Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober
2023
TINJAUAN
YURIDIS PENYELESAIAN KREDIT MACET TERHADAP PROFITABILITAS BANK
Amin Widjaja, Tiyar Cahya Kusuma, Gindo
L Tobing
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Pengertian kredit menurut Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, disebutkan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga/margin, ROE merupakan rasio yang digunakan oleh perbankan untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih. ROE dapat diukur dengan
membandingkan laba setelah pajak dengan
dengan modal bank sendiri. Semakin tinggi ROE maka semakin tinggi
pula tingkat keuntungan
yang akan dicapai suatu bank dan semakin kecil kemungkinan bank tersebut dalam keadaan bermasalah. Bila kredit macet mengalami
peningkatan maka laba yang diperoleh oleh bank akan mengalami penurunan karena bank harus menyediakan Cadangan untuk menutupi kerugian yang disebabkan oleh kredit macet Kredit
macet yang menyangkut Bank
Milik Negara.biaanya kredit
yang telah macet dn telah diupayakan
penagihannya/penyelesaiannya
secara kekeluargaan tetapi tidak berhasil
maka bank akan menyerahkan penyelesaiannya melalui BUPLN, untuk selanjutnya akan melakukan pelelangan/penjualan benda jaminan kecuali jika bank telah memperoleh �surat kuasa menjual� maka bank dapat depat menjual harta
jaminan tersebut secara dibawah tangan. Memperoleh pengembalian kredit dari hasil pelelangan
bukanlah hal yang mudah dan cepat Pengaruh kredit macet terhadap profitabilitas perbankan, yaitu oleh karena profitabilitas mencerminkan kemampuan bank dalam menghasilkan laba secara efektif dan efisien, sehingga dengan meningkatnya kredit macet atau
bermasalah, maka dampak positif yang ditimbulkan oleh penyaluran kredit tidak dapat
terjadi.
Kata Kunci: Kredit, Macet, Bank, Penyelesaian
Kredit
Abstract
The
definition of credit according to Law No. 10 of 1998 concerning Banking, it is
stated that credit is the provision of money or bills that can be likened to
it, based on an agreement or loan agreement between a bank and another party
that requires the borrower to pay off its debt after a certain period of time
with interest / margin, ROE is a ratio used by banks to measure the ability of
banks to generate net profit. ROE can be measured by comparing profit after tax
with the bank's own capital. The higher the ROE, the higher the level of profit
that a bank will achieve and the less likely the bank is in trouble. If bad
loans increase, the profit obtained by the bank will decrease because the bank
must provide reserves to cover losses caused by bad loans Bad loans involving
State-Owned Banks.usually bad loans have been
attempted for collection / settlement in a family manner but are unsuccessful,
the bank will submit the settlement through BUPLN, henceforth will conduct
auctions / sales of collateral objects unless If the Bank has obtained a
"Power of Attorney to Sell" then the Bank can sell the collateral
under hand. Getting credit returns from auction results is not an easy and fast
thing The effect of bad loans on banking profitability, namely because
profitability reflects the bank's ability to generate profits effectively and
efficiently, so that with the increase in bad or non-performing loans, the
positive impact caused by credit distribution cannot occur.
Keywords: Credit, Default,
Bank, Credit Settlement.
Pendahuluan
Kredit macet
yang terjadi di Indonesia terutama
dalam pada masa kesulitan atau kemunduran (resesi) ekonomi yang menyebabkan dilikuidasi dan direkapitalisasinya beberapa bank
yang sebelumnya didahului dengan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), diketahui bahwa rapuhnya lembaga perbankan di Indonesia factor penyebabnya
yaitu pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian khususnya menyangkut ketentuan Legal
Lending Limit (3L) sebagaimana diatur
di dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Supramono, 2009).
Suatu kredit
dikatakan mencapai fungsinya jika secara sosial ekonomis,
baik dengan debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh baik. Namun, berdasarkan
data Bank Indonesia dari tahun
ke tahun setelah tahun 1992 merupakan puncak akumulasi penderitaan perbankan karena dililit kredit macet yang menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Kredit macet merupakan salah satu penyakit sektor
perbankan di manapun. Penyebabnya bisa dari internal bank, namun lebih banyak oleh faktor eksternal (Suyatno, 2007).
Di dalam pemberian
kredit perbankan, idealnya nilai jaminan yang diserahkan oleh nasabah debitur lebih besar jika
dibandingkan dengan jumlah kredit yang diterimanya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan merosotnya nilai jaminan, atau sulitnya
menemukan pembeli yang bersedia membeli agunan sesuai harga
pasar, ketika akan dijual manakala si debitur tidak
mampu melunasi hutangnya pada bank.�
Rendahnya nilai
jaminan yang diserahkan
oleh debitur kepada bank dapat disebabkan oleh banyak faktor antara
lain nasabah yang bersangkutan
dianggap sebagai nasabah yang bonafit atau kurang cermatnya
analisis yang dilakukan
oleh pihak bank dalam menilai kualitas jaminan, adanya unsur kolusi, nepotisme,
pengaruh faktor x dan
lain-lain. Di samping faktor-faktor
tersebut, maka faktor lain yang tak kalah penting karena
pengaturan masalah jaminan kredit di dalam Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang dirubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
sangat simpel. Dalam prakteknya,
jaminan yang paling dikehendaki
oleh bank selaku kreditur yaitu jaminan kebendaan
atau yang sering disebut agunan. Dari pihak debitur sendiri,
pemberian aminan berupa barang seringkali
sulit untuk dipenuhi terutama jika barang itu
harus diserahkan kepada kekuasaan kreditur seperti halnya dalam gadai
(pand) (Dini et al., 2013).
Oleh karena itu, bila memungkinkan
biasanya debitur menghendaki barang jaminan adalah berupa barang bergerak
yang diikat dengan jaminan fidusia (Sibarani, 2000). Dengan cara
ini benda jaminan tetap dikuasai
oleh debitur. Akan tetapi
pada kenyataannya barang bergerak sangat rawan terhadap resiko pengalihan hak milik oleh debitur di luar persetujuan atau pengetahuan kreditur, maka kebanyakan bank pada saat ini menghendaki jaminan kebendaan berupa benda tetap
yang diikat dengan hak tanggungan untuk tanah dan pengikatan secara hipotik untuk kapal
dengan ukuran 20 m3 ke atas atau
pesawat terbang.
Bank harus dapat mempertanggung jawabkan kepercayaan yang diberikan nasabah (penyimpan) kepadanya. Setiap dana yang dikeluarkan sebagai pinjaman kredit memiliki tanggung jawab begitu besar jika
sampai terjadi kredit macet. Salah satu dampak yang paling terasa jika terjadi
kredit macet yaitu kerugian yang dialami pihak bank dan beberapa bank terancam bangkrut (Goni, 2016).
Pada prakteknya, jika terjadi kredit
macet maka lembaga perkreditan akan mencari upaya
untuk menyelamatkan kredit dengan cara
memberikan perpanjangan waktu pelunasan kepada debitur dengan maksud untuk
memberikan kesempatan kepadanya agar dapat melunasi kredit dalam jangka waktu
yang diperlukan. Jika setelah
dilakukan tetapi upaya penyelamatan tersebut tidak berhasil juga, maka pihak bank terpaksa mengambil kebijakan akhir dengan menyerahkan
permasalahan kepada pihak berwenang. Masalah penyelesaian kredit macet pada intinya lebih banyak berkisar
pada soal sulitnya mencairkan dan mengeksekusi barang jaminan (Firdaus & Topowijono, 2016).
Karena sulitnya menjual barang agunan maka tak
heran jika harga barang yang akan dilelang menjadi
jauh di bawah harga normal atau kemungkinan juga tidak ada peminat untuk
membeli barang agunan tersebut. Jatuhnya harga agunan ini sering
dipandang tidak logis bahkan oleh kreditur sendiri terkadang jumlah tagihannya pun tidak mencukupi padahal umumnya nilai benda
jaminan jauh berada di atas nilai kredit yang diberikan bank. Dalam kondisi
yang demikian, maka sesuai ketentuan Pasal 12a Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sering bank terpanggil untuk membeli agunan guna dimanfaatkan atau dijual kembali.
Cara ini ditempuh dengan maksud, selain untuk mempercepat
proses penyelesaian kredit macet juga mengurangi kerugian bank yang bersangkutan
(Firdaus & Topowijono, 2016).
Adanya kredit macet bertolak belakang dengan tujuan utama berdirinya
suatu badan usaha. Setiap usaha dalam
suatu sistem ekonomi tidak pernah
lepas dari tujuan mencari keuntungan, demikian juga dalam hal pemberian
kredit yang berorientasi
pada pencapaian profitabilitas
yang maksimal (Sari et al., 2022). Oleh karena fungsi
utama bank sebagai perantara antara masyarakat kelebihan dana dengan masyarakat kekurangan dana, maka usaha pokok yang dilaksanakan bank adalah kegiatan-kegiatan pada sektor perkreditan atau penyaluran dana.
Sehingga secara
otomatis pendapatan bank
yang terbesar diperoleh dari sektor perkreditannya.
Semakin tinggi volume perkreditannya, maka semakin besar pula kemungkinan suatu bank untuk memperoleh laba/profit (Astuti & Suripto, 2016). Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, Rumusan Masalah penelitian ini; 1) Bagaimana pengaruh kredit macet terhadap profitabilitas perbankan? 2) Bagaimana penyelesaian kredit macet dalam
mengurangi kerugian perbankan?
Metode Penelitian
Menurut
Peter Mahmud Marzuki (2013), �Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi�. Metodologi penelitian merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di dalam
suatu penelitian yang berfungsi sebagai suatu pedoman bagi
ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa dan memahami sebuah fenomena atau permasalahan
yang sedang diteliti untuk mendapatkan tujuan yang ingin diketahui dan dicapai (Soerjono, 1986).
Tipe penelitian yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan
hukum primer, sekunder maupun tersier (Hanitijo, 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Kredit Macet Terhadap Profitabilitas Perbankan (Return
On
Asset/ROA dan Return on
Equity/ROE)
Menurut
Kasmir, Pengertian kredit menurut Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, disebutkan kredit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga/margin. Dalam penyaluran kredit, bank harus siap menghadapi risiko kredit yang menyebabkan kredit tersebut menjadi bemasalah.
Risiko kredit merupakan suatu risiko akibat
kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diperoleh dari bank beserta marginnya sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditentukan (Rahmi, 2014). Kredit macet merupakan
situasi dimana persetujuan pengembalian kredit mengalami resiko kegagalan. Kredit bermasalah atau NonPerforming Loan (NPL).
NPL menunjukan
kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank, sehingga semakin tinggi NPL maka akan semakin
buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah
semakin besar. Peningkatan kredit bermasalah atau NonPerforming Loan (NPL) yang dialami
perbankan nasional mengakibatkan bank kehilangan kemampuannya dalam menghasilkan laba yang optimum dari kegiatan pokoknya
tersebut.
Dengan meningkatnya kredit macet atau bermasalah,
maka dampak positif yang ditimbulkan oleh penyaluran kredit tidak dapat terjadi.
Hal ini dikarenakan pendapatan operasional dari pemberian kredit sangat kecil karena margin yang seharusnya diterima oleh bank dari penyaluran kredit tidak diterima secara penuh. Adapun pengertian profitabilitas menunjukkan kemampuan bank dalam menghasilkan laba melalui semua
kemampuan dan sumber yang ada. Profitabilitas mencerminkan kemampuan bank dalam menghasilkan laba secara efektif
dan efisien.
Semakin besar jumlah kredit
yang disalurkan pihak bank,
menunjukkan adanya penambahan asset pada neraca di dalam laporan keuangan
bank, maka jumlah laba yang akan didapatkan kemungkinan akan meningkat dari selisih penetapan
bunga pinjaman yang diberikan kepada debitur. Hal ini berpengaruh bagi perusahaan apabila asset yang tersedia dikelola dengan baik karena
total laba yang meningkat belum tentu mampu
menjadi tolak ukur untuk menilai
dan menggambarkan kondisi keuangan baik atau
tidak pada periode tersebut. Oleh karena itu diperlukan alat analisis keuangan
untukmengukur kinerja bank dilihat dari asset yang dia miliki umtuk
menghasilkanlaba. Kualitas
asset dapat diperoleh dari analisis keuangan
berdasarkan rasio profitabilitas yang digunakan
pada penelitian ini adalah Return on Asset (ROA) (Farid, 2015).
Penilaian tingkat profitabilitas perusahaan perbankan dengan kinerja keuangan sebagai berikut: Return on Equity, Return on Asset, Net Profit
Margin, dan Rasio Biaya Operasional. Pada penelitian ini penulis menghitung
tingkat profitabilitas dengan menggunakan Rasio Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE).
Hubungan
Antara Kredit Macet (Variabel
X) Dan Profitabilitas Bank (Variabel
Y)
Dalam penelitian
ini, rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas bank ada dua rasio yaitu
return on assets (ROA) dan return on equity (ROE).� Oleh karena itu, peneliti menjelaskan
hubungan antara kredit Macet (NPL net) dengan profitabilitas bank (ROA dan ROE) sebagai
berikut:���������
a. Penyelesaian Kredit Macet Dalam Mengurangi Kerugian Perbankan� Mengenal
Kredit Macet
Kredit macet dalam konseptual
secara umum Undang-undang pokok perbankan Nomor 10 tahun 1998 mengenai rumusan pengertian bank, enyebutkan bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masayarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat bank. Pengertian ini menunjukan bahwa kegiatan bank dalam menghimpun dan menyalurkan dana secara ekonomi mempunyai hubungan yang erat dengan kegiatan
menyalurkan kembali dana
yang terhimpun, akan tetapi secara hokum hal ini terpisah
dan berdiri sendiri. Kredit macet terjadi
ketika nasabahdebitur tidak lagi memenuhi
kewajibannya unutk melakukan penyetoran ke pihak bank seperti
yang telah dipersyaratkan dalam perjanjian kredit.
Indikasi terjadinya kredit macet dapat diketahui
dengan adanya gejalah-gejalah sebagai berikut: 1) Nasabah yang mempunyai track record kurang baik di kalangan perbankan maupun relasi dagang (dapat dilihat dari
hasil bank dan trade cheking).
2) Nasabah yang dalam usahanya selalu bertindak spekulatif, berkeinginan ekspansi terlalu cepat, dan terlampau percaya bahwa dengan menambah
volume perjuangan semua persoalan bisnis akan selesai. 3) Nasabah yang selalu ingin cepat mengambil
keputusan tanpa pertimbangan matang. 4) Nasabah yang mempunyai sejarah perna macet,
bangkrut atau pernah berperkara (debt
collection). 5) Nasabah yang akan
tertutup dan sulit diajak bekerja sama terutama untukmendapatkan
dana (Antara et al., 2014).
6) Nasabah yang ragu-ragu dan kurang
konsisten dalam menjelaskan tujuan permohonan ataupun penggunaan kreditnya.
7) Nasabah
yang memiliki bisnis usaha bermacam-macam namun kurang mampu
mengawasi serta kurang focus terhadap core bisnisnya sendiri. 8) Nasabahnyang kurang etis dan selalu menjelek-jelekan kreditur lainnya. 9)������ Nasabah yang kurang terbuka dan kuran jujur dalam menginformasikan
siapa kreditur lainnya. 10) Nasabah yang sering melakukan investasi tanpa batas dan kurang jelas arah
tujuannya. 11) Peminjam
yang suka dan banyak meminjam kredit di laur bank yang sudah ada. 12) Peminjam yang likaso usahanya diluar jangkawan atau di luar wilayah kerja bank sendiri. 13) Nasabah yang terlalu optimis dalam memproyeksikan
omset (volume) usaha ataupun laba usaha
berdasarkan asumsi-asumsi
yang kurang realistis dalam perhitungan atau kas-nya.
14) Trend usaha yang di alami menurun disamping keadaan ekonomi lesu dan persaingan yang ketat. 15) Ketidakmampuan nasabah untuk menjelaskan
secara menyeluru dan akurat mengenai keadaan usaha sebenarnya
terutama berkaitan dengan hutangnya. 16) Nasabah yang sering melalaikan atau menunggak atas kewajibannya (bunga, angsuran) dll. 17) Sering melakukan Overdraft/cross clearning
dan rekening pinjaman kurang aktif (evergreen). 18) Nasabah yang mempunyai gaya hidup boros,
suka berbohong, suka ingkar janji,
sombong, dll. 19) Nasabah yang memiliki hobi kurang baik,
seperti berjudi, dll. 20) Nasabah yang memiliki kehidupan ruah yangga yang bermasalah (kehidupan perkawinan yang terganggu)
21) Nasabah
yang dalam pergaulan sehari-hari kurang disukai dikalangan lingkungan sekitarnya terutama dalam perusahaan (manajemen), relasi dagang, dsb. 22) Nasabahn mengalami kematian atau memiliki sifat
penyakit yang berat dan berkepanjangan sehingga dapat mengganggu operasional usaha. 23) Perusahaan
mengalami kegoncangan atau perpecahan intern misalnya sudah tidak cocoknya sesama pengurus. 24) Izin usaha perusahaan
dicabut atau tidak dapat diperpanjang.
25) Dokumentasi perkreditan
belum lengkap dan bermasalah. 26) Jaminan kredit mengandung masalah dan nilainya turun. 27) Tidak adanya laporan keuangan yang akurat yang terpercaya sehingga sulit untuk di evaluasi. 28) Bertambah/mulurnya days
receivable dan melebihi kebijakan
collection period Perusahaan. 29) Bertamba panjang atau lamanya
days invertory atau invertory turnover.
30) Bertambah
buruknya likuiditas perusahaan dan semakin buruknya posisi kas. 31) Kenaikan drastic dalam biaya overhead sehingga memperkecil laba yang di peroleh (marginal). 32) Kinerja perusahaan
menunjukan kerugian besar. 33) Bertamba banyaknya pas due A/R atau naiknya Bad Dabt Accounts. 34) Terlalu besar konsentrasinnya
komponen fixed asset maupun
non-current accet. 35) Leverage perusahaan
terlalu besar dan tidak menurun. Hutang kepada pihak
ketiga terlalu besar. 36) Perusahaan telah berubah bidang usahanya. 37) Perusahaan menghadapi
permasalahan perburuhan. 38)
Perusahaan telah kehilangan
banyak customer basednya (kecewa, pricing yang kaku, mau menang sendiri,
dsb). 39) Kerusahaan bekerja tidak efektif
(mesin suda tua, produksi dibawah
kapasitas, pemasaran yang buruk, dsb). 40) Struktur kredit yang salah (kredit modal kerja untuk pembiayaan investasi). 41) Capital side streaming oleh debitur
Bank dalam
menjalankan fungsinya, menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dalam bentuk kredit. Sebagian besar sumber dana bank berasal dari masyarakat.
Bank berkewajiban mengenbalikan
dana masyarakat tersebut berikut bunganya pada waktu yang dikehendaki atau yang telah diperjanjikan oleh mayarakat yang
menjadi nasabah penyimpan. Dengan demikian dana masyarakat tersebut disalurkan kembali dalam bentuk
kredit dengan pembebanan bunga yang lebih tinggi dari
bunga yang diberikan kepada kepada para penyimpan dana di bank.
Jika tenyata
kredit yang diberikan macet artinya bank tidak lagi menerima
kembali dananya dan kehilangan pendapatanya sedangkan kewajiban membayar bunga kepada nasabah menyimpan dan biaya lainnya tetap harus
dikeluarkan, maka kondoisi mengakibatkan kerugian bagi bank. Pemberian kreit orlh para perbankan terbanyak disalurkan untuk kegiatan-kegiatan dunia usaha. Dunia usaha dalam melakukan kegiatannya bisnisnya membutuhkan modal dana yang cukup
dalam mengembangkan usahanya. Dalam memenuhi modal kerja untuk usaha
umumnya masyarakat dunia usaha dapat memenuhi
kebutuhan modal dari pihak lembaga keuangan
perbankan (Djayastra et al., 2015).
��
Pihak perbankan sendiri memang berfungsi untuk menyalurkan dana masyarakat untuk kegiatan-kegiatan yang produktif seperti membiayai kegiatan-kegiatan usaha, saelain itu, penyaluran
dana perbankan juga ditujukan
untuk membantu memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat pada umumnya. Dari berbagia bentuk penyaluran dana pihak perbankan atau yang disebut fasilitas kredit umumnya disalurkan untuk membantu modal usaha. Pada dasarnya dunia usaha perlu dengan
ketidak pastian karena pihak pengusaha
tidak dapat mengantisipasi dan merencanakan segala seusuatu dengan tepat sekali,
berbagai kemungkinan selalu menyertai dalam perjalanan kegiatan usaha.
Oleh karena
itu, sering dijumpai terjadinya kemacetan dalam pengembalian dana kredit yang telah disalurkan. Kredir macet terjadi
karena disebabkan oleh beberapa factor dan hal-hal yang tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya, kecuali jika terjadinya penyaluran dana kredit secara tidak sehat
(Untung, 2000).
Dalam praktek
perbankan dapat teridentifikasi gejalah-gejalah kredit bermasalah secara terlihat dalam hal: 1) Nasabah
debitus sudah mulai jarang melakukan
penyetoran. 2) Sering terjadi
cerukan, mengeluarkan warkat cek dan bilyet giro (penarikan)
tanpa persediaan saldo yang cukup di bank. 3) Kondisi usaha menurun,
tanpa usaha kelihatan sepi (kurang pengunjung atau aktivitas usaha kurang). 4) Adanya konflik rumah tangga
atau adanya sengketa/perkara.
Penyelesaian melalui proses legitasi dan BUPLN
merupakan upaya terkhir pihak perbankan
untuk memperoleh kembali dana kredit yang telah disalurkan. Dalam proses ini focus pnyelesaian berada pada penjualan jaminan yaitu eksekusi
eksekusi jaminan melalui pengadilan dan pelelangan jaminan di BUPLN. Dari
beberapa batas mengenai �eksekusi� mengandung pengertian sebagai �pelaksanaan suatu putusan pengadilan dengan cara paksa�
dalam pelaksanaan eksekusi jaminan telah memuat suatu
pengertian bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati
putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Kekuatan umum yang dimaksut disini adalah polisi,
dan jikaperlu kekuatan militer (Fuady, 1996).
Berdasarkan
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 23/12/BPPP tanggal 28 februari 1991 ditemukan beberapa kebijakan dalam penyelematan kredit macet, yaitu:
a. Rescheduling
(penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya
untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjiak kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/jangka waktu kredit termasuk
masa tenggang (grace period), termasuk
perubahan jumlah angsuran. Bila perlu denagn penambahan kredit.
Cara ini
dilakukan dengan menyesuaikan tenor pinjaman Anda
agar bisa kembali mencicil pembayaran kredit. Pihak bank akan memperpanjang tenor pinjaman dari debitur
yang mengalami kredit macet. Hal ini dilakukan agar angsuran yang harus dibayar bisa
semakin ringan. Perpanjangan tenor juga disesuaikan
dengan kemampuan pembayaran debitur.
b. Reconditioning (persyaratan kembali) yaitu: melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh
syarat-syarat perjanjian, tidak terbatas hanya pada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu
kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh
atau sebagian dari kredit menjadi
equity perusahaan.
Cara ini
dengan penataan kembali, yaitu upaya pihak bank mengubah kondisi kredit untuk meringankan
tanggung jawab debitur yang terlibat kredit macet. Hal ini dilakukan dengan
cara menambah fasilitas kredit, mengonversi tunggakan menjadi pokok kredit
baru, hingga penjadwalan dan persyaratan kembali.
c. Restructuring
(penataan kembali) yaitu upaya berupa
melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian
tambahan kredit, atau melakukan koncersi atas seluruh
atau sebagian kredit menjadi equity perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa
rescheduling dan atau reconditioning (Supramono, 2009).
��
Cara ini
dengan restructuring atau mengubah syarat-syarat peminjaman, yang mencakup perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan persyaratan lainnya. Persyaratan kembali ini bisa
dilakukan dengan syarat tidak mengubah
maksimal plafon kredit. Udang-udang Nomor 7 tahun 1992 dikenal system penyelamatan kredit macet sebagaimana
diatur dalam pasal 7 ayat c berbunyi: �.....Bank umum dapat pula melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit dengan cara
harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia�.
Berdasarkan ketentuan ini maka
bank akan memasukan modal atau memasukan untuk sementara kredit yang macet sebagai tanda penyertaan
modal suatu perusahaan.
Jika perusahaan tersebut telah sehat kembali
maka bank sesegera mungkin akan menarik
kembali kredit yang telah macet tersebut
(dan sekaligus mengakhiri kepenyertaannya dalam perusahaan tersebut).
Kepenyertaan
modal sementara bank dalam suatu perusahaan disebut dengan istilah equity participation.�
Penyelesaian Kredit Macet Pada Umumnya
a.�
Badan Usaha Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN)
Kredit macet yang menyangkut Bank Milik Negara.biaanya kredit yang telah macet dn
telah diupayakan penagihannya/penyelesaiannya secara kekeluargaan tetapi tidak berhasil
maka bank akan menyerahkan penyelesaiannya melalui BUPLN, untuk selanjutnya akan melakukan pelelangan/penjualan benda jaminan kecuali jika bank telah memperoleh �surat kuasa menjual� maka bank dapat depat menjual harta
jaminan tersebut secara dibawah tangan. Memperoleh pengembalian kredit dari hasil pelelangan
bukanlah hal yang mudah dan cepat.
Sebab pengalaman menunjukan bahwa menjual agunan
melalui prosedur lelang sangat sulit memperoleh pembeli dan harga yang memadai sehingga sering bank mendapatkan pengembalian kredit yang cukup besar. Untuk tidak
terlalu merugikan pihak bank maka hukum perbankan yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-undang Nomor. 10 Tahun 1998 memberikan peluang kepada bank untuk turut serta
dalam pelelangan (sebagai pembeli lelang), sebap jika bank dapat menguasai agunan itu dari pelelangan
maka bank dapat menjual agunan itu secara perlahan
menurut harga yang berlaku dipasaran.
�
b.��
Proses Litigasi di Pengadilan
Jika suatu
kredit macet dari bank suasta maka penyelesaian dilakukan melalui pengadilan. Proses letigasi merupakan langka terpaksa yang dilakukan bank yang
apabla debitur menunjukan itikad baik yang sengaja menyembunyikan harta bendahnya yang masih cukup banyak untuk
melunasi kreditnya. Akan tetapi proses letigasi sering dinilai oleh masyarakat memakan waktu bertahun-tahun. Sementara dipihak lain lembaga sandera yang dulu dianggap sangat membantu sebagai alat pemaksa debitur
untuk melunasi utangnya telah dicekal pemberlakuannya Surat Edaran Mahkama Agung Nomor. 2 Tahun 1964 jo. UU No. 4 tahun
1975.� Penyelesaian
kredit macet melalui proses letigasi merupakan pilihan terpaksa bagi bank (Antara et al., 2014).�
c. Arbitrase
atau Perwarisan
Dikalangan perbankan dan pakar hokum mencoba menawarkan penggunaan lembaga �arbitrase� untuk penyelesaian kredit macet. Dalam perjanjian Kredit Perbankan, bank dan nasabah debitur dapat menuangkan klausula arbitrase yang menyatakan bahwa jika terjadi sengketa
antara bank dan nasabah (misalnya Kredir Macet) maka akan diselesaikan
melalui lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase dapat berupa badan yang telah lamadibentuk seperti Badan Arbitrase Negara
Indonesia (BANI) yan dibentuk
oleh KADIN di tahun 1977. Dalam hal
ini dalat juga ditunjuk suatu panitia ad hoc yang dibentuk secara insidentil atas pilihan para pihak kusus untuk
menyelesaikan sengketa tersebut.
Keberadaan lembaga arbitrase di Indonesia diakui dalam preaktek
peradilan sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan Mahkama Agung antara
lain: 1) Putusan Mahkama Agung Nomor.
225 K/Sip/1976 tanggal 30n September 1983 yang mengakui klausula arbitrase berlaku mutlak seperti undang-undang. 2) Putusan Mahkama
Agung Nomor. 3992 K/Pdt/1984
tanggal 4 Mei 1988 yang menegaskanbahwa
kewenangan memeriksa suatu sengketa yang timbul dari perjanjian
yang memuat klausula arbitrase �mutlak� menjai kewenangan lembaga arbitrase, bahkan hal ini
diperkuat dengan putusan Mahkama Agung Nomor. 3179
L/Pdt/1984 tanggal 4 Mei
1988 bahwa pengadilan
Negeri tidak berwenang memeriksa gugatan erbitrase dalam konvensi maupun rekonvensi.
Kesimpulan
Pengaruh kredit macet terhadap
profitabilitas perbankan, yaitu oleh karena profitabilitas mencerminkan kemampuan bank dalam menghasilkan laba secara efektif dan efisien, sehingga dengan meningkatnya kredit macet atau
bermasalah, maka dampak positif yang ditimbulkan oleh penyaluran kredit tidak dapat
terjadi. Hal ini dikarenakan pendapatan operasional dari pemberian kredit sangat kecil karena margin yang seharusnya diterima oleh bank dari penyaluran kredit tidak diterima
secara penuh.
Risiko kredit merupakan suatu risiko akibat
kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diperoleh dari bank beserta marginnya sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditentukan. Kredit macet merupakan
situasi dimana persetujuan pengembalian kredit mengalami resiko kegagalan. Penyelesaian kredit macet dalam mengurangi
kerugian perbankan, yaitu dengan berbagai
kiat dan ide- ide untuk menyelesaikan kredit macet yang semakin kompleks dan sulit penanganannya. Berbagai cara baru dimunculkan sebagai akibat dari rasa frustasi dari para kalangan banker.
Terdapat kredit macet pada bank pemerintah yang selama ini harus melalui
prose penagihan lewat panitia Urusan Piutang Negara yang dibentuk Undang-undang Noor 49/Prp/ 1960
dan Badan Usaha Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) yang di bentuk dengan
Kepres 21 Tahun 1991 banyak ditemui kendala dan membutuhkan proses demokrasi yang mengakibatkan seing tidak memberikan
hasil seperti yang diharapkan. Hal ini menyebabkan kewenangan tersebut kepada jakwa dengan mencoba
mengaitkan dengan undang-undang kejaksaan.
BIBLIOGRAFI
Antara, I. G. A., Bagia, I. W., & Cipta, W.
(2014). Pengaruh Tabungan Dan Kredit Bermasalah Terhadap Laba Pada Lembaga
Perkreditan Desa (Lpd). Jurnal Manajemen Indonesia, 2(1).
Astuti, W., & Suripto, T. (2016). faktor-faktor yang
mempengaruhi pembiayaan bermasalah (Studi Kasus di BMT Artha Barokah Yogyakarta
2013). JESI (Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia), 5(1), 49�62.
Dini, O. P., Yozza, H., & Devianto, D. (2013). ANALISA
FAKTOR PENYEBAB KREDIT MACET DENGAN METODE QUEST. Jurnal Matematika UNAND,
2(2), 76�85.
Djayastra, K., Setiawina, N. D., & Artini, R. (2015).
Analisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Jumlah Kredit dan
Dampaknya terhadap Non Performing Loan (Npl) pada Lembaga Perkreditan Desa
(Lpd) Desa Adat di Kabupaten Gianyar. E-Jurnal Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Udayana, 4, 44765.
Farid, K. (2015). Upaya Manajer dalam Mengambil Keputusan
Pemberian Pinjaman/LDR dan Mengatasi Permasalahan Kredit Macet/NPL. Fokus
Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ekonomi, 10(2).
Firdaus, P. P., & Topowijono, T. (2016). Analisis-pengendalian-manajemen-kredit-modal-kerja
Guna-meminimalisir-kredit-bermasalah (Studi-pada-pd.-bpr-bank-daerah-lamongan).
Brawijaya University.
Fuady, M. (1996). Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung.
Goni, R. Y. (2016). Penyelesaian Kredit Macet Menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Lex Crimen, 5(7).
Hanitijo, R. (2000). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo,
Sudikno.
Rahmi, C. L. (2014). Pengaruh Risiko Kredit, Risiko
Likuiditas Dan Risiko Tingkat Bunga Terhadap Profitabilitas (Studi Empiris pada
Perusahaan Perbankan Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Jurnal Akuntansi,
2(3).
Sari, M. D. D., Bagiada, I., & Suarta, I. (2022). Pengaruh
Kredit Bermasalah Terhadap Profitabilitas pada PT BPR Naga. Politeknik
Negeri Bali.
Sibarani, B. (2000). Penyelesaian Kredit Macet oleh
Perbankan. Newsletter Kajian Hukum Ekonomi Dan Bisnis, 42.
Soerjono, S. (1986). Pengantar penelitian hukum. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Supramono, G. (2009). Perbankan dan masalah kredit: suatu
tinjauan bidang yuridis. Rineka Cipta.
Suyatno, T. (2007). dkk, Dasar-Dasar Perkreditan (Edisi
Keempat). PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Untung, H. B. (2000). Kredit perbankan di Indonesia.
Andi.
Copyright
holder: Amin Widjaja,
Tiyar Cahya Kusuma, Gindo L Tobing
(2023) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |