Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
KEWENANGAN PENYIDIK POLRI UNTUK MELAKUKAN
PENAHANAN TERSANGKA PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA
Aris Munandar, I Gusti Agung Ngurah, Abunawas
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Emal: [email protected], [email protected]
[email protected]
Abstrak
Dalam sistem peradilan pidana, polisi merupakan
�pintu gerbang� bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuatunya
dimulai. Posisi awal ini menempatkan polisi pada posisi yang tidak
menguntungkan. Sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan (bila perlu)
penahanan, yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang
tersebut adalah pelaku kejahatan. Penahanan dapat dilakukan apabila memang
dirasa perlu sekali. Sebagaimana yang tertuang pada Pasal 1 Butir 21 Kitab
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana: �Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, penuntut
umum, atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Berdasakan hasil penelitian, penulis menyimpulkan
bahwa Pertimbangan hukum penyidik Polri diberi kewenangan untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana, karena Polri sebagai
penyidik dalam proses penyidikan mempunyai tugas dan kewajiban tugas pokok dan
fungsinya. Sehubungan dengan tugas dan kewajiban tersebut maka polisi mempunyai
kewenangan sebagaimana sudah diatur dalam : 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, yaitu syarat penahanan subjektif merupakan syarat
yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa
tidak ditahan maka terdakwa akan kabur, akan merusak atau menghilangkan bukti,
dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut;� 2)�
Undang-Undang� Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ; dan secara jelas tentang
bagaimana manajemen penyidikan tindak pidana yang harus dilakukan oleh polisi
sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana.
Kata Kunci: Kewenangan Penyidik Polri, Penahanan, Pelaku
Tindak Pidana.
Abstract
In the criminal justice system, the police are the "gateway"
for justice seekers. This is where things started. This initial position puts
the police at a disadvantage. As an investigator the police must make arrests
(when necessary) detentions, which means the police must have a strong
suspicion that the person is the perpetrator of the crime. Detention can be
done if it is deemed necessary. As stated in Article 1 Point 21 of the Code of
Criminal Procedure: "Detention is the placement of suspects or defendants
in certain places by investigators, public prosecutors, or judges with their
determination in the case and in the manner provided for in this law. Based on
the results of the study, the author concludes that legal considerations of
police investigators are authorized to detain suspected perpetrators of
criminal acts, because the National Police as investigators in the
investigation process have duties and obligations of their main duties and
functions. In connection with these duties and obligations, the police have the
authority as stipulated in: 1) Law Number 8 of 1981 concerning the Code of
Criminal Procedure, namely the condition of subjective detention is a condition
stemming from the assessment and concern of the investigator that if the
defendant is not detained then the accused will run away, will damage or
eliminate evidence, and will even repeat the crime;� 2) Law Number 2 of 2002 concerning the
National Police of the Republic of Indonesia; and clearly about how the
management of criminal investigations must be carried out by the police as
stipulated in Perkapolri No. 14 of 2012 concerning
Management of Criminal Investigations
Keywords: Authority of Police Investigators, Detention, Perpetrators of Criminal
Acts.
Pendahuluan
���� ������ Menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang� Kepolisian Negara Republik Indonesia
(selanjutnya ditulis UU Polri), Khususnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat dalam rangka terpeliharanyakeamanan
dalam negeri. Selanjutnya dalam Pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah:
(1) memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum dan; (3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Julia, 2006).
����� ����� Sebagai penegak hukum, polisi masuk dalam
jajaran sistem peradilan pidana, sebagai salah satu subsistem. Subsistem yang lain adalah kejaksaan, kehakiman, dan Pemasyarakatan.
Dalam sistem peradilan pidana, polisi merupakan �pintu gerbang� bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini
menempatkan polisi pada posisi yang tidak menguntungkan (Prakoso, 1987). Sebagai penyidik
polisi harus melakukan penangkapan (bila perlu) penahanan,
yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan.
Dari rangkaian tugas penegak hukum
dapat diketahui bahwa tugas kepolisian
bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan,
ketrampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus
ditingkatkan guna �mengejar� modus kriminalitas yang
semakin kompleks��� Kekuasaan yang dimiliki penyidik, masih menjadi faktor
penentu dalam melakukan penegakan hukum, sehingga terdapat kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga kepolisian.
Hal ini tentunya sangat merugikan pihak kepolisian serta proses peradilan pidana secara keseluruhan.
Landasan yuridis tugas polisi, baik
sebagai penyelidik maupun penyidik, telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (dikenal dengan KUHAP). Jika ditelaah, nampak bahwa tugas-tugas
yang dilakukan sudah cukup terperinci.
Dari berbagai tugas dan kewenangan yang dimiliki polisi dalam menjalankan tugas sebagai penegak
hukum, yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 UU Polri, yang menyatakan bahwa �dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, pejabat polri senantiasa
bertindak berdasarkan norma
hukum dan mengindahkan
norma agama, kesopanan, kesusilaan,
serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia�
Dalam melaksanakan tugas penyidikan (sidik), kewenangan Polri diawali dengan
penyelidikan (lidik) yang dilakukan oleh penyelidik. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Sedangkan penyidik adalah pejabat kepolisian negara republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Simarmata,
2011).
Penyidikan merupakan tahapan
penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau
tidaknya tindak pidana dalam suatu
peristiwa. Ketika diketahui
ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah
penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan �mencari dan menemukan� suatu �peristiwa� yang dianggap atau diduga sebagai
tindakan pidana.
Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya
diletakkan pada tindakan �mencari serta mengumpulkan
bukti�. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana
yang ditemukan dan juga menentukan
pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir
2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu: �Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya�
Berdasarkan Pasal 20 ayat
(1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun
2009 tentang pengawasan dan
pengendalian penanganan perkara pidana di lingkungan kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa kegiatan penyelidikan dilakukan guna memastikan bahwa laporan polisi
yang diterima dan ditangani
penyelidik/penyidik merupakan tindak pidana yang perlu diteruskan dengan tindakan penyidikan.�
�Selanjutnya
dalam pasal 21 ayat (1) ditentukan penyelidikan meliputi segala upaya untuk
melengkapi informasi, keterangan, dan barang bukti berkaitan dengan perkara yang dilaporkan, dapat dikumpulkan tanpa menggunakan tindakan atau upaya paksa.
Kemudian ayat (2) disebutkan kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam rangka penyelidikan
antara lain: 1) Pengamatan
(observasi); 2) wawancara;
3) pembuntutan; 4) penyamaran;
5) mengundang/memanggil seseorang secara lisan atau tertulis
tanpa paksaan atau ancaman paksaan
guna menghimpun keterangan; 6) memotret dan atau merekam gambar
dengan video; 7) merekan pembicaraan terbuka dengan atau seizin yang berbicara; dan 8) tindakan lain menurut peraturan perundang-undangan.��
Penahanan merupakan bentuk
perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Dimana hak bergerak yang dimiliki oleh seseorang tersebut merupakan hak asasi manusia
yang harus dihormati (Hamzah, 2017). Definisi dasar
mengenai penahanan adalah penghambatan atas kebebasan seseorang (Marpaung, 2009). Maka dari itu,
sudah seharusnya penahanan dapat dilakukan apabila memang dirasa perlu
sekali. Sebagaimana yang tertuang pada Pasal 1 Butir 21 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana: �Penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.�
Dari pengertian penahanan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa beberapa instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya penahanan terhadap tersangka (Harahap, 2002). Terdapat tiga
pejabat atau instansi yang berwenang untuk melakukan penahanan yang telah ditentukan oleh KUHAP, yaitu penyidik atau penyidik
pembantu, penuntut umum, dan hakim (Hamzah, 2014).
Berdasarkan pada Pasal 7 ayat
(1) huruf d KUHAP yang pada intinya
menjelaskan bahwa penyidik memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Berdasarkan penjelasan Pasal di atas maka dapat
disimpulkan bahwasanya penyidik memiliki wewenang untuk menahan tersangka. Dimana istilah menahan mengandung makna memasukkan seseorang ke dalam tahanan
atau mengurung orang yang besangkutan di dalam tempat tertentu dan melarang orang tersebut berhubu ngan dengan
dunia luar (Ranoemihardja,
1976).�
Wewenang penyidik dalam
melakukan penahanan diatur pada Pasal 20 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang pada intinya
menjelaskan bahwa penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan. Dimana kepentingan penyidikan adalah untuk mendapatkan
informasi-informasi atau bahan keterangan yang pada akhirnya mampu menjelaskan tentang peristiwa yang di duga merupakan peristiwa pidana (criminal) (Hartono, 2010).
Pertimbangan penyidik dalam
melakukan penahanan terdapat dua alasan antara lain alasan obyektif dan alasan subyektif (Anwar &
Adang, 2009). Alasan obyektif adalah penahanan dilakukan jika suatu tindak pidana
tersebut diancam lima tahun atau lebih,
atau tindak pidana tertentu sebagaimana yang tertuang pada Pasal 21 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Alasan subyektif penahanan terhadap tersangka/terdakwa diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP
yang pada intinya menjelaskan
bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
mengulangi tindak pidana, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau tersangka akan melarikan diri.
Perlunya dilakukan penahanan
apabila terdapat keadaan yang mengkhawatirkan tersangka atau terdakwa akan bertindak
sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.� Apabila timbul kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi perbuatannya lagi, maka cara agar tidak kekhawatiran tersebut tidak benar-benar terjadi adalah dengan cara
menghentikan kemerdekaan tersangka untuk pergi kemanapun yang dia mau, dan memerintahkan
kepada tersangka agar menetap atau tinggal
disuatu tempat (Prodjodikoro,
1977).
Dengan kata lain apabila tidak adanya kekhawatiran
penyidik terhadap tersangka maka penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah penelitian ini 1) Bagaimana pertimbangan hukum penyidik Polri diberi kewenangan
untuk melakukan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidan? 2) Bagaimana penerapan kewenangan Penyidik Polri dalam melakukan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana?
Metode Penelitian
Peter Mahmud
Marzuki (2013), menyatakan bahwa :
�Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi�.� Metode penelitian hukum
merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian (Hanitijo, 2000). Jenis Penelitian yang
dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan metode
Penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder.
Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier (Muhammad &
Niaga, 2004). Penelitian ini
meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan
dengan kewenangan penyidik Polri untuk melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana.
Hasil dan Pembahasan
A. Pertimbangan
Hukum Penyidik Polri Diberi Kewenangan Untuk Melakukan Penahanan Terhadap
Tersangka Pelaku Tindak Pidana
Wewenang penyidik dalam melakukan penahanan diatur pada Pasal 20 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang pada intinya menjelaskan bahwa penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan. Dimana kepentingan penyidikan adalah untuk mendapatkan informasi-informasi atau bahan keterangan yang pada akhirnya mampu menjelaskan tentang peristiwa yang di duga merupakan peristiwa pidana (criminal).
1. Kewenangan
Diberikan Oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Penahanan adalah proses dalam sistem peradilan pidana yang bertujuan agar pelaku tindak pidana tidak melarikan diri dari tempat pelaku melakukan tindak pidana (Djanggih & Takdir, 2021). Dalam Pasal 1 Angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) menuliskan: �Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.�
Pengertian yang diberikan KUHAP menunjukan bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, atau hakim. Penahanan juga hanya dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti yang dikatakan sebelumnya, baik penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam melakukan penahanan harus memperhatikan atau didasarkan pada bukti yang cukup dan persyaratan lain yang diatur dalam KUHAP. KUHAP sendiri mengenal dua syarat dalam melakukan penahanan, yaitu:
Syarat Objektif Syarat penahanan objektif memiliki ukuran yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat Objektif dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya bisa diberlakukan kepada tersangka maupun terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak pidana, serta pemberian bantuan dalam hal: a) Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau b) Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Syarat Subjektif
Syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa
tidak ditahan maka terdakwa akan
kabur, akan merusak atau menghilangkan
bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut (Winata, Sugiartha, & Widyantara,
2021).
Pengaturan syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan: �Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.��
Maka dari
itu, dalam melakukan penahahanan penegak hukum yang memiliki kewenangan sesuai yang diatur dalam KUHAP perlu memerhatikan kedua syarat di atas. Adapun singkatnya, syarat objektif adalah syarat yang merujuk pada ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sementara syarat subjektif merujuk pada kekuatiran pada tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau
akan melakukan tindak pidana lagi.
2. Alasan
Penyidik Melakukan Penahanan Diluar Dari Syarat Subyektif
Menurut Sudarmiyanto,
bahwa ada beberapa faktor penyidik tidak melakukan penahanan di luar dari syarat
subyektif sebagaimana yang terdapat pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Salah satu pertimbangan penyidik dalam tidak melakukan
penahanan terhadap tersangka di luar dari syarat subyektif
adalah apabila tersangka menderita penyakit yang memerlukan perawatan intensif. Alasan lainnya adalah apabila adanya itikad baik dari
tersangka untuk memberikan santunan kepada korban dan keluarga
korban.
Adanya keikhlasan
korban agar tersangka tidak
ditahan walaupun proses hukum tetap harus
berjalan. Hal serupa juga dikemukakan bahwa salah satu pertimbangan penyidik dalam melakukan atau tidak melakukan penahanan adalah apabila tersangka tersebut adalah ibu menyusui. Tidak ditahan tersangka tersebut dengan alasan kemanusiaan. Hal ini ditekankan pula oleh Prof.
Dr. Supanto, S.H.,M.Hum., bahwa ketika melakukan
diskresi maka harus bersikap professional, tidak semena-mena, dan sesuai dengan kode
etik yang ada (Winata et al., 2021).�
Pada akhirnya
tindakan diskresi ini harus melahirkan
keadilan bagi kedua belah pihak
baik tersangka dan pelaku. Sering desain prosedural suatu hukum acara pidana terlalu berat memberikan
penekanan kepada hak-hak pejabat negara untuk menyelesaikan perkara atau menemukan
kebenaran daripada memperhatikan hak-hak seorang warga negara untuk membela dirinya
terhadap kemungkinan persangkaan atau pendakwaan yang kurang atau tidak benar
ataupun palsu.
Hak-hak
tersangka dapat juga dikatakan memiliki tujuan atau berguna
untuk membatasi kekuasaan atau sebagai rintangan bagi penegak hukum
yang berbentuk represif dalam proses penegakan hukum dimana dilakukan
secara sewenang-wenang atau melawan hukum.
Aparat penegak hukum dilarang melakukan penyiksaan, pelecehan, serta perampasan terhadap tersangka karena tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang merendahkan martabat manusia(Winata
et al., 2021).
3. Alasan
Penyidik Melakukan Penahanan Dari Syarat Subyektif
Menurut Sudarmiyanto,
bahwa salah satu pertimbangan ditahannya tersangka adalah upaya untuk mencegah
agar tidak terjadi tindak pidana lain yang terjadi. Tidak ditahannya tersangka akan menimbulkan kerawanan pada tersangka itu sendiri
akibat dari rasa dendam yang timbul dari korban. Alasan di luar subyektif ditahannya tersangka adalah pelapor yang mempunyai peran besar.
Pelapor yang melakukan
pendekatan dengan penyidik bagaimana caranya agar tersangka dapat ditahan. Pertimbangan lain dilakukannya penahanan terhadap tersangka adalah tempat tinggal yang jauh sehingga penyidik
mengalami kesulitan untuk melakukan penyidikan. Dalam praktik yang terjadi adalah ada orang-orang yang melakukan jenis tindak pidana
tertentu, yang dirasakan tidak layak untuk
tidak dilakukan penahanan terhadap orang-orang tersebut.
Pemberitahuan penolakan
penangguhan penahanan sampai saat ini
juga masih terjadi perdebatan. Apabila penangguhan penahanan ditolak maka akan
ada penjelasan konkrit mengenai alasan-alasan ditolaknya penangguhan penahanan tersebut. Alasan-alasan penolakan penangguhan penahanan tidak pernah diutarakan kepada advokat maupun tersangka. Permasalahan utama bagi hukum dalam
penangguhan penahanan, kebebasan dan kewenangan semata-mata diberikan kepada penyidik untuk menyetujui dan tidak menyetujui penangguhan penahanan.
Terdapat beberapa
kasus yang memang dirasa tersangka �tidak perlu� dilakukan
penahanan namun implementasinya ditahan. Dilakukan penahanan sebenarnya untuk menjamin agar tersangka tidak melakukan perubahan-perubahan yang menghambat
penyidikan, maka tersangka dipandang perlu untuk ditahan.
Apabila pemeriksaan penyidikan sudah cukup penahanan tidak diperlukan lagi, kecuali ada
alasan lain untuk tetap menahan tersangka.
Proses hukum
yang adil dan layak dalam pelaksanaannya antara lain menjamin asas-asas yang melindungi hak warga negara, antara lain perlakuan yang sama di muka hukum
bagi setiap pelanggar hukum. Pada praktiknya pengadilan masih bersifat diskriminatif, dimana masyarakat kecil didalam terjadinya pelanggaran hukum secara efektif mudah dilaksanakan tetapi peradilan yang menindak masyarakat kuat seperti penguasa
yang melakukan pelanggaran hukum tampak sebagai
suatu hal yang sulit untuk dijangkau.
Penyimpangan dalam penegakan hukum (secara negative) dapat terjadi disemua tingkatan proses peradilan pidana. penyimpangan dapat terjadi karena
substansi hukum yang mengandung keterbatasan, atau dapat pula disebabkan masyarakat pencari keadilan yang memiliki keterbatasan. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Pidana
Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum yang pada intinya menjelaskan bahwa hukum tidak boleh
kaku dan harus mengikuti zaman.
Maka sudah
sepantasnya penyidik melakukan tindakan-tindakan diskresi karena syarat subyektif yang tidak diatur secara
terperinci.� Keharusan penyidik mengeluarkan keputusan secara cepat dalam
melakukan atau tidak melakukan penahanan. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa terdapat
kekhawatiran penyidik yang tidak tercantum pada pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Dalam hal
ini penyidik melakukan penilaian sendiri dalam melakukan
atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka. Sebenarnya apapun tindakan penyidik dalam melakukan penahanan walaupun alasan yang digunakan tidak tercantum pada pasal 21 ayat (1) KUHAP namun pada akhirnya tindakan tersebut akan dianggap benar
apabila melahirkan keadilan bagi korban dan tersangka.
Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh beberapa penyidik bahwasanya penyidik memiliki itikad yang baik dalam melakukan atau tidak melakukanpenahanan.
Adanya alasan rasional yang
sebenarnya dapat diterima oleh masyarakat. Namun pendapat diluar dari syarat
subyektif ini jarang diutarakan oleh penyidik kepada publik dalam melakukan
penahanan dengan alasan �ini merupakan
kewenangan penyidik� maka hal itu
lah yang menyebabkan adanya asumsi-asumsi buruk mengenai keputusan penyidik dalam melakukan atau tidak melakukan
penahanan terhadap tersangka.
Berbeda pendapat
dengan beberapa advokat. Alasan-alasan penyidik diluar syarat subyektif dalam melakukan penahanan cenderung negatif, seolah-olah yang dilakukan oleh penyidik menahan tersangka bukan atas dasar
memang dirasa sangat perlu dilakukannya penahanan namun hanya sebatas keinginan
penyidik untuk melakukan penahanan. Apabila didasarkan pada kedua pendapat tersebut maka terlihat
bahwa alasan melakukan penahanan diluar syarat subyektif
cenderung negative.
Adanya kepentingan
penyidik yang tersembunyi
yang bahkan alasan tersebut tidak diketahui oleh advokat. Terutama penangguhan penahanan, seluruh advokat mengutarakan pernyataan yang sama bahwasanya tidak ada alasan konkrit
yang diutarakan baik secara tulisan maupun lisan oleh penyidik ketika pengajuan penangguhan penahanan ditolak. Walaupun kedua penyidik yang sudah dilakukan wawancara tersebut mengaku bahwa mereka
selalu mengutarakan alasan penolakan penangguhan penahanan secara lisan.
Adanya perbedaan
pendapat antara penyidik dan advokat menunjukan bahwa masih banyak pro dan kontra mengenai alasan penyidik dalam melakukan penahanan terutama diluar dari syarat
subyektif. Apabila dilihat pendapat penyidik, bahwa adanya itikad baik
dari penyidik dalam melakukan penahann maka sebenarnya
hal ini tidak
akan terjadi.
Perbedaan pendapat
antara penyidik dan advokat dapat ditarik
kesimpulan bahwa letak permasalahannya bukanlah apabila penyidik mempertimbangkan beberapa alasan di luar syarat subyektif
dalam melakukan penahanan. Namun permasalahannya adalah apabila penyidik tidak menerapkan alasan-alasan di luar syarat subyektif itu kepada seluruh
tersangka. Apapun tindakan penyidik apabila akhirnya memang berdampak baik bagi tersangka dan korban maka akan disimpulkan
bahwa tindakan penyidik tersebut adil. Alasan-alasan penahanan di luar dari syarat subyektif
pada dasarnya sah-sah saja bila diterapkan
terhadap seluruh tersangka tanpa memandang kepentingan individu, kekuasaan dan uang.
4. Masa
Penahanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Penahanan Dalam UU No. 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Pada dasarnya telah
ditentukan pembatasan jangka waktu masa penahanan bagi seorang tersangka/terdakwa di setiap instansi penegak hukum seperti penyidik
di Kepolisian, penuntut umum di Kejaksaan dan Hakim di Pengadilan.
Ketentuan yang mengatur
tentang pembatasan jangka waktu penahanan
tersebut bisa dimintakan perpanjangan masa penahanan yaitu sekali saja pada tiap-tiap instansi.� Lalu ada juga akibat jika masa tahanan telah lewat
dari batas waktu yang telah ditentukan, siap atau tidak
pemeriksaan terhadap seorang tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan, maka sesuai amanah KUHAP seorang tersangka/terdakwa haruslah dikeluarkan �demi hukum� dari tahanan tersebut.
Penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP, yaitu: Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal
7 ayat (1) huruf d KUHAP, penyidik (dalam hal ini kepolisian)
karena kewajibannya memiliki wewenang melakukan penahanan. Selain itu, penahanan juga bisa dilakukan oleh penuntut hukum atau hakim sesuai tahapan proses peradilan pidana (Pasal 20 KUHAP).
Tujuan penahanan
dapat kita temui pengaturannya dalam Pasal 20 KUHAP, yakni: 1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan; 2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan; 3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Perihal fungsi
dilakukannya penahanan dapat dilihat dalam
Pasal 21 ayat (1) KUHAP
yang mengatur bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Jadi, fungsi
dilakukannya penahanan itu adalah mencegah
agar tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
B. Penerapan
Kewenangan Penyidik Polri Dalam Melakukan Penahanan Terhadap Tersangka Pelaku
Tindak Pidana
Secara tugas pokok dan fungsi (tupoksi), Polri sebagai aparat penegak hukum dalam
sistem peradilan pidana Polri merupakan
bagian dari Criminal
Justice System selaku penyidik
yang memiliki kemampuan penegakan hukum (represif) dan kerjasama kepolisian internasional untuk mengantisipasi kejahatan internasional. Dalam menciptakan kepastian hukum peran Polri
diaktualisasikan dalam bentuk: a) Polri harus profesional dalam bidang hukum
acara pidana dan perdata sehingga image negatif bahwa Polri bekerja
berdasar kekuasaan akan hilang; b) Mampu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tidak menjadi korban dari kebutuhan hukum atau tindakan sewenang-wenang;
c) Mampu memberikan keteladanan
dalam penegakan hukum. d) Mampu menolak suap atau sejenisnya
dan bahkan sebaliknya mampu membimbing dan menyadarkan penyuap untuk melakukan kewajiban sesuai peraturan yang berlaku.
Kepolisian juga memiliki
diskresi yang diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi
yang dihadapi. Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan, atau kewenangan yang dilakukan oleh seorang terhadap persoalan yang dihadapi. Diskesi penyidik dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan
dan keyakinan dirinya.
Kewenangan diskresi
adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangann
dan keyakinan dan lebihmenekankan
pertimbangan moral ketimbang
dalam kerangka hukum (Situmeang, 2017). Esensi
diskresi adalah pengambilan suatu keputusan yang cepat, tepat, dan berfaedah terhadap suatu yang belum diatur oleh hukum, atau aturan
yang jelas (vagennormen).
Berbicara mengenai
penegakan hukum dan keadilan tidak akan terlepas dari
lima pilar hukum yang harus
dipenuhi agar penegakan hukum itu dapat
tercapai secara efektif. Yang dimaksud dengan lima pilar tersebut adalah subtansi hukumnya, aparat, peralatan, masyarakat dan birokrasinya. Polisi memiliki hak, kewajiban serta wewenang yang diberikan kepada bagian-bagian tertentu seperti halnya penyidik dengan sedemikian rupa luasnya.
Bersumber atas wewenang yang diberikan undang-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang,
asalkan hal itu masih berpijak
pada landasan hukum. Wewenang pengurangan kebebasan dan hak asasi itu, harus
dihubungkan dengan landasan prinsip hukum yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat serta penegakan ketertiban hukum pada pihak lain.
Secara universal ada
dua tugas utama polisi yaitu, polisi
berada dalam determinan orde hukum dan orde ketertiban. Pekerjaan polisi dari sudut
orde hukum, tidak Iain berupa penerapan atau penegakan hukum dan dengan demikian polisi bertindak menjaga status quo dari hukum. Hal ini membawa konsekwensi bahwa apa yang dilakukan polisi tidak menyimpang dari sekalian atribut-afribut
penegakan hukum, seperti peraturan-peraturannya sendiri serta azas
yang lazim diterima dalam dunia hukum, khususnya hukum pidana.
Sedangkan dari orde ketertiban, pekerjaan polisi sering dilihat sebagai seorang yang sehari-harinya menafsirkan hukum. Seorang polisi misalnya tidak akan melaksanakan
suatu ketentuan hukum oleh karena pelaksanaannya justru akan menumbuhkan suatu ketidaktertiban dalam masyarakat. Praktek-praktek yang demikian membuka sudut tersendiri
dalam praktek kepolisian yang tidak selalu sama benar
dengan perundang-undangan. Pelaksanaan kedua tugas tersebut, dapat saling bertolak
belakang, disatu Sisi sebagai pengayom/pelindung masyarakat (orde ketertiban) polisi harus bersikap
terbuka, ramah terhadap masyarakat luas.
�Disamping itu sebagai penegak
hukum (orde hukum) polisi dihadapkan
pada tugas penyidikan yaitu, melakukan pemeriksaan saksi, penahanan, penggeledahan, penangkapan, penyitaan dan seterusnya menuntut� polisi
bersikap tegas, cepat sehingga segera diketahui pelaku dari tindak
kejahatan. Dalam melaksanakan
kedua tugas utama tersebut bukanlah hal yang mudah untuk menjalankannya.
Polisi lebih banyak dimusuhi dan ditakuti oleh masyarakat daripada diterima dengan senang kehadirannya. Polisi muncul dalam bentuk
yang menakutkan dan identik
dengan kekerasan (Anwar & Adang, 2009).
Permasalahan mengenai
penempatan tahanan tersangka/terdakwa yang ditempatkan di tahanan kantor Kepolisian ini menimbulkan kejanggalan dan kekeliruan atas masyarakat terhadap Kepolisian dalam sistem penempatan
tahanan/tersangka.
Penulis mendapatkan
kesimpulan bahwa: a) Sel atau tahanan kantor
Kepolisian tersebut merupakan bagian dari Rutan. Dan hal tersebut memang jelas, oleh sebab itu tidak pernah
ada pembongkaran sel tahanan Kepolisian
serta konflik apapun secara langsung
mengenai ini. Selain itu karna masih
sedikitnya gedung Rutan, hingga mengakibatkan penuhnya tahanan didalam Rutan tersebut dan mengalihkan ke tahanan kantor Kepolisian yang sama-sama milik Negara. b) Sesuai dengan penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf a yang menyatakan: Selama belum ada
rumah tahanan negara ditempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, dikantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa ditempat lain. Serta menjelaskan secara lisan bahwa sel
atau tempat tahanan kantor kepolisian merupakan bagian dari rumah
tahanan negara.
Pihak Kepolisian
dalam melakukan penahanan yang selalu berdasarkan dengan aturan yang sudah ada dalam KUHAP, dan dalam penyampaian ke masyarakat itu
selalu disampaikan pada saat proses penahanan akan dilakukan. Penyampain tersebut disampaikan dalam bentuk lisan dan menjelaskan bahwa sel tahanan kantor
Kepolisian merupakan bagian dari rumah
tahanan negara (Rutan), jadi
tidak ada permasalahan yang terjadi karena sel tahanan
Kepolisian itu resmi sifatnya�.
Hanya saja
sampai sekarang belum disebutkan/dibuar dengan jelas
perundang-undangan yang menyatakan
bahwa kantor polisi berhak menempatkan
tersangka dalam tahanannya meski telah dibuat rumah
tahana negara (Rutan) dalam
setiap ibu kota kabupaten. Pedoman Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya hanya berpatokan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, dengan kode etik internal Polri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kesimpulan
Pertimbangan hukum penyidik Polri diberi kewenangan untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana, karena� : 1) Kewenangan yang diberikan oleh� Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa tidak
ditahan maka terdakwa akan kabur,
akan merusak atau menghilangkan bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut;� dan 2)�
Kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang�
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ; dan secara jelas tentang bagaimana
manajemen penyidikan tindak pidana yang harus dilakukan oleh polisi sebagaimana diatur dalam Perkapolri
No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen penyidikan Tindak Pidana
Penerapan kewenangan
Penyidik Polri dalam melakukan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana yaitu,
karena di satu sisi merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang berdasarkan prinsip legalitas kepada penyidik, penuntut umum maupun
hakim, namun di sisi lain penahanan bersinggungan dengan perampasan kemerdekaan tersangka dan terdakwa. Adanya cukup bukti yang menjadi dasar dilakukannya penahanan rentan melanggar hak asasi
manusia tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, aparat
penegak hukum dituntut tidak hanya mengacu kepada
prinsip legalitas sebagai dasar hukum
penahanan, tapi juga prinsip proporsionalitas.
Anwar, Yesmil, & Adang. (2009). Sistem
peradilan pidana: konsep, komponen & pelaksanaannya dalam penegakan hukum
di Indonesia. Widya Padjadjaran.
Djanggih,
Hardianto, & Takdir, Muhammad. (2021). Problematika Proses Penahanan Dalam
Sistem Peradilan Pidana. Kalabbirang Law Journal, 3(1), 9�19.
Hamzah,
Andi. (2014). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Sinar
Grafika, Jakarta.
Hamzah,
Andi. (2017). Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika.
Hanitijo,
Ronny. (2000). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap,
M. Yahya. (2002). Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP penyidikan dan
penuntutan Edisi kedua.
Hartono.
(2010). Penyidikan & penegakan hukum pidana melalui pendekatan hukum
progresif. Sinar Grafika.
Julia,
Syamsiar. (2006). Pelanggaran HAM dan peranan Polri dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Marpaung,
Leden. (2009). Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan &Penyidikan)
Bagian Pertama. Edisi Kedua. Pt Sinar Grafika. Jakarta.
Marzuki,
Peter Mahmud. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo,
Sudikno.
Muhammad,
Abdulkadir, & Niaga, Hukum Pengangkutan. (2004). Hukum dan Penelitian
Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Prakoso,
Djoko. (1987). Polri sebagai penyidik dalam penegakan hukum. (No Title).
Prodjodikoro,
Wirjono. (1977). Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet. 9. Sumur Bandung,
Bandung.
Ranoemihardja, Atang. (1976). Hukum
Acara Pidana. Tarsito.
Simarmata,
Berlian. (2011). Pengawasan terhadap Pelaksanaan Penahanan Menurut KUHAP dan
Konsep RUU KUHAP. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 23(1),
191�209.
Situmeang,
Sahat Maruli Tua. (2017). Penahanan Tersangka Diskresi dalam Proses
Peradilan Pidana. Logos Publishing.
Winata,
I. Made Arya Kusuma, Sugiartha, I. Nyoman Gede, & Widyantara, I. Made
Minggu. (2021). Proses Penangguhan Penahanan Dengan Jaminan Pada Tingkat
Penyidik Berdasarkan Pasal 31 Kuhap. Jurnal Interpretasi Hukum, 2(2),
403�408.
Copyright holder: Aris Munandar, I Gusti Agung
Ngurah, Abunawas (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |