Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
BEBAS STUNTING SEBAGAI INDIKATOR HUMAN
SECURITY BAGI MASYARAKAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DAYA DALAM PERSPEKTIF
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Melyana R. Pugu
Universitas Cenderawasih
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan memberikan analisa keadaan Stunting di Kota Sorong Provinsi Papua. Stunting adalah penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya asupan gizi yang baik bagi tumbuh kembang bayi. Dimana bayi dengan keadaan stunting akan memiliki tinggi badan yang kurang atau lebih pendek dan mudah terserang penyakit. Perang melawan stunting telah dilakukan oleh seluruh dunia dengan dipelopori oleh organisasi internasional resmi perserikatan bangsa-bangsa, World Health Organization dan disetujui dalam berbagai skema kerjasama internasional termasuk skema pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena sosial dengan data dan kondisi yang ada untuk mendapat jawaban atas kondisi stunting dan pencegahan stunting di Kota Sorong. Luaran penelitian ini menemukan bahwa pemahaman ibu dan jumlah sarana dan prasarana serta tenaga medis serta lingkungan yang bersih dan sehat menjadi factor utama pencegahan stunting di Kota Sorong dan pentingnya peran pemerintah untuk terus melindungi warga dari ancaman stunting dengan pemberian asupan gizi dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat sehingga masyarakat terlibat aktif dalam penanganan stunting di Kota Sorong dan ancaman penyakit stunting sebagai bentuk ancaman keamanan manusia dapat diminimalisir dan bebas dari kondisi stunting untuk masa depan yang baik.
Kata Kunci: Human Security, Stunting, Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Abstract
This study aims to provide an analysis of the state of stunting in Sorong
City, Papua Province. Stunting is a disease caused by lack of good nutritional
intake for infant growth and development. Where babies with stunting conditions
will have less or shorter height and are susceptible to disease. The fight
against stunting has been waged worldwide spearheaded by the official
international organization of the United Nations, the World Health Organization
and approved in various international cooperation schemes including sustainable
development schemes. This study uses qualitative research methods, namely
research that describes and explains social phenomena with existing data and
conditions to get answers to stunting conditions and stunting prevention in Sorong
City. The results of this study found that the understanding of mothers and the
number of facilities and infrastructure as well as medical personnel as well as
a clean and healthy environment are the main factors in stunting prevention in
Sorong City and the importance of the government's role to continue to protect
citizens from the threat of stunting by providing nutrition and continuous
socialization to the community so that the community is actively involved in
handling stunting in Sorong City and the threat of stunting disease as a form
of security threat Humans can be minimized and free from stunting conditions
for a good future.
Keywords: Human Security, Stunting, Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Pendahuluan
Negara yang kuat
adalah negara yang menjadikan penduduk di wilayahnya sebagai kekuatan untuk
membangun negara. Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 277,534,122 jiwa
menurut Worldmeter (2023) menjadikan penduduk Indonesia sebagai kekuatan
penting bagi negara. Oleh karenanya dibutuhkan penduduk yang sehat dan kuat
dengan kualitas hidup yang baik sehingga tercipta generasi penerus bangsa yang
kuat, sehat dan berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.
Kebutuhan akan
sumber daya manusia yang sehat ini diwujud nyatakan dengan melihat jumlah penduduk
Indonesia yang sehat dan juga kondisi
tubuh yang prima termasuk ukuran tubuh (Siagian, 2021);(Samsuni, 2017). Didalam Pembangunan kesehatan yang merupakan bagian dari pembangunan
nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal selaras dengan tujuan dan norma Isriawaty (2015) yang didasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3 bahwa kesehatan merupakan hak asasi
dan hak dasar manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh pemerintah. Melalui UU kesehatan, pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat.
Didalam tubuh yang sehat
terdapat kandungan gizi yang cukup dan memadai. Presiden Jokowi telah berkomitmen dalam menurunkan tingkat kekurangan gizi pada anak yang dikenal sebagai stunting melalui strategi 5 pilar. Pilar 1 merupakan
komitmen dan visi kepemimpinan yang digawangi oleh Setwapres dan TNP2K. Pilar 2 di bawah
koordinasi Kominfo dan Kemeskes dalam melaksanakan kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku. Pilar 3 mencakup konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi
program pusat, daerah dan desa oleh Bappenas dan Kemendagri, serta mencakup kementerian/ lembaga nasional lain. Pilar 4 mencakup gizi dan ketahanan pangan oleh Kementan dan Kemenkes.
Terakhir pilar 5 mencakup pemantauan dan evaluasi oleh Setwapres dan TNP2K. Dalam RAPBN 2020, Kemenkes
mendapatkan alokasi anggaran Rp. 57,4 triliun. Salah satu yang menjadi fokus pembenahan Kemenkes dalam penggunaan anggaran 2020 kelak adalah menurunkan
stunting selaras dengan visi misi presiden.
Percepatan penanganan
stunting tahun 2020 kelak diperluas ke 260 kabupaten/kota dari yang sebelumnya 160 kabupaten/kota pada 2019. Bahwa didalam RPJMN 2020-2024 penekanan angka stunting ditargetkan menjadi 19% pada 2024
dari yang saat ini 30,8%. Upaya ini harus dilakukan dengan semaksimal mungkin dengan intervensi gizi spesifik dan sensitive.
Menurut World Health Organization (WHO) stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan
gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi
badannya berada di bawah standar (Ratnawati, Probowati,
Prihatini, Ningtyas, & Ulfa, 2023). Selanjutnya menurut
WHO (2020) stunting adalah pendek
atau sangat pendek berdasarkan panjang / tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang
/ kronis yang terjadi dalam 1000 HPK.
Melansir laman Kemenkes
RI, stunting adalah masalah
kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu
yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan tumbuh kembang pada anak, yakni tinggi
badan anak lebih rendah atau pendek
(kerdil) dari standar usianya. Selain itu, infeksi berulang
dan kurangnya stimulasi psikososial pada seribu hari pertama juga meningkatkan risiko stunting (Rahmawati & Agustin,
2020). Ciri anak stunting adalah
pendek dan kurang perkembangan kognitif (Rafika & Gz, 2019). Meski demikian,
bukan berarti semua anak pendek
mengalami stunting.
Anak yang stunting cenderung memiliki prestasi Pendidikan yang
buruk dibandingkan anak yang tidak stunting. Tubuh pendek pada anak stunting terjadi lantaran mengalami kekurangan gizi menahun, sehingga ia tumbuh lebih
pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Selain pendek dan kemampuan berpikirnya cenderung di bawah rata-rata anak sebayanya, anak stunting biasanya juga lebih mudah sakit. kondisi
berbahaya, karena bisa menimbulkan gangguan fungsi tubuh yang permanen hingga anak dewasa.
Anak stunting bisa mengalami gangguan gizi, yang bisa berpengaruh terhadap perkembangan otak, fisik dan organ-organ metaboliknya.
Ketika perkembangan otak anak tidak optimal, maka tentu akan
memengaruhi kemampuan kognitif anak dan pertumbuhan badannya yang cenderung pendek. Anak dengan stunting juga berisiko mengalami hipertensi, obesitas, sakit jantung dan lain sebagainya. Bukan hanya masalah
kesehatan fisik, stunting
juga berdampak pada psikologis
anak, mulai dari emosi, kemampuan
bersosialisasi, hingga masalah motorik.�
Jika mendasarkan pada standar dari WHO terkait dengan ambang batas maksimal angka stunting yang mematok angka 20% atau seperlima dari jumlah total anak balita, maka pencapaian
penurunan angka stunting di
Indonesia sampai tahun 2018
yang baru mencapai 30,8% dapat dikatakan masih jauh dari
target. Stunting menjadi indicator atau penentu keamanan
manusia/ Human security karena
konsep keamanan sendiri bukan hanya
berkaitan dengan perang dan kekerasan tetapi juga berkaitan dengan pemberian rasa aman dan perlindungan yang diberikan dari negara kepada warga masyarakatnya.
Pemberian rasa aman yang dimaksudnya pula bukan tentang adanya ancaman dari pihak
luar tetapi bagaimana masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan fasilitas pelayanan yang baik sehingga kehidupan
yang dijalani lebih berkualitas sehingga tujuan negara dalam kaitannya dengan menciptakan generasi yang unggul sebagai asset negara dapat terjadi. Untuk itu tulisan ini berupa memberikan
penjelasan terkait keadaan dan penanganan Stunting
di Provinsi Papua Barat yang di wakili
oleh Kota Sorong dengan menggunakan
analisa keamanan manusia dalam perspektih
hubungan internasional.
Negara-negara didunia saat ini tengah
membangun keadaan dalam negerinya dengan memperhatikan norma-norma
dan kaidah-kaidah yang diterapkan
dalam system internasional diantaranya melaui badan-badan
Kesehatan yang ada di Perserikatan
bangsa-bangsa seperti oleh
World Health organization (WHO). World Health Organization (WHO) melalui sasaran kedua dari Sustainable
Development Goals (SDGs) menyatakan bahwa segala bentuk
malnutrisi akan diselesaikan pada tahun 2030, termasuk mencapai target internasional 2025 untuk menurunkan stunting dan wasting pada balita
(WHO, 2016).
Target SDGs lainnya untuk pencapaian tahun 2030 mencakup sistem produksi pangan yang berkelanjutan, peningkatan kerja sama internasional, cadangan pangan untuk membantu membatasi perubahan ekstrim harga pangan,
dan mengakhiri kelaparan serta segala bentuk
kekurangan gizi dalam situs resmi WHO di sebutkan bahwa Malnutrisi mengacu pada kekurangan atau kelebihan dalam asupan nutrisi, ketidakseimbangan nutrisi penting atau gangguan
pemanfaatan nutrisi.
Beban ganda malnutrisi
terdiri dari kekurangan gizi dan kelebihan berat badan dan obesitas, serta penyakit tidak menular terkait diet. Kurang gizi bermanifestasi dalam empat bentuk
besar: wasting, stunting, kekurangan
berat badan, dan defisiensi
mikronutrien. Wasting didefinisikan
sebagai berat badan rendah untuk tinggi.
Ini sering menunjukkan penurunan berat badan baru-baru ini dan parah, meskipun juga dapat bertahan untuk waktu yang lama. Biasanya terjadi ketika seseorang tidak memiliki makanan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan / atau mereka memiliki penyakit yang sering atau berkepanjangan.
Wasting pada anak-anak dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi jika
tidak ditangani dengan benar. Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan rendah untuk usia. Ini adalah hasil dari
kekurangan gizi kronis atau berulang,
biasanya terkait dengan kemiskinan, kesehatan dan gizi ibu yang buruk, sering sakit dan / atau pemberian makanan dan perawatan yang tidak tepat pada awal kehidupan. Stunting mencegah anak-anak mencapai potensi fisik dan kognitif mereka.
Underweight didefinisikan sebagai berat badan rendah untuk usia.
Seorang anak yang kekurangan berat badan mungkin terhambat, terbuang atau keduanya.
Kekurangan mikronutrien adalah kekurangan vitamin dan
mineral yang penting untuk fungsi tubuh seperti
memproduksi enzim, hormon dan zat lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Keadaan anak/bayi
Stunting merupakan gangguan
pertumbuhan karena malnutrisi yang terjadi pada anak-anak berusia dibawah lima tahun. Secara fisik anak
dengan stunting keadaan tubuh pendek atau
sangat pendek yang didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut
Umur atau Tinggi Badan menurut Umur dengan
ambang batas (zscore) antara -3 SD sampai dengan < -2 SD. Pertumbuhan anak mencerminkan kondisi masyarakat suatu negara (Olsa, Sulastri,
& Anas, 2018).
Keadilan dan kesejehateraan bagi masyarakat suatu negara menjadi factor penentu dan pemicu gizi buruk yang berakibat pada terjadinya
stunting. Beberapa penelitian
sebelumnya memperlihatkan bahwa stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan
beberapa faktor. Stunting dikaitkan dengan berat badan lahir, diare, pengetahuan dan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan sanitasi. Pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat terhadap faktor penyebab stunting merupakan hal penting karena
diharapkan dapat berkontribusi untuk mencegah terjadinya stunting dan menurunkan angka stunting di masyarakat (Rahayu,
Pamungkasari, & Wekadigunawan, 2018).
Praktik perawatan kebersihan,
kesehatan, dan pemberian makan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting. Anak-anak dengan pemberian makan yang kurang baik, praktik kebersihan
dan kesehatan yang kurang baik memiliki resiko
yang lebih tinggi mengalami stunting(Zikria,
Masrul, & Bustami, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun
2017 Indonesia termasuk kedalam
negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional
Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi
balita Stunting di Indonesia tahun
2005-2017 adalah 36,4% (WHO, 2017). Menurut laporan WHO yang dikutip dari Riskesdas
tahun 2018 target Stunting di Indonesia adalah 20% namun pada tahun 2013 angka Stunting sebesar 37,2% namun pada tahun 2018 ada penurunan menjadi 30,8%. Meski demikian angka Stunting di Indonesia masih
sangat tinggi dan jauh dari yang ditargetkan oleh WHO.
Pada tahun 2010, prevalensi balita Stunting sebesar 35,6% kemudian mengalami peningkatan menjadi 37,2% pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2016). Prevalensi balita pendek di Indonesia juga tinggi dibandigkan Vietnam (23%),
Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Indonesia menduduki urutan ke 17 dari 117 negara dengan prevalensi 30,8% (Riskesdas, 2018). Kejadian balita Stunting merupakan masalah gizi utama
yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi
(PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya
seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017
(PSG, 2017). Prevalensi balita
pendek di Indonesia juga tinggi
dibandingkan Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand
(16%), dan Singapura (4%). Indoneisa menduduki urutan ke 17 dari 117 negara dengan prevalensi 30,8% (Riskesdas, 2018).
Faktor-faktor penyebab
Stunting terbagi atas faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung antara lain ibu yang mengalami kekurangan nutrisi, kehamilan pretern, pemberian makanan yang tidak optimal, tidak ASI eksklusif dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsungnya adalah pelayanan kesehatan, Pendidikan, sosial budaya dan sanitasi lingkungan (Ramdhani, Handayani, &
Setiawan, 2021). Komitmen global dalam
upaya pencegahan stunting
salah satunya muncul adanya Gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) di bawah PBB akibat tidak tercapainya sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yang salah satu tujuannya adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan.
Indonesia bergabung dengan SUN sejak Desember 2011. MDGs sendiri telah diimplementasikan pada tahun 2000-2015 dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2015-2030. Penurunan
stunting merupakan salah satu
target SDGs yang termasuk pada tujuan
ke-2 yakni mengakhiri kelaparan dan termasuk didalamnya mengatasi gizi buruk. WHO menargetkan penurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.
Menurut WHO ada beberapa
poin penting dalam mengurangi angka stunting, antara lain: pertama, perlunya intervensi dalam mengurangi stunting dan obesitas
pada anak; kedua, adanya monitoring dalam pemberian layakan kesehatan secara merata; ketiga, penyediaan kondisi lingkungan yang higienis dan penyediaan air bersih, sanitasi yang layak, dan saluran air limbah yang layak; keempat, perlindungan social melalui
program transfer tunai dan status gizi
anak; kelima, adanya program yang menjamin ketahanan dan keragaman pangan khususnya bagi kelompok rentan;
keenam, perlunya program
yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi remaja dan ibu; dan ketujuh, pentingnya keterlibatan lintas sektor baik pemerintah
maupun non pemerintah.
Secara umum dapat
ditemukan bahwa rata-rata pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia tahun 2017 sebanyak 1 juta rupiah, 2018 sebanyak 1,1 juta rupiah, tahun 2019 sebanayk 1,1 juta rupiah, tahun 2020 sebanyak 1,2 juta rupiah dan tahun 2021 sebanyak 1, 3 juta rupiah. Jika dirinci berdasarkan pos pengeluarannya,
pada 2021 rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan Rp622,8 ribu per bulan untuk konsumsi
makanan, kemudian Rp641,7 ribu untuk konsumsi
non-makanan.
Berdasarkan wilayah tempat tinggal, rata-rata pengeluaran konsumsi penduduk di perkotaan sebesar Rp1,48 juta per bulan. Lebih besar daripada
penduduk di perdesaan yang
rata-rata konsumsinya Rp971,4 ribu
per bulan. BPS juga mencatat
pengeluaran konsumsi rumah tangga memberi
kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, yakni sebesar 54,42% pada 2021.�
Tabel 1 Pola Pengeluaran makanan masyarakat Indonesia
No |
Jenis
Makanan |
Persentase |
1 |
Makanan dan Minum Jadi |
32,7 % |
2 |
Tembakau dan Sirih |
12,4 % |
3 |
Padi-Padian |
11,7 % |
4 |
Sayur-sayuran |
8 % |
5 |
Ikan |
7,7% |
6 |
Telur dan susu |
5,6% |
7 |
Daging |
4,7% |
8 |
Buah-buahan |
4,3 % |
9 |
Bahan minuman |
3,2 % |
10 |
Minyak dan Lemak |
2,6 % |
11 |
Kacang-kacangan |
2,1 % |
12 |
Konsumsi lainnya |
2,1 % |
13 |
Bumbu-bumbuan |
1,8 % |
14 |
Umbi-umbian |
1,1 % |
Sumber: BPS, 2017�
Tabel 1 Diatas menunjukan bahwa masyarakat Indonesia secara umum sangat gemar mengkonsumsi makanan dan minuman jadi dan kurang mengkonsumsi makanan bergizi seperti ikn, telur,
susu dan daging sehingga memperburuk keadaan gizi masyarakat Indonesia. Menurut Doddy Izwardi (2019) Direktur Gizi Masyarakat
Indonesia tahun 2019 bahwa perlu ada sinergitas
untuk mensosialisasikan dan
memperkenalkan pentingnya gizi yang baik secara terus-nenerus dan berkelanjutana, Sinergitas multi-aktor dan peran stakeholder memerlukan peran berbagai pihak antara lain pemerintah pusat dan daerah (inisiator, fasilitator,
motivator; organisasi profesi
dan akademisi (think tank)
Parlemen (Menjalankan fungsi
legislative), badan PBB (Memperluas dan mengembangkan kegiatan serta fasilitasi pemerintah untuk keberhasilan program); Dunia Usaha (Pengembangan
produk dan program yang mendukung
(Berbagi informasi distribusi sumber daya, penerapan CSR sesuai dasar hukum);
Lembaga sosial kemasyarakatan,
mitra pembangunan (Memperkuat Inisiasi, Kolaborasi, dan Monev), dan media
massa (Mempublikasikan informasi yang mendukung pembangunan kesehatan secara terus menerus).
Dalam hubungan internasional, konsep Human
Security atau keamanan manusia di perkenalkan oleh Mazhab atau aliran
pemikiran Copenhagen school yang di motori oleh Barry Buzan dan Ole Weaver, Mazhab
Copenhagen secara khusus memfokuskan pada aspek-aspek sosial dari keamanan.
Adapun dalam praktik hubungan internasional konsep sekuritisasi telah banyak diterapkan
dalam kebijakan luar negeri dan keamanan dari banyak negara. Konsep ini diaplikasikan
dalam mengkonstruksi berbagai permasalahan sosial termasuk penyakit dan hak-hak minoritas.
Menurut konsep ini,
sekuritisasi merupakan sutau proses dimana masalah-masalah yang tidak dipolitisasi atau diperbincangkan atau yang dipolitisasi diperdebatkan secara public diangkat menjadi isu keamanan
yang perlu ditangani dengan urgensi dan dibenarkan. Awalnya aliran pemikiran ini hanya membahas
militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan namun kemudian diperluas keberbagai sector seperti
Kesehatan, imigrasi, hak asasi manusia, hak minoritas hingga
terrorisme (Buzan, W�ver,
& De Wilde, 1998).�
Dalam pandangan pemikiran ini tentu
saja isu penyakit menjadi ancaman keamanan manusia yang nyata dalam kehidupan seluruh masyarakat didunia.bahwa keamanan
manusia dalam wilayah suatu negara perlu mendapat jaminan dan perlindungan dari negara. Hal ini sejalan dengan
apa yang di gaungkan oleh
WHO sebagai Lembaga Kesehatan internasional
untuk itu konsep Human Security dan Stunting menjadi
bagian yang saling berkaitan karena generasi yang kuat dilindungi oleh negara dengan penyediaan gizi yang baik dan sarana penunjang Kesehatan termasuk para
medis yang handal sehingga ancaman keamanan manusia untuk kondisi bayi
dengan stunting dapat diminimalisir dan warga masyarakat dunia menjadi generasi-generasi yang kuat, sehat dan berkualitas sehingga menjadi modal bagi negara masing-masing dan juga bagi
warga dunia.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian Kualitatif. Menurut Creswell (2012) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
mengeksplorasi dan memahami makna di sejumlah individu atau sekelompok orang
yang berasal dari masalah sosial. dengan menggunakan studi pustaka sebagai
teknik pengumpulan datanya. Penelitian kualitatif ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian seperti Apa, Mengapa, Bagaimana,
Kapan, dari fenomena yang sedang diteliti.� Sehingga penelitian ini berupa menjawab apa, bagaimana dan mengapa keadaan stunting menjadi indicator keamanan manusia dalam perspektif
hubungan internasional dengan tinjauan kasus stunting di Kota Sorong Provinsi
Papua Barat Daya.
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Umum Kota Sorong
Papua Barat Daya yang baru saja menjadi provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua Barat memiliki ibu kota Sorong. Kota Sorong memiliki luas wilayah paling kecil yakni sebesar 1.105 Km� dari total wilayah Papua Barat sebesar 97.024,37 Km�. Kota Sorong merupakan bagian integral dan daerah otonomi percontohan bagi wilayah Provinsi Papua Barat yang terdiri dari 8 Kabupaten dan 1 Kota, Kota Sorong terletak pada bagian sebelah barat Pulau Papua.
Secara astronomi Kota Sorong terletak antara 131�51� Bujur Timur hingga 131�85� Bujur Barat serta antara 00�53� Lintang Selatan hingga 00�90� Lintang Utara, dengan ketinggian 3 meter di atas permukaan laut ini sangat strategis dan memiliki fungsi sebagai pintu gerbang menuju Pulau Papua. Struktur wilayah Kota Sorong meliputi dataran laut dan gugusan pula-pulau sehingga Kota Sorong dapat dikenal sebagai dua kategori yaitu Wilayah Sorong Daratan dan Wilayah Sorong Lautan. Wilayah Sorong Daratan adalah Pusat Kota Sorong dan daerah pinggiran yang merupakan bagian langsung dari pulau Papua, sedangkan Wilayh sorong Lautan adalah gugusan pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kota Sorong.
Kota Sorong dengan nama Sorong sendiri berasal dari kata soren dari bahasa Biak Numfor yang berarti laut yang terdalam dan bergelombang. memiliki luas 1.105 Km� dengan batas-batas geografis sebagai berikut: � Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Dampir Kabupaten Raja Ampat; � Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Makbon Kabupaten Sorong dan Selat Sagawin Kabupaten Raja Ampat; Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Makbon Kabupaten Sorong; dan � Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Aimas dan Distrik Salawati Kabupaten Sorong.
Wilayah Kota Sorong secara administratif terbagi menjadi 6 wilayah distrik (setingkat dengan kecamatan), yaitu Distrik Sorong Barat, Distrik Sorong Timur, Distrik Sorong, Distrik Sorong Kepulauan, Distrik Sorong Utara, serta Distrik Sorong Manoi. Selain itu wilayah Kota Sorong terdiri atas 31 kelurahan, 175 RW dan 649 RT. Distrik Sorong Barat merupakan distrik yang memiliki wilayah paling luas yaitu sebesar 254,15 Km atau 23% dari total luas Kota Sorong dan distrik Sorong Timur merupakan distrik dengan jumlah kelurahan terbanyak, yaitu sebanyak 7 kelurahan.
Selain itu distrik Sorong Barat, distrik dengan jumlah kelurahan terbanyak berikutnya adalah Sorong Barat, Sorong, Sorong Utara dan Sorong Manoi dengan 5 kelurahan. Distrik yang memiliki luas lahan terkecil adalah distrik Sorong sebesar 11,48% dari total wilayah Kota Sorong. Wilayah Kota Sorong terdiri atas daerah datar, landai, agak curam hingga daerah dengan kemiringan lereng >40%. Sebagian besar Kota Sorong merupakan daerah datar (Jitmau, 2017).
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Kota Sorong pada tahun 2021 mencapai 289.767 jiwa. Pada tahun 2020, jumlah penduduk Kota Sorong adalah 284.410 jiwa. Dengan kata lain, penambahan penduduk dalam setahun terakhir mencapai kurang lebih 5.357 jiwa. Sedangkan di tahun 2000, jumlah penduduk hanya mencapai 119.800 jiwa dan pada tahun 2010 jumlahnya mengalami peningkatan sekitar 73.368 jiwa menjadi 193.168 jiwa. Hal ini tergolong
cukup cepat dibandingkan penambahan penduduk di kabupaten lain di Provinsi Papua Barat.
Pertumbuhan penduduk
yang tinggi ini dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah perkembangan Kota Sorong
yang terbilang cepat, bahkan paling maju dibandingkan kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat sehingga mampu menarik penduduk dari luar wilayah untuk bermigrasi. Selain itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tergolong lebih lengkap berdampak pada membaiknya kualitas kesehatan dan pendidikan sumber daya manusia
di Kota Sorong daripada kabupaten-kabupaten
yang lain.
Faktor lain yang tidak kalah penting
adalah kondisi sosial di Kota Sorong yang minim konflik
dan lebih kondusif dibandingkan wilayah lain di Provinsi
Papua Barat. Luas wilayah Kota Sorong sebesar 1.105
km� dengan jumlah penduduk sebanyak 289.767 jiwa sehingga kepadatan
penduduk sekitar 262 jiwa per km�. Meskipun demikian, penyebaran penduduk Kota Sorong di setiap distrik cenderung tidak merata. Semakin
luas wilayah suatu distrik tidak diiringi
dengan jumlah penduduk yang semakin banyak.
Hal ini
disebabkan sebagian besar penduduk lebih memilih tinggal
di distrik yang lebih potensial secara ekonomi dan memiliki infrastruktur serta fasilitas umum yang lebih lengkap. Berdasarkan jenis kelamin, pada tahun 2021 jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan dengan rasio jenis
kelamin (sex ratio) adalah
111,08. Sex ratio sebesar 111,08 artinya
dalam setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 111 orang penduduk laki-laki.
Fasilitas Kesehatan yang dimiliki di kota ini adalah 7unit rumah sakit, 7unit Poliklinik, 10unit Puskesmas,
25unit Pustu (Puskesmas Pembantu), dan 21 Apotek. Dari
7unit rumah sakit dapat dirinci 1unit rumah sakit milik
pemerintah dan 6unit rumah sakit swasta. Distrik
yang memiliki rumah sakit adalah Distrik
Sorong Timur (1 RS pemerintah), Distrik
Sorong (1 RS swasta), Distrik
Malaimsimsa (1 RS swasta), Distrik Sorong Kota (1 RS swasta),
dan Distrik Sorong Manoi (3 RS swasta).
Sarana kesehatan lainnya seperti puskesmas dan poliklinik juga berperan dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Fasilitas puskesmas
hampir tersedia
masing-masing minimal 1 unit di setiap distrik kecuali Distrik Sorong Kota tidak memiliki, sedangkan Distrik Sorong Manoi terdapat 2 puskesmas. Untuk rincian ketersediaan pustu, yaitu 3 unit di Distrik Sorong Barat, 3 unit di Distrik
Sorong Timur, 3 unit di Distrik Sorong Utara, 2 unit
di Distrik Sorong, 3 unit di Distrik
Sorong Manoi, 3 unit di Distrik Maladummes,
4 unit di DIstrik Klaurung,
2 unit di Distrik Malaimsimsa,
dan 3 unit di Distrik Sorong Kepulauan.
Sementara Apotek tersedia di Distrik Sorong Barat
(2 unit).
Distrik Maladummes
(1 unit), Distrik Sorong Kota (2 unit) Distrik Sorong Manoi (4 unit), Distrik
Klaurung (1 unit), Distrik
Sorong (2 unit), Distrik Sorong Timur (4 unit), Distrik Sorong Utara (2 unit) dan Distrik
Malaimsimsa (3 unit). Distrik
Sorong Timur, Distrik Malaimsimsa
dan Distrik Sorong Manoi merupakan
distrik yang terbilang
paling lengkap segala jenis fasilitas kesehatan dikarenakan distrik ini memiliki
jumlah penduduk padat/daerah konsentrasi
penduduk di Kota Sorong.
Selain fasilitas
kesehatan, hal lain untuk mendukung tingkat kesehatan masyarakat adalah ketersediaan tenaga kesehatan atau tenaga medis. Pada tahun 2021, jumlah dokter yang tersedia di Kota
Sorong sebanyak 115orang. Jumlah
tersebut mengalami peningkatan yang tinggi jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 20 orang. Kemudian, jumlah dokter gigi adalah
20 orang. Untuk tenaga kesehatan lainnya dirinci sebagai berikut: 134 bidan, 564 perawat, 227 bidan, dan 70 tenaga kefarmasian.
Semua tenaga
medis di Kota Sorong tahun
2021 mengalami peningkatan
yang signifikan jika dibandingkan tahun 2020. Jumlah tenaga kesehatan
di Kota Sorong perlu ditingkatkan
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk yang tergolong cukup cepat dibandingkan
kabupaten-kabupaten lain di Papua Barat. Pada tahun 2021, Jumlah tenaga kerja kesehatan
di Kota Sorong antara lain, 115 dokter
dan 20 orang dokter gigi. Rasio antara jumlah
dokter yang tersedia dengan jumlah penduduk
yang membutuhkan layanan kesehatan seharusnya proporsional. Secara umum 1 orang dokter harus melayani 2.519 orang.hal ini tentu
perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah.
Keadaan Stunting di Kota Sorong 2023
Gambaran kesehatan
di Kota Sorong masih belum mendekat kata sempurna, pasalnya masih banyak warga yang tercatat memiliki rawat kesehatan tertentu, salah satunya stunting.
Dimana berdasarkan data dinas
kesehatan Kota Sorong, angka
stunting saat ini mencapai 898 kasus. Hal ini terjadi banyak
pada keluarga kurang mampu, mereka hingga
saat ini masih terkendala pengobatan hingga harus menjalani hidup dengan kondisi
kesehatan yang belum maksimal.
Seperti yang dirasakan
sejumlah warga di Kelurahan Klasabi, banyak ditemukan anak stunting, akibat dari kurangnya gizi dan asupan makanan yang baik. Sementara itu dinas
kesehatan menyebut meningkatnya kasus stunting di
Kota Sorong, akibat dari kurangnya kesadaran orang tua untuk pemeriksaan
di posyandu. Hingga saat ini Dinas Kesehatan memiliki program pemberian
vitamin A2 kali dalam setahun
yakni di bulan Februari dan Agustus, untuk menutrisi anak agar dapat mencegah stunting. Diharapkan dengan segala upaya yang ada dapat menekan
meningkatnya angka kasus stunting di Kota Sorong.�
Sebanyak 700 anak
di Kota Sorong, Papua Barat Daya mengalami stunting (masalah gizi) sepanjang
tahun 2022. Hal itu diungkapkan oleh Penjabat Wali
Kota Sorong George Yarangga. "Dari data yang ada, terdapat sebanyak
700 anak di Kota Sorong mengalami
stunting pada 2022 lalu," kata Yarangga di Sorong, Kamis (23/2/2023). George Yarangga mengemukakan, kasus stunting di Papua Barat Daya memang
mengalami kenaikan sejak tahun 2021 hingga 2022. Tahun 2021, kasus stunting mencapai 26,2 persen. Sedangkan tahun 2022, kasus stunting naik
3,8 persen hingga di angka 30 persen.
Di Kota Sorong, kata George Yaranggga, kasus stunting pada tahun 2021 yakni 27,2 persen, Kemudian meningkat 7,3 persen pada tahun 2022 atau mencapai 700 anak.Tren
kasus stunting di wilayah Kelurahan
Klademak, Distrik Sorong,
Kota Sorong, Papua Barat Daya, kini masih tinggi. Oleh karena itu, wilayah Klademak, Kota Sorong, ditetapkan
sebagai lokus atau lokasi terbanyak
stunting. Hal itu dijelaskan
Kepala Puskesmas Sorong
Agustina Naa, saat ditemui
di Klademak, Kota Sorong. "Kasus stunting di Klademak, Kota Sorong, yang termonitor
oleh Puskesmas Sorong berjumlah
15 anak," ujar
Agustina kepada TribunSorong.com, Jumat (28/4/2023).
Dari data yang masuk, lanjutnya, jumlah keseluruhan stunting di
wilayah tersebut tercatat sekira 30 kasus. Rata-rata, anak yang masuk dari data stunting berdomisili di
wilayah Kelurahan Klademak,
Kota Sorong. "Kalau lokus stunting terbanyak ada di wilayah Klademak, Kota Sorong, kalau daerah lain hanya satu atau dua," tuturnya. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi
Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di Papua Barat mencapai
30% pada 2022. Besaran angka
stunting provinsi tersebut menempati peringkat ke-6 secara nasional. Prevalensi balita stunting Papua
Barat meningkat 3,8 poin dari tahun sebelumnya.
Pada 2021, prevalensi
balita stunting di provinsi
ini sebesar 26,2%. Terdapat 5 kabupaten/kota dengan prevalensi
balita stunting di atas
rata-rata angka provinsi
Papua Barat. Sisanya, 8 kabupaten/kota di bawah angka
provinsi. Kabupaten Pegunungan Arfak tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi balita stunting tertinggi di
Papua Barat, yakni mencapai
51,5% pada 2022. Angka balita stunting di kabupaten ini melonjak
drastis dari tahun sebelumnya sebesar 40,1%. Wilayah dengan prevalensi balita stunting terbesar di Papua Barat pada 2022 selanjutnya
Kabupaten Tambrauw sebesar 39,1% dan Kabupaten
Sorong Selatan sebesar 36,7%.
Adapun prevalensi
balita stunting di Kabupaten
Teluk Bintuni tercatat
paling kecil di Papua Barat, yakni
22,8%. Setelahnya, ada Kabupaten Sorong sebesar 23,8%, serta Kabupaten Teluk Wondama sebesar
26,1%. Berikut prevalensi balita stunting di Papua Barat berdasarkan
kabupaten/kota pada 2022: Kabupaten Pegunungan Arfak: 51,5%� Kabupaten Tambrauw: 39,1% Kabupaten Sorong
Selatan: 36,7% Kabupaten Manokwari:
36,6% Kabupaten Raja Ampat: 31,1% Kabupaten
Kaimana: 29,2% Kabupaten Fak-fak:
29% Kabupaten Maybrat: 27,3%
Kota Sorong: 27,2% Kabupaten Manokwari
Selatan: 27,2% Kabupaten Teluk
Wondama: 26,1% Kabupaten
Sorong: 23,8% Kabupaten Teluk
Bintuni: 22,8%. berdasarkan data ini
terdapat perbedaan angka Stunting.
Apa Penyebab Stunting Meningkat
Penyebab Stunting Ada beberapa
faktor yang mendasari terjadinya stunting, antara lain yaitu asupan kalori
yang tidak cukup, saktor sosial ekonomi
akibat kemiskinan, factor rendahnya Pendidikan dan pengetahuan
yang rendah mengenai praktik pemberian makan untuk bayi
dan batita atau kecukupan ASI, kurangnya protein hewani pada masa pemebrian ASI,
juga akibat penelantaran,
factor budaya setempat, ketersediaan bahan makanan diwilayah setempat.
Lingkungsn yang buruk/
tidak sehat, selain itu factor lain adalah kelainan metabolism bawaan. Dengan kondisi demikian maka perlu dipahami
bagaimana agar stunting dapat
dicegah yaitu dilansir dari kementerian
Kesehatan Indonesia bahwa stunting dapat dicegah dengan
cara saat remaja Putri, Skrining anemia dan
konsumsi tablet tambah darah. Saat Masa Kehamilan Disarankan untuk rutin memeriksakan kondisi kehamilan ke dokter. Perlu
juga memenuhi asupan nutrisi yang baik selama kehamilan. Dengan makanan sehat dan juga asupan mineral seperti zat besi,
asam folat, dan yodium harus tercukupi.
Balita harus
di imunisasi secara rutin agar terhindar dari berbagai penyakit
dan menerapkan Sesaat setelah bayi lahir,
segera lakukan inisiasi meyusui dini agar berhasil menjalankan ASI Eksklusif. Setelah itu, lakukan
pemeriksaan ke dokter atau ke
Posyandu dan Puskesmas secara berkala untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak, Berikan ASI eksklusif sampai anak berusia 6 (enam) bulan dan diteruskan dengan MPASI yang sehat dan bergizi, pemantauan tumbuh dan tinggi anak, gaya
hidup yang bersih dan sehat yaitu Terapkan
gaya hidup bersih dan sehat, seperti mencuci tangan sebelum makan, memastikan air yang diminum.
Kebijakan Pemerintah Kota
Sorong dalam Menangani
Stunting
Pemerintah Indonesia telah
berkomitmen dalam menurunkan angka stunting. Sebelumnya, Indonesia juga telah mempunyai kebijakan kesehatan yang diatur dalam UU No 36 Tahun 2009. Kebijakan ini sebagai
wujud untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi masalah kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah
sampai saat ini. Menurut Atmarita,
beberapa masalah yang dihadapi oleh Indonesia adalah rendahnya pemberian ASI eksklusif yang belum mencapai 50%.
Selain itu,
asupan anak usia > 6 bulan sebagian cenderung mengonsumsi karbohidrat yang mencapai 95%, sangat kurang dari asupan protein, buah, dan sayur, sehingga asupan gizinya tidak terpenuhi.
Ditambah lagi, permasalahan lemahnya pemantauan penggunaan susu
formula dan masih minimnya fasilitas ruang menyusui (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018b). Implementasi SDGs diselaraskan dengan nawacita Jokowi dan perencanaan pembangunan nasional melalui RPJMN tahun 2015-2019 dan
ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2017.
Hal ini
juga ditindaklanjuti dengan
adanya Program Indonesia Sehat oleh Kementerian
Kesehatan melalui sasaran pembangunan kesehatan pada tahun 2015-2019 yang salah satunya
melalui pembangunan gizi masyarakat khususnya untuk pengendalian angka stunting. Kebijakan lain dalam mendukung percepatan pencegahan stunting di Indonesia, misalnya
adanya UU Pangan No 18 Tahun
2012 yang diikuti dengan
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi melalui Peraturan Presiden No 42 Tahun 2013 dan Peraturan Presiden No 83/ 2017.
Selain itu,
juga adanya Inpres No 1 Tahun 2017 mengenai Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat bahkan juga ada kebijakan Peraturan
Menteri Desa dan PDT No 16 Tahun 2018 tentang prioritas Dana Desa yang
salah satunya digunakan untuk pencegahan stunting. Kebijakan yang ada di Indonesia terutama pada level pusat telah banyak mengakomodir
pencegahan stunting (Ulfah
& Nugroho, 2020).
Menindaklanjuti hal tersebut, Pemerintah Kota Sorong menyiapkan strategi khusus dalam menangani stunting. Pemkot Sorong melakukan jemput bola dan berkoordinasi dengan distrik hingga kelurahan. "Kami akan terus berkoordinasi
dengan pihak terkait agar masalah stunting bisa di tangani dengan cepat sejalan
dengan kebijakan pemerintah pusat," kata dia.
Dinas terkait
didesak membuat program
yang menyasar masyarakat, khususnya yang memiliki balita stunting. "Dari 10 distrik
yang tercatat mengalami kasus stunting akan dibuat program orangtua asuh yang diwajibkan setiap dinas akan
menyiapkan dana sebesar Rp
1 hingga Rp 2 juta. Dikerahkan tim untuk turun ke
lapangan dalam rangka penanganan kasus stunting dengan memberikan asupan bergizi bagi anak.
Angka prevalensi stunting di Provinsi
Papua Barat sebelum di mekarkan
menjadi Papua Barat Daya berada
diatas angka nasional yakni sebesar 26,02% ataudiperkirakan jumlah bayi di Provinsi ini mencapai
26,819 anak yang tersebar
pada masing-masing kabupaten dan kota.
Hal ini dapat dilihat dalam tabel
1 dibawah ini.
Tabel 2 Jumlah
Stunting di Prov Papua Barat tahun 2022
No |
Nama Kabupaten/Kota |
Jumlah Bayi Stunting |
Presentase (%) |
1 |
Kabupaten Fak-Fak |
2,057 |
26,0% |
2 |
Kabupaten Kaimana |
1,967 |
28,5% |
3 |
Kabupaten Teluk Wondama |
1,353 |
31,0% |
4 |
Kabupaten Teluk Bintuni |
2,004 |
27,5 % |
5 |
Kabupaten Manokwari |
4,547 |
26,9 % |
6 |
Kabupaten Sorong Selatan |
2,225 |
39,6% |
7 |
Kabupaten Sorong |
2,539 |
28,7 % |
8 |
Kabupaten Raja Ampat |
1,795 |
31,1% |
9 |
Kabupaten Tambrauw |
682 |
39,6 % |
10 |
Kabupaten Maybrat |
818 |
34,5 % |
11 |
Kabupaten Manokwari Selatan |
689 |
28,5 % |
12 |
Kabupaten Pegunungan Arfak |
1,107 |
40,1 % |
13 |
Kota Sorong |
5,036 |
19,9 % |
Sumber:
diolah dari
https://kaimananews.com/jumlah-balita-stunting-di-papua-barat-26-819-tertinggi-kota-sorong/
Berdasarkan tabel 2
diatas terlihat bahwa jumlah tertinggi
atau yang terbanyak jumlah stunting adalah di Kota
Sorong. Factor penyebab meningkatknya
stunting sesuai referensi
di bagian sebelumnya pembahasan ini menunjukan bahwa kurangnya pengetahuan ibu menjadi salah satu factor penyebab, selain itu tingkat
pendapatan yang rendah akibat kemiskinan juga menjadi factor lain serta lingkungan yang tidak sehat menajdikan tingginya angka stunting di provinsi ini.
Strategi Penanganan Stunting
Strategi yang dapat
dilakukan untuk menangani stunting di Kota Sorong dan juga Kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat Daya adalah Pertama, memberikan asupan gizi kepada
ibu di wilayah ini melaui bidan kampung dan distrik serta melibatkan
partisipasi masyarakat untuk mendorong pemberian gizi dapat terjadwal dan dilakukan dengan baik; Kedua, menyediakan
sarana prasarana puskemas dan Puskesmas pembantu yang bekerja optimal memberi pelayanan gizi kepada ibu-ibu
diwilayah kota Sorong;
Ketiga, memberikan
sosialisasi tentang bahaya stunting dan cara pencegahannya kepada seluruh lapisan masyarakat di Kota Sorong; Keempat;
tingkatkan pasrtisipasi warga Kota Sorong untuk terus menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sehingga mencegah timbulnya berbagai penyakit termasuk stunting, patisipasi ini melibatkan RT/RW dan tokoh adat, agama, perempuan, pemuda sehinga pesan perbaikan
gizi dan hidup bersih dapat terus
dilakukan secara Bersama
dan gotong royong;
Kelima; berikan
insentif dan penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dan ada didalam upaya pencegahan
dan perbaikan gizi sehingga semua pihak akan berupaya
memberikan yang terbaik bagi penanganan stunting di Kota
Sorong; Keenam, menambah tenaga medis dan perawat serta ahli
gizi diwilayah Kota Sorong serta juga kader-kader pos yandu ditambah disetiap kampung bahkan RT/RW sehingga angka stunting dapat segera diturunkan;
Ketujuh, perlu
goodwill/ niat baik dari stakeholder/pemerintah dan semua pihak yang terlibat didalamnya untuk memiliki tanggungjawab moral dan pemahaman
yang sama tentang pentingnya perang melawan gizi buruk
sehingga Kota Sorong bebas dari stunting dan tercipta generasi-generasi penerus yang sehat, kuat dan berkualitas untuk membangun Kota Sorong, Indonesia dan dunia.
Kesimpulan
Stunting
sebagai masalah masyarakat dunia perlu ditangani secara baik dan
bertanggungjawab oleh semua pihak. Kota sorong sebagai kota Pelabuhan dan kota
terbesar kedua setelah kota Jayapura di Tanah Papua perlu menangani dan
mencegah stunting dengan memberikan asupan gizi yang baik dan benar kepada ibu
hamil, perlu menyediakan sarana dan prasarana penunjnag Kesehatan serta tenaga
medis dan gizi yang cukup bagi masyarakat di kota ini.
Selain
itu perlu kerjasama semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, tokoh adat,
agama, perempuan, pemuda dan para pebisinis sehingga dapat meminimalisir kasus
Stunting di Kota Sorong. Gizi buruk akibat kurangnya pemahaman ibu dan
perempuan, serta lingkungan yang kurang sehat juga menjadi factor pemicu
meningkatnya kasus stunting di Kota Sorong. Apapun keadaannya, pemerintah
sebagai pelindung masyarakat perlu dan wajib memberikan rasa aman bagi
masyarakat di Kota Sorong sehingga terwujud masyarakat yang sehat dan kuat
untuk kemajuan pembangunan di wilayah ini dan bagi Indonesia sehingga tujuan
pembangunan berkelanjutan dalam system internasional terwujudnyatakan.
Buzan, Barry, W�ver, Ole, & De Wilde, Jaap.
(1998). Security: A new framework for analysis. Lynne Rienner
Publishers.
Creswell,
John W. (2012). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan
mixed, Pustaka Pelajar. Yokyakarta.
Isriawaty,
Fheriyal Sri. (2015). Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas
Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Tadulako University.
Izwardy,
Doddy. (2019). Kebijakan dan strategi penanggulangan stunting di Indonesia. Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat, 1�64.
Jitmau,
Mersy F. N. (2017). Identifikasi peran Pelabuhan Kota Sorong terhadap
Hinterlandnya. SKRIPSI-2017.
Olsa,
Edwin Danie, Sulastri, Delmi, & Anas, Eliza. (2018). Hubungan sikap dan
pengetahuan ibu terhadap kejadian stunting pada anak baru masuk Sekolah Dasar
di kecamanatan Nanggalo. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 523�529.
Rafika,
Muhana, & Gz, S. (2019). Dampak stunting pada kondisi psikologis anak. Buletin
Jagaddhita, 1(1).
Rahayu,
Ria Muji, Pamungkasari, Eti Poncorini, & Wekadigunawan, C. S. P. (2018).
The biopsychosocial determinants of stunting and wasting in children aged 12-48
months. Journal of Maternal and Child Health, 3(2), 105�118.
https://doi.org/10.26911/thejmch.2018.03 .02.03
Rahmawati,
Dian, & Agustin, Lia. (2020). Cegah stunting dengan stimulasi
psikososial dan keragaman pangan. AE Publishing.
Ramdhani,
Awa, Handayani, Hani, & Setiawan, Asep. (2021). Hubungan Pengetahuan Ibu
Dengan Kejadian Stunting. Prosiding Seminar Nasional LPPM UMP, 2,
28�35.
Ratnawati,
Mamik, Probowati, Ririn, Prihatini, Monika Sawitri, Ningtyas, Septi Fitrah,
& Ulfa, Ana Farida. (2023). Pemberian Makanan Tambahan Modifikasi Terhadap
Status Gizi Balita. Jurnal Health Sains, 4(2), 104�111.
Samsuni,
Samsuni. (2017). Manajemen sumber daya manusia. Al-Falah: Jurnal Ilmiah
Keislaman Dan Kemasyarakatan, 17(1), 113�124.
Siagian,
Ade Onny. (2021). Sumber Daya Manusia Unggul 4.0. SDM Unggul Di Industry 4.0,
17.
Ulfah,
Irma Fitriana, & Nugroho, Arief Budi. (2020). Menilik Tantangan Pembangunan
Kesehatan di Indonesia: Faktor Penyebab Stunting di Kabupaten Jember. Sospol:
Jurnal Sosial Politik, 6(2), 201�213.
Zikria,
Wahyu, Masrul, Masrul, & Bustami, Lusiana El Sinta. (2018). The Association
Between Mother�s Care Practices With Stunting Incident In Children Age 12-35
Months In Air Dingin Primary Health Center Padang 2018. Journal of Midwifery,
3(2), 176�193.
Copyright holder: Melyana R. Pugu (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |