Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

PENEMPATAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN SEBAGAI BENTUK PEMBINAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN

 

Mylana Anjas Sari, Arif Awangga

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan menganalisa hukum mengenai penempatan narapidana di rumah tahanan sebagai bentuk pembinaan lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2022 tentang pemasyarakatan. Dengan menggunakan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah BagaimanaPenempatanNarapidana DiRumah Tahanan�������� Yang Sesuai Dengan Undang-Undang? Dan Bagaimana Peran Petugas Lapas Di Dalam Menempatkan Narapidana, Agar Tidak Terjadi Keributan/Kerusuhan Sesama Narapidana? Bentuk Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan dalam penyelenggaraan pembinaan terhadap Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin, atau alasan lain sesuai dengan asesmen risiko dan kebutuhan yang dilakukan oleh Asesor Pemasyarakatan Pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan. Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak Tahanan dan Anak serta meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana.

 

Kata Kunci: Lembaga Pemasyarakatan, Pembinaan, Narapidana.

 

Abstract

This study aims to obtain information and analyze the law regarding the placement of prisoners in detention centers as a form of fostering correctional institutions in the judicial system based on Law No. 22 of 2022 concerning Corrections. By using the approach method in this research is a normative juridical approach. The formulation of the problem in this research is How is the Placement of Prisoners in Detention Centers in Accordance with the Law? and What is the Role of Prison Officers in Placing Convicts, So There Is No Riots/Riots Among Inmates? The form of Correctional Institution Guidance in providing guidance on the Placement of Prisoners in Detention Centers is grouped based on age and gender, or other reasons according to the risk and needs assessment carried out by the Correctional Assessor. Correctional is a criminal justice subsystem that carries out law enforcement in the field of treatment of prisoners, children, and inmates. The Correctional System is held in order to provide guarantees for the protection of the rights of prisoners and children and to improve the quality of personality and independence of inmates so that they are aware of their mistakes, improve themselves, and do not repeat the crime, so that it can be accepted again by the community, can live normally as a good citizen, obey the law, be responsible, and can actively play a role in development and at the same time provide protection to the community from repeating criminal acts. When viewed from the point of view of the penal law rules that the prison system in Indonesia is quite good, such as the system contained in Law no. 22 of 2022 concerning Corrections. However, it should be noted that in the correctional process the main thing is the facilities and infrastructure in the Correctional Institution.

 

Keywords: Correctional Institutions, Coaching, Prisoners.

 

Pendahuluan

Terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menguatkan posisi Pemasyarakatan sebagai posisi netral dalam Sistem Peradilan Pidana yang merespon dinamika kebutuhan masyarakat atas Keadilan Restoratif. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 ini merupakan subsistem peradilan pidana yang dalam penyelenggaraannya meliputi penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan yang secara langsung mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Dalam ketentuan lain yang juga mengatur mengenai hak dan kewajiban tahanan dan narapidana sebagaimana dijelaskan di Pasal 7 dan Pasal 8 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2022 yang meliputi hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani, mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional, serta kesempatan mengembangkan potensi, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan kebutuhan gizi, mendapatkan layanan informasi, mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum, menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental, mendapatkan pelayanan sosial dan menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat.

Lembaga pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan nama Lapas sebagai salah satu institusi penegakan hukum merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara kepada para terpidana (HIDAYAT, 2020). Hal lain yang terjadi adalah berubahnya fungsi Lembaga Pemasyarakatan di dalam menempatkan narapidana. Namun sekarang tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi menampung narapidana. Rutan atau Rumah Tahanan juga difungsikan sebagai tempat penampungan narapidana.

Menurut Dr. Sahardjo, S.H. yang telah mengemukakan rumusan tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yakni di samping menimbulkan rasa derita dari terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, penempatan narapidana di rumah tahanan adalah sebagai wujud membimbing terpidana agar bertobat serta mendidik terpidana menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna (Lamintang, 1997).

Sistem kemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya kembali tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan itu adalah Rahmat (2021): 1) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna bagi masyarakat. 2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara. 3) Rasa tobat tidak dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4) Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat, daripada ia masuk ke penjara. 5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenal kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6) Pekerjaan yang diberikan pada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja pekerjaan tersebut harus ditujukan untuk pembangunan negara. 7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. 8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan seperti manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan pada narapidana bahwa itu penjahat. 9) Narapidana itu hanya dijatuhkan pidana hilang kemerdekaan

Menyadari hal itu maka sudah sejak lama sistem kemasyarakatan, Indonesia lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyarakatan atau klien pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif, rehabilitatif, dan edukatif. Meskipun sistem pemasyarakatan selama ini telah dilaksanakan. Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan bahwa: �Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi apapun (Rahmat, 2018).

Pelaksanaan pembinaan pada narapidana dalam upaya mengembalikan narapidana menjadi masyarakat yang baik sangatlah penting dilakukan, tidak hanya bersifat material atau spiritual saja, melainkan keduanya harus berjalan dengan seimbang, ini merupakan hal-hal pokok yang menunjang narapidana mudah dalam menjalani kehidupannya setelah selesai menjalani masa pidana. Bimbingan Lembaga Pemasyarakatan diharapkan mampu membentuk kepribadian serta mental narapidana yang dianggap tidak baik dimata masyarakat menjadi berubah kearah yang normal dan sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Di dalam pelaksanaan pembinaan ini memerlukan kerjasama dari komponen-komponen yang menunjang keberhasilan proses pembinaan narapidana, yaitu petugas Lembaga Pemasyarakatan, narapidana, dan masyarakat. Hal ini dikarenakan ketiganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

Menurut Thoha Pembinaan diartikan sebagai suatu tindakan, proses, hasil, atau pernyataan menjadi lebih baik. Dalam hal ini menunjukan adanya kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evolusi, atas berbagai kemungkinan, ber- kembang, atau meningkatnya sesuatu. Disini terdapat dua unsur pengertian, yakni pembinaan dari suatu tujuan dan yang kedua pembinaan dapat menunjukkan kepada perbaikan atas sesuatu (Thoha, 2003).

Pembinaan dapat diartikan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sadar, teratur, terarah dan terencana oleh pembina untuk merubah, memperbaharui serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan cara kepada binaan dengan melalui tindakan yang sifatnya mengarahkan, membimbing, menstimulasi dan mengawasi dengan berdasarkan norma yang keseluruhannya dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu pembangunan manusia seutuhnya.

Pelaksanaan pembinaan narapidana ini didasarkan pada pola pembinaan narapidana yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 022-PK.04. 10 Tahun 1990. Namun pembinaan ini tentu akan tergantung pada situasi dan kondisi yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan, karena latar belakang yang dimilikinya berbeda-beda.

Penyelenggaraan Pembinaan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No 22 Tahun 2022 meliputi: 1) Penerimaan Narapidana; 2) Penempatan Narapidana; 3) Pelaksanaan Pembinaan Narapidana; 4) Pengeluaran Narapidana; 5) Pembebasan Narapidana.

Bentuk Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan dalam penyelenggaraan pembinaan terhadap Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin, atau alasan lain sesuai dengan asesmen risiko dan kebutuhan yang dilakukan oleh Asesor Pemasyarakatan. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah: 1) Bagaimana Penempatan Narapidana Di Rumah Tahanan Yang Sesuai Dengan Undang-Undang? 2) Bagaimana Peran Petugas Lapas di Dalam Menempatkan Narapidana, Agar Tidak Terjadi Keributan/Kerusuhan Sesama Narapidana?

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan Yang Sesuai Dengan Undang- Undang secara sistematis, metodologis, dan konsisten di masa yang akan datang. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Soekanto, 1985). Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa Penulis tidak perlu mencari data langsung ke lapangan. Adapun spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang Penulis peroleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan Penempatan Narapidana Di Rumah Tahanan Yang Sesuai Dengan Undang-Undang, yaitu dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Penempatan Narapidana Di Rumah Tahanan Yang Sesuai Dengan Undang-Undang

Pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan (Waluyo, 2023). Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap Tahanan, Anak, dan Warga Binaan dalam tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan pasca adjudikasi (Asmawati, 2022). Penyelenggaraan Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu berdasar pada sebuah sistem yang disebut sebagai Sistem Pemasyarakatan yang merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta metode pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan secara terpadu antara petugas, Tahanan, Anak, Warga Binaan, dan masyarakat (Petrus, 1995).

Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak Tahanan dan Anak serta meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana.

Sistem Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem perlakuan terhadap Tahanan, Anak, dan Warga Binaan dilaksanakan melalui fungsi Pemasyarakatan yang meliputi Pelayanan, Pembinaan, Pembimbingan Kemasyarakatan, Perawatan, Pengamanan, dan Pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan harus berpedoman kepada Pasal 8 Undang-Undang No 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan yang mengatur kewajiban WBP yaitu mentaati peraturan tata tertib, mengikuti secara tertib program Pelayanan, memelihara perikehidupan yang bersih, aman, tertib, dan damai dan menghormati hak asasi setiap orang di lingkungannya.

Pada prinsipnya, narapidana yang dibina akan digolongkan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, serta kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pembinaan. Petugas Lapas akan memisahkan blok hunian narapidana berdasarkan klasifikasi tersebut, tapi itu pun belum terjadi di semua Lapas karena permasalahan over kapasitas. Berdasarkan observasi dan fakta di lapangan, narapidana di beberapa Lapas hanya dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan umur, terkecuali narapidana kasus korupsi dan narkoba yang memang ditempatkan di blok khusus. Hal ini dirasa kurang efektif serta bisa menghambat proses dan keberhasilan pembinaan terhadap narapidana.

Oleh karena itu, dalam melakukan penataan dan pembinaan manajemen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 35 tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, yakni suatu upaya mengoptimalisasi penyelenggaraan Pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap tahanan, narapidana dan Klien, serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti. Salah satu tujuan dari Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan adalah meningkatkan objektivitas penilaian perubahan perilaku narapidana sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembinaan di Lapas.

Pembinaan narapidana di Lapas berfungsi meningkatkan kualitas pembinaan narapidana dalam mendorong perubahan perilaku dan penurunan tingkat risiko narapidana (Dewanti, Sukarno, & Karyati, 2022). Tingkat risiko narapidana menentukan penempatan pembinaan narapidana yang diklasifikasikan dalam beberapa jenis Lapas yang terdiri dari Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, Lapas Medium Security, dan Lapas Minimum Security.

Untuk menentukan penempatan pembinaan narapidana perlu dilakukan skrining menggunakan instrumen lima dimensi untuk menentukan tingkat risiko, yaitu risiko keamanan, risiko keselamatan, risiko stabilitas, risiko kesehatan, dan risiko pada masyarakat. Tapi, pada pelaksanaannya masih ada banyak kendala yang menghambat proses penempatan pembinaan pada Lapas tertentu berdasarkan klasifikasi tingkat risiko.

Penggolongan narapidana berdasarkan lama pidana, terdiri atas: a) Pidana 1 hari sampai dengan 3 bulan (Reister B.II b). b) Pidana 3 Bulan sampai dengan 12 bulan 5 hari (1 tahun) (Register B.II a) c) Pidana 12 Bulan 5 hari (1 tahun ke atas) (Register B.1). d) Pidana Seumur hidup (Register Seumur Hidup). e) Pidana Mati (Register Mati).

Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan berdasarkan Pemasyarakatan memiliki banyak resiko juga, utamanya yang termasuk dalam narapidana resiko tinggi. "risiko tinggi" maksudnya Tahanan atau Narapidana yang menurut hasil asesmen memiliki potensi untuk melarikan diri; berbahaya terhadap orang lain; memerlukan upaya pengendalian khusus agar mereka taat pada aturan dalam lembaga; dan melakukan intimidasi, mempengaruhi, atau mengendalikan orang lain untuk melakukan tindak pidana.

Lebih lanjut Dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, mengatur tentang Penyelenggaraan Fungsi Pemasyarakatan sebagai berikut:

Pasal 19; (1) Pelayanan terhadap Tahanan diselenggarakan di Rutan. (2) Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di kabupaten/kota.

Pasal 20; (1) Penyelenggaraan Pelayanan terhadap Tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) meliputi: a) penerimaan Tahanan; b) penempatan Tahanan; c) pelaksanaan Pelayanan Tahanan; dan d) pengeluaran Tahanan. (2)������ Dalam penerimaan Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan pemeriksaan keabsahan dokumen dan kondisi kesehatan Tahanan. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: 1) surat perintah penahanan atau penetapan penahanan; dan 2) berita acara serah terima Tahanan.

(3) Penempatan Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin, atau alasan lain sesuai dengan asesmen risiko dan kebutuhan yang dilakukan oleh Asesor Pemasyarakatan. (4) Pelaksanaan Pelayanan Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan hasil Litmas. (5)Litmas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (6) Pengeluaran Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: 1) pengeluaran tetap; 2)pengeluaran sementara; dan 3)���������� pengeluaran demi hukum.

 

B.     Peranan Petugas Lapas Di Dalam Menempatkan Narapidana, Agar Tidak Terjadi Keributan/Kerusuhan Sesama Narapidana

Pembinaan dilaksanakan sesuai dengan teori pemidanaan, yaitu teori rehabilitasi (Zulfa, 2011). Berhasilnya proses pembinaan narapidana banyak tergantung kepada petugas pemasyarakatan, karena petugas secara langsung yang akan berhadapan dengan narapidana. Oleh sebab itu petugas mempunyai kedudukan sentral dalam proses pembinaan, sehingga kualitas petugas akan mempengaruhi hasil pembinaan. Adapun peranan petugas lembaga Pemasyarakatan dalam sistem pembinaan narapidana adalah sebagai berikut Sujatno (2008):

a. Petugas lembaga pemasyarakatan sebagai Pembimbing dan Pendidik

Tugas utama pembina pemasyarakatan adalah sebagai pembimbing atau pendidik narapidana agar menjadi sadar dan dapat berperan dalam kehidupan masyarakat setelah selesai masa pidananya. pihak Lembaga Pemasyarakatan disarankan untuk memberikan bimbingan kepada para anak didik terkait dengan kebutuhan mereka terhadap keterampilan-keterampilan psikologis. Untuk itu petugas harus membuat perencanaan, langkah-langkah serta mampu mengevaluasi proses pembinaan serta perkembangan narapidana sebagai anak didik. Sesuai dengan tugas dan tujuan pembinaan tersebut maka dalam hal ini petugas berfungsi sebagai tim pembina di Lembaga Pemasyarakatan dengan segala kemampuannya.

Dalam melaksanakan sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kadangkala pendidik dan pembimbing ada yang didatangkan dari luar seperti dalam melaksanakan ceramah agama yang didatangkan dan bidang keterampilan mempergunakan tenaga-tenaga terampil dari Balai Latihan Kerja (BLK). Dengan demikian petugas Lembaga Pemasyarakatan belum mempunyai keterampilan dan tenaga profesional yang cukup sehingga perlu didatangkan tenaga terampil dari luar Lembaga Pemasyarakatan.

 

b. Petugas lembaga pemasyarakatan sebagai Pekerja Sosial

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pekerja sosial, petugas Lembaga Pemasyarakatan harus memperlakukan narapidana sebagai manusia, menciptakan hubungan yang baik antara petugas dengan narapidana dan antara sesama narapidana sehingga tercipta kerjasama yang baik dalam Lembaga Pemasyarakatan.Sebagai pekerja sosial petugas Lembaga Pemasyarakatan Padang, siap menerima dan membantu narapidana dalam memberikan keterampilan, memberi petunjuk, membimbing narapidana bagaimana cara hidup yang baik, serta membantu narapidana bagaimana menghilangkan rasa minder, bersikap optimis dalam hidup, cemas, takut, ragu-ragu jika kembali ke tengah-tengah masyarakat, hal ini dilakukan dengan tanpa pamrih.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pekerja sosial, petugas pemasyarakatan sebaiknya memperlihatkan sikap yang bisa dijadikan contoh jangan memperlihatkan sikap seperti meminta atau mengambil sebagian makanan atau rokok narapidana yang didapat narapidana dari kunjungan keluarganya kecuali narapidana tersebut yang memberikan sendiri. Petugas haruslah bersikap adil merata terhadap narapidana jangan pilih kasih.

c. Petugas lembaga pemasyarakatan sebagai Wali atau Orang Tua Dalam bertingkah laku sebaiknya sebagai petugas janganlah memperlihatkan sikap yang tidak terpuji, memperlihatkan sikap acuh, adanya oknum petugas yang kurang tanggap dengan keluhan narapidana, kurang bersikap adil antara sesama narapidana, sehingga membuat narapidana masih merasa asing dan sering narapidana tersebut memecahkan persoalannya sendiri.

d. Petugas lembaga pemasyarakatan sebagai Pemelihara Keamanan Salah satu fungsi petugas Lembaga adalah pemelihara keamanan. Di sini petugas bertindak menjaga ketertiban penyelenggaraan pembinaan serta mencegah dan mengatasi kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan seperti perkelahian antar narapidana, keamanan alat-alat dan segala sarana pembinaan serta keamanan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Setiap kerusuhan atau tindakan mengganggu keamanan akan ditangani oleh petugas Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) dan petugas lainnya

e. Petugas lembaga pemasyarakatan sebagai Komunikator dengan Masyarakat

Untuk melaksanakan tugasnya sebagai komunikator dengan masyarakat petugas pemasyarakatan melakukan tiga bentuk kegiatan yaitu: 1) Mengikutisertakan narapidana dalam kegiatan masyarakat. 2) Mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan Lembaga Pemasyarakatan. 3) Memberikan penerangan kepada masyarakat.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakatan tidak hanya menampung dan merawat narapidana tetapi juga membina narapidana. Lembaga Pemasyarakatan sebagai abdi masyarakat dan abdi negara menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab. Terhadap keberhasilan pembinaan tersebut, maka unsur yang sangat berperan adalah petugas pada Lembaga Pemasyarakatan di dalam menempatkan narapidana agar tidak terjadi keributan namun ada kalanya sering terjadi perselisihan antar narapidana di dalam Lapas bahkan berujung pada suatu perbuatan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh narapidana.

Hal ini terjadi tentunya karena adanya unsur pada proses pembinaan yang belum terpenuhi. Narapidana selain menjalani masa hukuman juga dibina guna memperbaiki diri dan dapat menguasai bidang-bidang tertentu supaya kelak setelah masa hukuman selesai mempunyai bekal keterampilan untuk mencari pekerjaan di masyarakat. Inilah merupakan tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan dalam hal mempersiapkan resosialisasi narapidana. Yang merupakan peran Lembaga Pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan yang dilakukan oleh narapidana adalah memberikan pembinaan bagi narapidana.

Adapun Upaya-upaya yang dilakukan Petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan secara bersama-sama yang dilakukan narapidana adalah dengan cara Penal dan Non Penal atau Preventif dan Represif, adalah sebagai berikut Bonger (1982):

1. Preventif

Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadi kejahatan, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan (Syamsudin & Sumaryono, 1985).

 

2. Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan ini dapat dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini meliputi cara aparat hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi, dan seterusnya sampai pembinaan narapidana. Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan dengan jalan memperbaiki pelaku yang berbuat kejahatan.

Jika dilihat dari segi aturan hukum pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan di Indonesia sudah cukup baik, seperti sistem yang termuat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Namun perlu diperhatikan pada proses pemasyarakatan yang utama adalah sarana dan prasarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini karena banyaknya terjadi kekerasan antar narapidana . di dalam Lembaga Pemasyarakatan sering disebabkan kurangnya sarana dan prasarana yang ada di dalam Lapas itu sendiri, narapidana yang melebihi kapasitas di dalam Lapas, sebagai contoh yang seharusnya di dalam satu kamar sel berisi 15 orang narapidana namun diisi dengan 30 orang narapidana.

Selain itu, ketidaksesuaian jumlah petugas Lembaga Pemasyarakatan yang menjaga narapidana juga berperan sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan antar narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa tindak kekerasan yang dilakukan antar narapidana dipengaruhi yang paling utama dari unsur sarana dan prasarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Apabila terjadi kekerasan antar narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan maka peran Lembaga Pemasyarakatan adalah sesuai dengan ketentuan SOP (Standar Operasional) yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.

Misalnya melakukan penyelidikan terhadap pelaku dan korban, melakukan penempatan pada sel khusus bagi pelaku, melakukan mediasi antara pelaku dan korban, melakukan pemberian sanksi terhadap pelaku. Namun apabila perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan suatu perbuatan pidana dan pihak korban merasa tidak terima atau merasa perlu adanya keadilan dan tidak dapat di mediasi maka korban dapat melakukan pelaporan ke pihak kepolisian. Jika perkara tersebut dilanjutkan kepada pihak kepolisian maka dalam hal ini peran Lembaga Pemasyarakatan hanyalah memberikan hasil penyidikan petugas Lembaga Pemasyarakatan dan memfasilitasi pihak kepolisian dalam melakukan penyidikan.

 

Kesimpulan

Bahwa Pembinaan narapidana di Lapas berfungsi meningkatkan kualitas pembinaan narapidana dalam mendorong perubahan perilaku dan penurunan tingkat risiko narapidana. Tingkat risiko narapidana menentukan penempatan pembinaan narapidana yang diklasifikasikan dalam beberapa jenis Lapas yang terdiri dari Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, Lapas Medium Security, dan Lapas Minimum Security.

Untuk menentukan penempatan pembinaan narapidana perlu dilakukan skrining menggunakan instrumen lima dimensi untuk menentukan tingkat risiko, yaitu risiko keamanan, risiko keselamatan, risiko stabilitas, risiko kesehatan, dan risiko pada masyarakat. Tapi, pada pelaksanaannya masih ada banyak kendala yang menghambat proses penempatan pembinaan pada Lapas tertentu berdasarkan klasifikasi tingkat risiko.

Bahwa Peranan dan Fungsi petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai pembimbing dan pendidik, pekerja sosial, wali atau orang tua, pemeliharaan keamanan, dan sebagai komunikator dengan masyarakat, guna untuk mengatur agar pembinaan tersebut dapat berjalan dengan cepat dan tepat menurut program yang telah ditetapkan. Adapun Upaya-upaya yang dilakukan Petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam penanggulangan kekerasan secara bersama-sama yang dilakukan narapidana adalah dengan cara Penal dan Non Penal atau Preventif dan Represif.

 

BIBLIOGRAFI

Asmawati, Hermi. (2022). Analisis Penguatan Sistem Pemasyarakatan Melalui Konsep Reintegrasi Sosial. Jurnal Mengkaji Indonesia, 1(2), 172�186.

 

Bonger, W. A. (1982). Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta.

 

Dewanti, Yuvana, Sukarno, Sukarno, & Karyati, Sri. (2022). Pelaksanaan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: Pas-10. Ot. 02.02 Tahun 2021 Tentang Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana Di Lapas Perempuan Kelas III Mataram. UNIZAR RECHT JOURNAL (URJ), 1(2).

 

HIDAYAT, TAUFIK. (2020). PENGULANGAN TINDAK PIDANA PENIPUAN OLEH WARGA BINAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IA CIPINANG. UNIVERSITAS BOSOWA.

 

Lamintang, P. A. F. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

 

Petrus, Irwan Panjaitan. (1995). Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

 

Rahmat, Doris. (2018). Pembinaan Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan. Pranata Hukum, 13(2), 522069.

 

Rahmat, Doris, NU, Santoso Budi, & Daniswara, Widya. (2021). Fungsi lembaga pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian Dan Penelitian Hukum, 3(2), 134�150.

 

Soekanto, Soerjono. (1985). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.

 

Sujatno, Adi, & Dalmeri. (2008). Pencerahan di balik penjara: dari sangkar menuju sanggar untuk membangun manusia mandiri. Teraju

 

Syamsudin, A. Qiram, & Sumaryono, E. (1985). Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum. Yogyakarta: Liberty.

 

Thoha, M. (2003). Pengembangan Organisasi, Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

 

Waluyo, Bambang. (2023). Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Sinar Grafika.

 

Zulfa, Eva Achjani. (2011). Pergeseran paradigma pemidanaan.

 

Copyright holder:

Mylana Anjas Sari, Arif Awangga (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: