Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 11, November
2023
ANALISIS
RECHTSVACUUM DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA: PENERAPAN PENGHENTIAN
PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF
Arnott Ferels, Hery Firmansyah
Fakultas Hukum,
Universitas Tarumanagara
Email:
[email protected]
Abstrak
Dalam
konteks hukum acara pidana di Indonesia, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) berperan
sebagai landasan normatif primer yang mengatur
proses penuntutan. Meskipun
KUHAP secara intrinsik mengutamakan paradigma keadilan retributif, tren pemikiran hukum global saat ini menunjukkan pergeseran ke arah
keadilan restoratif
(restorative justice atau RJ). Salah satu elemen krusial
dalam KUHAP yang membutuhkan
telaah lebih lanjut dalam konteks
ini adalah wewenang jaksa terkait penghentian penuntutan. Penelitian ini fokus pada analisis kekosongan hukum atau rechtsvacu�m
terkait RJ di dalam KUHAP
dan melibatkan studi komparatif dengan model RJ yang diterapkan di beberapa yurisdiksi, seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan
Jerman. Tujuan utama adalah
mengidentifikasi aspek-aspek
KUHAP, khususnya yang berkaitan
dengan kewenangan Jaksa,
yang berpotensi diharmonisasikan
dengan prinsip-prinsip RJ guna mendukung restorasi hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Hasil dari analisis ini diharapkan
dapat menginspirasi
reformasi peradilan pidana
di Indonesia yang lebih adaptif
dan inklusif. Sebagai rekomendasi, penelitian ini menyarankan penyusunan regulasi yang lebih eksplisit, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui edukasi
dan pelatihan, serta kerja sama dengan
negara-negara entitas yang memiliki
rekam jejak dalam penerapan RJ.
Kata
kunci: Rechtsvacu�m;
KUHAP; Penghentian Penuntutan;
Keadilan Restoratif; Jaksa;
Sistem Peradilan Pidana.
Abstract
Within
the context of criminal procedural law in Indonesia, the Criminal Procedure
Code (often referred to by its Indonesian acronym, KUHAP) serves as the primary
normative foundation governing the prosecution process. While the KUHAP
intrinsically emphasizes a retributive justice paradigm, the global legal
thought trend is currently shifting towards restorative justice (RJ). A crucial
element in the KUHAP that warrants further scrutiny in this context is the
prosecutorial discretion concerning the discontinuation of prosecutions. This
research zeroes in on the analysis of the legal void or rechtsvacu�m
in relation to RJ within the KUHAP, encompassing a comparative study with RJ
models applied in various jurisdictions, such as the United States, the
Netherlands, Japan, and Germany. The primary objective is to identify aspects
of the KUHAP, especially those related to prosecutorial discretion, that have
the potential to be harmonized with RJ principles, thereby supporting the
restoration of relationships among offenders, victims, and the community. The
findings from this analysis are hoped to inspire a more adaptive and inclusive
reform of the criminal justice system in Indonesia. As recommendations, this
research suggests the formulation of more explicit regulations, enhancement of
the capacity of law enforcement officers through education and training, and
collaboration with countries that have a proven track record in implementing
RJ.
Keywords: Rechtsvacu�m;
Criminal Procedure Code (KUHAP); Prosecution Termination; Restorative Justice;
Prosecutor; Criminal Justice System.
PENDAHULUAN
Dalam koridor
negara hukum, Indonesia memberikan
penekanan kuat terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) demi terciptanya keseimbangan serta pemberlakuan keadilan sosial di tengah masyarakat, dimana Ekatjahjana (2015) menggarisbawahi urgensi perlindungan hak-hak fundamental ini (Edyanto,
2017).
Meskipun Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah
berdiri sebagai pilar utama dalam sistem
peradilan pidana nasional, terdapat indikasi bahwa paradigma Keadilan Restoratif (RJ), yang telah mendapat tempat di berbagai negara, belum terintegrasi sepenuhnya di
Indonesia (Edyanto,
2017).
Dalam konteks
ini, KUHAP memiliki peran strategis, terutama dalam menentukan batasan wewenang jaksa. Era pra-reformasi menyaksikan penerapan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai dasar hukum
peradilan. Namun, ketidaksesuaian HIR dengan aspirasi hukum nasional telah memicu transformasi dalam KUHAP yang kini tunduk pada nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945. Menambahkan perspektif
lain, Hafidzan dan Priyono (2016) menegaskan bahwa dengan kemajuan
teknologi informasi yang pesat, integritas proses pembuktian dapat lebih mudah terkompromi,
sehingga inovasi dalam KUHAP menjadi sebuah keharusan (Susatyo,
2023).
����������� RJ mendefinisikan paradigma hukum dengan fokus
pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, berbeda dengan pendekatan hukuman semata. Marshall (1999) melihat RJ sebagai proses di mana
semua pihak yang terlibat berusaha menyelesaikan dampak serta implikasi pelanggaran untuk masa depan (Kirkwood,
2022).
Sebagai respons terhadap dominasi keadilan retributif, RJ mengintroduksi solusi seperti pertemuan dan perbaikan (Gerson,
2022).
Namun,
penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa definisi dan penerapan RJ bisa berbeda-beda dan beragam, tergantung pada konteks kejahatan dan tujuannya (Kirkwood,
2022).
Berbicara lanjut, keadilan retributif menekankan pada pembalasan melalui hukuman, memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap sistem, dan lebih berfokus pada penjatuhan hukuman bagi pelaku (penal), sementara sering kali mengesampingkan korban (Nugraha
and Handoyo, 2019; Maulana and Agusta, 2021).
Dalam literatur
yang disusun oleh Safa�at
(2011), disebutkan bahwa mediasi penal merupakan salah satu bentuk konkret
dari implementasi pendekatan RJ. Dalam proses tersebut,
seorang mediator yang bersifat
netral berperan aktif mendampingi pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan guna mencapai kesepakatan,
tanpa memiliki wewenang untuk memutuskan bagi mereka.
Selanjutnya,
menurut United Nations Office for Drug Control
and Crime Prevention (UNODC), pendekatan RJ telah menunjukkan kapabilitasnya sebagai instrumen yang efisien dalam menyelesaikan konflik dan memulihkan harmoni sosial. Keberhasilan ini sejalan dengan pandangan beberapa ahli yang menilai bahwa pendekatan retributif yang selama ini diterapkan dalam penyelesaian kejahatan belakangan ini dinilai kurang
optimal (Syaufi,
2020, pp. 47�50).
����������� Sebagaimana dijelaskan Zinsstag et al. (2011) dan Carswell et al. (2013), dalam penerapannya, RJ menunjukkan beragam model pendekatan di berbagai wilayah
dunia. Di antara pendekatan
tersebut terdapat
Restorative Justice Conferences (RJC) dan Family Group Conferencing
yang menekankan pada dialog mengenai
dampak kerugian serta tindakan pemulihan (Kirkwood,
2022).
Walaupun efek dari penerapan RJ memiliki variasi, berdasarkan ulasan literatur, diketahui bahwa RJC cenderung berdampak positif dalam mengurangi pelanggaran berulang serta meningkatkan kepuasan terhadap proses peradilan (Kirkwood,
2022).
Selain itu,
Ward dan Durrant (2021) mengklasifikasikan kerangka kerja RJ ke dalam lima kategori
utama, meliputi nilai etika, kebijaksanaan,
prinsip fundamental, asumsi
terkait pengetahuan, dan panduan intervensi (Kirkwood,
2022).
Dalam praktiknya, kompensasi
yang dicapai melalui RJ dinilai memiliki relevansi yang tinggi dan bersifat substantif, mengingat kesepakatan diperoleh melalui dialog sukarela dan pertimbangan bersama (Kirkwood,
2022).
Pendekatan ini pun memberdayakan pelaku untuk mengambil
alih tanggung jawab atas tindakannya
serta konsekuensinya, memberikan peluang bagi pelaku untuk
melakukan restitusi, serta meneguhkan keyakinan bahwa proses dan hasil yang diperoleh adalah adil dan benar. Adapun menurut Morris
(2002), RJ memiliki orientasi
yang mendorong apresiasi
dan sensitivitas terhadap keragaman budaya, bukan sekedar dominasi
satu budaya dominan (Ward
and Langlands, 2008).
����������� Dalam
konteks sistem hukum Republik Indonesia, Hukum
Acara Pidana termasuk dalam wilayah hukum pidana formil dan memegang peran esensial dalam menjamin pelaksanaan hukum pidana materiil
sesuai koridor yang benar (Susatyo,
2023).
Abdullah (2020) menekankan bahwa
esensi utama dari penerapan hukum ini adalah
untuk memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan keadilan. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya kompleksitas tindak kejahatan yang terjadi, urgensi adaptabilitas dalam kerangka hukum kita menjadi titik
sentral yang ditekankan
oleh Wijayanti et al. (2023) (Susatyo,
2023).
Sebagai tambahan, Mulyadi (2008) merinci distingsi antara hukum pidana materiil
dengan formil di Indonesia.
Dalam dinamika hukum yang terus berkembang ini, solusi alternatif
seperti mediasi penal mulai mendapatkan perhatian sebagai mekanisme penyelesaian yang menawarkan pendekatan di luar jalur litigasi
konvensional yang lebih responsif (Kristiyadi
and Setyawan, 2022). Hal ini merupakan refleksi bahwa paradigma hukum di Indonesia terus evolusi, meski dihadapkan dengan tantangan seperti proses litigasi yang terkadang kurang memberikan solusi efektif (Martadinata,
2022).
Dalam forum global, Konferensi Internasional mengenai Reformasi Hukum Pidana
yang diselenggarakan di London pada tahun 1999 telah mengusulkan serangkaian strategi pembaharuan pada sistem hukum pidana. Di antara rekomendasi tersebut termasuk pendorongan terhadap penerapan RJ, serta pendekatan alternatif lainnya dalam menyelesaikan
sengketa hukum pidana. Kesepakatan yang dihasilkan dari konferensi tersebut menggarisbawahi pentingnya integrasi mekanisme penyelesaian alternatif ke dalam system peradilan konvensional, dengan tetap memastikan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) (Kristiyadi
and Setyawan, 2022).
Penelitian ini dirancang dengan
dua fokus utama. Pertama, untuk mengeksplorasi interpretasi serta aplikasi dari KUHAP saat ini, terutama dalam
konteks penghentian penuntutan oleh jaksa dan potensi rechtsvacu�m terkait RJ. Kedua, meninjau model RJ dari berbagai negara lain sebagai referensi potensial untuk perbaikan KUHAP di
Indonesia. Melalui pendekatan
ini, tujuan utama adalah untuk
memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Penelitian ini dikonstruksi dengan dua objektif utama. Pertama, melakukan eksplorasi mendalam terhadap interpretasi dan aplikasi dari KUHAP yang berlaku, terutama berkaitan dengan aspek penghentian
penuntutan oleh jaksa serta potensi adanya
kekosongan hukum atau rechtsvacu�m dalam konteks RJ. Kedua, penelitian ini melibatkan studi komparatif dengan model RJ dari berbagai yurisdiksi seperti Amerika Serikat (AS), Belanda, Jepang, dan
Jerman, yang diharapkan dapat
dijadikan sebagai rujukan dalam upaya
pembaruan KUHAP di Indonesia. Melalui
pendekatan komprehensif ini, penelitian ini bertujuan memberikan
kontribusi substansial bagi evolusi hukum
pidana di Indonesia.
Metode Penelitian
Dalam penelitian
ini, diterapkan pendekatan hukum normatif guna memahami
serta mendalami sumber-sumber hukum yang relevan. Pendekatan ini memungkinkan pembentukan argumen hukum yang didasari oleh ide-ide,
konsep, serta asas-asas hukum yang berlaku. Dalam konteks pendekatan normatif, teknik konseptual mendasari analisis kritis terhadap doktrin-doktrin hukum yang ada, sedangkan pendekatan legislasi memberikan penekanan pada telaah terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan mengontrol kesesuaian terhadap asas-asas serta filosofi hukum yang berlaku (Marzuki,
2017).
����������� Dalam
kerangka referensi hukum, bahan hukum
primer yang menjadi acuan dalam penelitian ini meliputi, namun
tidak terbatas pada, UUD
1945, KUHAP, dan KUHP. Sementara itu,
bahan hukum sekunder terdiri dari literatur-literatur akademik yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku hukum, yang bertujuan untuk memberikan konteks dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap topik penelitian (Marzuki,
2017).
Dalam melakukan analisis, teknik deduktif diterapkan; dimana penelitian ini memulai dari pemahaman
umum, misalnya teori atau norma hukum (premis mayor), kemudian diterapkan pada kasus atau situasi
tertentu (premis minor) untuk memperoleh kesimpulan (Marzuki,
2017).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Rechtsvacu�m
Mengenai RJ dalam Kerangka KUHAP
Di
Indonesia, KUHAP berfungsi sebagai
instrumen hukum sentral yang mengatur mekanisme penuntutan dan wewenang jaksa. Berdasarkan referensi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana, ada indikasi adanya
rechtsvacu�m ketika KUHAP mencoba untuk menginkorporasikan
konsep RJ, khususnya berkaitan dengan kewenangan Jaksa Penuntut Umum
(JPU). Untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai isu ini,
Tabel 1 di bawah ini menyajikan analisis terperinci terhadap berbagai pasal dalam KUHAP yang memiliki potensi relevansi dengan penerapan RJ, dengan fokus khusus
pada kewenangan jaksa dan prosedur penuntutan.
Tabel 1 Analisis
Detail Pasal-pasal dalam
KUHAP yang Berpotensi Relevan
dengan Penerapan RJ, Terutama Mengenai Kewenangan Jaksa dalam Proses Penuntutan
Pasal |
Penjelasan |
Analisis |
Pasal 1 angka 6 huruf a |
Jaksa adalah pejabat yang memperoleh wewenang dari undang-undang untuk
berperan sebagai penuntut umum serta menjalankan keputusan pengadilan yang
telah bersifat tetap. |
Pasal menyatakan peran jaksa dalam penuntutan dan pelaksanaan putusan
pengadilan. Akan tetapi, belum mencerminkan integrasi prinsip RJ. |
Pasal 1 angka 6 huruf b |
Penuntutan adalah tindakan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk
mengajukan perkara pidana ke pengadilan negeri sesuai undang-undang, dengan
tujuan agar perkara diperiksa dan diputus oleh hakim. |
Pasal menjelaskan konsep penuntutan, namun belum menjelaskan integrasi
RJ. |
Penuntut umum adalah jaksa yang memiliki wewenang,
sesuai undang-undang, untuk melaksanakan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. |
Pasal mendefinisikan wewenang jaksa. Ada ruang untuk
mempertimbangkan RJ saat memutuskan menutup perkara demi keadilan. |
|
Pasal 14 |
Penuntut umum memiliki wewenang seperti menerima dan memeriksa berkas
perkara, melakukan prapenuntutan, memberikan perpanjangan penahanan, membuat
surat dakwaan, melimpahkan perkara, menyampaikan pemberitahuan kepada
terdakwa, melakukan penuntutan, menutup perkara untuk kepentingan hukum, dan
melaksanakan penetapan hakim. |
Meski mendetailkan wewenang jaksa, ada ruang untuk mempertimbangkan RJ,
terutama saat menutup perkara demi kepentingan hukum. |
Pasal 15 |
Penuntut umum dapat menuntut perkara pidana berdasarkan daerah hukum
tertentu sesuai dengan undang-undang. |
Pasal menyoroti aspek geografis dalam wewenang penuntutan jaksa, namun
belum menjelaskan bagaimana mengintegrasikan RJ berdasarkan konteks
geografis. |
Sebagaimana tercermin dalam
Tabel 1 berbagai ketentuan dalam KUHAP mengartikulasikan fungsi serta wewenang
jaksa dalam konteks hukum pidana
di Indonesia. Namun, tampaknya
masih ada kekosongan normatif dalam mengakomodasi prinsip RJ. Pertama, merujuk pada Pasal 1 angka 6 huruf a (lihat Tabel 1, baris pertama), ketentuan ini mendefinisikan
jaksa sebagai penuntut umum serta
pelaksana putusan pengadilan. Meskipun demikian, ketentuan ini belum ekspresif
menyoroti pentingnya integrasi RJ. Oleh karena itu, ada urgensi
untuk mempertimbangkan revisi yang memasukkan prinsip RJ dalam tugas dan fungsi jaksa.
����������� Selanjutnya,
Pasal 1 angka 6 huruf b (Tabel 1, baris kedua) menguraikan mekanisme penuntutan. Namun, ketentuan ini belum
ekspresif memberikan landasan bagi integrasi
RJ. Sebagai tindak lanjut, diperlukan revisi yang mengakomodasi aspek RJ dalam proses penuntutan. Pasal 13 dan Pasal 14 (Tabel 1, baris ketiga
dan keempat), mendefinisikan
wewenang jaksa dengan spesifikasi tertentu. Namun, tampaknya ada celah
normatif yang dapat diisi dengan prinsip
RJ, khususnya saat mempertimbangkan penghentian penuntutan atas dasar kepentingan hukum. Dalam konteks ini, disarankan adanya penyesuaian atau penambahan ketentuan yang mempertegas penerapan RJ.
����������� Akhirnya, mengacu pada Pasal 15 (Tabel 1,
baris kelima), ketentuan ini menegaskan kapasitas yurisdiksi dari jaksa. Meskipun
relevan, ketentuan ini belum sepenuhnya
menggambarkan bagaimana prinsip RJ dapat diterapkan dalam berbagai konteks geografis di Indonesia. Sebagai respons, direkomendasikan adanya panduan tambahan yang memperkuat aplikasi RJ sesuai dengan kerangka yurisdiksi tertentu. Keseluruhannya, terdapat peluang yang signifikan untuk meningkatkan kualitas sistem peradilan melalui integrasi RJ. Langkah pertama
yang penting adalah inovasi dalam beberapa
pasal KUHAP.
Di
sisi lain, keberadaan rechtsvacu�m dalam KUHAP mendorong lembaga peradilan, termasuk pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, untuk merumuskan regulasi sendiri, seperti yang diuraikan dalam Tabel 2. Hal ini mencerminkan transisi yang terjadi dari paradigma keadilan retributif ke pendekatan RJ dalam praktik penegakan
hukum di Indonesia.
Tabel 2 Beberapa
Regulasi RJ yang diatur
pada Lembaga Penegakan Hukum di Indonesia
Peraturan/Surat |
Nomor |
Tentang |
Sumber |
SE Kapolri |
SE/8/VII/2018 |
Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana |
(Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2018) |
Peraturan Kapolri |
6/2019 |
Penyidikan Tindak Pidana |
(Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2019) |
Peraturan Kejaksaan |
15/2020 |
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif |
(Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2020) |
Pedoman Kejaksaan |
18/2021 |
Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif |
(Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2021) |
PERMA |
2/2012 |
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP |
(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012) |
PERMA |
4/2014 |
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak |
(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014) |
PERMA |
3/2017 |
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum |
(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017) |
SEMA |
4/2010 |
Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke
Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial |
(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010) |
SEMA |
3/2011 |
Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial |
(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010) |
SKB MA, JA, Kapolri, Menkumham, Mensos, MenPP dan PA |
*) |
Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum |
(Mahkamah Agung
Republik Indonesia et al., 2009) |
NKB MA, Menkumham, JA, Kapolri |
**) |
Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda, Acara Pemeriksaan Cepat serta Penerapan Keadilan Restoratif |
(Mahkamah Agung
Republik Indonesia et al., 2012) |
Peraturan Bersama MA, Menkumham, Menkes, Mensos, JA, Kapolri, BNN |
***) |
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi |
(Mahkamah Agung
Republik Indonesia et al., 2014) |
Keputusan Dirjen Badilum MA |
1691/DJU/SK/PS.00/ 12/2020 |
Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif |
(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 2020) |
Keterangan: |
*) Nomor 166A/KMA/SKB/XII/2009, 148
A/A/JA/12/2009, B/45/XIl/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009,
10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009. |
**) Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor
M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012
tanggal 17 Oktober 2012. |
***) Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor
03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor
Per-005/A/JA/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/111/2014/BNN. |
Dalam kerangka
hukum pidana di Indonesia, pendekatan penyelesaian kasus melalui mediasi
tampaknya belum mendapatkan legitimasi yang kuat, berbeda dengan
kasus-kasus di ranah perdata yang sudah memiliki dasar hukum berupa Pasal
2 UU Nomor 30 Tahun 1999
dan Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Walaupun demikian, terdapat peluang bagi penyelesaian
kasus pidana melalui jalur di luar peradilan formal (Syaufi,
2020, pp. 35�36). Misalnya,
melalui Pasal 82 ayat (1) KUHP, yang dikenal dengan afkoop atau compositie, ada mekanisme yang memungkinkan penghentian tuntutan dengan syarat terdakwa bersedia membayar sejumlah denda maksimum ditambah dengan biaya penuntutan.
Meski demikian, mekanisme ini hanya
berlaku untuk pelanggaran yang sanksinya berupa denda (Syaufi,
2020, pp. 35�36).
����������� Sementara itu, berbagai negara seperti AS,
Austria, Belanda, Belgia, Jepang,
Jerman, Kanada, dan Norwegia telah
mengimplementasikan mediasi
penal sebagai bagian
integral dari sistem hukum pidana mereka.
Sebagai kontras, di
Indonesia, berlandaskan UU Nomor
30 Tahun 1999, perkara pidana pada dasarnya tidak dapat diselesaikan
melalui jalur di luar peradilan. Pendekatan alternatif tersebut sejauh ini hanya diperkenankan
bagi perkara-perkara perdata (Syaufi,
2020, p. 164).
����������� RJ memberikan perspektif berbeda dalam sistem
peradilan. Sebagai sebuah pendekatan yang menekankan pada pemulihan hubungan yang rusak antara pelaku dan korban serta reintegrasi pelaku ke dalam
masyarakat, RJ memiliki potensi untuk diterapkan
dalam berbagai jenis tindak pidana,
terutama tindak pidana ringan. Walau demikian, terdapat batasan-batasan tertentu untuk penerapannya. Misalnya, di Indonesia, tindak pidana korupsi dikecualikan dari penerapan pendekatan RJ (Hidayati,
2022).
Meskipun demikian, penerapan RJ di
Indonesia telah diinisiasi melalui berbagai peraturan dan kebijakan, seperti yang diatur dalam NKB antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepolisian RI, dan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 (Edyanto,
2017).
Namun, dalam praktiknya, kendala-kendala tertentu sering muncul. Salah satunya adalah kecenderungan para aparat penegak hukum (APH) untuk lebih memilih pendekatan
litigasi tradisional daripada RJ, meski RJ direkomendasikan untuk kasus tindak pidana
ringan (Edyanto,
2017).
����������� Pendekatan RJ sendiri, seperti yang didefinisikan oleh
Tony F. Marshall, adalah suatu
proses di mana semua pihak
yang terlibat dalam suatu pelanggaran (termasuk pelaku, korban, dan masyarakat) berupaya untuk menyelesaikan dampak dan konsekuensi dari pelanggaran tersebut (Hidayati,
2022).
Melalui pendekatan ini, harapannya adalah terciptanya pemahaman, penerimaan, dan rekonsiliasi antara para pihak yang terlibat.
Tabel 3 Daftar Beberapa Penulis dan Fokus Penelitiannya terkait RJ
Peneliti |
Tahun |
Fokus Penelitian |
Manullang dkk. |
2022 |
Menekankan kepastian hukum dalam RJ, mengambil Peraturan Kejaksaan Nomor
15 Tahun 2020 sebagai referensi utama (Manullang et al.,
2022). |
Manullang dkk. |
2020 |
Berfokus pada implementasi RJ dalam penanganan tindak pidana ringan,
menekankan pengakuan kesalahan pelaku dan dukungan masyarakat. (Manullang et al.,
2020). |
Wirajaya dkk. |
2022 |
Menyatakan bahwa walaupun ada dasar dari KUHAP dan Peraturan MA untuk
tindak pidana ringan, implementasi RJ membutuhkan landasan hukum yang lebih
kokoh, stabil, dan holistik. (Wirajaya, Dewi and Karma, 2022). |
Jusuf |
2023 |
Menyoroti panduan Mahkamah Agung untuk RJ melalui Surat Keputusan Nomor
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, namun menekankan bahwa penerapannya membutuhkan
pendalaman, termasuk dalam aspek teknologi. (Jusuf, 2023). |
Dari Tabel
�di atas, terlihat adanya minat penelitian yang besar terhadap konsep RJ di Indonesia. Beberapa peneliti menekankan pentingnya kepastian hukum dalam penerapan
RJ, sementara yang lainnya fokus pada panduan dan rekomendasi dari lembaga peradilan tertinggi. Ada pula yang mengangkat
isu terkait dengan kendala implementasi RJ dan bagaimana teknologi informasi dapat diintegrasikan untuk mendukung proses RJ. Keseluruhan fokus penelitian tersebut menunjukkan bahwa RJ bukan hanya menjadi
topik diskusi teoritis, namun juga memiliki relevansi praktik yang mendalam, terutama dalam konteks hukum di Indonesia.
Studi Komparatif RJ di Beberapa Negara
����������� Banyak
negara telah mengadopsi prinsip RJ dalam sistem peradilan mereka, dengan penyesuaian berdasarkan tradisi dan budaya lokal. Mediasi penal, yang terkait dengan RJ, telah menjadi solusi
yang dikembangkan untuk memberikan keadilan bagi korban dan pelaku, terutama dalam kasus tindak pidana
ringan. Beberapa negara
yang telah mengintegrasikan
mediasi penal dalam sistem peradilan mereka termasuk AS, Jepang, dan Jerman (Kristiyadi
and Setyawan, 2022).
����������� Di
AS, prinsip RJ telah mulai diterapkan semenjak dekade 1970-an melalui program Victim Offender Mediation (VOM)
yang diprakarsai di daerah utara negara tersebut (Mukti
and Susanti, 2023). Menerapkan
sistem hukum common law,
AS memberikan otonomi kepada masing-masing negara bagian
untuk menggagas kebijakan hukumnya sendiri. Beberapa program RJ, seperti mediasi antara korban dan pelaku, pertemuan keluarga, serta program restitusi, telah diadopsi di berbagai negara bagian (Mukti
and Susanti, 2023).
Proses mediasi
tersebut bisa dimulai dari tahap
pra-pelaporan kepada pihak kepolisian hingga tahap pasca-putusan
dari pengadilan (Syaufi,
2020).
Adapun dalam proses rujukan
mediasi, terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi seperti jenis tindak
kejahatan, pengakuan dari pelaku, potensi
restitusi, serta riwayat hukum dan kesehatan mental pelaku (Syaufi,
2020).
Di Belanda, sistem penyelesaian
di luar pengadilan, seperti �transactie�, telah dikenal sejak
tahun 1838, yang mencakup elemen �submissie� (Syaufi, 2020). Walaupun konsep �compositie� kini sudah tidak
digunakan lagi, submissie memfasilitasi
dialog antara terdakwa dan
JPU di hadapan hakim.
Sejak tahun 2018, praktik mediasi dalam kasus
pidana mendapatkan pengakuan secara nasional setelah melalui evaluasi dari proyek percontohan
(Wolthuis
et al., 2019). Menurut Remmelink (2003), transactie
diatur dalam Transactiebesluit 1994, dimana polisi dan beberapa instansi berwenang melaksanakan transactie. Seperti dikutip oleh Hulsman dalam Dirdjosisworo (1984), dalam kasus-kasus ringan, pihak kepolisian dapat menyelesaikan masalah melalui transactie atau menghadapkan tersangka ke pengadilan. Di sisi lain, JPU juga memiliki otoritas untuk menawarkan transactie dengan syarat tertentu,
sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht
(KUHP Belanda), , seperti penggantian
kerugian atau pembebasan bersyarat atau voorwadelijksepot
(Syaufi,
2020).
����������� Di Jepang, prinsip dasar dari sistem
hukumnya adalah �chian hanji�,
yang secara harfiah berarti �Keadilan dari Perdamaian�. Seperti yang dijelaskan oleh Ali
(2009), kasus-kasus pencurian
ringan di Jepang sering kali diselesaikan melalui mediasi di kantor kepolisian dengan tujuan mengedepankan
prinsip perdamaian (Syaufi,
2020).
Meskipun Jepang dikenal dengan tingkat kejahatan yang relatif rendah, pendekatan RJ-nya, yang berlandaskan pada budaya dan tradisi setempat, dapat dianggap unik dan mungkin sulit untuk diadaptasi
di negara-negara lain (Haley,
2011).
Namun, pendekatan RJ di Jepang telah terbukti
efektif, terutama dalam mengurangi tingkat kejahatan (Suzuki
and Otani, 2017).
����������� Sementara di Jerman, prinsip T�ter-Opfer-Ausgleich (TOA) atau �penyelesaian antara pelaku dan korban� telah diterapkan sejak dekade 1980-an (Syaufi,
2020).
Detlev Frehsee mencatat bahwa konsep restitusi
di Jerman telah diperkenalkan
sejak tahun 1923 sebagai bagian dari Juvenile Penal Code. Pada tahun
1990, TOA diintegrasikan ke
dalam hukum pidana anak sebagai
alat diversi. Hasilnya, TOA telah memainkan peran signifikan dalam mediasi, meningkatkan kepuasan korban, serta mendukung reintegrasi pelaku (Duenkel
and Willms, 2023).
Tabel 1 Implementasi RJ di AS, Belanda, Jepang, dan Jerman
Aspek |
AS |
Belanda |
Jepang |
Jerman |
Sejarah; Sistem Hukum |
Institusi VOM berdiri sejak 1970; Mengadopsi common law. |
Dikenal sejak 1838 dengan transactie dan submissie. |
Mendasarkan pada prinsip heiwa, heion, dan chian
hanji. |
Pengenalan TOA pada 1980-an. |
Implementasi; Fokus |
Prioritas pada mediasi antar korban dan pelaku serta restitusi. |
Penerapan mediasi pidana secara nasional pada 2018. |
Menyelesaikan kasus pencurian ringan melalui mediasi. |
Pendekatan TOA. |
Rujukan; Mediator |
Rujukan dari tahap pra-pelaporan hingga pasca-putusan; Sukarelawan
sebagai mediator. |
Proses rujukan melalui berbagai tahap; Polisi dan Jaksa berwenang. |
Mediasi di kantor polisi. |
Strategi diversi dan kombinasi sanksi; Tak spesifik mediator. |
Keterlibatan Masyarakat |
Partisipasi masyarakat sebagai mediator dalam integrasi RJ. |
Dukungan masyarakat dengan adanya pembaruan RJ. |
Fokus pada heiwa dalam prosedur keadilan. |
Partisipasi aktif masyarakat dalam implementasi TOA. |
Hasil; Dampak |
Menurunnya pengulangan tindak pidana. |
Inovasi proses pengadilan. |
Penekanan pada perdamaian dan budaya malu. |
Kepuasan korban meningkat dengan TOA. |
Selain itu,
penting bagi Indonesia untuk mempertimbangkan bagaimana masing-masing negara menyesuaikan
implementasi RJ dengan
norma-norma dan nilai-nilai sosial
budayanya. Dalam konteks
AS, pendekatan common law mereka memungkinkan keberagaman dalam pelaksanaan RJ di berbagai negara
bagian (Mukti
and Susanti, 2023), sedangkan
di Jepang, konsep keadilan mereka yang berfokus pada perdamaian dan harmoni mempengaruhi cara mereka menerapkan
RJ (Haley,
2011; Suzuki and Otani, 2017).
����������� Belanda
dan Jerman, meskipun sama-sama
berada di Eropa, memiliki perbedaan pendekatan dalam mengaplikasikan RJ (Syaufi,
2020).
Belanda lebih cenderung mengintegrasikan mediasi dalam sistem peradilan
pidana mereka, sementara Jerman, dengan konsep TOA atau OVA, menekankan pada restitusi dan rekonsiliasi (Duenkel
and Willms, 2023).
����������� Indonesia,
dengan latar belakang hukum, sosial, dan budaya yang kaya, memerlukan pendekatan yang holistik dalam mengadopsi konsep RJ. Dengan memahami bagaimana negara-negara lain menerapkan
RJ, Indonesia dapat merumuskan
pendekatan yang paling sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya (Haley,
2011).
Selain mediasi, mungkin
juga perlu untuk mempertimbangkan instrumen-instrumen
lain seperti dialog komunitas,
pertemuan keluarga, atau program restitusi yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Yang paling penting
adalah mengedepankan prinsip keadilan, rekonsiliasi, dan pemulihan, serta mengakui hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku (Gerson,
2022; Hidayati, 2022; Kirkwood, 2022).
Kesimpulan
Sejalan dengan upaya untuk
mengisi rechtsvacu�m terkait RJ, penelitian ini juga menyoroti praktik RJ di negara-negara seperti
AS, Belanda, Jepang, dan Jerman. Meskipun
setiap negara memiliki pendekatan dan konteksnya sendiri, terdapat kesamaan dalam penggunaan mediasi sebagai instrumen utama dalam mencapai
rekonsiliasi antara pelaku dan korban.
����������� Mengadaptasi prinsip-prinsip RJ dalam KUHAP Indonesia dan mengambil
contoh dari praktik-praktik terbaik di
negara-negara tersebut adalah
langkah awal yang penting dalam menghadapi
rechtsvacu�m dan memperbaiki
sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan memastikan bahwa hak-hak korban diakui dan pelaku diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka, Indonesia dapat bergerak menuju sistem peradilan yang lebih adil, berfokus
pada pemulihan, dan berdampak
positif pada masyarakat.
����������� Namun, penting untuk diingat bahwa
perubahan hukum adalah proses yang kompleks, dan implementasi praktik RJ akan memerlukan upaya kolaboratif dari semua pemangku
kepentingan, termasuk lembaga penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat sipil. Dalam menghadapi rechtsvacu�m ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperkuat sistem peradilan pidana dan mempromosikan prinsip-prinsip RJ,
yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi negara dan masyarakat.
����������� Lebih lanjut, penerapan
RJ di Indonesia tidak hanya
dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelesaian perkara, tetapi juga dapat meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak
yang terlibat. Dengan menekankan pada pemulihan dan reintegrasi, RJ menawarkan solusi yang lebih komprehensif dan berorientasi
pada manusia dibandingkan dengan pendekatan tradisional yang berfokus pada hukuman sebagaimana yang sampaikan.
����������� Salah
satu tantangan utama dalam menerapkan
RJ di Indonesia adalah kurangnya
pemahaman dan kesadaran mengenai pendekatan ini di kalangan pejabat hukum dan masyarakat umum. Oleh karena itu, upaya-upaya
pendidikan dan pelatihan untuk hakim, jaksa, polisi, dan profesional hukum lainnya menjadi
penting. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat umum juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa mereka memahami
hak dan pilihan mereka dalam proses peradilan.
����������� Penerapan RJ di Indonesia memerlukan
revisi dan adaptasi dari kerangka hukum
yang ada. Selain revisi beberapa ketentuan dalam KUHAP, pentingnya pembentukan infrastruktur pendukung seperti pelatihan mediator, fasilitasi pusat mediasi, serta mekanisme evaluasi yang menjamin kualitas dan efektivitas proses
RJ tidak dapat diabaikan. Selain itu, menjalin kerja sama dengan negara-negara/lembaga internasional yang telah berhasil mengimplementasikan RJ dapat memberikan wawasan berharga dan membantu dalam menyusun pendekatan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan hukum di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Duenkel,
F. and Willms, C. (2023) �T�ter-Opfer-Ausgleich und
Restorative Justice in Deutschland � Aktuelle Entwicklungen und kriminalpolitischer
Handlungsbedarf�, Neue Kriminalpolitik,
35, pp. 172�189. Available at: https://doi.org/10.5771/0934-9200-2023-2-172.
Edyanto, N. (2017)
�Restorative Justice Untuk Menyelesaikan
Kasus Anak yang Berhadapan dengan
Hukum�, Jurnal Ilmu Kepolisian, 11(3), p. 8.
Gerson,
J.C. (2022) �Restorative Justice and Alternative Systems�, in L.R. Kurtz (ed.)
Encyclopedia of Violence, Peace, & Conflict (Third Edition). Oxford:
Academic Press, pp. 125�136. Available at:
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-820195-4.00161-8.
Haley,
J.O. (2011) �Introduction�Beyond Retribution: An Integrated Approach to
Restorative Justice�, Washington University Journal of Law & Policy, 36(1).
Available at: https://journals.library.wustl.edu/lawpolicy/article/id/1932/
(Accessed: 20 October 2023).
Hidayati, N. (2022) �Keadilan Restoratif Kasus Korupsi Dalam Perspektif Keadilan Bermartabat�, Jurnal Geuth��: Penelitian Multidisiplin, 5(2),
p. 198. Available at: https://doi.org/10.52626/jg.v5i2.166.
Jusuf,
M.B. (2023) �Tinjauan Pelaksanaan
Restorative Justice Dalam Penuntutan Tindak Pidana Ringan�,
Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan Masyarakat, 1(02). Available at:
https://journal.forikami.com/index.php/dassollen/article/view/252 (Accessed: 18
October 2023).
Kejaksaan Agung Republik Indonesia (2020) Peraturan
Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kirkwood,
S. (2022) �A practice framework for restorative justice�, Aggression and
Violent Behavior, 63, p. 101688. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.avb.2021.101688.
Kristiyadi, K. and Setyawan, V.P. (2022) �Keadilan Restoratif dan Mediasi Penal
Dalam Tindak Pidana Ringan�, Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan,
4(1), pp. 17�30. Available at: https://doi.org/10.32502/khdk.v4i1.4622.
Manullang, H. et al. (2020)
�Penyelesaian Tindak Pidana Biasa Bermotif
Ringan dengan Restoratif Justice Sebagian Bentuk
Upaya Pembaharuan Hukum Pidana�,
Nommensen Journal of Legal Opinion, pp. 64�77. Available at:
https://doi.org/10.51622/njlo.v1i01.39.
Manullang, S.O. et al.
(2022) �Legal Certainty Aspects in Regulation of the Attorney General Number 15
of 2020 Concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice�,
LEGAL BRIEF, 11(5), pp. 3291�3298. Available at:
https://doi.org/10.35335/legal.v11i5.651.
Martadinata, M.I. (2022) Analisis Pergeseran Paradigma Hukum dari Retributive
Justice Menuju Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Ringan (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam
Penyelesaian Perkara Pidana). Skripsi. FAKULTAS HUKUM.
Available at: https://digilib.unila.ac.id/65391/ (Accessed: 19 October 2023).
Marzuki,
M. (2017) Penelitian Hukum: Edisi
Revisi. Prenada Media.
Maulana,
I.M. and Agusta, M.A. (2021) �Konsep dan Implementasi Restorative Justice di Indonesia�, DATIN LAW
JURNAL, 2(2). Available at: https://doi.org/10.36355/dlj.v2i2.734.
Mukti,
A.R.W. and Susanti, R. (2023) �Studi Komparatif Penerapan Restorative Justice di Negara Indonesia dan
Amerika Serikat�, Wijayakusuma
Law Review, 5(1). Available at: https://doi.org/10.51921/wlr.v5i1.240.
Nugraha, W. and Handoyo, S. (2019) �Penerapan
Restorative Justice Dalam Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Narkotika yang Dilakukan oleh Anak di Kota Balikpapan�, Journal de Facto,
6(1). Available at: https://doi.org/10.36277/jurnaldefacto.v6i1.38.
Putra,
Y.A.D. and Yunanto, Y. (2023) �Perlindungan
Hukum Seorang Anak Sebagai Pemohon Dispensasi Kawin Pasca Revisi Undang-Undang Perkawinan�, AL-MANHAJ: Jurnal
Hukum dan Pranata Sosial Islam, 5(1), pp. 457�466.
Available at: https://doi.org/10.37680/almanhaj.v5i1.2403.
Susatyo, F.A. (2023) �Kriteria Alat Bukti Elektronik
yang Sah dalam urgensi pembaharuan KUHAP�, HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT, 21(1),
p. 51. Available at: https://doi.org/10.56444/hdm.v21i1.4035.
Suzuki,
M. and Otani, A. (2017) �Myths of restorative features in the Japanese justice
system and society: the role of apology, compensation and confession, and
application of reintegrative shaming�, Restorative Justice, 5(2), pp. 158�177.
Available at: https://doi.org/10.1080/20504721.2017.1339955.
Syaufi, A. (2020) Konstruksi Model Penyelesaian Perkara Pidana yang Berorientasi pada Keadilan Restoratif. Samudra Biru (Anggota
IKAPI).
Ward,
T. and Langlands, R.L. (2008) �Restorative justice and the human rights of
offenders: Convergences and divergences�, Aggression and Violent Behavior,
13(5), pp. 355�372. Available at: https://doi.org/10.1016/j.avb.2008.06.001.
Wirajaya, A.A.N.B.K.,
Dewi, A.A.S.L. and Karma, N.M.S. (2022) �Tindak Pidana Ringan Melalui
Restorative Justice sebagai Bentuk
Upaya Pembaharuan Hukum Pidana�,
Jurnal Konstruksi Hukum,
3(3), pp. 545�550. Available at: https://doi.org/10.55637/jkh.3.3.5345.545-550.
Wolthuis,
A. et al. (2019) �Dutch developments: restorative justice in legislation and in
practice�, The International Journal of Restorative Justice, 2(1), pp. 118�134.
Available at: https://doi.org/10.5553/IJRJ/258908912019002001007.
Copyright
holder: Arnott Ferels, Hery Firmansyah (2023) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |