Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

ANALISIS KEADILAN DALAM PUTUSAN LEPAS AKIBAT DAKWAAN OBSCUUR LIBEL

 

Bryan, Ade Adhari

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Dalam kata peradilan dan pengadilan sama-sama terdapat kata �adil� yang secara tidak langsung menunjukan bahwa justitiabelen mengharapkan mendapatkan keadilan melalui proses peradilan yang dilakukan di pengadilan. Namun, tidak selamanya proses penegakkan hukum berjalan lancar. Bahkan terkadang penegakkan hukum terhalang karena adanya kekurangan dalam surat dakwaan yang mengakibatkan surat dakwaan cacat secara materil sehingga harus dinyatakan batal demi hukum dan dijatuhkan putusan lepas sebagaimana yang terjadi dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI. Adapun rumusan masalah yang diangkat ialah Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap dan upaya hukum terhadap Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI). Adapun jenis penelitian yang digunakan ialah normatif dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan. Data tersebut disajikan secara deskriptif dan dianalisa dengan logika deduktif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Dari hasil penelitian menunjukan bahwasanya dalam putusan tersebut hakim telah menjaga hak terdakwa sebagai bentuk pemenuhan keadilan dalam perspektif kesamaan numerik namun, disisi lain, putusan yang dijatuhkan hakim tidak mencerminkan keadilan korektif. Adapun upaya pencegahan untuk menghindari putusan lepas dengan cara kerja sama antara Penyidik dengan Penuntut Umum.

 

Kata Kunci: Keadilan, Dakwaan Batal Demi Hukum, Putusan Lepas.

 

Abstract

In the words judiciary and court both contain the word "fair" which indirectly indicates that the justitiabelen expects to obtain justice through the judicial process conducted in court. However, the law enforcement process does not always run smoothly. In fact, sometimes law enforcement is hindered due to deficiencies in the indictment which results in the indictment being materially defective so that it must be declared null and void and an acquittal is issued, as happened in the case of the Jakarta High Court Decision Number 253/PID.SUS/2021/PT.DKI. The formulation of the problem raised is the Analysis of Justice in Release Decisions Due to Unclear and Complete Charges and legal remedies for Analysis of Justice in Release Decisions Due to Unclear and Complete Accusations (Study of Decision of the Jakarta High Court Number 253/PID.SUS/2021/PT.DKI). The type of research used is normative by using secondary data collected by library research. The data is presented descriptively and analyzed using deductive logic with a statutory approach and a case approach. The results of the study show that in this decision the judge has safeguarded the rights of the accused as a form of fulfilling justice in the perspective of numerical equality but, on the other hand, the decision handed down by the judge does not reflect corrective justice. There are preventive measures to avoid acquittal decisions by collaborating between investigators and public prosecutors.

 

Keywords: Justice, The Charges Are Null and Void, The Verdict Is Released from All Lawsuits.

 

Pendahuluan

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 �(UUD NRI 1945)� dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Kedudukan Indonesia sebagai negara hukum, secara tidak langsung memberikan jaminan bahwa sudah sepantasnya setiap orang mendapatkan keadilan berdasarkan dengan hukum yang ada (Sulistiyono dan Isharyannto, 2018). Hakikat dari konsep negara hukum ialah bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan negara selalu disandarkan pada hukum yang berlaku agar keadilan dapat terjamin dan terwujud bagi warga negaranya (M. Muslih, 2013).

Meskipun memang, dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami perkembangan, yang secara garis besar dibagi menjadi 2 konsep utama yakni rechtstaat dan the rule of law. Meskipun kedua konsep tersebut sama-sama berbasis pada konsep negara hukum, namun terdapat perbedaan diantara keduanya, yakni pada konsep rechstaat unsur-unsurnya ialah bahwa adanya pelaksanaan HAM, dilaksanakannya trias politica, peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam menyelenggarakan negara serta adanya indepedensi dalam peradilan (Wijaya, 2013).

Dalam konsep rechstaat ini tujuan utamanya ialah menerapkan hukum sebagaimana hukum positif mengaturnya (Jimau, 2009). Sedangkan dalam konsep the rule of law unsur-unsurnya ialah supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum dan konstitusi yang mengakomodir HAM (Firmansyah, 2022). Dalam konsep the rule of law, penegakan hukum tidak selamanya terikat secara baku pada tulisan-tulisan yang terdapat dalam hukum positif, namun titik utamanya adalah tercapainya keadilan yang mana mungkin saja dalam mencapai keadilan terdapat suatu sikap diskresi/penyimpangan dari hakim terhadap hukum positif dalam tercapainya keadilan (Jimau, 2009).

Adapun kedudukan Indonesia dalam konsep negara hukum yakni menerapkan konsep prismatik dan integratif yakni mengkombinasikan konsep rechstaat yang bertumpu pada kepastian hukum dan konsep the rule of law yang mengacu pada tercapainya keadilan (Firmansyah, 2022). Namun, meskipun kedua konsep tersebut seakan terpisah, namun terdapat satu kesamaan dalam unsur kedua konsep tersebut yakni supremasi hukum. Salah satu bentuk nyata dari supremasi hukum yakni adanya penegakkan hukum, yang mana salah satu bentuk dari penegakkan hukum ialah dilaksanakannya peradilan.

Peradilan terdiri dari kata �per�, �adil�, dan �an�. Peradilan merupakan terjemahan frasaqadhadalam bahasa Arab yang berartimenghalangi� yang maknanya ialah bertujuan untuk menghindari orang-orang daripada kedzaliman/sikap aniaya. Dalam hal ini, berarti ketika hakim telah memutus bermakna bahwa hakim telah meletakkan hak pada tempatnya secara proporsional dan mengembalikan segala sesuatunya pada yang memiliki hak tersebut (Sardari dan Shodiq, 2022).

Adapun pengertian dari peradilan dari H, Mohammad Daud ialah suatu prosesi yang ditujukkan untuk memberikan keadilan yang dilaksanakan oleh instansi yang memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan, dan penyelesaian dari suatu sengketa yang diberikan pada instansi tersebut. Sedangkan Mahadi mendefinisikan peradilan ialah suatu proses yang muaranya ialah untuk memberikan keadilan melalui putusan yang dijatuhkan. Sedangkan pengadilan secara singkat ialah instansi yang memiliki tugas untuk melaksanakan peradilan (Sardari dan Shodiq, 2022).

Dalam kata �peradilanmaupunpengadilanterdapat kata �adil� yang tidak terpisahkan dari keduanya. Hal ini menunjukan bahwa pengadilan ialah tempat dimana justitiabelen/para pencari keadilan berharap diberikan keadilan. Pada hakikatnya hukum bertujuan untuk tercapainya keadilan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Gustav Radbruch bahwasanya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum yakni keadilan, kepastian serta kemanfaatan (Santoso, 2021). Ketiga nilai tersebut saling memperebutkan untuk diterapkan, namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakannya asas prioritas yang mana keadilan menempati posisi pertama untuk diterapkan, lalu setelahnya adalah kemanfaatan dan kepastian dalam hukum (Santoso, 2021).

Namun, faktanya menegakkan hukum demi tercapainya keadilan tidak semudah yang dibayangkan. Seringkali proses peradilan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan dakwaan seringkali menghambat proses peradilan bahkan proses peradilan sampai harus dihentikan melalui putusan hakim karena dakwaan yang dibuat tidak memenuhi syarat yang ditetapkan sehingga harus dibatalkan ataupun batal demi hukum.

Dalam Putusan Nomor 253/PID.SUS/2021/PT DKI menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dikarenakan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dinilai tidak jelas dan tidak lengkap sehingga dinyatakan batal demi hukum. Dakwaan merupakan sebuah akta yang berisi uraian rangkaian tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang sumbernya ialah hasil pemeriksaan dan penyidikan.

Surat dakwaan merupakan bagian yang terpenting dalam proses sidang dikarenakan dakwaan itulah yang akan menjadi dasar bagi hakim untuk memeriksa, dasar bagi terdakwa untuk menyampaikan eksepsi sekaligus pembelaan, serta dasar untuk melaksanakan pembuktian dalam persidangan (Yusuf A, 2019). Sebegitu krusialnya kedudukan surat dakwaan bahkan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP dinyatakan bahwa sejatinya dalam membuat putusan, hakim bersandar pada surat dakwaan dan pembuktian.

Bahkan apabila hakim memutus diluar tuntutan Jaksa Penuntut Umum selama hakim masih berada pada koridor surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum hal tersebut dapat diterima berdasarkan Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa surat dakwaan-lah yang akan memandu jalannya persidangan dari awal, pembuktian hingga akhir. Sebegitu besarnya kedudukan surat dakwaan dalam proses persidangan, sehingga kesalahan ataupun kekurangan maupun kekeliruan yang terdapat dalam surat dakwaan memiliki konsekuensi yang tinggi yakni dibatalkan ataupun batal demi hukum yang bisa saja berujung pada penjatuhan putusan lepas dari hakim.

Tujuan Penelitian ini (1) Untuk mengetahui dan memahami analisis keadilan dalam putusan lepas akibat dakwaan tidak jelas dan lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI). (2) Untuk mengetahui dan memahami upaya Penegak hukum dalam mengantisipasi putusan lepas yang disebabkan Surat dakwaan tidak jelas dan lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)?

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, adapun rumusan masalah yang diangkat oleh penulis ialah: 1) Bagaimana Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)? 2) Bagaimana upaya Penegak Hukum dalam mengantisipasi Putusan Lepas yang disebabkan Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian normatif ialah penelitian yang melakukan kajian hukum sebagai konsep norma atau kaidah yang menjadi pedoman dan kaidah di masyarakat (Disemadi, 2022). Sifat penelitian ini yakni deskriptif. Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah data sekunder dengan teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sedangkan teknik analisa yang digunakan ialah dengan logika deduktif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Analisis Keadilan Dalam Putusan Lepas Akibat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)

Dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan �(SEJA 004/1993)� dinyatakan bahwa surat dakwaan menduduki posisi utama dalam proses persidangan sebagai dasar pemeriksaan serta untuk memberi batasan ruang lingkup dalam pemeriksaan di persidangan. Bahkan sebegitu pentingnya kedudukan dari surat dakwaan, sampai disebutkan bahwa surat dakwaan adalah �mahkota� dari Jaksa Penuntut Umum.

Adapun fungsi dari surat dakwaan ialah: 1) Bagi hakim, surat dakwaan sebagai guide/dasar serta pembatasan ruang lingkup pemeriksaan persidangan dan juga dijadikan sebagai dasar dalam mempertimbangkan dalam menjatuhkan putusan. 2) Bagi Jaksa Penuntut Umum, surat dakwaan sebagai guide untuk melakukan pembuktian, menuntut serta untuk mengajukan upaya hukum. 3) Bagi terdakwa dan penasihat hukum yakni sebagai dasar dalam membuat pembelaan di persidangan.

Dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP disebutkan syarat dakwaan yakni: �Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi; a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.�

Dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP disebutkan bahwa �Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentutan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b �batal demi hukum.� Pasal 143 ayat (2) huruf a disebutkan sebagai syarat formil surat dakwaan yang mana, jika syarat formil ini tidak terpenuhi secara sempurna, maka dapat berakibat dibatalkan oleh hakim (verniegtigbaar) (Bahreisy, 2018). Sedangkan Pasal 143 ayat (2) huruf b dinyatakan sebagai syarat materil (Bahereisy, 2018), dan jika syarat materil yang tidak terpenuhi maka berakibat batal demi hukum (absolut nietig) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

Dalam SEJA 004/1993 diuraikan penjelasan mengenai syarat materil yakni: �a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan�

Dalam SEJA 004/1993 dijelaskan bahwa frasa �cermat� diartikan sebagai bentuk sikap teliti Jaksa Penuntut Umum. Frasa �cermat� diletakkan didepan yang bermakna menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum selalu teliti dan korek. Dalam frasa �cermat� bermakna bahwa Jaksa Penuntut Umum harus mempersiapkan dakwaan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang tepat untuk diberlakukan kepada terdakwa tanpa adanya kekeliruan maupun kekurangan.

Selain itu, frasa �cermat� juga menuntut Jaksa Penuntut Umum untuk paham dengan jelas runtutan peristiwa yang memang menunjukan adanya tindak pidana dan harus mencermati apakah ada faktor-faktor yang dapat membuat surat dakwaan menjadi batal yakni kapabilitas terdakwa dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, tindakan berulang terdakwa, nebis in idem dan terkait wilayah yurisdiksinya yang berkaitan dengan kompetensi relatif (Imani, 2016).

Dalam SEJA 004/1993 dijelaskan frasa �jelas� bermakna bahwa dalam surat dakwaan harus memuat runtutan kejadian yang berisi fakta-fakta secara jelas, yang bertujuan agar terdakwa hal yang didakwakan kepada dirinya, perbuatan apa yang dilakukan yang merujuk pada suatu tindak pidana hingga didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum guna pembuatan pembelaan sebaik mungkin. Secara garis besar, dijelaskan bahwa makna dari frasa �jelas� mengandung konsekuensi bahwa Jaksa Penuntut Umum harus mampu memberi rumusan unsur delik yang didukung fakta yang ada untuk membuktikan tindak pidana tersebut. Sehingga dalam hal ini, Jaksa Penuntut Umum tidak diperkenankan untuk mencampuradukan unsur delik yang satu dengan unsur delik lain yang unsurnya berbeda (Imani, 2016).

Sedangkan frasa �lengkap� dalam SEJA 004/1993 dijelaskan sebagai segala unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana yang didakwakan harus termuat dalam surat dakwaan. Unsur yang ditentutkan dalam peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara lengkap yang mana unsur tersebut harus dapat dilihat dan dibuktikan dalam runtutuan fakta peristiwa yang termuat dalam surat dakwaan. Frasa �lengkap� bermakna bahwa dalam surat dakwaan tidak diperkenankan jika terdapat unsur tindak pidana yang tidak dilakukan perumusan secara lengkap atau dengan kata lain uraian perbuatan materiil tidak dijelaskan secara tegas dan jelas, sehingga tindakan-tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai delik menurut peraturan perundang-undangan (Imani, 2016).

Dalam SEJA 004/1993 disebutkan bahwa surat dakwaan dapat dikatakan telah memenuhi syarat materil jika terdapat uraian utuh dan bulat mengenai: �1) Tindak pidana yang dilakukan. 2) Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. 3) Dimana tindak pidana di lakukan. 4) Kapan tindak pidana di lakukan. 5) Bagaimana tindak pidana itu dilaksanakan. 6) Akibat dari perbuatan tindak pidana jika delik yang digunakan ialah delik materiil. 7) Apa yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana itu. 8) ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan�.

Hal-hal yang disebutkan diatas harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan kasus yang terjadi yakni sesuai delik yang didakwakan (delik formil/materil). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diringkas bahwasanya syarat formil ialah syarat yang berkaitan dengan formalitas pembuatan surat dakwaan sedangkan syarat materil berkaitan dengan kelayakan substansi/isi dari surat dakwaan.

Jika kita analisa Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI terdapat pertimbangan hakim yang akhirnya memutus bahwa surat�� dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum yakni dalam dakwaan dituliskan bahwaterdakwa MS (inisial) bersama-sama dengan BI (inisial) yang dilakukan pemeriksaan secara terpisah (splitsing) yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya

Atas tindakan tersebut, Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa MS dengan dakwaan tunggal dengan Pasal 39A huruf a jo Pasal 43 ayat (1) UU 28/2007 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam dakwaan tersebut ditulis secara jelasbersama-sama� �yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan.� Sedangkan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 28/2007 tidak menjelaskanturut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan.� Sehingga dalam hal ini, hakim berpendapat bahwa sudah seharusnya Jaksa Penuntut Umum menyertakan Pasal 55 KUHP tentang yang mengatur mengenaiturut serta melakukan, menyuruh melakukan dan menganjurkan melakukan�, serta juga harus disertakan Pasal 56 KUHP jika memang Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa terdakwa membantu melakukan. Sehingga dalam hal ini hakim berpendapat bahwa dengan tidak adanya Pasal 55 KUHP ataupun Pasal 56 KUHP yang disertakan dalam pasal yang didakwakan.

Selain itu dalam pertimbangannya hakim juga menyatakan bahwa dalam surat dakwaan yang menggunakan frasa �yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan�, merupakan bentuk mencampuradukan antara Pasal 55 KUHP yang mengatur mengenaiturut serta melakukan, menyuruh melakukan dan menganjurkan melakukandengan Pasal 56 KUHP yang mengatur mengenai membantu melakukan. Dalam pertimbangannya, hakim mengutip pendapat Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., bahwasanya terdapat perbedaan antara Pasal 55 KUHP dengan Pasal 56 KUHP, sehingga unsur kedua pasal tersebut tidak dapat dicampuradukan. Atas hal-hal tersebutlah, hakim berpendapat bahwa surat dakwaan yang dibuat jaksa menjadi tidak jelas dan tidak lengkap (obscuur libel), karena dalam hal ini menunjukan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak mampu melakukan perumusan peraturan perundang-undangan dengan cermat.

Hal-hal tersebut menunjukan bahwa dalam surat dakwaan yang dibuat tidaklah cermat dan lengkap karena tidak menyertakan Pasal 55 KUHP ataupun Pasal 56 KUHP, selain itu surat dakwaan tersebut menunjukan pula ketidakjelasan yang mana Jaksa Penuntut Umum berusaha mencampuradukan unsur dari pasal yang berbeda. Padahal salah satu makna dari frasajelasialah Jaksa Penuntut Umum tidak diperkenankan untuk mencampuradukan unsur delik yang satu dengan unsur delik lain yang unsurnya berbeda. Hal tersebut menunjukan bahwa surat dakwaan penuntut umum tidak memenuhi syarat materil maka berdasarkan Pasal 143 ayat (3) maka surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah batal demi hukum (van rechtswegenietig/null and void) (Imani, 2016).

Dalam Putusan MK Nomor 28/PUU-XX/2022 dinyatakan bahwa memang Pasal 143 ayat (3) ini merupakan bentuk penekanan perlindungan hak terdakwa untuk dapat didakwa dengan surat dakwaan yang sesuai dengan syarat formil dan materil. Hal ini ditujukan untuk menghindari terdakwa dari kebingungan dalam pembuatan pembelaan dan menghindarkan terdakwa dari pemeriksaan yang tidak jelas dasarnya sehingga memungkinkan merugikan terdakwa selama proses persidangan.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI yang menyatakan bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha untuk melindungu terdakwa. Namun, salah satu yang harus digarisbawahi ialah penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan dalam putusan ini.

Dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP dinyatakan bahwa putusan hakim dapat berupa pemidanaan, bebas ataupun lepas (Maimunah, 2019: 15). Putusan bebas dijelaskan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan apabila perbuatan yang mengandung kesalahan yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum tidak mampu terbukti secara sah dan meyakinkan. Adapun keadaan tersebut dapat berupa tidak terpenuhinya asas pembuktian dan tidak terpenuhinya asas minimal pembuktian. Sehingga putusan bebas ini dapat dijatuhkan jika kesalahannya tidak terbukti, alat bukti yang digunakan tidak mampu membuktikan kesalahan, batas minimal pembuktian tidak tercapai dan apabila alat bukti cukup namun keyakinan hakim tidak mendukung alat bukti (Mawey, 2016).

Sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan Pasal 191 ayat (2) dijatuhkan apabila perbuatan yang diuraikan dalam surat dakwaan terbukti namun tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini mencakup keadaan seperti seseorang didakwa penggelapan namun sebenarnya tindakan tersebut tidak termasuk lingkup pidana namun perdata, dan juga jika apabila dalam kasus mengandung keadaan khusus yang membuat terdakwa tidak memiliki kapabilitas untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya (Mawey, 2016). Terakhir, putusan pemidanaan dijatuhkan jika memang hakim yakin bahwa kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan selama proses pemeriksaan yakni minimal 2 (dua) alat bukti dan keyakinan hakim (Mawey, 2016).

Berdasarkan uraian tersebut, maka sejatinya surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang batal demi hukum tidak dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini dikarenakan putusan lepas hanya dapat diberikan jika perbuatan terdakwa terbukti namun terbukti pula bahwa tindakan tersebut tidak masuk ranah pidana, ataupun dasar lain yang dapat digunakan ialah jika terdakwa tidak memiliki kapabilitas untuk mempertanggungjawabkannya. Sedangkan surat dakwaan batal demi hukum tidak termasuk keduanya.

Selain itu, jika kita lihat contoh kasus Putusan Nomor 154/Pid.Sus/2020/PN Pwt yang mana surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinyatakan batal demi hukum, dalam amar putusannya hakim menyatakan: �1. Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa Umar Husni tersebut diterima; 2. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDS-01/Pkrto/Ft.2/01/2020 tanggal 31 Agustus 2020 batal demi hukum; 3. Memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini beserta seluruh barang bukti kepada Penuntut Umum; 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara�

Terlihat jelas bahwa dalam putusannya hakim tidak menjatuhkan frasalepas dari segala tuntutan hukum�, hanya mengatakan bahwa surat dakwaan batal demi hukum dan mengembalikan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Bahkan dalam kasus kasus Putusan Nomor 154/Pid.Sus/2020/PN Pwt, setelah berkas dikembalikan dan Jaksa Penuntut Umum diberikan kesempatan untuk memperbaiki dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum berkali-kali membenarkan surat dakwaannya, bahkan terdakwa sampai mendapatkan 6 putusan yakni 3 putusan pengadilan negeri dan 3 putusan pengadilan tinggi yang mana putusannya menyatakan dakwaan batal demi hukum.

Atas hal tersebut, terdakwa mengajukan judicial review yang akhirnya melahirkanPutusan MK Nomor 28/PUU-XX/2022 yang pada intinya menetapkan bahwa Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang menyatakan surat dakwaan batal demi huikum tidak mengikat dan mempunyai kekuatan hukum selama tidak dimaknai sebagai surat dakwaan yang telah ditetapkan batal atau batal demi hukum oleh hakim, Jaksa Penuntut Umum dapat memperbaiki dan mengajukan kembali kedalam persidangan sebanyak 1 (satu) kali dan jika penasihat hukum masih mengajukan keberatan atas hal tersebut, maka hakim akan segera melakukan pemeriksaan, pertimbangan dan memberi putusan bersamaan dengan pokok perkara dalam putusan akhir. Hal ini menunjukan bahwa tidak secara serta merta surat dakwaan batal demi hukum diberikan putusan lepas, namun seharusnya surat dakwaan tersebut dikembalikan untuk diperbaiki oleh Jaksa Penuntut Umum.

Putusan lepas dalam surat dakwaan batal demi hukum berdasarkan teori keadilan menghasilkan pendapat yang saling bersebrangan bak 2 (dua) mata pisau. Dalam teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles yakni bahwa keadilan dipersamakan dengan persamaan. Namun ia membagi persamaan menjadi 2 (dua) yakni adanya kesamaan numerik dan proporsional. Kesamaan numerik memposisikan semua manusia dalam persamaan. Kesamaan numerik biasanya mengacu pada hak-hak dasar fundamental manusia yang mana hak-hak tersebut dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali, yang penerapannya tanpa diskriminasi.

Salah satunya yakni asas equality before the law bahwa semua orang sama kedudukannya dalam hukum. Hak ini tentu dimiliki semua orang tanpa terkecuali, tanpa melihat latar belakang, sosial, agama maupun ras seseorang. Asas tersebut tentulah harus diberikan kepada setiap orang secara adil tanpa terkecuali. Sedangkan kesamaan proporsional ialah hak yang diberikan kepada setiap orang tergantung berdasarkan prestasi, kemampuan dan lain sebagainya sehingga orang-orang yang memiliki prestasi dan kemampuan yang sama harus diberikan hak yang sama pula (Amin, 2019).

Lebih jauh lagi, Aristoteles membagi keadilan menjadi 2 (dua) yakni keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan korektif diartikan sebagai bahwa setiap orang yang memiiliki prestasi yang sama berhak untuk mendapatkan proporsi yang sama. Dalam hal ini ditarik kesimpulan bahwa orang-orang yang sama dari segi prestasinya diperlakukan secara sama dan orang akan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.

Sedangkan keadilan korektif ialah keadilan yang menuntut adanya ganti rugi ataupun reparasi seperti sediakala sebagai upaya untuk mengembalingan keseimbangan saat terjadi sesuatu yang tidak adil. Hal-hal yang diterapkan pada konsep keadilan korektif ialah bahwa hukuman diterapkan sebagai bentuk tebusan atas kejahatan, restitusi ditujukan untuk mengganti kerugian, ataupun hal-hal menguntungkan lain yang ditujukan untuk memulihkan kerugian ataupun kerusakan ekonomi (Adlhiyati dan Achmad, 2019).

Sehingga dalam hal ini, tindakan hakim yang memberikan putusan lepas karena dakwaan batal demi hukum, maka sejatinya dalam perspektif kesamaan numerik yang dikemukakan oleh Aristoteles, maka sejatinya hakim berusaha untuk menjaga hak-hak terdakwa yang dijamin dalam Kuhap. Pasal 143 ayat (3) Kuhap yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat materil maka sejatinya Kuhap sedang berusaha untuk menjaga hak terdakwa agar tidak didakwa dengan dakwaan cacat secara materil yang memungkinkan merugikan terdakwa selama proses persidangan.

Hak terdakwa yang berusaha dijunjung dalam Pasal 143 ayat (3) Kuhap tersebut tentulah harus ditegakkan dan dipenuhi kepada setiap terdakwa tanpa terkecuali karena merupakan bentuk penerapan konkret dari asas equality before the law. Maka, dalam hal ini, sejatinya hakim telah melindungi hak terdakwa dan telah menciptakan keadilan bagi terdakwa.

Namun, disisi lain, hakim juga harus berusaha menegakkan keadilan korektif yakni bahwasanya perlu adanya upaya untuk mengganti kerugian dari suatu tindakan kejahatan baik berupa penjatuhan hukuman maupun ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh pelaku. Maka, dalam hal ini, hakim telah menjalankan konsep keadilan dalam perspektif kesamaan numerik namun tidak menjalankan keadilan korektif itu sendiri.

Dalam kasus ini, seharusnya demi menegakkan keadilan dalam perspektif numerik dan keadilan korektif maka seharusnya, hakim membatalkan dakwaan tersebut untuk menjaga terdakwa didakwa dari dakwaan yang cacat, namun disisi lain perlu adanya penegakan keadilan korektif untuk mengembalikan keseimbangan setelah kejahatan terjadi, yakni seharusnya hakim mengembalikan surat dakwaan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk diperbaiki dan pemeriksaan dimulai kembali setelah Jaksa Penuntut Umum memperbaiki surat dakwaannya secara layak.

 

B.     Upaya Penegak Hukum dalam Mengantisipasi Putusan Lepas yang disebabkan Surat Dakwaan Tidak Jelas Dan Lengkap (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI)

Dalam sistem hukum Indonesia, hukum pidana dapat diartikan secara sempit dan dapat diartikan secara luas. Hukum pidana dalam arti sempit hanya merupakan hukum pidana material saja yakni berisi norma-norma yang mengatur mengenai Tindakan- tindakan yang merupakan Tindakan pidana dan pidananya. Sedangkan hukum pidana dalam arti luas teridiri dari hukum pidana (subtantif dan material) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Hukum acara pidana di Indonesia secara umum telah di atur dikondifisikan kedalam satu dokumen Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara pidana atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana.

Pengertian Penyelidikan, Penyidikan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia (Polri) akan diterangkan sebagai berikut:

1. Penyelidikan

Penyelidikan diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP di definisikan sebagai serangkaian Tindakan/penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menuru cara yang diatur dalam undang-undang.

 

2. Penyidikan

Penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 2 Kuhap didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kuhap untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dari uraian Pasal 1 angka 2 Kuhap tersebut jelas bahwa dalam penyidikan dugaan adanya tindak pidana sudah jelas dan dilakukannya penyidikan ditunjukan untuk mengumpulkan bukti dan guna menemukan tersangka.

 

3. Berita acara Pemeriksaan (BAP)

Berita acara Pemeriksaan adalah Catatan yang berisi mengenai semua kejadian dalam penyidikan yang berhubungan dengan pemeriksaan di tingkat penyidikan berupa pemeriksaan terhadap tersangka, pemeriksaan terhadap saksi, pemeriksaan terhadap ahli dan penghentian penyidikan BAP ini dijadikan jaksa penuntut umum sebagai dasar untuk membuat dakwaan, Oleh karena itu jaksa penuntut umum harus ikut aktif dalam menentukan arah penyidikan.

Jika dirasah Penyidikan, yang dilakukan Penyidik telah selesai harus lansung melimpahkan berkas ke Penuntut Umum agar guna membaawa suatu perkara hukum yang lebih tinggi diatur dalam Pasal 110 KUHAP Pasal 1 yaitu: "dalam hal penyidikan telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum" Wewenang penuntut umum dalam pelimpahan berkas pidana berdasarkan KUHAP, yaitu melakukan prapenuntutan dan penuntutan. Prapenuntutan bertujuan menyempurnakan penyidikan. Penuntutan dilakukan dengan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan agar segera mengadili perkara disertai surat dakwaan.

Surat dakwaan adalah akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang diberi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh jaksa penuntut umum(JPU). Untuk menunjukkan, bahwa surat dakwaan imerupakan akta otentik maka di atasnya tertulisprojustitiaatauuntukkeadilan,sebagaipengganti materai. Oleh karena merupakan akta otentik, Semua kata di dalamnya harus dapat dibuktikan.Dalam Bahasa belanda disebacte ivan beschuldiging. tidak dapat dipisahkan dari fungsi jaksa atau penuntut umum. Surat idakwaan iadalahisenjataiutamapenuntut umum untuk menuntut seseorang ke pengadilan. Hakim memeriksa terdakwa berdasarkan surat dakwaan.

Upaya hukum ialah hak yang terdapat pada terdakwa ataupun Jaksa Penunt Umum pada saat mereka tidak terima terhadap putusan pengadilan, sehingga upaya hukum ialah bentuk perlawanan baik dari terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum berupa banding, kasasi ataupun peninjauan kembali yang prosedurnya telah ditetapkan dalam KUHAP (Maimunah, 2019: 6). Adapun macam-macam upaya hukum yakni (Maimunah, 2019: 6):

1. Upaya Hukum Biasa

a. Banding

Banding merupakan hak yang diberikan kepada terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan tingkat pertama. Upaya banding ini tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas murni, tidak murni ataupun putusan lepas.

b. Kasasi

Kasasi ialah upaya perlawanan terhadap putusan tingkat terakhir, yang mana hak ini diberikan kepada terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum. Pemeriksaan kasasi ini dilakukan oleh Mahkamah Agung. Upaya kasasi ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan bebas murni.

2. Upaya Hukum Luar Biasa

a. Kasasi demi kepentingan hukum

Kasasi demi kepentingan hukum berlaku bagi semua putusan yang telah inkracht dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung. Upaya ini dapat dimohonkan oleh Jaksa Agung sebanyak satu kali.

b. Peninjauan kembali

Peninjauan kembali ini dapat dilakukan bagi semua putusan yang telah inkracht. Namun, upaya ini tidak berlaku untuk putusan bebas dan putusan lepas. Didalam Putusan pengadilan Tinggi Jakarta nomor 253/Pid.sus/2021/PT.Dki memutus Terdakwa Meskah Supriadi Lepas dikarenakan Penuntut umum tidak memasukan pasal 55 KUHPkarena tidak memenuhi persyaratan materil yang sudah di atur dalam Pasal 143 Ayat 2 KUHAP atas kejadian tersebut seharusnya Penegak Hukum dapat mengantisipasi Putusan lepas akibat dakwaan yang tidak jelas dan lengkap dengan cara Koordinasi antara Penyidik yang membuat berkas perkara dan yang melimpahkan berkas tersebut ke Penuntut umum, setelah diberikan berkas tersebut penuntut umum lansung mereview berkas tanpa menundahnya untuk melihat apakah berkas tersebut sudah lanyak atau masih harus dikembalikan kepada penyidik jika penuntut umum merasa berkas tersebut belom lanyak Penuntut Umum lansung menyerahkan kepada Penyidik dan memberikan saran-saran apa yang perlu dilengkapi.

Pada kasus ini, Hakim menjatuhkan putusan lepas karena dakwaan batal demi hukum yang mana seharusnya putusan yang dijatuhnya seyogyanya cukup menyatakan surat dakwaan batal demi hukum dan berkas dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan tidak menjatuhkan putusan lepas. Namun, dikarenakan pada kasus ini, putusan yang dijatuhkan oleh hakim adalah putusan lepas, maka upaya hukum yang dapat kasasi demi kepentingan hukum (diajukan oleh Jaksa Agung) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 259 KUHAP.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Studi Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 253/PID.SUS/2021/PT.DKI merupakan bentuk surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan SEJA 004/1993 seehingga berdasarkan Paaal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan batal demi hukum. Namun, dalam kasus ini, hakim menjatuhkan putusan lepas akibat surat dakwaan batal demi hukum, yang mana seharusnya surat dakwaan tersebut dikembalikan dan diberikan kesempatan untuk diperbaiki dan dapat diajukan dalam persidangan kembali sebagaimana yang telah dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 28/PUU-XX/2022.

Sehingga dalam hal ini, berdasarkan teori keadilan dari Aristoteles terlihat bahwa hakim telah menjaga hak terdakwa untuk tidak didakwa dengan dakwaan cacat materil sebagai bentuk pemenuhan keadilan dalam perspektif kesamaan numerik namun, disisi lain, putusan yang dijatuhkan hakim tidak mencerminkan keadilan korektif yang mana seharusnya diupayakan untuk mengembalikan keseimbangan setelah kejahatan dilakukan baik berupa penjatuhan hukuman maupun ganti kerugian.

Penegak Hukum dapat mengantisipasi Putusan lepas akibat dakwaan yang tidak jelas dan lengkap dengan cara Koordinasi antara Penyidik yang membuat berkas perkara dan yang melimpahkan berkas tersebut ke Penuntut umum, setelah diberikan berkas tersebut penuntut umum lansung mereview berkas tanpa menundahnya untuk melihat apakah berkas tersebut sudah lanyak atau masih harus dikembalikan kepada penyidik jika penuntut umum merasa berkas tersebut belom lanyak Penuntut Umum lansung menyerahkan kepada Penyidik dan memberikan saran-saran apa yang perlu dilengkapi.Namun, karena dalam putusan ini dijatuhkan putusan lepas maka upaya yang dapat dilakukan ialah kasasi demi kepentingan hukum.

 

BIBLIOGRAFI

A, Ganda Yusuf. (2019). �Kewajiban Menyampaikan Surat Dakwaan Oleh Penuntut Umum Kepada Terdakwa Atau Penasihat Hukumnya�. Jurist-diction, 2 (3), 891-905.

 

Adlhiyati, Zakki dan Achmad. (2019). �Melacak Keadilan Dalam Regulasi Poligami: Kajian Filsafat Keadilan Aristoteles, Thomas Aquinas dan John Rawls�. Undang: Jurnal Hukum, 2 (2), 409-431.

 

Amin, Subhan. (2019). �Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat�. 8 (1), 1-10.

 

Disemadi, Hari Sutra. (2022), �Lensa Penelitian Hukum: Esai Deskriptif tentang Metodologi Penelitian Hukum�. Journal of Judicial Review, 24 (2), 289-304.

 

Bahreisy, Budi. (2018). �Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Kerugian Negara Dari Tindak Pidana Korupsi�. Jurnal Legislasi Indonesia, 15 (2), 103-117.

 

Firmansyah, Hery, (2022). Menuju Keadilan Substantif: Analisis Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Sidang Praperadilan Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2022.

 

Imani, Dahriyanto. (2016). �Akibat Hukum Jika Surat Dakwaan Dinyatakan Obscuur Libel Oleh Hakim�. Lex Crimen, V (5), 28-36.

 

Jitmau, Sefnat, (2009). �Tinjauan Terhadap Fungsi Pelayanan Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 (Kajian Terhadap Fungsi Pelayanan Publik Dibidang Infrastruktur di Kota Jayapura di Era Otonomi Khusus)�. Tesis. Universitas Atmajaya Yogyakarta.

 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

 

Maimunah. (2019). �Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum�. Journal of Law, 6 (1), 1-15

 

Mawey, Andre G. (2016). �Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum�. Lex Crimen, V (2), 82-90.

 

Muslih, M. (2013). �Negara Hukum Indonesia Dalam Teori Hukum Gustav Redbruch�. Legalitas, IV (1): 130-152.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XX/2022

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012

 

Sardari, Ahmad Asif dan Ja�far Shodiq. (2022). �Peradilan dan Pengadilan Dalam Konsep Dasar, Perbedaan dan Dasar Hukum�. JIFLAW: Journal of Islamic Family Law, 1 (1): 11-23.

 

Santoso, Hari Agus. (2021). �Perspektif Keadilan Hukum Teori Gustav Radbruch Dalam Putusan PKPU �PTB�. Jatiswara, 36 (3), 325- 334.

 

Sulistiyono, Adi dan Isharyanto. (2018). Sistem Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group.

 

Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan

 

Wijaya, Made Hendra. (2013). �Keberadaan Konsep Rule By Law (Negara Berdasarkan Hukum) di dalam Teori Negara Hukum The Rule of Law�. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 2 (3), 1-14.

 

Copyright holder:

Bryan, Ade Adhari (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: