Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
TINJAUAN TERHADAP PRAKTIK KEDOKTERAN DAN
KESEHATAN BERDASARKAN PRINSIP ETIKA CONFIDENTIALITY YANG BERPEDOMAN
TERHADAP HUKUM KESEHATAN
Jatri Handijani, Meysita Arum Nugroho
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Email: j[email protected] [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
informasi dan menganalisa hukum� mengenai
Praktik Kedokteran Dan Kesehatan Berdasarkan Prinsip Etika� Kesehatan Confidentiality Yang Berpedoman
Terhadap Hukum Kesehatan. Dengan
menggunakan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Praktik
Kedokteran Dan Kesehatan Berdasarkan Prinsip Etika� Kesehatan Confidentiality Yang Berpedoman
Terhadap Hukum Kesehatan? dan Bagaimana Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Dan
Kesehatan Yang Menangani Pasien Dalam Menjaga Setiap Data Informasi Yang Dimiliki
Dari Pasien? Hal yang paling mendalam dari hubungan dokter dengan pasien
adalah rasa saling percaya pasien sebagai
pihak� yang memerlukan pertolongan
percaya bahwa dokter dapat menyembuhkan penyakitnya. Sementara itu, dokter juga
percaya bahwa pasien telah memberikan keterangan yang benar mengenai
penyakitnya dan ia akan mematuhi semua petunjuk dokter. Prinsip Etika Confidentiality merupakan
salah satu kode etik profesionalisme dalam hukum kesehatan. Paham berdasarkan
kerahasiaan data pasien harus diperlakukan secara rahasia. Data medik pasien
dengan� tegas dilarang diketahui oleh
orang yang tidak memiliki akses yang sah.
Kata Kunci: Kedokteran,
Kesehatan, Pasien
Abstract
�������� This study aims to obtain
information and analyze laws regarding medical and health practices based on
the principles of health ethics of confidentiality that are guided by health
laws. By using the approach method in this study is a normative juridical approach.
The formulation of the problem in this study is how is the practice of medicine
and health based on the principles of health ethics of confidentiality guided
by health law? and How is the Implementation of
Medical and Health Practices that Handle Patients in Maintaining Any
Information Data Owned from Patients? The most profound thing about the
doctor-patient relationship is mutual trust. Patients as parties who need help
believe that doctors can cure their illness. Meanwhile, the doctor also believes
that the patient has provided correct information about his illness and he will
comply with all the doctor's instructions. The Principle of Confidentiality
Ethics is one of the ethical codes of professionalism in health law.
Understanding based on the confidentiality of patient data must be treated
confidentially. Patient medical data is expressly prohibited from being known
by people who do not have legal access.
Keywords: Medicine, Health, Patient
Pendahuluan
Kesehatan merupakan salah
satu kebutuhan pokok manusia di samping sandang, pangan, dan papan. Tanpa hidup
yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit manusia
tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik. Selain itu
orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak dapat menyembuhkan
penyakitnya sendiri, tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan dari
tenaga kesehatan yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan tenaga kesehatan
tersebut akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dengan cara
memberikan pelayanan kesehatan (Ratman, 2014).
Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Sudjadi, Widanti, Sarwo,
& Sobandi, 2017). Hendrojono Soewono
(2007) juga menyebutkan, bahwa yang dimaksud pelayanan kesehatan adalah setiap upaya
baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat.
Dalam Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 menjelaskan,
bahwa �Setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami, bahwa seseorang berhak untuk dilindungi diri pribadinya, kehormatan, nama baik dan sebagainya dari hal-hal yang dapat merugikan seseorang. Sehingga setiap orang perlu memperhatikan hak-hak pribadi orang lain, jangan sampai hak-hak pribadi orang lain tersebut terlanggar, dan perbuatan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang kewajiban dokter dan dokter gigi menjaga
rahasia kedokteran. Ayat
(2) Pasal ini menyatakan bahwa, �Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya, kewajiban setiap
rumah sakit menjaga kerahasiaan kedokteran. Ayat (2) mengatur hal senada dengan
rumusan undang-undang tentang praktik kedokteran. Rumah sakit hanya dapat membuka
data pasien untuk kepentingan kesehatan pasien, permintaan aparat penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) merupakan pedoman
bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktik kedokteran (Rozaliyani, Meilia, &
Librianty, 2018). Tertuang dalam SK
PB IDI No 221/PB/A.4/2002 tanggal 19 April 2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada Tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia, dan sebagai
bahan Rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internasional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XII tahun 1983.
Ketentuan sebagaimana yang dijelaskan di atas pada Pasal (7) dan Pasal (12) adalah sebagian dari bentukan etika
dalam sebuah institusi atau profesi kesehatan, yang terjelma dalam sebuah ketentuan kode etik kesehatan.
a. Tujuan dan Fungsi Kode Etik Profesi
Setiap kode Etik
Profesi mempunyai tujuan dan fungsi sendiri-sendiri berdasarkan pada ciri dan karakteristik etik profesi itu
sendiri (Marwiyah, 2015). Adapun tujuan dari kode etik
profesi, sebagai berikut: 1) menjunjung tinggi martabat profesi; 2) menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota; 3) meningkatkan, pengabdian para anggota profesi; 4) meningkatkan mutu profesi; 5) meningkatkan mutu organisasi profesi; 6) meningkatkan layanan diatas keuntungan pribadi; 7) mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat; 8) menentukan baku standarnya sendiri.
b. Beberapa fungsi
kode etik profesi, sebagai berikut Kartoningrat (2016): 1) Kode etik dijadikan sebagai acuan kontrol moral, atau semacam pengawasan
perilaku, yang sanksinya lebih dikonsentrasikan secara psikologis dan kelembagaan. Pelaku profesi yang melanggar, selain menyalahi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku (jika ada indikasi yang dapat menunjukan jenis dan modus pelanggaranya).
Juga dapat bertanggung jawab secara moral. 2) Kode etik menuntut terciptanya
integritas moral yang kuat
di kalangan pengemban profesi. 3) Martabat atau jati diri
suatu organisasi profesi akan ditentukan
pula oleh kualitas pemberdayaan
kode etik profesi, organisasi itu sendiri (Sadi, 2015).
c. Ketentuan tunduk
pada Undang-Undang
Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang diancamkan kepada pelanggarnya, hal ini menjadi peringatan
atau pertimbangan bagi masyarakat untuk tunduk dan patuh pada ketentuan perundang-undangan, dan hal ini pula termanifestasikan dalam rumusan kode
etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggarannya. Dalam rumusan kode etik profesi
dicantumkan ketentuan. �Pelanggar kode etik dapat dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, ini berarti jika
melanggar kode etik profesi itu
merugikan klien atau pencari keadilan,
maka dia dapat dikenai sanksi
undang-undang, yaitu pembayaran ganti kerugian, pembayaran denda, pencabutan hak tertentu, atau
pidana badan.
Untuk itu, harus
ditempuh saluran hukum yang berlaku bahwa yang berwenang memberi sanksi itu adalah pengadilan.
Dengan kata lain, melanggar
kode etik profesi dapat diajukan
ke muka pengadilan
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya (Notoatmodjo,
2010).
Filosofi moral etika kesehatan
dijelaskan dalam Prinsip Dasar Etika Kesehatan sebagai
berikut:
1. Autonomy (otonomi)
Prinsip �Autonomy� (self-determination) yaitu
prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi
pasien (the rights to selfdetermination)
dan merupakan kekuatan yang
dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan konsep Informed
consent. Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir secara logis dan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip
otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
2. Beneficience (Berbuat baik)
Beneficience (Berbuat baik)
adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang bertujuan untuk kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak hanya dikenal perbuatan
untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada
sisi buruknya. Beneficence berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan
kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan
otonomi.
3. NonMaleficence (Tidak merugikan)
Prinsip tidak merugikan
�Nonmaleficence� adalah prinsip
menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal
sebagai �primum non nocere�
atau �above all do no harm �. Prinsip
ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cidera
fisik dan psikologis pada klien atau pasien
4. Confidentiality (kerahasiaan)
Prinsip ini merupakan
prinsip yang akan penulis bahas dalam
karya ilmiah ini, dimana Institusi
kesehatan akan menjaga kerahasiaan informasi yang bisa merugikan seseorang atau masyarakat. Aturan dalam prinsip
kerahasiaan adalah informasi tentang pasien harus dijaga.
Segala sesuatu yang terdapat
dalam dokumen catatan kesehatan pasien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh pasien dengan bukti
persetujuan. Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang
pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
5. Fidelity (Menepati janji)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain.
Tenaga Kesehatan setia pada komitmen
dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap kode etik
yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari tenaga
kesehatan adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
6. Fiduciary (Kepercayaan)
Hukum hubungan atau etika kepercayaan
antara dua atau lebih pihak. Kepercayaan
dibutuhkan untuk komunikasi antara profesional kesehatan dan pasien. Seseorang secara hukum ditunjuk
dan diberi wewenang untuk memegang aset dalam kepercayaan
untuk orang lain. Para fidusia
mengelola aset untuk kepentingan orang lain daripada untuk keuntungan sendiri.
7. Justice (Keadilan)
Prinsip moral yang mementingkan fairness
dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice) atau pendistribusian
dari keuntungan, biaya dan risiko secara adil. Prinsip
keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama rata dan adil terhadap orang lain yang menjunjung
prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan.
8. Veracity (Kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran.
Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan.
Walaupun demikian, terdapat
beberapa pendapat yang mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan
paternalistik bahwa�doctors
knows best� sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan
informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun
hubungan saling percaya
Media sosial memiliki
pengaruh besar pada praktik kedokteran dan kesehatan (Yasya, Muljono, Seminar,
& Hardinsyah, 2019). Terbukti dengan
meningkatnya penggunaan
media sosial dalam dunia kedokteran dan kesehatan saat ini. Media sosial membuat praktik kedokteran dan kesehatan lebih transparan, akuntabel, dan fleksibel jika tidak dilakukan dengan baik, media sosial sebagai sarana publikasi informasi dapat menimbulkan kekacauan bahkan pelanggaran kode etik.
Saat ini sering
terjadi bahwa data atau kondisi pasien
dipublikasi atau dimuat di media elektronik dan
media sosial lainnya, tanpa sepengetahuan si pasien yang bersangkutan. Hal ini tentunya dapat merugikan pasien atau keluarganya, karena apa yang dipublikasikan tersebut belum tentu benar
dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Di samping itu juga dapat merugikan reputasi atau nama
baik seseorang, yang seharusnya harus dilindungi dan dijaga hak-hak dari pasien
yang bersangkutan.
Praktik kedokteran dan kesehatan dengan mengekspos rahasia pasien dan pengingkaran terhadap hak pasien
atas data medik dan privasi medik merupakan
pelanggaran terhadap etik confidentiality yang berpedoman
terhadap hukum kesehatan. Sehingga, dalam prinsip etik
Confidentiality, perawat hendaklah
merahasiakan apapun yang telah dipercayakan pasien kepada perawat,
seperti fakta mengenai penyakitnya serta usaha yang sudah, sedang, dan hendak dilakukan, itupun jika pasien
memakbulkan dengan bukti persetujuan atau menurut undang-undang
untuk memberikan bukti di pengadilan.
Berdasarkan Uraian Permasalahan
Tersebut Di Atas, Menarik Untuk Diteliti Terkait �Tinjauan Terhadap Praktik Kedokteran Dan Kesehatan Berdasarkan
Prinsip Etika Confidentiality Yang Berpedoman Terhadap Hukum
Kesehatan� rumusan masalahnya
adalah 1) Bagaimana praktik kedokteran dan kesehatan berdasarkan prinsip etika confidentiality
yang berpedoman terhadap hukum kesehatan?dan 2) Bagaimana penyelenggaraan praktik kedokteran dan kesehatan dalam menjaga setiap data informasi yang dimiliki dari pasien?
Metode Penelitian
Metode pendekatan yang
dilakukan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Praktik Kedokteran Dan Kesehatan
Berdasarkan Prinsip Etika Kesehatan Confidentiality Yang Berpedoman Terhadap
Hukum Kesehatan secara sistematis, metodologis, dan konsisten di masa yang akan
datang. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis
dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Muchtar, 2016).
Pendekatan yuridis adalah
pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti, sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa
Penulis tidak perlu mencari data langsung ke lapangan.
Adapun spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan
dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis
secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang Penulis peroleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan Praktik Kedokteran Dan Kesehatan Berdasarkan
Prinsip Etika Kesehatan Confidentiality Yang Berpedoman Terhadap Hukum
Kesehatan, yaitu dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.
Hasil dan Pembahasan
A. Praktik
Kedokteran Dan Kesehatan Berdasarkan Prinsip Etika Kesehatan Confidentiality Yang
Berpedoman Terhadap Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan merupakan suatu bidang ilmu di antara semua keseluruhan ilmu dalam ilmu hukum, yang mencakup semua atau keseluruhan rangkaian peraturan perundang-undangan dalam hal medis yaitu pelayanan medis dan sarana medis (Susetiyo & Iftitah, 2021). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kansil, sedangkan Leenen menjelaskan bahwa hukum kesehatan meliputi semua ketentuan umum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut serta pedoman internasional, hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom,ilmu, dan literatur, menjadi sumber hukum kesehatan (Siswati, 2013);(Asi, 2022).
Pengertian hukum kesehatan oleh Lennen bahwa hukum kesehatan menyangkut dengan semua ketentuan umum baik itu
regulasi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan dalam penerapannya baik itu hukum pidana,
perdata, administrasi, pedoman internasional dan kebiasaan pengertian sejalan dengan penjelasan hukum oleh Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia, menurut
pasal 1 Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki).
Hukum kesehatan
adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan/atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban
baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi,
sarana, pedoman-pedoman medis nasional/internasional, hukum di bidang kesehatan, yurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan (Agung,
2021).
Pengertian hukum kesehatan di atas, secara umum dapat
diartikan bahwa hukum kesehatan adalah semua ketentuan
yang menyangkut dengan hak dan kewajiban, pelayanan medis dan sarana medis dalam
hal pemeliharaan kesehatan, baik ditinjau dari aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, pedoman internasional, dan hukum kebiasaan, serta dalam penerapan
hubungan hukum perdata, pidana dan administrasi (Etika,
2007). Hubungan
etik dan hukum, bagi etika, baik
buruknya, tercela tidaknya, perbuatan itu diukur dengan
tujuan hukum, yaitu ketertiban masyarakat.
Bagi hukum
problematikanya adalah ditaati atau dilanggar
tidaknya kaidah hukum. Hukum menuntut legalitas, yaitu berarti bahwa yang dituntut ialah pelaksanaan atau penataan kaidah hukum semata, sebaliknya,
etika lebih mengandalkan itikad baik dan kesadaran moral pada pelakunya. Oleh karena itu, etika menurut
moralitas, berarti bahwa yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib dan tanggung jawab itulasebabnya, timbul kesulitan untuk menilai pelanggaran etika selama pelanggaran
itu bukan merupakan pelanggaran hukum.
Secara istilah,
etika sesungguhnya banyak memiliki arti yang dalam bahasa yunani
Ethos dan Ethikos. Ethos berarti
sifat, watak, kebiasaan. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan tingkah laku yang baik. Kata ini berkaitan atau
identik dengan moral yang berasal dari bahasa
latin Mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, watak, kelakuan dan cara hidup. Etika pada hakikatnya membahas tentang rasionalitas nilai tindakan manusia, tentang baik dan buruknya sebuah tindakan. Karena itu, etika sering juga disebut dengan filsafat moral (Chandrawila, 2001).
Kedudukannya sebagai
bentukan filsafat moral etika menjadi penentu
dalam setiap watak, tingkah laku, atau cara
hidup manusia baik secara individu
ataupun kelompok. Menurut K Bertens, menyatakan etika dibagi dalam tiga
pengertian, pertama, etika dalam arti nilai dan norma-norma moral, maka
etika menjadi pegangan, pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam
mengatur perilakunya, contohnya, etika suku Indian, etika suku Jawa, dst, kedua, etika dalam
arti kumpulan asas atau norma dalam kaitanya sebuah institusi, contohnya, kode etik profesi,
seperti Kode Etik IDI, Kode
Etik IBI, Kode Etik PGRI,
Kode Etik Advokat. Ketiga, etika sebagai
ilmu tentang yang baik dan buruk, apa yang disebut sama artinya dengan
etika sebagai cabang filsafat (Notoatmodjo, 2010).
Etika di atas
yang kemudian berkembang menjadi etika profesi
adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat khusus, yakni kelompok
profesi. Tujuannya antara lain dikembangkan etika profesi untuk
mengatur hubungan timbal balik antara kedua
belah pihak, yakni antara anggota
kelompok atau anggota masyarakat yang melayani dan dilayani. Dalam bidang kesehatan, dengan sendirinya etika profesi ini
berkembang antara petugas kesehatan dan masyarakat yang dilayani.
Kode etik
disusun dan disahkan oleh organisasi atau wadah yang membina profesi tertentu secara nasional maupun internasional. Kode etik menerapkan konsep etis karena
profesi bertanggung jawab pada manusia dan menghargai kepercayaan serta nilai individu (Ratman, 2014).�
Hubungannya dengan kesehatan ialah etika menjadi norma bagi tenaga medis
dalam berperilaku atau menjalankan tugasnya sebagai pelayanan kesehatan, kode etik pada umumnya disusun oleh organisasi profesi yang bersangkutan, ruang lingkup kewajiban bagi anggota profesi
atau isi kode etik profesi
pada umumnya mencakup, kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien/client, kewajiban terhadap teman sejawatnya, kewajiban terhadap diri sendiri.
Untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar dapat terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu
cita-cita bangsa Indonesia adalah melindungi segenap warga dari
ancaman (termasuk ancaman penyakit) dan memajukan kesejahteraan. Dalam rangka itu perlu
dilakukan pembangunan kesehatan yang meliputi semua segi kehidupan
(baik fisik, mental maupun sosial ekonomi)
dengan meletakkan peran pemerintah dan masyarakat yang sama besar dan sama penting.
Meningkatnya taraf hidup masyarakat dewasa ini pasti
akan mempengaruhi tingkat kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana dan prasarana; baik jumlah maupun
mutunya. Dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi upaya meningkatkan,
mengarahkan dan memberikan landasan pembangunan di bidang kesehatan diperlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis agar dapat menjangkau dan mengantisipasi perkembangan.
Pasal 73 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, mewajibkan
setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan menyimpan rahasia penerima layanan kesehatan. Aya (2) pasal ini menegaskan
bahwa rahasia kesehatan penerima pelayanan kesehatan dapat dibuka hanya
untuk kepentingan kesehatan pasien, pemenuhan permintaan aparat penegak hukum, permintaan penerima layanan kesehatan, atau sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam hal
ini Prinsip Etika
Confidentiality merupakan salah satu
kode etik profesionalisme dalam hukum kesehatan. Paham berdasarkan kerahasiaan data pasien harus diperlakukan secara rahasia. Data medik pasien dengan
tegas dilarang diketahui oleh orang yang tidak memiliki akses yang sah. Mendiskusikan pasien di luar area pelayanan bersama teman dan keluarga tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip Confidentiality.
B. Penyelenggaraan
Praktik Kedokteran Dan Kesehatan Yang Menangani Pasien Dalam Menjaga Setiap
Data Informasi Yang Dimiliki Dari Pasien
Tujuan utama
pada pelaksanaan profesi kedokteran adalah untuk mengatasi penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Ada
orang sakit dan dalam masyarakat yang sederhana sekalipun ada orang yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit (dukun, dokter) dan obat diharapkan dapat menolong yang sakit dengan cara apapun.
Pada dasarnya, apa yang sekarang dinamakan hubungan dokter pasien dapat ditelusuri
balik asal usulnya pada hubungan pengobatan seperti dalam masyarakat sederhana itu, tentu ditambah dengan kerumitan-kerumitan yang dibawa oleh perkembangan sosial, ekonomi, hubungan antar manusia, ilmu kedokteran,
teknologi, etika, hukum, bisnis dan lain-lain di
zaman modern ini.
Hal yang paling mendalam dari hubungan
dokter dengan pasien adalah rasa saling percaya. Pasien sebagai pihak yang memerlukan pertolongan percaya bahwa dokter dapat
menyembuhkan penyakitnya. Sementara itu, dokter juga percaya bahwa pasien telah
memberikan keterangan yang benar mengenai penyakitnya dan ia akan mematuhi semua
petunjuk dokter. Pelayanan kedokteran yang baik adalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, bermutu dan terjangkau.
Untuk dapat memberikan pelayanan kedokteran paripurna bermutu (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) bukan saja ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga oleh perilaku
(professional behaviour), etik
(bioethics) dan moral serta hukum.
Dengan berkembangnya bioetika kedokteran maka mau tidak
mau konsep dasar�Hubungan dokter
dengan pasien (HDP)� juga harus ikut berubah.
Selama berabad-abad
hubungan dokter dengan pasien tidak
setara,jarak sosial dan pendidikannya sangat jauh. Dokter sangat paternalistik
dan dominan, layaknya seorang ayah yang� serba tahu� (father knows best), atau bahkan �sok tahu� terhadap anaknya yang dalam posisi tergantung,
yang �tak tahu apa-apa� atau dianggap
�tak perlu tahu apa-apa� mengenai
dirinya.
Hubungan dokter
dengan pasien (HDP) merupakan pondasi dalam praktek kedokteran
dan juga etika kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi Jenewa, dokter menyatakan: �Kesehatan pasien akan selalu
menjadi pertimbangan pertama saya� dan Kode Etik Kedokteran Internasional menyebutkan:
�Dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya�. Interpretasi hubungan dokter pasien secara tradisional
adalah seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan dan pasien hanya bisa menerima
saja.
Namun saat ini hal itu
tidak lagi dapat diterima baik secara etika
maupun hukum. Karena banyak pasien tidak
bisa atau tidak bersedia membuat keputusan perawatan kesehatan untuk mereka sendiri
maka otonomi pasien kadang sangat problematik. Secara yuridis HDP dimasukkan kedalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of
minds) dari dua orang mengenai
satu hal (solis). Dokter mengikat dirinya untuk memberikan
pelayanan kesehatan sedang pasien menerima
pelayanan tersebut.
Dengan demikian
terjadi suatu perikatan yang disebut transaksi (kontrak) terapeutik yang mempunyai dua ciri yaitu: Adanya suatu persetujuan (consensual,
agreement) atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter
dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary) karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain.
Karena bersifat
hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus
dipenuhi persyaratan:
a. harus ada persetujuan
(consent) dari pihak-pihak
yang berkontrak.
Persetujuan ini berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan penerimaan pemberi pelayanan tersebut yang merupakan penyebab terjadinya suatu kontrak. Persetujuannya adalah antara dokter dan pasien tentang sifat pemberi layanan� pengobatan
yang ditawarkan oleh sang dokter
dan yang telah diterima baik oleh pasiennya. Dengan demikian maka persetujuan antara masing-masing pihak haruslah sukarela.
b. harus ada suatu
objek yang merupakan substansi dari kontrak (contract). Objek atau substansi kontrak dari hubungan
dokter pasien adalah pemberian pelayanan pengobatan yang dikehendaki pasien dan diberikan kepadanya oleh sang dokter. Objek dari
kontrak harus dapat dipasikan, legal dan tidak di luar profesinya.
c. harus ada suatu
sebab (cause) atau pertimbangan (consideration). Sebab
atau pertimbangan ini adalah faktor
yang menggerakkan sang dokter
untuk memberikan pelayanan pengobatan kepada pasiennya. Bisa dengan pemberian imbalan atau bisa
saja sekedar untuk menolong ata atas dasar
kemurah-hatian si dokter. Pembayaran untuk pemberian pelayanan pengobatan sudah dianggap tersirat dan diketahui oleh pasien, kecuali diwajibkan oleh hukum atau dianggap untuk
amal dan menolong sesamanya. Apabila seorang pasien ternyata tak mampu
untuk membayar, tidak akan mempengaruhi
adanya kontrak atau mengurangi tanggungjawab sang dokter terhadap tuntutan kelalaian.
Dalam hubungan
terapetik, semua azas yang berlaku dalam berkontrak juga berlaku di sini, antara lain:
a. Asas
Konsensual: Berdasarkan azas ini maka
para pihak, yaitu dokter, Tenaga Kesehatan dan Rumah sakit
serta pasien, harus saling bersetuju
untuk menjalin hubungan terapetik. Persetujuan pasien tersebut ditandai dengan datangnya pasien ke tempat
praktek dokter atau RS sedangkan persetujuan dokter atau RS dapat dinyatakan
secara eksplisit maupun implisit; baik oleh dokter itu sendiri atau
lewat pegawainya. Diterimanya� pendaftaran pasien oleh pembantu dokter atau dilayaninya
pasien� membeli karcis oleh petugas RS merupakan bukti bahwa dokter
atau RS yang bersangkutan telah bersetuju untuk menangani pasien.
Maka sejak
saat itulah hubungan kontraktual mulai terjalin. Dalam pandangan hukum perdata, setiap persetujuandianggap sah jika diberikan tanpa keraguan (unequivocal), tanpa ada paksaan
(voluntary), sesuai kelaziman
(naturally) & dalam keadaan
sadar (conscious) oleh orang-orang yang menurut hukum dapat
melakukan perbuatan hukum. Maka dalam hal pasien anak-anak
atau tidak sehat akalnya, hubungan hukum yang terjadi adalah antara health care provider dengan
orang tua atau walinya.
b. Asas
Itikad Baik (utmost of good faith) merupakan asas yang paling utama dalam hubungan
kontraktual, termasuk hubungan terapetik. Oleh sebab itu baik
pasien, dokter atau RS harus sama-sama
beritikad baik sebab tanpa dilandasi
azas ini, hubungan terapetik tidak syah demi hukum. Dengan itikad
baik tersebut maka masing masing pihak tidak dibenarkan
untuk memperdayai ataupun memanfaatkan kelemahan (ketidaktahuan) pihak lainnya, utamanya pihak dokter yang kedudukannya lebih superior dibandingkan pasien disebabkan ilmu pengetahuan & keterampilan yang dikuasainya.
c. Asas
Bebas: Asas ini mengisyaratkan bahwa para pihak bebas menentukan
apa saja yang hendak diperjanjikan. Hanya saja masing-masing pihak perlu menyadari bahwa upaya medik
itu penuh dengan ketidakpastian
(uncertainty) dan hasilnya pun tidak
dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu tidaklah
realistis jika pasien menuntut jaminan kesembuhan & tidak pula lazim jika dokter menjanjikan
atau memberikan garansi keberhasilan.
d. Asas
Tidak Melanggar Hukum: Meskipun
para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun hukum perdata membatasi
sahnya hubungan kontraktual hanya pada hal-hal yang halal. Jika misalnya
pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa alasan
medis (aborsi kriminalis) dan dokter juga menyatakan kesanggupannya maka hubungan seperti
ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan kontraktual, melainkan merupakan persekongkolan untuk melakukan tindak pidana pengguguran
kandungan. Oleh karenanya jika seandainya dokter melakukan.
e. Asas
Kepatutan dan Kebiasaan:
Dalam hukum perdata, para pihak yang mengadakan perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja tetapi juga pada hal hal yang sudah menjadi kepatutan dan kebiasaan. Azas ini benar-benar membedakan hubungan terapetik dengan hubungan kontraktual di bidang lainnya. Jika misalnya dalam hubungan kontraktual di bidang lain tidak dibenarkan memutuskan hubungan secara sepihak (tanpa kesepakatan kedua belah pihak)
maka dalam hubungan terapetik pemutusan sepihak oleh pasien dapat dibenarkan,
sedangkan oleh dokter hanya dibenarkan berdasarkan� alasan yang
sangat khusus (with notice).
Alasan bahwa
pasien boleh memutuskan secara sepihak kapan saja
didasarkan pada pertimbangan
bahwa hubungan terapetik merupakan hubungan yang dijalin atas dasar kepercayaan.
Bila pasien sudah tidak lagi percaya
akan kemampuan dokter dalam mengatasi
gangguan kesehatannya maka sudah pasti
pasien tidak lagi bersikap kooperatif.
Oleh sebab itu tidaklah bijaksana jika hukum tetap
memaksa pasien untuk menyelesaikan hubungan tersebut karena akan menjadi
kontraproduktif.
Karena Sebagaimana
halnya dengan data pribadi dari seorang
pasien di rumah sakit. Profesi kedokteran dan kesehatan Tidak dibenarkan menyebarkan informasi pribadi dari pasien, seperti
nama, alamat, dan keluarganya. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dijelaskan bahwa �Setiap orang berhak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan�.
Dari ketentuan
pasal tersebut di atas dapat dipahami,
bahwa pasien berhak untuk meminta
kepada dokter atau pelayan kesehatan
untuk merahasiakan kondisi kesehatannya kepada publik, karena dapat merusak
reputasi atau nama baiknya atau
nama baik keluarganya. Salah satu unsur penting dalam
pelayanan yang ditawarkan
oleh rumah sakit adalah riwayat klinis, karena dalam penerapan pasal 47 Peraturan Menteri
Kesehatan. Rekam medis adalah catatan-catatan atau dokumen-dokumen penting yang berisi identitas pasien dalam pemeriksaan, pengobatan, tindakan serta pelayanan yang telah diberikan kepada pasien.
Rekam medis merupakan hal terpenting
dalam bidang kesehatan karena dengan adanya rekam
medis tentunya memudahkan seluruh unit pelayanan kesehatan khususnya sebagai bukti yang sah secara hukum. Dalam hal ini setiap
dokter dan dokter gigi dalam praktik
praktik kedokteran wajib membuat suatu
pencatatan dan catatan tersebut wajib dirahasiakan oleh seluruh pihak unit pelayanan kesehatan.
Apabila kerahasiaan
riwayat kesehatan pasien dibocorkan dan/atau diungkapkan dan merupakan perbuatan yang mengandung unsur kelalaian, maka dapat dikatakan berdasarkan asas lex specialis mencabut lex generalis, ancaman pidana pengungkapan dan/atau atau pengungkapan.� Kerahasiaan pasien ditentukan berdasarkan ketentuan ayat 1 dan 2 pasal 322 KUHP, dimana dalam ayat
1 dijelaskan mengenai suatu ancaman pidana
dengan penjara paling lama
Sembilan bulan dengan disertai denda paling banyak enam ratus rupee bagi siapapun yang dengan sengaja membuka rahasia yang harus dirahasiakan berdasarkan jabatan atau pekerjaannya. Selain itu, dalam ayat
2 dijelaskan apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana
tertentu, maka hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut.�
Kesimpulan
Bahwa Dalam hal ini Prinsip Etika Confidentiality merupakan salah satu
kode etik profesionalisme dalam hukum kesehatan. Paham berdasarkan kerahasiaan
data pasien harus diperlakukan secara rahasia. Data medik pasien dengan tegas
dilarang diketahui oleh orang yang tidak memiliki akses yang sah. Mendiskusikan
pasien di luar area pelayanan bersamateman dan keluarga tidak dibenarkan karena
bertentangan dengan prinsip Confidentiality.
Bahwa Profesi kedokteran dan kesehatan Tidak dibenarkan menyebarkan
informasi pribadi dari pasien, seperti nama, alamat, dan keluarganya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan, dijelaskan bahwa �Setiap orang berhak atas rahasia
kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara
pelayanan kesehatan�. Dari ketentuan pasal tersebut di atas dapat dipahami,
bahwa pasien berhak untuk meminta
kepada dokter atau pelayan kesehatan
untuk merahasiakan kondisi kesehatannya kepada publik, karena dapat merusak
reputasi atau nama baiknya atau
nama baik keluarganya
Agung, I. (2021). DIKTAT: Hukum Kesehatan.
Asi,
Melania. (2022). BAB 3 ASPEK HUKUM DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. Etikolegal Dalam
Praktik Kebidanan, 20.
Chandrawila, Wila. (2001). Hukum
Kedokteran. Mandar Maju, Bandung.
Etika, Syafrul A. (2007). Hukum kesehatan.
Makasar: Hasanuddin University.
Hendrojono, Soewono. (2007). Batas Pertanggungjawaban
Hukum Malpraktik Kedokteran dalam Transaksi Teurapeutik. Surabaya, Srikandi.
Kartoningrat,
Raden Besse. (2016). Fungsi Etika Profesi Bagi Kurator Dalam Menjalankan Tugas.
Perspektif, 21(2), 113�124.
Marwiyah,
Siti. (2015). Penegakan Kode Etik Profesi di Era Malapraktik Profesi Hukum.
UTM PRESS.
Muchtar,
Masrudi. (2016). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Penerbitan
Tim Pustaka Baru.
Notoatmodjo,
Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Ratman,
Desriza. (2014). Rahasia Kedokteran: Di Antara Moral dan Hukum Profesi
Dokter. Bandung Kenia Media.
Rozaliyani,
Anna, Meilia, Putri Dianita Ika, & Librianty, Nurfanida. (2018). Prinsip
Penetapan Sanksi bagi Pelanggaran Etik Kedokteran. Jurnal Etika Kedokteran
Indonesia, 2(1), 19.
Sadi,
Muhamad. (2015). Etika Hukum Kesehatan. Teori Dan Aplikasinya Di Indonesia,
Predanamedia, Jakarta.
Siswati,
Sri. (2013). Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan. Rajawali Pers, Jakarta.
Sudjadi,
Anthony, Widanti, Agnes, Sarwo, Y. Budi, & Sobandi, Handy. (2017).
Penerapan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Yang Ideal Dalam Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Miskin Melalui Program Jamkesmas. Soepra, 3(1),
14�25.
Susetiyo,
Weppy, & Iftitah, Anik. (2021). Peranan dan Tanggungjawab Pemerintah dalam
Pelayanan Kesehatan Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja. Jurnal Supremasi,
92�106.
Yasya,
Wichitra, Muljono, Pudji, Seminar, Kudang Boro, & Hardinsyah, Hardinsyah.
(2019). Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Dan Dukungan Sosial Online
Terhadap Perilaku Pemberian Air Susu Ibu. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media,
23(1), 71�86.
Copyright holder: Jatri Handijani, Meysita
Arum Nugroho (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |