Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e- ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 11, November 2023
Devira Andriani1, Rasji2
1,2Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta
Email: [email protected], [email protected]
Dunia digital mengalami perkembangan yang sangat pesat dan memberikan banyak pengaruh di berbagai sektor, salah satunya kehadiran layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yaitu Peer to Peer Lending. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pelaksanaan Peer to Peer Lending beresiko pada suatu permasalahan hukum yakni gagal bayar dari Penerima Pinjaman yang akan merugikan Pemberi Pinjaman yang mendanai pengajuan pinjaman pada platform Penyelenggara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini selanjutnya bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang perlindungan hukum bagi pihak pemberi pinjaman terkait dengan resiko gagal bayar dalam layanan pinjaman berbasis peer to peer lending. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam peer to peer lending. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode penelitian hukum normatif. Perlindungan hukum terhadap pemberi pinjaman dengan dibentuknya peraturan khusus yang memberikan perlindungan bagi pengguna jasa Peer to Peer Lending yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 khususnya Pasal 37 dan sanksi seperti denda, penjara, maupun hukuman tambahan lain yang diberikan setelah terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam P2PL dapat dilakukan diluar maupun didalam pengadilan sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2013.
Kata Kunci: Peer to Peer, Perlindungan, Hukum.
Abstract
The digital world is experiencing very rapid
development and has a lot of influence in
various sectors, one of which is the presence of information technology-based lending
and borrowing services, namely Peer to Peer Lending. However,
it is possible that the implementation of Peer to Peer Lending
is at risk of a legal problem,
namely default from the Borrower which will harm the Lender who funds
the loan application on the Operator's platform. In this regard, this study further
aims to find
out and analyze the legal protection for lenders related to the risk of
default in peer to peer
lending-based loan services. In addition, this study also aims to explain dispute resolution due to default in peer
to peer lending. The research method used in this study is normative legal research method. Legal protection
for lenders with
How to cite: |
Devira Andriani, Rasji (2023) Perlindungan Hukum terhadap Pemberi Pinjaman Risiko Kerugian, (8) 11, https://doi.org/10.36418/syntax-literate.v8i11 |
Peer |
to |
Peer |
Lending |
Atas |
E-ISSN: |
|
|||||
Published by: |
the establishment of special regulations that
provide protection for users of Peer to Peer
Lending services, namely the Financial Services Authority Regulation Number 77 / POJK.01 / 2016, especially Article 37 and sanctions
such as fines, imprisonment, and other additional penalties given
after a dispute occurs. Dispute resolution due
to default in P2PL can be done outside or inside the court in accordance
with the provisions of Article 39 paragraph (1) POJK
Number 1 / POJK.07 / 2013.
Keywords:
Peer to Peer, Protection, Legal.
Perkembangan penggunaan internet saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Sejak dikenalnya internet pada tahun 1900an, internet telah menjadi kebutuhan mendasar bagi hampir seluruh kalangan masyarakat di dunia. Perkembangan internet dan cara penggunaannya pun semakin variatif, segala inovasi yang terjadi dalam pemakaian internet sebagai dasarnya ditujukan kepada satu hal, memberikan kemudahan bagi pemakainya.
Inovasi penggunaan internet dewasa ini telah merambah ke berbagai bidang, melalui aplikasi berbasis internet, sebut saja aplikasi�aplikasi seperti gojek, grab, tokopedia, traveloka, telah memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam berbagai bidang. Inovasi dalam bidang keuangan sering kali disebut sebagai financial technology (Fintech) adalah kata yang dipakai untuk menggambarkan inovasi�inovasi dalam bidang keuangan, salah satu bentuk perkembangan teknologi melalui internet dalam bidang keuangan ini adalah peer to peer lending (Hiyanti, Nugroho, Sukmadilaga, & Fitrijanti, 2020).
Saat ini ada banyak sekali perusahaan�perusahaan yang bergerak di bidang peer to peer lending, perusahaan�perusahaan ini melakukan kegiatannya dengan menciptakan situs atau aplikasi yang berfungsi sebagai tempat bertemunya pemberi pinjaman dan penerima pinjaman (market place) 4, beberapa contohnya adalah investree, amartha, koinworks, modalku, dan masih banyak lagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa peer to peer lending di Indonesia.
Payung hukum bagi kegiatan peer to peer lending di Indonesia saat ini adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 / POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Akan tetapi pengaturan dalam peraturan ini tidak mencantumkan atau mengatur tentang bagaimana tanggung jawab ketika terjadi gagal bayar dalam peer to peer lending, mitigasi risiko dari gagal bayar diserahkan kepada pihak penyelenggara dalam perjanjian baku antara pemberi pinjaman dan platform peer to peer lending (Annisa, 2023).
Masalah perlindungan konsumen akan senantiasa berbanding lurus dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta perkembangan konsumen sendiri sebagai manusia yang senantiasa berubah (Gunawan, 2003). Dalam peer to peer lending di Indonesia, pengguna dalam arti pemberi pinjaman memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi hal ini dikarenakan pemberi pinjaman memberikan pinjaman tanpa agunan dan tidak mengenal langsung peminjam, pemberi pinjaman hanya mengetahui informasi
tentang peminjam berdasarkan informasi yang ada di platform peer to peer lending, akan tetapi hal ini diacuhkan mengingat peer to peer lending memberikan keuntungan dari suku bunga yang tinggi, lebih tinggi daripada instrumen investasi biasa, suku bunga peer to peer lending di Indonesia saat ini mencapai 20% bahkan lebih.
Dalam pembahasan artikel ini, dibahas tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap pemberi pinjaman peer to peer lending atas risiko kerugian. Perlindungan hukum ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak, agar para konsumen merasa aman dan nyaman saat melakukan transaksi khususnya pada transaksi keuangan berbasis teknologi informasi (Pratiwi & Yunari, 2020). Dalam regulasi yang ada, POJK tidak mengatur tentang keamanan, tanggung jawab penyelenggara dan perlindungan hak- hak Pemberi Pembiayaan (funder) apabila terjadi gagal bayar dari pihak peminjam, padahal Pemberi Pembiayaan memiliki posisi yang sangat dirugikan apabila terjadi gagal bayar.
Masalah perlindungan hukum akan senantiasa berbanding lurus dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta perkembangan konsumen sendiri yang senantiasa berubah. Dalam peer to peer lending di Indonesia, Pemberi Pembiayaan atau Pemberi Pembiayaan (funder) memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi hal ini dikarenakan funder memberikan uang untuk pembiayaan tanpa adanya agunan atau jaminan dan tidak mengenal langsung beneficiary, funder hanya mengetahui informasi peminjam berdasarkan informasi yang ada di platform peer to peer lending, akan tetapi hal ini diacuhkan mengingat peer to peer lending memberikan keuntungan bagi perusahaan fintek
Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini karena terdapat ketidakjelasan aturan mengenai Peer to Peer Lending di Indonesia. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang- undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Marzuki, 2013). Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik bola salju. Selanjutnya semua bahan yang sudah dikumpulkan akan dianalisis melalui teknik deskriptif yang menjelaskan peristiwa atau kondisi hukum (Wiguna, 2020).
Fintech jenis peer to peer lending termasuk ke dalam aktivitas pembaruan dalam proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai baru dalam
sektor jasa keuangan (Priyonggojati, 2019). Bisnis atau jasa di bidang keuangan sudah menjadi suatu bisnis yang sangat rentan terhadap berbagai tindakan-tindakan yang merugikan pihak yang tak bertanggung jawab dengan menggunakan keberadaan teknologi untuk melakukan suatu tindakan baik itu penyelewengan atau penyalahgunaan yang mengakibatkan kerugian bagi para pengguna layanan tersebut (Santoso, 2018).
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum sebagaimana pendapat Satjipto Raharjo (Irwansyah, 2020). Perlindungan kepada konsumen pada dunia bisnis yang dipandang baik secara materiil maupun formil semakin penting, mengingat semakin cepatnya pergerakan teknologi sebagai motor penggerak dari produktifitas produsen atas barang atau jasa yang akan dihasilkan dalam memenuhi tujuan dari suatu usaha (Santoso, 2018).
Perlindungan hukum bagi pengguna pinjaman online adalah isu utama dalam perkembangan pinjaman online (Hariyani, 2018). Pengguna P2P Lending terdiri dari Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman. Penerima pinjaman meliputi orang perorangan atau badan hukum yang berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 15 Nomor 77/POJK.01/2016. Sedangkan yang dimaksud pemberi pinjaman meliputi orangperorangan WNI/WNA, badan hukum Indonesia/asing, badan usaha Indonesia/asing, dan/ atau lembaga internasional atau dapat dikatakan pemberi pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri sebagaimana ketentuan Pasal 16 POJK tersebut.
Pemberi pinjaman harus mendapatkan perlindungan agar dananya dapat kembali dan tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang disepakati, sedangkan penerima pinjaman harus dilindungi agar data pribadi tidak disebarluaskan, tidak dilakukan penagihan dengan kekerasan dan syarat pinjaman yang rasional (Sari, 2018). Layanan pinjam meminjam secara online didasari dengan adanya kesepakatan bersama antara pihak pemberi pinjaman dengan peminjam yang kemudian dibuat dalam bentuk perjanjian yang dituangkan dalam dokumen elektronik (Maulana, 2020).
Dalam penyelenggaraan pinjaman online hal tersebut dilakukan oleh konsumen selaku penerima pinjaman dana melakukan transaksi sesuai dengan kesepakatan bersama pelaku usaha pinjaman online P2P Lending yang akan menimbulkan kewajiban timbal balik diantara mereka yang akan memunculkan perjanjian dan konsekuensi yang harus sama-sama dipenuhi dari setiap pihak tersebut (Novinna, 2020).
Aspek perlindungan konsumen yang menjadi perhatian sesuai ketentuan Pasal 2 POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dengan menerapkan prinsipprinsip yaitu prinsip transparansi, perlakukan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Prestasi dan wanprestasi merupakan istilah yang terdapat dalam perjanjian. Prestasi dari suatu perjanjian yakni melaksanakan hal yang menjadi kesepakatan dalam
perjanjian atau para pihak yang bersepakat melaksanakan hal yang tertuang dalam perjanjian tersebut (Fuady, 2014).
Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi dari suatu perjanjian adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dapat dikatakan wanprestasi apabila para pihak tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian. Berdasarkan jenisnya wanprestasi meliputi terlambat memenuhi prestasi, pelaksanaan prestasi tidak sempurna atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, atau tidak melakukan prestasi sama sekali. Penyelenggaran layanan Fintech berbasis P2PL akan beresiko menimbulkan suatu permasalahan hukum yakni resiko gagal bayar dari Penerima Pinjaman.
Pihak mengalami kerugian akibat resiko gagal bayar tersebut adalah Pemberi Pinjaman. Pihak perusahaan selaku penyelenggara hanya dapat mengusahakan dan membantu penagihan. Fakta ini tentu menjadi alasan mendasar timbulnya risiko kerugian bagi pemberi pinjaman (lender). Jika ditinjau dari sisi penyelenggara P2PL, beberapa hal yang menyebabkan terjadinya gagal bayar yakni ketidaksesuaian analisa, seleksi serta persetujuan yang dilakukan penyelenggara terhadap aplikasi pinjaman yang diajukan oleh penerima pinjaman untuk ditawarkan kepada Pemberi Pinjaman. Secara umum, 2 jenis bentuk perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Dalam pelaksanaan aktivitas P2PL perlindungan hukum yang diterapkan antaralain perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Tujuan adanya perlindungan hukum preventif yakni melakukan pencegahan agar tidak terjadi suatu sengketa, serta memberikan kesempatan kepada subjek hukum dalam hal pengajuan keberatan serta memberikan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah yang mendapat bentuk definitif dikeluarkan. Penerapan perlindungan hukum preventif dengancara mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang membatasi suatu kewajiban dan melakukan pencegahan terhadap suatu pelanggaran.
Dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah diharapkan untuk lebih berhati- hati sebagai bentuk adanya perlindungan hukum preventif. Ketentuan yang diterbitkan oleh OJK sebagai perlindungan hukum preventif yaitu dengan POJK No. 77. Perlindungan dan kepastian hukum diberikan kepada subjek hukum yang melakukan perbuatan hukum, tak terkecuali kepada pengguna dan penyelenggara layanan P2PL. Sesuai ketentuan Pasal 29 POJK No. 77, prinsip dasar perlindungan pengguna wajib diterapkan oleh penyelanggara meliputu transparansi, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, perlakuan yang adil, dan penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Informasi yang harus disampaikan penyelanggaran layan P2PL harus informasi akurat yang terkini, jujur, jelas dan tidak menyesatkan. Kewajiban perantara atau media yakni memberikan informasi terkait penerimaan, penundaan, atau penolakan permohonan peminjaman kepada pengguna. Penyelenggara yang sudah mendaftarkan pada OJK wajib menyertakan secara terlampir ketentuan umum tepat dihalaman platform dimana penyelanggara memiliki potensi untuk terhindar dari tanggungjawab atas berbagai
macam kerugian apabila terjadinya kesalahan yang diakibatkan teknologi informasi mengalami kegagalan maupun gagal bayar oleh penerima pinjaman.
Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan preventif kepada pemberi pinjaman. Ketentuan Pasal 37 POJK No.77 mengatur penyelenggara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, direksi, dan/atau pegawai penyelenggara. Kesalahan dan atau kelalaian yang dimaksud tersebut yakni kesalahan atau kelalaian pada saaat kegiatan usaha P2PL, baik yang dilakukan oleh pengurus, pegawai penyelenggara dan atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan P2PL. Hal tersebut juga tercantum pada Pasal 29 POJK No. 1/POJK.07/2013.
Penjelasan tersebut menjelaskan bahwasanya pertanggung jawaban pihak penyelnggara hanya sebatas kesalahan yang ditimbulkan oleh pihaknya, maka dari itu pemberi pinjaman bertanggung jawab penuh dan tidak mendapat ganti rugi dalam hal kegagalan bayar oleh penerima pinjaman. Penyelanggara akan bertanggung jawab apabila penyelenggara melakukan kesalahan dalam pelaksanaan evaluasi permohonan kredit dan data penerima pinjaman. Pengaturan pada Pasal 37 POJK tidak memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Pemberi Pinjaman, karena pada dasarnya kesalahan tidak hanya dilakukan oleh pihak penyelenggara melainkan bisa dilakukan juga oleh pihak penerima dana.
Terkait dengan kesalahan yang dilakukan oleh penerima dana, tidak ada perlindungan terhadap pemberi dana yang mana akan sangat dirugikan. Berbicara perlindungan hukum preventif, sudah pasti akan berbicara tentang perlindungan hukum represif yang diberikan setelah terjadinya sengketa yang bertujuan untuk mencari jalan keluar atas sengketa antara para pihak.
Bentuk dari perlindungan hukum represif berupa adanya sanksi seperti denda, penjara, maupun hukuman tambahan lain yang diberikan setelah terjadi sengketa atau terjadinya pelanggaran (Philipus, 1987). Sengketa dapat disebabkan dari adanya wanprestasi yang dilakukan oleh penerima pinjaman artinya sengketa yang diakibatkan karena tidak dipenuhinya suatu hal yang telah disepakati sebagaimana perjanjian yang telah dibuat. Apabila terjadi sengketa dalam layanan P2PL maka dapat diselesaikan baik dengan jalur litigasi maupun jalur non-litigasi.
Dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang disepakati oleh pemberi dan penerima pinjaman, maka dari itu penyelesaian sengketa tidak menjadi kewenangan pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Perlindungan hukum bagi pihak pemberi pemberi pinjaman akibat adanya gagal bayar dalam Peer to Peer Lending dengan preventif dan represif. Adapun perlindungan hukum preventif, telah dibentuknya peraturan khusus yang memberikan perlindungan bagi pengguna jasa P2PL yaitu POJK No.77 sebagaimana ketentuan Pasal 37 POJK, penyelenggara memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian pengguna
yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, direksi, dan/atau pegawai penyelenggara. Pemberian denda, penjara, maupun hukuman tambahan merupakan bagian dari perlindungan represif.
Annisa, I. R. A. (2023). Perlindungan Hukum Bagi Pemberi
Pinjaman Terhadap Klausula
Baku Dalam Perjanjian Layanan Peer To Peer Lending
Di Layanan Asetku.
Fuady, Munir.
(2014). Konsep Hukum Perdata.
Gunawan, Johannes. (2003). Fungsi lembaga hukum pertanggungjawaban produk dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia:
The function of the product liability regime in the effort
to attain consumer
protection in Indonesia. Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Katolik
Parahyangan.
Hariyani, Iswi. (2018). Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa PM- Tekfin. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 345�358.
Hiyanti, Hida, Nugroho, Lucky, Sukmadilaga, Citra, & Fitrijanti, Tettet. (2020). Peluang dan tantangan fintech (financial technology) syariah di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 5(3), 326�333.
Irwansyah. (2020). Kajian
Ilmu Hukum. Yogyakarta: Mirra Buana Media.
Marzuki, Peter Mahmud.
(2013). Penelitian hukum.
Maulana,
Hawin Iqbal. (2020). Perlindungan Hukum
Bagi Pengguna Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi (Peer to Peer Lending). Universitas Islam Negeri Kiai Haji
Achmad Siddiq Jember.
Novinna, Veronica. (2020). Perlindungan Konsumen dari Penyebarluasan Data Pribadi oleh Pihak Ketiga: Kasus Fintech �Peer to Peer Lending.� Jurnal Magister Hukum Udayana, 9(1), 92�110. https://doi.org/10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p07. p. 99
Philipus,
M. Hadjon. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu,
Surabaya, 25.
Pratiwi, Dita Tania, & Yunari, Sri Bakti. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen (Penerima Pinjaman) Financial Technology Yang Berbasis Peer To Peer Lending Di Indonesia. Jurnal Hukum Adigama, 3(1), 472�493.
Priyonggojati, Agus. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Pinjaman Dalam Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending. Jurnal USM Law Review, 2(2), 162�173.
Santoso, Edi. (2018). Pengaruh Era Globalisasi terhadap
hukum bisnis di Indonesia.
Prenada Media.
Sari, Alfhica
Rezita. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Pemberi
Pinjaman Dalam Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis
Peer To Peer Lending Di Indonesia.
Wiguna, Iwjb. (2020). Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Jurnal Acta Comitas, 81.
Copyright holder: Devira Andriani, Rasji (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |