Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

KARAKTERISTIK CAPAIAN INDEX PEMBERDAYAAN GENDER DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT BERBASIS GENDER (PMBG) 2021

 

Muhammad Abi Firmansyah*, Soetji Lestari

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia

Email: [email protected]*, [email protected]

 

Abstrak

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah dengan Index Pemberdayaan Gender (IDG) paling baik dibandingkan dengan provinsi lain di Indoensia. Angka Index Pembangunan Manusia (IPM), Index Pembangunan Gender (IPG), Index Pemberdayaan Gender (IDG) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan sudah lebih tinggi dibandingkan skala nasional. Index Pemberdayaan Gender merupakan capaian atau indikator untuk mengukur terlaksananya keadilan dan kesetaraan gender berdasarkan partisipasi politik dan ekonomi; perempuan perlu diberdayakan sehingga pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) harus menjadi tolak ukur dalam setiap program pemberdayaan manusia. Pengarusutamaan gender merupakan rangkaian strategi untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pengembangan dan pembangunan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi yang mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) sebanyak tiga kali pada tahun 2016, 2018, dan 2021; hal tersebut menandakan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah baik dalam pemberdayaan gender melalui pengarusutamaan gender. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa karakteristik setiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Index Pemberdayaan Gender (IPG) pada tahun 2021. Menggunakan metode penelitian studi pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerataan belum dilakukan secara signifikan, walaupun pada beberapa wilayah sudah mencapai pembangunan dan pemerataan yang maksimal. Ketimpangan angka pembangunan terjadi di Kabupaten Gunung Kidul karena masih memiliki capaian pembangunan manusia berbasis gender yang sangat rendah (tertinggal) dari wilayah lainnya; sedangkan Kota Yogyakarta sudah memiliki capaian yang lebih tinggi dari akumulasi pembangunan wilayah provinsinya. Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki karakteristk yang berbeda dalam Index Pemberdayaan Gender, pemerataan pembangunan dan pemberdayaan gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum merata.

Kata kunci: Index Pemberdayaan Gender, Pengarusutamaan Gender, Pemerataan                               Pemberdayaan Gender

 

Abstract

The Special Region of Yogyakarta Province is an area with the best Gender Empowerment Index (GEI) compared to other provinces in Indonesia. The Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI), and Gender Empowerment Index (GEI) of the Special Region of Yogyakarta Province are overall higher than the national scale. The Gender Empowerment Index is an achievement or indicator to measure the realization of gender justice and equality based on political and economic participation; women need to be empowered so that gender mainstreaming must be a benchmark in every human empowerment program. Gender mainstreaming is a series of strategies to integrate gender perspectives into development and progress. The Special Region of Yogyakarta Province, which has received the Parahita Ekapraya Award (APE) three times in 2016, 2018, and 2021; indicates that the Special Region of Yogyakarta Province has been good in gender empowerment through gender mainstreaming. This research aims to analyze the characteristics of each region in the District/City of the Special Region of Yogyakarta Province based on the Gender Empowerment Index (GEI) in 2021. Using the literature study research method. The research results show that even though some regions have achieved maximum development and redistribution, equalization has not been significantly carried out. Development disparity occurs in Gunung Kidul District because it still has a very low (lagging) gender-based human development achievement compared to other regions; whereas Yogyakarta City already has a higher achievement than the accumulation of development in its provincial regions. The District/City areas in the Special Region of Yogyakarta Province have different characteristics in the Gender Empowerment Index, development redistribution, and gender empowerment in the Special Region of Yogyakarta Province has not been evenly distributed.

Keywords: Gender Empowerment Index, Gender Mainstreaming, Equal Gender Empowerment

 

 

Pendahuluan

Gender dalam konstruksi sosial menguntungkan laki-laki dalam kepemilikan alat produksi dan pembangunan suatu wilayah baik skala mikro maupun makro (Juditha, 2015). Perempuan tersubordinasi oleh dominasi laki-laki, pandangan bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, mampu mengambil keputusan, rasional, dan “pencari nafkah” menyempitkan peluang perempuan dalam memberikan pembangunan. Perempuan dalam hal ini hanya memiliki peran besar pada sektor domestik, seperti menjaga anak, mengurus rumah, dan merawat suami; hal ini terjadi sebagai dampak dari pemahaman “kodrat perempuan” dan “kodrat laki-laki” yang tidak imbang atau bias (Mirani & Sasi, 2016). Ketimpangan gender khususnya kontribusi perempuan dalam sektor publik, semakin membuat gap antara peran laki-laki dan perempuan dalam melakukan suatu pembangunan atau pemberdayaan (Sitorus, 2016). Masyarakat tidak hanya terdiri dari laki-laki, perempuan merupakan bagian dari masyarakat; oleh karena itu, perempuan harus mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam membangun wilayahnya sendiri.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang dibentuk pada 1978 merupakan langkah awal Indonesia untuk memberdayakan perempuan dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat dunia yaitu sebesar 273,8 Juta memiliki pekerjaan rumah untuk membenahi sumber daya manusianya, 49,52 % penduduk Indonesia adalah perempuan, jumlah yang besar untuk diberdayakan. Pada tahun 2009 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beinisiatif membentuk Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan tujuan meningkatkan kepedulian terhadap isu gender, memberikan kesejahteraan bagi laki-laki dan perempuan, mengurangi kesenjangan gender, meningkatkan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pemberdayaan, serta menjamin akomodasi kebutuhan laki-laki dan perempuan dari berbagai kelompok sosial (Perempuan & Indonesia, 2010). PPRG jika diterapkan dengan baik akan mengintegrasikan perspektif gender di dalam proses perencanaan dan penganggaran di setiap wilayah Indonesia (Saidah, 2018).

Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender memberikan sumbangsih baik bagi peningkatan Index Pembangunan Manusia (IPM), Index Pembangunan Gender (IPG), dan Index Pemberdayaan Gender (IDG) di beberapa wilayah Indonesia. Salah satu provinsi dengan penerapan PPRG yang baik adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; berdasarkan data statistik, Provinsi Yogyakarta memiliki Index Pembangunan Gender (IPG) tertinggi di Indonesia yaitu 94,88 (Statistik, 2022). Prestasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu diikuti oleh provinsi lain yang ada di Indonesia dalam misi mewujudkan kesejahteraan gender baik bagi laki-laki maupun perempuan. PPRG yang diterapkan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menjadi acuan bagi provinsi lain dalam menerapkan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender secara maksimal.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa karakteristik setiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Index Pemberdayaan Gender (IPG) pada tahun 2021. Analisa ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana karakteristik capaian Index Pembangunan Manusia (IPM), Index Pembangunan Gender (IPG), dan Index Pemberdayaan Gender (IDG) di setiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, serta menganalisa pemerataan pembangunan gender di setiap wilayah kabupaten Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, tulisan ini berusaha memberikan solusi terhadap pembangunan gender setiap kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan penelitian (Sugiono, 2019). Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur yang berhubungan dengan topik penelitian yang diteliti, seperti jurnal, buku, dokumentasi, internet, dan pustaka. Metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan penelitian. Jenis penulisan yang digunakan adalah studi literatur review yang berfokus pada hasil penulisan yang berkaitan dengan topik atau variabel penulisan. Penelitian studi literatur dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan dengan menelusuri sumber dan mencari referensi teori yang relevan dengan kasus. Studi literatur biasa juga disebut studi pustaka dalam penelitian kualitatif.

 

Hasil dan Pembahasan

Komitmen Diy Dalam Pengarusutamaan Gender

Program perencanaan pembangunan mendapat perhatian khusus dari aktivis dan pemerhati masalah perempuan, program pembangunan yang diterapkan berfokus pada pembangunan manusia (umum) akan tetapi hasilnya relatif tidak memberi keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki. Pembangunan yang berfokus pada manusia, memiliki asumsi dasar bahwa setiap manusia (laki-laki dan perempuan) memiliki modal dan kebutuhan yang sama dalam pembangunan; pada kenyataannya, hasil pembangunan memperlihatkan pencapaian yang diraih perempuan lebih sedikit jika dibandingkan pencapaian lak-laki dalam berbagai bidang, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan politik. Program perencanaan pembangunan tidak berupaya mendiskreditkan perempuan dalam pembangunan, hal ini terjadi akibat adanya ketimpangan hubungan gender. Salah satu strategi mengatasi masalah tersebut adalah menciptakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang dibangun untuk mengintegrasikan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi (Adika & Rahmawati, 2021)

Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) merupakan hasil produk dari strategi pengarusutamaan gender. Pada tahun 2013, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memperoleh Anugerah Parahita Ekapraya atas komitmennya dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. APE merupakan penghargaan yang  diberikan secara berkala setiap tahunnya oleh KPPPA untuk mengetahui sejauh mana implementasi pengarusutamaan gender untuk mencapai kesetaraan gender di tingkat nasional dan daerah. Penghargaan APE sendiri ada empat tingkatan atau kategori, dari yang paling dasar yaitu, Kategori Pratama, Kategori Madya, Kategori Utama, dan Kategori Mentor yang merupakan kategori tertinggi (dp3ap2.jogjaprov.go.id, 2021). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya Kategori Mentor sebanyak tiga kali pada tahun 2016, 2018, dan 2021 (dp3ap2.jogjaprov.go.id. 2021). Hal tersebut merupakan hasil dari penerapan PPRG yang baik, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) membuat Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RANDA PUG) sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.050/6199/SJ tentang amanat membentuk Sekretariat PPRG Daerah; walaupun Pemerintah Provinsi DIY pada kenyataannya tidak membentuk Sekretariat PPRG Daerah karena BPPM sudah memiliki Program Kerja (pokja) yang memiliki tugas dan fungsi hampir sama dengan Sekretariat PPRG Daerah (Susiana, 2015). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa Sekretariat PPRG Daerah mampu meningkatkan Index Pembangunan Gender di wilayahnya, IPG merupakan indikator yang digunakan untuk menggambarkan kesenjangan pencapaian pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan.

Grafik 1. IPG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2021

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan gambar grafik 1, IPG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 94,88; angka yang sangat tinggi dalam Index Pembangunan Gender. Tingginya angka IPG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dipengaruhi oleh Index Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi dan hanya memiliki gap yang sedikit. IPM Laki-Laki berada pada angka 82,99 dan IPM Perempuan berada pada angka 78,74; walaupun IPM perempuan belum mencapai angka 8, index pembangunan manusia di Provinsi DIY sudah melewati angka 75. Rentang atau gap antara pembangunan laki-laki dan perempuan hanya berkisar 4,25; jarak ini memengaruhi jumlah IPG Provinsi DIY tinggi. Berdasarkan gafik tersebut, sudah terlihat bahwa diskriminasi perempuan tidak terpaut jauh dengan laki-laki, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mampu membangun dan memberdayakan perempuan baik dalam sektor domestik maupun sektor publik. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berhasil mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN) Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 hingga 2004 tentang program pembangunan nasional, kemudian dipertegas melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki gap Index Pembangunan Manusia sebesar 4,25, angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan gap Index Pembangunan Manusia tingkat nasional yang mencapai 6,66. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mampu meningkatkan angka Index Pembangunan Manusia karena adanya program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) berupa, program kecamatan sayang ibu, pelatihan anggaran responsif gender, penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE), dan program kampung ramah anak (INDONESIA, 2000)

Grafik 2. IPG Nasional Tahun 2021

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan gambar grafik 2, IPG Nasional Indonesia sebesar 91,27; angka tersebut menunjukkan bahwa IPG Yogyakarta lebih tinggi dengan gap 3,71. Perbedaan IPG antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Indonesia diikuti oleh perbedaan Index Pembangunan Manusianya, IPM Laki-Laki Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta lebih tinggi 6,74 sedangkan IPM Perempuan lebih tinggi 9,15. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tingkat IPG dan IPM yang lebih tinggi dari Indonesia, hal tersebut membuktikan bahwa pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah lebih baik dari Indonesia (secara keseluruhan). Angka Index Pembangunan Manusia Indonesia yang lebih rendah 6,66 dari angka Index Pembangunan Manusia DIY disebabkan oleh pembangunan manusia yang tidak merata di seluruh Indonesia, ketimpangan ini belum dapat diselesaikan dengan baik; Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selalu berada pada posisi paling atas dalam pembangunan manusia dan pembangunan gender (Aprilianti & Setiadi, 2022).

 

Angka IPM, IPG, dan IDG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Index Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan secara menyeluruh di suatu wilayah, selain itu IPM berguna untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah dengan dimensi yang sangat luas terkait dengan kualitas penduduk berupa harapan hidup, standar hidup layak, dan intelektualitas. Capaian IPM hanya dapat menunjukan kesenjangan antar wilayah saja dan belum dapat menggambarkan perbedaan capaian kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan. Dalam pembangunan manusia sering kali berkaitan dengan perbedaan gender yang membahas bagaimana dalam memperoleh kesetaraan gender agar dapat meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia tanpa membedabedakan antara laki-laki dan perempuan (Fajriyyah & Budiantara, 2016). Berdasarkan komponennya, IPM  mencakup Angka Harapan Hidup (AHH), Rata Lama Sekolah (RLS), Harapan Lama Sekolah (HLS), dan Pengeluaran Perkapita yang disesuaikan (PPP). IPM di Provinsi DIY merupakan capaian pemerintah dalam melaksanakan program PPRG dan pengarusutamaan gender dengan melihat kualitas penduduknya.

Tabel 1. IPM Provinsi DIY dan Nasional Berdasarkan Komponen Tahun 2021

Komponen IPM dan IPM

Provinsi DIY

Indonesia (Nasional)

Angka Harapan Hidup (tahun)

75,04

71,57

Harapan Lama Sekolah (tahun)

15,64

13,08

Rata-Rata Lama Sekolah (tahun)

9,64

8,54

Pengeluaran Perkapita (ribu rupiah)

14.111

11.156

IPM

80,22

72,29

Sumber: KPPA 2021

Berdasarkan data Tabel 1, IPM Provinsi DIY lebih tinggi dibandingkan dengan nilai IPM nasional dengan rentang 7,93. Capaian IPM Provinsi DIY selaras dengan komponen IPM yang sama tingginya; Angka Harapan Hidup (AHH) manusia di Provinsi DIY mencapai 75,04 sedangkan Indonesia hanya 71,57 (rentang 3,47); Harapan Lama Sekolah (HLS) manusia di Provinsi DIY mencapai 15,64 sedangkan Indonesia 13,08 (rentang 2,56); Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) manusia di Provinsi DIY mencapai 9,64 sedangkan Indonesia hanya 8,54 (rentang 1,1); serta Pengeluaran Perkapita Penduduk (PPP) manusia di Provinsi DIY mencapai 14.111 sedangkan Indonesia hanya 11.156 (rentang 2.955). Tabel tersebut memperlihatkan bahwa penerapan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berhasil melampaui skala nasional; kualitas hidup masyarakat Provinsi DIY lebih baik dibandingkan dengan rata-rata kualitas hidup masyarakat dalam cakupan nasional, terutama dalam sektor pendidikan dan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat Provinsi DIY memiliki angka Harapan Lama Sekolah 15,64 (15-16 tahun), artinya masyarakat Provinsi DIY sudah banyak yang melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi; masyarakat Provinsi DIY dapat dikatakan sejahtera dalam bidang pendidikan karena berhasil mengenyam pendidikan wajib belajar 12 tahun (Sekolah Menengah Atas). Selain itu, sebagai salah satu provinsi yang memiliki berbagai macam destinasi wisata, sangat mengembangkan dan memberdayakan perekonomian masyarakatnya, jumlah pengeluaran perkapita penduduk Provinsi DIY yang mencapai 14 juta rupiah menggambarkan bahwa kesejahteraan ekonomi penduduk sudah cukup terjamin (ketimpangan ekonomi yang tidak signifikan), hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam destinasi wisata. Provinsi DIY memiliki keunggulan geografis karena berada di antara dataran tinggi dan rendah, Provinsi DIY memiliki destinasi wisata pegunungan, pantai, dan sebagainya; Provinsi DIY juga menjadi tempat berkembangnya pendidikan khususnya Perguruan Tinggi dengan jumlah 128 Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi DIY.

Index Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi DIY yang sudah tinggi perlu ditinjau kembali apakah sudah merata di setiap wilayah, Provinsi DIY memiliki empat kabupaten dan satu kota; terdiri dari Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. Setiap wilayah kabupaten atau kota memiiki Index Pembangunan Manusia (IPM) yang berbeda.

 

Grafik 3. IPM Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2021

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan Grafik 2. Index Pembangunan Manusia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan dengan Index Pembangunan Manusia tingkat Nasional (72,29). Kota Yogyakarta memperoleh angka paling tinggi dengan 87,18, diikuti oleh Kabupaten Sleman dengan angka 84, Kabupaten Bantul dengan angka 80,28, Kabupaten Kulon Progo dengan angka 74,71, dan yang terakhir adalah Kabupaten Gunung Kidul dengan angka 70,16. Pembangunan manusia di Provinsi DIY belum merata sepenuhnya, namun perlu disadari bahwa angka pembangunan manusia di Provinsi DIY lebih dari angka 70. Perbedaan terlihat signifikan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Gunung Kidul, rentang perbedaan Index Pembangunan Manusia (IPM) berkisar 17,02. Kabupaten Gunung Kidul meruapakan salah satu kabupaten terluas di Provinsi DIY dengan Ibukota Kabupaten Wonosari. Kabupaten Gunung Kidul merupakan wilayah yang dipenuhi oleh destinasi wisata alam seperti pantai, goa, dan sebagainya. Kabupaten Gunung Kidul berdasarkan grafik di atas hanya memiliki rentang sebesar 4,55 dengan Kabupaten Sleman, sehingga untuk melihat pemerataan pembangunan wilayah di Provinsi DIY perlu dijabarkan berdasarkan komponen Index Pembangunan Manusianya. Secara keseluruhan, dapat terlihat bahwa Index Pembangunan Manusia di Kabupaten Gunung Kidul merupakan yang terendah dibandingkan Kabupaten/Kota lain di Provinsi DIY dan nasional; menurut Sunaryanta (Bupati Gunung Kidul) dalam gunungkidul.com hal tersebut terjadi sebab oleh pertumbuhan penduduk yang masif dan harapan lama sekolah anak-anak masih kurang, rata-rata penduduk Gunung Kidul baru menamatkan jenjang pendidikan kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Grafik 4. IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Komponen Tahun 2021

Sumber: KPPA 2021

 

Grafik 4. menunjukkan bahwa perbedaan Index Pembangunan Manusia (IPM) setiap Kabupaten/Kota Provinsi DIY tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu signifikan terutama pada bagian Angka Harapan Hidup (AHH) yang masih berkisar 73 hingga 75 tahun. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada komponen Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Kabupaten Gunung Kidul menempati posisi terendah dengan angka Harapan Lama Sekolah 12,98 dan angka Rata-Rata Lama Sekolah 7,30; sedangkan angka tertinggi berada di Kota Yogyakarta dengan Harapan Lama Sekolah (HLS) 17,6 tahun dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 11,72 tahun. Rentang angka Harapan Lama Sekolah Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Gunung Kidul berkisar 4,82 sedangkan rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Gunung Kidul berkisar 4,42. Pembangunan manusia di Provinsi DIY ternyata belum menyeluruh, masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul belum mendapatkan kesejahteraan dan keadilan pendidikan; index pembangunan manusia di Kabupaten Gunung Kidul merupakan yang terendah dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi DIY. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa Index Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi DIY belum bisa setara dengan DKI Jakarta, pendidikan yang belum merata di semua wilayah membuat nilai atau angka IPM Provinsi DIY menjadi tidak maksimal. Pemerintah Provinsi DIY perlu menekankan kembali pembangunan pendidikan khususnya bagi wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Dalam tingkat nasional dengan angka Harapan Lama Sekolah 13,08; Kabupaten Gunung Kidul masih tertinggal, hal tersebut terjadi sebab motivasi dan keinginan pelajar untuk melanjutkan pendidikan masih sangat rendah, alasan mengapa pelajar tidak melanjutkan pendidikan adalah masalah ekonomi sehingga tidak sanggup untuk membayar biaya pendidikan (jogja.solopos.com, 2021). Hal tersebut menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk membenahi hal tersebut, beberapa solusi yang dapat dilakukan adalah memberikan biaay atau bantuan sekolah gratis bagi masyarakat miskin, sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan sesuai dengan peraturan pemerintah yaitu 12 tahun atau tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Pembangunan manusia di Provinsi DIY yang sudah baik, perlu dilihat bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam pembangunan tersebut. Index pembangunan Gender (IPG) merupakan satuan ukuran pembangunan manusia (seperti IPM) namun fokus pada status gender dalam mengukur kemampuan dasar, dalam hal  ini Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS, dan Pengeluaran Perkapita yang disesuaikan (PPP).

Tabel 2. IPG Provinsi Daerah Istimewa Yokyakarta Berdasarkan AHH Tahun 2021

Kabupaten/Kota

Angka Harapan Hidup (Tahun)

Provinsi DIY

          Laki-Laki

Perempuan

Kulon Progo

73,39

77,18

Bantul

71,97

75,71

Gunung Kidul

72,26

76,02

Sleman

73,08

76,73

Kota Yogyakarta

72,92

76,40

Nasional

69,70

73,55

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan data Tabel 2. menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan atau rentang Angka Harapan Hidup laki-laki dengan perempuan berkisar 3 Tahun. Berdasarkan pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten Kulon Progo memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara laki-laki (73,39) dengan perempuan (77,18) sekitar 3,79; Kabupaten Bantul memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara laki-laki (71,97) dengan perempuan (75,71) sekitar 3,74; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara laki-laki (72,26) dengan perempuan (76,02) sekitar 3,76; Kabupaten Sleman memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara laki-laki (73,08) dengan perempuan (76,73) sekitar 3,65; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara laki-laki (72,92) dengan perempuan (76,40) sekitar 3,48. Angka Harapan Hidup perempuan paling tinggi berada di wilayah Kulon Progo sedangkan yang terendah berada di wilayah Bantul. Terlihat bahwa masyarakat Kabupaten Kulon Progo memiliki Angka Harapan Hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di kabupaten atau kota lain di Provinsi DIY dengan Angka Harapan Hidup laki-laki 73,39 dan perempuan 77,18 (Manembu, 2018). Masyarakat Kulon Progo memiliki pembangunan khususnya sektor kesehatan yang cukup baik dan memadai, pemerintah Kabupaten Kulon Progo meningkatkan jaminan kesehatan dan gizi ibu hamil (harianjogja.com, 2019). Jika dibandingkan dengan Angka Harapan Hidup tingkat nasional, Provinsi DIY sudah mengungguli karena berada di atas rata-rata, hal tersebut terjadi sebab masyarakat dimudahkan untuk mengakses layanan kesehatan dan teknologi kesehatan.

 

Tabel 3. IPG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan HLS Tahun 2021

Kabupaten/Kota

Harapan Lama Sekolah (Tahun)

Provinsi DIY

Laki-Laki

Perempuan

Kulon Progo

14,24

15,26

Bantul

15,67

15,13

Gunung Kidul

13,17

12,88

Sleman

16,76

16,55

Kota Yogyakarta

17,46

17,63

Nasional

12,92

13,22

Sumber: BPS 2021

 

Berdasarkan data Tabel 3. menunjukkan bahwa Harapan Lama Sekolah di setiap kabupaten atau kota di Provinsi DIY memiliki angka yang fluktuatif; Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta merupakan wilayah dengan angka Harapan Lama Sekolah perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang angka Harapan Lama Sekolah perempuan lebih rendah dibanding dengan laki-laki (rentang hanya berkisar 1 Tahun). Berdasarkan pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten Kulon Progo memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (14,24) dengan perempuan (15,26) sekitar 1.02; Kabupaten Bantul memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (15,67) dengan perempuan (15,13) sekitar 0,54; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (13,17) dengan perempuan (12,88) sekitar 0,29; Kabupaten Sleman memiiki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (16,76) dengan perempuan (16,55) sekitar 0,21; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (17,46) dengan perempuan (17,63) sekitar 0,17. Kota Yogyakarta merupakan wilayah dengan rentang atau perbedaan angka Harapan Lama Sekolah paling minim; artinya, Kota Yogyakarta sudah dibangun dan diberdayakan dalam sektor pendidikan secara merata. Namun, di sisi lain Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul merupakan wilayah dengan angka Harapan Lama Sekolah paling rendah dibandingkan wilayah lain yang berdasarkan tabel di atas laki-laki hanya 13,17 dan perempuan hanya 12,88. Pembangunan pendidikan di Provinsi DIY belum merata sepenuhnya, sebab di Gunung Kidul angka Harapan Lama Sekolah masyarakatnya memiliki rentang atau gap yang cukup jauh dibandingkan dengan wilayah lain. Perempuan di Gunung Kidul harus lebih diberdayakan sebab angka Harapan Lama Sekolah paling kecil dimiliki oleh perempuan di Gunung Kidul; hal tersebut merupakan dampak dari kurangnya motivasi pelajar untuk melanjutkan jenjang pendidikan serta maraknya pernikahan dini. Selain itu, pandemi sedang berada pada angka penyebaran cukup tinggi sehingga sekolah bukan pilihan yang “tepat” untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja (solopos.com, 2021). Berdasarkan angka harapan Lama Sekolah Nasional, perempuan di Kabupaten Gunung Kidul masih tertinggal dengan gap 0,29; angka tersebut tidak menunjukkan perbedaan signifikan namun angka tersebut sangat jauh berbeda dengan Kabupaten/Kota di Provinsi DIY. Angka Harapan Lama Sekolah perempuan di Gunung Kidul masih rendah karena faktor ekonomi yang kemudian menjadi penyebab lain kehamilan remaja di Gunungkidul. Pada usia tertentu, remaja di Gunung Kidul tidak diwajibkan melanjutkan sekolah dengan alasan ekonomi. Kondisi ini otomatis mendorong terjadinya penikahan anak dan kehamilan di usia remaja (Sekarayu & Nurwati, 2021). Informasi kesehatan reproduksi yang dianggap tabu semakin menutup akses remaja pada informasi yang memadai tentang berbagai risiko yang akan dialami saat mengalami KTD dan kehamilan usia remaja (BPPM DIY, 2017).

 

Tabel 4. IPG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan RLS Tahun 2021

Kabupaten/Kota

Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun)

Provinsi DIY

          Laki-Laki

Perempuan

Kulon Progo

9,44

8,62

Bantul

10,09

9,28

Gunung Kidul

7,90

6,88

Sleman

11,34

10,54

Kota Yogyakarta

11,91

11,34

Nasional

8,92

8,17

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan data Tabel 4. menunjukkan bahwa angka Rata-Rata Lama Sekolah perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, rentang atau perbedaan berkisar beberapa bulan saja. Berdasarkan pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten Kulon Progo memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (9,44) dengan perempuan (8,62) sekitar 0,82; Kabupaten Bantul memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (10,09) dengan perempuan (9,28) sekitar 0,81; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (7,90) dengan perempuan (6,88) sekitar 1,02; Kabupaten Sleman memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (11,34) dengan perempuan (10,54) sekitar 0,8; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki rentang angka Rata-Rata Lama sekolah antara laki-laki (11,91) dengan perempuan (11,34) sekitar 0,57. Kota Yogyakarta kembali menjadi wilayah yang unggul dalam pembangunan pendidikan sebab rentang atau gap antara laki-laki dan perempuan paling sedikit; namun, kembali lagi Kabupaten Gunung Kidul menjadi wilayah paling terbelakang dalam pembangunan pendidikan, hal ini dapat terlihat bahwa masyarakat Gunung Kidul memiliki angka Rata-Rata Lama Sekolah paling kecil dibandingkan dengan wilayah lain dengan perolehan angka Rata-Rata Lama Sekolah laki-laki hanya 7,90 sedangkan perempuan hanya 6,88. Berdasarkan angka Rata-Rata Lama Sekolah tingkat nasional (Laki-Laki: 8,92 dan Perempuan: 8,17), wiayah Kabupaten Gunung Kidul masih jauh tertinggal. Ketimpangan ini terjadi akibat pandemi sehingga pelajar kekurangan motivasi untuk sekolah; Kisworo (Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga) dalam pidjar.com menjelaskan bahwa alasan mengapa Kabupaten Gunung Kidul masih tertinggal dalam sektor pendidikan disebabkan oleh tiga hal, yaitu pernikahan dini, faktor ekonomi, dan kurangnya motivasi belajar. Perempuan di Gunung Kidul memiliki dilemma dalam melanjutan jenajang pendidikan, pandemi yang membuat pelajar beraktivitas di rumah saja dan kesulitan ekonomi memaksa mereka untuk melakukan pernikahan agar kehidupannya ditanggung oleh suami. Dalam Pembangunan Manusia Berbasis Gender (PMBG), perempuan juga harus mengenyam pendidikan selama 12 tahun; namun hal tersebut kemudian menjadi konflik bagi perempuan sebab dalam hal ini perempuan memiliki beban ganda atau double burden; perempuan yang sudah berstatus sebagai istri memiliki peran domestik (mengurus rumah tangga) dan peran publik (mencari penghasilan, sekolah, dan sebagainya). Peran ganda yang dimiliki perempuan menyulitkan kehidupan mereka atas tuntutan hidupnya, perempuan di Gunung Kidul harus mengurus rumah, namun tetap harus mencari nafkah atau melanjutkan sekolah (Al Firda et al., 2021). Pemerintah Provinsi DIY harus memiliki solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah dapat memberikan akses lebih luas bagi perempuan dalam mengenyam pendidikan dengan menyediakan ujian paket C, selain itu pemerintah dapat memberikan pemberdayaan kepada masyarakat melalui kegiatan Program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) melalui kearifan lokal agar masyarakat dapat lebih mandiri dan sejahtera.

Berdasarkan Tabel 3. dan Tabel 4. mengindikasikan bahwa pembangunan pendidikan belum merata di setiap wilayah kabupaten atau kota di Provinsi DIY, terutama di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Perempuan di Kabupaten Gunung Kidul dalam sektor pendidikan selalu terbelakang baik angka Harapan Lama Sekolah maupun angka Rata-Rata Lama Sekolah. Pemerintah Provinsi DIY perlu menggencarkan kembali pembangunan pendidikan berbasis gender yang merata di setiap wilayah; hal ini perlu ditekankan sebab perempuan dalam sektor pendidikan selalu lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

 

Tabel 5. IPG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Pengeluaran Perkapita yang Disesuaikan Tahun 2021

Kabupaten/Kota

Pengeluaran Perkapita (Ribu Rupiah)

Provinsi DIY

Laki-Laki

Perempuan

Kulon Progo

13.058

9.539

Bantul

18.010

14.868

Gunung Kidul

15.748

6.543

Sleman

17.312

15.029

Kota Yogyakarta

19.002

18.642

Nasional

15.770

9.050

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan data Tabel 5. menunjukkan bahwa angka Pengeluaran Perkapita perempuan di Provinsi DIY lebih rendah dibandingkan Pengeluaran Perkapita laki-laki, bahkan perbedaannya cukup jauh. Hal tersebut merupakan dampak dari sedikitnya peran perempuan dalam sektor publik. Berdasarkan pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten Kulon Progo memiliki rentang angka Pengeluaran Perkapita antara laki-laki (13.058) dengan perempuan (9.539) sekitar 3.519; Kabupaten Bantul memiliki rentang angka Pengeluaran Perkapita antara laki-laki (18.010) dengan perepmpuan (14.868) sekitar 3.142; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang angka Pengeluaran Perkapita antara laki-laki (15.748) dengan perempuan (6.543) sekitar 9.205; Kabupaten Sleman memiliki rentang angka Pengeluaran Perkapita antara laki-laki (17.312) dengan perempuan (15.029) sekitar 2.283; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki rentang angka Pengeluaran Perkapita antara laki-laki (19.002) dengan perempuan (18.642) sekitar 36. Kota Yogyakarta kembali unggul dalam pembangunan perekonomian yang merata antara laki-laki dengan perempuan, pembangunan berbasis gender di Kota Yogyakarta layak menjadi contoh bagi wilayah lain terutama wilayah dalam provinsinya sendiri yaitu Kabupaten gunung Kidul karena harus menjadi yang paling rendah dalam pembangunan perekonomian berbasis gender yang merata. Kabupaten Gunung Kidul memiliki ketimpangan Pengeluaran Perkapita yang sangat tinggi antara laki-laki dengan perempuan, rentang atau perbedannya mencapai 9.250. Berdasarkan data Tabel 3, 4, dan 5, sangat menjelaskan bahwa perempuan di Provinsi DIY belum dibangun dan diberdayakan secara merata terutama di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, perempuan sangat jauh tertinggal dibandingkan perempuan di wilayah kabupaten atau kota lain. Kota Yogyakarta merupakan kota yang paling sejahtera masyarakatnya baik dalam sektor kesehatan maupun pendidikan; sedangkan masyarakat Gunung Kidul masih berada jauh di belakang baik dalam sektor kesehatan maupun pendidikan. Pendidikan perempuan di Kabupaten Gunung Kidul yang tertinggal, membuat lapangan pekerjaan dan upah yang diterima perempuannya harus “disesuaikan” dengan tingkat pendidikannya; jika pendidikannya rendah, maka upah yang didapatkannya juga minim. Feminisme Pascakolonial menjelaskan dalam sektor publik, perempuan mengalami kekerasan simbolik; kapitalisme berdampak buruk terutama bagi perempuan, ketertindasan perempuan tidak dapat lepas dari isu-isu pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan membuat perempuan termarjinalisasi oleh laki-laki dalam dunia kerja, upah yang diterima perempuan lebih sedikit dengan beban kerja yang sama (Candra, 2019). Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan Gunung Kidul masih belum diberdayakan melalui pekerjaannya, perempuan di Gunung Kidul masih bekerja pada sektor Home Industry sehingga pendapatannya tidak sebanyak laki-laki (terpinggirkan dalam manufacture industry); alasan mengapa perempuan di Gunung Kidul bekerja dalam industri rumahan karena beban ganda yang dimilikinya (harus mengurus rumah).

Pembangunan berbasis gender penting dilakukan untuk meningkatkan laju Index Pembangunan Manusia; peran perempuan tidak hanya harus dalam sektor domestik saja, perempuan juga harus mendapatkan peran dalam sektor publik disertai dengan kebijakan dan peraturan yang responsif gender. Berdasarkan data di atas, perempuan di beberapa wilayah Kabupaten/Kota Provinsi DIY sudah cukup dibangun dan diberdayakan baik kesehatan maupun pendidikan bahkan perekonomian. Oleh karena itu, perlu untuk melihat bagaimana peran perempuan dalam sektor publik (pemberdayaan gender) dengan cara melihat beberapa indikator atau komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam parlemen, perempuan sebagai tenaga professional (teknisi, pimpinan dan ketatalaksanaan), dan sumbangan pendapatan. Data ini merupakan Index Pemberdayaan Gender dimana bertujuan untuk melihat bagaimana perempuan diberdayakan melalui perannya dalam sektor publik.

 

 

Tabel 6. IDG Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2021

Wilayah

Keterlibatan dalam Parlemen

Perempuan sebagai Manajer

Sumbangan Pendapatan Perempuan

IDG

Kulon Progo

20,00

52,57

34,27

71,41

Bantul

8,89

50,03

39,28

65,27

Gunung Kidul

24,44

44,59

39,52

76,70

Sleman

28,00

51,66

38,92

81,31

Yogyakarta

15,00

52,51

44,27

73,18

D.I. Yogyakarta

20,00

52,18

41,26

76,57

Nasional

21,89

32,50

37,22

76,26

Sumber: KPPA 2021

 

Berdasarkan data Tabel 6. menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan di Provinsi DIY sudah cukup maksimal sebab rentang atau gap antar wilayah dengan provinsi tidak berbeda terlalu jauh. Berdasarkan keterlibatan perempuan dalam parlemen, Kabupaten Sleman (28,00), Kabupaten Gunung Kidul (24,44), dan Kabupaten Kulon Progo (20,00) sudah melampaui angka keterlibatan perempuan dalam parlemen di Provinsi DIY (20,00); namun keterlibatan perempuan dalam parlemen di Kabupaten Bantul sangat minim (8,89). Partisipasi perempuan dalam parlemen di Kabupaten Bantul sangat sedikit, ketertarikan perempuan di Kabupaten Bantul untuk masuk sebagai anggota parlemen berbanding jauh dengan Kabupaten Sleman (28,00), rentang atau gap menjapai 20,00. Berdasarkan posisi perempuan sebagai manajer atau pemimpin (pengambil keputusan), Kabupaten Kulon Progo (52,57) dan Kota Yogyakarta (52,51) sudah melampaui angka Provinsi DIY (52,18).  Kabupaten Gunung Kidul (44,59) masih tertinggal dari wilayah lain, secara tidak langsung hal tersebut merupakan dampak dari angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah perempuan di Kabupaten Gunung Kidul yang masih rendah, sehingga lapangan pekerjaan yang didapatkan belum maksimal. Berdasarkan sumbangan pendapatan perempuan, hanya Kota Yogyakarta (44,27) yang sudah melampaui angka Provinsi DIY (41,26), sedangkan Kabupaten Kulon Progo (34,27) berada pada posisi yang paling rendah; hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan belum mendapatkan upah yang cukup layak atu upah yang diberikan masih minim. Secara keseluruhan, angka Index Pemberdayaan Gender (IDG) paling tinggi diperoleh Kabupaten Sleman (81,31) sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Bantul (65,27).

Provinsi DIY merupakan provinsi dengan PPRG yang cukup baik, terlihat berdasarkan data bahwa pembangunan berbasis gender sudah dilakukan dan angka yang diperoleh tidak menunjukkan rentang atau gap yang sangat tinggi, walaupun dalam beberapa sektor terdapat rentang atau gap yang sangat tinggi atau jauh. PPRG yang diterapkan oleh Provinsi DIY hanya perlu dimaksimalkan saja dengan melihat karakteristik setiap wilayah yang akan dibangun atau diberdayakan berbasis gender. Pemberdayaan hakikatnya harus berdasarkan kebutuhan dari masyarakat setiap wilayah agar pemberdayaan dapat dilakukan secara maksimal; oleh karena itu, perlu untuk melihat bagaimana karakteristik setiap wilayah Kabupaten atau Kota di Provinsi DIY.

 

Karakteristik Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Capaian IPM, IPG, dan IDG.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menerapkan PPRG dengan baik, hal tersebut terbukti dari rentang atau gap capaian setiap wilayah tidak jauh atau tinggi. Provinsi DIY hanya perlu memaksimalkan program PPRG yang sudah ada dengan cara melihat karakteristik setiap wilayah agar pembangunan dan pemberdayaan gender dapat dilakukan secara adil dan merata.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 7. Karakteristik wilayah Berdasarkan IPM, IPG, dan IDG

Wilayah

IPM

 

 

 

 

IPG

 

 

 

 

IDG

 

AHH

HLS

RLS

PPP

PPDP

PSM

SPP

L

P

L

P

L

P

L

P

Kulon Progo

74,71

73,39

77,18

14,24

15,26

9,44

8,62

13.058

9.539

20

52,57

34,27

Bantul

80,28

71,97

75,71

15,67

15,13

10,09

9,28

18.010

14.868

8,89

50,03

39,28

Gunung Kidul

70,16

72,26

76,02

13,17

12,88

7,90

6,88

15.748

6.543

24,4

44,59

39,52

Sleman

84

73,08

76,73

16,76

16,55

11,34

10,54

17.312

15.029

28

51,66

38,92

Kota Yogyakarta

87,18

72,92

76,40

17,46

17,63

11,91

11,34

19.002

18.642

15

52,51

44,27

Nasional

72,29

69,70

73,55

12,92

13,22

8,92

8,12

13.770

9.050

21,89

32,50

37,22

Sumber: KPPA 2021

 

Penjelasan tabel di atas adalah sebagai berikut, Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Pendapatan Perkapita Penduduk yang disesuaikan (PPP), Partisipasi Perempuan Dalam Parlemen (PPDP), Perempuan Sebagai Manajer (PSM), dan Sumbangan Pendapatan Perempuan (SPP).

Berdasarkan data Tabel 7. menunjukkan bahwa pembangunan berbasis gender melalui Prencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Provinsi DIY belum dapat dikatakan maksimal karena masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan terutama pada sektor pendidikan, pendapatan (perekonomian), dan partisipasi perempuan dalam parlemen. Untuk menjelaskan karakteristik setiap wilayah perlu penjabaran lebih lanjut.

Kabupaten Kulon Progo

Kabupaten Kulon Progo menjadi salah satu Kabupaten yang diberikan kawasan industri untuk DIY dan Jawa Tengah. Kawasan industri Sentolo merupakan Kawasan strategis untuk mengembangkan industri; dalam rangka menciptakan kawasan industri yang ramah lingkungan dan bebas polusi, maka dikembangkan kawasan industri di Sentolo. Masyarakat Kabupaten Kulon Progo mayoritas bekerja pada sektor pertanian dan industri manufaktur. Berdasarkan data tabel di atas, menunjukkan bahwa Kabupaten Kulon Progo cukup unggul pada AHH (75,22), HLS (14,27), dan PSM (52,57); sedangkan tertinggal pada RLS (9,02), PPP (10.069), dan SPP (34,27). Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Kulon Progo masih mendapatkan upah yang rendah dilihat berdasarkan pengeluaran perkapita dan sumbangan pendapatan perempuan yang masih rendah; sebagai kabupaten yang diberikan kawasan industri selayaknya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan upah yang layak. Posisi perempuan sebagai manajer yang tinggi namun sumbangan pendapatan perempuan yang sedikit mengindikasikan bahwa perempuan diupah lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki, Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Kabupaten Kulon Progo harus meningkatkan upah yang layak bagi perempuan agar pembangunan berbasis gender di Kabupaten Kulo Progo meningkat.

Kabupaten Bantul

Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di Provonsi DIY yang memiliki berbagai desa wisata. Kawasan desa wisata di Kabupaten Bantul memiliki karya atau produk berupa kerajinan kulit, gerabah, dan batik. Masyarakat di Kabupaten Bantul banyak diberdayakan melalui desa wisata sebagai pengrajin kerajinan tangan. Berdasarkan data tabel di atas, menunjukkan bahwa Kabupaten Bantul cukup unggul dalam IPM (80,28) dan PPP (15.543), sedangkan tertinggal pada PPDP (8,89) dan AHH (73,89). Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah diberdayakan melalui desa wisata, terlihat pendapatan pekapita yang cukup bersaing dan sumbangan pendapatan perempuan yang masih lebih tinggi dari Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman; namun partisipasi perempuan dalam parlemen sangat rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat terutama perempuan sudah berdaya melalui produk kerajinan tangan berupa gerabah, kerajinan kulit, dan batik, walaupun skalanya masih home industry. Program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender yang perlu ditingkatkan oleh pemerintah Provinsi DIY hanya memaksimalkan home industry dengan teknologi terbarukan dan mendukung perempuan untuk mengisi kursi parlemen.

Kabupaten Gunung Kidul

Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu wilayah yang paling tertinggal dari wilayah lainnya; IPM (70,16), HLS (12,98), RLS (7,30), PPP (9.505), dan PSM (44,59) Kabupaten Gunung Kidul berada pada angka yang paling bawah. Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu wilayah Provinsi DIY dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, hal tersebut membuat konsentrasi perekonomian Gunung Kidul terpusat pada pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Pemerintah Provinsi DIY perlu menekankan kembali pembangunan yang merata di setiap wilayah terutama di Kabupaten Gunung Kidul karena ketertinggalan pembangunan manusia dan pemberdayaan gender yang masih rendah; program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kabupaten Gunung Kidul perlu ditinjau kembali apakah sudah berjalan maksimal atau belum; pembangunan perlu dilakukan pada berbagai sektor baik pendidikan, perekonomian, dan kesehatan masyarakat. Pemerintah Provinsi DIY memiliki “pekerjaan rumah” yang besar untuk membangun dan memberikan pemberdayaan yang merata untuk Kabupaten Gunung Kidul agar tidak tertinggal dengan wilayah lain; hal tersebut akan berdampak pada angka Index Pembangunan Manusia Provinsi DIY bahkan nasional.

Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi cukup besar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Sleman merupakan pusat dari wilayah administratif provinsi dimana digunakan sebagai wilayah kerja pemerintahan kabupaten. Pasar tradisional di Kabupaten Sleman tersebar di seluruh wilayah, bahkan Kabupaten Sleman memiliki pasar modern yang dijadikan sebagai destinasi wisatawan seperti Plaza Ambarrukmo, Hartono Mall Yogyakarta, Jogja City Mall, dan Sleman City Hall. Masyarakat Kabupaten Sleman mayoritas bekerja sebagai “pengelola” dalam sektor pembangunan atau konstruksi. Kabupaten Sleman cukup unggul pada IPM (84,00), HLS (16,74), RLS (10,92), PPP (16.060), PPDP (28,00), dan PSM (51,66), sedangkan SPP (38,92) masih lebih rendah dari Kabupaten Bantul (39,28). Berdasarkan data tersebut, dapat terlihat bahwa program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kabupaten Sleman sudah dilakukan secara merata dan perempuan sudah diberdayakan dengan maksimal, baik dalam sektor kesehatan, pendidikan, perkonomia, dan politik. Hal tersebut tercermin dalam data pengeluaran perkapita masyarakat (16.060) yang cukup tinggi, harapan lama sekolah (16,74) dan rata-rata lama sekolah (10,92), serta partisipasi perempuan dalam parlemen (28,00) dan perempuan sebagai manajer (51,66); hal ini membuktikan bahwa tingginya angka partisipasi perempuan dalam parlemen sesuai dengan wilayah Kabupaten Sleman yang dijadikan sebagai wilayah kerja pemerintahan kabupaten, sehingga mendorong perempuan untuk turut berpartisipasi dalam dunia politik.

Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta merupakan wilayah yang berfokus pada sektor industri, komersial, dan jasa, khususnya jasa pada sektor pariwisata. Berkembangnya Kota Yogyakarta berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Kota Yogyakarta memiliki beberapa pusat industri menengah dan pusat industri modern, salah satunya adalah Pasar Beringharjo; Kota Yogyakarta juga memiliki kawasan komersial seperti  Malioboro, sedangkan pasar modern  di  Yogyakarta antara lain Plaza Malioboro, Galeria Mall, Lippo Plaza Jogja, Ramai Mall, Ramayana, Gardena, Toko Progo dan Kampus Mirota. Pesatnya perkembangan pariwisata telah membantu kota Yogyakarta memiliki banyak hotel, motel, dan wisma. Kota Yogyakarta sudah unggul dalam berbagai pembangunan; angka IPM (87,18), HLS (17,60), RLS (11,72), PPP (18.801), PSM (52,51), dan SPP (44,27) menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta sudah unggul dalam berbagai sektor, baik kesehatan, pendidikan, perekonomian, dan politik. Program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kota Yogyakarta sudah berjalan maksimal; Kota Yogyakarta menjadi salah satu wilayah yang mendukung angka pembangunan manusia Provinsi DIY meningkat. Namun, di sisi lain Pemerintah Provinsi DIY perlu melakukan pembenahan kembali agar ketimpangan pembangunan antar wilayah tidak terjadi; bila dibandingkan dengan Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Yogyakarta sudah mencapai “titik puncak” pembangunan manusia berbasis gender, sedangkan Kabupaten Gunung Kidul masih tertinggal jauh.

 

Kesimpulan

Perempuan menjadi salah satu korban dari ketimpangan gender yang terjadi dalam pembangunan negara, perempuan perlu diberdayakan agar tidak terjadi ketimpangan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang menerapkan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) untuk mengurangi ketimpangan gender antara laki-laki dengan perempuan dalam pembangunan. Perempuan harus memiiki peran aktif dalam pembangunan baik dalam ruang lingkup kabupaten, kota, provinsi, bahkan dalam skala nasional. Penerapan PPRG yang baik di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada tahun 2021 karena mengalami peningkatan cukup signifikan baik dalam angka IPM, IPG, maupun IDG. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha untuk menganalisa bagaimana pembangunan berbasis gender yan terjadi di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2021 berdasarkan indikator IPM, IPG, dan IDG. Terlihat bahwa pemerataan belum dilakukan secara signifikan, walaupun pada beberapa wilayah sudah mencapai pembangunan dan pemerataan yang maksimal. Ketimpangan angka pembangunan terjadi di Kabupaten Gunung Kidul karena masih memiliki capaian pembangunan manusia berbasis gender yang sangat rendah (tertinggal) dari wilayah lainnya; sedangkan Kota Yogyakarta sudah memiliki capaian yang lebih tinggi dari akumulasi pembangunan wilayah provinsinya.

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu melakukan pembangunan yang merata khususnya pada Kabupaten Gunung Kidul; perempuan di Kabupaten Gunung Kidul belum memiliki kesejahteraan baik dalam bidang esehatan, pendidikan, dan perekonomian. Masyarakat kabupaten Gunung Kidul yang mayoritasnya bekerja sebagai petani atau buruh perlu disejahterakan kembali, sebagai salah satu wilayah yang memiliki destinasi wisata cukup banyak; Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dapat mencontoh program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Kabupaten Bantul dengan cara embuat desa wisata dan memberikan pelatihan kepada penduduk setempat untuk menghasilkan produk berupa kerajinan, karena secara tidak langsung akan mensejahterakan perempuan karena industrinya masih dalam skala home industry yang sebagian besar pengelolanya adalah perempuan. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul juga dapat menjadikan Kabupaten Kulon Progo sebagai referensi untuk menjadikan wilayahnya (Kabupaten Gunung Kidul) sebagai kawasan industri terutama industri pariwisata. Pembangunan manusia berbasis gender perlu ditekankan sebab permpuan di Kabupaten Gunung Kidul masih memberikan sumbangan pendapatan yang sangat rendah. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan pertama kali adalah memudahkan akses dan meningkatkan kualitas pendidiakan di Kabupaten Gunung Kidul. Angka HLS dan RLS yang masih rendah mengindikasikan masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul masih tertinggal dalam sektor pendidikan; hal ini akan berdampak pada akses lapangan pekerjaan dan “kualitas” pekerjaan yang akan didapatkan oleh masyarakat. Akses dan kualitas pendidikan yang baik secara tidak langsung akan mensejahterakan masyarakat karena di kemudian hari masyarakatnya dapat mandiri baik secara ekonomi maupun sosial dengan pekerjaan dan upah yang layak sehingga mereka akan mendapatka kesejahteraan dalam sektor kesehatan dan perekonomian. Secara garis besar, Peprogram Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah sangat maksimal dan dijalankan dengan cukup baik, pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya perlu fokus pada pemerataannya agar tidak terjadi gap yang cukup besar antara wilayah kota satelit dengan wilayah “pedesaan”.

 

 

BIBLIOGRAFI

Adika, N. D., & Rahmawati, F. (2021). Analisis Indikator Ketimpangan Gender dan Relevansinya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif di Indonesia. Ecoplan, 4(2), 151–162.

Al Firda, A. L., Diana, N. Z., & Yulianti, Y. (2021). Beban ganda perempuan dalam rumah tangga di soka gunungkidul: Pandangan feminis dan islam. EMPATI: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 10(1), 10–20.

Aprilianti, S., & Setiadi, Y. (2022). Faktor-faktor Yang Memengaruhi Indeks Pembangunan Gender di Indonesia Tahun 2020. Seminar Nasional Official Statistics, 2022(1), 245–254.

Candra, P. H. (2019). Kritik Feminisme Postkolonial Untuk Membongkar Kultur Patriarki Dalam Budaya Manggarai. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Missio, 11(1), 107–116.

Fajriyyah, N., & Budiantara, I. N. (2016). Pemodelan indeks pembangunan gender dengan pendekatan regresi nonparametrik spline di Indonesia. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 4(2).

INDONESIA, P. R. (2000). Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 25 Tahun 2000 (25/2000) Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.

Juditha, C. (2015). Gender dan seksualitas dalam konstruksi media massa. JURNAL SIMBOLIKA Research and Learning in Communication Study, 1(1).

Manembu, A. E. (2018). Peranan perempuan dalam pembangunan masyarakat desa (suatu studi di desa Maumbi kecamatan Kalawat kabupaten Minahasa Utara). Politico: Jurnal Ilmu Politik, 7(1).

Mirani, T. B., & Sasi, S. (2016). Sentiment analysis of isis related tweets using absolute location. 2016 International Conference on Computational Science and Computational Intelligence (CSCI), 1140–1145.

Perempuan, K. P., & Indonesia, P. A. R. (2010). Pedoman teknis perencanaan dan penganggaran responsif gender bagi daerah. Jakarta: KPPPA, 1–76.

Saidah, L. (2018). Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terkait perlindungan anak dari kekerasan psikis dalam rumah tangga.

Sekarayu, S. Y., & Nurwati, N. (2021). Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Kesehatan Reproduksi. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(1), 37–45.

Sitorus, A. V. Y. (2016). Dampak ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 2(1).

Statistik, B. P. (2022). Statistik Telekomunikasi Indonesia 2022.

Sugiono. (2019). Metode penelitian kuantitatif kuantitatif dan R&D. Alfabeta.

Susiana, S. (2015). Penerapan Konsep Perencanaan Dan Penganggaran Responsif Gender (Pprg) Dalam Pembangunan Daerah (Studi Di Provinsi Papua Dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 6(1), 1–12.

 

 

Copyright holder:

Muhammad Abi Firmansyah, Soetji Lestari (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: