Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022���������������������
PERAN
MINDSET TERHADAP KETANGGUHAN MENTAL MAHASISWA
Ira Adelina1*, Priska
Analya2, Yulita Anggelia3
1*,2,3Universitas
Kristen Maranatha, Bandung, Indonesia
Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan mindset terhadap ketangguhan
mental mahasiswa. Mereka yang memiliki growth mindset percaya bahwa atribut manusia dapat ditempa dan karenanya dapat
dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang
lain. Dengan pola pikir bahwa kualitas diri dapat ditempa dan dikembangkan
melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang lain,
diharapkan seseorang lebih mampu menghadapi permasalahan dengan strategi
penyelesaian yang lebih efektif, sehingga tercapailah ketangguhan mental. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif tipe survei kepada
mahasiswa di Kota Bandung. Data dianalisis dengan regresi linear sederhana guna
memperoleh gambaran kekuatan pengaruh mindset terhadap ketangguhan mental mahasiswa secara empirik. Berdasarkan
hasil pengolahan data diperoleh hasil bahwa variabel Mindset memberikan
pengaruh signifikan (sig=.000) terhadap Mental Toughness sebesar 10.2%. Artinya
walaupun berpengaruh secara signifikan, masih banyak faktor lain diluar mindset yang dapat memengaruhi
ketangguhan mental Mahasiswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa
ketangguhan mental seaeorang merupakan hasil sebuah proses panjang yang
merupakan sinergi dari berbagai pihak terkait dengan faktor motivasional,
sejumlah individu (yaitu pelatih / guru, teman sebaya, keluarga, rekan senior,
psikolog), pengalaman, keterampilan dan strategi psikologis, dan keinginan yang
tak pernah puas dan motif yang terinternalisasi untuk berhasil. (Declan, 2008).
Kata kunci: mindset, ketangguhan mental,
mahasiswa.
Abstract
This
study aims to determine the role of mindset on students' mental toughness.
Those who have a growth mindset believe that human attributes are malleable and
therefore can be developed through hard work, good strategies, and support from
others. With the mindset that self-quality can be forged and developed through
hard work, good strategies, and support from others, it is expected that a
person is better able to face problems with more effective resolution
strategies, thus achieving mental toughness. The research method used is a
quantitative method of survey type to university students in Bandung City. The
data were analyzed by simple linear regression to obtain an overview of the
strength of the influence of growth mindset on the mental toughness of students
empirically. Based on the results of data processing, it was found that the
Mindset variable had a significant effect (sig = .000) on Mental Toughness by
10.2%. This means that even though it has a significant effect, there are still
many other factors outside the mindset that can affect students' mental
toughness. This is in line with the results of research that a person's mental
toughness is the result of a long process which is a synergy of various parties
related to motivational factors, a number of individuals (i.e. coaches /
teachers, peers, family, senior colleagues, psychologists), experience,
psychological skills and strategies, and an insatiable desire and internalized
motive to succeed. (Declan, 2008).
Keywords: mindset, mental toughness, university students.
Pendahuluan
Mahasiswa yang berada dalam taraf perkembangan
remaja memiliki tugas perkembangan yang tidak mudah. Menurut (Santrock, 2013),
tahapan remaja merupakan masa transisi dari tahap kanak-kanak menuju tahap
dewasa. Tahap perkembangan ini meliputi perubahan biologis, kognitif, dan
sosio-emosional. Sevara biologis, mahasiswa mengalami perubahan yang berkaitan
dengan hormone dan kondisi fisiknya. Secara kognitif, mahasiswa mulai mengalami
perubahan cara berpikir yang menjadi lebih abstrak, idealis, logis, dan
bertanggung jawab. Secara sosio-emosional, mahasiswa mengalami perubahan emosi
dan kepribadian dalam konteks hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya.
Selain itu, dalam masa pandemi COVID-19,
mahasiswa mengalami peningkatan stres akibat berbagai perubahan yang terjadi,
dalam kaitannya dengan akademik, psikososial, maupun sosioekonomi (Arima, et
al., 2020). Mahasiswa terbukti mengalami tingkat stres yang tinggi akibat
berbagai perubahan yang terjadi, khususnya terkait metode pembelajaran daring
selama pandemi COVID-19 (Arima, et al., 2020). Beberapa stressor lainnya
merupakan kekhawatiran akan infeksi virus COVID-19, paparan media yang
membombardir, masalah finansial, serta kurangnya interaksi dan dukungan sosial
(Lai, et al., 2020).
Penting bagi mahasiswa untuk mengatasi berbagai
stressor atau tekanan yang ada, agar terhindar dari berbagai dampak negatif
dari stres tinggi, terkait dengan kesehatan mentalnya, seperti depresi,
kecemasan, masalah tidur, dan lain-lain (Gerber & Haghighi, 2019). Hal
tersebut menuntut sumber daya yang lebih besar bagi mahasiswa untuk mengatasi
berbagai tuntutan yang ada dalam kehidupannya, Salah satu faktor perbedaan
individual yang dapat membantu individu untuk bertahan dalam dan mengatasi
situasi yang penuh tekanan adalah mental toughness atau ketangguhan mental.
Ketangguhan mental (mental toughness) adalah kemampuan individu untuk melawan
stresor yang biasanya menyebabkan penurunan tingkat kinerja (Clough &
Strycharczyk, 2011).
Definisi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan
ketangguhan mental berasal dari model teori �4C� dari (Clough, Earle, &
Sewell, 2002); yang menjelaskan bahwa ketangguhan mental merupakan konstruk
psikologis yang sebagian besar dapat menentukan bagaimana individu dapat secara
efektif menghadapi tantangan, stressor, dan tekanan, terlepas dari keadaan yang
ada (Clough & Strycharczyk, 2011). Hal ini dikarenakan susunan empat
komponen (4C) dari ketangguhan mental, yaitu control, challenge, commitment,
dan confidence.
Keempat komponen tersebut dianggap sebagai
cerminan trait psikologis positif (McGeown, Clair-thompson, & Clough, 2015)
yang menyangkut kecenderungan berpikir dan berperilaku dari individu dalam
merespon berbagai situasi yang menantang atau stressor yang ada di sekitarnya;
sehingga memungkinkan individu untuk berjuang dalam situasi yang menantang dan
tetap relatif tidak terpengaruh oleh berbagai stressor (Lin, Mutz, Clough,
& Papageorgiou, 2017). Lebih lanjut, Gerber (Gerber, et al., 2013) (Gerber
& Haghighi, 2019) menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena,
secara teoretis, komponen-komponen dari ketangguhan mental mencerminkan
karakteristik yang bertentangan dengan penilaian kognitif pada proses munculnya
stres.
Komponen control adalah sejauh mana
seseorang merasa mereka mengendalikan hidup mereka. Beberapa individu percaya
bahwa mereka dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap lingkungan
kerja mereka, bahwa mereka dapat membuat perbedaan dan mengubah banyak hal.
Sebaliknya, orang lain merasa bahwa hasil dari peristiwa berada di luar kendali
pribadi mereka dan mereka tidak dapat memberikan pengaruh apa pun atas diri
mereka sendiri atau orang lain (Clough & Strycharczyk, 2011). Mahasiswa
dengan komponen control yang tinggi cenderung meyakini bahwa ia memiliki
pengaruh atas berbagai aspek dalam dirinya, serta atas berbagai kejadian dalam
perkuliahannya.
Komponen Control dibagi menjadi dua
subkomponen, yaitu life control dan emotion control (Clough & Strycharczyk,
2011). Mahasiswa dengan life control yang tinggi akan lebih cenderung percaya
bahwa mereka mengendalikan hidup mereka. Mereka merasa bahwa rencana mereka
tidak akan digagalkan dan mereka dapat membuat perbedaan. Selain itu, mahasiswa
dengan life control yang tinggi memiliki kemampuan untuk mengatur waktu
dengan lebih baik, dapat mengatur dan memprioritaskan tugas yang ada.
Selanjutnya, mahasiswa dengan emotion control yang tinggi dapat
mengontrol emosinya dan sejauh mana kondisi emosionalnya akan ditampilkan pada
orang lain. Mahasiswa dengan emotion control yang tinggi lebih mampu
mengendalikan emosi mereka. Mereka mampu mengendalikan kecemasan dan cenderung
tidak mengungkapkan keadaan emosional mereka kepada orang lain.
Komponen kedua adalah Challenge.
Individu berbeda dalam pendekatan mereka terhadap tantangan. Beberapa
menganggap tantangan dan masalah sebagai peluang, sedangkan yang lain mungkin lebih cenderung
menganggap situasi yang menantang sebagai ancaman. Subskala ini mengukur sejauh
mana seorang individu cenderung melihat tantangan sebagai peluang (Clough &
Strycharczyk, 2011). Pada mahasiswa dengan komponen challenge yang tinggi,
tantangan yang ada akan cenderung dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk
mengembangkan diri. Cara mahasiswa memandang sebuah challenge atau tantangan
merupakan kunci dari cara individu menghadapi dan mengatasi tantangan tersebut.
Mahasiswa dengan komponen challenge yang tinggi akan melihat perubahan dan
tuntutan akademik yang dialami dalam perkuliahan secara positif, yaitu sebagai
kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru dan membuktikan dirinya pada orang
lain, maupun pada dirinya sendiri. Sedangkan mahasiswa dengan Challenge rendah
mungkin menghindari situasi yang menantang karena takut gagal atau keengganan
untuk berusaha.
Komponen ketiga, Commitment mengacu pada
ketahanan seseorang terhadap tujuan sehingga mampu menyelesaikan suatu tugas
hingga selesai (Clough & Strycharczyk, 2011). Mahasiswa dengan commitment
yang tinggi cenderung dapat menentukan suatu goal atau target dalam
melaksanakan berbagai tuntutan. Mahasiswa akan memandang bahwa goal atau target
membantunya untuk melihat kesuksesan yang akan dicapai, sehingga mahasiswa
menjadi lebih termotivasi untuk mencapai goal atau target tersebut, sekalipun
menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Sebaliknya, mahasiswa dengan Commitment
rendah mungkin mudah teralihkan, bosan atau mengalihkan perhatian mereka ke
tujuan lain.
Komponen keempat, Confidence adalah keyakinan
diri untuk menyelesaikan tugas dengan sukses (Clough & Strycharczyk, 2011).
Confidence yang tinggi pada mahasiswa ditunjukkan dalam keyakinan diri
mahasiswa yang tinggi juga untuk dapat menyelesaikan berbagai tugas yang
menantang dalam perkuliahannya, termasuk menguasai materi perkuliahan untuk
ujian, serta menghadapi perubahan lingkungan akademik dan sosial. Keyakinan
diri tersebut juga memungkinkan mahasiswa untuk dengan tenang menerima bahwa
kemunduran atau kegagalan dalam perkuliahannya merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari. Respon yang umumnya mengikuti adalah bangkit dari kemunduran yang
terjadi dan melanjutkan usahanya dengan tekad yang lebih kuat lagi. Confidence
pada mahasiswa terbagi menjadi dua subkomponen, yaitu confidence in ability dan
interpersonal confidence.
Mahasiswa dengan tingkat confidence in ability
yang tinggi cenderung mempercayai bahwa dirinya memiliki perangkat intelektual
untuk melakukan dan menyelesaikan tugas- tugas yang sulit terkait tuntutan
akademik dan transisi dalam lingkungan perkuliahan, sekalipun yang
berkemungkinan gagal. Mahasiswa dengan tingkat interpersonal confidence yang
tinggi cenderung memiliki keyakinan diri untuk menghadapi tantangan oral
(misalnya kritik dan komentar buruk) dalam menjalani proses transisi dalam
lingkungan perkuliahan, juga yang mungkin menghalangi mahasiswa dalam memenuhi
tuntutan akademik perkuliahan. Mahasiswa juga cenderung lebih asertif dan
jarang sekali merasa terintimidasi dalam situasi sosial. Selain itu, mahasiswa
juga dapat lebih mampu untuk mendukung dirinya sendiri dalam sebuah kelompok.
Keyakinan tersebut dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang menghadapi lingkungan
sosial baru dalam perkuliahan.
Secara keseluruhan, individu dengan mental yang
tangguh (mentally tough) dicirikan oleh kecenderungan yang kuat untuk memandang
lingkungan mereka terkendali (controllable), memandang dirinya mampu dan
bertanggungjawab, tetap berkomitmen pada goal atau target yang telah ditentukan
sekalipun dalam situasi yang sulit, dan memandang masalah sebagai tantangan
yang wajar dan dapat mendukung pertumbuhan personal ( (Clough, Earle, &
Sewell, 2002), dalam (Gerber, et al., 2013)).
Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa individu
dengan mental yang lebih tangguh (mentally tough) dapat menghadapi tekanan
tinggi dalam lingkungan dengan lebih baik, sehingga mereka cenderung lebih
berhasil dalam berbagai sektor, seperti sekolah atau pendidikan, kompetisi
olahraga, pekerjaan, dan lainnya. Perguruan tinggi dapat dicirikan sebagai
tempat di mana beragam kelompok pelajar dari berbagai usia dari berbagai latar
belakang (seringkali non-tradisional) berkumpul untuk mengejar berbagai program
studi. Kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan retensi dan pencapaian siswa
mengakui bahwa program perguruan tinggi memiliki nilai tersendiri dan merupakan
kunci untuk studi lebih lanjut.
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa
ketangguhan mental dapat membantu individu untuk lebih efektif dalam mengatasi
transisi besar dalam hidup mereka, seperti transisi menuju jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, transisi dari dunia kerja menuju dunia kerja (Clough &
Strycharczyk, 2011). Sebuah penelitian di Belanda (Clough & Strycharczyk,
2011) menunjukkan bahwa siswa dengan mental yang lebih tangguh dapat melewati
proses transisi tersebut dengan lebih efektif, serta memiliki performa yang
lebih baik dalam ujian. Terlebih lagi dalam masa pandemi COVID-19 yang membuat
mahasiswa harus menghadapi berbagai perubahan situasi dalam hidupnya.
Seringkali ketangguhan mental digambarkan
sebagai mindset. Namun sebenarnya ketangguhan mental jauh lebih kompleks dari
itu. Hasil penelitian memang menunjukkan bahwa intervensi kognitif mungkin
dapat mempengaruhi ketangguhan mental seseorang. (Crust & Azadi, 2010)
menyatakan bahwa individu yang tangguh secara mental lebih banyak menggunakan
teknik dan keterampilan psikologis. Demikian pula (Nicholls, Polman, Levy,
& Backhouse, 2008) menemukan bahwa ketangguhan mental secara signifikan
berkorelasi positif dengan problem focus coping strategy dan secara signifikan
berkorelasi negatif dengan emotional focus coping.
Sheard (2009, 2010) melihat ketangguhan mental
dapat ditingkatkan dengan mengubah pola pikir individu melalui pelatihan
keterampilan psikologis. Memang terdapat beberapa bukti bahwa ketangguhan
mental atau setidaknya komponen ketangguhan mental dapat dipengaruhi melalui
intervensi pelatihan keterampilan mental yang sistematis ( (Sheard & Golby,
2006); (Gucciardi, Gordon, & Dimmock, 2009b)). Banyak penelitian meneliti
bagaimana pola pikir (mindset) seseorang mempengaruhi cara individu menafsirkan
dan memecahkan masalah.
Pola pikir (mindset) didefinisikan sebagai
kerangka mental atau lensa yang secara selektif mengatur dan mengkodekan
informasi, sehingga mengarahkan individu ke arah cara yang unik untuk memahami
pengalaman dan membimbing seseorang menuju tindakan dan tanggapan yang sesuai (Crum,
Salovey, & Achor, 2013). Penelitian tentang teori implisit membedakan
antara dua keyakinan atau pola pikir utama: incremental or growth mindset atau entity
or fixed mindset ( (Dweck, 2000); (Dweck & Leggett, 1988)). Mereka yang
memiliki growth mindset meyakini bahwa atribut dan kualitas manusia dapat
ditempa dan karenanya dapat dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang
baik, dan dukungan dari orang lain. Mereka memiliki gambaran akan diri dan
dunia yang dinamis, yang mampu berkembang. Keyakinan ini membantu kita bergerak
maju dengan tekad, mendorong kita untuk mencari cara untuk memperbaiki
kekurangan kita dan untuk memecahkan masalah kita. Sebaliknya, keyakinan lain
menggambarkan diri dan dunia yang lebih statis dengan kualitas yang melekat dan
tetap. Mereka yang memiliki fixed mindset meyakini bahwa atribut dan kualitas
manusia bersifat menetap dan karena itu tidak dapat dikembangkan, terlepas dari
upaya yang dikeluarkan atau strategi yang digunakan.
Banyak penelitian meneliti bagaimana pola pikir
seseorang mempengaruhi cara dia menafsirkan dan memecahkan masalah. Ketika
menghadapi masalah yang menantang, orang yang percaya bahwa upaya mendorong
kecerdasan cenderung melakukan lebih baik daripada orang yang percaya bahwa
kecerdasan adalah kualitas tetap yang tidak dapat mereka ubah. Individu dengan fixed
mindset menghindari tantangan, mudah menyerah, melihat usaha sebagai sia-sia
atau lebih disesalkan, mengabaikan masukan negatif yang berharga, dan merasa
dilemahkan oleh orang lain yang berhasil. Sementara itu, orang-orang dengan growth
mindset menerima tantangan, bertahan meskipun mengalami kemunduran, melihat
upaya penting untuk mendapatkan penguasaan, belajar dari kesalahan dan kritik,
dan menemukan pelajaran dan motivasi dalam kesuksesan orang lain. Orang dengan
growth mindset percaya bahwa mereka dapat mengembangkan kemampuannya melalui
kerja keras, ketekunan, dan dedikasi (Dweck, 2006); (Elliot & Dweck, 2005);
(Weiner, 2005).
Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang sangat
buruk dalam memperkirakan kemampuan mereka. Tetapi orang-orang dengan fixed
mindset yang menunjukkan ketidaktepatan lebih tinggi. Orang-orang dengan growth
mindset sangat akurat (Dweck, 2017). Mereka yang memiliki growth mindset,
percaya bahwa mereka dapat mengembangkan diri, terbuka terhadap informasi
akurat tentang kemampuan mereka saat ini. Terlebih lagi, jika mereka ingin
belajar, mereka membutuhkan informasi yang tepat tentang kemampuan mereka saat
ini untuk belajar secara efektif. Namun, jika semuanya adalah kabar baik atau
kabar buruk tentang kualitas mereka yang berharga �seperti halnya dengan
orang-orang dengan pola pikir tetap�distorsi hampir pasti masuk ke dalam
gambar. Beberapa hasil diperbesar, yang lain diabaikan, dan sebelum mereka
menyadarinya, mereka menjadi tidak realistis.
Penelitian lain mengkaji bagaimana peran pola
pikir dalam menghadapi situasi stres. Pola pikir stres terkait dengan respons
stres psikologis, melalui strategi koping (Horiuchi, Tsuda, Aoki, Yoneda, &
Sawaguchi, 2018). Crum et al (2013) menemukan bahwa individu dengan growth
mindset meningkatkan penggunaan pendekatan dan koping aktif lebih sering dan
koping penghindaran atau penarikan lebih jarang. Mereka menunjukkan bahwa
koping dan pola pikir stres secara independen terkait dengan respons stres
psikologis.
Kembali bagaimana peneliti mengkaji berbagai
metode untuk meningkatkan ketangguhan mental, ditemukan bahwa ada sangat banyak
alat, teknik, dan pendekatan yang tampaknya membuat perbedaan pada tingkat yang
lebih besar atau lebih kecil. Hampir semua alat dan teknik dapat dikelompokkan
di bawah lima judul utama, yaitu : 1 berpikir positif; 2 visualisasi; 3 kontrol
kecemasan; 4 penetapan tujuan; dan 5 kontrol perhatian. Seluruh intervensi
tersebut pada intinya memiliki kesamaan: yaitu membantu kita mengendalikan
pikiran kita. Pikiran bukanlah kebenaran: pikiran adalah representasi subjektif
dari realitas. Pelajaran penting dalam bab ini adalah menyadari bahwa kita
dapat mengontrol apa yang terjadi di otak kita (Clough & Strycharczyk,
2011). Dengan pola pikir bahwa kualitas diri dapat ditempa dan dikembangkan
melalui kerja keras, strategi yang baik, dan dukungan dari orang lain,
diharapkan ia dapat merasa lebih mampu mengendalikan hidup dan perasaan mereka
(control), lebih mudah melihat tantangan sebagai suatu peluang (challenge),
lebih mampu bertahan dalam mencapai tujuan (commitment), lebih percaya
diri untuk mengatasi berbagai tantangan dan permasalahan (confidence),
sehingga tercapailah ketangguhan mental.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan
desain korelasional (Graziano & Raulin, 2014) yang akan menguji kekuatan
hubungan antara variabel mindset dan ketangguhan mental. Variabel dalam
penelitian ini adalah Mindset dan Ketangguhan mental. Definisi
operasional dari mindset, merupakan merupakan seberapa besar keyakinan
Individu mengenai kualitas diri pribadi bersifat menetap atau bisa berkembang. Sementara ketangguhan mental, mengacu pada seberapa besar
kecenderungan berpikir dan berperilaku mahasiswa dalam menghadapi berbagai
tantangan, stressor, dan tekanan yang ada dalam lingkungannya, terlepas dari
keadaan yang ada.�
Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah
mahasiswa pada seluruh program studi dari seluruh universitas baik negeri
maupun swasta yang mengikuti acara Webinar mengenai Mental Toughness, yang
diadakan pada hari Sabtu, 13 Agustus 2022 pk.10.00-12.00. Oleh karena itu,
Teknik sampling yang digunakan adalah Convenience Sampling dimana peneliti
mengambil responden yang tersedia sesuai dengan konteks penelitian (Leary,
2001). Berdasarkan Teknik sampling tersebut diperoleh 215 orang peserta.
Penelitian ini akan menggunakan kuesioner
Kuesioner yang disusun oleh tim peneliti seluruhnya ada 2 (dua) alat ukur,
yaitu (1) Dweck Mindset Instrument (DMI) dan (2) Mental Toughness Questionnaire
(MTQ18 short versions); yang merujuk seutuhnya pada kerangka teoretik yang
melandasi penelitian ini.� Alat ukur ini
disusun dengan skala interval, meminta partisipan memilih jawaban yang paling
sesuai. Kedua alat ukur ini telah diadaptasi ke bahasa Indonesia dan diuji
terlebih dahulu kepada 50 orang diluar responden penelitian. Validitas Dweck
Mindset Instrument berkisar antara -0244-0.742, dengan reliabilitas 0.842.
Sedangkan Mental Toughness Questionnaire berkisar antara 0.347-0.735, dengan
reliabilitas 0.830.
Data akan diolah dengan menggunakan teknik
analisis Regression untuk mengukur besarnya setiap variabel X yaitu Mindset
terhadap Ketangguhan Mental sebagai variabel Y. Sedangkan untuk mengukur
gambaran faktor-faktor sosiodemografik diperlihatkan dalam bentuk distribusi
frekuensi.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Gambaran data sosiodemografis
Variabel |
Responden (n=215) |
|
Mean/Modus |
% |
|
Jenis kelamin Propinsi Asal Perguruan Tinggi Jenjang Pendidikan Fakultas Status tempat tinggal |
Perempuan Pulau Jawa Swasta S1 Sosial Ekonomi Bersama orangtua /keluarga |
82.3 71.6 79.5 89.3 83.72 68.37 |
Tabel 1 menunjukkan bahwa
sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (82.3%). Sebagian besar
berasal dari Pulau jawa (71.6%). Sebagian besar responden juga merupakan
mahasiswa dari universitas swasta (79.5%). Jenjang Pendidikan sebagian besar
responden adalah S1 (89.3%), dengan fakultas Sosial Ekonomi (83.72%). Sebagian
besar responden tinggal bersama orangtua / keluarga (68.37%).
Berdasarkan
pengolahan data dengan Linear
Regression
untuk mengukur kontribusi variabel mindset terhadap ketangguhan mental,
diperoleh hasil sebagai berikut:
�
Tabel
2
Kontribusi
Simultan Kontribusi Variabel Mindset
Terhadap Ketangguhan Mental
Model |
R |
R Square |
Adjusted
R Square |
Std.
Error of the Estimate |
Sig. |
Kontribusi |
1 |
0.319 |
0.102 |
0.097 |
9.39461 |
0.000 |
10.2% |
Berdasarkan
tabel 2 diketahui bahwa nilai signifikansi�
adalah 0,000 lebih kecil dari probabilitas 0,05. Dapat disimpulkan bahwa
H0 ditolak dan H1 diterima, yang berarti : ada pengaruh
positif, dari mindset terhadap ketangguhan mental. Kekuatan korelasi antara kedua variabel adalah 0.319 dengan kategori moderat
(cukup). Kemudian,
besarnya kontribusi variabel mindset terhadap ketangguhan mental adalah sebesar 10.2%, dan sisanya dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Artinya,
variabel mindset secara nyata memprediksi ketangguhan mental pada mahasiswa sebesar 10.2%.
Tabel 3
Coefficients
Coefficientsa |
||||||
Model |
Unstandardized
Coefficients |
Standardized
Coefficients |
t |
Sig. |
||
B |
Std.
Error |
Beta |
||||
1 |
(Constant) |
40.220 |
4.126 |
|
9.748 |
.000 |
Mindset |
.326 |
.066 |
.319 |
4.909 |
.000 |
|
a. Dependent Variable: ketangguhan
mental |
Berdasarkan tabel tersebut,
dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
Y = a +bX atau 40.220 +0.326X
Artinya, setiap penambahan 1 nilai
pada nilai mindset, maka nilai ketangguhan mental bertambah sebesar
0.326.
Diskusi
����������� Berdasarkan
hasil pengolahan data diperoleh �hasil
bahwa variabel mindset memberikan pengaruh signifikan terhadap ketangguhan mental, artinya jika mindset mahasiswa semakin
mengarah pada Growth Mindset, maka ketangguhan mental mereka pun semakin
tinggi. Kekuatan korelasi antara Mindset dengan ketangguhan mental tergolong cukup. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat para praktisi bahwa ketangguhan mental seseorang akan terkait
dengan� pola pikir serta perilaku positif
yang akan diadopsi oleh individu. Pola pikir positif tersebut pun ternyata memberikan
timbal balik pada ketangguhan mental seseorang (Clough, 2002). Setelah pola
pikir yang lebih positif tercapai, mahasiswa dapat melakukan tugas-tugas yang
lebih menantang dengan keyakinan bahwa ia juga dapat berhasil mengerjakannya. Hal ini sejalan dengan pendapat tokoh-tokoh dan
teori yang melandasi penelitian ini, bahwa dengan kelenturan pola pikir
seseorang akan diri dan dunianya, ia dapat berpikir dan bersikap lebih
fleksibel dalam menghadapi permasalahan serta tantangan. Oleh karenanya mereka
pun cenderung memiliki ketangguhan mental yang lebih tinggi.
Namun, jika ditelaah lebih mendalam, mindset
hanya memberikan dampak yang relatif kecil terhadap ketangguhan mental mahasiswa,
yaitu sebesar 10.2%. Artinya masih banyak faktor lain diluar mindset yang
lebih berpengaruh terhadap ketangguhan mental Mahasiswa. Hasil-hasil penelitian terbaru telah
mengeksplorasi atribut kognitif yang relevan dalam upaya untuk menjelaskan
mengapa individu yang tangguh secara mental tampaknya mengatasi lebih efektif
dan cenderung berkinerja lebih baik di bawah tekanan. Kaiseler dkk. (2009)
menyoroti hubungan antara ketangguhan mental dan problem-focused coping
(yaitu, strategi yang digunakan untuk mengurangi tekanan dengan mengurangi atau
menghilangkan stresor). Atlet yang tangguh secara mental melaporkan lebih
banyak strategi penanggulangan yang berfokus pada masalah, sementara juga
menggunakan lebih sedikit strategi yang berfokus pada emosi dan penghindaran
dalam menanggapi stresor yang dipilih sendiri. Pada saat yang sama, ketangguhan
mental dan strategi coping yang berfokus pada masalah dikaitkan dengan
penilaian diri yang lebih besar terhadap efektivitas coping.
Sejalan dengan temuan ini, ketangguhan mental
telah dikaitkan dengan sumber daya yang dipelajari, repertoar kemampuan yang
diperoleh yang memungkinkan pemecahan masalah, koping, kontrol emosional, dan
respons perilaku yang tepat (Cowden et al., 2014). Cowden dkk. (2016)
menunjukkan bahwa ketangguhan mental dan ketahanan dikaitkan dengan
berkurangnya stres pada sampel pemain tenis. Studi ini penting karena menyoroti
kesejajaran konseptual antara kedua konsep tersebut. Meskipun penelitian di
atas berfokus pada populasi atletik, coping yang berfokus pada masalah
telah terbukti efektif dalam mengurangi dampak negatif dari stresor di berbagai
lingkungan, termasuk tempat kerja dan di rumah (misalnya, Parkes, 1990;
Stoneman dan Gavidia-Payne, 2006). Ada kemungkinan bahwa hubungan antara
ketangguhan mental dan problem-focused coping dapat ditransfer ke
populasi non-atletik dan karenanya mungkin memiliki implikasi yang luas di
berbagai konteks. Bukti yang mengaitkan ketangguhan mental dengan coping
stress dalam domain selain olahraga berasal dari Gerber dkk. (2015a) yang
menunjukkan bahwa pada siswa kejuruan, ketangguhan mental tidak hanya terkait
dengan lebih sedikit stres tetapi juga lebih sedikit indeks kelelahan, termasuk
kelelahan fisik, kelelahan kognitif, dan kelelahan emosional.
Ketangguhan mental berhubungan dengan beberapa
ciri kepribadian dan atribut psikologis lainnya yang merupakan prediktor
kinerja yang mapan di berbagai situasi. Meneliti hubungan antara ketangguhan
mental, kepribadian, dan atribut psikologis lainnya dapat berkontribusi pada
pemahaman kita tentang bagaimana ketangguhan mental terkait dengan hasil yang
berhubungan dengan prestasi. Ketangguhan mental kemungkinan besar memprediksi
hasil kinerja yang menguntungkan dengan cara-cara yang mempromosikan motivasi,
efikasi diri, dan perjuangan di berbagai situasi.
Hubungan positif antara ketangguhan mental dan
aspek motivasi memiliki konsekuensi afektif yang penting. Gucciardi dan Jones
(2012) menunjukkan bahwa orang yang tangguh secara mental tidak hanya memiliki
aset perkembangan yang lebih besar, yang merupakan indikator berkembang, tetapi
juga melaporkan frekuensi yang lebih rendah dari keadaan emosi negatif
dibandingkan dengan orang dengan tingkat ketangguhan mental yang lebih rendah.
Demikian pula, Schaefer dkk. (2016) menunjukkan bahwa orang yang melaporkan
tingkat motivasi yang lebih tinggi memiliki tingkat kecemasan kompetisi yang
lebih rendah, sebuah asosiasi yang dimediasi oleh ketangguhan mental.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa ketangguhan mental dan motivasi dapat bekerja
sama untuk berkontribusi pada stabilitas emosional yang lebih besar dan hasil
positif dalam situasi yang menantang.
Meggs dkk. (2014) mengindikasikan bahwa
beberapa karakteristik penting dari individu yang tangguh secara mental,
termasuk motivasi dan ketahanan emosional, berasal dari perbedaan dalam
pengorganisasian diri evaluatif (yaitu, pengorganisasian keyakinan diri positif
dan negatif). Penelitian lain berfokus pada flow sebagai penjelasan untuk
hubungan ketangguhan mental dengan tingkat kinerja yang tinggi (Crust dan
Swann, 2013).
Nicholls dkk. (2008) mengeksplorasi hubungan
antara ketangguhan mental, optimisme, dan coping. mereka menemukan bahwa
ketangguhan mental secara positif terkait dengan optimisme, dan secara negatif
terkait dengan pesimisme. Mengingat bahwa optimisme telah dikaitkan dengan
upaya berkelanjutan untuk mencapai tujuan, penulis menyarankan bahwa interaksi
antara ketangguhan mental dan optimisme dapat berkontribusi pada pencapaian
yang tinggi (Nicholls et al., 2008).
Ketangguhan mental seaeorang merupakan hasil
sebuah proses panjang yang merupakan sinergi dari berbagai pihak (Declan,
2008). Temuan menunjukkan bahwa pengembangan ketangguhan mental adalah proses
jangka panjang yang mencakup banyak mekanisme dasar yang beroperasi secara
gabungan, bukan independen. Secara umum, mekanisme dasar yang dirasakan ini
terkait dengan banyak fitur yang terkait dengan iklim motivasi (misalnya
kenikmatan, penguasaan), sejumlah individu (yaitu pelatih, teman sebaya, orang
tua, kakek-nenek, saudara kandung, atlet senior, psikolog olahraga, rekan satu
tim), pengalaman di dalam dan di luar olahraga, keterampilan dan strategi
psikologis, dan keinginan yang tak pernah puas dan motif yang terinternalisasi
untuk berhasil. Dilaporkan juga bahwa ketika ketangguhan mental telah
dikembangkan, tiga mekanisme dasar yang dirasakan diperlukan untuk
mempertahankan konstruksi ini: keinginan dan motivasi untuk berhasil yang tidak
pernah terpuaskan dan terinternalisasi, jaringan pendukung yang mencakup
personel olahraga dan non-olahraga, dan penggunaan keterampilan psikologis
dasar dan lanjutan yang efektif.
Singkatnya, ketangguhan mental berhubungan
dengan beberapa prediktor kinerja yang sudah mapan seperti konsep diri positif,
harga diri, dan efikasi diri. Korelasi ini mendorong adaptasi positif dan
perjuangan dalam lingkungan kinerja dan dapat membentuk bagian dari jalur tidak
langsung yang menghubungkan ketangguhan mental dengan hasil yang berhubungan
dengan prestasi. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa hasil psikologis dan
perilaku positif dapat dikembangkan dengan mempromosikan ketangguhan mental.
Dengan demikian, penting untuk mengeksplorasi lebih lanjut faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap variasi individu dalam ketangguhan mental pada populasi
umum (Lin, et al, 2017).
Kesimpulan
����������� Berdasarkan
hasil pengolahan data diperoleh� hasil
bahwa variabel mindset memberikan
pengaruh signifikan terhadap ketangguhan
mental,
artinya jika mindset mahasiswa semakin mengarah pada Growth Mindset,
maka ketangguhan mental mereka pun semakin tinggi. Namun, jika ditelaah lebih
mendalam, mindset hanya memberikan dampak yang relatif kecil terhadap ketangguhan mental Mahasiswa, yaitu sebesar 10.2%. Artinya masih banyak
faktor lain diluar mindset yang lebih berpengaruh terhadap ketangguhan
mental Mahasiswa.
BIBLIOGRAFI
Anderman,
E. M. (2012). Adolescence. In K. Harris, S. Graham, & T. Urdan, APA
handbook of educational psychology. Washington, DC: American Psychological
Association.
Anderman,
E. M., Gray, D. L., & Chang, Y. (2013). Motivation and classroom learning.
In I.
B.
Weiner, & others (eds), Handbook of psychology (2nd ed., vol.7). New York:
Wiley.
Arima,
M., Takamiya, Y., Furuta, A., Siriratsivawong, K., Tsuchiya, S., & Izumi,
M. (2020). Factors Associated With the Mental Health Status of Medical Students
During the COVID-19 Pandemic : A Cross-Sectional Study in Japan. British
Medical Journal vol 10, 1-7.
Brennan,
K. A., Clark, C. L., & Shaver, P. R. (1998). Self-report measurement of
adult attachment: An integrative overview. In J. A. Simpson, & W. S.
Rholes, Attachment theory and close relationships (pp. 46-76). The Guilford
Press.
Bull,
S., Shambrook, C., James, W., & Brooks, J. (2005). Towards an understanding
of mental toughness in elite English cricketers. Journal of Applied Sport
Psychology, 17, 209-27.
Clough,
P., & Strycharczyk, D. (2011). Developing Mental Toughness Improving
performance, wellbeing and positive behaviour in others. 120 Pentonville Road
London N1 9JN UK: Kogan Page Limited.
Clough,
P., Earle, K., & Sewell, D. (2002). Mental toughness: the concept and its
measurement , in (ed) I Cockerill. Solutions in Sport Psychology, 32-43.
Cowden,
R. G., Fuller, D. K., and Anshel, M. H. (2014). Psychological predictors of
mental toughness in elite tennis: an exploratory study in learned resourcefulness
and competitive trait anxiety. Percept. Mot. Skills 119, 661�678. doi:
10.2466/30. pms.119c27z0
Cowden,
R. G., Meyer-Weitz, A., and Oppong Asante, K. (2016). Mental toughness in
competitive tennis: relationships with resilience and stress. Front. Psychol.
7:320. doi: 10.3389/fpsyg.2016.00320
Crum, A.
J., Salovey, P., & Achor, S. (2013). Rethinking stress: The role of
mindsets in determining the stress response. Journal of Personality and Social
Psychology, 104(4), 716�733.
Crust,
L., & Azadi, K. (2010). Mental toughness and athletes' use of psychological
strategies. European Journal of Sport Science, 10:1, 43-51.
Crust,
L., & Clough, P. J. (2011). Developing mental toughness: from research to
practice.Journal of Sport Psychology in Action, 2(1), 21-32.
Crust,
L., and Swann, C. (2013). The relationship between mental toughness and
dispositional flow. Eur. J. Sport Sci. 13, 215�220. doi:
10.1080/17461391.2011.635698
Declan
Connaughton, Ross Wadey, Sheldon Hanton & Graham Jones (2008) The
development and maintenance of mental toughness: Perceptions of elite
performers, Journal of Sports Sciences, 26:1, 83-95,
Dienstbier,
R. A. (1991). Behavioral correlates of sympathoadrenal reactivity: The
toughness model. Medicine and Science in Sports and Exercise, 23 (7), 846-52.
Dweck,
C. (2000). Self theories : Their role in motivation, personality, and
development psychology. New York: Taylor and Francis Group.
Dweck,
C. (2006). Mindset : The new psychology of success. New York: Random
House. Dweck, C. (2017). Mindset: Changing the Way You Think to Fulfil Your
Potential. (1st ed.). New
York: Robinson Ltd.
Dweck,
C., & Leggett, E. L. (1988). A social-cognitive approach to motivation and
personality. Psychological Review, 95(2), 256-273.
Dyer, J.
G., & McGuinness, T. M. (1996). Resilience: analysis of the concept.
Archives of Psychiatric Nursing, X (5) (October), 276-82.
Elliot,
A., & Dweck, C. (2005). Handbook of competence and motivation. New York:
Guilford Press.
Gerber,
M., Feldmeth, A. K., Lang, C., Brand, S., Elliot, C., Holsboer-Trachsler, E.,et
al. (2015a). The relationship between mental toughness, stress, and burnout
among adolescents: a longitudinal study with Swiss vocational students.
Psychol.Rep. 117, 703�723. doi: 10.2466/14.02.pr0.117c29z6
Gerber,
M., & Haghighi, M. (2019). Does Mental Toughness Buffer the Relationship
Between Perceived Stress , Depression , Burnout, Anxiety, and Sleep.
International Journal of Stress Management, 26(3), 297-305.
Gucciardi,
D., Gordon, S., & Dimmock, J. (2009b). Evaluation of a mental toughness
training programme. Journal of Applied Sport, vol 21, 307�23.
Gucciardi,
D. F., and Jones, M. (2012). Beyond optimal performance:mental toughness
profiles and indicators of developmental success in adolescent cricketers. J.
Sport Exerc. Psychol. 34, 16�36. doi: 10.1123/jsep.34.1.16
Horiuchi,
S., Tsuda, A., Aoki, S., Yoneda, K., & Sawaguchi, Y. (2018). Coping as a
mediator of the relationship between stress mindset and psychological stress
response: a pilot study. Psychology Research and Behavior Management, 1(11),
47-54.
Horsburgh,
V., Schermer, J., Veselka, L., & Vernon, P. (2009). A behavioral genetic
study of mental toughness and personality. Personality and Individual
Differences, 46, 100- 105.
Kaiseler,
M., Polman, R., & Nicholls, A. (2009). Mental toughness, stress, stress
appraisal, coping and coping effectiveness in sport. Personality and Individual
Differences, 47, 728-33.
Kobasa,
S. C. (1979). Stressful life events, personality, and health: an inquiry into
hardiness. Journal of Personality and Social Psychology,
37 (1), 1-11.
Lai, A.,
Kwan, Y., Lee, L., Wang, M. P., Feng, Y., Lai, T., . . . Lam, T. H. (2020).
Mental Health Impacts of the COVID-19 Pandemic on International University
Students, Related Stressors, and Coping Strategies. Frontiers in Psychiatry,
11.
Lin, Y.,
Mutz, J., Clough, P. J., & Papageorgiou, K. A. (2017). Mental Toughness and
Individual Differences in Learning, Educational and Work Performance,
Psychological Well-Being, and Personality: A Systematic Review. Frontiers in
Psychology, 8, 1-15.
McGeown,
S. P., Clair-thompson, H. S., & Clough, P. (2015). The Study of
Non-Cognitive Attributes in Education : Proposing The Mental Toughness
Framework. Educational Review, 37-41.
Meggs,
J., Ditzfeld, C., and Golby, J. (2014). Self-concept organisation and mental
toughness in sport. J. Sports Sci. 32, 101�109. doi:
10.1080/02640414.2013.812230
Nicholls,
A., Polman, R., Levy, A., & Backhouse, S. (2008). Mental toughness,
optimism, and coping. Personality and Individual Differences, vol 44, 1182�92.
Parkes,
K. R. (1990). Coping, negative affectivity, and the work environment: additive
and interactive predictors of mental health. J. Appl. Psychol. 75, 399�409.
doi: 10.1037/0021-9010.75.4.399
Santrock,
J. W. (2013). Adolescence. Fifteenth edition. New York: McGraw-Hill Education.
Schwartz,
D., Kelly, B. M., & Duong, M. T. (2013). Do academically-engaged
adolescents experience social sanctions from the peer group? Journal of Youth
and Adolescence, 42(9), 1319-1330.
Scott, M.,
& Ghinea, G. (2014). Measuring enrichment: the assembly and validation of
an instrument to assess student self-beliefs in CS1. ICER �14: Proceedings of
the Tenth Annual Conference on International Computing Education Research, (pp.
123�130).
Schaefer,
J., Vella, S. A., Allen, M. S., and Magee, C. A. (2016). Competition anxiety,
motivation, and mental toughness in golf. J. Appl. Sport Psychol. 28,
309�320.doi: 10.1080/10413200.2016.1162219
Sheard,
M. (2009, 2010). Mental Toughness: The mindset behind sporting achievement. London: Routledge.
Sheard,
M., & Golby, J. (2006). Effect of psychological skills training program on
swimming performance. International Journal of Sport and Exercise International
Journal of Sport and Exercise Vol 2, 7-24.
Stoneman,
Z., and Gavidia-Payne, S. (2006). Marital adjustment in families of young
children with disabilities: associations with daily hassles and problem-focused
coping. Am. J. Ment. Retard. 111, 1�14. doi:
10.1352/0895-8017(2006)111[1:MAIFOY]2.0.CO;2
Weiner,
B. (2005). Motivation from an attributional perspective and the social
psychology. In Handbook of Competence and Motivation. New York: Guilford Press.
Copyright holder: Ira Adelina, Priska Analya, Yulita Anggelia (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |