Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
�������������������������������������������������
DAMPAK PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN
BANTUAN PANGAN NON TUNAI TERHADAP KESEJAHTERAAN LANSIA DI INDONESIA
Try
Kuntarto1*, Muhammad
Hanri2
1*,2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia, Indonesia
E-mail: 1*[email protected];
2[email protected]
Abstrak
Kata kunci:
BPNT, lansia, ordinary least square,
pengeluaran kesehatan, PKH.
Abstract
This study aims to
examine the impact of elderly social assistance programs, specifically the
Family Hope Program (Program Keluarga Harapan - PKH) and the Non-Cash Food
Assistance (Bantuan Pangan Non-Tunai - BPNT), on well-being using the proxy of
elderly health expenditures in Indonesia. The data used is from the March 2020
National Socioeconomic Survey (Susenas) and analyzed using the ordinary least
squares method. The results of this research show that among the two social
assistance schemes for the elderly, PKH has a significantly greater influence
compared to BPNT. The researchers also conducted robustness tests to observe
the effects of both programs on regional and individual characteristics. PKH
shows significant value in areas outside Java, while BPNT shows significant
value in the Java region. From the results of the individual characteristics test,
it is concluded that PKH significantly impacts the elderly with incomes below
the poverty line, thus indicating that the program is effectively targeted. The
government needs to optimize the coverage and enhance the benefits of PKH and
BPNT by mapping the characteristics of regions and individuals through the
optimization of data interoperability.
Keywords: BPNT, erlderly, health expenditure, ordinary least square,
PKH.
Pendahuluan
Indonesia secara bertahap
bergerak menuju negara dengan masyarakat yang menua. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Maret 2020, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas
atau lansia di Indonesia mencapai 26,8 juta orang atau kurang lebih 9,9% dari
seluruh total penduduk Indonesia (BPS Maret 2020 dikutip dalam TNP2K, 2020).
Angka lansia yang hampir mencapai 10 persen dari total populasi Indonesia
menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang yang mengalami
fenomena aging population. Pada umumnya, seseorang
yang memasuki masa lansia menjadi kurang produktif sehingga mengalami penurunan
bahkan kehilangan pendapatan. Hal ini menyebabkan lansia rentan mengalami
kesulitan dalam bidang ekonomi. Data lansia yang
tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)
milik Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2019,
terdapat sebanyak 12,6 juta lansia miskin dan rentan (40 persen Status Sosial
Ekonomi terbawah), 10,7 juta lansia di dalam keluarga dan 1,9 juta lansia di
luar keluarga (Kemensos.go.id, 2020). Sekitar 80 persen penduduk usia 65 tahun ke atas tinggal di rumah tangga dengan
konsumsi per kapita di bawah Rp50.000 per hari dan tidak memiliki jaminan
penghasilan, misalnya dana pensiun (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat Welfare Statistic 2018).
Guna menjamin
dan meningkatkan kesejahteraan lansia, maka pemerintah mempunyai beberapa
program bantuan, contohnya Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan
Non Tunai (BPNT). PKH memberikan bantuan tunai setiap bulan kepada keluarga penerima yang telah terdaftar dalam
program ini. Bantuan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar,
seperti pendidikan, kesehatan, dan gizi. BPNT
merupakan program bantuan sosial in kind bagi masyarakat berpendapatan
rendah, di mana klasifikasi berpendapatan rendah adalah mereka yang termasuk
masyarakat miskin dan rentan miskin. Kebijakan Pemerintah terkait bantuan non tunai ini mengarah pada
peningkatan karbohidrat, protein, serta asupan gizi lain yang diperlukan dalam
kesehatan, sehingga mampu memberikan asupan lebih seimbang bagi masyarakat
penerima bantuan dan menambah pilihan serta kendali penerima manfaat (Tim
Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, 2017 dan Sulaiman,
et. al, 2018).
Saat memasuki
masa lansia, maka isu yang paling sering muncul adalah kebutuhan terhadap
belanja kesehatan, maka lansia selaku individu akan
menentukan pilihannya terhadap barang dan jasa terkait kesehatan secara
rasional yang mampu memberikan utilitas maksimal (Pindyck & Rubinfeld,
2018). Secara nasional 43,22 persen dari lansia
mengalami gangguan kesehatan dan 22,48 persen dari lansia mengalami sakit (BPS,
2021). Mengenai pengeluaran kesehatan ini, dan dapat kita katakan sebagai indikator
kesejahteraan lansia, Ernst Engel tahun 1857 mengatakan bahwa terdapat hubungan
antara pengeluaran dengan tingkat kesejahteraan dengan asumsi selera tidak
berbeda, maka pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya
pendapatan (Wuryandari, 2015).
Oleh karena
itu, untuk lebih menjaga tingkat kesejahteraan lansia terhadap guncangan,
khususnya pengeluaran terhadap kesehatan kepada penduduk lansia, bantuan sosial
yang memasukan lansia sebagai penerima manfaat merupakan kebijakan penting.
Tinjauan Pustaka
Lansia
adalah seseorang yang berusia lebih
dari atau sama dengan 60 tahun dan tidak berdaya mencari nafkah sendiri sehingga
kebutuhan hidup sehari-hari tidak
terpenuhi (Ratnawati, 2017). Lansia sendiri merupakan singkatan dari
istilah lanjut usia. Lansia adalah tahap akhir dalam proses kehidupan yang
terjadi banyak penurunan dan perubahan secara fisik, psikologi, dan sosial yang
masing-masing saling berhubungan satu sama lain, sehingga berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan jasmani maupun rohani (Cabrera, 2015).
Usia pada lansia memiliki batasan yang berbeda-beda, pada umumnya usia lansia
berkisar antara 60 tahun sampai dengan 65 tahun.
Menurut World
Health Organization (WHO) terdapat
empat tahap batasan usia lansia adalah sebagai berikut.
a.
Usia
pertengahan: 45-59 tahun
b.
Lanjut
usia: 60-74 tahun
c.
Lanjut
usia tua: 75-90 tahun
d.
Usia
sangat tua: diatas 90 tahun.
Secara umum
gambaran lansia di tingkat nasional dapat kita lihat pada laporan TNP2K beserta
SMERU tentang Situasi Lansia di Indonesia dan Aksesnya terhadap Program
Perlindungan Sosial, sebagai berikut (The SMERU Research Institute & TNP2K,
2022 dan berbagai sumber):
1.
Tingkat
kemiskinan lansia (11,1%) lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional (9,4%).
Data lansia yang tercatat di DTKS milik Kemensos pada
tahun 2019 terdapat 12,6 juta lansia miskin dan rentan (40% status sosial
ekonomi terbawah), 10,7 juta lansia di dalam keluarga dan 1,9 juta lansia di
luar keluarga (Kemensos.go.id, 2020). Sekitar 80 persen penduduk usia 65 tahun ke atas tinggal di rumah tangga dengan
konsumsi per kapita di bawah Rp50.000 per hari dan tidak memiliki jaminan
penghasilan, dana pensiun misalnya (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat Welfare Statistic 2018). Catatan lainnya
adalah kurang lebih 11 persen lansia hidup dalam kemiskinan dimana 60 persen
lansia miskin tersebut tinggal bersama anggota keluarga (TNP2K, 2020).
2.
Setengah dari
total lansia di Indonesia masih bekerja. Rasio ketergantungan lansia terhadap
penduduk produktif menyentuh angka 15 persen, dengan rincian proporsi lansia
yang bekerja lebih banyak laki-laki (64,5%) daripada
perempuan (35,5%). Berdasarkan penelitian Affandi (2009) dan Giles (2011),
lansia berpendidikan tinggi cenderung memiliki pekerjaan dengan upah lebih baik
di usia produktifnya karena tingkat pendidikan
menentukan jenis pekerjaan formal dan besaran pendapatan yang mereka terima
pada masa produktifnya termasuk juga dengan jaminan hari tua mereka. Penelitian
sebelumnya juga memperlihatkan proporsi lansia di Indonesia yang bekerja lebih
banyak ditemukan pada kelompok masyarakat yang relatif miskin (Priebe &
Howell, 2014).
3.
Kondisi fisik,
kegiatan, dan psikis semakin menurun karena faktor usia,
hal ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan dan disabilitas.
4.
Sebagian besar
lansia tinggal dengan anak-cucu, keluarga, atau pasangannya. Lansia yang hidup
tanpa anggota keluarga sebanyak 9,4 persen, dari angka
tersebut lansia perempuan (13,4%) paling banyak hidup dengan anggota keluarga
daripada lansia laki-laki (5%). Lansia yang tinggal
sendiri berada pada situasi yang berisiko, oleh karena itu, perlu mendapatkan
perhatian khusus karena kemampuan fisik, kondisi kesehatan, dan perubahan
mental sosial lansia cenderung menurun, sehingga memerlukan perawatan kesehatan
yang efektif dan dukungan sosial yang penting bagi lansia (Osman et al. 2012
dan Kaplan, 2000).
Dengan gambaran
kondisi lansia tersebut, kita perlu juga mengetahui pola konsumsi lansia. Mor dan Sethia (2010) yang dikutip TNP2K (2020), menyebutkan
bahwa pola konsumsi rumah tangga
memberikan gambaran terkait kondisi sosial ekonomi rumah tangga, makin banyak
proporsi konsumsi untuk makanan, rumah tangga cenderung termasuk ke dalam
kelompok rumah tangga yang kurang sejahtera.
Berikut
dibawah ini disajikan tren pengeluaran rumah tangga Indonesia antara tahun 2013
sampai dengan 2021 yang masih banyak
alokasi pendapatan untuk belanja makanan sebagaimana grafik 1.
Grafik 1 Pengeluaran Rumah Tangga
Sumber: BPS 2021 yang telah diolah
Grafik
pengeluaran ruamah tangga di atas memberikan informasi kepada kita bahwa pola
konsumsi masyarakat, termasuk lansia, masih banyak mengalokasikan pendapatanya
pada konsumsi makanan. Dengan
pola yang demikian, maka bantuan sosial dengan bentuk in kind transfer maupun
cash transfer menjadi pilihan pemerintah. Namun apakah pembedaan dalam dua
skema tersebut efektif, perlu pembahasan lebih lanjut.
Hidrobo,
et al. (2013) dan Cunha (2014) menemukan bahwa in kind transfer maupun cash
transfer memiliki dampak yang sama terhadap konsumsi
makanan dan non makanan. Hidrobo, et. al. (2013)
menemukan bahwa konsumsi dari kedua skema tersebut bergantung pada
paternalistik konsumsi masyarakat
Equador bagian utara. Jadi perbedaan dampak di antara jenis transfer
menunjukkan bahwa transfer dengan nilai dan frekuensi yang setara digunakan
dengan cara yang berbeda pada makanan. Faktor lainya
mengapa kedua skema tidak berpengaruh adalah tempat membeli/belanja diet
penerima bantuan. Pola yang sama juga terjadi pada
masyarakat Meksiko, Cunha (2014) menemukan bahwa perbedaan kesempatan/insentif
penggunaan bantuan dan pola konsumsi menjadi faktor efek pada konsumsi. Jadi,
apabila transfer berada di dalam batas (infra marjinal), maka tidak berdampak
pada kenaikan konsumsi, sedangkan apabila transfer diberikan di luar batas yang
berlebihan (ekstra marjinal), penerima menerima insentif untuk menjual atau menukarkan barang yang
diberikan; dan apabila ekstra marjinal tersebut dikonsumsi, penerima menerima
masih memiliki insentif untuk menggantikan dengan makanan serupa yang tidak
ditransfer.
Gentilini
(2016) dalam penelitian di sepuluh negara berkembang, menyebutkan bahwa secara
relatif, skema transfer yang manapun dapat menyebabkan dampak yang beragam dan
bercampur bergantung pada berbagai skenario, meskipun dalam working paper World
Bank tersebut sempat ditemukan in kind transfer memiliki pengaruh negatif di
Srilanka dan Bangladesh, akan tetapi perbedaan hasil disebabkan karena baseline
survei di Srilanka dan Bangladesh dilaksanakan seminggu setelah perayaaan hari
besar Muslim dan Hindu. Aker (2017) dalam penelitian pada program bantuan
sosial di Republik Demoktratik Kongo, tidak terdapat perbedaan dalam konsumsi
makanan atau ukuran kesejahteraan lainnya pada bantuan yang diberikan dalam
bentuk in kind transfer maupun cash transfer. Penjelasan mengapa kedua skema
bantuan sosial di Kongo tidak berdampak adalah transfer bersifat tidak
mengikat; dengan kata lain, rumah tangga yang menerima in kind dengan voucher
dapat menjual barang-barang yang mereka beli atau membagikan sebagian barang
tersebut dengan rumah tangga lain, sementara rumah tangga yang menerima cash
transfer dapat membagikan sebagian dari uang tunai mereka.
Kajian
lainnya dilakukan oleh TNP2K (2018), dalam kajian berupa laporan Program
Perlindungan Sosial bagi Lansia dan Keterjangkauannya, TNP2K menyampaikan hasil
bahwa PKH meningkatkan kesejahteraan
penerima manfaat (lansia) dari sisi akses layanan kesehatan, bantuan makanan,
dan peningkatan pendapatan. Hasil yang sama juga
disampaikan Adioetomo et. al dan TNP2K (2014), hasilnya menunjukkan bahwa
penduduk lansia penerima ASLUT, tahun 2018 dilebur dengan PKH, lebih mudah
untuk mengakses tambahan makanan, kesehatan, dan pembelian obat-obatan. Temuan
dari kedua laporan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa penerima ASLUT
utamanya menggunakan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan
apabila ada kejadian tidak terduga, penerima bantuan membelanjakan transfer
bantuan untuk obat-obatan dan kemudian layanan kesehatan.
�
Metodologi Penelitian
Unit
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah anggota rumah tangga lansia
sesuai dengan definisi lanjut usia dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yaitu seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun� ke atas. Berdasarkan hasil
pengolah data menggunakan data Susenas Maret tahun 2020, terdapat 1.258.328
observasi dimana sebanyak 121.961 adalah lansia yang menjadi unit analisis
penelitian ini.
Peneliti
memilih pengeluaran kesehatan bagi lansia karena berdasarkan kondisi mereka,
kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang penting, dimana
dapat kita lihat dalam berbagai penelitian pada tinjauan pustaka, kesehatan dijadikan
indikator kesejahteraan lansia. Bloom et al. (2011) memasukan masalah kesehatan
sebagai salah satu faktor utama yang menjadikan lansia rentan, selain
permasalahan eknomi dan kondisi fisik.
Analisis
kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan model ekonometrika regresi linier
berganda dengan metode OLS serta uji asumsi-asumsi klasik. OLS adalah hubungan
secara linier antara dua atau lebih variabel independen 𝑋1, 𝑋2... 𝑋3 dengan variabel
dependen (Y). Penelitian ini akan menggunakan model
sebagai berikut:
Exp_Kesh.t
= α0 + α1PKHh.t + α2BPNTh.t
+ α3genderi + α4maritali
+ α5dik_kai + α6buruh_kah
+ α7lnexpendh.t + α8sakith
+ α9Bpjskes h.t + α10jampen h.t
+ α11 jhtht+ α12 jnj + α13
deskot + α14bhnll h.t + α15 bhndd
h.t + α16 bhnatp h.t + ε h.t�� ����.. ������(1)
Adapun
penjelasan model di atas pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Penjelasan Model Regresi
Nama Variabel |
Deskripsi |
Kode |
Skala |
Variabel
Dependen |
|||
Rasio Belanja Kesehatan Lansia |
Jumlah
pengeluaran bukan makanan (kesehatan) dibagi dengan total belanja |
exp_kes |
persen |
Variabel Independen |
|||
Karakter Individu |
|||
Jenis kelamin |
Jenis kelamin; perempuan atau laki-laki |
gender |
1 =
Perempuan 0 =
laki-laki |
Status Pernikahan |
Menikah
atau tidak menikah (cerai hidup/cerai mati) |
marital |
1 = menikah 0 = tidak menikah |
Pendidikan |
Jenjang Pendidikan yang pernah diikuti |
dik_ka |
1 = Sekolah
Dasar 0= >
Sekolah Dasar |
Status Pekerjaan |
kepala
keluarga masuk kategori pekerja buruh tani, buruh perkebunan, dan buruh
lainnya dengan pendapatan < Rp600.000 |
buruh_ka |
1 = ya 0 = tidak |
Pendapatan |
Total belanja makanan dana bukan makanan |
expend |
kontinue |
Status Kesehatan |
Apakah
mempunyai keluhan Kesehatan |
sakit |
1 = ya 0 = tidak |
Karakter Program |
|||
PKH |
Menerima
PKH dalam setahun terakhir |
PKH |
1 = ya 0 = tidak |
BPNT |
Menjadi penerima BPNT |
BPNT |
1 = ya 0 = tidak |
Jaminan Kesehatan |
Jaminan
kesehatan yang dimiliki |
bpjskes |
1 = PBI 2 = bukan PBI |
Jaminan Pensiun |
Anggota rumah tangga yang memiliki atau menerima jaminan sosial |
jampensiun |
1 = ya 0 = tidak |
Jaminan Hari Tua |
Anggota
rumah tangga yang memiliki atau menerima jaminan sosial |
jht |
1 = ya 0 = tidak |
Karakter
Geografis |
|||
Wilayah |
Jawa
dan non Jawa |
jnj |
1 = non jawa 0 = jawa |
Letak |
Desa dan Kota |
deskot |
1 = kota 0 = desa |
Karakter
Aset |
|||
Lantai |
Bahan bangunan utama lantai rumah terluas |
bhnll |
1=marmer/granit,
keramik, parket/vinil/karpet, semen/bata merah; 0=ubin/tegel/teraso,
kayu/papan, |
Dinding |
Bahan
bangunan utama dinding rumah terluas |
bhndd |
1 = tembok 0 = selain tembok |
Atap |
Bahan bangunan utama atap rumah terluas |
bhnatp |
1 =
beton/genteng/ asbes/seng; 0 =
bambu/kayu/ Jerami/lainnya |
Hasil
dan Pembahasan
Setelah mengetahui metodologi penelitian
dalam tulisan ini, akan terlebih dahulu dipaparkan
mengenai statistik deskriptif terlebih dahulu. Jumlah observasi lansia dengan
pengeluaran kesehatan dalam penelitian ini sebanyak 115.965 orang. Pada Tabel 3, rata-rata
rasio belanja kesehatan lansia per kapita adalah sebesar 2,78
persen dari total belanja lansia, dimana rasio belanja kesehatan maksimal dapat
mencapai 90,26 persen.
Tabel
2
Statistik
Deskriptif
No. |
Nama Variabel |
Obs |
Mean |
Std. Dev |
Min |
Max |
Freq. |
I |
Variabel
dependen |
||||||
|
Rasio
Belanja Kesehatan Lansia |
115.965 |
2,775869 |
5,877188 |
0,0016421 |
90,26093 |
- |
II |
Variabel
Independen |
||||||
A. |
Karakteristik Individu |
||||||
1 |
Gender |
121.961 |
0,5211 |
0,4995 |
0 |
1 |
52,1% |
2 |
Status
Pernikahan |
121.961 |
0,6117 |
0,4873 |
0 |
1 |
61,2% |
3 |
Status Pekerjaan |
121.961 |
0,2624 |
0,4399 |
0 |
1 |
26,2% |
4 |
Pendapatan |
121.961 |
14,883 |
0,7521 |
12,09212 |
19,0372 |
- |
5 |
Status Kesehatan |
121.961 |
3,1109 |
1,9969 |
1 |
5 |
47,2% |
B |
Karakteristik
Program |
||||||
1 |
PKH |
121.961 |
0,1217 |
0,3269 |
0 |
1 |
12,2% |
2 |
BPNT |
121.961 |
0,1745 |
0,3795 |
0 |
1 |
17,5% |
3 |
Jaminan Kesehatan |
121.961 |
0,6994 |
0,4584 |
0 |
1 |
69,9% |
4 |
Jaminan
Pensiun |
121.961 |
0,1201 |
0,3251 |
0 |
1 |
12,0% |
5 |
Jaminan Hari Tua |
121.961 |
0,07272 |
0,2596 |
0 |
1 |
7,3% |
C |
Karakteristik
Geografis |
||||||
1 |
Jawa non Jawa |
121.961 |
0,6066 |
0,4884 |
0 |
1 |
60,7% |
2 |
Desa
Kota |
121.961 |
0,4108 |
0,4919 |
0 |
1 |
41,1% |
D |
Karakteristik
Aset |
||||||
1 |
Lantai |
121.961 |
0,5354 |
0,2251 |
0 |
1 |
5,4% |
2 |
Dinding |
121.961 |
0,2946 |
0,4559 |
0 |
1 |
29,5% |
3 |
Atap |
121.961 |
0,5800 |
0,4935 |
0 |
1 |
58,0% |
Sumber: Susenas Maret 2020 telah diolah
Pada karakteristik individu, mayoritas
lansia adalah perempuan dengan angka sebanyak 52,1
persen. Kemudian pada status pekerjaan, terdapat 26,2 persen lansia yang tinggal bersama kepala keluarga
yang bekerja dengan status buruh dengan pendapatan <Rp600.000. Selanjutnya
karakteristik individu lainnya adalah keluhan sakit, terdapat 47,2 persen
lansia memiliki keluhan sakit. Angka tersebut tidak berbeda jauh dengan data
Susenas 2019, setengah dari lansia mengalami keluhan kesehatan, seperempat dari
mereka sakit, dan sisanya berkategori disabilitas. Sedangkan apabila melihat
data BPS 2021, BPS menunjukkan 43,22 persen dari
lansia secara nasional mengalami gangguan kesehatan dan 22,48 persen sakit.
Kemudian beralih pada variabel dengan
karakteristik program, statistik menunjukkan karakter yang cukup menjanjikan
pada jaminan kesehatan lansia, terdapat 69,94 persen
lansia telah memiliki jaminan kesehatan. Selanjutnya lansia selaku penerima
program bantuan sosial, sebanyak 17,5 persen lansia
telah mendapatkan program BPNT dan 12,2 persen mendapatkan PKH. Jaminan
pendapatan lansia seperti jaminan pensiun dan JHT memiliki proporsi yang tidak
jauh berbeda dengan bantuan sosial lainnya. Lansia yang menjadi peserta Jaminan
pensiun sebanyak 12 persen. JHT sebagai jaminan pendapatan bagi lansia memiliki
tingkat keterjangkauan paling kecil, yakni 7,3 persen.
Hal mana sejalan dengan Priebe &
Howell (2014) dan Kidd, et al., (2019) yang menyatakan cakupan jaminan
pendapatan lansia berada pada angka 15 persen. Selain itu, karakter
keterjangkauan program bagi lansia tersebut sesuai dengan data BPS dimana 50
persen lansia bekerja di sektor informal dan hanya 12 persen lansia memiliki
jaminan pensiun (Djamhari et. al, 2020).
Karakter geografis pada umumnya memiliki
karakteristik yang berimbang yaitu sebagian besar tinggal di luar pulau jawa
dan di pedesaan. Pada karakteristik aset, mayoritas lansia memiliki bahan rumah
yang cenderung tidak permanen seperti atap berbahan kayu dan dinding berbahan
selain tembok.
Setelah melihat proporsi masing-masing
variabel, peneliti mengolah data Susenas Maret 2020 dengan metode regresi OLS. Adapun
hasil regresi OLS sebagaimana tabel 3 di bawah ini.
Tabel
3
Hasil
Regresi Dampak PKH dan BPNT Terhadap Pengeluaran Kesehatan Lansia
No. |
Nama Variabel |
Obs |
Kode |
Coef. |
Std. Dev |
1 |
PKH |
115.965 |
pkh |
-0,3272*** |
0,0650 |
2 |
BPNT |
115.965 |
bpnt |
-0,2078*** |
0,0569 |
3 |
Status Pekerjaan |
115.965 |
buruh_ka |
-0,98*** |
0,0445 |
4 |
Pendapatan |
115.965 |
lnexpend |
0,6076*** |
0,0284 |
5 |
Status Kesehatan |
115.965 |
sakit |
-0,2553*** |
0,0085 |
6 |
Gender
|
115.965 |
gender |
0,2431*** |
0,0371 |
7 |
Status Pernikahan |
115.965 |
marital |
0,566*** |
0,0384 |
8 |
Jaminan
Kesehatan |
115.965 |
bpjskes |
0,590*** |
0,0385 |
9 |
Jaminan Pensiun |
115.965 |
jampensiun |
0,321*** |
0,07 |
10 |
Jaminan
Hari Tua |
115.965 |
jht |
-0,363*** |
0,0851 |
11 |
Jawa non Jawa |
115.965 |
jnj |
-1,4081*** |
0,0394 |
12 |
Desa
Kota |
115.965 |
deskot |
0,0044 |
0,0377 |
13 |
Lantai |
115.965 |
bhnll |
-0,095 |
0,0799 |
14 |
Dinding |
115.965 |
bhndd |
0,0008 |
0,0440 |
15 |
Atap |
115.965 |
bhnatp |
0,1695*** |
0,43 |
***p<0.01,
**p<0.05, *p<0.1
Angka-angka tersebut diintepretasikan
bahwa lansia penerima PKH memiliki pengeluaran lebih rendah sebesar 0,3272 (P < 0.01) persen dibandingkan lansia yang tidak
menerima PKH. Begitu pula dengan lansia penerima BPNT, penerima memiliki
pengeluaran kesehatan lebih rendah sebesar 0,2078
persen (P < 0.01) dibandingkan dengan lansia bukan penerima BPNT. Pendapatan
berpengaruh positif signifikan terhadap pengeluaran kesehatan lansia sebesar 0,6076 (P < 0.01). Jadi apabila pendapatan lansia naik
satu satuan, akan meningkatkan pengeluaran kesehatan per kapita lansia sebesar
0,6076 persen.
Hubungan positif signifikan juga terjadi
pada karakter individu jenis kelamin. Kepala rumah tangga lansia berjenis
kelamin perempuan berpengaruh positif signifikan sebesar 0,2431
(P < 0.01) terhadap pengeluaran kesehatan per kapita lansia. Apabila kepala
rumah tangga lansia adalah perempuan, maka pengeluaran kesehatannya lebih tinggi daripada kepala keluarga
laki-laki sebesar 0,2431 persen. Karakter individu
lainnya dari hasil regresi tersebut adalah status pernikahan. Status
pernikahan berpengaruh positif signifikan terhadap pengeluaran kesehatan lansia.
Setiap lansia yang memiliki status menikah, maka pengeluaran kesehatan per
kapitanya lebih tinggi daripada kepala keluarga yang tidak menikah sebesar
0,566 persen.
Kemudian beranjak pada intepretasi
karakteristik program. Program jaminan pensiun dan jaminan kesehatan memiliki
pengaruh positif signifikan terhadap belanja kesehatan lansia ��������������������(P < 0.01). Apabila
lansia menjadi peserta jaminan kesehatan dan jaminan pensiun, maka pengeluaran
kesehatan per kapita lansia berturut-turut lebih tinggi daripada lansia yang
tidak menjadi peserta kedua jaminan sosial tersebut sebesar 0,59
persen dan 0,321 persen. Melihat angka di samping, kepesertaan pada jaminan
kesehatan memiliki nilai koefisien lebih besar terhadap pengeluaran kesehatan
lansia dibanding kepesertaan pada jaminan pensiun.
Karakteristik wilayah memiliki hasil
dimana daerah di luar pulau jawa berpengaruh negatif signifikan terhadap
pengeluaran kesehatan per kapita lansia. Adapun koefisien wilayah di luar pulau
jawa terhadap belanja kesehatan sebesar 1,4081 (P <
0.01). Sehingga dapat dikatakan lansia yang tinggal di wilayah luar pulau jawa
pengeluaran kesehatan lansia per kapitanya lebih rendah daripada lansia di
wilayah pulau jawa.
Rumah dengan bahan atap permanen, misalnya
genteng, seng, dan beton, merupakan satu-satunya karakteristik kepemilikan aset
yang berpengaruh positif signifikan terhadap pengeluaran kesehatan lansia,
dengan koefisien 0,1695 dengan tingkat keyakian 99%.
Model ini telah dilakukan uji F dengan
angka 0,000, dengan kata lain nilai F < 0,05, maka
semua variabel independen secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan
pada variabel dependen. Peneliti juga melakukan uji multikolinearitas pada
model regresi guna mengetahui apakah model regresi terdapat korelasi antar
variabel independen. Tabel 5 menunjukan nilai VIF < 10, maka dapat
disimpulkan tidak terjadi korelasi diantara variabel independen dalam model
regresi ini. Adapun tabel pengujian sebagai berikut:
Tabel
4
Uji
multikolinearitas
No. |
Kode |
VIF |
1/VIF |
1 |
pkh |
1,59 |
0.627853 |
2 |
bpnt |
1,65 |
0.605346 |
3 |
buruh_ka |
1,35 |
0.743491 |
4 |
lnexpend |
1,6 |
0.625992 |
5 |
sakit |
1,02 |
0.985165 |
6 |
gender |
1,21 |
0.829494 |
7 |
marital |
1,22 |
0.816968 |
8 |
bpjskes |
1,09 |
0.917939 |
9 |
jampensiun |
1,82 |
0.549622 |
10 |
jht |
1,72 |
0.580751 |
11 |
jnj |
1,31 |
0.76357 |
12 |
deskot |
1,21 |
0.827446 |
13 |
bhnll |
1,13 |
0.886553 |
14 |
bhndd |
1,40 |
0.711984 |
15 |
bhnatp |
1,58 |
0.632598 |
|
Mean VIF |
1,39 |
|
***p<0.01, **p<0.05, *p<0.1
Hasil pengolahan melalui OLS pada Stata
mengeluarkan angka heteroskedastisitas yang dilakukan dengan
Breusch-Pagan/Cook-Weisberg test. Pengujian heteroskedastisitas stata
menghasilkan dimana > 0,05, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas pada model ini.
Peneliti melakukan uji robustness guna
memberikan hasil yang lebih robust melalui regresi kembali pada variabel
pada karakter wilayah dan karakter individu guna melihat perubahan signifikansi
PKH dan BPNT terhadap pengeluaran kesehatan lansia. Karakter wilayah yang di
uji adalah Jawa-non Jawa dan Desa-Kota. Tabel 5 menunjukkan hasil Robustness
dimaksud:
Tabel
5
Hasil
Robustness Wilayah
No. |
Variabel |
Variabel
Karakteristik Geografis |
|||
Non Jawa |
Jawa |
Kota |
Desa |
||
1 |
PKH |
-0,4323*** (0,0731) |
-0,1888 (0,119) |
-0,146 (0,1324) |
-0,469*** (0,0719) |
2 |
BPNT |
-0,0062 (0,0667) |
-0,4642*** (0,099) |
-0,1808 (0,1105) |
0,1218* (0,063) |
***p<0.01, **p<0.05, *p<0.1
Karakter individu yang di uji guna melihat
perubahan signifikansi PKH dan BPNT terhadap pengeluaran kesehatan lansia
adalah miskin dan tidak miskin dengan menggunakan garis kemiskinan
kabupaten/kota tahun 2020 yang didapatkan dari situs BPS. Tabel 6 menunjukkan
hasil Robustness dimaksud:
Tabel
6
Hasil
Robustness Garis Kemiskinan
No. |
Variabel |
Karakter |
|
Di bawah GK |
Di atas GK |
||
1 |
PKH |
-0,22** (0,877) |
-0,438*** (0,073) |
2 |
BPNT |
-0,022 (0,815) |
-0,025 �(0,0631) |
***p<0.01, **p<0.05, *p<0.1
Hasil pengolahan memperlihatkan bahwa PKH
memiliki magnitude yang lebih besar dibandingkan dengan BPNT. PKH
memiliki pengaruh negatif signifikan sebesar 0,3272 dengan tingkat keyakinan
99% (P < 0.01) terhadap pengeluaran kesehatan, sedangkan BPNT memiliki pengaruh
negatif signifikan sebesar 0,2078 dengan tingkat keyakinan 99% (P < 0.01)
terhadap pengeluaran kesehatan. Jadi, kedua angka pada program bantuan sosial
tersebut dapat kita intepretasikan, bahwa lansia penerima bantuan memiliki
pengeluaran kesehatan per kapita yang lebih rendah dibandingkan lansia bukan
penerima bantuan.
PKH memiliki signifikansi lebih besar
daripada BPNT karena skema PKH yang berupa cash transfer akan
memberikan lansia fleksibilitas lebih besar terhadap pilihan konsumsinya.
Lansia selaku individu yang rasional akan memilih
barang dan/atau jasa yang dapat memberikan utilitas maksimal baginya (Pindyck
& Rubinfeld, 2018). Menurut Mankiw (2000) yang dikutip Wuryandari (2011), perilaku
konsumsi berasal dari argumentasi maksimisasi utilitas dengan budget
constraint, artinya belanja kombinasi berbagai barang terbatas pada
pendapatannya dan harga barang-barang. Lansia akan
memilih titik pada batas garis anggaran yang terletak pada kurva indiferen yang
tinggi, yaitu titik kurva di mana merupakan gambaran preferensi pada berbagai
kombinasi belanja yang dipilih pada tingkat harga tertentu.
Lebih lanjut, tingkat dan pola konsumsi
tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan tetapi juga dipengaruhi
oleh perubahan harga, selera yang berbeda dari waktu ke waktu perubahan taraf
hidup serta ketersediaan produk-produk baru. Faktor-faktor multikausal seperti
perubahan demografi, komposisi jenis kelamin, lokasi, pekerjaan dan perubahan
distribusi lainnya turut mempengaruhi perilaku konsumsi (Wuryandari, 2011;
Hidrobo, et. al. 2013; Cunha, 2014; Gentilini, 2016; dan Aker, 2017).� Peneliti akan
gambarkan penjelasan dan asumsi di atas, ceteris paribus, dengan gambar
1 di bawah ini.
Gambar 1. Kurva Indeferen
Sumber: Pindyck
& Rubinfeld, 2018 yang diolah kembali
Sebelum mendapatkan PKH, lansia memiliki
keterbatasan alokasi pendapatan, maka kepuasan maksimal berada pada titik A.
Setelah mendapatkan PKH, maka terjadi peningkatan pendapatan dan budget line
bergeser ke arah kanan, sehingga indifference curve bergerak dari U1
ke U2 dengan titik utilitas berubah menjadi di titik B. Konsumsi
barang dan/atau jasa yang dipilih bergantung pada faktor-faktor multikausal
seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya, ceteris paribus.
Berdasarkan uji robustness, hasil
estimasi model di wilayah luar Jawa, para lansia yang memiliki PKH dan BPNT
(BPNT tidak signifikan) diketahui memiliki pengeluaran kesehatan yang lebih
rendah dibandingkan lansia yang tidak masuk pada kelompok penerima program
bantuan sosial tersebut. Jadi lansia di luar jawa dan bukan penerima PKH
memiliki pengeluaran kesehatan 0,43 persen lebih
tinggi. Pola magnitude variabel independen PKH dan BPNT bersifat negatif
terhadap variabel pengeluaran kesehatan juga terjadi di wilayah pulau Jawa.
Koefisien wilayah non Jawa signifikansi variabel PKH lebih kecil daripada BPNT
wilayah Jawa (PKH<BPNT) dengan tingkat keyakinan 99%.
Pada wilayah pedesaan, signifikansi PKH
dan BPNT menghasilkan nilai pengaruh dengan tingkat keyakinan yang berbeda dan
sifat yang berbeda. Hal ini bisa diartikan bahwa peran PKH memiliki peran yang
lebih besar pada masyarakat, dalam hal ini lansia yang, berciri urban
dibandingkan pada masyarakat perdesaan. Sementara sebaliknya BPNT memiliki
pengaruh yang lebih besar pada masyarakat perdesaan dibandingkan masyarkat
urban. Pola ini makin dipertegas dari hasil estimasi model pada masing-masing
daerah perkotaan dan perdesaan pada tabel 5 di atas.
Perbedaan
pola pemanfaatan dan dari PKH dan BPNT di kota dan
desa dapat dimaklumi jika kita melihat pola konsumsi makanan dan bukan makanan
antara kedua karakteristik geografis tersebut.
Data Susenas tahun 2020 menunjukkan keluarga di perdesaan lebih banyak
mengalokasikan pengeluaran per bulannya untuk kebutuhann primer atau makanan sekitar
56.4%, sementara keluarga perkotaan hanya sebesar 47%. Akibatnya beragai jenis
bantuan, terutama yang sifatnya tunai, akan mengikuti
pola konsumsi tersebut. Hal ini tentunya menjadi catatan kebijakan terkait pola
penyaluran yang diinginkan dari masing-masing program. Perbedaaan magnitude pengaruh bantuan sosial cash transfer dan
in kind pada karakteristik
geografis sejalan dengan penelitian Wuryandari (2015) yang menyebutkan daerah
tempat tinggal berpengaruh secara konsisten terhadap proporsi pengeluaran
makanan, total pengeluaran pendidikan, dan total pengeluaran kesehatan.
Selanjutnya adalah pengaruh garis
kemiskinan terhadap belanja kesehatan lansia. PKH memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap belanja kesehatan lansia yang pendapatannya �������������di atas maupun di bawah garis
kemiskinan, sedangkan BPNT tidak berpengaruh signifikan. Pengaruh
PKH lebih besar bagi lansia di bawah garis kemiskinan, dengan nilai 0,2 (P < 0.05). Besarnya magnitude PKH
bagi lansia di bawah garis kemiskinan mengindikasikan implementasi penyaluran
bantuan sosial sudah tepat.
Kesimpulan
Koefisien yang bersifat negatif
menunjukkan bahwa kedua program belum memberikan dampak kesejahteraan kepada
lansia dalam hal ini perilaku lansia pada pengeluaran kesehatan. Terdapat
pengaruh yang beragam pada variabel geografis yakni wilayah Jawa dan luar Jawa.
PKH memiliki koefisien signifikansi lebih rendah terhadap pengeluaran kesehatan
lansia �������������������di wilayah
daerah luar Jawa {0,4323 (P < 0.01)} sedangkan BPNT
memiliki signifikansi lebih rendah di daerah Jawa {0,4642 (P < 0.01)},
keduanya berhubungan negatif terhadap pengeluaran keshatan. Sedangkan di
perdesaan, kedua program berpengaruh signifikan pada pengeluaran kesehatan
lansia dengan sifat yang berbeda yakni PKH berhubungan negatif sedangkan BPNT
berhubungan positif dengan pengeluaran kesehatan. Perbedaan pola pemanfaatan
PKH dan BPNT di kota dan desa dapat dimaklumi jika
kita melihat pola konsumsi makanan dan bukan makanan antara kedua karakteristik
geografis tersebut. Bahwa pengaruh
PKH lebih tinggi bagi lansia di bawah garis kemiskinan, dengan koefisien 0,2 (P < 0.05). Besarnya magnitude PKH bagi lansia
di bawah garis kemiskinan mengindikasikan implementasi penyaluran bantuan
sosial sudah tepat.
Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa
PKH memiliki pengaruh signifikan terhadap pengeluaran kesehatan lansia. Selain
itu, baik PKH dan BPNT memiliki karakteristik wilayah dimana masing-masing
berdampak signifikan, PKH berpengaruh signifikan di wilayah luar jawa,
sedangkan BPNT berpengaruh signifikan di Jawa. Oleh karena itu, dalam rangka
meningkatkan dampak program bantuan, maka rekomendasi kebijakan pemerintah, secara
bertahap, pemerintah dapat meningkatkan besaran manfaat bantuan yang diberikan
dan cakupan penerima.
Pemerintah perlu melakukan pemetaan
terhadap karakteristik wilayah agar mengatasi perbedaan signifikansi pengaruh dan sifat program bantuan sosial terhadap
kesejahteraan lansia karena adanya karakteristik wilayah jawa dan daerah luar
jawa serta di pedesaan dan perkotaan terhadap konsumsi kesehatan. Pemetaan
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan lansia sesuai pola konsumsinya
BIBLIOGRAFI
Adisa, O. (2019). Why Are some Older Persons Economically Vulnerable and
Others Not? The Role of Socio-Demographic Factors and Economic Resources in the
Nigerian Context. Ageing International 44: 202�222. https://doi.org/10.1007/s12126-019-09348-8.
Affandi, M. (2009). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penduduk Lanjut Usia
Memilih Untuk Bekerja. (Factors That Influence Elderly Citizens to Choose to
Work. Journal of Indonesian Applied Economics: 99-110. <https://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/view/131>.
Aguila E., Kapteyn, A., Tassot, C. (2017). Designing Cash Transfer
Programs for an Older Population: The Mexican Case.� J Econ Ageing.
doi:10.1016/j.jeoa.2016.09.001.
Aker, J. C. (2017). Comparing cash and voucher transfers in a humanitarian
context: Evidence from the Democratic Republic of Congo. World Bank Economic
Review. https://doi.org/10.1093/wber/lhv055.
Amantha, G. and
Rahmaini, P. 2021. Efektivitas Kebijakan Pemerintah Terhadap Kesejahteraan
Lanjut Usia (Lansia) Provinsi Lampung Tahun 2020. Jurnal Dinamika.
1, 1 (Apr. 2021), 1-5. DOI:https://doi.org/10.54895/ dinamika.v1i1.766.
Anjela, R. (2019).
Efektivitas Bantuan Dana Tunai Program PKH Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Di Desa Kualu Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar. (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau). Kampar.
BPS. (2018). Statistik Kesejahteraan
Rakyat Welfare Statistic 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia.
BPS. (2020). Statistik
Penduduk Lanjut Usia 2020. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Cabrera, A. J. (2015). Theoris Of Human Aging Of Molecules To Society. MOJ Immunology, Vol. 2. No. 2, 41.
Cunha, J. M. (2014). Testing paternalism: Cash versus in-kind transfers.
American Economic Journal: Applied Economics, 6(2). https://doi.org/10.1257/app.6.2.195.
Dewanti, Ajeng
Kusuma. (2012). Implementasi Kebijakan Program Keluarga Harapan Di Kecamatan
Gedang Sari Kabupaten Gunung Kidul. http://ojs.unud.ac.id/index.php/input/rticle/download/3191/2288.
(Diakses pada 20 Februari 2022).
Djamhari
E.A, Ramdlaningrum H, Layyinah A, Chrisnahutama A dan Prasetya D. (2020).
Laporan Riset Kondisi Kesejahteraan Lansia dan Perlindungan Sosial Lansia di
Indonesia. Perkumpulan Prakarsa, Jakarta Selatan.
Doocy,
Shanon, et. al. (2020) Cash and Voucher Assistance and
Children's Nutrition Status In Somalia. Maternal
& Child Nutrition. doi: 10.1111/mcn.12966.
Gentilini, U. (2016). The Revival of the �Cash versus Food� Debate: New
Evidence for an Old Quandary? In The Revival of the �Cash versus Food� Debate:
New Evidence for an Old Quandary?. https://doi.org/10.1596/1813-9450-7584.
Ginting, L.A.U., W. Puji Mulyani, and L. Muta�ali. (2019). Pemetaan Lansia
di Indonesia Ditinjau dari Karakteristik Sosial, Ekonomi, dan Status Kesehatan.
(Mapping of Elderly in Indonesia, Observed from Social, Economic, and Health
Status Characteristics.) Jakarta: Ministry of Social Affairs. https://doi.org/10.33007/inf.v5i1.1664.
Gultom, H., Kindangen, P. Kindangen, dan George, M.V. (2020). Analisis
Pengaruh Program Bantuan Pangan Non Tunai (Bpnt) Dan Program Keluarga Harapan
(PKH) Terhadap Kemiskinan Di Kabupaten Minahasa Tenggara. Pembanguan Ekonomi
dan Keuangan Daerah. Vol.21No.1(2020).
Guo & Fraser. (2010). Prosperity
Score Analysis: Statistical Methods and Applications. Thousand Oaks: CASage.
Handayani, S. (2020). Bantuan Sosial bagi Warga Lanjut Usia di Masa
Pandemi. Journal of Social Development Studies, 1(2), 61-75.
https://doi.org/10.22146/jsds.657.
Hasna, N.
M., Nugraha, N., & Mustikarini, I. D. (2020). Analisis Dampak Pemberian
Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Citizenship
Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan. 7(2), 108� 116.
Hastuti, P. (2018).
Desentralisasi fiskal dan stabilitas politik dalam kerangka pelaksanaan otonomi
daerah di indonesia. Simposium Nasional Keuangan Negara, 785 787
Heckman, J., Ichimura, H., Smith, J.,
& Todd, P. (1998). Characterizing Selection Bias Using Experimental Data. Econometrica, 66 (5). https://doi.org/10.2307/2999630
Hidayatullah.
A.N. (2019). Peningkatan Kualitas Hidup Keluarga Penerima Manfaat dalam Kajian
Program Keluarga Harapan: Tinjauan Empirik Dampak Kesejahteraan dan Kualitas
Hidup Penerima Manfaat. Media Informasi
Penelitian Kesejahteraan Sosial. Vol. 43. No. 2. Agustus 2019. Hlm 97-116.
Hidrobo, M., Hoddinott, J., Peterman, A., Margolies, A., & Moreira, V.
(2013). Cash, food, or vouchers? Evidence from a randomized experiment in
northern Ecuador. Journal of Development Economics.
https://doi.org/10.1016/j.jdeveco. 2013.11.009.
Istriawati, Nina. (2021). Dampak Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
terhadap Konsumsi Makanan dan Rokok pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia.
(Tesis Magister, Universitas Indonesia).
Kementerian Sosial Republik
Indonesia. (2020). Kebijakan dan Program Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Tahun 2021. Jakarta: Direktorat Rehabiliasi Sosial
Lanjut Usia
Khandker, S. R., Koolwal, G.B., &
Hussain A.S. (2010). Handbook on Impact Evaluation: Quantitative Methods and
Practices. The World Bank
Kidd, S., B. Gelders, S.K. Rahayu, D. Larasati, and M. Siyaranamual.
(2018). Briefing paper: Implementing Social Protection for the Elderly in
Indonesia. https://socialprotection.org/es/discover/publications/briefing-paperimplementing-social-protection-elderly-indonesia
Kuntjoro,
Z.S. (2007). Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. Diakses pada tanggal 10 Januari
2022 dari http://www.epsikologi.com/usia/160402
Lestari, R.
W., & Talkah, A. (2020). Analisis Pengaruh Bantuan Sosial PKH Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat PKH Di Kecamatan Panggungrejo Kabupaten Blitar.
Revitalisasi: Jurnal Ilmu Manajemen.
Luthfi,
Niar Afdhal. (2022). Apakah Pemberian Bansos Lansia Pemda Mendorong Lansia
Untuk Lebih Peduli Terhadap Kesehatannya: Studi Kasus Belanja Kesehatan Out-Of-Pocket
Lansia Miskin Di Indonesia. (Tesis Magister,
Universitas Indonesia).
MAHKOTA and TNP2K. (2020). Terms of Reference (TOR) Study of Elderly
Grants Programs.
Nadhifah, Lilik Rodhiatun dan Mustofa, Nur Huri. (2021). Pengaruh PKH dan
BPNT terhadap Kemiskinan dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Moderasi. Journal
of Islamic Economics and Banking. DOI 10.31000/almaal.v3i1.4510.
National,
G., & Pillars, H. (2020). Keperawatan Gerontik. Bahan Ajar Cetak
Keperawatan Gerontik, 22(1), 1�13.
OECD.
(2013). OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-Being. OECD. www.oecd.org/measuringrpogress.
Pindyck, R. S., & Rubinfeld, D.
L. (2018). Microekonomics Ninth Edition.
Pramisita A.A D dan Utama M.S, (2020), Efektivitas dan pengaruh Bansos terhadap Tingkat
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Penduduk Lansia Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. E-jurnal EP Unud. Vol 9. No. 4. 780-809.
Priebe, J., and F. Howell. (2014). Old-Age Poverty In Indonesia: Empirical
Evidence and Policy Options: A Role for Social Pensions. TNP2K Working Paper
07.
Ratnawati,
Emmelia. (2017). Keperawatan Komunitas. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Rosenbaum,
P. R., & Rubin, D. B. (1983). The Central Role of the Propensity Score in
Observational Studies for Causal Effects. Biometrika.
70(1). https://doi.org/10.2307/2335942.
Roy,
A. D. (1951). Some Thoughts on the Distribution of Earnings. Oxford Economic Papers. 3 (2). https://doi.org/10.1093/oxfordjournals. oep.a041827.
Rubin,
D. B. (1974). Estimating causal effects of treatments in randomized and
nonrandomized studies. Journal of
Educational Psychology. 66(5). https://doi.org/10.1037/h0037350.
Setyawardani, D. T. R., Paat, C. J., &
Lesawengen, L. (2020). Dampak bantuan PKH terhadap masyarakat miskin di
kelurahan Bumi Nyiur kecamatan Wanea Kota Manado. Journal of Social and Culture. HOLISTIK.
Suardiman, S. (2011). Psikologi Usia
Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tanaya
AA. Raka Riani dan Yasa Wayan Murjana. (2015). Kesejahteraan Lansia dan
beberapa faktor yang mempengaruhi di Desa Dangin Puri Kauh. Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Bali.
Tim
Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, Pedoman
Pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai (TNP2K: 2017).
TNP2K, Australian, G., & SMERU.
(2020). Situasi Lansia di Indonesia dan Akses terhadap Program Perlindungan
Sosial: Analisis Data Sekunder.
TNP2K, Australian, G., & SMERU.
(2022). Situasi dan Akses Lansia Terhadap Program Perlindungan Sosial: Studi
Kualitatif di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali.
Wuryandari, R.D. (2015). Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Pengeluaran Makanan, Pendidikan, dan Kesehatan Rumah Tangga
Indonesia (Analisis Data Susenas 2011). Jurnal Kependudukan Indonesia 10
(1): 27.
Copyright holder: Try
Kuntarto, Muhammad Hanri (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |