Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 11, November 2023
GUGATAN CITIZEN LAW SUIT: PROGRESIVITAS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
HIDUP DALAM PRAKTIK HUKUM DI INDONESIA
Gracia, Mella Ismelina Farma Rahayu
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Progresivitas hukum dari hukum
lingkungan melihat kepada perkembangan dunia dan manusia sehingga hukum
bergerak bagi kepentingan manusia dan prinsip-prinsip ekologis. Efektivitas
hukum lingkungan yang tidak terlepas dari kinerja aparat administrasi dan penegak
hukum berkaitan dengan gugatan citizen law suit. Sebagian putusan pengadilan
menolak gugatan citizen law suit (gugatan warga negara) karena permasalahan
pengaturan syarat formil gugatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
mekanisme dan progresivitas gugatan gugatan citizen law suit sebagai upaya
penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian secara yuridis normatif yang memfokuskan pada pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelusuran didasarkan pada
pengumpulan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier melalui studi kepustakaan. Sedangkan metode analisis data menggunakan
metode penelitian kualitatif yang menekankan pada analisa atau deskriptif dan
disimpulkan menggunakan metode deduktif. Hasil penelitian menunjukkan gugatan
citizen law suit ditujukkan kepada pemerintah dengan dalil perbuatan melawan
hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan
kewajibannya untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Gugatan citizen
law suit sebagai bentuk progresivitas hukum lingkungan yang mengacu kepada
hukum acara perdata di Indonesia, perbedaannya terletak pada syarat formil yang
berlandaskan pada KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013. Maka dari itu, hukum progresif
dan penegakan hukum di Indonesia harus diperhatikan kembali demi terwujudnya
kesejahteraan manusia dan keseimbangan alam, khususnya pengaturan gugatan
citizen law suit.
Kata Kunci: Citizen Law Suit; Progresivitas Hukum; Lingkungan Hidup
Abstract
The legal progressivity of
environmental law looks at the development of the world and humans so that the
law moves for the benefit of humans and ecological principles. The
effectiveness of environmental law is inseparable from the performance of
administrative and law enforcement officials related to citizen law suit. Some
court decisions have rejected citizen law suits due to problems in setting the
formal requirements of the lawsuit. The aim of this research is to determine
the mechanism and progressivity of citizen law suit lawsuits as an effort to
enforce environmental law in Indonesia. This research uses normative juridical
research that focuses on statutory approach and conceptual approach. The search
results are based on secondary data collection consisting of primary,
secondary, and tertiary legal materials through literature studies. While the
data analysis method uses a qualitative research method that emphasizes
analysis or descriptive and is concluded using the deductive method. The
results showed that the citizen law suit was aimed at the government with the
argument of tort in Article 1365 of the Civil Code, the government was
considered to have failed in carrying out its obligations to protect and manage
the environment. Citizen law suit as a form of environmental law progressivity
that refers to civil procedural law in Indonesia, the difference lies in the
formal requirements based on KMA Number 36/KMA/SK/II/2013. Therefore,
progressive law and law enforcement in Indonesia must be considered again for
the realization of human welfare and natural balance, especially the regulation
of citizen law suits.
Keywords: Citizen Law Suit; Progressivity; Environment
Pendahuluan
Hukum dan masyarakat
berkembang semakin pesat seiring tuntutan
perubahan zaman. Gagasan hukum progresif memberikan konsep bahwa hukum berkaitan
dengan manusia, kebahagiaan, dan kesejahteraan
yang digagas oleh Satjipto
Rahardjo (Rahardjo, 2007). Titik sentral
hukum progresif melihat kepada unsur kemanfaatan bagi manusia yang tidak hanya mengacu
pada ajaran legisme. Implementasi hukum yang menerapkan hukum progresif berpandangan hukum akan berkembang
dan mengalir dalam praktiknya (law as a process, law in the making).
Ciri pertama
dari hukum progresif dilihat dari pembentukan hukum dibentuk untuk memberikan kesejahteraan kepada manusia. Keberadaan hukum tidak dapat
mengorbankan manusia ke dalam skema
hukum melainkan hukum tersebut yang wajib diperbaiki, dengan memperhatikan relasi dan kesetaraan ekologis (Ismelina, 2023). Kedua, hukum progresif
menghindari status quo dalam
menyelesaikan perkara, dimana hukum progresif
mengambil langkah inovatif di luar tolak ukur hukum
yang ada (tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum). Ketiga, hukum progresif berpegangan pada aspek peraturan dan perilaku, peraturan sebagai dasar hukum yang logis dan rasional didukung dengan aspek perilaku penegak hukum dan masyarakat (Gracia et al., 2022).
Lex dura sed tamen
scripta, sebuah asas hukum yang menunjukkan hukum yang tertuang dalam suatu peraturan
merupakan norma yang bersifat
memaksa. Perkembangan kehidupan sosial tidak semuanya tertuang dalam aturan hukum yang ada. Meskipun suatu
aturan menjadi dasar yang rasional dalam penyelesaian perkara, tetapi masyarakat yang melahirkan adanya suatu hukum.
Progresivitas hukum menekankan pada cara berpikir �humanisme yuridis� yang tertuju kepada kehidupan manusia itu sendiri,
non-utilitarian, dan menganggap semua
manusia memiliki kedudukan yang sama.
Cara berpikir
hukum progresif bukan berarti pro-rakyat tanpa memperhatikan nilai keadilan. Rasa adil dan masyarakat merupakan dua entitas penting dalam tatanan
hukum, sehingga hukum tidak murni
hanya melihat kepada masyarakat tanpa adanya kaitan
dengan peraturan dan nilai norma sosial (Nafis & Rahmad, 2020). Perubahan
format dan praksis hukum dalam praktik hukum
Indonesia yang dirumuskan secara
progresif, dilakukan dengan terobosan dan perubahan yang cepat.
Satjipto Rahardjo menganjurkan
perlunya pendekatan holistik yang lebih luas, menyeluruh dan utuh tanpa mengesampingkan
pendekatan normatif dalam praktik hukum
Indonesia. Dengan demikian,
cara pemerintah berhukum selaras dengan pembangunan hukum yang mengedepankan hukum dan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia
(Rahardjo, 2007). Ketertinggalan hukum
dalam praktiknya di
Indonesia menjadi hal serius yang berdampak terhadap legitimasi pemerintahan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Gugatan pelanggaran HAM berkembang dari tahun ke tahun
terutama pada zaman Orde Lama dan Orde Baru
(Rahardjo, 2007), tak terkecuali
pelanggaran HAM dalam kasus pencemaran lingkungan hidup.
Lingkungan hidup
berperan besar bagi kehidupan manusia yang menyumbangkan kebutuhan makanan dan obat (Yuwono et al., 2020). Laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI) menyebutkan negara penyumbang polusi udara sebesar
75% persen terdiri dari Indonesia, Pakistan, China, Bangladesh, Nigeria, dan
India yang berdampak terhadap
kesehatan maupun kerugian lainnya (BBC News
Indonesia, 2023). Pencemaran lingkungan
lainnya yang lazim ditemukan, yaitu pencemaran air dari limbah pabrik dengan
angka mencapai 4.496 desa/kelurahan serta pencemaran tanah mencapai 1.499 desa/kelurahan di Indonesia sepanjang tahun 2021 (Dihni, 2022). Masyarakat kerap mengajukan gugatan dan pengaduan akibat pencemaran lingkungan yang terjadi, seperti pengaduan dari masyarakat Timika yang dirugikan akibat kegiatan pertambangan oleh PT. Freeport Indonesia (Pemerintah Provinsi Papua, 2011)
dan lainnya.
Peranan hukum untuk
mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup mulai dikaji oleh Mochtar Kusumaatmadja sejak tahun 1972. Mochtar Kusumaatmadja menyampaikan peranan hukum demi terciptanya kepastian dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat.
Hukum memiliki upaya preventif dan represif berupa perizinan, insentif, denda, dan hukuman. Sedangkan cara penanggulangan pencemaran lingkungan termuat dalam perencanaan
kota, industri, pertanian, pertambangan, kesehatan dan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup dilengkapi dengan tingkat kepedulian masyarakat akan pencemaran lingkungan.
Selain dari
sisi masyarakat, efektivitas hukum lingkungan tidak terlepas dari kinerja
aparat administrasi dan penegak hukum dalam
penerapannya di kehidupan sehari-hari (Kusumaatmadja,
1975). Hukum dipandang sebagai
pengaturan yang sejatinya dibentuk untuk mengatur tingkah laku manusia disertai
sanksi pemberat bagi masyarakat yang melanggar (Mertokusumo, 1988).
Berbagai peraturan perundang-undangan
tentang lingkungan lazim dikenal dengan
hukum lingkungan.
Munadjat mendefinisikan
hukum lingkungan sebagai sebagai payung perlindungan, cara tata kelola, dan upaya pelestarian lingkungan (Soemartono, 1991).
Hukum lingkungan mengenal adanya hukum lingkungan
modern dan klasik yang berkembang
dari pemikiran Munadjat atas orientasi
kepada lingkungan. Hukum lingkungan modern sebagai hukum yang membatasi perbuatan manusia dengan orientasi pelestarian lingkungan untuk kegunaan masa yang panjang.
Hukum lingkungan
klasik sebagai hukum lingkungan yang digunakan untuk mencapai hasil maksimal saat memanfaatkan
dan mengeksploitasi sumber daya alam (Soemartono,
1991). Hukum lingkungan modern yang memperhatikan kelangsungan sistem ekologi, berupaya secara komprehensif untuk menjaga ekosistem menjadi seimbang, stabil, dan dinamik dengan sifat keluwesan
hukum lingkungan. Sedangkan sifat hukum lingkungan klasik cenderung masih kaku dalam
pemanfaatan sumber daya alam. (Danusaputro,
1980).
�Hukum lingkungan
modern berpandangan lingkungan
hidup sebagai bagian alam semesta
sehingga tidak hanya dimanfaatkan bagi kepentingan sekelompok orang, melainkan pemanfaatannya bersifat universal
untuk kepentingan rakyat.
Hal ini selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kekayaan alam bertujuan untuk memberi kemakmuran
dan memenuhi kebutuhan
rakyat (Cassey & Rahayu, 2021).
Nature�s interestoriented
law, hukum berorientasi kepada alam semesta.
Progresivitas hukum lingkungan mengadopsi dari tujuan hukum
lingkungan modern, dimana wujud perlindungan lingkungan secara teratur dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Perhatian akan hukum lingkungan
muncul setelah adanya Deklarasi Stockholm pada tahun 1972, demi mengurangi kemerosotan mutu dan kerusakan lingkungan. Hal ini termasuk penting
mengingat munculnya permasalahan-permasalahan lingkungan
yang mengancam kelangsungan
hidup.
Oleh karena
itu, ide pengembang hukum progresif dalam hukum lingkungan
harus dimaknai sebagai suatu perubahan.� Progresivitas hukum lingkungan memiliki tujuan, yaitu (Rahardjo, 2007): (1) Meningkatkan
kemakmuran masyarakat; (2) Mengedepankan moral kemanusiaan;
(3) Bersifat bebas dengan melihat kepada teori dan praktiknya; (4) Bersifat kritis dan fungsional dalam penerapannya dan mengikuti perkembangan zaman.
Namun, Indonesia sebagai
negara hukum masih memiliki isu perlindungan
lingkungan yang tidak kunjung selesai layaknya adagium �Recht Inackhter de Feiten Aan�. Refleksi
adagium tersebut selaras dengan keadaan hukum di Indonesia yang memang berjalan tertatih-tatih. Fakta dari World
Justice Project (WJP) mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami penurunan Indeks Negara Hukum
Indonesia (INHI). Angka INHI pada 2020 sebesar 0,68
dan pada 2021 menurun sehingga
angka tersebut hanya 0,67, yang menyebabkan
Indonesia berada pada peringkat
9 dari 15 negara antara
Asia Tenggara.
Penurunan diakibatkan
oleh 5 (lima) indikator, yang mencakup
pembatasan kekuasaan, sistem peradilan perdata maupun pidana, keterbukaan oleh pemerintah, dan perlindungan hak dasar (Primadhyta,
2021), termasuk hak atas kenyamanan lingkungan. Ketertinggalan hukum di Indonesia sebagai negara
civil law diperparah dengan
sulitnya mengadopsi perubahan-perubahan hukum sebagai upaya progresivitas.
Hukum hanya dipahami dari peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang bersifat kaku tanpa
melihat persoalan-persoalan
empirisnya.
Sistem hukum
dengan penafsiran sempit (strict interpretation) ini
senada pada persepsi gugatan citizen law suit yang diadopsi
dari negara common law. Hal ini
berasal dari pemikiran bahwa hukum acara tidak dapat dilakukan secara bebas ataupun
mengadopsi hukum acara dari luar yang tidak dikenal di Indonesia. Artinya suatu gugatan
tidak dapat dilayangkan begitu saja tanpa adanya
ketentuan formil secara jelas dalam
hukum normatif. Padahal penegakan hukum lingkungan yang terkait dengan hukum lingkungan tidak lain harus memperhatikan konsep penegakan hukum yang bersifat total, penuh, dan aktual sebagaimana disampaikan Muladi (Muladi, 2002).
Konsep penegakan
hukum total mengutamakan
norma-norma hukum, konsep penegakan hukum penuh mengakui adanya pembatasan dengan hukum acara demi kepentingan individu, dan konsep penegakan hukum aktual muncul
ketika adanya diskresi baik disebabkan
keterbatasan sarana, sumber daya, peraturan
maupun partisipasi masyarakat. Status quo gugatan
citizen law suit pada awalnya tidak
diatur pada hukum positif Indonesia. Kemudian mengingat gugatan citizen law
suit atau gugatan warga negara menyangkut kepentingan yang luas atas perbuatan melawan hukum pemerintah.
Selain itu,
jenis putusan terhadap gugatan ini telah ada
sejak dekade 2000 hingga sekarang tanpa adanya peraturan
yang memayungi, serta penelitian-penelitian sebelumnya hanya mengkaji pengakuan hakim masih bercorak disparitas dalam perkara perdata
Indonesia. Maka dari itu, Penulis tertarik untuk mengkaji pengaturan gugatan citizen law
suit dari sisi perkara lingkungan hidup.
Saat ini
pengaturan gugatan citizen
law suit dalam sengketa lingkungan hidup hanya bersandarkan pada Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (�KMA Nomor
36/KMA/SK/II/2013�), dimana KMA Nomor
36/KMA/SK/II/2013 juga memiliki akibat
hukum yang perlu ditinjau kembali.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
secara yuridis normatif yang memfokuskan pada bangunan sistem norma, dimana
jenis kajian penelitian ini mencakup asas-asas hukum, norma hukum, sistematika
hukum, keserasian hukum positif, dan sumber-sumber hukum lainnya yang relevan
dengan penelitian (Dewata & Achmad, 2017). Jenis pendekatan yang digunakan
terdiri dari pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) untuk menguraikan substansi artikel.
Pendekatan
perundang-undangan dengan mengkaji struktur norma dalam peraturan
perundang-undangan dan keberadaan pengaturan gugatan citizen law suit di
Indonesia. Sedangkan pendekatan konseptual dengan menguraikan dan menganalisis
permasalahan penelitian sebab masih kosongnya pengaturan gugatan citizen law
suit, dimana gugatan tersebut masih memiliki disparitas dalam penerapannya
(Diantha, 2016). Penulis menelusuri sumber hukum
menggunakan metode studi kepustakaan (library research) yang memberikan
berbagai informasi tentang gugatan citizen law suit yang terdapat dalam
buku-buku, catatan-catatan, literatur-literatur, dan artikel-artikel hukum yang
ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Hasil
penelusuran didasarkan pada pengumpulan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer menggunakan bahan hukum yang
ditetapkan oleh cabang kekuasaan kehakiman seperti KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH), dan berbagai peraturan lainnya. Bahan hukum
sekunder menggunakan buku-buku hukum, artikel hukum dari terbitan berkala, dan
karya tulis ilmiah lainnya. Bahan hukum tersier menggunakan bahan-bahan lainnya
yang memiliki relevansi dengan permasalah terkait untuk mendukung bahan hukum
primer dan sekunder.
����������� Sedangkan
metode analisis data menggunakan metode penelitian kualitatif yang menekankan
pada analisa atau deskriptif pada substansi yang diteliti. Metode penelitian
kualitatif mengarahkan supaya Penulis menjawab permasalahan dan analisis
terhadap data-data yang akan menghasilkan suatu data deskriptif analitis.
Kemudian artikel ini menerapkan metode penalaran deduktif yang terdiri atas
premis mayor (ketentuan umum), minor (fakta-fakta khusus), dan kesimpulan
terhadap fakta-fakta khusus (Dewata & Achmad, 2017), yang memiliki
relevansi dengan permasalahan artikel ini.
Hasil dan Pembahasan
Mekanisme Gugatan Citizen
Law Suit di Indonesia
Gugatan
ke pengadilan menyangkut para pihak yang bersengketa (disputing parties) tanpa
dapat diselesaikannya sengketa tersebut secara sukarela, sehingga menempuh jalur pengadilan karena adanya kerugian
dari suatu sengketa. Pengajuan gugatan dapat dikatakan
perwujudan hak dan kewajiban pada undang-undang yang
diwujudkan penegakannya melalui pengadilan jika sengketa tidak
dapat diselesaikan secara baik-baik (Subekti, 1981).
Ubi
jus ibi remedium, adagium tersebut menggambarkan adanya upaya hukum ketika
adanya pelanggaran hak (Ranuhandoko, 2008). Artinya setiap subjek hukum memiliki
hak dan kewajiban sehingga ketika terjadi pelanggaran hak diharapkan tersedia upaya hukum melalui jalur
pengadilan (Sinaga, 2015). Lebih
jauh dapat dikatakan bahwa pihak yang melakukan hal-hal yang melanggar hukum atau bertentangan
dengan hukum dapat digugat oleh orang yang telah dirugikan akibat perbuatannya.
Gugatan
karena perbuatan melawan hukum melahirkan
utang yang lahir dari undang-undang atau perbuatan subjek hukum. Utang yang lahir sebagaimana diatur oleh undang-undang karena hubungan darah antara anggota keluarga dan karena diperbolehkan oleh undang-undang
(Sinaga, 2015). Sedangkan utang yang lahir atas suatu
perbuatan dikenal dengan perbuatan melawan hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1365 KUHPerdata: �Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut�.
Perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata tersebut merupakan norma hukum umum sehingga
tidak ada definisi secara khusus mengenai �perbuatan melawan hukum�. Definisi sederhana perbuatan melawan hukum dianggap
suatu perbuatan yang melampaui batas secara sengaja atau tidak,
dan orang yang bersangkutan dapat
dimintai pertanggungjawaban
(Kan & Beekhuis, 1977). Dalil perbuatan
melawan hukum ini yang digunakan sebagai dasar pengajuan
gugatan citizen law suit dalam
sengketa lingkungan.
Gugatan
citizen law suit merupakan langkah
progresif hak gugat dalam sengketa
hukum lingkungan. Hak gugat tidak hanya
diberikan kepada perorangan atau badan usaha, tetapi progresivitas
hukum melahirkan gugatan organisasi lingkungan hidup, gugatan pemerintah dan pemerintah daerah, dan gugatan citizen law suit. KMA Nomor
36/KMA/SK/II/2013 mengatur perorangan
adalah orang atau sekelompok orang yang mengalami dampak dari adanya
pencemaran itu. Kemudian badan usaha mengacu pada UU PPLH yang terdiri
dari usaha berbadan hukum dan usaha tidak berbadan
hukum.
Gugatan
organisasi lingkungan hidup sebagaimana diatur juga pada UU PPLH wajib berbentuk badan hukum dengan tujuan pelestarian
fungsi lingkungan. Gugatan pemerintah dan pemerintah daerah dibagi atas menteri
lingkungan hidup, gubernur, bupati/walikota dengan kewenangan yang berbeda antara setiap badan. Gugatan pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilakukan secara sendiri atau bersama apabila
terdapat pencemaran terhadap lingkungan milik publik (sungai,
laut, dan lainnya), dan sanksi bukan sebagai
ultimum remedium. Jika gugatan citizen law suit berlaku sebaliknya, dimana gugatan ini justru
dilayangkan kepada pemerintah atau pemerintah daerah.
Gugatan
citizen law suit dalam penyelesaian
sengketa lingkungan hidup merupakan jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi). Gugatan citizen law suit dalam hukum Indonesia dikenal sebagai gugatan warga negara atau actio popularis (Harahap, 2017). Gokkel berpandangan citizen law suit merupakan
gugatan yang dapat diajukan oleh semua orang yang merupakan warga negara. Selaras dengan pemandangan Gokkel, gugatan citizen law suit menurut Mas Achmad Santosa adalah
tindakan warga negara untuk mendapatkan kembali hak-hak yang dianggap telah dirugikan (Nurmedina, 2021).
Hak gugat atau subjek
hukum yang memiliki kualifikasi sebagai penggugat dalam jenis gugatan ini
adalah warga negara dan atas nama warga
negara dalam suatu negara. Gugatan citizen law suit dalam sengketa lingkungan hidup tidak dapat
menuntut rugi seperti gugatan pada umumnya, dimana gugatan citizen law suit bertujuan
supaya adanya tindakan tertentu oleh pihak tergugat. Tindakan tertentu terdiri dari menghentikan suatu perbuatan, pencegahan pencemaran lingkungan, upaya pemulihan lingkungan, ataupun penghentian dan pemindahan aktivitas yang menyebabkan pencemaran.
Bentuk gugatan citizen law suit termasuk
ke dalam gugatan untuk dan atas nama kepentingan
warga negara dan kepentingan
publik. Gugatan ini ditujukkan tidak hanya untuk
kepentingan orang-perorangan
atau kelompok. Karakteristik lain gugatan
citizen law suit dapat dilihat
dari pihak tergugat yang tidak memberikan tindakan atau upaya dengan
sengaja atau tidak atas pencemaran
lingkungan, berupa kebijakan terkait yang dikeluarkan oleh pemerintah atau pihak yang berwenang.
Gugatan
ini dimaksudkan supaya pemerintah melakukan tugas dan kewajibannya berupa pengeluaran kebijakan lingkungan. Pemerintah yang tidak membentuk kebijakan lingkungan tanpa adanya upaya
penanggulangan pencemaran dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya, kapasitas penggugat tidak perlu membuktikan
kerugian nyata dan objektif atas sengketa
yang terjadi. Penggugat
juga tidak membutuhkan surat kuasa sebagai
wakil dari masyarakat lainnya ketika beracara (Harahap, 2017).
Gugatan
citizen law suit atas nama kepentingan umum ini merupakan unsur
penting yang memberikan kapasitas bagi penggugat (legitima standi in judicio). Walaupun pengaturan gugatan citizen law
suit tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan pada kasus sengketa lingkungan hidup hanya bersandarkan
KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013, gugatan
citizen law suit telah diakui
dalam praktiknya yang dapat dilihat dari
berbagai putusan terhadap gugatan citizen law
suit. Salah satu putusan pengadilan yang mengakomodasi progresivitas hukum dan mengakui eksistensi gugatan citizen law suit dapat dilihat dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
Perkara Nomor 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst
atau putusan Kasus Nunukan.
Perkara
tersebut diputus pada tahun 2003 yang diajukan oleh
Munir Cs mewakili 53 (lima puluh
tiga) orang lainnya yang berkapasitas sebagai warga negara. Gugatan ditujukan kepada pemerintah atau Megawati Soekarno
Putri atas penelantaran
Tenaga Kerja Indonesia yang diasingkan
dari Malaysia ke Nunukan, Kalimantan Barat. Penelantaran
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum sehingga petitum meminta supaya mengabulkan gugatan supaya pemerintah mengeluarkan kebijakan bagi perlindungan dan kesejahteraan
Tenaga Kerja Indonesia.
Gugatan
citizen law suit tersebut dikabulkan
dan melahirkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (Harahap, 2017). Walaupun
putusan tersebut belum mengatur syarat formil gugatan
citizen law suit dan tidak memiliki
dasar hukum yang kuat, putusan ini
merupakan langkah progresif yang mengakui eksistensi dan legalitas gugatan citizen law suit.
Landasan
pertimbangan pokok Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
dasar: a) Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, yang mengatur �Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa
tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya�; b) Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur �Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat�; c) Gugatan citizen law suit mengutamakan
pro bono publico atas kepentingan luas atas ketiadaan suatu kebijakan; d) Setiap warga negara berhak mengajukan gugatan citizen law suit atas pelanggaran hak yang terjadi.
Selain
perkara Nunukan di atas, eksistensi gugatan citizen law suit telah banyak diputus oleh pengadilan dengan ratio decidendi
hakim yang berbeda yang menyatakan
gugatan citizen law suit dikabulkan
maupun tidak (Nurmedina, 2021):
a) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam Perkara Nomor 228/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst yang diajukan oleh Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta melawan pemerintah
karena perbuatan melawan hukum mengenai
kebijaksanaan penyelenggaraan
ujian nasional antara siswa yang berada di daerah terbelakang dan daerah lainnya yang lebih maju.
Gugatan
citizen law suit tersebut dikabulkan.
Kemudian pemerintah mengajukan banding dengan hasil yang menguatkan putusan sebelumnya. Pemerintah tidak hanya berhenti pada tingkat banding dan kembali mengajukan kasasi. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak permintaan tersebut sehingga Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan
gugatan citizen law suit telah
bersifat final dan berkekuatan
hukum tetap.
b) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 178/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst mengenai
perbuatan melawan hukum pemerintah karena menjual BMUN PT Indosat kepada Singapura, dimana masyarakat selaku penggugat menganggap penjualan tersebut merugikan masyarakat luas. Hasil akhir menyatakan gugatan citizen law suit tidak dapat diterima.
c) Gugatan citizen law suit dengan pihak penggugat ialah Lembaga Bantuan Hukum APIK melawan pemerintah atas kenaikan harga
BBM. Hasil akhir menyatakan
gugatan citizen law suit tidak
dapat diterima.
d) Gugatan citizen law suit dengan pihak penggugat ialah Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta melawan pemerintah atas operasi yustisi.
Hasil akhir menyatakan gugatan citizen law suit tidak dapat diterima.
e) Putusan Nomor 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel mengenai perbuatan melawan hukum pemerintah
atas pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR). Hasil akhir
menyatakan gugatan citizen
law suit tidak dapat diterima.
f) Putusan Nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK mengenai perbuatan melawan hukum pemerintah (presiden) atas pencemaran udara dari kebakaran hutan. Penggugat ialah masyarakat setempat Kalimantan Tengah, penggugat
memohon supaya pemerintah membentuk aturan turunan dari UU PPLH, membangun rumah sakit dan ruang evakuasi, membentuk tim gabungan
antara Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian,
dan Kementerian Kesehatan yang sekaligus sebagai upaya preventif
penanggulangan bencana.
Dari
kasus-kasus di atas dan kasus lainnya mengenai
gugatan citizen law suit, dapat
diamati bahwa putusan pengadilan masih memiliki disparitas pada hasil akhir gugatan citizen law suit di
Indonesia. Hingga saat ini gugatan citizen law suit dalam praktik hukum
di Indonesia, khususnya pada pengaturan
syarat formil gugatan citizen law untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup hanya diatur pada KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013.
Pembentukan pengaturan ini dilatarbelakangi karena hukum sejatinya bergerak secara progresif dalam menangani sengketa lingkungan hidup yang menyebabkan pelanggaran hak masyarakat luas, hakim dituntut memahami asas kebijakan
lingkungan (substansi hukum lingkungan, prinsip proses, nilai keadilan), dan melakukan judicial
activism. Sunarjati Hartono menyampaikan
pembentukan dan pembangunan
hukum selain harus memperhatikan jiwa Pancasila, tetapi kebijakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan substansial serta bertujuan untuk mencapai nilai keadilan dan kemakmuran (Rahayu, 2023).
Pada praktiknya, perbedaan gugatan citizen law suit dengan gugatan jenis lainnya
terletak pada syarat formil pengajuan gugatan. Sedangkan praktik beracara mengikuti pengaturan hukum acara perdata di Indonesia.
Proses praktik beracara setelah pengajuan dan pemeriksaan gugatan citizen law
suit, proses berikutnya akan
melalui proses jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian hingga pembacaan putusan pengadilan sesuai HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau RBg (Het Rechtsreglement Buitengewesten)
(Harahap, 2017). Gugatan citizen law suit memiliki
kesamaan dengan gugatan perwakilan kelompok (GPK) yang gugatannya diajukan oleh satu orang yang mewakili masyarakat dalam jumlah banyak.
Perbedaan antara gugatan citizen law suit dengan
GPK terletak legal
standing penggugat dan jenis
kepentingan gugatan. Jika gugatan citizen law
suit wajib diwakilkan
oleh warga negara atas kepentingan luas, tetapi penggugat dari GPK ialah wakil dari suatu kelompok
atas suatu kepentingan yang sama (baik dari fakta
hukum, dasar hukum, dan kesamaan jenis tuntutan) (Fajar, 2017). Mekanisme gugatan citizen law suit dalam
sengketa lingkungan hidup wajib memperhatikan
5 (lima) karakteristik jenis
gugatan ini, antara lain pengaturan notifikasi, dalil gugatan berdasar perbuatan melawan hukum, legal standing
penggugat, petitum yang dimintakan hanya sebatas pembuatan kebijakan, dan ketentuan pihak tergugat. Adapun 5 (lima) karakteristik gugatan citizen law suit dapat
dilihat pada tabel bawah ini (Harahap,
2017).
Tabel 1 Karakteristik
Gugatan Citizen
Law Suit
Syarat Formil |
Deskripsi Karakteristik |
Menyampaikan notifikasi atau somasi kepada pemerintah |
Notifikasi (notification) atau
somasi merupakan peringatan oleh warga negara (pihak penggugat) sekaligus sebagai persyaratan dasar sebelum mengajukan gugatan citizen law
suit terhadap pemerintah
(pihak tergugat) dan ditembuskan ke Ketua Pengadilan Negeri setempat. Notifikasi disusun seperti format pernyataan singkat, yaitu: a.
Diajukan
dalam bentuk tertulis b.
Disampaikan
kepada pemerintah yang dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, dalam
jangka waktu yang diberikan selama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum
pengajuan gugatan citizen law suit. c.
Inti
isi notifikasi tertulis, terdiri dari: 1)
Pihak penggugat; 2)
Jenis
pelanggaran oleh penggugat; 3)
Peraturan
yang dilanggar sehingga timbulnya perbuatan melawan hukum; 4)
Kerugian
konstitusional yang dialami warga negara, baik kerugian potensial atau
kerugian yang telah dialami sebagai akibat dari pencemaran; 5)
Tuntutan
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban berupa ganti rugi atas pencemaran.
Pemerintah hanya memperbaiki atau menghentikan kelalaian pihak pencemar
dengan mengeluarkan kebijakan; 6)
Jangka
waktu 60 (enam puluh) hari kerja sebagai batasan waktu kepada pemerintah yang
bersangkutan untuk melaksanakan kewajibannya dan jika tidak ada gerakan dari
pemerintah setelah 60 (enam puluh) hari kerja, terhadapnya warga negara dapat
mengajukan gugatan citizen law suit. 7)
Tujuan
penyampaian notifikasi sebagai kesempatan kepada pemerintah tersebut untuk
mengajukan bantahan atau memenuhi kewajibannya untuk menanggulangi pencemaran
yang terjadi. Syarat formil penyampaian notifikasi bersifat imperatif terhadap penggugat. Notifikasi sebagai dasar pengajuan gugatan citizen law suit untuk
kemudian hari dapat diterima oleh pengadilan. Pengajuan gugatan citizen law
suit tanpa notifikasi
menyebabkan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard, inadmissible declared) dan notifikasi sebagai syarat yang memaksa. |
Berdalil perbuatan melawan hukum |
Gugatan citizen law suit merupakan
gugatan yang terbatas terhadap suatu perbuatan melawan hukum, karena pembiaran atau tidak adanya suatu kebijakan untuk menanggulangi pencemaran sehingga merugikan kepentingan umum dan menurunkan tingkat kesejahteraan. Perbuatan melawan hukum lainnya seperti perbuatan melawan hukum dalam lingkup
perdata yang meminta ganti rugi tidak
digolongkan sebagai gugatan citizen law
suit. |
Penggugat memiliki legal
standing yang berstatus warga
negara dan bertindak untuk
kepentingan umum (pro-bono publico) |
a.
Gugatan
citizen law suit ditujukkan kepada
pemerintah, atas dasar perbuatan melawan hukum berupa: 1)
Kelalaian
atau pembiaran atas ketiadaan kebijakan atas suatu pencemaran; 2)
Kegagalan
memenuhi kewajiban sebagaimana diatur undang-undang yang berdampak terhadap
kepentingan umum. b.
Kuasa
yang bertindak sebagai perwakilan kelompok tidak perlu menggunakan surat
kuasa khusus. Legal standing
penggugat memiliki legal mandatory,
bertindak untuk dan atas nama kepentingan masyarakat luas. c.
Penjelasan
legal standing penggugat tidak
harus menjabarkan bahwa penggugat ialah orang yang mengalami kerugian secara
langsung. Dengan demikian, penguraian legal
standing dan kerugian konstitusional tidak perlu diuraikan satu-persatu.
Bagian ini dapat menjabarkan fakta-fakta kerugian dan kesengsaraan warga
negara atas perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. |
Gugatan terbatas hanya bertujuan menghukum pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan atau regulasi |
a.
Penggugat
tidak dapat meminta pembatalan Keputusan Penyelenggara Tata Usaha Negara
(KEPTUN). KEPTUN sendiri termasuk kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara
(Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). b.
Penggugat
tidak dapat meminta pembatalan suatu undang-undang karena hal tersebut
termasuk dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi) c.
Penggugat
tidak dapat meminta pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang karena hal tersebut termasuk dalam kewenangan Mahkamah Agung
(Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung) d.
Penggugat
tidak dapat meminta ganti rugi dalam gugatan citizen law suit. |
Pihak tergugat hanya mencakup pemerintah |
Pihak tergugat pada umumnya hanya ditujukkan kepada pemerintah, antara lain: a.
Presiden
dan wakil presiden; b.
Kementerian
bersangkutan dengan sengketa yang terjadi; c.
BUMN
dan BUMD. Badan hukum privat (rechtspersoon) tidak dapat terlibat sebagai tergugat pada jenis gugatan ini. Tergugat di luar dari yang telah disebutkan di atas mengandung cacat formil dan tidak dapat diterima. |
Sejalan
dengan karakteristik gugatan citizen law suit di atas
dan mengacu pada KMA Nomor
36/KMA/SK/II/2013, Mas Achmad Santoso menyampaikan terhadap karakteristik-karakteristik
di atas perlu mendapatkan perhatian khusus dari beberapa
sisi. Pertama, gugatan citizen law suit berfokus
pada tindakan pemerintah dalam pembentukan kebijakan dan penataan izin. Kedua, perihal
waktu pengajuan gugatan atas pelanggaran
dan pembiaran pencemaran lingkungan di masa lalu.
Ketiga,
akibat hukum jika terdapat gugatan
pemerintah terhadap objek yang disengketakan sebelum pengajuan gugatan citizen law suit. Keempat,
pertimbangan biaya jasa pengacara selama penyelesaian sengketa. Jenis gugatan ini sebagai suatu
kebutuhan hukum ketika timbul sengketa
pencemaran lingkungan sehingga Mas Achmad Santoso menyampaikan
penggugat perlu menyusun dalil-dalil secara tajam demi perkembangan gugatan citizen law
suit (Santoso, 2016).
Gugatan Citizen Law Suit sebagai
Bentuk Progresivitas Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia
Dalil
gugatan perdata umumnya diajukan atas perbuatan melawan hukum atau
wanprestasi. Gugatan dalam sengketa lingkungan hidup berdalil perbuatan melawan hukum dengan
penyelesaian sengketa dapat menempuh jalur administrasi, perdata, atau pidana.
Jenis-jenis upaya hukum tersebut merupakan upaya penegakan hukum lingkungan. Pada lingkup penyelesaian sengketa lingkungan secara perdata, permasalahan semakin kompleks karena sifat sengketa
jenis ini memiliki faktor penyebab yang bermacam-macam
(multi sources) yang membutuhkan berbagai
kesaksian ahli. Pencemaran lingkungan juga memiliki akibat yang tidak timbul dalam
waktu yang cepat dan berdampak luas terhadap keberlangsungan makhluk hidup di lingkungan tersebut (Abubakar,
2019).
Pencemaran lingkungan dapat diambil dari kegiatan
sehari-hari di sektor pertanian seperti pembuatan pupuk yang memiliki dampak di luar dugaan manusia.
Permasalahan pembuatan pupuk terletak pada pabrik modern pengolahan pupuk seperti industri
petrokimia. Selain menghasilkan
pupuk untuk manusia, pabrik terpaksa melepaskan asap sebagai hasil pembakaran
dan pembuangan pabrik. Asap
hasil pembuangan pabrik menghasilkan zat berbahaya yang mengganggu kehidupan masyarakat, misalnya penyakit mata akibat
polusi dari pabrik petrokimia tahun 1975.
Peristiwa-peristiwa dari sekitar lingkungan manusia ini yang menjadi sumber pencemaran. Jadi suatu pencemaran tidak terlepas dari beberapa hal,
yakni: (1) Lingkungan manusia dan manusia yang terkena dampak serius dari pencemaran;
(2) Bahan-bahan berbahaya timbul dari kegiatan
sehari-hari manusia (Amsyari, 1986). Kedua hal ini memberikan
konsep bahwa suatu bahan pencemaran
berasal dari proses aktivitas dan lingkungan manusia. Manusia menghasilkan bahan yang disebut sebagai polutan yang mengancam keberadaan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Peristiwa-peristiwa pencemaran udara dan
pencemaran lainnya tidak selaras dengan
amanat Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa setiap orang memiliki hak konstitusional
untuk memperoleh lingkungan hidup yang dapat menunjang kesehatan (Firmansyah & Rahayu, 2021). Posisi negara disini telah gagal untuk
memberikan jaminan lingkungan yang sehat kepada warga negara. Hukum lingkungan mengaitkan good
government dan good environmental government.
Konteks
ini menganggap negara dan masyarakat terlibat dalam tata kelola lingkungan yang baik. Pemerintah yang dilimpahkan kewenangan untuk mengatur sumber daya dan kekuasaan berperan besar mempertahankan lingkungan hidup. Maka dari itu, pelestarian lingkungan sangat membutuhkan dorongan dari pemerintah
untuk keberlangsungan makhluk hidup di masa depan dan terwujudnya prinsip-prinsip ekologis yang diwujudkan pada kebijakan-kebijakan
publik (Rahayu, 2023).
Selain
tidak terpenuhinya perlindungan dan pemenuhan hak warga atas
lingkungan sehat, berbagai peristiwa pencemaran tidak sesuai dengan kelestarian
lingkungan dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Demikian juga Landasan konstitusional lainnya berpacu juga kepada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengamanatkan
negara memanfaatkan kekayaan
alam untuk memberikan kemakmuran secara mengglobal. Indonesia sebagai negara kepulauan yang meliputi darat, laut, dan udara serta berbagai sumber daya yang terkandung didalamnya perlu mendapatkan upaya pengelolaan secara bijak untuk
keberlangsungan makhluk, kesejahteraan umum, dan keadilan sosial. Indikator lingkungan yang sesuai dengan amanat
konstitusi sebagai berikut (Satmaidi, et al., 2022).
Tabel 2 Indikator
Lingkungan
Kriteria |
Definisi |
Indikator |
Aman |
Lingkungan dan aktivitas masyarakat
terhindar dari ancaman |
Perubahan dan penurunan tingkat ancaman
bencana dan pencemaran akibat perubahan ruang |
Nyaman |
Artikulasi nilai sosial budaya dalam
keadaan tenang |
Adanya perubahan artikulasi nilai sosial
budaya saat ini |
Produktif |
Pemanfaatan SDM memberikan nilai tambah
ekonomi |
Peningkatan efisiensi dan nilai tambah
dalam kegiatan ekonomi |
Berkelanjutan |
SDM yang tersedia di lingkungan dapat dipertahankan
untuk keberlangsungan hidup di masa depan |
Perubahan lingkungan dan SDM yang
terkandung di dalamnya. |
Pemanfaatan sumber daya alam harus diimbangi
dengan penegakan hukum lingkungan, dimana salah satu kontribusi terbesar berasal dari pemerintah
untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Wewenang yang diberikan kepada pemerintah diatur dengan tegas pada Pasal 63 ayat (1), Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 63 ayat (3) UU PPLH. Kewenangan dalam Bab tersebut telah dibagi tugas dan wewenang antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Setiap daerah memiliki pengelolaan lingkungan dalam lingkup otonomi
daerah yang meliputi pembuatan kebijakan penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengembangan, pengawasan, pemulihan, dan pengendalian lingkungan sesuai kebijakan yang ditetapkan masing-masing otoritas
pemerintahan (Ismelina,
2014). Pada sisi lain, kebijakan
penegakan hukum lingkungan dalam pemanfaatan alam tidak boleh bertentangan
dan mempertimbangkan kebijakan
dari pemerintah pusat, sehingga suatu kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah daerah tidak sepenuhnya
bebas sesuai kondisi masing-masing daerah (Ismelina, 2011).
Pemerintah selaku otoritas yang
berwenang mengeluarkan kebijakan lingkungan hidup dapat dianggap
melakukan perbuatan melawan hukum apabila
tidak melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak masyarakat
terkait lingkungan yang sehat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tertulis. Bunyi perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata memiliki unsur, yaitu: a) Adanya perbuatan hukum dalam suatu
peristiwa; b) Bertentangan dengan hukum normatif;
c) Bertentangan dengan nilai moral dan sosial dalam masyarakat; d) Timbulnya kerugian dari perbuatan hukum tersebut; e) Hubungan kausal yang saling berhubungan ketikan perbuatan dan kerugian tercipta.
Pemerintah digolongkan
melakukan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata sebab kerugian yang dialami masyarakat dianggap sebagai suatu hak dalam
hukum perdata yang harus dipenuhi. Gugatan citizen law suit diajukan
karena hak masyarakat untuk menikmati lingkungan yang sehat terlanggar akibat pencemaran. Sifat melawan hukum dilihat
dari unsur perorangan tidak terkecuali pemerintah selaku penyelenggara kepentingan umum.
Kepentingan umum dalam KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013
merupakan kepentingan umum yang harus didahulukan antara lain kepentingan bangsa, pelayanan umum, dan pembangunan negara (Satmaidi, et
al., 2022). Gugatan citizen law suit merupakan sarana penegakan hukum lingkungan yang diadopsi dari negara lain. Namun, perkembangan zaman dan tuntutan hukum progresif membuat Indonesia mengadopsi gugatan citizen law suit untuk melindungi hak konstitusional warga negara terkait lingkungan yang sehat.
Kemunduran sistem
hukum Indonesia yang sulit untuk bergerak secara progresif dapat dilihat dari
penerapan gugatan citizen
law suit selama ini. Jenis gugatan ini hanya
bersandarkan pada Keputusan Mahkamah
Agung dan latar belakang adanya keputusan tersebut karena Indonesia sendiri tidak mengatur
jenis gugatan ini meskipun secara
empirisnya telah banyak putusan pengadilan yang mengadili. Kedua, sistem hukum
Indonesia mengenal asas ius curia novit bahwa hakim paham akan hukum sehingga
setiap perkara yang masuk tidak dapat
ditolak dan hakim harus menangani perkara tersebut. Ketiga, masyarakat semakin sadar akan penegakan
hukum lingkungan dan muncul berbagai undang-undang lingkungan.
Perbuatan melawan
hukum pemerintah dalam sengketa lingkungan dapat diakomodir dengan kemunculan gugatan citizen law
suit sebagai gugatan warga negara terhadap pemerintah atas pencemaran lingkungan. Penegakan hukum lingkungan melalui gugatan citizen law suit menunjukkan
bahwa perlindungan alam penting dan memiliki fungsi progresivitas yang mewadahi jenis gugatan ini
supaya pemerintah berhati-hati mengambil dan mengeluarkan kebijakan, serta melaksanakan kewajibannya sesuai amanat undang-undang.
Argumentasi pro penerapan
gugatan citizen law suit di Indonesia melihat kepada progresivitas hukum untuk melindungi hak warga negara. Beberapa sisi kontra
gugatan citizen law suit terlihat
dari tidak adanya dasar hukum
yang kuat dalam pengaturan syarat formil gugatan, dimana hal ini
menunjukkan praktik hukum Indonesia tidak berjalan secara progresif untuk melindungi hak masyarakat yang dirugikan akibat pencemaran. Berikut merupakan ciri ketidakkonsistenan sistem hukum Indonesia terhadap gugatan citizen law suit
(Harahap, 2017):
Tabel
3 Praktik Pengadilan terhadap Gugatan Citizen Law Suit
Praktik
Pengadilan terhadap Gugatan Citizen Law
Suit |
Deskripsi |
Disparitas putusan |
Pengadilan dalam memutus gugatan citizen law suit secara faktanya masih
memiliki disparitas. Hal ini dilihat dari pengakuan pengadilan yang mengamini
keberadaan gugatan citizen law suit dan
beberapa lainnya menolak karena syarat formil gugatan. |
Dasar hukum hanya berdasarkan pada KMA
Nomor 36/KMA/SK/II/2013 |
Gugatan citizen
law suit diadopsi dari negara common
law, sehingga praktik pengadilan Indonesia dengan mengedepankan
kepentingan beracara (processdoelmatigheid)
mengacu kepada hukum perdata pengadilan sesuai HIR atau RBG. Jika pengaturan
tidak terdapat dalam HIR dan RBG, pengaturan gugatan akan menggunakan Rv.
Namun, gugatan citizen law suit tidak
diatur secara eksplisit dalam Rv. |
Banyak putusan tidak menerima |
Hakim menganggap konsep gugatan citizen law suit belum diatur dalam
sistem hukum Indonesia |
Penafsiran sempit dalam penerapannya |
Sistem hukum Indonesia masih menafsirkan
gugatan citizen law suit secara
sempit, terbatas, dan tertutup sehingga bentuk formil yang belum diatur dalam
undang-undang� dapat menjadikan gugatan
tidak dapat diterima. |
Praktik pengadilan
terhadap gugatan citizen
law suit di atas berimplikasi
pada catatan progresivitas dalam sistem hukum
Indonesia, bisa ditarik benang merah bahwa
penolakan dari progresivitas hukum seperti penerapan gugatan citizen law suit masih menjadi persoalan karena sistem hukum
dalam beracara bersifat terbatas dan tertutup ditambah lagi Indonesia masih belum memiliki dasar hukum yang kuat mengenai gugatan
citizen law suit. Padahal pengaturan
gugatan perlu diatur sebagai upaya penegakan hukum lingkungan dan terobosan dalam sistem hukum Indonesia, yang sejalan dengan konsep hukum progresif
sebagaimana disampaikan
oleh Satjipto Rahardjo untuk
menolak status quo dan bergerak
secara progresif (Rahardjo,
2007).
Penafsiran sempit
penegakan hukum dan putusan-putusan gugatan citizen
law suit memperlihatkan tidak
adanya penyerapan unsur progresivitas. Hukum selayaknya bergantung pada bagaimana aparat penegak hukum melihat
dan menggunakannya sehingga
titik penentu ada pada manusia. Apabila hukum bergerak
hanya pada tataran teori berakhir pada penerapan hukum yang kaku, mutlak, dan final. Sedangkan hukum yang melihat kepada perkembangan dunia dan manusia dapat memberikan ruang bagi hukum
bergerak bagi kepentingan manusia (Rifai,
2011).
Hukum progresif dalam artikel ini diwujudkan
dengan gugatan citizen law
suit, urgensi progresivitas
hukum muncul karena keprihatinan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang buruk selama ini. Hukum belum dapat memberikan
kontribusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan sejahtera (Rifai, 2011). Nonet dan Selznick menyampaikan tatanan hukum sejatinya bersifat represif, otonom, dan responsif. Sifat ketiga ini sebagai
representasi hukum progresif yang mendorong manfaat hukum pada kebutuhan sosial dari suatu masyarakat.
Hukum lingkungan membutuhkan progresivitas untuk mendayagunakan sumber daya alam berkelanjutan
dengan memperhatikan keseimbangan alam, kelangsungan perikehidupan, dan tingkat kesejahteraan manusia (Ismelina, 2023). Dengan demikian, hukum progresif tidak hanya melihat
teori dan narasi tekstual dari hukum
yang ada saat ini. Hukum progresif mengikuti perkembangan dan hukum yang merefleksikan keadilan serta membawa kemaslahatan dalam menyelesaikan suatu sengketa, terutama dibutuhkannya dalam sengketa pencemaran lingkungan (Rifai,
2011).
Kesimpulan
Perkembangan zaman membawa dan mengarahkan pembentukan hukum menuju hukum
yang progresif dari Satjipto Rahardjo. Progresivitas hukum pada praktik hukum menekankan pada cara berpikir �humanisme yuridis� yang mengedepankan rasa kesejahteraan tanpa melupakan aspek peraturan dan perilaku, sehingga hukum progresif menghindari status quo dalam menyelesaikan perkara. Manusia sendiri sering menemui perkara-perkara lingkungan, seperti masyarakat Timika yang dirugikan akibat kegiatan pertambangan oleh PT.
Freeport Indonesia dan lainnya.
Berbagai
pencemaran lingkungan tidak merepresentasikan penegakan hukum lingkungan yang bergerak secara progresif. Hukum hanya dipahami dari peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis tanpa melihat persoalan-persoalan
empirisnya, dimana hal ini dapat
dilihat pada penerapan gugatan citizen law suit dalam praktik hukum Indonesia. Gugatan citizen law suit termasuk
upaya hukum progresif melalui jalur pengadilan yang memberikan hak gugat kepada warga
negara.
Hukum normatif tidak hanya memberikan hak gugat kepada
perorangan atau badan usaha, tetapi progresivitas
hukum melahirkan gugatan organisasi lingkungan hidup, gugatan pemerintah dan pemerintah daerah, dan gugatan citizen law suit. Gugatan
citizen law suit bertindak atas
nama kepentingan warga negara dan kepentingan publik untuk menggugat
pemerintah atas dasar perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata. Pemerintah dituntut supaya melakukan tindakan tertentu, seperti menghentikan suatu perbuatan, pencegahan pencemaran, upaya pemulihan lingkungan, ataupun penghentian dan pemindahan aktivitas yang menyebabkan pencemaran.
Praktik gugatan citizen law
suit telah banyak dilakukan di Indonesia, tetapi jenis gugatan ini
hanya diatur pada KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013. Hal ini menyebabkan putusan terhadap gugatan citizen law suit
masih memiliki disparitas, sebagian putusan hakim menolak gugatan ini dengan
ratio decidendi yang menyatakan belum
adanya pengaturan syarat formil gugatan
pada hukum normatif.
Sejatinya praktik beracara gugatan citizen law suit
mengikuti pengaturan hukum acara perdata di Indonesia.
Perbedaan mekanisme gugatan citizen law suit dalam sengketa lingkungan hidup terletak pada pengaturan notifikasi, dalil gugatan berdasar
perbuatan melawan hukum, legal standing penggugat, petitum yang dimintakan hanya sebatas pembuatan
kebijakan, dan ketentuan pihak tergugat.
Progresivitas hukum dan gugatan citizen law suit menjadi sebuah urgensi terutama dalam sengketa lingkungan hidup, dimana pencemaran
lingkungan bertentangan dengan good environmental government sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Penegakan hukum lingkungan melalui gugatan citizen law suit menunjukkan
bahwa perlindungan alam penting dan memiliki fungsi progresivitas supaya pemerintah berhati-hati mengambil dan mengeluarkan kebijakan, serta melaksanakan kewajibannya sesuai amanat undang-undang.
Namun, Indonesia masih menafsirkan secara sempit sistem hukum
dalam praktik beracara dan sebagian putusan-putusan gugatan citizen
law suit memperlihatkan tidak
adanya penyerapan unsur progresivitas.
Tatanan hukum sejatinya bersifat represif, otonom, dan responsif. Sifat responsif ini sebagai representasi
hukum progresif yang mendorong manfaat hukum pada kebutuhan sosial dari suatu
masyarakat. Penulis mengharapkan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai gugatan citizen law suit sebagai wujud progresivitas hukum mengatasi sengketa lingkungan hidup, dengan mengedepankan
prinsip-prinsip ekologis melalui kebijakan-kebijakan publik.
BIBLIOGRAFI
Abubakar, M. (2019). Hak
Mengajukan Gugatan dalam Sengketa Lingkungan Hidup. Kanfun Jurnal Ilmu Hukum,
21(1), 94.
Amsyari, F. (1986).
Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
BBC News Indonesia. (2023,
Agustus 29). Indonesia Masuk �Enam Negara Paling Berkontribusi Terhadap Polusi
Udara Global�, Warga Akan Gugat Pemerintah dan Industri. BBC News Indonesia:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c72enp76622o.
Cassey, N., & Rahayu, M.I.F.
(2021). Analysis of the Limitation of Implementation of Act Against the Law and
Force Majeure of Environmental Damage Due to Forest Fire by PT National Sago
Prima Based on Legislation Number 32 Year 2009 Concerning Environmental
Protection and Management. Proceedings of the International Conference on
Economics, Business, Social, and Humanities (ICEBSH 2021), (570), 1034.
Danusaputro, St.M. (1980). Hukum
Lingkungan, Buku I: Umum, Bandung: Binacipta.
Dewata, M.F.N., & Achmad, Y.
(2017). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.z
Dhini, V.A. (2022, Maret 24).
Pencemaran Air Terjadi di 10 Ribu Desa/Kelurahan Indonesia. Databoks:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/24/pencemaran-air-terjadi-di-10-ribu-desakelurahan-indonesia.
Diantha, I.M.P. (2016).
Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta:
Prenada Media Group.
Fajar. M.I. (2017). Penguatan
Gugatan Citizen Lawsuit / Actio Popularis sebagai Upaya Perlindungan Hak
Konstitusional Akibat Kelalaian yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara.
Tesis. Universitas Brawijaya.
Firmansyah, A., & Rahayu,
M.I.F. (2021). Juridical Analysis of Community Participation in the Process of
Making an Analysis of Environmental Impact Based on Law Number 32 of 2009
Concerning Environmental Protection and Management and Law Number 11 Year 2020
Concerning Job Creation. Proceedings of the 3rd Tarumanagara International
Conference on the Applications of Social Sciences and Humanities (TICASH 2021),
(655), 437.
Gracia et al. (2022).
Implementasi Konsep Euthanasia: Supremasi Hak Asasi Manusia dan Progresivitas
Hukum di Indonesia. Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, 2(1),
13-14.
Harahap, M.Y. (2017). Hukum Acara
Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Ismelina, M, Anthon F Susanto,
Liya Sukma Muliya. (2023). Hukum dan Kearifan Lingkungan. Bandung: CV Prisma
Esta Utama.
Ismelina, M. (2014). Hukum
Lingkungan Paradigma dan Sketsa Tematis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kan, J.V., & Beekhuis, J.J.
(1977). Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Moh. Masduki. Jakarta: P.T.
Pembangunan.
Kusumaatmadja, M. (1975). Pengaturan Hukum Masalah
Lingkungan Hidup: Beberapa Pikiran dan Saran. Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Pajadjaran.
Mertokusumo, S. (1988). Mengenal Hukum (Suatu
Pengantar). Yogyakarta: Liberty.
Muladi. (2002). Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan
Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center.
Nafis, W., & Rahmad, R. (2020). Hukum Progresif
dan Relevansinya pada Penalaran Hukum di Indonesia. El-Ahli: Jurnal Hukum
Keluarga Islam, 1(2), 7.
Nurmedina, L. (2021). Perbandingan Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup melalui Mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen
Lawsuit) di Indonesia dan Amerika Serikat. Simbur Cahaya, 28(2), 248.
�
Primadhyta, S. (2021, Desember 24). WJP: Indeks Negara
Hukum RI 2021 Turun Peringkat 68 dari 139 Negara. CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211224021109-12-738077/wjp-indeks-negara-hukum-ri-2021-turun-peringkat-68-dari-139-negara.
Rahardjo, S. (2007). Membedah Hukum Progresif.
Jakarta: Kompas.
Rahayu, M.I.F et al. (2023). The Urgency of
Integrating Local Wisdom Values in Regulations in the Environmental Sector.
Proceedings of the 3rd International Conference on Business Law and Local
Wisdom in Tourism (ICBLT 2022). 933.
Ranuhandoko, I.P.M. (2008). Terminologi Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika.
Rifai, A. (2011). Penemuan Hukum oleh Hakim dalam
Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Santoso, M.A. (2016). Alampun Butuh Hukum dan
Keadilan. Jakarta: Penerbit Prima Pustaka.
Satmaidi, E et al. (2022). Citizen Lawsuit di
Indonesia: Tinjauan terhadap Substansi, Prosedur, serta Eksekusi. Jakarta:
Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Sinaga, V.H. (2015). Hukum Acara Perdata dengan
Pemahaman Hukum Materiil. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Soemartono, G.P. (1991). Mengenal Hukum Lingkungan
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti. (1981). Hukum Acara Perdata. Bandung:
Binacipta.
Yuwono, P, F.R. Mella Ismelina, & Gabriella Elia.
(2020). Legal Empowerment in Baduy Migrant, Lebak-Banten. Proceedings of the
Tarumanagara International Conference on the Applications of Social Sciences
and Humanities (TICASH 2019), (439), 591.
Copyright holder: Gracia, Mella
Ismelina Farma Rahayu (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |