Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober
2023
KAJIAN
YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
DALAM PERSFEKTIF HUKUM POSITIF
Saskya Faramita, Arrum Budi Leksono
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
IBLAM
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak
Terpidana penyalahgunaan Narkotika yang menjalani pidana penjara memiliki hak-hak yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan Undang-undang, salah satunya adalah dengan adanya
pemberian remisi. Remisi adalah pengurangan
masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Berpijak pada hal diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan ini yaitu bagaimana ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait pemberian remisi bagi narapidana
yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika menurut undang-undang yang berlaku.
Adapun untuk metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
normatif yang tentunya menitikberatkan pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dari bahan-bahan hukum. Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mengkaji
ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hasil penelitian bahwa Pelaksanaan pemberian Remisi bagi pelaku tindak
pidana narkotika telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyaratan,
sebagaimana yang tercantum dalam pasal pasal
34 ayat (2), dan pasal 34A ayat ayat 1 huruf
a dan ayat 2.
Kata Kunci: Terpidana penyalahgunaan Narkotika dan remisi
Abstract
Convicted drug abusers who serve prison sentences have
rights protected by human rights and the law, one of which is the granting of
remission. Remission is a reduction in the period of criminal service given to
Prisoners and Criminal Children who meet the conditions specified in laws and
regulations. Based on the above, the problem that will be discussed in this
writing is how the provisions and conditions that must be met regarding the
provision of remission for prisoners convicted of committing narcotic crimes
and narcotic precursors, psychotropic drugs according to applicable law. As for
the research method used is a normative research method which of course focuses
on literature research to obtain secondary data from legal materials. The
normative approach is carried out by reviewing the provisions or applicable
laws and regulations. The results of the study that the implementation of the
provision of Remission for drug offenders has been regulated in Government
Regulation Number 99 of 2012 concerning the Second Amendment to Government
Regulation Number 32 of 1999 concerning Terms and Procedures for the
Implementation of the Rights of Conditional Assisted Citizens, as stated in
article 34 paragraph (2), and article 34A paragraph paragraph
1 letter a and paragraph 2.
Keywords: Convicted
of Narcotics abuse and remission.
Pendahuluan
Hukum itu
ialah peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat yang yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturanperaturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu (Kansil, 1979). Menurut
P.A.F. Lamintang (2022) mengemukakan
pidana penjara adalah suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana,
yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga pemasyarakatan,
yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka
yang melanggar peraturan tersebut (Dwidja,
2006).
Tujuan pidana
penjara menurut Sahardjo seharusnya disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak juga harus membimbing terpidana agar bertobat dan mendidik menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna,
dengan kata lain tujuan pemidanaan pada saat ini tidak lagi
sekedar penjeraan, tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana
pembinaan, rehabilitasi,
dan reintergrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan (Sahardjo
& Sukamiskin, 1963).
Terpidana penyalahgunaan
Narkotika yang menjalani pidana penjara memiliki hak- hak
yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan Undang-undang, salah satunya adalah dengan adanya
pemberian remisi. Menurut Andi Hamzah remisi adalah sebagai pembebasan hukum untuk seluruhnya atau sebagian atau
dari seumur hidup menjadi hukuman
terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus. Remisi pada hakekatnya adalah hak semua
narapidana dan berlaku bagi siapapun sepanjang
narapidana tersebut menjalani pidana sementara bukan pidana seumur hidup
dan pidana mati (Vitaloka
et al., 2022).
Hukum positif Indonesia
yang mengatur mengenai remisi terdapat dalam Undang- undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden
Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, selanjutnya dilakukan pembaharuan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Jo Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
Dengan Peraturan
perundang-undangan tersebut
diharapkan pemerintah selalu memperhatikan hak para narapidana untuk mendapatkan remisi yang telah diatur dalam perundang-undangan.
Dalam pemberian remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku atau perbuatan
para narapidana selama menjalani pidana sebagai acuan pemberian
remisi yang sesuai dengan perilaku dan tindakan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan
dan tujuan pemidanaan itu sendiri. Sesuai
dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Dengan pemberian remisi narapidana tidak sepenuhnya menjalani masa hukuman pidananya. Hal tersebut merupakan sebuah hadiah yang diberikan pemerintah kepada para narapidana.
Dalam memperoleh remisi narapidana harus memenuhi beberapa persyaratan, yang intinya mentaati peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan adanya pemberian remisi menjadikan narapidana berusaha tetap menjaga kelakuannya
agar kembali memperoleh remisi selama dalam
Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian
remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: UndangUndang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Keputusan
Presiden RI 7 No.174 Tahun
1999 tentang Remisi,
Keputusan Menteri Hukum.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait pemberian remisi bagi narapidana
yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika menurut undang-undang yang berlaku. Dalam
ilmu hukum pidana, dikenal tiga macam teori
tentang tujuan pemidanaan (Eropa Kontinental) yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Menurut pemidanaan, adalah: Setiady (2010) �Penghukuman
itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan
tentang hukumnya (berechten).
Sedangkan Subekti
dan Tjitro Soedibyo menyatakan bahwa Arief (2011): �Pidana
itu adalah hukuman. Pidana itu sendiri merupakan
sebuah alat yaitu alat untuk
mencapai tujuan pemidanaan. Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat.
Dimana ada masyarakat, maka di situ ada tindak pidana. �Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan
aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori
sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem
hukumm, terdapat beberapa teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
yaitu;
1.Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)
Teori ini
mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri
untuk menunjukan kejahatan itu sebagai
dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka
menimbulkan penderitaan bagi si korban. Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi Arief
menyatakan sebagai berikut: �Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran
dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.�
(Muladi
& Arief, 1984)
2. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)
Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari
pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan
dari pidana itu sendiri. Untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief
memberikan pendapat sebagai berikut: �Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana
tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Oleh karena itu teori
ini sering disebut sebagai (Utilitarian
Theory) jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak
pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan �quia peccatum est�
( karena orang membuat kejahatan) melainkan Ne Peccetur ( supaya orang tidak melakukan kejahatan).�
3. Teori Kombinasi
(Gabungan)
Menurut ajaran
teori ini dasar hukum dari
pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu
pembalasan atau siksaan, akan tetapi
di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
dari pada hukum. Satochid Kartanegara (1992) menyatakan:
�Teori ini sebagai reaksi dari teori
sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan
pemidanaan.
Menurut ajaran
teori ini dasar hukum dari
pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu
pembalasan atau siksaan, akan tetapi
di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
dari pada hukum.� Teori gabungan itu dapat
dibagi menjadi dua golongan yaitu: a) Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan tetapi membalas itu tidak
boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk
dapat mempertahankan tata tertib masyarakat; b) Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih
berat dari pada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terhukum (Kadri
Husin & Budi Rizki Husin, 2022).
Metode Penelitian
Menurut Mardalis,
metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk
melakukan suatu teknis dengan mengunakan
fikiran secara seksama untuk mencapai
tujuan, sedangkan penelitian sendiri merupakan upaya dalam bidang ilmu
pengetahuan yang dijalankan
untuk memperoleh fakta-fakta secara sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Soekanto,
1985).
Dari latar
belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka jenis penelitian
ini masuk dalam kategori penelitian hukum normatif, karena dalam penelitian normatif terutama menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitian. atau disebut juga dengan (Library research), metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur (Asikin,
2004). Penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup
penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan secara tepat serta
menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
Saat seorang
narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak- haknya sebagai
warga negara akan dibatasi. Menurut Undang-Undang Republik Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, pada pasal 14 ayat (1) yaitu Narapidana berhak: a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c) Mendapatkan pendidikan
dan pengajaran; d) Mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e) Menyampaikan keluhan; f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa; g) Mendapatkan upah atau premi atas
pekerjaan yang dilakukan; h)
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu; lainnya; i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga; k) Mendapatkan pembebasan bersyarat; l) Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku
(Dwidja,
2006).
Remisi merupakan
pengurangan masa pidana
yang diberikan kepada narapidana
dengan memenuhi
persyaratan tertentu yang dimaksud tersebut adalah narapidana berkelakuan baik selama menjalani masa pidananya (Waluyo,
2004). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat Dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan pasal 1 ayat 6, disebutkan secara jelas bahwa
remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang di berikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Andi Hamzah (2019), remisi
adalah sebagai pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagian atau
dari seumur hidup menjadi hukuman
terbatas yang di berikan setiap 17 Agustus. Menurut C.I. Harsosno
(1995), remisi
atau pengurangan hukuman selama narapidana menjalani hukuman pidana, juga berubah dari waktu
ke waktu. Sistem kepenjaraan penempatan remisi sebagai anugerah, artinya bahwa remisi
merupakan anugerah dari pemerintah kepada warga binaan
pemasyarakatan.
Berdasarkan ketentuan
pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden
RI No. 174 Tahun 1999 tentang
Remisi, dikenal jenis/bentukbentuk remisi yaitu:
a. Remisi
Umum
Remisi umum adalah remisi yang di berikan pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17
Agustus.
b. Remisi
Khusus
Remisi Khusus
adalah remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari
besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar
yang dimuliakan oleh penganut
agama yang bersangkutan. Dalam Pasal
4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menyebutkan bahwa selain remisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, narapidana dan anak dapat diberikan:
1) Remisi kemanusiaan; dan 2)
Remisi tambahan;
Pemberian Remisi
untuk kepentingan kemanusiaan diatur dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat:
1. Remisi
atas dasar kepentingan kemanusiaan diberikan kepada Narapidana: a) yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1
(satu) tahun; b) berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun; atau
c) menderita sakit berkepanjangan.
Bagi Narapidana berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disertai
dengan akta kelahiran atau surat keterangan kenal lahir yang telah dilegalisasi oleh instansi yang berwenang. Dalam hal akta kelahiran
atau surat keterangan kenal lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi,
Kepala Lapas mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan Narapidana telah berusia di atas 70 (tujuh puluh) yang penghitungannya berpedoman pada usia yang tercantum dalam putusan pengadilan.
Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan pada hari lanjut usia
nasional.
Bagi Narapidana yang sakit berkepanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disertai
dengan surat keterangan dokter yang menyatakan: a) penyakit yang diderita sulit untuk disembuhkan; b) penyakit yang diderita mengancam jiwa atau nyawa; dan c) selalu mendapat perawatan ahli atau dokter sepanjang
hidupnya.
Dalam hal terdapat keraguan
mengenai surat keterangan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Lapas dapat meminta
pendapat dokter lainnya. Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan pada hari kesehatan dunia.
Menurut pasal
32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat:
1) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberikan Remisi tambahan kepada Narapidana dan Anak dalam hal yang bersangkutan: a) berbuat jasa pada negara; b) melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau c) melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas/LPKA.
2) Berbuat
jasa pada negara dan melakukan
perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilaksanakan dan diperoleh pada saat menjalani pidana.
Menurut pasal
34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyaratan
menyebutkan: Remisi dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat: a) berkelakuan baik; dan b) telah menjalani masa pidana lebih dari
6 (enam) bulan.
Selain itu, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34A huruf a Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi
manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan berbunyi: bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya�. Dalam ayat 2 disebutkan: Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun.
Kesimpulan
Pelaksanaan pemberian Remisi
bagi pelaku tindak pidana narkotika
yang di tinjau melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyaratan,
sebagaimana yang tercantum
pada pasal 34 ayat (2) ada syarat umum
seorang Narapidana dapat diberikan hak remisi nya
adalah jika ia berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam)
bulan.
Selain itu dalam pasal 34A ayat 1 huruf a memberikan syarat yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk
membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Dan ayat 2 berbunyi: Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika
dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun.
BIBLIOGRAPHY
Arief, B. N. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana:(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).
Asikin,
A. Z. (2004). Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Dwidja,
P. (2006). Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Refika Aditama,
Bandung, 102.
Harsono,
C. I. (1995). Sistem baru pembinaan narapidana. Djambatan.
Kadri
Husin, S., & Budi Rizki Husin, S. (2022). Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Sinar Grafika.
Kansil,
C. S. T. (1979). Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia. (No Title).
Kartanegara,
S., & Hukum Pidana, I. (1992). Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta, Tanpa
Tahun.
Lamintang,
P. A. F., & Lamintang, F. T. (2022). Dasar-dasar hukum pidana di
Indonesia. Sinar Grafika.
Muladi,
& Arief, B. N. (1984). Teori-teori dan kebijakan Pidana. Alumni.
Prakoso,
A. (2019). Hukum penitensier.
Sahardjo,
R. P. S., & Sukamiskin, R. P. (1963). Pohon Beringin Pengayoman. Ruma
Pengamonyoman Suka Miskin.
Setiady,
T. (2010). Pokok-pokok hukum penitensier Indonesia. Alfabeta.
Soekanto,
S. (1985). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. Cet.
Vitaloka,
D. A., Ainuddin, A., & Mauludin, N. A. (2022). Tinjauan Yuridis Pemberian
Remisi Terhadap Narapidana Kasus Pembunuhan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Mataram. Unizar Recht Journal (URJ), 1(3).
Waluyo,
B. (2004). Pidana dan pemidanaan.
Copyright holder: Saskya Faramita,
Arrum Budi Leksono (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |