Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DALAM PERSFEKTIF HUKUM POSITIF

 

Saskya Faramita, Arrum Budi Leksono

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Terpidana penyalahgunaan Narkotika yang menjalani pidana penjara memiliki hak-hak yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan Undang-undang, salah satunya adalah dengan adanya pemberian remisi. Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Berpijak pada hal diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu bagaimana ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika menurut undang-undang yang berlaku. Adapun untuk metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang tentunya menitikberatkan pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dari bahan-bahan hukum. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mengkaji ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian bahwa Pelaksanaan pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana narkotika telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaratan, sebagaimana yang tercantum dalam pasal pasal 34 ayat (2), dan pasal 34A ayat ayat 1 huruf a dan ayat 2.

 

Kata Kunci: Terpidana penyalahgunaan Narkotika dan remisi

 

Abstract

Convicted drug abusers who serve prison sentences have rights protected by human rights and the law, one of which is the granting of remission. Remission is a reduction in the period of criminal service given to Prisoners and Criminal Children who meet the conditions specified in laws and regulations. Based on the above, the problem that will be discussed in this writing is how the provisions and conditions that must be met regarding the provision of remission for prisoners convicted of committing narcotic crimes and narcotic precursors, psychotropic drugs according to applicable law. As for the research method used is a normative research method which of course focuses on literature research to obtain secondary data from legal materials. The normative approach is carried out by reviewing the provisions or applicable laws and regulations. The results of the study that the implementation of the provision of Remission for drug offenders has been regulated in Government Regulation Number 99 of 2012 concerning the Second Amendment to Government Regulation Number 32 of 1999 concerning Terms and Procedures for the Implementation of the Rights of Conditional Assisted Citizens, as stated in article 34 paragraph (2), and article 34A paragraph paragraph 1 letter a and paragraph 2.

 

Keywords: Convicted of Narcotics abuse and remission.

 

Pendahuluan

Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturanperaturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu (Kansil, 1979). Menurut P.A.F. Lamintang (2022) mengemukakan pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut (Dwidja, 2006).

Tujuan pidana penjara menurut Sahardjo seharusnya disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak juga harus membimbing terpidana agar bertobat dan mendidik menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan kata lain tujuan pemidanaan pada saat ini tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi, dan reintergrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan (Sahardjo & Sukamiskin, 1963).

Terpidana penyalahgunaan Narkotika yang menjalani pidana penjara memiliki hak- hak yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan Undang-undang, salah satunya adalah dengan adanya pemberian remisi. Menurut Andi Hamzah remisi adalah sebagai pembebasan hukum untuk seluruhnya atau sebagian atau dari seumur hidup menjadi hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus. Remisi pada hakekatnya adalah hak semua narapidana dan berlaku bagi siapapun sepanjang narapidana tersebut menjalani pidana sementara bukan pidana seumur hidup dan pidana mati (Vitaloka et al., 2022).

Hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai remisi terdapat dalam Undang- undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, selanjutnya dilakukan pembaharuan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Jo Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Dengan Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan pemerintah selalu memperhatikan hak para narapidana untuk mendapatkan remisi yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dalam pemberian remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku atau perbuatan para narapidana selama menjalani pidana sebagai acuan pemberian remisi yang sesuai dengan perilaku dan tindakan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan itu sendiri. Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Dengan pemberian remisi narapidana tidak sepenuhnya menjalani masa hukuman pidananya. Hal tersebut merupakan sebuah hadiah yang diberikan pemerintah kepada para narapidana.

Dalam memperoleh remisi narapidana harus memenuhi beberapa persyaratan, yang intinya mentaati peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan adanya pemberian remisi menjadikan narapidana berusaha tetap menjaga kelakuannya agar kembali memperoleh remisi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: UndangUndang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Keputusan Presiden RI 7 No.174 Tahun 1999 tentang Remisi, Keputusan Menteri Hukum.

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika menurut undang-undang yang berlaku. Dalam ilmu hukum pidana, dikenal tiga macam teori tentang tujuan pemidanaan (Eropa Kontinental) yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Menurut pemidanaan, adalah: Setiady (2010) Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).

Sedangkan Subekti dan Tjitro Soedibyo menyatakan bahwa Arief (2011): �Pidana itu adalah hukuman. Pidana itu sendiri merupakan sebuah alat yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan. Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Dimana ada masyarakat, maka di situ ada tindak pidana. �Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukumm, terdapat beberapa teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu;

1.Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)

Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi si korban. Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut: �Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.� (Muladi & Arief, 1984)

2. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)

Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana itu sendiri. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief memberikan pendapat sebagai berikut: �Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Oleh karena itu teori ini sering disebut sebagai (Utilitarian Theory) jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukanquia peccatum est( karena orang membuat kejahatan) melainkan Ne Peccetur ( supaya orang tidak melakukan kejahatan).�

3. Teori Kombinasi (Gabungan)

Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum. Satochid Kartanegara (1992) menyatakan: �Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan.

Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum.� Teori gabungan itu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: a) Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat; b) Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih berat dari pada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terhukum (Kadri Husin & Budi Rizki Husin, 2022).

 

Metode Penelitian

Menurut Mardalis, metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan suatu teknis dengan mengunakan fikiran secara seksama untuk mencapai tujuan, sedangkan penelitian sendiri merupakan upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta secara sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Soekanto, 1985).

Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka jenis penelitian ini masuk dalam kategori penelitian hukum normatif, karena dalam penelitian normatif terutama menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitian. atau disebut juga dengan (Library research), metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur (Asikin, 2004). Penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

 

 

Hasil dan Pembahasan

Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak- haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Menurut Undang-Undang Republik Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, pada pasal 14 ayat (1) yaitu Narapidana berhak: a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e) Menyampaikan keluhan; f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa; g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu; lainnya; i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k) Mendapatkan pembebasan bersyarat; l) Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (Dwidja, 2006).

Remisi merupakan pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana

dengan memenuhi persyaratan tertentu yang dimaksud tersebut adalah narapidana berkelakuan baik selama menjalani masa pidananya (Waluyo, 2004). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 1 ayat 6, disebutkan secara jelas bahwa remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang di berikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Andi Hamzah (2019), remisi adalah sebagai pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagian atau dari seumur hidup menjadi hukuman terbatas yang di berikan setiap 17 Agustus. Menurut C.I. Harsosno (1995), remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjalani hukuman pidana, juga berubah dari waktu ke waktu. Sistem kepenjaraan penempatan remisi sebagai anugerah, artinya bahwa remisi merupakan anugerah dari pemerintah kepada warga binaan pemasyarakatan.

Berdasarkan ketentuan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, dikenal jenis/bentukbentuk remisi yaitu:

a. Remisi Umum

Remisi umum adalah remisi yang di berikan pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.

b. Remisi Khusus

Remisi Khusus adalah remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menyebutkan bahwa selain remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, narapidana dan anak dapat diberikan: 1) Remisi kemanusiaan; dan 2) Remisi tambahan;

Pemberian Remisi untuk kepentingan kemanusiaan diatur dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat:

1. Remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan diberikan kepada Narapidana: a) yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun; b) berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun; atau c) menderita sakit berkepanjangan.

Bagi Narapidana berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disertai dengan akta kelahiran atau surat keterangan kenal lahir yang telah dilegalisasi oleh instansi yang berwenang. Dalam hal akta kelahiran atau surat keterangan kenal lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, Kepala Lapas mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan Narapidana telah berusia di atas 70 (tujuh puluh) yang penghitungannya berpedoman pada usia yang tercantum dalam putusan pengadilan. Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan pada hari lanjut usia nasional.

Bagi Narapidana yang sakit berkepanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disertai dengan surat keterangan dokter yang menyatakan: a) penyakit yang diderita sulit untuk disembuhkan; b) penyakit yang diderita mengancam jiwa atau nyawa; dan c) selalu mendapat perawatan ahli atau dokter sepanjang hidupnya.

Dalam hal terdapat keraguan mengenai surat keterangan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Lapas dapat meminta pendapat dokter lainnya. Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan pada hari kesehatan dunia.

Menurut pasal 32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat:

1) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberikan Remisi tambahan kepada Narapidana dan Anak dalam hal yang bersangkutan: a) berbuat jasa pada negara; b) melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau c) melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas/LPKA.

2) Berbuat jasa pada negara dan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilaksanakan dan diperoleh pada saat menjalani pidana.

Menurut pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaratan menyebutkan: Remisi dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat: a) berkelakuan baik; dan b) telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

Selain itu, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34A huruf a Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan berbunyi: bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya�. Dalam ayat 2 disebutkan: Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

 

Kesimpulan

Pelaksanaan pemberian Remisi bagi pelaku tindak pidana narkotika yang di tinjau melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaratan, sebagaimana yang tercantum pada pasal 34 ayat (2) ada syarat umum seorang Narapidana dapat diberikan hak remisi nya adalah jika ia berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

Selain itu dalam pasal 34A ayat 1 huruf a memberikan syarat yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Dan ayat 2 berbunyi: Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

 

BIBLIOGRAPHY

Arief, B. N. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).

 

Asikin, A. Z. (2004). Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Dwidja, P. (2006). Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 102.

 

Harsono, C. I. (1995). Sistem baru pembinaan narapidana. Djambatan.

 

Kadri Husin, S., & Budi Rizki Husin, S. (2022). Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Sinar Grafika.

 

Kansil, C. S. T. (1979). Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia. (No Title).

 

Kartanegara, S., & Hukum Pidana, I. (1992). Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta, Tanpa Tahun.

 

Lamintang, P. A. F., & Lamintang, F. T. (2022). Dasar-dasar hukum pidana di Indonesia. Sinar Grafika.

 

Muladi, & Arief, B. N. (1984). Teori-teori dan kebijakan Pidana. Alumni.

 

Prakoso, A. (2019). Hukum penitensier.

 

Sahardjo, R. P. S., & Sukamiskin, R. P. (1963). Pohon Beringin Pengayoman. Ruma Pengamonyoman Suka Miskin.

 

Setiady, T. (2010). Pokok-pokok hukum penitensier Indonesia. Alfabeta.

 

Soekanto, S. (1985). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.

 

Vitaloka, D. A., Ainuddin, A., & Mauludin, N. A. (2022). Tinjauan Yuridis Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Kasus Pembunuhan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Mataram. Unizar Recht Journal (URJ), 1(3).

 

Waluyo, B. (2004). Pidana dan pemidanaan.

 

Copyright holder:

Saskya Faramita, Arrum Budi Leksono (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: