Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

ANALISIS RECHTSVACUUM DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA: PENERAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF

 

Arnott Ferels, Hery Firmansyah

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Email: [email protected]

 

Abstrak

Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berperan sebagai landasan normatif primer yang mengatur proses penuntutan. Meskipun KUHAP secara intrinsik mengutamakan paradigma keadilan retributif, tren pemikiran hukum global saat ini menunjukkan pergeseran ke arah keadilan restoratif (restorative justice atau RJ). Salah satu elemen krusial dalam KUHAP yang membutuhkan telaah lebih lanjut dalam konteks ini adalah wewenang jaksa terkait penghentian penuntutan. Penelitian ini fokus pada analisis kekosongan hukum atau rechtsvacu�m terkait RJ di dalam KUHAP dan melibatkan studi komparatif dengan model RJ yang diterapkan di beberapa yurisdiksi, seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan Jerman. Tujuan utama adalah mengidentifikasi aspek-aspek KUHAP, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan Jaksa, yang berpotensi diharmonisasikan dengan prinsip-prinsip RJ guna mendukung restorasi hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menginspirasi reformasi peradilan pidana di Indonesia yang lebih adaptif dan inklusif. Sebagai rekomendasi, penelitian ini menyarankan penyusunan regulasi yang lebih eksplisit, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui edukasi dan pelatihan, serta kerja sama dengan negara-negara entitas yang memiliki rekam jejak dalam penerapan RJ.

 

Kata kunci: Rechtsvacu�m; KUHAP; Penghentian Penuntutan; Keadilan Restoratif; Jaksa; Sistem Peradilan Pidana.

 

Abstract

Within the context of criminal procedural law in Indonesia, the Criminal Procedure Code (often referred to by its Indonesian acronym, KUHAP) serves as the primary normative foundation governing the prosecution process. While the KUHAP intrinsically emphasizes a retributive justice paradigm, the global legal thought trend is currently shifting towards restorative justice (RJ). A crucial element in the KUHAP that warrants further scrutiny in this context is the prosecutorial discretion concerning the discontinuation of prosecutions. This research zeroes in on the analysis of the legal void or rechtsvacu�m in relation to RJ within the KUHAP, encompassing a comparative study with RJ models applied in various jurisdictions, such as the United States, the Netherlands, Japan, and Germany. The primary objective is to identify aspects of the KUHAP, especially those related to prosecutorial discretion, that have the potential to be harmonized with RJ principles, thereby supporting the restoration of relationships among offenders, victims, and the community. The findings from this analysis are hoped to inspire a more adaptive and inclusive reform of the criminal justice system in Indonesia. As recommendations, this research suggests the formulation of more explicit regulations, enhancement of the capacity of law enforcement officers through education and training, and collaboration with countries that have a proven track record in implementing RJ.

 

Keywords: Rechtsvacu�m; Criminal Procedure Code (KUHAP); Prosecution Termination; Restorative Justice; Prosecutor; Criminal Justice System.

 

PENDAHULUAN

Dalam koridor negara hukum, Indonesia memberikan penekanan kuat terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) demi terciptanya keseimbangan serta pemberlakuan keadilan sosial di tengah masyarakat, dimana Ekatjahjana (2015) menggarisbawahi urgensi perlindungan hak-hak fundamental ini (Edyanto, 2017). Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah berdiri sebagai pilar utama dalam sistem peradilan pidana nasional, terdapat indikasi bahwa paradigma Keadilan Restoratif (RJ), yang telah mendapat tempat di berbagai negara, belum terintegrasi sepenuhnya di Indonesia (Edyanto, 2017).

Dalam konteks ini, KUHAP memiliki peran strategis, terutama dalam menentukan batasan wewenang jaksa. Era pra-reformasi menyaksikan penerapan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai dasar hukum peradilan. Namun, ketidaksesuaian HIR dengan aspirasi hukum nasional telah memicu transformasi dalam KUHAP yang kini tunduk pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Menambahkan perspektif lain, Hafidzan dan Priyono (2016) menegaskan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat, integritas proses pembuktian dapat lebih mudah terkompromi, sehingga inovasi dalam KUHAP menjadi sebuah keharusan (Susatyo, 2023).

����������� RJ mendefinisikan paradigma hukum dengan fokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, berbeda dengan pendekatan hukuman semata. Marshall (1999) melihat RJ sebagai proses di mana semua pihak yang terlibat berusaha menyelesaikan dampak serta implikasi pelanggaran untuk masa depan (Kirkwood, 2022). Sebagai respons terhadap dominasi keadilan retributif, RJ mengintroduksi solusi seperti pertemuan dan perbaikan (Gerson, 2022).

Namun, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa definisi dan penerapan RJ bisa berbeda-beda dan beragam, tergantung pada konteks kejahatan dan tujuannya (Kirkwood, 2022). Berbicara lanjut, keadilan retributif menekankan pada pembalasan melalui hukuman, memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap sistem, dan lebih berfokus pada penjatuhan hukuman bagi pelaku (penal), sementara sering kali mengesampingkan korban (Nugraha and Handoyo, 2019; Maulana and Agusta, 2021).

Dalam literatur yang disusun oleh Safa�at (2011), disebutkan bahwa mediasi penal merupakan salah satu bentuk konkret dari implementasi pendekatan RJ. Dalam proses tersebut, seorang mediator yang bersifat netral berperan aktif mendampingi pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan guna mencapai kesepakatan, tanpa memiliki wewenang untuk memutuskan bagi mereka.

Selanjutnya, menurut United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention (UNODC), pendekatan RJ telah menunjukkan kapabilitasnya sebagai instrumen yang efisien dalam menyelesaikan konflik dan memulihkan harmoni sosial. Keberhasilan ini sejalan dengan pandangan beberapa ahli yang menilai bahwa pendekatan retributif yang selama ini diterapkan dalam penyelesaian kejahatan belakangan ini dinilai kurang optimal (Syaufi, 2020, pp. 47�50).

����������� Sebagaimana dijelaskan Zinsstag et al. (2011) dan Carswell et al. (2013), dalam penerapannya, RJ menunjukkan beragam model pendekatan di berbagai wilayah dunia. Di antara pendekatan tersebut terdapat Restorative Justice Conferences (RJC) dan Family Group Conferencing yang menekankan pada dialog mengenai dampak kerugian serta tindakan pemulihan (Kirkwood, 2022). Walaupun efek dari penerapan RJ memiliki variasi, berdasarkan ulasan literatur, diketahui bahwa RJC cenderung berdampak positif dalam mengurangi pelanggaran berulang serta meningkatkan kepuasan terhadap proses peradilan (Kirkwood, 2022).

Selain itu, Ward dan Durrant (2021) mengklasifikasikan kerangka kerja RJ ke dalam lima kategori utama, meliputi nilai etika, kebijaksanaan, prinsip fundamental, asumsi terkait pengetahuan, dan panduan intervensi (Kirkwood, 2022). Dalam praktiknya, kompensasi yang dicapai melalui RJ dinilai memiliki relevansi yang tinggi dan bersifat substantif, mengingat kesepakatan diperoleh melalui dialog sukarela dan pertimbangan bersama (Kirkwood, 2022).

Pendekatan ini pun memberdayakan pelaku untuk mengambil alih tanggung jawab atas tindakannya serta konsekuensinya, memberikan peluang bagi pelaku untuk melakukan restitusi, serta meneguhkan keyakinan bahwa proses dan hasil yang diperoleh adalah adil dan benar. Adapun menurut Morris (2002), RJ memiliki orientasi yang mendorong apresiasi dan sensitivitas terhadap keragaman budaya, bukan sekedar dominasi satu budaya dominan (Ward and Langlands, 2008).

����������� Dalam konteks sistem hukum Republik Indonesia, Hukum Acara Pidana termasuk dalam wilayah hukum pidana formil dan memegang peran esensial dalam menjamin pelaksanaan hukum pidana materiil sesuai koridor yang benar (Susatyo, 2023). Abdullah (2020) menekankan bahwa esensi utama dari penerapan hukum ini adalah untuk memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan keadilan. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya kompleksitas tindak kejahatan yang terjadi, urgensi adaptabilitas dalam kerangka hukum kita menjadi titik sentral yang ditekankan oleh Wijayanti et al. (2023) (Susatyo, 2023).

Sebagai tambahan, Mulyadi (2008) merinci distingsi antara hukum pidana materiil dengan formil di Indonesia. Dalam dinamika hukum yang terus berkembang ini, solusi alternatif seperti mediasi penal mulai mendapatkan perhatian sebagai mekanisme penyelesaian yang menawarkan pendekatan di luar jalur litigasi konvensional yang lebih responsif (Kristiyadi and Setyawan, 2022). Hal ini merupakan refleksi bahwa paradigma hukum di Indonesia terus evolusi, meski dihadapkan dengan tantangan seperti proses litigasi yang terkadang kurang memberikan solusi efektif (Martadinata, 2022).

Dalam forum global, Konferensi Internasional mengenai Reformasi Hukum Pidana yang diselenggarakan di London pada tahun 1999 telah mengusulkan serangkaian strategi pembaharuan pada sistem hukum pidana. Di antara rekomendasi tersebut termasuk pendorongan terhadap penerapan RJ, serta pendekatan alternatif lainnya dalam menyelesaikan sengketa hukum pidana. Kesepakatan yang dihasilkan dari konferensi tersebut menggarisbawahi pentingnya integrasi mekanisme penyelesaian alternatif ke dalam system peradilan konvensional, dengan tetap memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) (Kristiyadi and Setyawan, 2022).

Penelitian ini dirancang dengan dua fokus utama. Pertama, untuk mengeksplorasi interpretasi serta aplikasi dari KUHAP saat ini, terutama dalam konteks penghentian penuntutan oleh jaksa dan potensi rechtsvacu�m terkait RJ. Kedua, meninjau model RJ dari berbagai negara lain sebagai referensi potensial untuk perbaikan KUHAP di Indonesia. Melalui pendekatan ini, tujuan utama adalah untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.

Penelitian ini dikonstruksi dengan dua objektif utama. Pertama, melakukan eksplorasi mendalam terhadap interpretasi dan aplikasi dari KUHAP yang berlaku, terutama berkaitan dengan aspek penghentian penuntutan oleh jaksa serta potensi adanya kekosongan hukum atau rechtsvacu�m dalam konteks RJ. Kedua, penelitian ini melibatkan studi komparatif dengan model RJ dari berbagai yurisdiksi seperti Amerika Serikat (AS), Belanda, Jepang, dan Jerman, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya pembaruan KUHAP di Indonesia. Melalui pendekatan komprehensif ini, penelitian ini bertujuan memberikan kontribusi substansial bagi evolusi hukum pidana di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, diterapkan pendekatan hukum normatif guna memahami serta mendalami sumber-sumber hukum yang relevan. Pendekatan ini memungkinkan pembentukan argumen hukum yang didasari oleh ide-ide, konsep, serta asas-asas hukum yang berlaku. Dalam konteks pendekatan normatif, teknik konseptual mendasari analisis kritis terhadap doktrin-doktrin hukum yang ada, sedangkan pendekatan legislasi memberikan penekanan pada telaah terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan mengontrol kesesuaian terhadap asas-asas serta filosofi hukum yang berlaku (Marzuki, 2017).

����������� Dalam kerangka referensi hukum, bahan hukum primer yang menjadi acuan dalam penelitian ini meliputi, namun tidak terbatas pada, UUD 1945, KUHAP, dan KUHP. Sementara itu, bahan hukum sekunder terdiri dari literatur-literatur akademik yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku hukum, yang bertujuan untuk memberikan konteks dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap topik penelitian (Marzuki, 2017). Dalam melakukan analisis, teknik deduktif diterapkan; dimana penelitian ini memulai dari pemahaman umum, misalnya teori atau norma hukum (premis mayor), kemudian diterapkan pada kasus atau situasi tertentu (premis minor) untuk memperoleh kesimpulan (Marzuki, 2017).

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Rechtsvacu�m Mengenai RJ dalam Kerangka KUHAP

Di Indonesia, KUHAP berfungsi sebagai instrumen hukum sentral yang mengatur mekanisme penuntutan dan wewenang jaksa. Berdasarkan referensi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana, ada indikasi adanya rechtsvacu�m ketika KUHAP mencoba untuk menginkorporasikan konsep RJ, khususnya berkaitan dengan kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai isu ini, Tabel 1 di bawah ini menyajikan analisis terperinci terhadap berbagai pasal dalam KUHAP yang memiliki potensi relevansi dengan penerapan RJ, dengan fokus khusus pada kewenangan jaksa dan prosedur penuntutan.

 

Tabel 1 Analisis Detail Pasal-pasal dalam KUHAP yang Berpotensi Relevan dengan Penerapan RJ, Terutama Mengenai Kewenangan Jaksa dalam Proses Penuntutan

Pasal

Penjelasan

Analisis

Pasal 1 angka 6 huruf a

Jaksa adalah pejabat yang memperoleh wewenang dari undang-undang untuk berperan sebagai penuntut umum serta menjalankan keputusan pengadilan yang telah bersifat tetap.

Pasal menyatakan peran jaksa dalam penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Akan tetapi, belum mencerminkan integrasi prinsip RJ.

Pasal 1 angka 6 huruf b

Penuntutan adalah tindakan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk mengajukan perkara pidana ke pengadilan negeri sesuai undang-undang, dengan tujuan agar perkara diperiksa dan diputus oleh hakim.

Pasal menjelaskan konsep penuntutan, namun belum menjelaskan integrasi RJ.

Pasal 13

Penuntut umum adalah jaksa yang memiliki wewenang, sesuai undang-undang, untuk melaksanakan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal mendefinisikan wewenang jaksa. Ada ruang untuk mempertimbangkan RJ saat memutuskan menutup perkara demi keadilan.

Pasal 14

Penuntut umum memiliki wewenang seperti menerima dan memeriksa berkas perkara, melakukan prapenuntutan, memberikan perpanjangan penahanan, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara, menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa, melakukan penuntutan, menutup perkara untuk kepentingan hukum, dan melaksanakan penetapan hakim.

Meski mendetailkan wewenang jaksa, ada ruang untuk mempertimbangkan RJ, terutama saat menutup perkara demi kepentingan hukum.

Pasal 15

Penuntut umum dapat menuntut perkara pidana berdasarkan daerah hukum tertentu sesuai dengan undang-undang.

Pasal menyoroti aspek geografis dalam wewenang penuntutan jaksa, namun belum menjelaskan bagaimana mengintegrasikan RJ berdasarkan konteks geografis.

 

Sebagaimana tercermin dalam Tabel 1 berbagai ketentuan dalam KUHAP mengartikulasikan fungsi serta wewenang jaksa dalam konteks hukum pidana di Indonesia. Namun, tampaknya masih ada kekosongan normatif dalam mengakomodasi prinsip RJ. Pertama, merujuk pada Pasal 1 angka 6 huruf a (lihat Tabel 1, baris pertama), ketentuan ini mendefinisikan jaksa sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan. Meskipun demikian, ketentuan ini belum ekspresif menyoroti pentingnya integrasi RJ. Oleh karena itu, ada urgensi untuk mempertimbangkan revisi yang memasukkan prinsip RJ dalam tugas dan fungsi jaksa.

����������� Selanjutnya, Pasal 1 angka 6 huruf b (Tabel 1, baris kedua) menguraikan mekanisme penuntutan. Namun, ketentuan ini belum ekspresif memberikan landasan bagi integrasi RJ. Sebagai tindak lanjut, diperlukan revisi yang mengakomodasi aspek RJ dalam proses penuntutan. Pasal 13 dan Pasal 14 (Tabel 1, baris ketiga dan keempat), mendefinisikan wewenang jaksa dengan spesifikasi tertentu. Namun, tampaknya ada celah normatif yang dapat diisi dengan prinsip RJ, khususnya saat mempertimbangkan penghentian penuntutan atas dasar kepentingan hukum. Dalam konteks ini, disarankan adanya penyesuaian atau penambahan ketentuan yang mempertegas penerapan RJ.

����������� Akhirnya, mengacu pada Pasal 15 (Tabel 1, baris kelima), ketentuan ini menegaskan kapasitas yurisdiksi dari jaksa. Meskipun relevan, ketentuan ini belum sepenuhnya menggambarkan bagaimana prinsip RJ dapat diterapkan dalam berbagai konteks geografis di Indonesia. Sebagai respons, direkomendasikan adanya panduan tambahan yang memperkuat aplikasi RJ sesuai dengan kerangka yurisdiksi tertentu. Keseluruhannya, terdapat peluang yang signifikan untuk meningkatkan kualitas sistem peradilan melalui integrasi RJ. Langkah pertama yang penting adalah inovasi dalam beberapa pasal KUHAP.

Di sisi lain, keberadaan rechtsvacu�m dalam KUHAP mendorong lembaga peradilan, termasuk pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, untuk merumuskan regulasi sendiri, seperti yang diuraikan dalam Tabel 2. Hal ini mencerminkan transisi yang terjadi dari paradigma keadilan retributif ke pendekatan RJ dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.

 

Tabel 2 Beberapa Regulasi RJ yang diatur pada Lembaga Penegakan Hukum di Indonesia

Peraturan/Surat

Nomor

Tentang

Sumber

SE Kapolri

SE/8/VII/2018

Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana

(Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2018)

Peraturan Kapolri

6/2019

Penyidikan Tindak Pidana

(Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2019)

Peraturan Kejaksaan

15/2020

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

(Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2020)

Pedoman Kejaksaan

18/2021

Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

(Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2021)

PERMA

2/2012

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012)

PERMA

4/2014

Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014)

PERMA

3/2017

Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum

(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017)

SEMA

4/2010

Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010)

SEMA

3/2011

Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010)

SKB MA, JA, Kapolri, Menkumham, Mensos, MenPP dan PA

*)

Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

(Mahkamah Agung Republik Indonesia et al., 2009)

NKB MA, Menkumham, JA, Kapolri

**)

Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat serta Penerapan Keadilan Restoratif

(Mahkamah Agung Republik Indonesia et al., 2012)

Peraturan Bersama MA, Menkumham, Menkes, Mensos, JA, Kapolri, BNN

***)

Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi

(Mahkamah Agung Republik Indonesia et al., 2014)

Keputusan Dirjen Badilum MA

1691/DJU/SK/PS.00/ 12/2020

Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif

(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2020)

 

Keterangan:

*) Nomor 166A/KMA/SKB/XII/2009, 148 A/A/JA/12/2009, B/45/XIl/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009.

**) Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012.

***) Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/111/2014/BNN.

 

Dalam kerangka hukum pidana di Indonesia, pendekatan penyelesaian kasus melalui mediasi tampaknya belum mendapatkan legitimasi yang kuat, berbeda dengan kasus-kasus di ranah perdata yang sudah memiliki dasar hukum berupa Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Walaupun demikian, terdapat peluang bagi penyelesaian kasus pidana melalui jalur di luar peradilan formal (Syaufi, 2020, pp. 35�36). Misalnya, melalui Pasal 82 ayat (1) KUHP, yang dikenal dengan afkoop atau compositie, ada mekanisme yang memungkinkan penghentian tuntutan dengan syarat terdakwa bersedia membayar sejumlah denda maksimum ditambah dengan biaya penuntutan. Meski demikian, mekanisme ini hanya berlaku untuk pelanggaran yang sanksinya berupa denda (Syaufi, 2020, pp. 35�36).

����������� Sementara itu, berbagai negara seperti AS, Austria, Belanda, Belgia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Norwegia telah mengimplementasikan mediasi penal sebagai bagian integral dari sistem hukum pidana mereka. Sebagai kontras, di Indonesia, berlandaskan UU Nomor 30 Tahun 1999, perkara pidana pada dasarnya tidak dapat diselesaikan melalui jalur di luar peradilan. Pendekatan alternatif tersebut sejauh ini hanya diperkenankan bagi perkara-perkara perdata (Syaufi, 2020, p. 164).

����������� RJ memberikan perspektif berbeda dalam sistem peradilan. Sebagai sebuah pendekatan yang menekankan pada pemulihan hubungan yang rusak antara pelaku dan korban serta reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat, RJ memiliki potensi untuk diterapkan dalam berbagai jenis tindak pidana, terutama tindak pidana ringan. Walau demikian, terdapat batasan-batasan tertentu untuk penerapannya. Misalnya, di Indonesia, tindak pidana korupsi dikecualikan dari penerapan pendekatan RJ (Hidayati, 2022).

Meskipun demikian, penerapan RJ di Indonesia telah diinisiasi melalui berbagai peraturan dan kebijakan, seperti yang diatur dalam NKB antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepolisian RI, dan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 (Edyanto, 2017). Namun, dalam praktiknya, kendala-kendala tertentu sering muncul. Salah satunya adalah kecenderungan para aparat penegak hukum (APH) untuk lebih memilih pendekatan litigasi tradisional daripada RJ, meski RJ direkomendasikan untuk kasus tindak pidana ringan (Edyanto, 2017).

����������� Pendekatan RJ sendiri, seperti yang didefinisikan oleh Tony F. Marshall, adalah suatu proses di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu pelanggaran (termasuk pelaku, korban, dan masyarakat) berupaya untuk menyelesaikan dampak dan konsekuensi dari pelanggaran tersebut (Hidayati, 2022). Melalui pendekatan ini, harapannya adalah terciptanya pemahaman, penerimaan, dan rekonsiliasi antara para pihak yang terlibat.

 

Tabel 3 Daftar Beberapa Penulis dan Fokus Penelitiannya terkait RJ

Peneliti

Tahun

Fokus Penelitian

Manullang dkk.

2022

Menekankan kepastian hukum dalam RJ, mengambil Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 sebagai referensi utama (Manullang et al., 2022).

Manullang dkk.

2020

Berfokus pada implementasi RJ dalam penanganan tindak pidana ringan, menekankan pengakuan kesalahan pelaku dan dukungan masyarakat. (Manullang et al., 2020).

Wirajaya dkk.

2022

Menyatakan bahwa walaupun ada dasar dari KUHAP dan Peraturan MA untuk tindak pidana ringan, implementasi RJ membutuhkan landasan hukum yang lebih kokoh, stabil, dan holistik. (Wirajaya, Dewi and Karma, 2022).

Jusuf

2023

Menyoroti panduan Mahkamah Agung untuk RJ melalui Surat Keputusan Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, namun menekankan bahwa penerapannya membutuhkan pendalaman, termasuk dalam aspek teknologi. (Jusuf, 2023).

 

Dari Tabel �di atas, terlihat adanya minat penelitian yang besar terhadap konsep RJ di Indonesia. Beberapa peneliti menekankan pentingnya kepastian hukum dalam penerapan RJ, sementara yang lainnya fokus pada panduan dan rekomendasi dari lembaga peradilan tertinggi. Ada pula yang mengangkat isu terkait dengan kendala implementasi RJ dan bagaimana teknologi informasi dapat diintegrasikan untuk mendukung proses RJ. Keseluruhan fokus penelitian tersebut menunjukkan bahwa RJ bukan hanya menjadi topik diskusi teoritis, namun juga memiliki relevansi praktik yang mendalam, terutama dalam konteks hukum di Indonesia.

 

Studi Komparatif RJ di Beberapa Negara

����������� Banyak negara telah mengadopsi prinsip RJ dalam sistem peradilan mereka, dengan penyesuaian berdasarkan tradisi dan budaya lokal. Mediasi penal, yang terkait dengan RJ, telah menjadi solusi yang dikembangkan untuk memberikan keadilan bagi korban dan pelaku, terutama dalam kasus tindak pidana ringan. Beberapa negara yang telah mengintegrasikan mediasi penal dalam sistem peradilan mereka termasuk AS, Jepang, dan Jerman (Kristiyadi and Setyawan, 2022).

����������� Di AS, prinsip RJ telah mulai diterapkan semenjak dekade 1970-an melalui program Victim Offender Mediation (VOM) yang diprakarsai di daerah utara negara tersebut (Mukti and Susanti, 2023). Menerapkan sistem hukum common law, AS memberikan otonomi kepada masing-masing negara bagian untuk menggagas kebijakan hukumnya sendiri. Beberapa program RJ, seperti mediasi antara korban dan pelaku, pertemuan keluarga, serta program restitusi, telah diadopsi di berbagai negara bagian (Mukti and Susanti, 2023).

Proses mediasi tersebut bisa dimulai dari tahap pra-pelaporan kepada pihak kepolisian hingga tahap pasca-putusan dari pengadilan (Syaufi, 2020). Adapun dalam proses rujukan mediasi, terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi seperti jenis tindak kejahatan, pengakuan dari pelaku, potensi restitusi, serta riwayat hukum dan kesehatan mental pelaku (Syaufi, 2020). Di Belanda, sistem penyelesaian di luar pengadilan, seperti �transactie�, telah dikenal sejak tahun 1838, yang mencakup elemen �submissie� (Syaufi, 2020). Walaupun konsep �compositie� kini sudah tidak digunakan lagi, submissie memfasilitasi dialog antara terdakwa dan JPU di hadapan hakim.

Sejak tahun 2018, praktik mediasi dalam kasus pidana mendapatkan pengakuan secara nasional setelah melalui evaluasi dari proyek percontohan (Wolthuis et al., 2019). Menurut Remmelink (2003), transactie diatur dalam Transactiebesluit 1994, dimana polisi dan beberapa instansi berwenang melaksanakan transactie. Seperti dikutip oleh Hulsman dalam Dirdjosisworo (1984), dalam kasus-kasus ringan, pihak kepolisian dapat menyelesaikan masalah melalui transactie atau menghadapkan tersangka ke pengadilan. Di sisi lain, JPU juga memiliki otoritas untuk menawarkan transactie dengan syarat tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda), , seperti penggantian kerugian atau pembebasan bersyarat atau voorwadelijksepot (Syaufi, 2020).

����������� Di Jepang, prinsip dasar dari sistem hukumnya adalah �chian hanji�, yang secara harfiah berarti �Keadilan dari Perdamaian�. Seperti yang dijelaskan oleh Ali (2009), kasus-kasus pencurian ringan di Jepang sering kali diselesaikan melalui mediasi di kantor kepolisian dengan tujuan mengedepankan prinsip perdamaian (Syaufi, 2020). Meskipun Jepang dikenal dengan tingkat kejahatan yang relatif rendah, pendekatan RJ-nya, yang berlandaskan pada budaya dan tradisi setempat, dapat dianggap unik dan mungkin sulit untuk diadaptasi di negara-negara lain (Haley, 2011). Namun, pendekatan RJ di Jepang telah terbukti efektif, terutama dalam mengurangi tingkat kejahatan (Suzuki and Otani, 2017).

����������� Sementara di Jerman, prinsip T�ter-Opfer-Ausgleich (TOA) atau �penyelesaian antara pelaku dan korban� telah diterapkan sejak dekade 1980-an (Syaufi, 2020). Detlev Frehsee mencatat bahwa konsep restitusi di Jerman telah diperkenalkan sejak tahun 1923 sebagai bagian dari Juvenile Penal Code. Pada tahun 1990, TOA diintegrasikan ke dalam hukum pidana anak sebagai alat diversi. Hasilnya, TOA telah memainkan peran signifikan dalam mediasi, meningkatkan kepuasan korban, serta mendukung reintegrasi pelaku (Duenkel and Willms, 2023).

 

Tabel 1 Implementasi RJ di AS, Belanda, Jepang, dan Jerman

Aspek

AS

Belanda

Jepang

Jerman

Sejarah; Sistem Hukum

Institusi VOM berdiri sejak 1970; Mengadopsi common law.

Dikenal sejak 1838 dengan transactie dan submissie.

Mendasarkan pada prinsip heiwa, heion, dan chian hanji.

Pengenalan TOA pada 1980-an.

Implementasi; Fokus

Prioritas pada mediasi antar korban dan pelaku serta restitusi.

Penerapan mediasi pidana secara nasional pada 2018.

Menyelesaikan kasus pencurian ringan melalui mediasi.

Pendekatan TOA.

Rujukan; Mediator

Rujukan dari tahap pra-pelaporan hingga pasca-putusan; Sukarelawan sebagai mediator.

Proses rujukan melalui berbagai tahap; Polisi dan Jaksa berwenang.

Mediasi di kantor polisi.

Strategi diversi dan kombinasi sanksi; Tak spesifik mediator.

Keterlibatan Masyarakat

Partisipasi masyarakat sebagai mediator dalam integrasi RJ.

Dukungan masyarakat dengan adanya pembaruan RJ.

Fokus pada heiwa dalam prosedur keadilan.

Partisipasi aktif masyarakat dalam implementasi TOA.

Hasil; Dampak

Menurunnya pengulangan tindak pidana.

Inovasi proses pengadilan.

Penekanan pada perdamaian dan budaya malu.

Kepuasan korban meningkat dengan TOA.

 

Selain itu, penting bagi Indonesia untuk mempertimbangkan bagaimana masing-masing negara menyesuaikan implementasi RJ dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial budayanya. Dalam konteks AS, pendekatan common law mereka memungkinkan keberagaman dalam pelaksanaan RJ di berbagai negara bagian (Mukti and Susanti, 2023), sedangkan di Jepang, konsep keadilan mereka yang berfokus pada perdamaian dan harmoni mempengaruhi cara mereka menerapkan RJ (Haley, 2011; Suzuki and Otani, 2017).

����������� Belanda dan Jerman, meskipun sama-sama berada di Eropa, memiliki perbedaan pendekatan dalam mengaplikasikan RJ (Syaufi, 2020). Belanda lebih cenderung mengintegrasikan mediasi dalam sistem peradilan pidana mereka, sementara Jerman, dengan konsep TOA atau OVA, menekankan pada restitusi dan rekonsiliasi (Duenkel and Willms, 2023).

����������� Indonesia, dengan latar belakang hukum, sosial, dan budaya yang kaya, memerlukan pendekatan yang holistik dalam mengadopsi konsep RJ. Dengan memahami bagaimana negara-negara lain menerapkan RJ, Indonesia dapat merumuskan pendekatan yang paling sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya (Haley, 2011). Selain mediasi, mungkin juga perlu untuk mempertimbangkan instrumen-instrumen lain seperti dialog komunitas, pertemuan keluarga, atau program restitusi yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Yang paling penting adalah mengedepankan prinsip keadilan, rekonsiliasi, dan pemulihan, serta mengakui hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku (Gerson, 2022; Hidayati, 2022; Kirkwood, 2022).

 

Kesimpulan

Sejalan dengan upaya untuk mengisi rechtsvacu�m terkait RJ, penelitian ini juga menyoroti praktik RJ di negara-negara seperti AS, Belanda, Jepang, dan Jerman. Meskipun setiap negara memiliki pendekatan dan konteksnya sendiri, terdapat kesamaan dalam penggunaan mediasi sebagai instrumen utama dalam mencapai rekonsiliasi antara pelaku dan korban.

����������� Mengadaptasi prinsip-prinsip RJ dalam KUHAP Indonesia dan mengambil contoh dari praktik-praktik terbaik di negara-negara tersebut adalah langkah awal yang penting dalam menghadapi rechtsvacu�m dan memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan memastikan bahwa hak-hak korban diakui dan pelaku diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka, Indonesia dapat bergerak menuju sistem peradilan yang lebih adil, berfokus pada pemulihan, dan berdampak positif pada masyarakat.

����������� Namun, penting untuk diingat bahwa perubahan hukum adalah proses yang kompleks, dan implementasi praktik RJ akan memerlukan upaya kolaboratif dari semua pemangku kepentingan, termasuk lembaga penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat sipil. Dalam menghadapi rechtsvacu�m ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperkuat sistem peradilan pidana dan mempromosikan prinsip-prinsip RJ, yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi negara dan masyarakat.

����������� Lebih lanjut, penerapan RJ di Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelesaian perkara, tetapi juga dapat meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat. Dengan menekankan pada pemulihan dan reintegrasi, RJ menawarkan solusi yang lebih komprehensif dan berorientasi pada manusia dibandingkan dengan pendekatan tradisional yang berfokus pada hukuman sebagaimana yang sampaikan.

����������� Salah satu tantangan utama dalam menerapkan RJ di Indonesia adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran mengenai pendekatan ini di kalangan pejabat hukum dan masyarakat umum. Oleh karena itu, upaya-upaya pendidikan dan pelatihan untuk hakim, jaksa, polisi, dan profesional hukum lainnya menjadi penting. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat umum juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa mereka memahami hak dan pilihan mereka dalam proses peradilan.

����������� Penerapan RJ di Indonesia memerlukan revisi dan adaptasi dari kerangka hukum yang ada. Selain revisi beberapa ketentuan dalam KUHAP, pentingnya pembentukan infrastruktur pendukung seperti pelatihan mediator, fasilitasi pusat mediasi, serta mekanisme evaluasi yang menjamin kualitas dan efektivitas proses RJ tidak dapat diabaikan. Selain itu, menjalin kerja sama dengan negara-negara/lembaga internasional yang telah berhasil mengimplementasikan RJ dapat memberikan wawasan berharga dan membantu dalam menyusun pendekatan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan hukum di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Duenkel, F. and Willms, C. (2023) �T�ter-Opfer-Ausgleich und Restorative Justice in Deutschland � Aktuelle Entwicklungen und kriminalpolitischer Handlungsbedarf�, Neue Kriminalpolitik, 35, pp. 172�189. Available at: https://doi.org/10.5771/0934-9200-2023-2-172.

 

Edyanto, N. (2017) �Restorative Justice Untuk Menyelesaikan Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum�, Jurnal Ilmu Kepolisian, 11(3), p. 8.

 

Gerson, J.C. (2022) �Restorative Justice and Alternative Systems�, in L.R. Kurtz (ed.) Encyclopedia of Violence, Peace, & Conflict (Third Edition). Oxford: Academic Press, pp. 125�136. Available at: https://doi.org/10.1016/B978-0-12-820195-4.00161-8.

 

Haley, J.O. (2011) �Introduction�Beyond Retribution: An Integrated Approach to Restorative Justice�, Washington University Journal of Law & Policy, 36(1). Available at: https://journals.library.wustl.edu/lawpolicy/article/id/1932/ (Accessed: 20 October 2023).

 

Hidayati, N. (2022) �Keadilan Restoratif Kasus Korupsi Dalam Perspektif Keadilan Bermartabat�, Jurnal Geuth��: Penelitian Multidisiplin, 5(2), p. 198. Available at: https://doi.org/10.52626/jg.v5i2.166.

 

Jusuf, M.B. (2023) �Tinjauan Pelaksanaan Restorative Justice Dalam Penuntutan Tindak Pidana Ringan�, Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan Masyarakat, 1(02). Available at: https://journal.forikami.com/index.php/dassollen/article/view/252 (Accessed: 18 October 2023).

 

Kejaksaan Agung Republik Indonesia (2020) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

Kirkwood, S. (2022) �A practice framework for restorative justice�, Aggression and Violent Behavior, 63, p. 101688. Available at: https://doi.org/10.1016/j.avb.2021.101688.

 

Kristiyadi, K. and Setyawan, V.P. (2022) �Keadilan Restoratif dan Mediasi Penal Dalam Tindak Pidana Ringan�, Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan, 4(1), pp. 17�30. Available at: https://doi.org/10.32502/khdk.v4i1.4622.

 

Manullang, H. et al. (2020) �Penyelesaian Tindak Pidana Biasa Bermotif Ringan dengan Restoratif Justice Sebagian Bentuk Upaya Pembaharuan Hukum Pidana�, Nommensen Journal of Legal Opinion, pp. 64�77. Available at: https://doi.org/10.51622/njlo.v1i01.39.

 

Manullang, S.O. et al. (2022) �Legal Certainty Aspects in Regulation of the Attorney General Number 15 of 2020 Concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice�, LEGAL BRIEF, 11(5), pp. 3291�3298. Available at: https://doi.org/10.35335/legal.v11i5.651.

 

Martadinata, M.I. (2022) Analisis Pergeseran Paradigma Hukum dari Retributive Justice Menuju Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Ringan (Studi Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana). Skripsi. FAKULTAS HUKUM. Available at: https://digilib.unila.ac.id/65391/ (Accessed: 19 October 2023).

 

Marzuki, M. (2017) Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.

 

Maulana, I.M. and Agusta, M.A. (2021) �Konsep dan Implementasi Restorative Justice di Indonesia�, DATIN LAW JURNAL, 2(2). Available at: https://doi.org/10.36355/dlj.v2i2.734.

 

Mukti, A.R.W. and Susanti, R. (2023) �Studi Komparatif Penerapan Restorative Justice di Negara Indonesia dan Amerika Serikat�, Wijayakusuma Law Review, 5(1). Available at: https://doi.org/10.51921/wlr.v5i1.240.

 

Nugraha, W. and Handoyo, S. (2019) �Penerapan Restorative Justice Dalam Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Narkotika yang Dilakukan oleh Anak di Kota Balikpapan�, Journal de Facto, 6(1). Available at: https://doi.org/10.36277/jurnaldefacto.v6i1.38.

 

Putra, Y.A.D. and Yunanto, Y. (2023) �Perlindungan Hukum Seorang Anak Sebagai Pemohon Dispensasi Kawin Pasca Revisi Undang-Undang Perkawinan�, AL-MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 5(1), pp. 457�466. Available at: https://doi.org/10.37680/almanhaj.v5i1.2403.

 

Susatyo, F.A. (2023) �Kriteria Alat Bukti Elektronik yang Sah dalam urgensi pembaharuan KUHAP�, HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT, 21(1), p. 51. Available at: https://doi.org/10.56444/hdm.v21i1.4035.

 

Suzuki, M. and Otani, A. (2017) �Myths of restorative features in the Japanese justice system and society: the role of apology, compensation and confession, and application of reintegrative shaming�, Restorative Justice, 5(2), pp. 158�177. Available at: https://doi.org/10.1080/20504721.2017.1339955.

 

Syaufi, A. (2020) Konstruksi Model Penyelesaian Perkara Pidana yang Berorientasi pada Keadilan Restoratif. Samudra Biru (Anggota IKAPI).

 

Ward, T. and Langlands, R.L. (2008) �Restorative justice and the human rights of offenders: Convergences and divergences�, Aggression and Violent Behavior, 13(5), pp. 355�372. Available at: https://doi.org/10.1016/j.avb.2008.06.001.

 

Wirajaya, A.A.N.B.K., Dewi, A.A.S.L. and Karma, N.M.S. (2022) �Tindak Pidana Ringan Melalui Restorative Justice sebagai Bentuk Upaya Pembaharuan Hukum Pidana�, Jurnal Konstruksi Hukum, 3(3), pp. 545�550. Available at: https://doi.org/10.55637/jkh.3.3.5345.545-550.

 

Wolthuis, A. et al. (2019) �Dutch developments: restorative justice in legislation and in practice�, The International Journal of Restorative Justice, 2(1), pp. 118�134. Available at: https://doi.org/10.5553/IJRJ/258908912019002001007.

 

Copyright holder:

Arnott Ferels, Hery Firmansyah (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: