Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398


Vol. 8, No. 11, November 2023

 

PENGATURAN PEMBERITAHUAN PRA MERGER DAN DAMPAKNYA: STUDI PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA DAN KOREA SELATAN

 

Muhammad Romy1*, Gatot P. Soemartono2

1*,2Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta

Email: 1*[email protected], 2[email protected]

 

Abstrak

Ekspansi ekonomi dunia berdampak pada merger, penggabungan, dan pengambilalihan, yang menghasilkan kebutuhan akan sistem baru. Penerapan notifikasi pasca-merger di Indonesia menimbulkan kesulitan bagi para pelaku bisnis terkait regulasi akuntansi dan keuangan. Penelitian ini adalah melihat dampak dari notifikasi pra-merger dengan membandingkan antara Indonesia dan Korea Selatan. Penelitian komparatif ini menjadi landasan untuk menganalisis evaluasi sistem notifikasi. Untuk itu, perlu dijawab permasalahan terkait dengan bagaimana konsekuensi sistem post-notification di Indonesia dan pre-notification di Korea Selatan terhadap persaingan usaha tidak sehat; dan bagaimana dampak penerapan pre-merger notification di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pre-merger notification oleh Korea Selatan merupakan penegakan hukum yang ketat di semua sektor persaingan usaha. Keberhasilan penerapan sistem notifikasi pra-merger di Korea Selatan membuat penerapan sistem serupa di Indonesia menjadi bermanfaat. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang berniat untuk merger perlu memberikan laporan dan pemberitahuan kepada KPPU untuk memfasilitasi penilaian, pemantauan dan pengawasan yang tepat, sehingga dapat mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

 

Kata kunci: Notifikasi Pra-Merger, Persaingan Usaha, KPPU, Indonesia, Korea Selatan

 

Abstract

The expansion of the world economy has resulted in mergers, mergers, and takeovers, resulting in the need for new systems. The implementation of post-merger notifications in Indonesia creates difficulties for business players regarding accounting and financial regulations. This research is to look at the impact of pre- merger notifications by comparing Indonesia and South Korea. This comparative research is the basis for analyzing notification system evaluations. For this reason, it is necessary to answer problems related to the consequences of the post- notification system in Indonesia and pre-notification in South Korea on unfair

 

How to cite:

Muhammad Romy; Gatot P.

Studi Perbandingan Antara literate.v8i11

Soemartono Indonesia

(2023) Pengaturan Pemberitahuan Pra Merger dan Dampaknya: dan Korea Selatan, (8) 11, https://doi.org/10.36418/syntax-

E-ISSN:

2548-1398

Published by:

Ridwan Institute


business competition; and what is the impact of implementing pre-merger notification in Indonesia. The research results show that South Korea's pre-merger notification method is strict law enforcement in all business competition sectors. The successful implementation of a pre-merger notification system in South Korea makes implementing a similar system in Indonesia beneficial. Therefore, companies intending to merge need to provide reports and notifications to the KPPU to facilitate appropriate assessment, monitoring and supervision, so as to prevent monopolistic practices and unfair business competition.

Keyword: Pre Merger Notification, Business Competition, KPPU, Indonesia, South Korea

 

Pendahuluan

Globalisasi ekonomi yang tengah terjadi saat ini memberikan warna yang lebih beragam dengan keadaan sebelumnnya. Namun disamping itu, perlu disadari bahwa hal tersebut rentan gangguan terhadap ketidakstablian (Priowirjanto, 2021)Dalam kondisi ini, baik pelaku usaha maupun perusahaan secara alami akan semakin kompetitif demi mempertahankan dan memajukan kegiatan ekonominya masing-masing. Perusahan biasanya akan melakukan ekspansi bisnis, salah satunya ialah aksi korporasi yang merupakan bentuk restrukturisasi perusahaan demi meningkatkan daya saing(Karyanto et al., 2021). Aksi korporasi naik daun pada era tahun 1970-an yang mana kala itu merger dan akuisisi merupakan salah satu bentuk strategi yang popular. Namun perlu diketahui bahwa merger, akuisisi dan konsolidasi bukan merupakan alternatif yang sempurna, yang mana dapat menimbulkan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh sebab itu, baik perusahaan maupun pelaku usaha harus melakukan notifikasi atau pemberitahuan merger kepada Lembaga pengawas persaingan usaha.

Di Indonesia, larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1999. Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang berkaitan dengan notifikasi, khususnya sistem notifikasi yang diterapkan, yang saat ini adalah post notification atau pemberitahuan pasca merger. Undang-undang ini memiliki beberapa tujuan utama, antara lain menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, tujuannya adalah mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat, sehingga semua pelaku usaha, baik besar, menengah, maupun kecil, memiliki kepastian berusaha yang sama di Indonesia. Undang-undang ini juga bertujuan mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang mungkin dilakukan oleh pelaku usaha, serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Sebelumnya, kerangka hukum untuk mengendalikan merger di Indonesia tertuang dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Pasal 28 dalam UU ini melarang penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan saham yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 29 juga menetapkan aturan untuk


pemberitahuan pasca-penutupan merger, termasuk merger asing, dalam batas waktu tertentu.

Selain UU Anti Monopoli, terdapat peraturan dan pedoman yang lebih rinci terkait pengendalian merger, seperti Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kemudian, terdapat Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 04 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengenaan Denda atas Kelalaian dalam Melakukan Pemberitahuan Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Saham, serta Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2019 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Peraturan KPPU No. 3/2019). Semua peraturan ini membentuk dasar hukum yang komprehensif untuk mengatur dan mengawasi merger guna memastikan adanya persaingan yang sehat di pasar Indonesia.Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan yang mengatur tentang Pemberitahuan Wajib Pasca Penutupan atas Pengambilalihan atau Pengalihan Aset (Pedoman KPPU). Pasal 29 UU Anti Monopoli menetapkan persyaratan pemberitahuan pasca merger, namun melalui IMR, KPPU menawarkan kemungkinan bagi para pelaku usaha untuk mengajukan konsultasi pra- merger secara tertulis secara sukarela. Pemberitahuan masih bersifat wajib namun para pihak terkadang berpartisipasi dalam konsultasi tertulis. Konsultasi informal juga dimungkinkan, namun tidak ada kewajiban bagi KPPU untuk memberikan tanggapan yang konklusif dan mengikat.

Pada tanggal 31 Maret 2023, Komisi Pengawas Persaingan Usaha ("KPPU") memberlakukan peraturan baru tentang Penilaian Terhadap Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan Saham dan/atau Aset yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mencabut dan menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2019. Berdasarkan Peraturan Merger Baru, pemberitahuan transaksi merger asing ke asing wajib disampaikan kepada KPPU hanya jika kedua belah pihak memiliki aset dan/atau menghasilkan penjualan di Indonesia. Hal ini menggantikan peraturan sebelumnya yang mewajibkan pengisian notifikasi meskipun hanya satu pihak yang memiliki aset dan/atau penjualan di Indonesia. Selain itu, ambang batas penghitungan aset yang diperlukan untuk notifikasi juga telah direvisi dari dari sebelumnya berdasarkan seluruh dunia menjadi berdasarkan Indonesia saja.

Di bawah peraturan sebelumnya, pengajuan notifikasi transaksi asing-ke-asing akan dipicu bahkan jika hanya salah satu pihak yang memiliki kegiatan usaha, aset, atau penjualan di/ke Indonesia. Oleh karena itu, ada banyak sekali jumlah transaksi asing ke asing yang dinotifikasi meskipun tidak berdampak pada pasar Indonesia. Peraturan Merger yang baru memberlakukan ambang batas nexus lokal yang lebih ketat dan analisis penghitungan nilai aset terbatas pada aset yang berlokasi di Indonesia, bukan di seluruh dunia. Ambang batas nilai aset dan/atau nilai penjualan adalah: nilai aset pelaku usaha


yang menerima penggabungan, peleburan atau pengambilalihan saham dan/atau aset melebihi Rp. 2.500.000.000,-, dengan nilai aset yang tetap ditentukan berdasarkan aset gabungan para pihak, namun terbatas pada aset yang berada di Indonesia. Selain itu, batasan nilai penjualan adalah ketika nilai penjualan dari pelaku usaha yang menerima penggabungan, peleburan atau saham dan/atau pengambilalihan saham dan/atau aset melebihi Rp 5.000.000.000. Cakupan penghitungan batasan nilai penjualan tetap tidak berubah dan akan terus didasarkan pada penjualan atau omzet di seluruh Indonesia dari yang bersangkutan. Hal ini memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dan ketat untuk mengatur notifikasi dan analisis merger asing-ke-asing di Indonesia.

Peraturan Merger yang Baru juga menetapkan bahwa transaksi asing-ke-asing hanya perlu diberitahukan kepada KPPU jika seluruh pihak yang melakukan transaksi memiliki aset dan/atau menghasilkan penjualan/omzet di Indonesia, selain memenuhi ambang batas minimum aset/penjualan yang telah disebutkan di atas. Apabila hanya salah satu pihak yang memiliki aset dan/atau penjualan di Indonesia, maka transaksi tersebut tidak perlu diberitahukan kepada KPPU.

Dalam praktiknya post notification ini justru mempersulit dalam pelaporan dan keuangan pelaku usaha. Hal ini dikarenakan beban tanggungan tidak hanya pada saat proses pelaporan tetapi juga merugikan pelaku usaha jik terjadi keterlambatan pemberitahuan. Sehingga berdasarkan hal tersebut beberapa pelaku usaha mengimani jika sistem notifikasi di Indonesia saat ini memiliki ketidakpastian hukum dalam praktiknya. Selain post notification, terdapat sistem lain yang terapkan oleh beberapa negara yakni dengan menggunakan sistem pre notification.

Adapun negara yang menganut sistem ini salah satunya korea Selatan. Berbeda dengan sistem Indonesia sistem pre notification dilakukan sebelum transaksi merger itu selesai. Pre notification juga merupakan sebuah upaya untuk membentuk kondisi persaingan usaha yang sehat, sehingga dapat dengan mudah dinilai, dipantau serta dievaluasi sebagai hasil penggabungan, peleburan, badan usaha serta pengambilalihan saham. Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, penulis mengimani bahwa usulan untuk Indonesia menerapkan Pre Notification System merupakan suatu langkah yang tepat dikarenakan dapat memberikan kepastian hukum serta efisiensi baik dari pihak pelaku usaha ataupun KPPU dalam memantau serta mengawasi dampak dari terjadinya aksi korporasi dikarenakan sejak awal bisa mencegah terjadinya dampak negatif dari persaingan usaha tersebut. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis membandingkan peraturan serta melakukan analisis dampak reformasi kebijakan pra notifikasi terhadap Indonesia dalam hal melakukan memperhatikan risiko gun jumping dalam persaingan usaha. Penulis memilih Korea Selatan sebagai dasar studi perbandingan terkait analisis mengenai peniliain sistem notifikasi. Selain merupakan peraturan yang relevan Korea Selatan dalam kebijakannya secara signifikan menegakan peraturan hukum pada semua bidang utama persaingan usaha. Tidak hanya itu, Korea Selatan merupakan salah satu investor paling gencar yang masuk ke pasar keuangan Indonesia. Diketahui beberapa perusahaan belum lama ini mengakuisisi bank dalam negeri sementara beberapa lainnya sudah masuk ke Indonesia.


Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki konsekuensi sistem post- notification di Indonesia dan pre-notification di Korea Selatan terhadap persaingan usaha yang tidak sehat, serta untuk menganalisis dampak dari penerapan pre-merger notification di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Penelitian hukum sejatinya bertujuan untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu. Hal ini menjadikan penelitian hukum bukan sekedar kegiatan know-about akan tetapi dalam dunia ilmu hukum dapat diartikan sebagai karakter penelitian dengan rangkaian kegiatan know-how (Peter, 2014). Dari pada itu, penulis dalam penelitian ini bertujuan untuk menuangkan pandangan yang dapat diadopsi untuk Pembangunan sistem hukum Indonesia. Oleh karenanya, untuk membahas permasalahan ini penulis menggunakan metode normatif (normative law research) dengan cara mengkaji atau menelaah terhadap kaidah, norma, unsur dan bahan-bahan Pustaka serta asas hukum secara kualitatif (Fuady, 2018) Penelitian ini juga meliputi sumber hukum lainnya yang diperoleh dengan wawancara beberapa narasumber yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang menggambarkan fakta-fakta hukum secara menyeluruh dangan menjelaskan secara akurat dan sistematis melalui data yang telah diperoleh. Pendekan penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang- undangan (statue approach) dan pendekatan secara konseptual (conceptual approach). Berangkat dari hal tersebut, peneliti menggunakan Teknik pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan yakni dengan mengkaji buku, literatur, dan peraturan perundang- undangan yang memiliki kaitannya dengan permasalahan penelitian (Peter, 2005)

 

Hasil dan Pembahasan

Ada banyak terminologi yang pada dasarnya serupa yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah penggabungan (merger), peleburan (consolidation) dan pengambilalihan (acquisition), sedangkan Peraturan Pemerintah tentang Perbankan menggunakan istilah penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi dan akuisisi. Beberapa negara lain menggunakan istilah konsentrasi dan pengambilalihan. Meskipun UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan istilah penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi), namun untuk tujuan pedoman pelaksanaan ini, Komisi akan menggunakan istilah penggabungan yang juga mencakup peleburan dan pengambilalihan (akuisisi), penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan, kecuali suatu bentuk kejadian tertentu yang secara tegas disebut di sini.

Meskipun UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan istilah pengambilalihan saham, Komisi memandang istilah pengambilalihan saham sudah mencakup pengertian pengambilalihan aset dan pengambilalihan divisi/unit usaha, sehingga istilah pengambilalihan saham mencakup pengambilalihan aset dan pengambilalihan divisi/unit usaha.


Merger, akuisisi, dan konsolidasi merupakan salah satu bentuk ekspansi bisnis secara eksternal. Bentuk aksi korporasi tersebut secara sederhana dapat diartikan sebagai �the act or an instance of combining or uniting.� Sedangkan secara perundang- undangan merger, akuisisi dan konsolidasi memiliki makna layaknya penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang mempunyai defisini berbeda. Pada dasarnya tujuan dari Merger, akuisisi dan Konsolidasi (MAK) memiliki dampak positif yang dapat mendorong pertumbuhan persaingan usaha. Persaingan usaha merupakan satu dari beberapa aspek penting dalam memutarkan roda perekonomian suatu negara. Tentu sebagai aspek penting, persaingan usaha dapat memberikan pengaruh terhadap suatu kebijakan yang memiliki keterikatan dengan perdagangan, manufaktur, suasana usaha kondusif, efisiensi, kepentingan umum, kesejahteraan rakyat dan lainnya. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Meskipun UU No. 40 Tahun 2007 telah memberikan definisi merger, akuisisi dan konsolidasi, Komisi berpendapat bahwa penggabungan yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1999 mencakup pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian dalam UU No. 40 Tahun 2007 yang hanya berlaku untuk Perseroan Terbatas. Oleh karena itu, Komisi perlu menguraikan pengertian merger sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1999. Secara sederhana, merger adalah tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan:

1.         Pemusatan pengendalian dari beberapa pelaku usaha yang sebelumnya berdiri sendiri pada satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha; atau

2.         Pengalihan pengendalian dari satu pelaku usaha yang sebelumnya berdiri sendiri kepada pelaku usaha lain, yang mengakibatkan terjadinya penguasaan atau pemusatan pasar

Penggabungan dapat berupa penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 atau peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk penggabungan, peleburan dan pengambilalihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perbankan atau dalam bentuk lain seperti penggabungan beberapa kantor akuntan publik (seperti kantor akuntan publik).

Secara umum merger diartikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan usaha yakni, antara perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain, sehingga menyebabkan aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri beralih kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir demi hukum. Merger terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: merger horizontal, merger vertical dan merger konglomerat. Peraturan terkait merger terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2010. Selanjutnya terkait Konsolidasi, hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PP No. 57 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa �konsolidasi atau Peleburan adalah perbuatan hukum


yang dilakukan oleh dua Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Badan Usaha baru yang karena hokum memperoleh aktiva dan pasiva dari Badan Usaha yang meleburkan diri dan status Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.�. Selain itu, terdapat akuisisi, Menurut Michael A. Hit , Akuisisi yaitu memperoleh atau membeli perusahaan lain dengan cara membeli sebagian besar saham dari perusahaan sasaran. Menurut Marcell Go, Akuisisi sering juga disebut sebagai investasi peranan modal. Akuisisi adalah penguasaan sebagian saham dari perusahaan subsidiary, melalui pembelian saham hak suara perusahaan subsidiary, dalam jumlah material (lebih dari 50%).Menurut PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), akuisisi (acqusition) adalah suatu penggabungan usaha di mana salah satu perusahaan yaitu pengakuisisi (acquirer) memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi (acquiree), dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham (Asikin, Saleh, & Sili, 2021). Menurut Pasal 1 ayat

(3) PP No. 57 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pelaku Usaha untuk mengambilalih saham Badan Usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Badan Usaha tersebut(Adhimastha, Kagramanto, & Prasetyowati, 2023). Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa akuisisi merupakan suatu Tindakan pengambilalihan kepemilikan suatu badan hukum dengan badan hukum lain yang dilakukan dengan mempunyai kepemilikan sebagain atau seluruh saham perusahaan, dimana perusahaan yang diambil alih tetap berstatus badan hukum.

Selanjutnya, perlu diteliti mengenai bagaimana pengaturan merger, akuisisi, konsolidasi, dan system notifikasi di Indonesia(Putri, 2022). Peraturan terperinci mengenai merger diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Merger dan Akuisisi, serta peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh KPPU, yaitu:

1.    Peraturan Komisi No. 10 Tahun 2010 tentang Pemberitahuan Merger (Pasca Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, dan Pengambilalihan Perusahaan (Akuisisi);

2.    Peraturan Komisi No. 11 Tahun 2010 tentang Konsultasi Penggabungan Badan Usaha (Pra Penggabungan Badan Usaha atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Perusahaan (Akuisisi);

3.    Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengenaan Denda atas Keterlambatan Pemberitahuan Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Perusahaan. Peraturan ini menetapkan bahwa KPPU berwenang mengenakan denda sebesar Rp1.000.000.000 per hari keterlambatan dengan maksimal Rp25.000.000.000,00 atas kelalaian dalam melakukan pemberitahuan penggabungan badan usaha, atau pengambilalihan saham yang melebihi batasan.

4.    Peraturan Komisi No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Peraturan tersebut mengatur bahwa proses penilaian penggabungan usaha baru dapat dilakukan apabila seluruh data yang diperlukan dalam penilaian, termasuk data pasar dan struktur pasar telah dinyatakan lengkap(Rahmatullah, 2022). Proses notifikasi ini akan memakan waktu yang cukup lama.

Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha atau mengambilalih saham perusahaan apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat(Sy, 2022). Undang- undang mewajibkan pelaku usaha untuk memberitahukan merger, akuisisi, atau konsolidasi yang melebihi nilai aset atau nilai penjualan tertentu dalam waktu 30 hari kerja setelah tanggal peleburan, penggabungan, atau pengambilalihan saham.

Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2010 menetapkan ambang batas pemberitahuan sebagai berikut:

1.    Nilai aset gabungan melebihi Rp2.500.000.000.000 atauRp20.000.000.000.000 untuk bank.

2.      Nilai aset gabungan melebihi Rp.500.000.000.000

 

KPPU akan melakukan penelaahan dan mengeluarkan pendapat tentang dampak persaingan dari penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kerja. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 memberikan kesempatan bagi para pihak untuk memberitahukan secara sukarela kepada KPPU sebelum melakukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pihak-pihak yang terlibat menderita kerugian jika KPPU memutuskan untuk membatalkan penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan. Ada denda pertama dimana KPPU menjatuhkan denda kepada pelaku usaha yang terlambat menyampaikan pemberitahuan merger. Dalam kasus ini, KPPU menjatuhkan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,-.

Melalui Peraturan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan Saham dan/atau Aset yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat ("PerKPPU 3/2023"), Komisi Pengawas Persaingan Usaha ("KPPU") menyempurnakan peraturannya yang berkaitan dengan pemberitahuan transaksi penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan ("merger dan akuisisi"). Peraturan ini terutama menetapkan sistem penyampaian notifikasi secara elektronik, mengatur ketentuan penentuan nilai aset/penjualan atas aset/penjualan di Indonesia, memperpendek jangka waktu verifikasi keakuratan dokumen, dan menyelenggarakan Sidang Komisi untuk membahas hasil penilaian secara keseluruhan. Sejak tanggal diundangkan di atas, PerKPPU 3/2023 mulai berlaku.

Pelaku usaha yang melakukan transaksi 3p (Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan) perlu melakukan notifikasi kepada KPPU. Di Indonesia Komisi Pengawasa Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga yang berwenang terhadap pengawasan persaingan usaha (Sabirin & Herfian, 2021). Notifikasi atau pemberitahuan dilakukan untuk mencegah dampak negatif atas merger dan akuisisi yang dalam


prosesnya akan dilakukan penilaian, meliputi tahap klarifikasi dan penelitian dokumen paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan akan dilanjutkan ke tahap penilaian jika diperlukan dengan waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja.

Terdapat dua bentuk pemberitahuan merger kepada Komisi, yaitu: 1) Pra- Pemberitahuan; dan 2) Pasca-Pemberitahuan

Namun demikian, pedoman pelaksanaan ini hanya akan menjelaskan mengenai Pra-Notifikasi, sedangkan Pasca Notifikasi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang menjabarkan ketentuan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999. Pra-Notifikasi adalah pemberitahuan secara sukarela yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada Komisi atas rencana penggabungan usaha. Komisi mendorong pelaku usaha untuk melakukan pra-notifikasi untuk meminimalisir risiko kerugian yang mungkin diderita merger tersebut dinilai berpotensi menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dan akibatnya dibatalkan oleh Komisi.

Untuk menghindari adanya redundansi penilaian terhadap merger yang sama melalui pranotifikasi dan pascanotifikasi, Komisi hanya melakukan satu kali penilaian terhadap satu peristiwa merger, sepanjang tidak terdapat perubahan data yang substantif yang disampaikan oleh pelaku usaha yang melakukan merger(Manalu, 2019). Oleh karena itu, jika pelaku usaha menyampaikan Pra-Notifikasi secara sukarela, Komisi tidak akan mengubah penilaian terhadap Post-Notifikasi. Namun demikian, dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha yang telah melakukan Pra Notifikasi tetap wajib menyampaikan Pemberitahuan kepada Komisi Menurut pasal 5 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2010 pemberitahuan dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berlaku efektif secara yuridis sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah yang mengatur tentang Penggabungan Badan Usaha.

Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa �untuk pelaku usaha yang telah merealisasikan transaksi mengenai penggabungan, pengambilalihan, dan peleburan serta telah memenuhi persyaratan-persyaratannya, wajib melakukan pemberitahuan kepada KPPU perihal transaksi itu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung ditanggal pada saat transaksi itu dinilai efektif secara hukum.� Selain itu, terdapat juga aturan pra notifikasi, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (6) Perkom No. 1 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa �pra notifikasi merupakan pemberitahuan yang bersifat sukarela oleh pelaku usaha yang akan melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham untuk mendapatkan pendapat komisi mengenai dampak yang akan timbul dari rencana penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem notifikasi yang digunakan Indonesia saat ini, terdiri atas Pra-Notifikasi dan Post- Notifikasi(Kusnowibowo, 2021). Sebagaimana diartikan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan sebelum dilakukannya transaksi merger, namun pelaku usaha juga mendapatkan ruang untuk melakukan konsultasi terkait rencana merger, akuisisi dan konsolidasi(Anisah & Subakti, 2022). Disamping itu dapat dilihat Perbedaan antara Pra-Notifikasi dan Post-Notifikasi terletak pada, waktu dilakukannya


notifikasi atau pemberitahuan merger Pra-Notifikasi diberikan sebelum merger dilakukan oleh pengusaha yang akan melakukan merger, sedangkan Post-Notifikasi dilakukan setelah merger berlaku efektif secara yuridis. Selanjutnta pada kekuatan memaksa dari kedua notifikasi merger Pra-Notifikasi dilakukan secara sukarela oleh pengusaha yang akan melakukan merger atau bersifat konsultasi, sedangkan Post-Notifikasi diwajibkan oleh KPPU dengan pemberian sanksi denda administratif jika pengusaha tidak memberikan notifikasi atau pemberitahuan tersebut.

Selanjutnya, untuk mendapatkan kejelasan perlu diteliti mengenai bagaimana pengaturan merger, akuisisi, konsolidasi, dan system notifikasi di Korea Selatan. Pengelolaan perekonomian yang berorientasi pada mekanisme pasar, menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang tidak dapat dipandang rendah dalam skala dunia. Tentu hal tersebut tidak lepas dari adanya persaingan usaha. Melalui dekrit Presiden Korea Selatan membentuk peraturan-peraturan mengenai persaingan usaha yang dituangkan sebagai Monopoly Regulation and Fair Trade Act (MRFTA). Undang-Undang Nomor 3320 tersebut juga mengatur terkait Notification System yang digunakan oleh Korea Selatan untuk menghindari terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau Praktek Monopoli. Tidak hanya Indonesia, Korea Selatan juga memiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang dinamakan The Korean Fair Trade Commision (KFTC). KFTC merupakan Lembaga yang berada dibawah otoritas Perdana Menteri dengan fungsi sebagai administrative serta badan peradilan semu di Korea Selatan. KFTC didalamnya memiliki Divisi Merger dan Akuisisi yang bertugas untuk meninjau transaksi tersebut, atas kekhawatiran anti persaingan.

Sistem pemberitahuan yang diterapkan Korea Selatan menerapkan sistem Pre- Merger Notification. Namun pemberitahuan tidak semerta-merta merupakan kewajiban pelaku usaha, sama dengan Indonesia Korea Selatan dalam notifikasi memiliki Threshold, yang apabila sudah menyentuh ambang batas nilai, tentu pelaku usaha yang hendak melakukan transaksi merger dan akuisisi harus melakukan notifikasi ke KFTC. Pemberitahuan pra-merger diwajibkan juga untuk jenis penggabungan tertentu jika salah satu pihak dalam transaksi adalah perusahaan besar yang memiliki aset di seluruh dunia atau omset tahunan sebesar KRW2 triliun atau lebih (termasuk aset dan omzet afiliasinya). Korea Selatan juga menerapkan sistem pemberitahuan awal secara sukarela. Perusahaan yang berencana melakukan merger dengan perusahaan lain dapat meminta KFTC untuk meninjau rencana merger tersebut sebelum periode pemberitahuan biasa dan memutuskan apakah rencana merger tersebut akan membatasi persaingan usaha secara substansial. Jangka waktu peninjauan adalah 30 hari namun dapat diperpanjang dengan jangka waktu tambahan 90 hari (hingga total 120 hari) jika KFTC menganggap perlu pemeriksaan lebih lanjut. Serta penerapan sistem pre-merger notification juga dapat dilihat melalui Pasal 12 ayat (6) Monopoly Regulation and Fair Trade Act, menyatakan bahwa pelaku usaha wajib melakukan notifikasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan dengan persetujuan penggabungan tersebut.

Pembahasan selanjutnya adalah menjawab pertanyaan, bagaimana dampak penerapan Pre Merger Notification di Indonesia? Suatu� keadaan dimana Indonesia


melakukan merger dengan perusahaan Korea selatan dimana Sistem pemberitahuan yang diterapkan Korea Selatan menerapkan sistem Pre-Merger Notification. Namun pemberitahuan tidak semerta-merta merupakan kewajiban pelaku usaha, sama dengan Indonesia Korea Selatan dalam notifikasi memiliki Threshold, yang apabila sudah menyentuh ambang batas nilai, tentu pelaku usaha yang hendak melakukan transaksi merger dan akuisisi harus melakukan notifikasi ke KFTC. Pemberitahuan pra-merger diwajibkan juga untuk jenis penggabungan tertentu jika salah satu pihak dalam transaksi adalah perusahaan besar yang memiliki aset di seluruh dunia atau omset tahunan sebesar KRW2 triliun atau lebih (termasuk aset dan omzet afiliasinya). Korea Selatan juga menerapkan sistem pemberitahuan awal secara sukarela. Perusahaan yang berencana melakukan merger dengan perusahaan lain dapat meminta KFTC untuk meninjau rencana merger tersebut sebelum periode pemberitahuan biasa dan memutuskan apakah rencana merger tersebut akan membatasi persaingan usaha secara substansial. Jangka waktu peninjauan adalah 30 hari namun dapat diperpanjang dengan jangka waktu tambahan 90 hari (hingga total 120 hari) jika KFTC menganggap perlu pemeriksaan lebih lanjut. Serta penerapan sistem pre-merger notification juga dapat dilihat melalui Pasal 12 ayat (6) Monopoly Regulation and Fair Trade Act, menyatakan bahwa pelaku usaha wajib melakukan notifikasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan dengan persetujuan penggabungan tersebut

Disisi lain penggabungan atau merger dalam perseroan terbatas hukum perseroan terbatas menyatakan: "Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan. Dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum"( Republik Indonesia, Undang-Undang No 40 Tentang Perseroan Tebatas). Status sebagai badan hukum berakhir sejak tanggal sejak tanggal penggabungan berlaku efektif (Harahap,2019). Undang-Undang Perseroan Terbatas juga menyatakan bahwa perbuatan hukum penggabungan atau peleburan harus memperhatikan kepentingan pihak-pihak tertentu, yang terdiri dari (Harahap,2019):

a.    Kepentingan Perseroan, pemegang saham minoritas pemegang saham minoritas, karyawan perusahaan;

b.    Kepentingan kreditur dan mitra usaha Perseroan lainnya, dan;

c.    Kepentingan umum dan persaingan usaha yang sehat dalam menjalankan usaha.

 

Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka penggabungan atau peleburan yang diusulkan diwajibkan untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari "instansi terkait". Namun, Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya menyatakan bahwa instansi terkait adalah Bank Indonesia jika terkait dengan perusahaan perbankan dan lembaga-lembaga yang terkait dengan pasar modal untuk perusahaan publik. Undang-undang UU tersebut tidak menyebutkan bahwa KPPU terkait dengan Persaingan Usaha ( Harahap.2019). Hal ini berarti bahwa konsep


Hukum Monopoli dan Persaingan Usaha adalah Pra Merger sebagai bagian dari Undang- Undang Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (UUPT). Meskipun UU Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan lex spesialis dan Undang-Undang Perseroan Terbatas, dalam hal ini haruslah sinkron karena Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa penggabungan atau peleburan harus memenuhi persyaratan dengan memperhatikan kepentingan pihak-pihak tertentu, salah satunya adalah kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.

KPPU pada prinsipnya berwenang untuk mengawasi merger, konsolidasi, dan akuisisi yang mempengaruhi kondisi persaingan di pasar domestik Indonesia(Asikin et al., 2021). Merger, konsolidasi, dan akuisisi asing yang terjadi di luar yurisdiksi Indonesia menjadi perhatian KPPU apabila mempengaruhi kondisi persaingan di Indonesia. Merger, konsolidasi, dan akuisisi asing adalah merger, konsolidasi, dan akuisisi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.    Dilakukan di luar yurisdiksi Indonesia,

2.    Memiliki dampak langsung terhadap pasar Indonesia,

3.    Memenuhi ambang batas.

4.    Merger antar perusahaan yang tidak terafiliasi

 

Pelaku usaha asing memiliki kewajiban hukum untuk memberitahukan penggabungan, konsolidasi, atau akuisisi(SIAGIAN, 2022). Untuk merger, konsolidasi, dan akuisisi oleh perusahaan asing, KPPU akan melakukan penilaian kasus per kasus untuk menentukan apakah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang bersangkutan berdampak pada persaingan di pasar domestik.

Sedangkan di Korea Selatan Pemberitahuan pra-merger diperlukan untuk beberapa jenis kombinasi bisnis tertentu di mana (i) salah satu pihak dalam transaksi adalah perusahaan besar yang memiliki aset di seluruh dunia atau omset tahunan sebesar KRW2 triliun atau lebih (termasuk aset dan omset afiliasinya), atau (ii) nilai transaksi memenuhi ambang batas tertentu dan pihak yang diakuisisi memiliki kegiatan usaha yang substansial di pasar domestik (Pasal 11.6 MRFTA). Apabila salah satu dari persyaratan tersebut terpenuhi, notifikasi dapat diajukan kapan saja setelah tanggal penandatanganan perjanjian tetapi sebelum penyelesaian transaksi, selama transaksi tersebut belum selesai sebelum diklarifikasi oleh KFTC. Jika tidak satu pun dari persyaratan di atas terpenuhi, hanya pemberitahuan pasca-merger yang diperlukan. Untuk merger ini, pemberitahuan harus dilakukan dalam waktu 30 hari setelah selesainya transaksi. Direktorat yang saling terkait hanya memerlukan pemberitahuan pasca merger, meskipun salah satu pihak adalah perusahaan besar. KFTC mengenakan denda administratif atas pelanggaran tenggat waktu pemberitahuan dalam prakteknya, dan setiap keputusan tersebut diungkapkan kepada publik.

Namun demikian, sebuah sistem pemberitahuan awal secara sukarela juga tersedia (Pasal 11.9 MRFTA). Bahkan tanpa perjanjian yang ditandatangani, sebuah perusahaan yang berencana untuk melakukan merger dengan perusahaan lain dapat meminta KFTC untuk meninjau rencana merger tersebut sebelum periode notifikasi biasa dan


memutuskan apakah merger yang direncanakan tersebut secara substansial akan membatasi persaingan usaha. Dalam hal demikian, pihak yang memberitahukan masih harus mengajukan pemberitahuan resmi kepada KFTC dan melalui proses peninjauan yang disederhanakan.

Dalam Pedoman Peninjauan Merger KFTC, KFTC menganggap bahwa merger berikut ini tidak secara substansial membatasi persaingan usaha dan oleh karena itu melakukan peninjauan yang disederhanakan:

1.        penggabungan usaha antara afiliasi;

2.      transaksi di mana tidak terdapat hubungan pengendalian di antara para pihak;

3.      merger konglomerasi oleh perusahaan selain perusahaan besar yang memiliki aset di seluruh dunia atau omset tahunan sebesar KRW2 triliun atau lebih (termasuk perusahaan-perusahaan afiliasinya);

4.      penggabungan konglomerat yang tidak bersifat substitusi atau komplementer;

5.      merger dengan tujuan investasi yang jelas (PEF, ABS, SPC);

6.      merger yang telah disetujui oleh KFTC melalui proses pemberitahuan awal secara sukarela; dan

7.      target adalah perusahaan asing, dan penggabungan tidak mempengaruhi pasar domestik, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kewarganegaraan para pihak dan wilayah usaha serta potensi wilayah usaha dan omset domestik target.

Dalam kasus-kasus seperti itu, KFTC hanya meninjau hal-hal faktual dari kasus yang diberitahukan berdasarkan dokumentasi yang disediakan dan menginformasikan perusahaan tentang hasil tinjauan, pada prinsipnya, dalam waktu 15 hari sejak tanggal pemberitahuan.

KFTC memiliki keleluasaan untuk menentukan jangka waktu pemberian izin dalam periode peninjauan yang ditentukan dan tidak ada prosedur resmi untuk mempercepat proses peninjauan.

Pemberitahuan pra-merger diperlukan untuk beberapa jenis kombinasi bisnis tertentu di mana (i) salah satu pihak dalam transaksi adalah perusahaan besar yang memiliki aset di seluruh dunia atau omset tahunan sebesar KRW2 triliun atau lebih (termasuk aset dan omset afiliasinya), atau (ii) nilai transaksi memenuhi ambang batas tertentu dan pihak yang diakuisisi memiliki kegiatan usaha yang substansial di pasar domestik (Pasal 11.6 MRFTA). Apabila salah satu dari persyaratan tersebut terpenuhi, notifikasi dapat diajukan kapan saja setelah tanggal penandatanganan perjanjian tetapi sebelum penyelesaian transaksi, selama transaksi tersebut belum selesai sebelum diklarifikasi oleh KFTC.

Jika tidak satu pun dari persyaratan di atas terpenuhi, hanya pemberitahuan pasca- merger yang diperlukan. Untuk merger ini, pemberitahuan harus dilakukan dalam waktu 30 hari setelah selesainya transaksi. Direktorat yang saling terkait hanya memerlukan pemberitahuan pasca merger, meskipun salah satu pihak adalah perusahaan besar. KFTC mengenakan denda administratif atas pelanggaran tenggat waktu pemberitahuan dalam praktiknya, dan setiap keputusan semacam itu diumumkan kepada publik.


Maka dalam adanya merger dengan perusahaan Korea Selatan aka berpengaruh bagi Indonesia. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang masih menerapkan rezim notifikasi pasca merger dalam melaporkan aksi korporasi berupa merger atau akuisisi, meskipun keinginan untuk mengubah rezim tersebut disepakati oleh berbagai pihak. KPPU menyatakan bahwa dasar dari rezim post-merger notification adalah UU No. 5/1999(Ramadlan et al., 2019). Ketentuan sistem notifikasi merger di Indonesia adalah sistem notifikasi pra-merger yang diatur dalam Pasal 28 dan sistem notifikasi pasca-merger yang diatur dalam Pasal 29. UU No. 5/1999. Jika Anda perhatikan, terdapat perbedaan frasa dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 5/1999, dimana Pasal 28 tidak menyebutkan kata "wajib" sedangkan Pasal 29 dengan jelas menyatakan bahwa pelaporan merger atau akuisisi yang nilai aset dan/atau nilai penjualannya aset dan/atau nilai penjualannya melebihi batas yang telah ditentukan, maka "wajib" melaporkan kepada KPPU dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan usaha dan telah berlaku efektif secara yuridis.

Pelaku usaha dapat melakukan konsultasi (pra-merger) namun juga wajib melakukan pemberitahuan dan pelaporan kepada KPPU setelah melakukan merger. Ketentuan ini sangat tidak efektif dan memberatkan pelaku usaha yang telah melakukan konsultasi namun juga harus melapor setelahnya sehingga apabila pelaku usaha terlambat melapor, maka dapat dikenakan sanksi berupa denda administratif sebesar Rp 1 miliar rupiah untuk setiap hari keterlambatan dan paling banyak Rp 25 miliar sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 PP No. 57/2010.

Peraturan mengenai notifikasi merger sudah tidak sesuai dengan era revolusi industri saat ini, karena peraturan ini dapat menghambat percepatan laju pembangunan. Pengaturan notifikasi merger yang tepat diperbaharui sesuai dengan perkembangan saat ini sejalan dengan semangat persaingan usaha yang sehat.

Mayoritas negara di dunia telah menerapkan sistem notifikasi merger sebagai langkah yang tepat untuk menghindari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat(Mustariyakuma, 2022). Penerapan sistem Notifikasi pra-merger dapat mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat(Dewanto & Sirait, 2022). Penerapan sistem notifikasi pasca merger di Indonesia saat ini tidak dapat meminimalisir praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, batas waktu pelaporan sangat memberatkan pelaku usaha. KPPU harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik demi terciptanya kelangsungan usaha yang sehat dalam perekonomian pasar Indonesia maupun perekonomian dunia yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia melalui laju investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Maka pre merger notification yang sudah berlaku di Korea Selatan menghindari persaingan usaha yang tidak sehat dan praktek monopoli yang timbul dari aksi korporasi mengalami sejarah yang bagus sedangkan di Indonesia ketentuan ini baru berlaku sejak Maret 2023 lalu yang belum terlalu memperlihatkan hasilnya. Dengan demikian, gagasan perubahan rezim dari Post Merger Notification menjadi Pre Merger Notification sudah selayaknya dilakukan sebagai perubahan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menciptakan keseimbangan dinamika pasar yang lebih baik dalam menjaga


stabilitas ekonomi dalam persaingan usaha sehingga tidak terjadi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Indonesia harus mencontoh negara seperti Amerika Serikat yang telah berhasil menerapkan Pre Merger Notification. Karena kebijakan Pre Merger Notification tentunya memberikan dampak positif bagi pelaku usaha, KPPU, dan Negara serta KPPU lebih efisien dalam melakukan pengawasan dan pencegahan lebih awal daripada membatalkan merger setelah merger dilaksanakan.

 

Kesimpulan

Terdapat perbedaan sistem notifikasi di Indonesia dan Korea Selatan dalam upaya menghadapi persaingan usaha yang tidak sehat. Korea Selatan menerapkan sistem notifikasi sebelum merger (Pre-Merger Notification) untuk mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang mungkin timbul dari transaksi korporasi. Sementara itu, Indonesia masih menggunakan sistem notifikasi setelah merger (Post- Merger Notification). Dalam perspektif pelaku usaha, sistem notifikasi sebelum merger dinilai lebih menguntungkan karena dapat menghindari biaya yang timbul akibat pembatalan merger. Meskipun Indonesia sudah sebagian menerapkan notifikasi sebelum merger, kebijakan tersebut perlu direformasi karena masih bersifat sukarela. Reformasi ini penting untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan memungkinkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk lebih efisien dalam pengawasan dan pencegahan, daripada harus membatalkan merger yang telah dilaksanakan.


BIBLIOGRAFI

 

Adhimastha, Bayu, Kagramanto, Budi, & Prasetyowati, Endang. (2023). Hakekat konsep pengaturan akuisisi saham perseroan terbatas berdasarkan keadilan dan kepastian hukum. Gema Wiralodra, 14(1), 237�250.

 

Anisah, Siti, & Subakti, Muhammad Zaky Ridho. (2022). Peran Notaris dalam Mencegah Keterlambatan Notifikasi Perseroan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha, 2(1), 20�29.

 

Asikin, Zainal, Saleh, Moh, & Sili, Eduardus Bayo. (2021). Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan Badan Usaha Dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jurnal Risalah Kenotariatan, 2(2).

 

Dewanto, M. Yogi Arie, & Sirait, Timbo Mangaranap. (2022). Perseroan Perorangan yang Melakukan Merger Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Undang- Undang Cipta Kerja. Binamulia Hukum, 11(1), 15�32.

 

Karyanto, Budi, Aziz, Lukmanul Hakim, Yusuf, Muhammad, Muzayyanah, Muzayyanah, Putra, Angga Ranggana, Darussalam, Andi Zulfikar, Fauziah, Fauziah, Djuanda, Gustian, Wicaksono, Galih, & Puspita, Yeni. (2021). Pengantar Ekonomi Syariah.

 

Kusnowibowo, RSAS. (2021). Kepastian Hukum Mengenai Pra Notifikasi Dalam Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Usaha Sebagai Upaya Pencegahan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jurnal Nuansa Kenotariatan, 6(2), 47�56.

 

Manalu, Hottua. (2019). Notifikasi Aksi Korporasi Sebagai Instrumen Hukum Pencegah Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang: Jurnal Hukum, 2(1), 33�67.

 

Mustariyakuma, Muhammad Surya. (2022). Tinjauan Yuridis Notifikasi Merger Dalam Hukum Persaingan Usaha: Studi Kasus PT FKS Multi Agro TBK. " Dharmasisya� Jurnal Program Magister Hukum FHUI, 2(1), 13.

 

Priowirjanto, Enni Soerjati. (2021). Hukum Ekonomi Indonesia Suatu Pengantar.

Bandung: Keni Media.

 

Putri, Sendari Waskita. (2022). Analisis Yuridis Pengambilalihan Perusahaan (Akuisisi) PT. Tokopedia dan PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa Ditinjau Dari Perspektif Hukum Persaingan Usaha.

 

Rahmatullah, Murniati. (2022). Merger Bank Syariah Indonesia Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK. 03/2019. Lex Privatum, 10(2).

 

Ramadlan, Mohammad Fajar Shodiq, Wahid, Abdul, Rakhmawati, Fariza Yuniar, Destrity, Nia Ashton, Hair, Abdul, Harjo, Indhar Wahyu Wira, & Utaminingsih,


Alifiulahtin. (2019). Media, Kebudayaan, dan Demokrasi: Dinamika dan Tantangannya di Indonesia Kontemporer. Universitas Brawijaya Press.

 

Sabirin, Ahmad, & Herfian, Raafid Haidar. (2021). Keterlambatan Pelaporan Pengambilalihan Saham Perusahaan dalam Sistem Post Merger Notification Menurut Undang-Undang Persaingan Usaha di Indonesia. Jurnal Persaingan Usaha, 1(2), 55�63.

 

Siagian, Yoanna Oktiana. (2022). Tanggung Jawab Hukum Atas Keterlambatan Pemberitahuan Akuisisi Kepada KPPU (Studi Putusan Perkara Nomor: 07/KPPU- M/2018).

 

Sy, Ristyn Karisma Ayu. (2022). Kepastian Hukum Atas Ketentuan Afiliasi Pengambilalihan Saham Perusahaan Dilihat Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi: Putusan Kppu Nomor: 27/Kppu-M/2019). Hukum.

 

Copyright holder:

Muhammad Romy, R.M. Gatot P. Soemartono (2023)

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under: