Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober 2023
ANALISIS KEADILAN DALAM PUTUSAN LEPAS AKIBAT DAKWAAN OBSCUUR LIBEL
Bryan, Ade Adhari
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara,
Indonesia
E-mail:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Dalam kata peradilan
dan pengadilan sama-sama terdapat kata �adil� yang secara tidak langsung
menunjukan bahwa justitiabelen mengharapkan mendapatkan keadilan melalui proses peradilan yang dilakukan di pengadilan. Namun, tidak selamanya
proses penegakkan hukum berjalan lancar. Bahkan terkadang penegakkan hukum terhalang karena adanya kekurangan dalam surat dakwaan
yang mengakibatkan surat dakwaan cacat secara
materil sehingga harus dinyatakan batal demi hukum dan dijatuhkan putusan lepas sebagaimana yang terjadi dalam kasus
Putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI. Adapun rumusan masalah yang diangkat ialah Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap
dan upaya hukum terhadap Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
253/PID.SUS/2021/PT.DKI). Adapun jenis penelitian yang digunakan ialah normatif dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan.
Data tersebut disajikan secara deskriptif dan dianalisa dengan logika deduktif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
kasus. Dari hasil penelitian menunjukan bahwasanya dalam putusan tersebut hakim telah menjaga hak
terdakwa sebagai bentuk pemenuhan keadilan dalam perspektif kesamaan numerik namun, disisi lain, putusan
yang dijatuhkan hakim tidak
mencerminkan keadilan korektif. Adapun upaya pencegahan untuk menghindari putusan lepas dengan cara
kerja sama antara Penyidik dengan Penuntut Umum.
Kata Kunci: Keadilan, Dakwaan Batal Demi Hukum, Putusan
Lepas.
Abstract
In the
words judiciary and court both contain the word "fair" which
indirectly indicates that the justitiabelen expects
to obtain justice through the judicial process conducted in court. However, the
law enforcement process does not always run smoothly. In fact, sometimes law
enforcement is hindered due to deficiencies in the indictment which results in
the indictment being materially defective so that it must be declared null and
void and an acquittal is issued, as happened in the case of the Jakarta High Court
Decision Number 253/PID.SUS/2021/PT.DKI. The formulation of the problem raised
is the Analysis of Justice in Release Decisions Due to Unclear and Complete
Charges and legal remedies for Analysis of Justice in Release Decisions Due to
Unclear and Complete Accusations (Study of Decision of the Jakarta High Court
Number 253/PID.SUS/2021/PT.DKI). The type of research used is normative by
using secondary data collected by library research. The data is presented
descriptively and analyzed using deductive logic with a statutory approach and
a case approach. The results of the study show that in this decision the judge
has safeguarded the rights of the accused as a form of fulfilling justice in
the perspective of numerical equality but, on the other hand, the decision
handed down by the judge does not reflect corrective justice. There are
preventive measures to avoid acquittal decisions by collaborating between
investigators and public prosecutors.
Keywords: Justice,
The Charges Are Null and Void, The Verdict Is Released from All Lawsuits.
Pendahuluan
Dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 �(UUD NRI
1945)� dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Kedudukan
Indonesia sebagai negara hukum, secara tidak langsung memberikan jaminan bahwa
sudah sepantasnya setiap orang mendapatkan keadilan berdasarkan dengan hukum
yang ada (Sulistiyono dan Isharyannto,
2018). Hakikat
dari konsep negara hukum ialah bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan negara
selalu disandarkan pada hukum yang berlaku agar keadilan dapat terjamin dan
terwujud bagi warga negaranya (M. Muslih, 2013).
Meskipun memang,
dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami perkembangan, yang secara
garis besar dibagi menjadi 2 konsep utama yakni rechtstaat dan the rule of law.
Meskipun kedua konsep tersebut sama-sama berbasis pada konsep negara hukum, namun
terdapat perbedaan diantara keduanya, yakni pada konsep rechstaat
unsur-unsurnya ialah bahwa adanya pelaksanaan HAM, dilaksanakannya trias
politica, peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam menyelenggarakan
negara serta adanya indepedensi dalam peradilan (Wijaya, 2013).
Dalam konsep
rechstaat ini tujuan utamanya ialah menerapkan hukum sebagaimana hukum positif
mengaturnya (Jimau, 2009). Sedangkan dalam konsep the rule of law
unsur-unsurnya ialah supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum dan konstitusi
yang mengakomodir HAM (Firmansyah, 2022). Dalam konsep the rule of law,
penegakan hukum tidak selamanya terikat secara baku pada tulisan-tulisan yang
terdapat dalam hukum positif, namun titik utamanya adalah tercapainya keadilan
yang mana mungkin saja dalam mencapai keadilan terdapat suatu sikap
diskresi/penyimpangan dari hakim terhadap hukum positif dalam tercapainya
keadilan (Jimau, 2009).
Adapun kedudukan
Indonesia dalam konsep negara hukum yakni menerapkan konsep prismatik dan
integratif yakni mengkombinasikan konsep rechstaat yang bertumpu pada kepastian
hukum dan konsep the rule of law yang mengacu pada tercapainya keadilan
(Firmansyah, 2022). Namun, meskipun kedua konsep tersebut seakan terpisah,
namun terdapat satu kesamaan dalam unsur kedua konsep tersebut yakni supremasi
hukum. Salah satu bentuk nyata dari supremasi hukum yakni adanya penegakkan hukum,
yang mana salah satu bentuk
dari penegakkan hukum ialah dilaksanakannya
peradilan.
Peradilan terdiri dari kata �per�, �adil�, dan
�an�. Peradilan merupakan terjemahan frasa �qadha� dalam bahasa
Arab yang berarti �menghalangi�
yang maknanya ialah bertujuan untuk menghindari orang-orang daripada kedzaliman/sikap aniaya. Dalam hal ini, berarti ketika
hakim telah memutus bermakna bahwa hakim telah meletakkan hak pada tempatnya secara proporsional dan mengembalikan segala sesuatunya pada yang memiliki hak tersebut (Sardari dan Shodiq, 2022).
Adapun pengertian dari peradilan dari H, Mohammad Daud ialah suatu prosesi yang ditujukkan untuk memberikan keadilan yang dilaksanakan oleh instansi yang memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan, dan penyelesaian dari suatu sengketa
yang diberikan pada instansi
tersebut. Sedangkan Mahadi mendefinisikan peradilan ialah suatu proses yang muaranya ialah untuk memberikan keadilan melalui putusan yang dijatuhkan. Sedangkan pengadilan secara singkat ialah instansi yang memiliki tugas untuk melaksanakan peradilan (Sardari dan Shodiq,
2022).
Dalam kata �peradilan� maupun �pengadilan� terdapat kata �adil� yang tidak terpisahkan dari keduanya. Hal ini menunjukan bahwa pengadilan ialah tempat dimana
justitiabelen/para pencari keadilan berharap diberikan keadilan. Pada hakikatnya hukum bertujuan untuk tercapainya keadilan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Gustav Radbruch bahwasanya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum
yakni keadilan, kepastian serta kemanfaatan (Santoso, 2021). Ketiga
nilai tersebut saling memperebutkan untuk diterapkan, namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakannya asas prioritas yang mana keadilan menempati posisi pertama untuk diterapkan, lalu setelahnya adalah kemanfaatan dan kepastian dalam hukum (Santoso, 2021).
Namun, faktanya menegakkan hukum demi tercapainya keadilan tidak semudah yang dibayangkan. Seringkali proses peradilan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
pembuatan dakwaan seringkali menghambat proses peradilan bahkan proses peradilan sampai harus dihentikan melalui putusan hakim karena dakwaan yang dibuat tidak memenuhi
syarat yang ditetapkan sehingga harus dibatalkan ataupun batal demi hukum.
Dalam Putusan
Nomor 253/PID.SUS/2021/PT DKI menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dikarenakan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dinilai tidak
jelas dan tidak lengkap sehingga dinyatakan batal demi hukum. Dakwaan merupakan
sebuah akta yang berisi uraian rangkaian tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa yang sumbernya ialah hasil pemeriksaan dan penyidikan.
Surat dakwaan
merupakan bagian yang terpenting dalam proses sidang dikarenakan dakwaan itulah
yang akan menjadi dasar bagi hakim untuk memeriksa, dasar bagi terdakwa untuk
menyampaikan eksepsi sekaligus pembelaan, serta dasar untuk melaksanakan
pembuktian dalam persidangan (Yusuf A, 2019). Sebegitu krusialnya kedudukan
surat dakwaan bahkan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP dinyatakan bahwa sejatinya
dalam membuat putusan, hakim bersandar pada surat dakwaan dan pembuktian.
Bahkan apabila
hakim memutus diluar tuntutan Jaksa Penuntut Umum selama hakim masih berada
pada koridor surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum hal tersebut dapat diterima
berdasarkan Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa surat
dakwaan-lah yang akan memandu jalannya persidangan dari awal, pembuktian hingga
akhir. Sebegitu
besarnya kedudukan surat dakwaan dalam proses persidangan, sehingga kesalahan
ataupun kekurangan maupun kekeliruan yang terdapat dalam surat dakwaan memiliki
konsekuensi yang tinggi yakni dibatalkan ataupun batal demi hukum yang bisa
saja berujung pada penjatuhan putusan lepas dari hakim.
Tujuan
Penelitian ini (1) Untuk mengetahui dan memahami analisis
keadilan dalam putusan lepas akibat dakwaan tidak jelas dan lengkap (Studi
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI). (2) Untuk mengetahui
dan memahami upaya Penegak hukum dalam mengantisipasi putusan lepas yang
disebabkan Surat dakwaan tidak jelas dan lengkap (Studi Putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)?
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut diatas, adapun rumusan masalah yang diangkat
oleh penulis ialah: 1) Bagaimana Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
253/PID.SUS/2021/PT.DKI)? 2) Bagaimana upaya Penegak Hukum dalam mengantisipasi Putusan Lepas yang disebabkan Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap
(Studi Putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian normatif ialah penelitian yang melakukan kajian hukum sebagai konsep
norma atau kaidah yang menjadi pedoman dan kaidah di masyarakat (Disemadi, 2022). Sifat penelitian
ini yakni deskriptif. Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah data sekunder dengan teknik pengumpulan
data dengan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
kasus. Sedangkan teknik analisa yang digunakan ialah dengan logika deduktif.
Hasil dan Pembahasan
A.
Analisis
Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)
Dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor
SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan �(SEJA 004/1993)� dinyatakan
bahwa surat dakwaan menduduki posisi utama dalam proses persidangan sebagai
dasar pemeriksaan serta untuk memberi batasan ruang lingkup dalam pemeriksaan
di persidangan. Bahkan sebegitu pentingnya kedudukan dari surat dakwaan, sampai
disebutkan bahwa surat dakwaan adalah �mahkota� dari Jaksa Penuntut Umum.
Adapun fungsi dari surat dakwaan ialah: 1) Bagi hakim,
surat dakwaan sebagai guide/dasar serta pembatasan ruang lingkup pemeriksaan
persidangan dan juga dijadikan sebagai dasar dalam mempertimbangkan dalam
menjatuhkan putusan. 2) Bagi Jaksa Penuntut Umum, surat dakwaan sebagai
guide untuk melakukan pembuktian, menuntut serta untuk mengajukan upaya hukum. 3) Bagi terdakwa
dan penasihat hukum yakni sebagai dasar dalam membuat pembelaan di persidangan.
Dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP disebutkan syarat dakwaan yakni: �Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani serta berisi; a) Nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka; b) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan.�
Dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP disebutkan bahwa �Surat dakwaan yang tidak
memenuhi ketentutan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b �batal
demi hukum.� Pasal 143 ayat (2) huruf a disebutkan sebagai syarat formil surat
dakwaan yang mana, jika syarat formil ini tidak terpenuhi secara sempurna, maka
dapat berakibat dibatalkan oleh hakim (verniegtigbaar) (Bahreisy, 2018).
Sedangkan Pasal 143 ayat (2) huruf b dinyatakan sebagai syarat materil
(Bahereisy, 2018), dan jika syarat materil yang tidak terpenuhi maka berakibat
batal demi hukum (absolut nietig) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal
143 ayat (3) KUHAP.
Dalam SEJA 004/1993 diuraikan penjelasan mengenai syarat materil yakni: �a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan. b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan�
Dalam SEJA 004/1993 dijelaskan bahwa frasa �cermat� diartikan sebagai
bentuk sikap teliti Jaksa Penuntut Umum. Frasa �cermat� diletakkan didepan yang
bermakna menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum selalu teliti dan korek. Dalam
frasa �cermat� bermakna bahwa Jaksa Penuntut Umum harus mempersiapkan dakwaan
sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang tepat untuk diberlakukan
kepada terdakwa tanpa adanya kekeliruan maupun kekurangan.
Selain itu, frasa �cermat� juga menuntut Jaksa Penuntut Umum untuk paham
dengan jelas runtutan peristiwa yang memang menunjukan adanya tindak pidana dan
harus mencermati apakah ada faktor-faktor yang dapat membuat surat dakwaan
menjadi batal yakni kapabilitas terdakwa dalam mempertanggungjawabkan
perbuatannya, tindakan berulang terdakwa, nebis in idem dan terkait wilayah
yurisdiksinya yang berkaitan dengan kompetensi relatif (Imani, 2016).
Dalam SEJA 004/1993 dijelaskan frasa �jelas� bermakna bahwa dalam surat
dakwaan harus memuat runtutan kejadian yang berisi fakta-fakta secara jelas,
yang bertujuan agar terdakwa hal yang didakwakan kepada dirinya, perbuatan apa
yang dilakukan yang merujuk pada suatu tindak pidana hingga didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum guna
pembuatan pembelaan sebaik mungkin. Secara garis besar, dijelaskan bahwa makna
dari frasa �jelas� mengandung konsekuensi bahwa Jaksa Penuntut Umum harus mampu
memberi rumusan unsur delik yang didukung fakta yang ada untuk membuktikan
tindak pidana tersebut. Sehingga dalam hal ini, Jaksa Penuntut Umum tidak
diperkenankan untuk mencampuradukan unsur delik yang satu dengan unsur delik
lain yang unsurnya berbeda (Imani, 2016).
Sedangkan frasa �lengkap� dalam SEJA 004/1993 dijelaskan sebagai segala
unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana yang didakwakan harus termuat
dalam surat dakwaan. Unsur yang ditentutkan dalam peraturan perundang-undangan
harus dirumuskan secara lengkap yang mana unsur tersebut harus dapat dilihat
dan dibuktikan dalam runtutuan fakta peristiwa yang termuat dalam surat
dakwaan. Frasa �lengkap� bermakna bahwa dalam surat dakwaan tidak diperkenankan
jika terdapat unsur tindak pidana yang tidak dilakukan perumusan secara lengkap
atau dengan kata lain uraian perbuatan materiil tidak dijelaskan secara tegas
dan jelas, sehingga tindakan-tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai delik menurut peraturan perundang-undangan (Imani, 2016).
Dalam SEJA 004/1993 disebutkan bahwa surat dakwaan dapat dikatakan telah
memenuhi syarat materil jika terdapat uraian utuh dan bulat mengenai: �1) Tindak pidana
yang dilakukan. 2) Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. 3) Dimana tindak pidana di
lakukan. 4) Kapan tindak pidana di lakukan. 5) Bagaimana tindak pidana itu
dilaksanakan. 6) Akibat dari perbuatan tindak pidana jika delik yang digunakan ialah
delik materiil. 7) Apa yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana itu. 8)
ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan�.
Hal-hal yang disebutkan diatas harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan
kasus yang terjadi yakni sesuai delik yang didakwakan (delik formil/materil).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diringkas bahwasanya syarat formil ialah
syarat yang berkaitan dengan formalitas pembuatan surat dakwaan sedangkan
syarat materil berkaitan dengan kelayakan substansi/isi dari surat dakwaan.
Jika kita analisa
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI terdapat
pertimbangan hakim yang akhirnya memutus bahwa surat�� dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum yakni dalam dakwaan
dituliskan bahwa �terdakwa MS (inisial) bersama-sama dengan BI (inisial) yang dilakukan pemeriksaan secara terpisah (splitsing) yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan,
yang menganjurkan atau yang
membantu melakukan dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran
pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya�
Atas tindakan
tersebut, Jaksa Penuntut
Umum mendakwa terdakwa MS dengan dakwaan tunggal dengan Pasal 39A huruf a jo Pasal 43 ayat (1) UU 28/2007 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam dakwaan tersebut ditulis secara jelas �bersama-sama� �yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan,
yang menganjurkan atau yang
membantu melakukan.� Sedangkan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 28/2007 tidak menjelaskan �turut serta melakukan,
yang menganjurkan atau yang
membantu melakukan.� Sehingga dalam hal ini, hakim berpendapat bahwa sudah seharusnya Jaksa Penuntut Umum menyertakan Pasal 55 KUHP tentang yang mengatur mengenai �turut serta melakukan,
menyuruh melakukan dan menganjurkan melakukan�, serta juga harus disertakan Pasal 56 KUHP jika memang Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa terdakwa membantu melakukan. Sehingga dalam hal ini hakim berpendapat
bahwa dengan tidak adanya Pasal
55 KUHP ataupun Pasal 56
KUHP yang disertakan dalam pasal yang didakwakan.
Selain itu
dalam pertimbangannya hakim
juga menyatakan bahwa dalam surat dakwaan
yang menggunakan frasa
�yang menyuruh lakukan,
yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan�, merupakan bentuk mencampuradukan antara Pasal 55 KUHP yang mengatur mengenai �turut serta melakukan,
menyuruh melakukan dan menganjurkan melakukan� dengan Pasal 56 KUHP yang mengatur mengenai membantu melakukan. Dalam pertimbangannya, hakim mengutip pendapat Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., bahwasanya terdapat perbedaan antara Pasal 55 KUHP dengan Pasal 56 KUHP, sehingga unsur kedua pasal tersebut
tidak dapat dicampuradukan. Atas hal-hal tersebutlah, hakim berpendapat bahwa surat dakwaan
yang dibuat jaksa menjadi tidak jelas
dan tidak lengkap (obscuur libel), karena dalam hal ini
menunjukan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak mampu melakukan perumusan peraturan perundang-undangan dengan cermat.
Hal-hal
tersebut menunjukan bahwa dalam surat
dakwaan yang dibuat tidaklah cermat dan lengkap karena tidak menyertakan Pasal 55 KUHP ataupun Pasal 56 KUHP, selain itu surat dakwaan
tersebut menunjukan pula ketidakjelasan yang mana Jaksa Penuntut
Umum berusaha mencampuradukan
unsur dari pasal yang berbeda. Padahal salah satu makna dari frasa
�jelas� ialah Jaksa Penuntut Umum tidak diperkenankan untuk mencampuradukan unsur delik yang satu dengan unsur delik
lain yang unsurnya berbeda.
Hal tersebut menunjukan bahwa surat dakwaan
penuntut umum tidak memenuhi syarat materil maka berdasarkan Pasal 143 ayat (3) maka surat dakwaan
Jaksa Penuntut Umum adalah batal demi hukum (van rechtswegenietig/null and void) (Imani, 2016).
Dalam Putusan
MK Nomor 28/PUU-XX/2022 dinyatakan
bahwa memang Pasal 143 ayat (3) ini merupakan bentuk
penekanan perlindungan hak terdakwa untuk
dapat didakwa dengan surat dakwaan
yang sesuai dengan syarat formil dan materil. Hal ini ditujukan untuk menghindari terdakwa dari kebingungan dalam pembuatan pembelaan dan menghindarkan terdakwa dari pemeriksaan
yang tidak jelas dasarnya sehingga memungkinkan merugikan terdakwa selama proses persidangan.
Dalam hal
ini penulis berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI yang menyatakan bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha untuk melindungu terdakwa. Namun, salah satu yang harus digarisbawahi ialah penjatuhan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum yang dijatuhkan dalam putusan ini.
Dalam Pasal
1 angka 11 KUHAP dinyatakan
bahwa putusan hakim dapat berupa pemidanaan,
bebas ataupun lepas (Maimunah, 2019: 15). Putusan bebas dijelaskan
dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas
dijatuhkan apabila perbuatan yang mengandung kesalahan yang didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum tidak mampu terbukti secara sah dan meyakinkan. Adapun keadaan tersebut dapat berupa tidak terpenuhinya
asas pembuktian dan tidak terpenuhinya asas minimal pembuktian. Sehingga putusan bebas ini dapat
dijatuhkan jika kesalahannya tidak terbukti, alat bukti yang digunakan tidak mampu membuktikan
kesalahan, batas minimal pembuktian
tidak tercapai dan apabila alat bukti
cukup namun keyakinan hakim tidak mendukung alat bukti (Mawey, 2016).
Sedangkan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum berdasarkan Pasal 191 ayat (2) dijatuhkan apabila perbuatan yang diuraikan dalam surat dakwaan
terbukti namun tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana. Hal ini mencakup keadaan seperti seseorang didakwa penggelapan namun sebenarnya tindakan tersebut tidak termasuk lingkup pidana namun perdata, dan juga jika apabila dalam
kasus mengandung keadaan khusus yang membuat terdakwa tidak memiliki kapabilitas untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya (Mawey, 2016). Terakhir, putusan pemidanaan dijatuhkan jika memang hakim yakin bahwa kesalahan
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan selama proses pemeriksaan yakni minimal 2 (dua)
alat bukti dan keyakinan hakim (Mawey, 2016).
Berdasarkan uraian tersebut, maka sejatinya surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang batal demi hukum tidak dapat
dijadikan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum. Hal ini dikarenakan putusan lepas hanya
dapat diberikan jika perbuatan terdakwa terbukti namun terbukti pula bahwa tindakan tersebut tidak masuk ranah pidana,
ataupun dasar lain yang dapat digunakan ialah jika terdakwa
tidak memiliki kapabilitas untuk mempertanggungjawabkannya. Sedangkan
surat dakwaan batal demi hukum tidak termasuk keduanya.
Selain itu,
jika kita lihat contoh kasus
Putusan Nomor 154/Pid.Sus/2020/PN Pwt yang mana surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinyatakan batal demi hukum, dalam amar putusannya
hakim menyatakan: �1. Menyatakan
keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa Umar
Husni tersebut diterima; 2.
Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDS-01/Pkrto/Ft.2/01/2020 tanggal 31
Agustus 2020 batal demi hukum;
3. Memerintahkan mengembalikan
berkas perkara ini beserta seluruh
barang bukti kepada Penuntut Umum; 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara�
Terlihat jelas bahwa dalam
putusannya hakim tidak menjatuhkan frasa �lepas dari segala
tuntutan hukum�, hanya mengatakan bahwa surat dakwaan
batal demi hukum dan mengembalikan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Bahkan dalam kasus kasus
Putusan Nomor 154/Pid.Sus/2020/PN Pwt, setelah berkas dikembalikan dan Jaksa Penuntut
Umum diberikan kesempatan untuk memperbaiki dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum berkali-kali membenarkan surat dakwaannya, bahkan terdakwa sampai mendapatkan 6 putusan yakni 3 putusan pengadilan negeri dan 3 putusan pengadilan tinggi yang mana putusannya menyatakan dakwaan batal demi hukum.
Atas hal
tersebut, terdakwa mengajukan judicial review yang akhirnya
melahirkan� Putusan MK Nomor 28/PUU-XX/2022
yang pada intinya menetapkan
bahwa Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang menyatakan surat dakwaan batal
demi huikum tidak mengikat dan mempunyai kekuatan hukum selama tidak dimaknai
sebagai surat dakwaan yang telah ditetapkan batal atau batal demi hukum oleh hakim, Jaksa Penuntut
Umum dapat memperbaiki dan mengajukan kembali kedalam persidangan sebanyak 1 (satu) kali dan jika penasihat hukum masih mengajukan
keberatan atas hal tersebut, maka
hakim akan segera melakukan pemeriksaan, pertimbangan dan memberi putusan bersamaan dengan pokok perkara
dalam putusan akhir. Hal ini menunjukan bahwa tidak secara serta
merta surat dakwaan batal demi hukum diberikan putusan lepas, namun seharusnya surat dakwaan tersebut
dikembalikan untuk diperbaiki oleh Jaksa Penuntut
Umum.
Putusan lepas dalam surat
dakwaan batal demi hukum berdasarkan teori keadilan menghasilkan pendapat yang saling bersebrangan bak 2 (dua) mata pisau. Dalam teori keadilan yang dikemukakan oleh
Aristoteles yakni bahwa keadilan dipersamakan dengan persamaan. Namun ia membagi
persamaan menjadi 2 (dua) yakni adanya kesamaan
numerik dan proporsional. Kesamaan numerik memposisikan semua manusia dalam persamaan.
Kesamaan numerik biasanya mengacu pada hak-hak dasar fundamental manusia yang mana hak-hak tersebut dimiliki oleh semua manusia tanpa
terkecuali, yang penerapannya
tanpa diskriminasi.
Salah satunya
yakni asas equality before
the law bahwa semua orang sama kedudukannya dalam hukum. Hak ini tentu dimiliki
semua orang tanpa terkecuali, tanpa melihat latar belakang,
sosial, agama maupun ras seseorang. Asas tersebut tentulah harus diberikan kepada setiap orang secara adil tanpa
terkecuali. Sedangkan kesamaan proporsional ialah hak yang diberikan kepada setiap orang tergantung berdasarkan prestasi, kemampuan dan lain sebagainya sehingga orang-orang yang memiliki
prestasi dan kemampuan yang
sama harus diberikan hak yang sama pula (Amin, 2019).
Lebih jauh lagi, Aristoteles membagi keadilan menjadi 2 (dua) yakni keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan korektif diartikan sebagai bahwa setiap orang yang memiiliki prestasi yang sama berhak untuk
mendapatkan proporsi yang sama. Dalam hal ini ditarik kesimpulan
bahwa orang-orang yang sama
dari segi prestasinya diperlakukan secara sama dan orang akan diperlakukan berbeda untuk hal
yang berbeda.
Sedangkan keadilan korektif ialah keadilan yang menuntut adanya ganti rugi ataupun
reparasi seperti sediakala sebagai upaya untuk mengembalingan
keseimbangan saat terjadi sesuatu yang tidak adil. Hal-hal yang diterapkan pada konsep keadilan korektif ialah bahwa hukuman diterapkan
sebagai bentuk tebusan atas kejahatan,
restitusi ditujukan untuk mengganti kerugian, ataupun hal-hal menguntungkan lain yang ditujukan untuk memulihkan kerugian ataupun kerusakan ekonomi (Adlhiyati dan Achmad,
2019).
Sehingga dalam hal ini,
tindakan hakim yang memberikan
putusan lepas karena dakwaan batal demi hukum, maka sejatinya dalam perspektif kesamaan numerik yang dikemukakan oleh Aristoteles, maka
sejatinya hakim berusaha untuk menjaga hak-hak
terdakwa yang dijamin dalam Kuhap. Pasal 143 ayat (3) Kuhap yang menyatakan bahwa dakwaan batal
demi hukum jika tidak memenuhi syarat materil maka sejatinya Kuhap sedang berusaha untuk menjaga hak
terdakwa agar tidak didakwa dengan dakwaan cacat secara
materil yang memungkinkan merugikan terdakwa selama proses persidangan.
Hak terdakwa
yang berusaha dijunjung dalam Pasal 143 ayat (3) Kuhap tersebut tentulah harus ditegakkan dan dipenuhi kepada setiap terdakwa
tanpa terkecuali karena merupakan bentuk penerapan konkret dari asas
equality before the law. Maka, dalam hal ini, sejatinya
hakim telah melindungi hak terdakwa dan telah menciptakan keadilan bagi terdakwa.
Namun, disisi lain, hakim juga harus berusaha menegakkan keadilan korektif yakni bahwasanya perlu adanya upaya untuk
mengganti kerugian dari suatu tindakan
kejahatan baik berupa penjatuhan hukuman maupun ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh pelaku. Maka, dalam hal ini, hakim telah menjalankan konsep keadilan dalam perspektif kesamaan numerik namun tidak menjalankan
keadilan korektif itu sendiri.
Dalam kasus
ini, seharusnya demi menegakkan keadilan dalam perspektif numerik dan keadilan korektif maka seharusnya,
hakim membatalkan dakwaan tersebut untuk menjaga terdakwa didakwa dari dakwaan
yang cacat, namun disisi lain perlu adanya penegakan keadilan korektif untuk mengembalikan keseimbangan setelah kejahatan terjadi, yakni seharusnya hakim mengembalikan surat dakwaan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk diperbaiki dan pemeriksaan dimulai kembali setelah Jaksa Penuntut Umum memperbaiki surat dakwaannya secara layak.
B. Upaya Penegak Hukum dalam
Mengantisipasi Putusan
Lepas yang disebabkan Surat Dakwaan
Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
253/PID.SUS/2021/PT.DKI)
Dalam sistem
hukum Indonesia, hukum pidana dapat diartikan
secara sempit dan dapat diartikan secara luas. Hukum pidana dalam arti sempit hanya merupakan
hukum pidana material saja yakni berisi
norma-norma yang mengatur mengenai
Tindakan- tindakan yang merupakan
Tindakan pidana dan pidananya.
Sedangkan hukum pidana dalam arti luas teridiri dari
hukum pidana (subtantif dan material) dan hukum
acara pidana (hukum pidana formal). Hukum acara pidana
di Indonesia secara umum telah di atur dikondifisikan
kedalam satu dokumen Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara pidana atau biasa disebut
Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana.
Pengertian Penyelidikan, Penyidikan dan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh Polisi Republik
Indonesia (Polri) akan diterangkan sebagai berikut:
1. Penyelidikan
Penyelidikan diatur dalam Pasal
1 angka 5 KUHAP di definisikan
sebagai serangkaian
Tindakan/penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menuru cara yang diatur dalam undang-undang.
2. Penyidikan
Penyidikan diatur dalam Pasal
1 angka 2 Kuhap didefinisikan
sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Kuhap untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dari uraian Pasal 1 angka 2 Kuhap tersebut jelas bahwa dalam
penyidikan dugaan adanya tindak pidana
sudah jelas dan dilakukannya penyidikan ditunjukan untuk mengumpulkan bukti dan guna menemukan tersangka.
3. Berita acara Pemeriksaan (BAP)
Berita acara Pemeriksaan adalah Catatan yang berisi mengenai semua kejadian dalam penyidikan yang berhubungan dengan pemeriksaan di tingkat penyidikan berupa pemeriksaan terhadap tersangka, pemeriksaan terhadap saksi, pemeriksaan terhadap ahli dan penghentian penyidikan BAP ini dijadikan jaksa
penuntut umum sebagai dasar untuk
membuat dakwaan, Oleh karena itu jaksa
penuntut umum harus ikut aktif
dalam menentukan arah penyidikan.
Jika dirasah
Penyidikan, yang dilakukan Penyidik telah selesai harus lansung
melimpahkan berkas ke Penuntut Umum agar guna membaawa suatu
perkara hukum yang lebih tinggi diatur
dalam Pasal 110 KUHAP Pasal 1 yaitu: "dalam hal penyidikan
telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut
umum" Wewenang penuntut umum dalam pelimpahan
berkas pidana berdasarkan KUHAP, yaitu melakukan prapenuntutan dan penuntutan. Prapenuntutan bertujuan menyempurnakan penyidikan. Penuntutan dilakukan dengan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan agar segera mengadili perkara disertai surat dakwaan.
Surat dakwaan adalah akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang diberi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh jaksa penuntut umum(JPU).
Untuk menunjukkan, bahwa surat dakwaan
imerupakan akta otentik maka di atasnya tertulis� projustitia� atau� untuk� keadilan,� sebagai� pengganti materai. Oleh karena merupakan akta otentik, Semua kata di dalamnya harus dapat dibuktikan.� Dalam Bahasa belanda
disebacte ivan beschuldiging. tidak dapat dipisahkan dari fungsi jaksa
atau penuntut umum. Surat idakwaan iadalah� isenjata� iutama� penuntut umum untuk menuntut
seseorang ke pengadilan. Hakim memeriksa terdakwa berdasarkan surat dakwaan.
Upaya hukum ialah hak yang terdapat pada terdakwa ataupun Jaksa Penunt Umum pada saat mereka tidak
terima terhadap putusan pengadilan, sehingga upaya hukum ialah bentuk
perlawanan baik dari terdakwa maupun
Jaksa Penuntut Umum berupa
banding, kasasi ataupun peninjauan kembali yang prosedurnya telah ditetapkan dalam KUHAP (Maimunah, 2019: 6). Adapun macam-macam
upaya hukum yakni (Maimunah, 2019: 6):
1. Upaya Hukum Biasa
a. Banding
Banding merupakan hak yang diberikan kepada terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan tingkat pertama. Upaya banding ini tidak dapat dilakukan
terhadap putusan bebas murni, tidak
murni ataupun putusan lepas.
b. Kasasi
Kasasi ialah upaya perlawanan terhadap putusan tingkat terakhir, yang mana hak ini diberikan
kepada terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum. Pemeriksaan kasasi ini dilakukan
oleh Mahkamah Agung. Upaya kasasi
ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan bebas
murni.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
a. Kasasi demi kepentingan hukum
Kasasi demi kepentingan
hukum berlaku bagi semua putusan
yang telah inkracht dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung. Upaya ini dapat dimohonkan oleh Jaksa Agung
sebanyak satu kali.
b. Peninjauan kembali
Peninjauan kembali ini dapat dilakukan
bagi semua putusan yang telah inkracht. Namun, upaya ini tidak
berlaku untuk putusan bebas dan putusan lepas. Didalam Putusan pengadilan Tinggi Jakarta nomor
253/Pid.sus/2021/PT.Dki memutus Terdakwa Meskah Supriadi Lepas dikarenakan
Penuntut umum tidak memasukan pasal 55 KUHP� karena tidak memenuhi
persyaratan materil yang sudah di atur dalam
Pasal 143 Ayat 2 KUHAP atas
kejadian tersebut seharusnya Penegak Hukum dapat mengantisipasi Putusan lepas akibat
dakwaan yang tidak jelas dan lengkap dengan cara Koordinasi
antara Penyidik yang membuat berkas perkara dan yang melimpahkan berkas tersebut ke Penuntut umum,
setelah diberikan berkas tersebut penuntut umum lansung
mereview berkas tanpa menundahnya untuk melihat apakah
berkas tersebut sudah lanyak atau
masih harus dikembalikan kepada penyidik jika penuntut
umum merasa berkas tersebut belom lanyak Penuntut
Umum lansung menyerahkan kepada Penyidik dan memberikan saran-saran apa yang perlu dilengkapi.
Pada kasus ini, Hakim menjatuhkan putusan lepas karena
dakwaan batal demi hukum yang mana seharusnya putusan yang dijatuhnya seyogyanya cukup menyatakan surat dakwaan batal demi hukum dan berkas dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan tidak menjatuhkan putusan lepas. Namun, dikarenakan
pada kasus ini, putusan yang dijatuhkan oleh
hakim adalah putusan lepas, maka upaya
hukum yang dapat kasasi demi kepentingan hukum (diajukan oleh Jaksa Agung)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 259 KUHAP.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
253/PID.SUS/2021/PT.DKI merupakan bentuk
surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan SEJA
004/1993 seehingga berdasarkan
Paaal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan batal demi hukum. Namun, dalam
kasus ini, hakim menjatuhkan putusan lepas akibat surat
dakwaan batal demi hukum, yang mana seharusnya surat dakwaan tersebut
dikembalikan dan diberikan kesempatan untuk diperbaiki dan dapat diajukan dalam persidangan kembali sebagaimana yang telah dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 28/PUU-XX/2022.
Sehingga dalam hal ini,
berdasarkan teori keadilan dari Aristoteles terlihat bahwa hakim telah menjaga hak
terdakwa untuk tidak didakwa dengan
dakwaan cacat materil sebagai bentuk pemenuhan keadilan dalam perspektif kesamaan numerik namun, disisi lain, putusan
yang dijatuhkan hakim tidak
mencerminkan keadilan korektif yang mana seharusnya diupayakan untuk mengembalikan keseimbangan setelah kejahatan dilakukan baik berupa penjatuhan hukuman maupun ganti kerugian.
Penegak Hukum dapat mengantisipasi Putusan lepas akibat
dakwaan yang tidak jelas dan lengkap dengan cara Koordinasi
antara Penyidik yang membuat berkas perkara dan yang melimpahkan berkas tersebut ke Penuntut umum,
setelah diberikan berkas tersebut penuntut umum lansung
mereview berkas tanpa menundahnya untuk melihat apakah
berkas tersebut sudah lanyak atau
masih harus dikembalikan kepada penyidik jika penuntut
umum merasa berkas tersebut belom lanyak Penuntut
Umum lansung menyerahkan kepada Penyidik dan memberikan saran-saran apa yang perlu dilengkapi.Namun, karena dalam putusan
ini dijatuhkan putusan lepas maka
upaya yang dapat dilakukan ialah kasasi demi kepentingan hukum.
BIBLIOGRAFI
A, Ganda Yusuf. (2019). �Kewajiban Menyampaikan Surat
Dakwaan Oleh Penuntut Umum Kepada Terdakwa Atau Penasihat Hukumnya�.
Jurist-diction, 2 (3), 891-905.
Adlhiyati, Zakki dan Achmad. (2019). �Melacak Keadilan
Dalam Regulasi Poligami: Kajian Filsafat Keadilan Aristoteles, Thomas Aquinas
dan John Rawls�. Undang: Jurnal Hukum, 2 (2), 409-431.
Amin, Subhan. (2019). �Keadilan Dalam Perspektif
Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat�. 8 (1), 1-10.
Disemadi, Hari Sutra. (2022), �Lensa Penelitian Hukum:
Esai Deskriptif tentang Metodologi Penelitian Hukum�. Journal of Judicial
Review, 24 (2), 289-304.
Bahreisy, Budi. (2018). �Implementasi Undang-undang
Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Kerugian Negara Dari Tindak Pidana
Korupsi�. Jurnal Legislasi Indonesia, 15 (2), 103-117.
Firmansyah, Hery, (2022). Menuju Keadilan Substantif:
Analisis Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Sidang Praperadilan Tindak
Pidana Korupsi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2022.
Imani, Dahriyanto. (2016). �Akibat Hukum Jika Surat
Dakwaan Dinyatakan Obscuur Libel Oleh Hakim�. Lex Crimen, V (5), 28-36.
Jitmau, Sefnat, (2009). �Tinjauan Terhadap Fungsi
Pelayanan Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 (Kajian Terhadap Fungsi
Pelayanan Publik Dibidang Infrastruktur di Kota Jayapura di Era Otonomi
Khusus)�. Tesis. Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Maimunah. (2019). �Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan
Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum�. Journal of Law, 6 (1), 1-15
Mawey, Andre G. (2016). �Pertimbangan Hakim Dalam
Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum�. Lex Crimen, V (2),
82-90.
Muslih, M. (2013). �Negara Hukum Indonesia Dalam Teori
Hukum Gustav Redbruch�. Legalitas, IV (1): 130-152.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XX/2022
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012
Sardari, Ahmad Asif dan Ja�far Shodiq. (2022).
�Peradilan dan Pengadilan Dalam Konsep Dasar, Perbedaan dan Dasar Hukum�.
JIFLAW: Journal of Islamic Family Law, 1 (1): 11-23.
Santoso, Hari Agus. (2021). �Perspektif Keadilan Hukum
Teori Gustav Radbruch Dalam Putusan PKPU �PTB�. Jatiswara, 36 (3), 325- 334.
Sulistiyono, Adi dan Isharyanto. (2018). Sistem
Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group.
Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor
SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan
Wijaya, Made Hendra. (2013). �Keberadaan Konsep Rule
By Law (Negara Berdasarkan Hukum) di dalam Teori Negara Hukum The Rule of Law�.
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 2 (3), 1-14.
Copyright holder: Bryan, Ade Adhari
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |