Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI YANG MEMBERIKAN FAKTA DALAM PERKARA PIDANA

 

Mutia Febriana, Arrum Budi Leksono

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan menganalisa hukummengenai Perlindungan hukum bagi saksi berdasarkan UU No. 31 Tahun 2014Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksidan Korban. Dengan menggunakan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dipandang penting, karena masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan Peranan saksi dan korban dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim. Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK telah menunjukkan rekam jejak, yang walau masih sedikit, namun telah diacungi jempol dari berbagai pihak. Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan.Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa: �Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa: �Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana

 

Kata Kunci: Perlindungan Saksi Dan Korban, Sistem Peradilan, Persidangan

 

Abstract

This study aims to obtain information and analyze the law regarding legal protection for witnesses based on Law no. 31 of 2014 concerning Amendments to Law no. 13 of 2006 concerning the Protection of Witnesses and Victims. By using the approach method in this research is a normative juridical approach. The Witness and Victim Protection Agency (LPSK) is considered important, because the wider community views that it is time for witnesses and victims to be given protection in the justice system. The role of witnesses and victims in every trial of criminal cases is very important because often witness statements can influence and determine the tendency of judges' decisions. As an institution that was born with the main task of providing protection for witnesses and victims, LPSK has shown a track record, which, although still small, has been praised by various parties. Several protections are carried out for witnesses and victims in serious cases, from which protection then contributes to upholding the law in order to achieve justice. Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, in Article 1 point 3 states that: �Victims are people who suffer physical, mental and/or economic losses caused by a criminal act. Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, in Article 1 point 3 states that: "Victims are people who suffer physical, mental and/or economic losses caused by a criminal act.

 

Keywords: Witness And Victim Protection, Justice System, Trial.

 

Pendahuluan

Proses penegakan hukum di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang bermuara kepada keputusan hakim di pengadilan, cenderung hanya berkutat atau terfokus pada apa yang dilakukan tersangka atau terdakwa saja (Saharuddin, 2017). Apakah perbuatan pidana yang dilakukan memenuhi atau tidak memenuhi rumusan pasal demi pasal yang diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal dalam segi perlindungan hukum, semestinya tidak ada dikotomi antara pelaku, saksi, dan korbannya. Seluruhnya harus memperoleh perlindungan hukum yang sama (Kenedi, 2020).

Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa: �Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.� Jaminan perlindungan hukum di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, semestinya sudah diberikan mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan (Kus & Khisni, 2017).

Misalnya ketika pelaksanaan penahanan, mereka mendapat jaminan konsumsi yang telah ditetapkan oleh negara dan diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 54 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)4 dan Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dipandang penting, karena masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan (Natalia, 2013). Peranan saksi dan korban dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim (Kawengian, 2016).

Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK telah menunjukkan rekam jejak, yang walau masih sedikit, namun telah diacungi jempol dari berbagai pihak. Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi mencapai keadilan.

Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya, harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu pula dengan saksi jika tidak mendapat perlindungan yang memadai. Maka dengan dia menjadi enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri.

Peranan keterangan saksi menjadi sangat penting terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan menjadi extraordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Namun hal ini sangat kontras dengan bentuk perhatian atau perlindungan yang diberikan oleh negara atau aparat penegak hukum kepada para saksi. Perlindungan disini berupa perlindungan hukum dan /atau perlindungan khusus lainnya. Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana (Laia, 2022). Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum Sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.

Di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan proses seleksi LPSK, dan pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak mengatur secara spesifik mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan, administrasi, SDM, pengawasan, serta transparansi dan akuntabilitas dari LPSK.

Saat ini sekalipun LPSK telah ada, namun dalam prakteknya tidaklah mudah. Memasukkan saksi atau saksi korban dalam program perlindungan saksi sangat banyak�� kendalanya, hal ini dikarenakan masalah kesulitan kesediaan dari saksi atau dari saksi korban untuk masuk ikut program perlindungan saksi dari LPSK. Ketika Seorang saksi atau korban menyatakan diri ikut masuk program perlindungan, ia harus sepakat tentang persyaratan standar yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pemberian identitas baru yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UU No.31 tahun 2014 butir (j) dimaksudkan agar pelaku kehilangan jejak untuk tidak dapat mencelakakan saksi atau saksi korban pada saat /waktu pelaku bebas dari hukuman penjara. Mengingat resiko atau konsekuensi yang lumayan besar, maka sekalipun seorang saksi atau saksi korban telah menyatakan bersedia masuk program perlindungan saksi, belum tentu setiap saksi atau saksi korban bersedia untuk mengorbankan kehidupan yang sebesar itu,sehingga UU No.31 tahun 2014 dan lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam praktiknya akan mendapatkan kesulitan�� bahkan dilema dari para saksi dan/atau saksi korban itu sendiri yang membuat LPSK kurang dapat menjalankan program perlindungan saksi sesuai dengan maksud dan tujuan UU No.31 Tahun 2014 tersebut.

Adanya hambatan yang datang dari kurangnya anggaran/dana perlindungan saksi yang tersedia, serta Sumber Daya Manusia yang ada di LPSK yang karena lembaga tersebut masih baru tentubelum profesionaldalam menangani perlindungan saksi. Masalah lain yang mungkin dihadapi oleh LPSK adalah menyangkut tekanan psikologis yang dirasakan saksi/korban yang ada dalam perlindungannya sebagai akibat putusnya hubungan saksi dengan pihak lain,termasuk keluarga. Dan masih banyak lagi potensi yang menjadi kendala bagi LPSK.

Posisi saksi yang demikian penting tampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini memang sejalan dengan sikap pembentuk undang-undang, yang tidak secara khusus memberikan perlindungan, kepada saksi berupa pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi termasuk saksi korban, hanya ada beberapa pasal dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang memberikan hak kepada saksi, tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Jadi hak yang dimiliki saksi lebih sedikit dari hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa.

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi. Di dalam Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga memberikan penjelasan bahwaKeterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu�. Subekti menyatakan bahwa saksi adalah orang yang didengar keterangannya di muka sidang pengadilan yang mendapat tugas membantupengadilan yang sedang perkara (Subekti & Tjitrosudibio, 2002).

Pada dasarnya, terdapat dua model perlindungan terhadap korban kejahatan, yaitu: Pertama, hak-hak prosedural, model ini menekankan peran aktif korban dalam proses peradilan pidana, seperti membantu Jaksa Penuntut Umum dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara. Korban adalah pihak yang wajib didengar pendapatnya. Kedua, ganti rugi dan restitusi,model pelayanan yang menekankan pada pemberian ganti rugi dalam bentuk kompensasi dan restitusi dan upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami trauma rasa takut dan tertekan akibat kejahatan, Mulyadi (2004) Sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa: �Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Karena merupakan lembaga yang mandiri maka Undang-Undang LPSK tidak meletakkan struktur LPSK berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga Negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan Negara. Pilihan Undang-Undang terhadap model lembaga seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya.

Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah: 1) Bagaimana Perlindungan Hukum Bagi Saksi Yang Memberikan Fakta Dalam Perkara Pidana? 2) Bagaimana Implementasi UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Apabila Mendapatkan Ancaman?

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan implementasi terhadap Perlindungan Hukum Bagi Saksi Yang Memberikan Fakta Dalam Perkara Pidana secara sistematis, metodologis, dan konsisten di masa yang akan datang. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa Penulis tidak perlu mencari data langsung ke lapangan.

Adapun spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang Penulis peroleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum Bagi Saksi Yang Memberikan Fakta Dalam Perkara Pidana yaitu dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Perlindungan Hukum Bagi Saksi Yang Memberikan Fakta Dalam Perkara Pidana

Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban.11 Dengan adanya perlindungan hukum dari LPSK, penjaminan atas rasa aman terhadap saksi dan korban pun menjadi semakin kuat. Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada korban adalah melalui pemberian kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Retribusi, Dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Saksi yang diajukan dalam sidang pengadilan ada empat jenis yaitu saksi yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa, yang diharapkan dapat memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya dalam bahasa Perancis juga disebut Saksi A De Charge dan saksi yang diajukan oleh penuntut umum disebut Saksi A Charge yaitu saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa, dan Saksi De Auditu yaitu saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain, adapun saksi ini biasanya atas permintaan hakim dan jaksa penuntut umum kepada seorang ahli untuk mengungkap kebenaran sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing. Saksi ini tidak memihak kepada siapapun karena tugasnya hanya memberi keterangan sesuai dengan profesi yang menjadi bidang tugasnya. Saksi golongan ini disebut dengan saksi ahli.

Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan perwujudan dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958, memang tidak memuat ketentuan secara tegas berkenaan dengan aturan perlindungan korban kejahatan. Namun demikian, setelah diperhatikan dengan seksama, maka akan diidentifikasi bahwa terdapat makna tersirat berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan. Makna yang tersirat tersebut dapat dilihat pada saat hakim diberikan peluang untuk menjatuhkan pidana bersyarat. Pada Pasal 14c KUHP misalnya, seorang hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi pelaku kejahatan (terpidana) untuk mengganti kerugian baik semua ataupun sebagian yang timbul sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukannya (Romli Atmasasmita, 2017).

R. Soesilo menyatakan bahwa: �Secara tersirat pasal 14 C ayat (1) ini memberikan perlindungan terhadap korban. Pasal tersebut berbunyi; Dalam perintah yang tersebut pada pasal 14 (a) kecuali dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa. Bahwa si terhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan yang dapat dihukum itu semuanya atau untuk sebagian saja yang ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya daripada tempo percobaan itu. (Soesilo & Pidana, 1995)

Perlindungan hukum�� serta segala aspeknya adalah salah satu hak bagi korban serta saksi berdasarkan Pasal 3 UU No 31 Tahun 2014 yang berbunyi Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: a) penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b) rasa aman; c) keadilan; d) tidak diskriminatif. e) kepastian hukum

Sedangkan dalam Pasal 5 UU No. 31 Tahun 2014, antara lain yang menyatakan bahwa alasan bagi perlindungan korban dan saksi adalah sebagai berikut Muladi (1997):

1. Saksi dan korban berhak: a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman Yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c) memberikan keterangan tanpa tekanan; d) mendapat penerjemah; e) bebas dari pertanyaan yang menjerat; f) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i) dirahasiakan identitasnya; j) mendapat identitas baru; k) mendapat tempat kediaman sementara; l) mendapat tempat kediaman baru; m) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n) mendapat nasihat hukum; o) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; p) mendapat pendampingan.

 

2. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat: (a) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban Tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK; (b) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi, Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri,dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang berhubungan dengan tindak pidana.

Sebagai catatan penting bahwa nilai kekuatan pembuktian saksi seperti yang diungkapkan tersebut tidak bisa dilepaskan dengan asas atau prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP: a) Sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah; b) Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.

Pasal 184 KUHAP menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sementara Pasal 185 ayat (2) menyatakan: �Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya�. Namun, Pasal 185 ayat (3) juga menegaskan: �Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya�. Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari 1 (satu) orang saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah/tidak. Begitu pentingnya kedudukan saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana dalam Pasal 184 dan Pasal 185 KUHAP.

Melihat pentingnya saksi sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 184�Pasal 185 KUHAP sebagaimana yang diuraikan tersebut maka sudah sewajarnya saksi atau korban dalam upaya penegakan hukum diberikan perlindungan, sehingga dalam memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, saksi merasa aman dan bebas dari ancaman/tekanan baik fisik atau psikis terhadap diri dan keluarganya. Saksi tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun mungkin keterangannya itu memberatkan si terdakwa. Maka Pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memungkinkn seorang saksi didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasannya jelas, mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir atau pun tertekan Walaupun demikian adanya jaminan keamanan dan bebas dari rasa takut bagi saksi saat diperiksa di muka persidangan atas keterangan yang diberikannya.

Sejatinya, jaminan keamanan dan bebas dari rasa takut ini menjadi sangat penting agar saksi tidak ragu-ragu menceritakan peristiwa yang sesungguhnya. Tujuan akhirnya adalah bagaimana mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat, untuk mencapai sistem hukum yang ada di Indonesia. Menurut Muladi, korban kejahatan perlu dilindungi karena beberapa alasan Gosita (1989):

1. Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga, dimana kepercayaan itu tercermin melalui norma-norma yang diekspresikan dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Suatu kejahatan yang terjadi terhadap korban berarti penghancuran terhadap sistem kepercayaan tersebut, sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lainnya yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengendalian sistem kepercayaan tersebut;

2. Adanya alasan kontak sosial dan solidaritas sosial, karena negara dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Karenanya jika terdapat korban kejahatan maka negara harus memperhatikannya;

3. Perlindungan korban yang biasanya dihubungkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yakni penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, maka akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, sekaligus dapat diharapkan menyelesaikan konflik/pertentangan dan juga mendatangkan kedamaian di dalam masyarakat.

Kurang memadainya perlindungan terhadap korban kejahatan semakin memperberat penderitaan yang dialami olehnya. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga berlaku terhadap korban kejahatan.16

 

B.     Implementasi UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Apabila Mendapatkan Ancaman

Secara substansial Undang-undang nomor 31 tahun 2014 tidak mencabut undang-undang Nomor 13 tahun 2006 akan tetapi hanya melengkapi serta merevisi beberapa pasal, yang itu artinya bahwa Nomor 13 tahun 2006 masih tetap berlaku sebagai undang- undang perlindungan saksi dan korban. Apabila kita melihat tugas dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Yang diatur dalam undang- undang nomor 13 tahun 2006 kelihatannya telah mencukupi, namun jika ditelaah lebih mendalam akan mandat tersebut maka kewenangannya masih sangat lemah, antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:17 a) Kewenangan LPSK untuk pemberian bantuan dan dukungan bagi saksi di pengadilan. b) Penyediaan tempat khusus di pengadilan. c) Konsultan bagi para saksi. d) Hal-hal lain untuk pelayanan saksi selama proses persidangan. e) Tugas LPSK dalam administrative LPSK dalam perlindungan sementara untuk saksi. f) Perjanjian-perjanjian��� dengan����������� lembaga lain tentang bantuan terhadap saksi. g) Penggunaan fasilitas Negara�������� untuk perlindungan saksi. h) Mendelegasikan tugas LPSK di daerah.

Selain itu Undang-Undang LPSK ini mempunyai beberapa hal yang merupakan kelemahan, yaitu: Tidak mengatur tentang cara bagaimana penegak hukum memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, bahkan terhadap jaksa dan keluarganya sendiri, mengingat baik saksi maupun korban dan Jaksa dalam kenyataannya kesulitan untuk mengamankan diri dan keluarganya (Frans Hendra Winarta, 2011).

LPSK membuat Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 yang secara khusus mengatur mengenai tata cara mengajukan permohonan. Dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa: 1) Pemohon perlindungan yang ditujukan kepada ketua LPSK melalui surat atau permintaan pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, ketua LPSK meneruskan permohonan kepada UP2 LPSK untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelengkapan persyaratan sesuai dalam ketentuan peraturan ini. 2) Dalam hal untuk memperoleh pemenuhan kelengkapan berkas permohonan perlindungan, UP2 LPSK dapat berkoordinasi kepada pejabat berwenang atau yang mengajukan permohonan.

3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7, UP2 LPSK dapat meminta data atau informasi tambahan yang berkaitan perkaranya antara lain: a) Hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP); b) Sifat pentingnya kesaksian dalam perkara; c) Surat panggilan kepolisian atau Kejaksaan atau Pengadilan; d) Surat laporan atau informasi kepada pejabat terkait: kepolisian, Komisi Negara, pemerintah, pemerintah Daerah, yang berkaitan atas kesaksiannya sebagai pelapor; e) Surat dari instansi terkait mengenai kasusnya.

Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan.

Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acara (Sunarso, Sh, & Kn, 2022). Akan tetapi di dalam KUHAP lebih banyak diatur tentang tersangka daripada mengenai saksi dan korban. Kedudukan saksi dan korban pun tampaknya belum optimal dibandingkan kedudukan pelaku.

Walaupun telah diundangkannya UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban ini dipandang masih belum maksimal. UU Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belumlah cukup untuk menjamin perlindungan saksi dan korban yang secara langsung memperlambat kinerja dari LPSK sendiri. Salah satunya yaitu: UU Perlindungan Saksi dan Korban ini belum secara khusus mengatur mengenai wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh LPSK dalam rangka pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, yang terkadang menyebabkan LPSK sering salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan menempatkan saksi dan/atau korban tersebut dalam situasi yang rumit.

Banyaknya peraturan perundang-undangan yang melindung subyek hukum di Indonesia tidaklah menjamin berkurangnya pelanggaran hak asasi manusia. Pada kenyataannya tidak sedikit kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia terjadi, baik yang dilakukan oleh kelompok, perorangan, bahkan oleh negara sendiri. Pelanggaran-pelanggaran tersebut tentu mengakibatkan munculnya problem-problem dalam diri korban. Problem yang dimaksud dapat berbentuk problem di bidang finansial, terlebih lagi apabila korban berstatus sebagai kepala keluarga yang menjadi tumpuan hidup keluarganya. Problem lainnya ialah problem di bidang fisik yang terindikasi kepada aktivitas yang terhenti, sedangkan problem di bidang psikis dapat berwujud dalam bentuk kegoncangan psikis baik kontemporer maupun permanen (dan Elisatris, 2007).

Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan LPSK kepada saksi dan korban dapat dikategorikan sebagai berikut: 1) Perlindungan fisik dan psikis: Pengamanan dan pengawalan,penempatan di rumah aman, mendapat identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan, bantuan rehabilitasi psiko-sosial. 2) Perlindungan hukum: Keringanan hukuman, dan saksi dan korban serta pelapor tidak dapat dituntut secara hukum. 3) Pemenuhan hak prosedural saksi: Pendampingan, mendapat penerjemah, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian biaya transportasi, mendapat nasihat hukum, bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan dan lain sebagainya

Undang-Undang LPSK menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri. Apa yang dimaksud mandiri dalam UU ini, lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang independen (biasanya disebut sebagai komisi independen), yakni organ Negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, namun memiliki fungsi campuran antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Karena merupakan lembaga yang mandiri maka Undang-Undang LPSK tidak meletakkan struktur LPSK berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga Negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan Negara. Pilihan Undang-Undang terhadap model lembaga seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya.

 

Kesimpulan

Bahwa Peran saksi pada peradilan pidana di Indonesia pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Bahkan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi, dan hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban. Dengan adanya perlindungan hukum dari LPSK, penjaminan atas rasa aman terhadap saksi dan korban pun menjadi semakin kuat. Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada korban adalah melalui pemberian kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Retribusi, Dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Bahwa Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acara. Akan tetapi di dalam KUHAP lebih banyak diatur tentang tersangka daripada mengenai saksi dan korban. Kedudukan saksi dan korban pun tampaknya belum optimal dibandingkan kedudukan pelaku. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban belum secara khusus mengatur mengenai wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh LPSK dalam rangka pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, yang terkadang menyebabkan LPSK sering salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan menempatkan saksi dan/atau korban tersebut dalam situasi yang rumit.

 

 

BIBLIOGRAFI

dan Elisatris, Dikdik M. Arief Mansyur. (2007). Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

Frans Hendra Winarta, S. (2011). Bantuan Hukum di Indonesia Hak untuk Didampingi Penasihat. Elex Media Komputindo.

 

Gosita, Arif, & Anak, Masalah Perlindungan. (1989). Akademi Pressindo. Jakarta, Tahun.

 

Kawengian, Tiovany A. (2016). Peranan Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Proses Pidana Menurut KUHAP. Lex Privatum, 4(4).

 

Kenedi, John. (2020). Perlindungan saksi dan korban. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

 

Kus, Kuswanto, & Khisni, Akhmad. (2017). Perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam kasus tumpang tindih kepemilikan atas sebidang tanah di Badan Pertanahan Nasional/ATR Kabupaten Kudus. Jurnal Akta, 4(1), 71�74.

 

Laia, Fariaman. (2022). Analisis Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Saksi Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Panah Keadilan, 1(1), 24�39.

 

Muladi, Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit, & Medis, Tenaga. (1997). Dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Undip Press.

 

Mulyadi, Lilik. (2004). Kapita selekta hukum pidana kriminologi & victimologi. Djambatan.

 

Natalia, Saristha. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK). Lex Crimen, 2(2).

 

Romli Atmasasmita, S. H. (2017). Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum Pidana Indonesia. Prenada Media.

 

Saharuddin, Saharuddin. (2017). Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri sebagai Perwujudan untuk Mencapai Pemerintahan yang Baik dan Bersih. Al Hikam, 1(2), 75�91.

 

Soesilo, R., & Pidana, Kitab Undang Undang Hukum. (1995). Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor.

 

Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (2002). Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

 

Sunarso, H. Siswanto, Sh, M. H., & Kn, M. (2022). Viktimologi dalam sistem peradilan pidana. Sinar Grafika.

 

Copyright holder:

Mutia Febriana, Arrum Budi Leksono (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: