Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

KAJIAN YURIDIS TERKAIT HAK-HAK TERSANGKA MENURUT HUKUM POSITIF

 

Ridwan, Ichwan Setiawan

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Lembaga yang ditunjuk untuk menanggulangi kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di masyarakat adalah lembaga kepolisian. Sebagaimana yang tertuang dalam Dalam kitab hukum acara pidana (KUHAP) lembaga kepolisian diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan. Proses penyidikandilakukan atas diri tersangka yang diduga telah melakukan suatu tindakan pidana yang terjadi. Dalam upaya untuk membuktikan bahwa seseorang disangka telah melakukan tindak pidana aparat penegak hukum harus memperhatikan hak-hak tersangka sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang yang berlaku. Berpijak pada hal diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu yaitu mengenai hak-hak apa saja yang diperoleh oleh tersangka menurut KUHAP dan Hak Asasi Manusia sebagai perwujudan melindungan harkat dan martabat selaku manusia. Adapun untuk metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang tentunya menitikberatkan pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dari bahan-bahan hukum. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mengkaji ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian bahwa Hak-hak tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia telah secara resmi mendapatkan pengakuan hukum sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai penghormatan sebagai manusia yang utuh, yang memiliki harkat dan martabat.

 

Kata Kunci: Penyedikan, Hak-Hak Tersangka

 

Abstract

The institution appointed to tackle crimes or violations that occur in the community is the police agency. As stated in the criminal procedure code (KUHAP), the police agency is given the authority to conduct investigations. The investigation process is carried out on the suspects who are suspected of having committed a criminal act that occurred. In an effort to prove that a person is suspected of having committed a criminal act, law enforcement officials must pay attention to the rights of suspects as stipulated in applicable law. Based on the above, the problem that will be discussed in this writing is about what rights are obtained by suspects according to the Criminal Procedure Code and Human Rights as a manifestation of protecting dignity and dignity as human beings. As for the research method used is a normative research method which of course focuses on literature research to obtain secondary data from legal materials. The normative approach is carried out by reviewing the provisions or applicable laws and regulations. The results of the study that the rights of suspects in the Criminal Justice System in Indonesia have officially received legal recognition as stipulated in Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights and Law Number 8 of 1981 concerning Criminal Procedure Law known as the Code of Criminal Procedure (KUHAP) as respect as a complete human being, who has dignity and dignity.

 

Keywords: Provision, Rights of Suspects.

 

Pendahuluan

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas masyarakat (Eko Riyadi, 2019). Bangunan bangunan dasar HAM yang melekat di dalam episentrum otoritas individu yang merdeka, merupakan bawaan semenjak lahir, sehingga tidak bisa digugat dengan benalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat. Dengan dan atas nama apa pun, bahwa dasar-dasar kemanusiaan yang intim harus dilindungi, dipelihara dan tidak dibiarkan berada sama sekali dalam ruang-ruang sosial yang mengalienasinya (Tumpa, Halim, Sampurno, & Jurdi, 2010).

Indonesia telah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan pada 23 Oktober 1985. Kemudian Indonesia meratifikasi konvensi itu pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Konvensi Menentang Penyiksaan dalam Pasal 9 (1) ICCPR menentukan, tidak seorang pun dapat dikenai penangkapan dan penahanan secara sewenangwenang. Walaupun penangkapan dan penahanan dibenarkan secara hukum, tetapi hal itu tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Kata �sewenag-wenangdipahami mengandung unsur ketidakadilan (injustice), ketidakpastian (unpredictability), ketidakwajaran (unreasonableness), ketidakteraturan (unconciousness), dan ketidakseimbangan (disproporsionality). Hal spesifik dilakukannya penahanan penahanan tidak boleh diskriminatif, harus dibenarkan sebagaimana mestinya dan berimbang dengan mengingat keadaan dan kasusnya (Rover, 2000).

Lebih lanjut Pasal 10 (1) ICCPR menekankan, agar semua orang yang dicabut kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat yang menjadi sifat pribadi manusiawi mereka. Penekanan ini tidak lepas dari status para tahanan sebagai orang-orang yang belum dihukum yang statusnya berbeda dengan orang-orang yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

Oleh karena itu, walaupun mereka diduga telah melakukan tindakan pidana, akan tetapi harkat dan martabatnya sebagai manusia tetap harus dilindungi (Renggong, 2016). Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai hak-hak apa saja yang diperoleh oleh tersangka menurut KUHAP dan Hak Asasi Manusia sebagai perwujudan melindungan harkat dan martabat selaku manusia.

Munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral (Rahardjo, 2000).

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak ang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan social (Valerine, 2015).

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bwedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan (Hadjon, 1987).

Istilah perlindunan hukum sebenarnya merupakan penyempitan arti dari perlindungan, dimana hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesame manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum (Kansil, 1979).

Dengantindakan pemerintahsebagai titik sentralnya maka dibedakan dua macam perlindungan hukum, yaitu Hadjon (2007): 1) Perlindungan Hukum yang preventif Perlindungan hukum yang preventif ini diberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemeritah mendapat bentuk yang definitive. Dengan begitu perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. 2) Perlindungan hukum yang represif yaitu bertujuan menyelesaikan sengketa.

 

Metode Penelitian

Menurut Mardalis, metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan suatu teknis dengan mengunakan fikiran secara seksama untuk mencapai tujuan, sedangkan enelitian sendiri merupakan upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta secara sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Soekanto, 1985). Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka jenis penelitian ini masuk dalam kategori penelitian hukum normatif, karena dalam penelitian normatif terutama menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitian. atau disebut juga dengan (Library research).

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur (Asikin, 2004). Penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Definisi tersangka sudah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yaituTersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Soesilo, 1974).� Tersangka adalah seseorang yang telah disangka melakukan suatu tindak piadana dan ini masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup bukti dasar untuk diperiksa dipersidangan (Sofyan & SH, 2020).

Tersangka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1) Tersangka yang kesalahannya sudah definitif atau dapat dipastikan Untuk tersangka tipe I ini, maka pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan tersangka serta pembuktian yang menunjukkan kesalahan tersangka selengkaplengkapnya diperoleh dari fakta dan data yang dikemukakan di depan sidang pengadilan. 2) Tersangka yang kesalahannya belum pasti Untuk tersangka tipe II ini, maka pemeriksaan dilakukan secara hati-hati melalui metode yang efektif untuk dapat menarik keyakinan kesalahan tersangka, sehingga dapat dihindari kekeliruan dalam menetapkan salah atau tidaknya seseorang yang diduga melakukan tindak pidana (Prakoso, 1987).

Perlindungan hukum kepada seorang tersangka dapat diberikan apabila KUHAP terealisasikan dengan baik, baik di dalam proses pengungkapan sebuah perkara pidana yang dikhusukan pada tahap penyidikan tidak jarang terjadi tindakan yang semena-mena dari penyidik. Tujuan dari perlakuan tersebut, adalah agar tersangka langsung mengakui perbuatannya padahal semenjak lahirnya KUHAP dalam proses penyidikan yang dibutuhkan adalah keterangan seseorang bukan sebuah pengakuan dengan cara-cara dengan aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seharusnya, tersangka dalam memberikan keterangan kepada penyidik harus secara bebas dengan tanpa adanya penekanan atau bahkan pemaksaan dari penyidik sehingga hasil dari proses penyidikan dapat diperoleh tanpa menyimpang dari rules yang ada. Dalam pemeriksaan perkara setidkanya terdiri atas 2 (dua) tahap, yaitu: 1) Proses pemeriksaan awal; dan 2) Proses pemeriksaan di hadapan hakim (dalam pengadilan) (Pardosi & Primawardani, 2020).

Hak-hak tersangka atau terdakwa diatur dalam BAB VI KUHAP, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Hak untuk segera diperiksa, sebagaimana menurut pasal 50 KUHAP, yaitu: a) Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum. b) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umun. c) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

2) Hak tersangka untuk mempersiapkan pembelaan, dalam hal ini diatur dalam pasal 51 KUHAP, sebagai berikut: a) Tersangka untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai. b) Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang di dakwakan olehnya.

3) Hak untuk bebas memberikan keterangan, sebagaimana menurut Pasal 52 KUHAP, bahwa: �Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim. Pasal 117 ayat 1 KUHAP juga menegaskan bahwaketerangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari apapun dan/atau dalam bentuk apapun.

4) Hak untuk mendapatkan juru bahasa, sebagaimana menurut pasal 53 ayat (1) KUHAP: Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapatkan bantuan juru bahasa sebagaimana.

5) Hak untuk menghubungi perawatan kesehatan, sebagaimana menurut pasal 58 KUHAP: Tersangka yang dikenakan penahanan berhak berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada dalam hubungannya dengan proses perkara atau tidak.

6) Tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum (pasal 54 KUHAP): Tersangka berhak didampingi oleh penasehat hukum, baik ditingkat penyidik, penuntutan sampai pada tingkat persidangan. Hak untuk didampingi penasehat hukum dapat dilakukan sejak tersangka ditangkap, bahkan sampai pada tahappenyidikan.

7) Tersangka berhak memilih sendiri penasehat hukumnya, sebagaimana dalam Pasal 55 KUHAP: untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.

8) Hak untuk didampingi penasihat hukum secara cuma-cuma, sebagaimana menurut pasal 56 ayat (1) KUHAP, bahwa: Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, penjabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjukan penasihat hukum bagi mereka.

9) Hak untuk menghubungi penasihat hukumnya, sebagaimana menurut pasal 57 ayat (1) KUHAP: tersangka yang dikenakan penahanan, berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

10) Hak untuk menghubungi perwakilan negaranya, sebagaimana menurut pasal 57 ayat (1) KUHAP: Tersangka yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.�

11) Hak untuk diberitahukan atau menghubungi keluarganya, sebagaimana menurut pasal 59 KUHAP: Tersangka yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh penjabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses pengadilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

12) Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan, sebagaimana menurut pasal 60 KUHAP: Tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan ppenahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.

13) Hak untuk mengajukan keberatan, sebagaimana menurut pasal 123 ayat (1) KUHAP: Tersangka, keluarga, atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.

Selain hal tersebut diatas, juga mengenai hak tersangka tertuang dalam Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, bagian keempat hak memperoleh keadilan, khususnya Pasal 17- 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asaasi Manusia, dinyatakan: - Pasal 17, berbunyi: �Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar�.

- Pasal 18, berbunyi: 1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undangan. 2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. 3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perudang-undangan maka beralaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. 4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbutan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

Kesimpulan

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas masyarakat tanpa terkecuali bagi seseorang yang berstatus sebagai tersangka. Sifat hakiki dan kodrati HAM yang melekat pada diri setiap orang pada hakikatnya tidak dapat dicabut, dihapuskan, atau dirampas oleh siapa pun termasuk penguasa negara.

Karena mencabut, menghapus, atau merampas HAM sama artinya menghilangkan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah memberikan jaminan hukum atas diri tersangka guna mendapat perlindungan atas hak-haknya dan mendapat perlakuan yang adil didepan hukum, pembuktian salah atau tidaknya seorang tersangka atau terdakwa harus dilakukan didepan sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum. Selain itu, dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) juga mengatur mengatur mengenai hak, baik terhadap diri pribadi manusia atau tersangka, diantaranya yaitu hak untuk tidak disiksa, ha katas perlindungan, ha katas rasa aman, Hak untuk Bebas dari Penyiksaan dan hak untuk tidak diperlakukan Sewenang-wenang.

 

BIBLIOGRAFI

Asikin, Amirudin Zainal. (2004). Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Eko Riyadi, S. H. (2019). Hukum Hak Asasi Manusia: perspektif internasional, regional dan nasional. Rajawali Pers.

 

Hadjon, Philipus M. (1987). Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia: sebauh studi tentang Prinsip-prinsipnya... Bina Ilmu.

 

Hadjon, Philipus M. (2007). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Peradaban.

 

Kansil, Christine S. T. (1979). Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia. (No Title).

 

Pardosi, ROAG, & Primawardani, Yuliana. (2020). Perlindungan Hak Pengguna Layanan Pinjaman Online Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Protection of the Rights of Online Loan Customers from a Human Rights Perspective). Jurnal Ham, 11(3), 353�367.

 

Prakoso, Djoko. (1987). Polri sebagai penyidik dalam penegakan hukum. (No Title).

 

Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu hukum. Citra Aditya Bakti.

 

Renggong, Ruslan. (2016). Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia. Kencana.

 

Rover, C. De. (2000). To Serve & To Protect= Acuan Universal Penegakan Ham.

 

Soekanto, Soerjono. (1985). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.

 

Soesilo, Raden. (1974). Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP): serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal: untuk para pejabat kepolisian negara, kejaksaan/pengadilan negeri, pamong praja, dsb. (No Title).

 

Sofyan, Andi Muhammad, & SH, M. H. (2020). Hukum Acara Pidana. Prenada Media.

 

Tumpa, Harifin A., Halim, Hamzah, Sampurno, Slamet, & Jurdi, Fajlurrahman. (2010). Peluang & tantangan eksistensi pengadilan HAM di Indonesia. Kencana.

 

Valerine, J. L. K. (2015). Metode Penelitian Hukum (Bagian I). Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Copyright holder:

Ridwan, Ichwan Setiawan (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: