Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

BEBAS STUNTING SEBAGAI INDIKATOR HUMAN SECURITY BAGI MASYARAKAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DAYA DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL

 

Melyana R. Pugu

Universitas Cenderawasih

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan memberikan analisa keadaan Stunting di Kota Sorong Provinsi Papua. Stunting adalah penyakit yang diakibatkan oleh kurangnya asupan gizi yang baik bagi tumbuh kembang bayi. Dimana bayi dengan keadaan stunting akan memiliki tinggi badan yang kurang atau lebih pendek dan mudah terserang penyakit. Perang melawan stunting telah dilakukan oleh seluruh dunia dengan dipelopori oleh organisasi internasional resmi perserikatan bangsa-bangsa, World Health Organization dan disetujui dalam berbagai skema kerjasama internasional termasuk skema pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena sosial dengan data dan kondisi yang ada untuk mendapat jawaban atas kondisi stunting dan pencegahan stunting di Kota Sorong. Luaran penelitian ini menemukan bahwa pemahaman ibu dan jumlah sarana dan prasarana serta tenaga medis serta lingkungan yang bersih dan sehat menjadi factor utama pencegahan stunting di Kota Sorong dan pentingnya peran pemerintah untuk terus melindungi warga dari ancaman stunting dengan pemberian asupan gizi dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat sehingga masyarakat terlibat aktif dalam penanganan stunting di Kota Sorong dan ancaman penyakit stunting sebagai bentuk ancaman keamanan manusia dapat diminimalisir dan bebas dari kondisi stunting untuk masa depan yang baik.

 

Kata Kunci: Human Security, Stunting, Kota Sorong, Papua Barat Daya.

 

Abstract

This study aims to provide an analysis of the state of stunting in Sorong City, Papua Province. Stunting is a disease caused by lack of good nutritional intake for infant growth and development. Where babies with stunting conditions will have less or shorter height and are susceptible to disease. The fight against stunting has been waged worldwide spearheaded by the official international organization of the United Nations, the World Health Organization and approved in various international cooperation schemes including sustainable development schemes. This study uses qualitative research methods, namely research that describes and explains social phenomena with existing data and conditions to get answers to stunting conditions and stunting prevention in Sorong City. The results of this study found that the understanding of mothers and the number of facilities and infrastructure as well as medical personnel as well as a clean and healthy environment are the main factors in stunting prevention in Sorong City and the importance of the government's role to continue to protect citizens from the threat of stunting by providing nutrition and continuous socialization to the community so that the community is actively involved in handling stunting in Sorong City and the threat of stunting disease as a form of security threat Humans can be minimized and free from stunting conditions for a good future.

 

Keywords: Human Security, Stunting, Kota Sorong, Papua Barat Daya.

 

Pendahuluan

Negara yang kuat adalah negara yang menjadikan penduduk di wilayahnya sebagai kekuatan untuk membangun negara. Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 277,534,122 jiwa menurut Worldmeter (2023) menjadikan penduduk Indonesia sebagai kekuatan penting bagi negara. Oleh karenanya dibutuhkan penduduk yang sehat dan kuat dengan kualitas hidup yang baik sehingga tercipta generasi penerus bangsa yang kuat, sehat dan berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.

Kebutuhan akan sumber daya manusia yang sehat ini diwujud nyatakan dengan melihat jumlah penduduk Indonesia yang sehat dan juga kondisi tubuh yang prima termasuk ukuran tubuh (Siagian, 2021);(Samsuni, 2017). Didalam Pembangunan kesehatan yang merupakan bagian dari pembangunan nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal selaras dengan tujuan dan norma Isriawaty (2015) yang didasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3 bahwa kesehatan merupakan hak asasi dan hak dasar manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh pemerintah. Melalui UU kesehatan, pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat.

Didalam tubuh yang sehat terdapat kandungan gizi yang cukup dan memadai. Presiden Jokowi telah berkomitmen dalam menurunkan tingkat kekurangan gizi pada anak yang dikenal sebagai stunting melalui strategi 5 pilar. Pilar 1 merupakan komitmen dan visi kepemimpinan yang digawangi oleh Setwapres dan TNP2K. Pilar 2 di bawah koordinasi Kominfo dan Kemeskes dalam melaksanakan kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku. Pilar 3 mencakup konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah dan desa oleh Bappenas dan Kemendagri, serta mencakup kementerian/ lembaga nasional lain. Pilar 4 mencakup gizi dan ketahanan pangan oleh Kementan dan Kemenkes.

Terakhir pilar 5 mencakup pemantauan dan evaluasi oleh Setwapres dan TNP2K. Dalam RAPBN 2020, Kemenkes mendapatkan alokasi anggaran Rp. 57,4 triliun. Salah satu yang menjadi fokus pembenahan Kemenkes dalam penggunaan anggaran 2020 kelak adalah menurunkan stunting selaras dengan visi misi presiden. Percepatan penanganan stunting tahun 2020 kelak diperluas ke 260 kabupaten/kota dari yang sebelumnya 160 kabupaten/kota pada 2019. Bahwa didalam RPJMN 2020-2024 penekanan angka stunting ditargetkan menjadi 19% pada 2024 dari yang saat ini 30,8%. Upaya ini harus dilakukan dengan semaksimal mungkin dengan intervensi gizi spesifik dan sensitive.

Menurut World Health Organization (WHO) stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (Ratnawati, Probowati, Prihatini, Ningtyas, & Ulfa, 2023). Selanjutnya menurut WHO (2020) stunting adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang / tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang / kronis yang terjadi dalam 1000 HPK.

Melansir laman Kemenkes RI, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan tumbuh kembang pada anak, yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Selain itu, infeksi berulang dan kurangnya stimulasi psikososial pada seribu hari pertama juga meningkatkan risiko stunting (Rahmawati & Agustin, 2020). Ciri anak stunting adalah pendek dan kurang perkembangan kognitif (Rafika & Gz, 2019). Meski demikian, bukan berarti semua anak pendek mengalami stunting.

Anak yang stunting cenderung memiliki prestasi Pendidikan yang buruk dibandingkan anak yang tidak stunting. Tubuh pendek pada anak stunting terjadi lantaran mengalami kekurangan gizi menahun, sehingga ia tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Selain pendek dan kemampuan berpikirnya cenderung di bawah rata-rata anak sebayanya, anak stunting biasanya juga lebih mudah sakit. kondisi berbahaya, karena bisa menimbulkan gangguan fungsi tubuh yang permanen hingga anak dewasa.

Anak stunting bisa mengalami gangguan gizi, yang bisa berpengaruh terhadap perkembangan otak, fisik dan organ-organ metaboliknya. Ketika perkembangan otak anak tidak optimal, maka tentu akan memengaruhi kemampuan kognitif anak dan pertumbuhan badannya yang cenderung pendek. Anak dengan stunting juga berisiko mengalami hipertensi, obesitas, sakit jantung dan lain sebagainya. Bukan hanya masalah kesehatan fisik, stunting juga berdampak pada psikologis anak, mulai dari emosi, kemampuan bersosialisasi, hingga masalah motorik.�

Jika mendasarkan pada standar dari WHO terkait dengan ambang batas maksimal angka stunting yang mematok angka 20% atau seperlima dari jumlah total anak balita, maka pencapaian penurunan angka stunting di Indonesia sampai tahun 2018 yang baru mencapai 30,8% dapat dikatakan masih jauh dari target. Stunting menjadi indicator atau penentu keamanan manusia/ Human security karena konsep keamanan sendiri bukan hanya berkaitan dengan perang dan kekerasan tetapi juga berkaitan dengan pemberian rasa aman dan perlindungan yang diberikan dari negara kepada warga masyarakatnya.

Pemberian rasa aman yang dimaksudnya pula bukan tentang adanya ancaman dari pihak luar tetapi bagaimana masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan fasilitas pelayanan yang baik sehingga kehidupan yang dijalani lebih berkualitas sehingga tujuan negara dalam kaitannya dengan menciptakan generasi yang unggul sebagai asset negara dapat terjadi. Untuk itu tulisan ini berupa memberikan penjelasan terkait keadaan dan penanganan Stunting di Provinsi Papua Barat yang di wakili oleh Kota Sorong dengan menggunakan analisa keamanan manusia dalam perspektih hubungan internasional.

Negara-negara didunia saat ini tengah membangun keadaan dalam negerinya dengan memperhatikan norma-norma dan kaidah-kaidah yang diterapkan dalam system internasional diantaranya melaui badan-badan Kesehatan yang ada di Perserikatan bangsa-bangsa seperti oleh World Health organization (WHO). World Health Organization (WHO) melalui sasaran kedua dari Sustainable Development Goals (SDGs) menyatakan bahwa segala bentuk malnutrisi akan diselesaikan pada tahun 2030, termasuk mencapai target internasional 2025 untuk menurunkan stunting dan wasting pada balita (WHO, 2016).

Target SDGs lainnya untuk pencapaian tahun 2030 mencakup sistem produksi pangan yang berkelanjutan, peningkatan kerja sama internasional, cadangan pangan untuk membantu membatasi perubahan ekstrim harga pangan, dan mengakhiri kelaparan serta segala bentuk kekurangan gizi dalam situs resmi WHO di sebutkan bahwa Malnutrisi mengacu pada kekurangan atau kelebihan dalam asupan nutrisi, ketidakseimbangan nutrisi penting atau gangguan pemanfaatan nutrisi.

Beban ganda malnutrisi terdiri dari kekurangan gizi dan kelebihan berat badan dan obesitas, serta penyakit tidak menular terkait diet. Kurang gizi bermanifestasi dalam empat bentuk besar: wasting, stunting, kekurangan berat badan, dan defisiensi mikronutrien. Wasting didefinisikan sebagai berat badan rendah untuk tinggi. Ini sering menunjukkan penurunan berat badan baru-baru ini dan parah, meskipun juga dapat bertahan untuk waktu yang lama. Biasanya terjadi ketika seseorang tidak memiliki makanan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan / atau mereka memiliki penyakit yang sering atau berkepanjangan.

Wasting pada anak-anak dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi jika tidak ditangani dengan benar. Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan rendah untuk usia. Ini adalah hasil dari kekurangan gizi kronis atau berulang, biasanya terkait dengan kemiskinan, kesehatan dan gizi ibu yang buruk, sering sakit dan / atau pemberian makanan dan perawatan yang tidak tepat pada awal kehidupan. Stunting mencegah anak-anak mencapai potensi fisik dan kognitif mereka.

Underweight didefinisikan sebagai berat badan rendah untuk usia. Seorang anak yang kekurangan berat badan mungkin terhambat, terbuang atau keduanya. Kekurangan mikronutrien adalah kekurangan vitamin dan mineral yang penting untuk fungsi tubuh seperti memproduksi enzim, hormon dan zat lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Keadaan anak/bayi Stunting merupakan gangguan pertumbuhan karena malnutrisi yang terjadi pada anak-anak berusia dibawah lima tahun. Secara fisik anak dengan stunting keadaan tubuh pendek atau sangat pendek yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur dengan ambang batas (zscore) antara -3 SD sampai dengan < -2 SD. Pertumbuhan anak mencerminkan kondisi masyarakat suatu negara (Olsa, Sulastri, & Anas, 2018).

Keadilan dan kesejehateraan bagi masyarakat suatu negara menjadi factor penentu dan pemicu gizi buruk yang berakibat pada terjadinya stunting. Beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan beberapa faktor. Stunting dikaitkan dengan berat badan lahir, diare, pengetahuan dan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan sanitasi. Pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat terhadap faktor penyebab stunting merupakan hal penting karena diharapkan dapat berkontribusi untuk mencegah terjadinya stunting dan menurunkan angka stunting di masyarakat (Rahayu, Pamungkasari, & Wekadigunawan, 2018).

Praktik perawatan kebersihan, kesehatan, dan pemberian makan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting. Anak-anak dengan pemberian makan yang kurang baik, praktik kebersihan dan kesehatan yang kurang baik memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami stunting(Zikria, Masrul, & Bustami, 2018).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 Indonesia termasuk kedalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita Stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (WHO, 2017). Menurut laporan WHO yang dikutip dari Riskesdas tahun 2018 target Stunting di Indonesia adalah 20% namun pada tahun 2013 angka Stunting sebesar 37,2% namun pada tahun 2018 ada penurunan menjadi 30,8%. Meski demikian angka Stunting di Indonesia masih sangat tinggi dan jauh dari yang ditargetkan oleh WHO.

Pada tahun 2010, prevalensi balita Stunting sebesar 35,6% kemudian mengalami peningkatan menjadi 37,2% pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2016). Prevalensi balita pendek di Indonesia juga tinggi dibandigkan Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Indonesia menduduki urutan ke 17 dari 117 negara dengan prevalensi 30,8% (Riskesdas, 2018). Kejadian balita Stunting merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.

Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (PSG, 2017). Prevalensi balita pendek di Indonesia juga tinggi dibandingkan Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%). Indoneisa menduduki urutan ke 17 dari 117 negara dengan prevalensi 30,8% (Riskesdas, 2018).

Faktor-faktor penyebab Stunting terbagi atas faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung antara lain ibu yang mengalami kekurangan nutrisi, kehamilan pretern, pemberian makanan yang tidak optimal, tidak ASI eksklusif dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsungnya adalah pelayanan kesehatan, Pendidikan, sosial budaya dan sanitasi lingkungan (Ramdhani, Handayani, & Setiawan, 2021). Komitmen global dalam upaya pencegahan stunting salah satunya muncul adanya Gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) di bawah PBB akibat tidak tercapainya sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yang salah satu tujuannya adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan.

Indonesia bergabung dengan SUN sejak Desember 2011. MDGs sendiri telah diimplementasikan pada tahun 2000-2015 dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2015-2030. Penurunan stunting merupakan salah satu target SDGs yang termasuk pada tujuan ke-2 yakni mengakhiri kelaparan dan termasuk didalamnya mengatasi gizi buruk. WHO menargetkan penurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.

Menurut WHO ada beberapa poin penting dalam mengurangi angka stunting, antara lain: pertama, perlunya intervensi dalam mengurangi stunting dan obesitas pada anak; kedua, adanya monitoring dalam pemberian layakan kesehatan secara merata; ketiga, penyediaan kondisi lingkungan yang higienis dan penyediaan air bersih, sanitasi yang layak, dan saluran air limbah yang layak; keempat, perlindungan social melalui program transfer tunai dan status gizi anak; kelima, adanya program yang menjamin ketahanan dan keragaman pangan khususnya bagi kelompok rentan; keenam, perlunya program yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi remaja dan ibu; dan ketujuh, pentingnya keterlibatan lintas sektor baik pemerintah maupun non pemerintah.

Secara umum dapat ditemukan bahwa rata-rata pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia tahun 2017 sebanyak 1 juta rupiah, 2018 sebanyak 1,1 juta rupiah, tahun 2019 sebanayk 1,1 juta rupiah, tahun 2020 sebanyak 1,2 juta rupiah dan tahun 2021 sebanyak 1, 3 juta rupiah. Jika dirinci berdasarkan pos pengeluarannya, pada 2021 rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan Rp622,8 ribu per bulan untuk konsumsi makanan, kemudian Rp641,7 ribu untuk konsumsi non-makanan.

Berdasarkan wilayah tempat tinggal, rata-rata pengeluaran konsumsi penduduk di perkotaan sebesar Rp1,48 juta per bulan. Lebih besar daripada penduduk di perdesaan yang rata-rata konsumsinya Rp971,4 ribu per bulan. BPS juga mencatat pengeluaran konsumsi rumah tangga memberi kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, yakni sebesar 54,42% pada 2021.�

 

Tabel 1 Pola Pengeluaran makanan masyarakat Indonesia

No

Jenis Makanan

Persentase

1

Makanan dan Minum Jadi

32,7 %

2

Tembakau dan Sirih

12,4 %

3

Padi-Padian

11,7 %

4

Sayur-sayuran

8 %

5

Ikan

7,7%

6

Telur dan susu

5,6%

7

Daging

4,7%

8

Buah-buahan

4,3 %

9

Bahan minuman

3,2 %

10

Minyak dan Lemak

2,6 %

11

Kacang-kacangan

2,1 %

12

Konsumsi lainnya

2,1 %

13

Bumbu-bumbuan

1,8 %

14

Umbi-umbian

1,1 %

Sumber: BPS, 2017�

 

Tabel 1 Diatas menunjukan bahwa masyarakat Indonesia secara umum sangat gemar mengkonsumsi makanan dan minuman jadi dan kurang mengkonsumsi makanan bergizi seperti ikn, telur, susu dan daging sehingga memperburuk keadaan gizi masyarakat Indonesia. Menurut Doddy Izwardi (2019) Direktur Gizi Masyarakat Indonesia tahun 2019 bahwa perlu ada sinergitas untuk mensosialisasikan dan memperkenalkan pentingnya gizi yang baik secara terus-nenerus dan berkelanjutana, Sinergitas multi-aktor dan peran stakeholder memerlukan peran berbagai pihak antara lain pemerintah pusat dan daerah (inisiator, fasilitator, motivator; organisasi profesi dan akademisi (think tank)

Parlemen (Menjalankan fungsi legislative), badan PBB (Memperluas dan mengembangkan kegiatan serta fasilitasi pemerintah untuk keberhasilan program); Dunia Usaha (Pengembangan produk dan program yang mendukung (Berbagi informasi distribusi sumber daya, penerapan CSR sesuai dasar hukum); Lembaga sosial kemasyarakatan, mitra pembangunan (Memperkuat Inisiasi, Kolaborasi, dan Monev), dan media massa (Mempublikasikan informasi yang mendukung pembangunan kesehatan secara terus menerus).

Dalam hubungan internasional, konsep Human Security atau keamanan manusia di perkenalkan oleh Mazhab atau aliran pemikiran Copenhagen school yang di motori oleh Barry Buzan dan Ole Weaver, Mazhab Copenhagen secara khusus memfokuskan pada aspek-aspek sosial dari keamanan. Adapun dalam praktik hubungan internasional konsep sekuritisasi telah banyak diterapkan dalam kebijakan luar negeri dan keamanan dari banyak negara. Konsep ini diaplikasikan dalam mengkonstruksi berbagai permasalahan sosial termasuk penyakit dan hak-hak minoritas.

Menurut konsep ini, sekuritisasi merupakan sutau proses dimana masalah-masalah yang tidak dipolitisasi atau diperbincangkan atau yang dipolitisasi diperdebatkan secara public diangkat menjadi isu keamanan yang perlu ditangani dengan urgensi dan dibenarkan. Awalnya aliran pemikiran ini hanya membahas militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan namun kemudian diperluas keberbagai sector seperti Kesehatan, imigrasi, hak asasi manusia, hak minoritas hingga terrorisme (Buzan, W�ver, & De Wilde, 1998).�

Dalam pandangan pemikiran ini tentu saja isu penyakit menjadi ancaman keamanan manusia yang nyata dalam kehidupan seluruh masyarakat didunia.bahwa keamanan manusia dalam wilayah suatu negara perlu mendapat jaminan dan perlindungan dari negara. Hal ini sejalan dengan apa yang di gaungkan oleh WHO sebagai Lembaga Kesehatan internasional untuk itu konsep Human Security dan Stunting menjadi bagian yang saling berkaitan karena generasi yang kuat dilindungi oleh negara dengan penyediaan gizi yang baik dan sarana penunjang Kesehatan termasuk para medis yang handal sehingga ancaman keamanan manusia untuk kondisi bayi dengan stunting dapat diminimalisir dan warga masyarakat dunia menjadi generasi-generasi yang kuat, sehat dan berkualitas sehingga menjadi modal bagi negara masing-masing dan juga bagi warga dunia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif. Menurut Creswell (2012) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang mengeksplorasi dan memahami makna di sejumlah individu atau sekelompok orang yang berasal dari masalah sosial. dengan menggunakan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan datanya. Penelitian kualitatif ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian seperti Apa, Mengapa, Bagaimana, Kapan, dari fenomena yang sedang diteliti.� Sehingga penelitian ini berupa menjawab apa, bagaimana dan mengapa keadaan stunting menjadi indicator keamanan manusia dalam perspektif hubungan internasional dengan tinjauan kasus stunting di Kota Sorong Provinsi Papua Barat Daya.

 

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum Kota Sorong

Papua Barat Daya yang baru saja menjadi provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua Barat memiliki ibu kota Sorong. Kota Sorong memiliki luas wilayah paling kecil yakni sebesar 1.105 Km� dari total wilayah Papua Barat sebesar 97.024,37 Km�. Kota Sorong merupakan bagian integral dan daerah otonomi percontohan bagi wilayah Provinsi Papua Barat yang terdiri dari 8 Kabupaten dan 1 Kota, Kota Sorong terletak pada bagian sebelah barat Pulau Papua.

Secara astronomi Kota Sorong terletak antara 131�51� Bujur Timur hingga 131�85� Bujur Barat serta antara 00�53� Lintang Selatan hingga 00�90� Lintang Utara, dengan ketinggian 3 meter di atas permukaan laut ini sangat strategis dan memiliki fungsi sebagai pintu gerbang menuju Pulau Papua. Struktur wilayah Kota Sorong meliputi dataran laut dan gugusan pula-pulau sehingga Kota Sorong dapat dikenal sebagai dua kategori yaitu Wilayah Sorong Daratan dan Wilayah Sorong Lautan. Wilayah Sorong Daratan adalah Pusat Kota Sorong dan daerah pinggiran yang merupakan bagian langsung dari pulau Papua, sedangkan Wilayh sorong Lautan adalah gugusan pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kota Sorong.

Kota Sorong dengan nama Sorong sendiri berasal dari kata soren dari bahasa Biak Numfor yang berarti laut yang terdalam dan bergelombang. memiliki luas 1.105 Km� dengan batas-batas geografis sebagai berikut: � Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Dampir Kabupaten Raja Ampat; � Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Makbon Kabupaten Sorong dan Selat Sagawin Kabupaten Raja Ampat; Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Makbon Kabupaten Sorong; dan � Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Aimas dan Distrik Salawati Kabupaten Sorong.

Wilayah Kota Sorong secara administratif terbagi menjadi 6 wilayah distrik (setingkat dengan kecamatan), yaitu Distrik Sorong Barat, Distrik Sorong Timur, Distrik Sorong, Distrik Sorong Kepulauan, Distrik Sorong Utara, serta Distrik Sorong Manoi. Selain itu wilayah Kota Sorong terdiri atas 31 kelurahan, 175 RW dan 649 RT. Distrik Sorong Barat merupakan distrik yang memiliki wilayah paling luas yaitu sebesar 254,15 Km atau 23% dari total luas Kota Sorong dan distrik Sorong Timur merupakan distrik dengan jumlah kelurahan terbanyak, yaitu sebanyak 7 kelurahan.

Selain itu distrik Sorong Barat, distrik dengan jumlah kelurahan terbanyak berikutnya adalah Sorong Barat, Sorong, Sorong Utara dan Sorong Manoi dengan 5 kelurahan. Distrik yang memiliki luas lahan terkecil adalah distrik Sorong sebesar 11,48% dari total wilayah Kota Sorong. Wilayah Kota Sorong terdiri atas daerah datar, landai, agak curam hingga daerah dengan kemiringan lereng >40%. Sebagian besar Kota Sorong merupakan daerah datar (Jitmau, 2017).

Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Kota Sorong pada tahun 2021 mencapai 289.767 jiwa. Pada tahun 2020, jumlah penduduk Kota Sorong adalah 284.410 jiwa. Dengan kata lain, penambahan penduduk dalam setahun terakhir mencapai kurang lebih 5.357 jiwa. Sedangkan di tahun 2000, jumlah penduduk hanya mencapai 119.800 jiwa dan pada tahun 2010 jumlahnya mengalami peningkatan sekitar 73.368 jiwa menjadi 193.168 jiwa. Hal ini tergolong cukup cepat dibandingkan penambahan penduduk di kabupaten lain di Provinsi Papua Barat.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah perkembangan Kota Sorong yang terbilang cepat, bahkan paling maju dibandingkan kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat sehingga mampu menarik penduduk dari luar wilayah untuk bermigrasi. Selain itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tergolong lebih lengkap berdampak pada membaiknya kualitas kesehatan dan pendidikan sumber daya manusia di Kota Sorong daripada kabupaten-kabupaten yang lain.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kondisi sosial di Kota Sorong yang minim konflik dan lebih kondusif dibandingkan wilayah lain di Provinsi Papua Barat. Luas wilayah Kota Sorong sebesar 1.105 km� dengan jumlah penduduk sebanyak 289.767 jiwa sehingga kepadatan penduduk sekitar 262 jiwa per km�. Meskipun demikian, penyebaran penduduk Kota Sorong di setiap distrik cenderung tidak merata. Semakin luas wilayah suatu distrik tidak diiringi dengan jumlah penduduk yang semakin banyak.

Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk lebih memilih tinggal di distrik yang lebih potensial secara ekonomi dan memiliki infrastruktur serta fasilitas umum yang lebih lengkap. Berdasarkan jenis kelamin, pada tahun 2021 jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) adalah 111,08. Sex ratio sebesar 111,08 artinya dalam setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 111 orang penduduk laki-laki.

Fasilitas Kesehatan yang dimiliki di kota ini adalah 7unit rumah sakit, 7unit Poliklinik, 10unit Puskesmas, 25unit Pustu (Puskesmas Pembantu), dan 21 Apotek. Dari 7unit rumah sakit dapat dirinci 1unit rumah sakit milik pemerintah dan 6unit rumah sakit swasta. Distrik yang memiliki rumah sakit adalah Distrik Sorong Timur (1 RS pemerintah), Distrik Sorong (1 RS swasta), Distrik Malaimsimsa (1 RS swasta), Distrik Sorong Kota (1 RS swasta), dan Distrik Sorong Manoi (3 RS swasta). Sarana kesehatan lainnya seperti puskesmas dan poliklinik juga berperan dalam peningkatan kesehatan masyarakat.

Fasilitas puskesmas hampir tersedia masing-masing minimal 1 unit di setiap distrik kecuali Distrik Sorong Kota tidak memiliki, sedangkan Distrik Sorong Manoi terdapat 2 puskesmas. Untuk rincian ketersediaan pustu, yaitu 3 unit di Distrik Sorong Barat, 3 unit di Distrik Sorong Timur, 3 unit di Distrik Sorong Utara, 2 unit di Distrik Sorong, 3 unit di Distrik Sorong Manoi, 3 unit di Distrik Maladummes, 4 unit di DIstrik Klaurung, 2 unit di Distrik Malaimsimsa, dan 3 unit di Distrik Sorong Kepulauan. Sementara Apotek tersedia di Distrik Sorong Barat (2 unit).

Distrik Maladummes (1 unit), Distrik Sorong Kota (2 unit) Distrik Sorong Manoi (4 unit), Distrik Klaurung (1 unit), Distrik Sorong (2 unit), Distrik Sorong Timur (4 unit), Distrik Sorong Utara (2 unit) dan Distrik Malaimsimsa (3 unit). Distrik Sorong Timur, Distrik Malaimsimsa dan Distrik Sorong Manoi merupakan distrik yang terbilang paling lengkap segala jenis fasilitas kesehatan dikarenakan distrik ini memiliki jumlah penduduk padat/daerah konsentrasi penduduk di Kota Sorong.

Selain fasilitas kesehatan, hal lain untuk mendukung tingkat kesehatan masyarakat adalah ketersediaan tenaga kesehatan atau tenaga medis. Pada tahun 2021, jumlah dokter yang tersedia di Kota Sorong sebanyak 115orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang tinggi jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 20 orang. Kemudian, jumlah dokter gigi adalah 20 orang. Untuk tenaga kesehatan lainnya dirinci sebagai berikut: 134 bidan, 564 perawat, 227 bidan, dan 70 tenaga kefarmasian.

Semua tenaga medis di Kota Sorong tahun 2021 mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan tahun 2020. Jumlah tenaga kesehatan di Kota Sorong perlu ditingkatkan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk yang tergolong cukup cepat dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di Papua Barat. Pada tahun 2021, Jumlah tenaga kerja kesehatan di Kota Sorong antara lain, 115 dokter dan 20 orang dokter gigi. Rasio antara jumlah dokter yang tersedia dengan jumlah penduduk yang membutuhkan layanan kesehatan seharusnya proporsional. Secara umum 1 orang dokter harus melayani 2.519 orang.hal ini tentu perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah.

 

Keadaan Stunting di Kota Sorong 2023

Gambaran kesehatan di Kota Sorong masih belum mendekat kata sempurna, pasalnya masih banyak warga yang tercatat memiliki rawat kesehatan tertentu, salah satunya stunting. Dimana berdasarkan data dinas kesehatan Kota Sorong, angka stunting saat ini mencapai 898 kasus. Hal ini terjadi banyak pada keluarga kurang mampu, mereka hingga saat ini masih terkendala pengobatan hingga harus menjalani hidup dengan kondisi kesehatan yang belum maksimal.

Seperti yang dirasakan sejumlah warga di Kelurahan Klasabi, banyak ditemukan anak stunting, akibat dari kurangnya gizi dan asupan makanan yang baik. Sementara itu dinas kesehatan menyebut meningkatnya kasus stunting di Kota Sorong, akibat dari kurangnya kesadaran orang tua untuk pemeriksaan di posyandu. Hingga saat ini Dinas Kesehatan memiliki program pemberian vitamin A2 kali dalam setahun yakni di bulan Februari dan Agustus, untuk menutrisi anak agar dapat mencegah stunting. Diharapkan dengan segala upaya yang ada dapat menekan meningkatnya angka kasus stunting di Kota Sorong.�

Sebanyak 700 anak di Kota Sorong, Papua Barat Daya mengalami stunting (masalah gizi) sepanjang tahun 2022. Hal itu diungkapkan oleh Penjabat Wali Kota Sorong George Yarangga. "Dari data yang ada, terdapat sebanyak 700 anak di Kota Sorong mengalami stunting pada 2022 lalu," kata Yarangga di Sorong, Kamis (23/2/2023). George Yarangga mengemukakan, kasus stunting di Papua Barat Daya memang mengalami kenaikan sejak tahun 2021 hingga 2022. Tahun 2021, kasus stunting mencapai 26,2 persen. Sedangkan tahun 2022, kasus stunting naik 3,8 persen hingga di angka 30 persen.

Di Kota Sorong, kata George Yaranggga, kasus stunting pada tahun 2021 yakni 27,2 persen, Kemudian meningkat 7,3 persen pada tahun 2022 atau mencapai 700 anak.Tren kasus stunting di wilayah Kelurahan Klademak, Distrik Sorong, Kota Sorong, Papua Barat Daya, kini masih tinggi. Oleh karena itu, wilayah Klademak, Kota Sorong, ditetapkan sebagai lokus atau lokasi terbanyak stunting. Hal itu dijelaskan Kepala Puskesmas Sorong Agustina Naa, saat ditemui di Klademak, Kota Sorong. "Kasus stunting di Klademak, Kota Sorong, yang termonitor oleh Puskesmas Sorong berjumlah 15 anak," ujar Agustina kepada TribunSorong.com, Jumat (28/4/2023).

Dari data yang masuk, lanjutnya, jumlah keseluruhan stunting di wilayah tersebut tercatat sekira 30 kasus. Rata-rata, anak yang masuk dari data stunting berdomisili di wilayah Kelurahan Klademak, Kota Sorong. "Kalau lokus stunting terbanyak ada di wilayah Klademak, Kota Sorong, kalau daerah lain hanya satu atau dua," tuturnya. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di Papua Barat mencapai 30% pada 2022. Besaran angka stunting provinsi tersebut menempati peringkat ke-6 secara nasional. Prevalensi balita stunting Papua Barat meningkat 3,8 poin dari tahun sebelumnya.

Pada 2021, prevalensi balita stunting di provinsi ini sebesar 26,2%. Terdapat 5 kabupaten/kota dengan prevalensi balita stunting di atas rata-rata angka provinsi Papua Barat. Sisanya, 8 kabupaten/kota di bawah angka provinsi. Kabupaten Pegunungan Arfak tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Papua Barat, yakni mencapai 51,5% pada 2022. Angka balita stunting di kabupaten ini melonjak drastis dari tahun sebelumnya sebesar 40,1%. Wilayah dengan prevalensi balita stunting terbesar di Papua Barat pada 2022 selanjutnya Kabupaten Tambrauw sebesar 39,1% dan Kabupaten Sorong Selatan sebesar 36,7%.

Adapun prevalensi balita stunting di Kabupaten Teluk Bintuni tercatat paling kecil di Papua Barat, yakni 22,8%. Setelahnya, ada Kabupaten Sorong sebesar 23,8%, serta Kabupaten Teluk Wondama sebesar 26,1%. Berikut prevalensi balita stunting di Papua Barat berdasarkan kabupaten/kota pada 2022: Kabupaten Pegunungan Arfak: 51,5%� Kabupaten Tambrauw: 39,1% Kabupaten Sorong Selatan: 36,7% Kabupaten Manokwari: 36,6% Kabupaten Raja Ampat: 31,1% Kabupaten Kaimana: 29,2% Kabupaten Fak-fak: 29% Kabupaten Maybrat: 27,3% Kota Sorong: 27,2% Kabupaten Manokwari Selatan: 27,2% Kabupaten Teluk Wondama: 26,1% Kabupaten Sorong: 23,8% Kabupaten Teluk Bintuni: 22,8%. berdasarkan data ini terdapat perbedaan angka Stunting.

 

Apa Penyebab Stunting Meningkat

Penyebab Stunting Ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya stunting, antara lain yaitu asupan kalori yang tidak cukup, saktor sosial ekonomi akibat kemiskinan, factor rendahnya Pendidikan dan pengetahuan yang rendah mengenai praktik pemberian makan untuk bayi dan batita atau kecukupan ASI, kurangnya protein hewani pada masa pemebrian ASI, juga akibat penelantaran, factor budaya setempat, ketersediaan bahan makanan diwilayah setempat.

Lingkungsn yang buruk/ tidak sehat, selain itu factor lain adalah kelainan metabolism bawaan. Dengan kondisi demikian maka perlu dipahami bagaimana agar stunting dapat dicegah yaitu dilansir dari kementerian Kesehatan Indonesia bahwa stunting dapat dicegah dengan cara saat remaja Putri, Skrining anemia dan konsumsi tablet tambah darah. Saat Masa Kehamilan Disarankan untuk rutin memeriksakan kondisi kehamilan ke dokter. Perlu juga memenuhi asupan nutrisi yang baik selama kehamilan. Dengan makanan sehat dan juga asupan mineral seperti zat besi, asam folat, dan yodium harus tercukupi.

Balita harus di imunisasi secara rutin agar terhindar dari berbagai penyakit dan menerapkan Sesaat setelah bayi lahir, segera lakukan inisiasi meyusui dini agar berhasil menjalankan ASI Eksklusif. Setelah itu, lakukan pemeriksaan ke dokter atau ke Posyandu dan Puskesmas secara berkala untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak, Berikan ASI eksklusif sampai anak berusia 6 (enam) bulan dan diteruskan dengan MPASI yang sehat dan bergizi, pemantauan tumbuh dan tinggi anak, gaya hidup yang bersih dan sehat yaitu Terapkan gaya hidup bersih dan sehat, seperti mencuci tangan sebelum makan, memastikan air yang diminum.

 

Kebijakan Pemerintah Kota Sorong dalam Menangani Stunting

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam menurunkan angka stunting. Sebelumnya, Indonesia juga telah mempunyai kebijakan kesehatan yang diatur dalam UU No 36 Tahun 2009. Kebijakan ini sebagai wujud untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi masalah kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah sampai saat ini. Menurut Atmarita, beberapa masalah yang dihadapi oleh Indonesia adalah rendahnya pemberian ASI eksklusif yang belum mencapai 50%.

Selain itu, asupan anak usia > 6 bulan sebagian cenderung mengonsumsi karbohidrat yang mencapai 95%, sangat kurang dari asupan protein, buah, dan sayur, sehingga asupan gizinya tidak terpenuhi. Ditambah lagi, permasalahan lemahnya pemantauan penggunaan susu formula dan masih minimnya fasilitas ruang menyusui (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018b). Implementasi SDGs diselaraskan dengan nawacita Jokowi dan perencanaan pembangunan nasional melalui RPJMN tahun 2015-2019 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2017.

Hal ini juga ditindaklanjuti dengan adanya Program Indonesia Sehat oleh Kementerian Kesehatan melalui sasaran pembangunan kesehatan pada tahun 2015-2019 yang salah satunya melalui pembangunan gizi masyarakat khususnya untuk pengendalian angka stunting. Kebijakan lain dalam mendukung percepatan pencegahan stunting di Indonesia, misalnya adanya UU Pangan No 18 Tahun 2012 yang diikuti dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi melalui Peraturan Presiden No 42 Tahun 2013 dan Peraturan Presiden No 83/ 2017.

Selain itu, juga adanya Inpres No 1 Tahun 2017 mengenai Gerakan Masyarakat Hidup Sehat bahkan juga ada kebijakan Peraturan Menteri Desa dan PDT No 16 Tahun 2018 tentang prioritas Dana Desa yang salah satunya digunakan untuk pencegahan stunting. Kebijakan yang ada di Indonesia terutama pada level pusat telah banyak mengakomodir pencegahan stunting (Ulfah & Nugroho, 2020).

Menindaklanjuti hal tersebut, Pemerintah Kota Sorong menyiapkan strategi khusus dalam menangani stunting. Pemkot Sorong melakukan jemput bola dan berkoordinasi dengan distrik hingga kelurahan. "Kami akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait agar masalah stunting bisa di tangani dengan cepat sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat," kata dia.

Dinas terkait didesak membuat program yang menyasar masyarakat, khususnya yang memiliki balita stunting. "Dari 10 distrik yang tercatat mengalami kasus stunting akan dibuat program orangtua asuh yang diwajibkan setiap dinas akan menyiapkan dana sebesar Rp 1 hingga Rp 2 juta. Dikerahkan tim untuk turun ke lapangan dalam rangka penanganan kasus stunting dengan memberikan asupan bergizi bagi anak. Angka prevalensi stunting di Provinsi Papua Barat sebelum di mekarkan menjadi Papua Barat Daya berada diatas angka nasional yakni sebesar 26,02% ataudiperkirakan jumlah bayi di Provinsi ini mencapai 26,819 anak yang tersebar pada masing-masing kabupaten dan kota. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 1 dibawah ini.

 

Tabel 2 Jumlah Stunting di Prov Papua Barat tahun 2022

No

Nama Kabupaten/Kota

Jumlah Bayi Stunting

Presentase (%)

1

Kabupaten Fak-Fak

2,057

26,0%

2

Kabupaten Kaimana

1,967

28,5%

3

Kabupaten Teluk Wondama

1,353

31,0%

4

Kabupaten Teluk Bintuni

2,004

27,5 %

5

Kabupaten Manokwari

4,547

26,9 %

6

Kabupaten Sorong Selatan

2,225

39,6%

7

Kabupaten Sorong

2,539

28,7 %

8

Kabupaten Raja Ampat

1,795

31,1%

9

Kabupaten Tambrauw

682

39,6 %

10

Kabupaten Maybrat

818

34,5 %

11

Kabupaten Manokwari Selatan

689

28,5 %

12

Kabupaten Pegunungan Arfak

1,107

40,1 %

13

Kota Sorong

5,036

19,9 %

Sumber: diolah dari https://kaimananews.com/jumlah-balita-stunting-di-papua-barat-26-819-tertinggi-kota-sorong/

 

Berdasarkan tabel 2 diatas terlihat bahwa jumlah tertinggi atau yang terbanyak jumlah stunting adalah di Kota Sorong. Factor penyebab meningkatknya stunting sesuai referensi di bagian sebelumnya pembahasan ini menunjukan bahwa kurangnya pengetahuan ibu menjadi salah satu factor penyebab, selain itu tingkat pendapatan yang rendah akibat kemiskinan juga menjadi factor lain serta lingkungan yang tidak sehat menajdikan tingginya angka stunting di provinsi ini.

 

Strategi Penanganan Stunting

Strategi yang dapat dilakukan untuk menangani stunting di Kota Sorong dan juga Kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat Daya adalah Pertama, memberikan asupan gizi kepada ibu di wilayah ini melaui bidan kampung dan distrik serta melibatkan partisipasi masyarakat untuk mendorong pemberian gizi dapat terjadwal dan dilakukan dengan baik; Kedua, menyediakan sarana prasarana puskemas dan Puskesmas pembantu yang bekerja optimal memberi pelayanan gizi kepada ibu-ibu diwilayah kota Sorong;

Ketiga, memberikan sosialisasi tentang bahaya stunting dan cara pencegahannya kepada seluruh lapisan masyarakat di Kota Sorong; Keempat; tingkatkan pasrtisipasi warga Kota Sorong untuk terus menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan sehat sehingga mencegah timbulnya berbagai penyakit termasuk stunting, patisipasi ini melibatkan RT/RW dan tokoh adat, agama, perempuan, pemuda sehinga pesan perbaikan gizi dan hidup bersih dapat terus dilakukan secara Bersama dan gotong royong;

Kelima; berikan insentif dan penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dan ada didalam upaya pencegahan dan perbaikan gizi sehingga semua pihak akan berupaya memberikan yang terbaik bagi penanganan stunting di Kota Sorong; Keenam, menambah tenaga medis dan perawat serta ahli gizi diwilayah Kota Sorong serta juga kader-kader pos yandu ditambah disetiap kampung bahkan RT/RW sehingga angka stunting dapat segera diturunkan;

Ketujuh, perlu goodwill/ niat baik dari stakeholder/pemerintah dan semua pihak yang terlibat didalamnya untuk memiliki tanggungjawab moral dan pemahaman yang sama tentang pentingnya perang melawan gizi buruk sehingga Kota Sorong bebas dari stunting dan tercipta generasi-generasi penerus yang sehat, kuat dan berkualitas untuk membangun Kota Sorong, Indonesia dan dunia.

 

Kesimpulan

Stunting sebagai masalah masyarakat dunia perlu ditangani secara baik dan bertanggungjawab oleh semua pihak. Kota sorong sebagai kota Pelabuhan dan kota terbesar kedua setelah kota Jayapura di Tanah Papua perlu menangani dan mencegah stunting dengan memberikan asupan gizi yang baik dan benar kepada ibu hamil, perlu menyediakan sarana dan prasarana penunjnag Kesehatan serta tenaga medis dan gizi yang cukup bagi masyarakat di kota ini.

Selain itu perlu kerjasama semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, tokoh adat, agama, perempuan, pemuda dan para pebisinis sehingga dapat meminimalisir kasus Stunting di Kota Sorong. Gizi buruk akibat kurangnya pemahaman ibu dan perempuan, serta lingkungan yang kurang sehat juga menjadi factor pemicu meningkatnya kasus stunting di Kota Sorong. Apapun keadaannya, pemerintah sebagai pelindung masyarakat perlu dan wajib memberikan rasa aman bagi masyarakat di Kota Sorong sehingga terwujud masyarakat yang sehat dan kuat untuk kemajuan pembangunan di wilayah ini dan bagi Indonesia sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dalam system internasional terwujudnyatakan.

 

BIBLIOGRAFI

Buzan, Barry, W�ver, Ole, & De Wilde, Jaap. (1998). Security: A new framework for analysis. Lynne Rienner Publishers.

 

Creswell, John W. (2012). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed, Pustaka Pelajar. Yokyakarta.

 

Isriawaty, Fheriyal Sri. (2015). Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tadulako University.

 

Izwardy, Doddy. (2019). Kebijakan dan strategi penanggulangan stunting di Indonesia. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, 1�64.

 

Jitmau, Mersy F. N. (2017). Identifikasi peran Pelabuhan Kota Sorong terhadap Hinterlandnya. SKRIPSI-2017.

 

Olsa, Edwin Danie, Sulastri, Delmi, & Anas, Eliza. (2018). Hubungan sikap dan pengetahuan ibu terhadap kejadian stunting pada anak baru masuk Sekolah Dasar di kecamanatan Nanggalo. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 523�529.

 

Rafika, Muhana, & Gz, S. (2019). Dampak stunting pada kondisi psikologis anak. Buletin Jagaddhita, 1(1).

 

Rahayu, Ria Muji, Pamungkasari, Eti Poncorini, & Wekadigunawan, C. S. P. (2018). The biopsychosocial determinants of stunting and wasting in children aged 12-48 months. Journal of Maternal and Child Health, 3(2), 105�118. https://doi.org/10.26911/thejmch.2018.03 .02.03

 

Rahmawati, Dian, & Agustin, Lia. (2020). Cegah stunting dengan stimulasi psikososial dan keragaman pangan. AE Publishing.

 

Ramdhani, Awa, Handayani, Hani, & Setiawan, Asep. (2021). Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Stunting. Prosiding Seminar Nasional LPPM UMP, 2, 28�35.

 

Ratnawati, Mamik, Probowati, Ririn, Prihatini, Monika Sawitri, Ningtyas, Septi Fitrah, & Ulfa, Ana Farida. (2023). Pemberian Makanan Tambahan Modifikasi Terhadap Status Gizi Balita. Jurnal Health Sains, 4(2), 104�111.

 

Samsuni, Samsuni. (2017). Manajemen sumber daya manusia. Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman Dan Kemasyarakatan, 17(1), 113�124.

 

Siagian, Ade Onny. (2021). Sumber Daya Manusia Unggul 4.0. SDM Unggul Di Industry 4.0, 17.

 

Ulfah, Irma Fitriana, & Nugroho, Arief Budi. (2020). Menilik Tantangan Pembangunan Kesehatan di Indonesia: Faktor Penyebab Stunting di Kabupaten Jember. Sospol: Jurnal Sosial Politik, 6(2), 201�213.

 

Zikria, Wahyu, Masrul, Masrul, & Bustami, Lusiana El Sinta. (2018). The Association Between Mother�s Care Practices With Stunting Incident In Children Age 12-35 Months In Air Dingin Primary Health Center Padang 2018. Journal of Midwifery, 3(2), 176�193.

 

Copyright holder:

Melyana R. Pugu (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: