individu yang tangguh secara mental lebih banyak menggunakan teknik dan keterampilan psikologis. Demikian pula (Nicholls, Polman, Levy, & Backhouse, 2008) menemukan bahwa ketangguhan mental secara signifikan berkorelasi positif dengan problem focus coping strategy dan secara signifikan berkorelasi negatif dengan emotional focus coping.

Sheard (2009, 2010) melihat ketangguhan mental dapat ditingkatkan dengan mengubah pola pikir individu melalui pelatihan keterampilan psikologis. Memang terdapat beberapa bukti bahwa ketangguhan mental atau setidaknya komponen ketangguhan mental dapat dipengaruhi melalui intervensi pelatihan keterampilan mental yang sistematis ( (Sheard & Golby, 2006); (Gucciardi, Gordon, & Dimmock, 2009b)). Banyak penelitian meneliti bagaimana pola pikir (mindset) seseorang mempengaruhi cara individu menafsirkan dan memecahkan masalah.

Pola pikir (mindset) didefinisikan sebagai kerangka mental atau lensa yang secara selektif mengatur dan mengkodekan informasi, sehingga mengarahkan individu ke arah cara yang unik untuk memahami pengalaman dan membimbing seseorang menuju tindakan dan tanggapan yang sesuai (Crum, Salovey, & Achor, 2013). Penelitian tentang teori implisit membedakan antara dua keyakinan atau pola pikir utama: incremental or growth mindset atau entity or fixed mindset ( (Dweck, 2000); (Dweck & Leggett, 1988)). Mereka yang memiliki growth mindset meyakini bahwa atribut dan kualitas manusia dapat ditempa dan karenanya dapat dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang lain. Mereka memiliki gambaran akan diri dan dunia yang dinamis, yang mampu berkembang. Keyakinan ini membantu kita bergerak maju dengan tekad, mendorong kita untuk mencari cara untuk memperbaiki kekurangan kita dan untuk memecahkan masalah kita. Sebaliknya, keyakinan lain menggambarkan diri dan dunia yang lebih statis dengan kualitas yang melekat dan tetap. Mereka yang memiliki fixed mindset meyakini bahwa atribut dan kualitas manusia bersifat menetap dan karena itu tidak dapat dikembangkan, terlepas dari upaya yang dikeluarkan atau strategi yang digunakan.

Banyak penelitian meneliti bagaimana pola pikir seseorang mempengaruhi cara dia menafsirkan dan memecahkan masalah. Ketika menghadapi masalah yang menantang, orang yang percaya bahwa upaya mendorong kecerdasan cenderung melakukan lebih baik daripada orang yang percaya bahwa kecerdasan adalah kualitas tetap yang tidak dapat mereka ubah. Individu dengan fixed mindset menghindari tantangan, mudah menyerah, melihat usaha sebagai sia-sia atau lebih disesalkan, mengabaikan masukan negatif yang berharga, dan merasa dilemahkan oleh orang lain yang berhasil. Sementara itu, orang-orang dengan growth mindset menerima tantangan, bertahan meskipun mengalami kemunduran, melihat upaya penting untuk mendapatkan penguasaan, belajar dari kesalahan dan kritik, dan menemukan pelajaran dan motivasi dalam kesuksesan orang lain. Orang dengan growth mindset percaya bahwa mereka dapat mengembangkan kemampuannya melalui kerja keras, ketekunan, dan dedikasi (Dweck, 2006); (Elliot & Dweck, 2005); (Weiner, 2005).

Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang sangat buruk dalam memperkirakan kemampuan mereka. Tetapi orang-orang dengan fixed mindset yang menunjukkan ketidaktepatan lebih tinggi. Orang-orang dengan growth mindset sangat akurat (Dweck, 2017). Mereka yang memiliki growth mindset, percaya bahwa mereka dapat mengembangkan diri, terbuka terhadap informasi akurat tentang kemampuan mereka saat ini. Terlebih lagi, jika mereka ingin belajar, mereka membutuhkan informasi yang tepat tentang kemampuan mereka saat ini untuk belajar secara efektif. Namun, jika semuanya adalah kabar baik atau kabar buruk tentang kualitas mereka yang berharga �seperti halnya dengan orang-orang dengan pola pikir tetap�distorsi hampir pasti masuk ke dalam gambar. Beberapa hasil diperbesar, yang lain diabaikan, dan sebelum mereka menyadarinya, mereka menjadi tidak realistis.

Penelitian lain mengkaji bagaimana peran pola pikir dalam menghadapi situasi stres. Pola pikir stres terkait dengan respons stres psikologis, melalui strategi koping (Horiuchi, Tsuda, Aoki, Yoneda, & Sawaguchi, 2018). Crum et al (2013) menemukan bahwa individu dengan growth mindset meningkatkan penggunaan pendekatan dan koping aktif lebih sering dan koping penghindaran atau penarikan lebih jarang. Mereka menunjukkan bahwa koping dan pola pikir stres secara independen terkait dengan respons stres psikologis.

Kembali bagaimana peneliti mengkaji berbagai metode untuk meningkatkan ketangguhan mental, ditemukan bahwa ada sangat banyak alat, teknik, dan pendekatan yang tampaknya membuat perbedaan pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Hampir semua alat dan teknik dapat dikelompokkan di bawah lima judul utama, yaitu : 1 berpikir positif; 2 visualisasi; 3 kontrol kecemasan; 4 penetapan tujuan; dan 5 kontrol perhatian. Seluruh intervensi tersebut pada intinya memiliki kesamaan: yaitu membantu kita mengendalikan pikiran kita. Pikiran bukanlah kebenaran: pikiran adalah representasi subjektif dari realitas. Pelajaran penting dalam bab ini adalah menyadari bahwa kita dapat mengontrol apa yang terjadi di otak kita (Clough & Strycharczyk, 2011). Dengan pola pikir bahwa kualitas diri dapat ditempa dan dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang lain, diharapkan ia dapat merasa lebih mampu mengendalikan hidup dan perasaan mereka (control), lebih mudah melihat tantangan sebagai suatu peluang (challenge), lebih mampu bertahan dalam mencapai tujuan (commitment), lebih percaya diri untuk mengatasi berbagai tantangan dan permasalahan (confidence), sehingga tercapailah ketangguhan mental.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan desain korelasional (Graziano & Raulin, 2014) yang akan menguji kekuatan hubungan antara variabel mindset dan ketangguhan mental. Variabel dalam penelitian ini adalah Mindset dan Ketangguhan mental. Definisi operasional dari mindset, merupakan merupakan seberapa besar keyakinan Individu mengenai kualitas diri pribadi bersifat menetap atau bisa berkembang. Sementara ketangguhan mental, mengacu pada seberapa besar kecenderungan berpikir dan berperilaku mahasiswa dalam menghadapi berbagai tantangan, stressor, dan tekanan yang ada dalam lingkungannya, terlepas dari keadaan yang ada.

Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah mahasiswa pada seluruh program studi dari seluruh universitas baik negeri maupun swasta yang mengikuti acara Webinar mengenai Mental Toughness, yang diadakan pada hari Sabtu, 13 Agustus 2022 pk.10.00-12.00. Oleh karena itu, Teknik sampling yang digunakan adalah Convenience Sampling dimana peneliti mengambil responden yang tersedia sesuai dengan konteks penelitian (Leary, 2001). Berdasarkan Teknik sampling tersebut diperoleh 215 orang peserta.

Penelitian ini akan menggunakan kuesioner Kuesioner yang disusun oleh tim peneliti seluruhnya ada 2 (dua) alat ukur, yaitu (1) Dweck Mindset Instrument (DMI) dan (2) Mental Toughness Questionnaire (MTQ18 short versions); yang merujuk seutuhnya pada kerangka teoretik yang melandasi penelitian ini.Alat ukur ini disusun dengan skala interval, meminta partisipan memilih jawaban yang paling sesuai. Kedua alat ukur ini telah diadaptasi ke bahasa Indonesia dan diuji terlebih dahulu kepada 50 orang diluar responden penelitian. Validitas Dweck Mindset Instrument berkisar antara -0244-0.742, dengan reliabilitas 0.842. Sedangkan Mental Toughness Questionnaire berkisar antara 0.347-0.735, dengan reliabilitas 0.830.

Data akan diolah dengan menggunakan teknik analisis Regression untuk mengukur besarnya setiap variabel X yaitu Mindset terhadap Ketangguhan Mental sebagai variabel Y. Sedangkan untuk mengukur gambaran faktor-faktor sosiodemografik diperlihatkan dalam bentuk distribusi frekuensi.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Tabel 1

Gambaran data sosiodemografis

Variabel

Responden (n=215)

Mean/Modus

%

Jenis kelamin

Propinsi Asal

Perguruan Tinggi

Jenjang Pendidikan

Fakultas

Status tempat tinggal

 

Perempuan

Pulau Jawa

Swasta

S1

Sosial Ekonomi

Bersama orangtua /keluarga

82.3

71.6

79.5

89.3

83.72

68.37

 

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (82.3%). Sebagian besar berasal dari Pulau jawa (71.6%). Sebagian besar responden juga merupakan mahasiswa dari universitas swasta (79.5%). Jenjang Pendidikan sebagian besar responden adalah S1 (89.3%), dengan fakultas Sosial Ekonomi (83.72%). Sebagian besar responden tinggal bersama orangtua / keluarga (68.37%).

Berdasarkan pengolahan data dengan Linear Regression untuk mengukur kontribusi variabel mindset terhadap ketangguhan mental, diperoleh hasil sebagai berikut:

 

Tabel 2

Kontribusi Simultan Kontribusi Variabel Mindset Terhadap Ketangguhan Mental

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Sig.

Kontribusi

1

0.319

0.102

0.097

9.39461

0.000

10.2%

 

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa nilai signifikansiadalah 0,000 lebih kecil dari probabilitas 0,05. Dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima, yang berarti : ada pengaruh positif, dari mindset terhadap ketangguhan mental. Kekuatan korelasi antara kedua variabel adalah 0.319 dengan kategori moderat (cukup). Kemudian, besarnya kontribusi variabel mindset terhadap ketangguhan mental adalah sebesar 10.2%, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Artinya, variabel mindset secara nyata memprediksi ketangguhan mental pada mahasiswa sebesar 10.2%.

 

Tabel 3

Coefficients

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t

Sig.

B

Std. Error

Beta

1

(Constant)

40.220

4.126

 

9.748

.000

Mindset

.326

.066

.319

4.909

.000

a. Dependent Variable: ketangguhan mental

 

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

Y = a +bX atau 40.220 +0.326X

Artinya, setiap penambahan 1 nilai pada nilai mindset, maka nilai ketangguhan mental bertambah sebesar 0.326.

Diskusi

����������� Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh hasil bahwa variabel mindset memberikan pengaruh signifikan terhadap ketangguhan mental, artinya jika mindset mahasiswa semakin mengarah pada Growth Mindset, maka ketangguhan mental mereka pun semakin tinggi. Kekuatan korelasi antara Mindset dengan ketangguhan mental tergolong cukup. Hal ini juga sejalan dengan pendapat para praktisi bahwa ketangguhan mental seseorang akan terkait denganpola pikir serta perilaku positif yang akan diadopsi oleh individu. Pola pikir positif tersebut pun ternyata memberikan timbal balik pada ketangguhan mental seseorang (Clough, 2002). Setelah pola pikir yang lebih positif tercapai, mahasiswa dapat melakukan tugas-tugas yang lebih menantang dengan keyakinan bahwa ia juga dapat berhasil mengerjakannya. Hal ini sejalan dengan pendapat tokoh-tokoh dan teori yang melandasi penelitian ini, bahwa dengan kelenturan pola pikir seseorang akan diri dan dunianya, ia dapat berpikir dan bersikap lebih fleksibel dalam menghadapi permasalahan serta tantangan. Oleh karenanya mereka pun cenderung memiliki ketangguhan mental yang lebih tinggi.

Namun, jika ditelaah lebih mendalam, mindset hanya memberikan dampak yang relatif kecil terhadap ketangguhan mental mahasiswa, yaitu sebesar 10.2%. Artinya masih banyak faktor lain diluar mindset yang lebih berpengaruh terhadap ketangguhan mental Mahasiswa. Hasil-hasil penelitian terbaru telah mengeksplorasi atribut kognitif yang relevan dalam upaya untuk menjelaskan mengapa individu yang tangguh secara mental tampaknya mengatasi lebih efektif dan cenderung berkinerja lebih baik di bawah tekanan. Kaiseler dkk. (2009) menyoroti hubungan antara ketangguhan mental dan problem-focused coping (yaitu, strategi yang digunakan untuk mengurangi tekanan dengan mengurangi atau menghilangkan stresor). Atlet yang tangguh secara mental melaporkan lebih banyak strategi penanggulangan yang berfokus pada masalah, sementara juga menggunakan lebih sedikit strategi yang berfokus pada emosi dan penghindaran dalam menanggapi stresor yang dipilih sendiri. Pada saat yang sama, ketangguhan mental dan strategi coping yang berfokus pada masalah dikaitkan dengan penilaian diri yang lebih besar terhadap efektivitas coping.

Sejalan dengan temuan ini, ketangguhan mental telah dikaitkan dengan sumber daya yang dipelajari, repertoar kemampuan yang diperoleh yang memungkinkan pemecahan masalah, koping, kontrol emosional, dan respons perilaku yang tepat (Cowden et al., 2014). Cowden dkk. (2016) menunjukkan bahwa ketangguhan mental dan ketahanan dikaitkan dengan berkurangnya stres pada sampel pemain tenis. Studi ini penting karena menyoroti kesejajaran konseptual antara kedua konsep tersebut. Meskipun penelitian di atas berfokus pada populasi atletik, coping yang berfokus pada masalah telah terbukti efektif dalam mengurangi dampak negatif dari stresor di berbagai lingkungan, termasuk tempat kerja dan di rumah (misalnya, Parkes, 1990; Stoneman dan Gavidia-Payne, 2006). Ada kemungkinan bahwa hubungan antara ketangguhan mental dan problem-focused coping dapat ditransfer ke populasi non-atletik dan karenanya mungkin memiliki implikasi yang luas di berbagai konteks. Bukti yang mengaitkan ketangguhan mental dengan coping stress dalam domain selain olahraga berasal dari Gerber dkk. (2015a) yang menunjukkan bahwa pada siswa kejuruan, ketangguhan mental tidak hanya terkait dengan lebih sedikit stres tetapi juga lebih sedikit indeks kelelahan, termasuk kelelahan fisik, kelelahan kognitif, dan kelelahan emosional.

Ketangguhan mental berhubungan dengan beberapa ciri kepribadian dan atribut psikologis lainnya yang merupakan prediktor kinerja yang mapan di berbagai situasi. Meneliti hubungan antara ketangguhan mental, kepribadian, dan atribut psikologis lainnya dapat berkontribusi pada pemahaman kita tentang bagaimana ketangguhan mental terkait dengan hasil yang berhubungan dengan prestasi. Ketangguhan mental kemungkinan besar memprediksi hasil kinerja yang menguntungkan dengan cara-cara yang mempromosikan motivasi, efikasi diri, dan perjuangan di berbagai situasi.

Hubungan positif antara ketangguhan mental dan aspek motivasi memiliki konsekuensi afektif yang penting. Gucciardi dan Jones (2012) menunjukkan bahwa orang yang tangguh secara mental tidak hanya memiliki aset perkembangan yang lebih besar, yang merupakan indikator berkembang, tetapi juga melaporkan frekuensi yang lebih rendah dari keadaan emosi negatif dibandingkan dengan orang dengan tingkat ketangguhan mental yang lebih rendah. Demikian pula, Schaefer dkk. (2016) menunjukkan bahwa orang yang melaporkan tingkat motivasi yang lebih tinggi memiliki tingkat kecemasan kompetisi yang lebih rendah, sebuah asosiasi yang dimediasi oleh ketangguhan mental. Studi-studi ini menunjukkan bahwa ketangguhan mental dan motivasi dapat bekerja sama untuk berkontribusi pada stabilitas emosional yang lebih besar dan hasil positif dalam situasi yang menantang.

Meggs dkk. (2014) mengindikasikan bahwa beberapa karakteristik penting dari individu yang tangguh secara mental, termasuk motivasi dan ketahanan emosional, berasal dari perbedaan dalam pengorganisasian diri evaluatif (yaitu, pengorganisasian keyakinan diri positif dan negatif). Penelitian lain berfokus pada flow sebagai penjelasan untuk hubungan ketangguhan mental dengan tingkat kinerja yang tinggi (Crust dan Swann, 2013).

Nicholls dkk. (2008) mengeksplorasi hubungan antara ketangguhan mental, optimisme, dan coping. mereka menemukan bahwa ketangguhan mental secara positif terkait dengan optimisme, dan secara negatif terkait dengan pesimisme. Mengingat bahwa optimisme telah dikaitkan dengan upaya berkelanjutan untuk mencapai tujuan, penulis menyarankan bahwa interaksi antara ketangguhan mental dan optimisme dapat berkontribusi pada pencapaian yang tinggi (Nicholls et al., 2008).

Ketangguhan mental seaeorang merupakan hasil sebuah proses panjang yang merupakan sinergi dari berbagai pihak (Declan, 2008). Temuan menunjukkan bahwa pengembangan ketangguhan mental adalah proses jangka panjang yang mencakup banyak mekanisme dasar yang beroperasi secara gabungan, bukan independen. Secara umum, mekanisme dasar yang dirasakan ini terkait dengan banyak fitur yang terkait dengan iklim motivasi (misalnya kenikmatan, penguasaan), sejumlah individu (yaitu pelatih, teman sebaya, orang tua, kakek-nenek, saudara kandung, atlet senior, psikolog olahraga, rekan satu tim), pengalaman di dalam dan di luar olahraga, keterampilan dan strategi psikologis, dan keinginan yang tak pernah puas dan motif yang terinternalisasi untuk berhasil. Dilaporkan juga bahwa ketika ketangguhan mental telah dikembangkan, tiga mekanisme dasar yang dirasakan diperlukan untuk mempertahankan konstruksi ini: keinginan dan motivasi untuk berhasil yang tidak pernah terpuaskan dan terinternalisasi, jaringan pendukung yang mencakup personel olahraga dan non-olahraga, dan penggunaan keterampilan psikologis dasar dan lanjutan yang efektif.

Singkatnya, ketangguhan mental berhubungan dengan beberapa prediktor kinerja yang sudah mapan seperti konsep diri positif, harga diri, dan efikasi diri. Korelasi ini mendorong adaptasi positif dan perjuangan dalam lingkungan kinerja dan dapat membentuk bagian dari jalur tidak langsung yang menghubungkan ketangguhan mental dengan hasil yang berhubungan dengan prestasi. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa hasil psikologis dan perilaku positif dapat dikembangkan dengan mempromosikan ketangguhan mental. Dengan demikian, penting untuk mengeksplorasi lebih lanjut faktor-faktor yang berkontribusi terhadap variasi individu dalam ketangguhan mental pada populasi umum (Lin, et al, 2017).

 

Kesimpulan

����������� Berdasarkan hasil pengolahan data diperolehhasil bahwa variabel mindset memberikan pengaruh signifikan terhadap ketangguhan mental, artinya jika mindset mahasiswa semakin mengarah pada Growth Mindset, maka ketangguhan mental mereka pun semakin tinggi. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, mindset hanya memberikan dampak yang relatif kecil terhadap ketangguhan mental Mahasiswa, yaitu sebesar 10.2%. Artinya masih banyak faktor lain diluar mindset yang lebih berpengaruh terhadap ketangguhan mental Mahasiswa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anderman, E. M. (2012). Adolescence. In K. Harris, S. Graham, & T. Urdan, APA handbook of educational psychology. Washington, DC: American Psychological Association.

 

Anderman, E. M., Gray, D. L., & Chang, Y. (2013). Motivation and classroom learning. In I.

 

B. Weiner, & others (eds), Handbook of psychology (2nd ed., vol.7). New York: Wiley.

 

Arima, M., Takamiya, Y., Furuta, A., Siriratsivawong, K., Tsuchiya, S., & Izumi, M. (2020). Factors Associated With the Mental Health Status of Medical Students During the COVID-19 Pandemic : A Cross-Sectional Study in Japan. British Medical Journal vol 10, 1-7.

 

Brennan, K. A., Clark, C. L., & Shaver, P. R. (1998). Self-report measurement of adult attachment: An integrative overview. In J. A. Simpson, & W. S. Rholes, Attachment theory and close relationships (pp. 46-76). The Guilford Press.

 

Bull, S., Shambrook, C., James, W., & Brooks, J. (2005). Towards an understanding of mental toughness in elite English cricketers. Journal of Applied Sport Psychology, 17, 209-27.

 

Clough, P., & Strycharczyk, D. (2011). Developing Mental Toughness Improving performance, wellbeing and positive behaviour in others. 120 Pentonville Road London N1 9JN UK: Kogan Page Limited.

 

Clough, P., Earle, K., & Sewell, D. (2002). Mental toughness: the concept and its measurement , in (ed) I Cockerill. Solutions in Sport Psychology, 32-43.

 

Cowden, R. G., Fuller, D. K., and Anshel, M. H. (2014). Psychological predictors of mental toughness in elite tennis: an exploratory study in learned resourcefulness and competitive trait anxiety. Percept. Mot. Skills 119, 661�678. doi: 10.2466/30. pms.119c27z0

 

Cowden, R. G., Meyer-Weitz, A., and Oppong Asante, K. (2016). Mental toughness in competitive tennis: relationships with resilience and stress. Front. Psychol. 7:320. doi: 10.3389/fpsyg.2016.00320

 

Crum, A. J., Salovey, P., & Achor, S. (2013). Rethinking stress: The role of mindsets in determining the stress response. Journal of Personality and Social Psychology, 104(4), 716�733.

 

Crust, L., & Azadi, K. (2010). Mental toughness and athletes' use of psychological strategies. European Journal of Sport Science, 10:1, 43-51.

 

Crust, L., & Clough, P. J. (2011). Developing mental toughness: from research to practice.Journal of Sport Psychology in Action, 2(1), 21-32.

 

Crust, L., and Swann, C. (2013). The relationship between mental toughness and dispositional flow. Eur. J. Sport Sci. 13, 215�220. doi: 10.1080/17461391.2011.635698

 

Declan Connaughton, Ross Wadey, Sheldon Hanton & Graham Jones (2008) The development and maintenance of mental toughness: Perceptions of elite performers, Journal of Sports Sciences, 26:1, 83-95,

 

Dienstbier, R. A. (1991). Behavioral correlates of sympathoadrenal reactivity: The toughness model. Medicine and Science in Sports and Exercise, 23 (7), 846-52.

 

Dweck, C. (2000). Self theories : Their role in motivation, personality, and development psychology. New York: Taylor and Francis Group.

 

Dweck, C. (2006). Mindset : The new psychology of success. New York: Random House. Dweck, C. (2017). Mindset: Changing the Way You Think to Fulfil Your Potential. (1st ed.). New York: Robinson Ltd.

 

Dweck, C., & Leggett, E. L. (1988). A social-cognitive approach to motivation and personality. Psychological Review, 95(2), 256-273.

 

Dyer, J. G., & McGuinness, T. M. (1996). Resilience: analysis of the concept. Archives of Psychiatric Nursing, X (5) (October), 276-82.

 

Elliot, A., & Dweck, C. (2005). Handbook of competence and motivation. New York: Guilford Press.

 

Gerber, M., Feldmeth, A. K., Lang, C., Brand, S., Elliot, C., Holsboer-Trachsler, E.,et al. (2015a). The relationship between mental toughness, stress, and burnout among adolescents: a longitudinal study with Swiss vocational students. Psychol.Rep. 117, 703�723. doi: 10.2466/14.02.pr0.117c29z6

 

Gerber, M., & Haghighi, M. (2019). Does Mental Toughness Buffer the Relationship Between Perceived Stress , Depression , Burnout, Anxiety, and Sleep. International Journal of Stress Management, 26(3), 297-305.

 

Gucciardi, D., Gordon, S., & Dimmock, J. (2009b). Evaluation of a mental toughness training programme. Journal of Applied Sport, vol 21, 307�23.

 

Gucciardi, D. F., and Jones, M. (2012). Beyond optimal performance:mental toughness profiles and indicators of developmental success in adolescent cricketers. J. Sport Exerc. Psychol. 34, 16�36. doi: 10.1123/jsep.34.1.16

 

Horiuchi, S., Tsuda, A., Aoki, S., Yoneda, K., & Sawaguchi, Y. (2018). Coping as a mediator of the relationship between stress mindset and psychological stress response: a pilot study. Psychology Research and Behavior Management, 1(11), 47-54.

 

Horsburgh, V., Schermer, J., Veselka, L., & Vernon, P. (2009). A behavioral genetic study of mental toughness and personality. Personality and Individual Differences, 46, 100- 105.

 

Kaiseler, M., Polman, R., & Nicholls, A. (2009). Mental toughness, stress, stress appraisal, coping and coping effectiveness in sport. Personality and Individual Differences, 47, 728-33.

 

Kobasa, S. C. (1979). Stressful life events, personality, and health: an inquiry into hardiness. Journal of Personality and Social Psychology, 37 (1), 1-11.

 

Lai, A., Kwan, Y., Lee, L., Wang, M. P., Feng, Y., Lai, T., . . . Lam, T. H. (2020). Mental Health Impacts of the COVID-19 Pandemic on International University Students, Related Stressors, and Coping Strategies. Frontiers in Psychiatry, 11.

 

Lin, Y., Mutz, J., Clough, P. J., & Papageorgiou, K. A. (2017). Mental Toughness and Individual Differences in Learning, Educational and Work Performance, Psychological Well-Being, and Personality: A Systematic Review. Frontiers in Psychology, 8, 1-15.

 

McGeown, S. P., Clair-thompson, H. S., & Clough, P. (2015). The Study of Non-Cognitive Attributes in Education : Proposing The Mental Toughness Framework. Educational Review, 37-41.

 

Meggs, J., Ditzfeld, C., and Golby, J. (2014). Self-concept organisation and mental toughness in sport. J. Sports Sci. 32, 101�109. doi: 10.1080/02640414.2013.812230

 

Nicholls, A., Polman, R., Levy, A., & Backhouse, S. (2008). Mental toughness, optimism, and coping. Personality and Individual Differences, vol 44, 1182�92.

 

Parkes, K. R. (1990). Coping, negative affectivity, and the work environment: additive and interactive predictors of mental health. J. Appl. Psychol. 75, 399�409. doi: 10.1037/0021-9010.75.4.399

 

Santrock, J. W. (2013). Adolescence. Fifteenth edition. New York: McGraw-Hill Education.

 

Schwartz, D., Kelly, B. M., & Duong, M. T. (2013). Do academically-engaged adolescents experience social sanctions from the peer group? Journal of Youth and Adolescence, 42(9), 1319-1330.

 

Scott, M., & Ghinea, G. (2014). Measuring enrichment: the assembly and validation of an instrument to assess student self-beliefs in CS1. ICER �14: Proceedings of the Tenth Annual Conference on International Computing Education Research, (pp. 123�130).

 

Schaefer, J., Vella, S. A., Allen, M. S., and Magee, C. A. (2016). Competition anxiety, motivation, and mental toughness in golf. J. Appl. Sport Psychol. 28, 309�320.doi: 10.1080/10413200.2016.1162219

 

Sheard, M. (2009, 2010). Mental Toughness: The mindset behind sporting achievement. London: Routledge.

 

Sheard, M., & Golby, J. (2006). Effect of psychological skills training program on swimming performance. International Journal of Sport and Exercise International Journal of Sport and Exercise Vol 2, 7-24.

 

Stoneman, Z., and Gavidia-Payne, S. (2006). Marital adjustment in families of young children with disabilities: associations with daily hassles and problem-focused coping. Am. J. Ment. Retard. 111, 1�14. doi: 10.1352/0895-8017(2006)111[1:MAIFOY]2.0.CO;2

 

Weiner, B. (2005). Motivation from an attributional perspective and the social psychology. In Handbook of Competence and Motivation. New York: Guilford Press.

Copyright holder:

Ira Adelina, Priska Analya, Yulita Anggelia (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: