Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 07, Juli 2022

�������������������������������������������������

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA: PERSPEKTIF KEADILAN GENDER BERANGKAT DARI PENETAPAN QANUN JINAYAH DI ACEH

 

Makmur Rizka1*, Rahmat Gunawan2

1*Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia

2Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia

Email: 1*[email protected], 2[email protected]

 

Abstrak

Syariat Islam di Aceh bukan lagi persoalan yang harus ditutup-tutupi dalam pengimplementasiannya. Bukan karena regulasi hukumnya yang salah, namun penerapan hukum Qanun-Qanun Syariat Islam seringkali tidak kontekstual dan terkesan dalam kontrol politik pemerintahan daerah. Tulisan ini berusaha memberikan gambaran terkait penerapan hukum Qanun-Qanun Syariat Islam yang harusnya berlaku adil, tetapi dalam praktiknya tidak sesuai dengan ketetapan dan terindikasi �ditunggangi� kepentingan politik semata. Model kualitatif deskriptif digunakan sebagai metode penelitian tulisan ini, yang berusaha menggambarkan dan menjelaskan penerapan atau implementasi hukum Qanun Syariat Islam di Aceh, baik pada perspektif hukum regulasi negara maupun regulasi kedaerahan. Hukum Syariat Islam yang diterapkan di Aceh membutuhkan berbagai pandangan sosial dan kultural yang lebih humanis, terutama dalam pemberlakuan sanksi yang diusulkan. Wacana pro-kontra emansipatoris dari berbagai kalangan yang fokus pada isu-isu ketidaksetaraan perlakuan hukum pun menjadi faktor yang mempengaruhi penerapan Qanun Syariat Islam di Aceh. Buktinya, hingga saat ini penerapannya masih dalam proses yang belum menemui titik terang dan tidak transparan, sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat Aceh dalam menjaga harmonisasi kehidupan sosial, kultural dan regulasi ditengah-tengah arus perkembangan zaman.

 

Kata Kunci: Syariat Islam, Qanun Aceh, dan Wacana Emansipatoris

 

Abstract

Islamic law in Aceh is no longer a problem that must be covered up in its implementation. Not because the legal regulations are wrong, but the application of Islamic Syariat Qanun- Qanun law is often not contextual and seems to be in the political control of local government. This paper attempts to provide an overview regarding the application of Islamic Syariat Qanuns which should be fair, but in practice they are not in accordance with the provisions and are indicated to be 'ridden' by political interests. A descriptive qualitative model is used as the research method in this paper, which attempts to describe and explain the application or implementation of Islamic Syariat Qanun law in Aceh, both from the perspective of state regulations and regional regulations. Islamic Syariat law applied in Aceh requires a variety of social and cultural views that are more humanistic, especially in the implementation of the proposed sanctions. The pro-contra emancipatory discourse from various groups that focus on issues of inequality in legal treatment has also become a factor that influences the implementation of the Qanun Syariat Islam in Aceh. The proof is that until now the implementation is still in a process that has not met a bright spot and is not transparent, in accordance with the needs of the Acehnese people in maintaining the harmonization of social, cultural and regulatory life in the midst of the current development of the times.

 

Keywords: Islamic Syariat, Aceh Qanun, and Emancipatory Discourse

 

Pendahuluan

Satu dekade lebih pemerintah daerah Aceh telah menerapkan Syariat Islam.3 Namun masalah substansial masyarakat Aceh yang penanggulangannya harus diprioritaskan, sebut saja kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan korupsi. Pengimplementasian Syariat Islam di Aceh masih teralihkan pada perkara-perkara kontoversial dan non-esensial. Hal itu menjadi keluhan msyarakat Aceh sejak awal pengimplementasian Qanun di wilayahnya. Kendati demikian, masyarakat Aceh masih menyakini dan optimis bahwa Syariat Islam dapat menjadi solusi untuk menanggulangi problem esensial mereka.3

Sejarah penerapan Syariat Islam di Aceh secara konstitusional bisa ditelusuri dari penetapan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara keistimeawaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian diganti oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam serta Undang-undang dan Qanun Aceh lainnya.

Penolakan Pemerintah Aceh terhadap rancangan Qanun Jinayah yang dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sempat menjadi isu populer yang menyita perhatian publik regional, nasional dan bahkan internasional.4 Pro dan krontra penetapan Qanun Jinayah itu terus dihembuskan media massa hingga menggema lintas benua. Sekalipun demikian, Qanun Jinayah tetap tidak mampu ditolak dan harus dilaksanakan sebagai konstitusi yang mengatur kehidupan Aceh. Intrik politik yang menggunakan otoritas religius untuk mengendalikan masyarakat Aceh disinyalir menjadi faktor dominan kegelapan dalam penolakan rancangan Qanun Jinayah tersebut.

Pada dasarnya, Pemerintah Aceh dan hampir semua masyarakat Aceh setuju dan bersuka-cita dengan penerapan Syariat Islam, demikian halnya urgensi Qanun dalam penerapan Syariat Islam tersebut. Pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa penerapan Syariat tersebut tidak akan bisa dilakukan, jika Syariat Islam tidak diaktualisasikan ke dalam bentuk Qanun. Aceh memerlukan sistem pengadilan Syariat Islam yang dirumuskan dalam bentuk Qanun.5 Eksistensi Qanun itulah yang akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat Aceh, dan sekaligus sebagai landasan yuridis bagi setiap hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Ada lima faktor kenapa Qanun Jinayah dianggap jauh dari harapan rakyat dan menjadi alasan penentangan; Pertama, politik. Qanun Jinayah yang dirumuskan pernah ditolak pemerintah bersama dengan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS). Qanun Jinayah yang disusun oleh anggota DPR Aceh dinilai menjadi instrumen politik satu golongan yang mereduksi Syariat Islam ke dalam satu aliran (mazhab) yang cenderung tektualis dalam menginterpretasi teks-teks keagamaan Islam. Kedua, terkait persoalan ekonomi. Qanun Jinayah yang berkutat pada masalah hukuman bagi pelaku tindak pidana, seperti minum-minuman keras, berjudi, berduaan laki-laki dan perempuan, bermesraan, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh orang berbuat zina, homo seksual, dan lesbian dirasa tidak mengena pada masalah esensial yang sedang dihadapai masyarakat Aceh, yaitu keterpurukan ekonomi.

Ketiga, terkait dengan masalah hukum. Pengejawantahan Syariat Islam ke dalam bentuk Qanun menjadi sebuah kemutlakan. Mutlak karena Qanun menjadi landasan yuridis untuk lembaga peradilan, penegakan hukum dan sekaligus untuk kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat. Keempat. Terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu global yang tidak bisa dibendung, termasuk di Indonesia. HAM sendiri acapkali dijadikan sandaran untuk menilai kelayakan dan ketidak-layakan jenis hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana, sebut saja hukum mati, kebiri atau dalam konteks Qanun Jinayah di Aceh, bahkan hingga hukuman cambuk. Hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh melalui Qanun Jinayah menuai banyak protes. Bukan hanya dikalangan masyarakat dan aktivis lokal, tetapi juga jadi Komnas HAM. Hukum cambuk yang diaplikasian di Aceh dinilai tidak mencerminkan nilai-nilai HAM. Oleh karena itu, para aktivis HAM loka, nasional, dan bahkan internasional menilai bahwa hukum cambuk yang diterapkan di Aceh melalui Qanun Jinayah merupakan sebuah bentuk kemunduran berfikir.

Kelima, terkait isu gender. Kata gender harus dibedakan dengan istilah seks. Perbedaan keduanya dapat dijelaskan dengan penjelasan sederhana, yaitu bahwa seks merupakan term yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Adapun term gender digunakan untuk mengidentifikasi sifat keperempuanan (feminine) dan sifat kelakian (masquline) yang dibentuk oleh sosio-kultural masyarakat tertentu. Pemosisian identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan bersandar pada teori nature (penilaian yang di sokong berdasarkan teori biologis) dan nurture (di sokong oleh teori konflik dan teori feminisme) masih terus melahirkan kontroversi. Dalam konteks kehidupan sosial bernegara yang selalu terikat pada masalah hukum, pemosisian identitas kelakian dan keperempuanan menjadi penting dan mutlak diperlukan. Karena pada dasarnya penting dan mutlak diperlukan karena implikasi dari pemosisian tersebut sangatlah besar dampaknya dalam realitas kehidupan sosio- kultural setiap individu. Salah satu dampak nyata pada adanya pembatasan �gerak� yang wajar/pantas dan gerak tidak wajar/ tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang laki-laki ataupun perempuan dalam aktivitas sosial dan kultural.

Wacana gender semakin mencuat seiring penetapan Syariat Islam di Aceh. Term ini umumnya digunakan para feminis dan penggiat HAM untuk mengindentifikasi bagaimana sifat keperempuanan dan kelakian dibentuk oleh budaya masyarakat Aceh yang kemudian diperkuat dengan mengadopsi penafsiran-penafsiran misoginis pada teks-teks keagamaan Islam. Para aktivis gender berpandangan, bahwa perempuan telah diposisikan sebagai objek vital dari penerapan Syariat Islam yang tereduksi oleh masalah-masalah tindakan pidana yang dimuat dalam Qanun.

 

Metode Penelitian

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif deksriptif, tulisan ini ditunjukan untuk menelaah 3 (tiga) masalah utama yang diharapkan dapat membantu dalam memahami wacana gender di Aceh dan sekaligus dapat menjadi rujukan ilmiah atau pertimbangan ke depan dalam perumusan-perumusan Qanun yang terkait dengan perempuan. Tiga permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah; Pertama, eksistensi perempuan dalam budaya dan agama masyarakat Aceh. Kedua, eksistensi perempuan dalam teks-teks keagamaan Islam dan dalam Qanun yang diberlakukan di Aceh, dan Ketiga, pemahaman dan upaya kaum hawa di Aceh dalam mengkonstruksi keseteraan gender. Adapun untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode analisis yang dilakukan dengan content analysis, yaitu: berupa analisis secara langsung pada deskripsi isi pembahasan buku primer, jurnal-jurnal ilmiah, Undang- Undang dan tajuk dalam media cetak maupun internet dengan mengkajinya secara kritis. Selanjutnya, menganalisis isi pesan dan mengolahnya untuk menangkap isi pesan secara implisit yang terkandung di dalamnya (Tobroni, 2003:71).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Perempuan dalam Konstruksi Budaya dan Agama di Aceh

Provinsi Aceh secara kultural terdiri dari sebelas suku. Masing-masing suku tersebut memiliki kekhasan budayanya sendiri. Walaupun demikian, ada satu hal yang melampaui kekhasan kesebelas suku tersebut, dan sekaligus menyatukan mereka ke dalam satu identitas kultural yaitu Syariat Islam. Semua suku di Aceh berpadu dalam satu harmoni budaya yang berbasis pada Syariat Islam. Membedakan secara tegas antara budaya dan agama Islam di Aceh sangatlah sulit. Masyarakat Aceh umumnya menganggap bahwa doktrin agama Islam sudah menjadi budaya mereka, oleh karena itu pula mereka berpandangan bahwa melaksanakan budaya berarti menjalankan perintah agama. Sulit untuk dipungkiri bahwa budaya masyarakat Aceh lahir dari doktrin Islam dalam menyikapi realitas kehidupan pragmatisnya. Perbedaan esensial antar agama dan budaya bagi masyarakat Aceh hanya terletak pada dimensi ilahiyah dan profetik. Tegasnya, agama diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu profetik, sedangkan budaya murni lahir dari perubahan dan pergerakan insaniyah. Budaya lahir dari kreatifitas masyarakat untuk menyikapi ragam problematika kehidupan dengan mengacu kepada doktrin Islam.

Sejarah budaya Aceh dapat dikatakan sebagai sejarah budaya Islam. Agama Islam masuk ke Aceh sejak awal abad Hijriah, dan agama Islam diterima dengan baik oleh bangsa Aceh karena doktrin Islam mampu membangkitkan spirit kebudayaan mereka. Agama lokal pun perlahan tergantikan dengan datangnya perubahan dari Islam, sejak saat itu pula kebudayaan Islam di Aceh tumbuh dan berkembang. Serambi Mekkah dan Nanggroe Aceh Darussalam merupakan dua nama masyhur untuk negeri Aceh yang lahir dari proses perkembangan doktrin agama Islam. Demikian pula dengan eksistensi kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Sebut saja kerajaan Peurlak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam, lahir sebagai perkembangan doktrin Islam melalui jalur politik dan pemerintahan.

Kelekatan budaya dan agama Islam di Aceh juga dapat dilihat dari berbagai artefak dan tanda budaya yang menjadi identitas kulturnya. Tiga yang terpengaruh dan memiliki relavansi dengan emasipasi wanita di ranah yang secara kultural didominasi oleh laki-laki; Pertama, Hikayat Perang Sabi. Karya sastra yang di karang oleh Tgk. Chik Pante Kulu ini berbentuk syair heroik untuk menggugah patriotisme bangsa Aceh dalam mengusir penjajah. Dalam hikayak tersebut terdiri dari 4 (empat) kisah fiktif, namun hanya berbasis pada sejarah. Pertama, kisah Ainul Mardhiah, kisah Pasukan Gajah, kisah Sa�id Salmy dan kisah Muhammad Amin.6 Satu hal yang jarang diungkapkan oleh sejarawan adalah emansipasi kaum hawa Aceh dalam melawan penjajah, termasuk bagaimana pengaruh Hikayat Prang Sabi pada daya juang kaum hawa. Tjut Nyak Dhien, Keumala Hayati, Tjut Meurah Inseuen menjadi representasi keberanian kaum hawa di Aceh. Kemampuan yang melampaui sekat kultural masyarakat Aceh yang patriarkis. Mereka semua menepis stereotipe dan marginalisasi kaum hawa pada wilayah domestik (sumur, dapur dan kasur).

Kedua, terkait tarian. Jenis tarian di Aceh juga menjadi artefak budaya yang mendeskripsikan kerekatan budaya dan agama Islam di Aceh. Ada 3 (tiga) jenis tarian yang menurut penulis dapat mewakili pendeskripsian kekuatan budaya dan agama Islam di Aceh dan sekaligus bagaimana tarian tidak selalu identik dengan yang tidak diidentikan dengan kefemininan. Ketiga tarian itu adalah Tari Sama, Tari Ratoeh Duek, dan Tari Seudati. Dua hal yang menjadi ciri khas dari ketiga tari tersebut yaitu berperan dalam menyebarkan dan mendakwahkan Islam melalui nada-nada yang dinyanyikan mengandung lirik shalawat dan zikir kepada Allah, juga selalu mengangkat tema-tema heroik, kesatria dan nilai-nilai keagamaan.

Ketiga, yaitu terkait pakaian. Fungsi pakaian secara umum adalah pelindung tubuh. Namun dalam perkembangannya malah menjadi identitas seksual, kultural, dan agama. Dalam perkembangan yang lebih lanjut, pakaian menjadi salah satu sarana untuk membuat diferensiasi dan startifikasi sosial. Aceh tentunya tidak dapat lepas dari hal tersebut. Pakaian menjadi salah satu penegas identitas seksual (laki-laki dan perempuan) dan sekaligus identitas kelakian (maskulin) dan keperempuanan (feminim) yang berlaku dalam sistem sosial masyarakat Aceh. Pakaian sebagai penegas identitas kelakian dan keperempuanan sangat dipengaruhi oleh nilai- nilai budaya dan agama. Karena pengaruh itulah, hingga kini mengapa pakaian menjadi identitas kultural dan agama. Budaya masyarakat Aceh yang berbasis pada doktrin Islam menuntut standar penggunaan pakaian laki-laki dan perempuan. Pakaian bukan hanya sekedar melindungi tubuh, tetapi menjadi penutup aurat. Pakaian yang menutup aurat dalam konteks itu, akhirnya terus-menerus menjadi identitas budaya dan agama masyarakat Aceh.

B.  Perempuan dalam Bingkai Budaya dan Syariat Islam di Aceh

Yang menjadi sorotan dalam sub-bab ini adalah eksistensinya Inong Balee. Inong Balee secara bahasa berarti perempuan teras rumah, berasal dari bahasa Aceh, Inong yang berati perempuan dan Balee yang berati teras rumah. Penelaahan Inong Balee dalam diskursus gender penting dilakukan. Eksistensi dan peranan Inong Balee ini bisa menjadi referensi dan refleksi akademis terkait dengan 3 (tiga) hal, yaitu; Pertama, mengembalikan citra sumbang eksistensi dan peranan Inong Balee dalam perjuangan membela agama dan tanah airnya. Kedua, menelaah bagaimana pembentukan budaya dan agama masyarakat Aceh terhadap peranan perempuan. Ketiga, meninjau bagaimana Inong Balee keluar dari sekat dan bias kultural yang telah menentukan standar keperempuanan dan kelakian. Terutama standar yang menyakap peranan perempuan pada wilayah domestik dan peranan laki-laki pada wilayah publik.

Pemahaman pada arti frasa Inong Balee harus melihat konteks kata Belee yang ketika digunakan untuk �menyifati� kata Inong memuat unsur maskulin. Unsur maskulin itu terletak pada budaya patriarkis Aceh yang menempatkan posisi dan peranan laki-laki atau suami sebagai garda paling depan atau di bagian publik, sedangkan perempuan justru sebaliknya. Dalam konteks rumah tangga di Aceh, garda depan yang diperankan suami disimbolkan dengan �Balee�. Selain itu kata Balee yang digunakan untuk menyifati kata Inong digunakan dalam konteks sebuah keluarga yang suaminya meninggal dunia. Tegasnya, kematian suami memaksa seorang istri untuk menggantikan posisi dan peranan suami sebagai kepala keluarga yang harus berada di garda depan atau maju ke wilayah publik. Dengan demikian, frasa Inong Balee, dapat dikatakan sebagai perempuan pengganti kepala keluaga yang memiliki peran ganda.

Inong Balee menjadi istilah populer, ketika para Inong Balee maju ke wilayah publik yang paling ekstrim, yaitu medan perang. Para perempuan ini menjadi kepala keluarga yang harus menghadapi anak-anaknya setelah ditinggal suaminya sekaligus menggantikan peran suami dengan maju ke medan perang. Keterlibatan mereka setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor; kerelaan untuk syahid menegakkan agama dan menjaga keutuhan negeri mereka. Dendam atas kematian suami yang tumbang karena keganasan kolonial dan kezaliman struktual, dan desakan keadaan yang menuntut mereka untuk melawan kolonialisme dan kezalima struktural.

1.    Inong Balee Masa Kolonialisme

Para perempuan Aceh melampaui kaum perempuan bangsa lainnya dalam keberanian dan ketidak-gentaran untuk mati. Bahkan, mereka melampaui para laki-laki Aceh yang sudah dikenal sebagai lelaki yang kuat dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama. Mereka menerima hak asasinya di medan perang dan melahirkan anak-anak mereka di-antara serbuan dan penyergapan. Mereka berjuang bersama para suami, baik disampingnya ataupun didepannya, hingga di dalam gemgaman tangan mungilnya kelewang dan rencong dapat menjadi senjata mematikan. Wanita Aceh berperang di jalan Allah, mereka menolak segala macam kompromi.7

Ekspresi kekaguman Zentgraff (1983) muncul setelah melihat sepak terjang para perempuan Aceh yang berani mati di medan perang melawan kekejaman kolonial Belanda, terutama pemimpin karismatik yang bukan hanya pemimpin para perempuan Aceh tetapi juga para lelaki, yaitu Tjut Nyak Dhien (1848-1908). Tjut Nyak Dhien adalah seorang perempuan yang bergerilya melawan Belanda selama kurang lebih 25 tahun. Perempuan yang pada akhir hayatnya dibuang ke tanah Pasundan. Makamnya berada di Gunung Puyuh, Sumedang, yang hingga sampai saat ini ramai dikunjungi para penziarah. Beliau menjadi salah satu �Ikon Inong Balee� yang konsisten dengan pendiriannya untuk melawan penjajah pasca kematian suami pertamanya Ibrahim Lamnga.

Perjuangannya semakin menjadi-jadi, ketika suami keduanya yaitu Teuku Umar gugur saat penyerangan Meulaboh. Meksipun Tjut Nyak Dhien sebagai salah satu ikon dari Inong Balee, namun sejarah kemunculan Inong Balee sudah ada jauh sebelum masa Tjut Nyak Dhien. Setelah Portugis masuk ke wilayah Aceh, sejarah Aceh dapat dikatakan sebagai sejarah perang panjang, hingga berakhir di era reformasi. Tegasnya, perang melawan kolonial Portugis dan Belanda serta perang melawan kezaliman struktural, yaitu penguasaan Orde Lama dan Orde Baru.

Sejarah emansipasi perempuan Aceh di ranah publik bukan hanya di ranah militer saja, tetapi juga di ranah pemerintahan. Hal itu terbukti pada 4 (empat) Sri Kandi penerus kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu: Sri Sultanah Tajul Alam Safiah Ad-Din, Sultanah Nurul Alam Natiyyah Ad-Din, Sri Sultanah Zakiah Ad-Din Johar Shah, dan Sultanah Kemala Ad-Din. Namun disayangkan, kepemimpinan mereka tragis didorong dan dijegal oleh politisasi doktrin agama Islam yang mengharamkan perempuan untuk menjadi pemimpin. Para politisi kerajaan yang menggunakan tafsir misoginis untuk menfatwakan keharaman wanita menjadi pemimpin publik.

Spirit Inong Balee terus mengalir dari generasi ke generasi seiring dengan intensitas kekejaman Belanda kepada rakyat Aceh. Tjut Nyak Dhien, juga diikuti Tjut Nyak Mutia, dan Pocut Meurah Intan merupakan tiga representasi perempuan Aceh yang menerima spirit Inong Balee bersamaan dengan redupnya cahaya Kesultasn Aceh. Keberanian 3 (tiga) perempuan itu tumbuh dari kekejaman kolonial Belanda. Keberanian yang tidak pudar oleh penyiksaan fisik dan psikis yang telah dialaminya.

2.    Inong Balee Pasca Kolonial hingga Era Reformasi

Bergabungnya rakyat Aceh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lantas mengehentikan perang. Konflik berdarah di Aceh terus berlanjut, namun kali ini melawan para serdadu pemerintah Indonesia sendiri. Konflik yang berlarut-larut ini (sejak awal kemerdekaan hingga reformasi) berakar pada persoalan kompleks terkait identitas ke-Islaman rakyat Aceh yang berpadu dengan gesekan kepentingan politik dan ekonomi. Bermula dari kekecewaan terhadap janji presiden Indonesia pertama, yaitu Soekarno yang tidak mengukuhkan identitas primordial mereka, yang kemudian terbakar oleh penindasan ekonomoi dan politik sentralistik-militeristik Soekarno dan terkebiri oleh kebekuan diplomasi politik selanjutnya.

Konflik rakyat Aceh dengan pemerintah Orde Lama adalah tragedi sejarah yang sebenarnya hampir berakhir dengan dikukuhkannya Aceh sebagai daerah Istimewa. Namun kecurigaan elit politik dan peralihan kekuasaan menutupkan kembali perseteruan hingga mencapai ketragisannya di Orde Baru. Jika pemerintah Orde Lama menyudutkan rakyat Aceh secara politik, pemerintah Orde Baru menambahnya dengan �kebijakan bengis� yang menelan banyak korban dan memperparah keterpurukan ekonomi. Perang saudara ini pun terus berlanjut karena kebuntuan diplomasi politik pemerintah Orde Baru.

Penemuan gas alam di wilayah Arun, Aceh Utara pada tahun 1970-an, ternyata bukan anugerah, tetapi menjadi musibah baru yang dimanfaatkan elit politik pusat untuk meraup keuntungan. Pengeksploitasian gas alam yang dilakukan oleh pemerintah bersama Exxon Mobil Oil, menjadikan Aceh sebagai kawasan industri strategis nasional. Namun karena letupan-letupan konflik sering terjadi, pemerintah mengirim ribuan militer dengan dalih mengamankan kawasan industri strategis nasional. Rakyat Aceh ketika itu hanya menonton pengeksploitasian gas alam di tanah mereka seraya menanti kemurahan hati pemerintah pusat untuk memperbaiki perekonomian masyarakat Aceh. Namun penantian panjang itu diabaikan pemerintah pusat. Walhasil, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dideklarasikan pada tanggal 24 Mei 1977.

Sejak saat itu, situasi Aceh begitu genting. Terus memanas dan mencapai puncaknya pada awal tahun 1990-an, ketika Operasi Jaringan Merah (OJM) diberlakukan. Ketika itu, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Operasi penculikan, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan yang kerap dilakukan, bahkan dengan cara yang membabi-buta. Banyak keluarga yang seketika menjadi janda dan kehilangan sanak saudara-saudaranya. Akibatnya, kebencian dan dendam terhadap militer pusat terus berkobar. Sebaliknya, rasa simpati dan empati masyarakat Aceh terhadap perjuangan GAM terus bertambah, dengan spirit pembentukan kembali armada Inong Balee muncul dalam kondisi saat itu.

Istilah Inong Balee dimunculkan kembali oleh panglima GAM Tengku Abdullah Syafei. Pasukan Inong Balee dilatih secara profesional, baik fisik, spiritual maupun nalar. Fisik para anggota Inong Balee dilatih dengan model militeristik. Spiritualitas mereka dilatih dengan ritual dan pendidikan keagamaan. Nalar mereka dilatih untuk memahami hukum nasional dan intenasional, HAM dan pendidikan intelijen. Pelatihan inilah yang semakin membuat para anggota Inong Balee tidak sama sekali gentar menghadapi militer Indonesia. Mereka terus terlibat dalam setiap peperangan yang terjadi pada saat itu.

Konflik Aceh sempat mereda setelah euforia reformasi bergejolak dan pemberian otonomi daerah diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Aceh. Walaupun demikian, hal itu tidak meredam konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kecurigaan para elit politik serta kebekuan komunikasi dan diplomasi pemerintah Orde Baru menimbulkan gejolak lainnya setelah menyatakan status Darurat Militer di Aceh. Perang bersaudara-pun akhirnya terjadi kembali, dimana perang tersebut termasuk melibatkan Inong Balee. Konflik Aceh berakhir setelah bencana alam tsunami menghantam Aceh tahun 2004 dan diikuti dengan kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang menghapus status darurat militer di Aceh.

Sejarah Inong Balee bukan sejarah para perempuan pemberontak, tetapi sejarah para perempuan Aceh yang berani meneruskan perjuangan para suami yang mati dalam medan perang. Iong Balee adalah perjuangan kaum hawa Aceh untuk menegaskan dan mengukuhkan identitas primodial bangsa Aceh, yaitu Syariat Islam. Inong Balee adalah sejarah perjuangan kaum hawa Aceh untuk menegakkan keadilan, melawan kebiadaban kolonial, dan memberantas kezaliman struktural. Hal ini tentunya jauh beda dengan Gearakan Wanita Indoensia (GWI) yang dalam pemberitaan media masa zaman Orde Baru acapkali diidentikkan dengan Inong Balee.

Disisi lain, sejarah Inong Balee adalah sejarah yang mempertegas bahwa para perempuan di Aceh bisa dan terbiasa dengan urusan publik, bukan semata-mata hanya urusan domestik. Namun keterlibatan para Inong Balee di medan perang merupakan suatu dilema gender. Karena budaya patriarkis Aceh memformat perempuan pada wilayah estetis-etis dan domestik, seketika dituntut juga harus dapat berada di wilayah medan perang yang jauh dari


kata estetis-etis. Dalam konteks identitas keperempuanan dan kelakian pada Inong Balee tersebut menjadi dilematis. Satu hal yang disayangkan, sekalipun sejarah membuktikan besarnya jasa para Inong Balee bagi pejuang rakyat Aceh dalam meraih identitas primodial mereka, namun peranan perempuan di wilayah publik masih dianggap kurang etis dan tidak berbudaya, hingga saat ini.

C.  Kedudukan Perempuan Dalam Syariat Islam

Dalam Islam menempatkan kemuliaan manusia bukan pada perbedaan jenis kelamin, ras, dan suku, tetapi oleh kualitas ketakwaan kepada Allah. Kedudukan perempuan dalam Islam begitu sangat dimuliakan. Sebagaimana kemunculan agama Islam terkait dengan sejarah pembebasan perempuan. Lihat saja bagaimana tradisi pembunuhan bayi perempuan pada zaman jahiliyah dihentikan. Salah satu bukti bagaimana doktrin Islam mengangkat derajat wanita adalah dengan mangagungkan sosok seorang ibu. Dapat dilihat dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari mengungkapkan hal tersebut, bahwa:

�Dari Abu Hurairah radhiyallahu �anhu, beliau berkata, �Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti pertama kali? Nabi menjawab, Ibumu. Orang tersebut bertanya kembali, kemudian siapa lagi? Nabi menjawab, Ibumu. Orang tersebut bertanya kembali, kemudian siapa lagi? Nabi menjawab, Ayahmu�. (HR. Bukhari)

Pemuliaan Islam kepada perempuan juga dapat dilihat dari bagaimana cara doktrin Islam mengakui dan menjamin hak-hak perempuan. 3 (tiga) yang terkait dengan tema tulisan ini di antaranya;

1.    Hak Berpolitik

Kondisi perpolitikan suatu negara sangat menentukan berbagai aspek kehidupan warga negaranya, termasuk kesempatan perempuan untuk terjun ke dunia politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa, marginalisasi peranan perempuan di wilayah publik sangat dipengaruhi oleh keputusan-keputusan politik, termasuk di Indonesia. Menapa demikian? Hal ini dikarenakan keputusan-keputusan politik berpengaruh besar dalam perumusan regulasi atau sistem yang membuka lebar ruangan emansipasi perempuan di ranah publik. Atas dasar inilah kenapa penelaahan hak berpolitik perempuan dalam Islam perlu dijelaskan.

��Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya� bagi sebagian yang lai. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, dan mencegah yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Seungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.� (Q.S: At-Taubah; 17)

Kata awliya� pada potongan ayat tersebut, menjadi kata kunci yang terkait dengan pentingnya keterlibatan perempuan di dalam kerjasama dengan laki-laki untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kerjasama ini terkait seluruh aspek kehidupan manusia. Keterlibatan perempuan dalam kerjasama itu tidak dapat disangkal, karena tidak dapat dipisahkan antara hajat laki-laki dan hajat perempuan.8

Hajat hidup umat muslim melingkupi berbagai aspek, salah satunya adalah politik. Setiap manusia tidak boleh apolitik dan harus berpartisipasi dalam politik baik langsung maupun tidak langsung. Namun, keterlibatannya di dalam politik ditujukan agar keputusan- keputusan politik yang dirumuskan benar-benar sesuai dengan hajat hidup umat manusia, bukan kepentingan penguasa sesaat. Terlebih lagi Al-quran menyuruh umat manusia agar setiap urusan yang menyangkut hidup hajat orang banyak diputuskan secara musyawarah.

Musyawarah menjadi salah satu aspek penting dalam politik praktis. Dalam konteks negara Indonesia misalnya, kesadaran akan pentingnya musyawarah dalam sistem politik Indonesia sudah jauh-jauh hari disadari oleh para ulama dan para pendiri bangsa Indonesia, seperti yang tercantum pada sila keempat Pancasila. Musyawarah bukan semata-mata hak yang diberikan kepada laki-laki, tetapi juga kepada wanita. Tidak ada landasan yang kuat untuk menafikan atau melarang perempuan terlibat dalam kancah politik. Dinamika sejarah perjalanan Islam telah membuktikan bagaimana para muslimah menggunakan hak politik mereka.

2.    Hak Bekerja

Bekerja dalam doktrin Islam merupakan modus untuk memperoleh perjuangan hidup agar kehidupan yang dijalani manusia menjadi terhormat dan diridhai Allah. Bekerja untuk memperoleh karunia Allah tidak dikhususkan untuk laki-laki saja, para perempuan-pun berhak untuk berupaya memperoleh hal tersebut. Pentingnya perempuan bekerja juga pernah disinggung oleh Nabi Muhammad SAW. melalui kata menenun atau memintal, sebagaimana yang tertuang dalam sabdanya: �Sebaik-baik permaianan perempuan muslimah di dalam rumahnya adalah menenun� (HR. Abu Nu�aim).

Menenun menjadi representasi pekerjaan perempuan ketika itu, karena memang ruang gerak perempuan pada saat itu masih terbatas oleh budaya patriarki yang mengarahkan agar semua pekerjaan perempuan yang diorientasikan untuk memperoleh penghasilan dilakukan di dalam rumah. Sabda Nabi Muhammad SAW. di atas pernah dikuatkan oleh Aisyah melalui perkataannya: �Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik dari pada tombak di tangan laki- laki. Ungkapan ini menunjukkan bahwa, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan pun hasilnya bisa melampaui pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Karena hal inilah, kenapa para aktivis perempuan menganggap bahwa doktrin Islam justru memotivasi perempuan untuk dapat tetap berkarir, bukan justru hanya menggantungkan hidupnya pada pemberian suami atau orang tua.

Para aktivis feminis berpandangan bahwa, pelarangan perempuan untuk bekerja justru hanya akan memebatasi potensi dan kemandirian perempuan serta memarginalkan mereka di ruang publik. Hal itu secara otomatis akan berdampak pada kemiskinan kaum perempuan. Kemiskinan yang membelit perempuan ini pada akhirnya akan menjadikan mereka sebagai objek perbudakan, perdagangan dan kriminalitas.

3.    Hak Menuntut Ilmu

Salah satu faktor mengapa perempuan selalu diposisikan inferior adalah karena akses perempuan untuk menuntut ilmu ditutup rapat. Bentuk-bentuk ketidak-adilan gender yang terjadi di masyarakat selalu dilakukan seiring dengan upaya pembodohan atau penutupan akses diskursif untuk perempuan. Oleh karena itu, salah satu langkah paling efektif untuk melawan ketidak-adilan gender adalah dengan membuka selebar-lebarnya akses ilmiah yang memberi keleluasaan kepada perempuan untuk mengembangkan ragam diskursus dalam ruang publik.

Dalam Islam, jauh-jauh hari sudah mewanti-wanti bahwa kebodohan menjadi pintu masuk segala bentuk ketidakadilan. Bahkan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW terkait dengan aktivitas ilmiah yang wajib dilakukan oleh laki-laki dan perempuan adalah membaca dan belajar. Dalam hadits Nabi SAW. juga diperintahkan untuk menuntut ilmu �Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan.� (HR. Ibnu Abdil Barr).

Dikisahkan bahwa pentingnya keterlibatan para perempuan dalam aktivitas ilmiah direspon positif oleh para kaum-kaum perempuan Nabi, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar meluangkan waktu untuk mengajari mereka, dan hal itu disetujui oleh Nabi SAW.9 Persetujuan Nabi SAW. ini menjadi bukti nyata bagaimana Islam membuka lebar akses ilmiah untuk para perempuan.

D.  Perempuan dalam Qanun Jinayah

Qanun menjadi salah satu kata inti dalam sistem Pemerintahan Aceh dengan basis Syariat Islam. Qanun menjadi sesuatu yang dirindui, namun sekaligus ditakuti. Dirindui, karena pemberlakukan Syariat Islam dapat diterapkan dalam kehidupan pragmatis masyarakat Aceh. Dan ditakuti, karena para pelaku tindak pidana dapat terjerat sanksi menyakitkan. Apa itu Qanun? Qanun dalam konteks Pemerintahan Aceh telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 21 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yaitu peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Perlu ditegaskan bahwa �sejenis� dalam pendefinisian Qanun tersebut digunakan untuk menunjukkan, bahwa kedudukan Qanun sama dengan Peraturan Daerah (Perda), namun tetap memiliki perbedaan. Perbedaan signifikannya terletak pada Syariat Islam sebagai basis konstitusional Qanun.

Sedangkan, apakah itu Qanun Jinahat? Qanun Jinayat adalah Qanun yang mengatur tentang segala perilaku tindak pidana seperti minum minuman mabuk, berjudi, berzina dan lain sebagainya. Qanun Jinayat sering disebut juga hukum pidana Islam, karena fokusnya pada masalah perilaku tindak pidana dan hukuman. Dalam konteks konstruksi Aceh, Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat yang berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat Aceh. Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat pada dasarnya merupakan revisi sistemstis dan integral dari ketiga Qanun yang sudah ditetapkan sebelumnya secara terpisah, yaitu tentang Qanun Khamar dan sejenisnya, Qanun tentang Maisir, dan Qanun tentang Khalwat. Walaupun demikian, Qanun Jinayat cakupan materi tindak pidana diperluas, mulai dari khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Sulit untuk dipungkiri, bahwa eksistensi Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat merupakan sebuah kemutlakan dalam sistem Pemerintahan Aceh. Mutlak karena eksistensi Hukum Jinayat secara doktrinal merupakan bagian dari Syariat Islam itu sendiri.

Pro-kontra pun muncul terhadap Hukum Jinayat. Salah satunya terfokus pada masalah jarimah (perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam) yang diancam dengan hukuman cambuk, yang dalam bahasa Aceh disbeut dengan istilah Seunut. Hukuman cambuk adalah hukuman badan yang dilakukan dengan cara mencambuk terpidana, menggunakan alat pemukul dari rotan yang panjangnya 1 (satu) meter dengan diameter 0,75 hingga 1 cm, dan tidak memiliki ujung ganda atau bercabang. Adapun pelaksaan hukuman cambuk, dilakukan di hadapan massa oleh petugas yang sudah ditetapkan. Pelaku jarimah yang telah divonis hakim dengan hukuman cambuk diarak keruang publik dan di cambuk sesuai dengan jumlah cambukan yang diputuskan oleh hakim.

Penerapan hukuman cambuk di Aceh secara doktrinal tidak dapat ditolak, karena hukuman cambuk merupakan salah satu bagian dari hukum Islam. Hukuman cambuk secara konstitusional pun tidak dapat dinafikan, karena hukuman cambuk merupakan konsekuensi dari ke-Istimewa-an dalam penerapan Syariat Islam yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh. Hukuman cambuk dalam konteks peradilan di Indonesia, memang menjadi khas Aceh karena hukuman cambuk tidak dikenal dalam hukum pidana nasional.

E.  Perempuan dan Anak-Anak Perempuan Aceh dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah

Para aktivis gender dan penggiat HAM menilai bahwa kaum hawa di Aceh menjadi sedemikian sentral bagi imajinasi moral, hukum, kebijkan politik dan tatanan sipil. Kaum hawa acapkali diposisikan sebagai sumber kejahatan dan pemicu tindakan amoral para lelaki, yang karenanya semua tindakan kaum hawa di ruang publik harus diatur ketat oleh suatu regulasi kaum misoginis. Akses politik kaum hawa ditutup karena tatanan sosial dianggap hanya dapat tertera dalam tangan kekuasan laki-laki yang memiliki kecenderungan rasional, bukan emosional. Tragisnya, untuk melegitimasi hal tersebut, semua tafsir-tafsir misoginis atas ayat- ayat suci digunakan.10

Paradigma misoginis para pemangku kuasa telah melahirkan ragam regulasi yang misoginis. Regulasi yang melegalkan pengsub-ordinasian, marginalisasi, stereotipe dan posisi para perempuan yang harus senantiasa menanggung beban ganda di dalam kehidupan rumah tangga. Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Islami di Kabupaten Aceh Barat, dan Peraturan Daerah Kota Lhokseumawe Nomor 2 Tahun 2013 tentang Larangan perempuan dewasa duduk mengangkang (duek phang) saat dibonceng sepeda motor,11 dianggap menjadi representasi regulasi misoginis yang paling populer dan kontroversial. Bagaimana tidak, pada tataran praktis, regulasi tersebut menjadi legalitas pelaksanaan razia-razia yang difokuskan pada kaum hawa. Mereka melakukan razia para perempuan yang tidak berjilbab, mengenahkan celana ketat, bercelana jeans, dan razia perempuan yang duduk mengangkang saat dibonceng dengan sepeda motor.

Pemberlakuan Qanun Jinayat pada tahun 2015 dianggap menjadi �momok baru� bagi kaum hawa dan anak-anak perempuan, karena perumusan norma pidana dinilai multi-tafsir dan diskriminatif. Implikasinya adalah, kaum hawa dan anak-anak perempuan terus menerus dibayang-bayangi oleh hukuman cambuk. Hal ini terjadi karena proses perumusan dan penetapan Qanun Jinayah dianggap penuh intrik misoginis. Salah satu indikatornya adalah penafsiran ruang diskusi publik yang tidak melibatkan kaum hawa di Aceh.

Nisa Yura selaku Koordinator Program Solidaritas Perempuan (PSP) dalam konferensi- pers yang diselenggarakan pada 23 September 2016 di kantor YLBHI, Jakarta; �Sejak proses pembentukannya terkesan dipaksakan dengan pembahasan yang terburu-buru, serta tidak melibatkan dan mempertimbangkan masukan masyarakat. Apalagi, sebanyak 97 persen perempuan tidak mendapatkan informasi mengenai pembentukna Qanun Jinayah tersebut.

Kerentanan perempuan dan anak-anak perempuan menjadi terpidana Hukum Jinayat yang berujung pada hukuman cambuk, dapat ditelusuri dari Qanun Jinayat yang dianggap diskrimintaif terhadap perempuan, diantaranya yaitu;

1.    Pasal Perzinaan

Ada satu pasal yang terkait perzinaan yang menjadi kontroversi yaitu pada Pasal 36. Bunyi pasal ini adalah; �Perempuan yang hamil di luar nikah, tidak dapat dituduh telah melakukan Jarimah Zina tanpa dukungan alat bukti yang cukup�. Kontroversi pasal ini terletak pada tujuan dan logika perumusan pasal yang dikhususkan pada perempuan hamil tersebut. Kelompok yang sepakat dengan Qanun tersebut berdalih, bahwa perumusan pasal tentang tuduhan zina pada perempuan hamil diluar nikah merupakan upaya Pemerintah Aceh untuk melindungi para perempuan hamil dari tuduhan yang tidak berdasar. Karena desas-desus terkait stigma negatif pada perempuan hamil di luar nikah sering terjadi di lingkungan masyarakat. Logika hukum yang dikedepankan pada perumusan ini adalah logika preventif, di mana para perempuan yang hamil namun tanpa pasangan yang jelas tidak boleh dituduh secara sembarangan tanpa alat bukti yang cukup.

Sedangkan bagi masyarakat yang kontra dengan Qanun Jinayah melihat sisi sebaliknya. Pasal tentang tuduhan pada perempuan hamil di luar nikah justru bukan melindungi perempuan hamil dari tuduhan tanpa dasar, tetapi menjadikan para perempuan semakin tersudutkan. Dalam kehidupan praktis, Pasal ini akan mendorong tumbuhnya prasangka negatif kepada para perempuan, baik itu yang sedang hamil ataupun pada para perempuan yang memiliki anak tanpa hubungan resmi, termasuk juga anak-anak yang dihasilkan dari hubungan gelap. Prasangka inilah yang rentan digunakan oleh seseorang yang memiliki sifat dasar kebencian untuk menjadikan para perempuan sebagai terpidana Jinayat, tepatnya terpidana zina. Pasal ini juga menjadi pintu masuk pelegalan orang lain untuk ikut campur dalam kehidupan privasi para perempuan, bahkan hingga memidanakannya.13

Pasal tentang tuduhan zina pada perempuan hamil di luar nikah merupakan pasal pengkhususan kepada perempuan sebagai objek hukum. Pengkhususan ini dianggap oleh aktivis gender dan HAM sebagai modus untuk menstereotipekan, memarginalkan dan mensub- ordnirkan perempuan. Perempuan diposisikan menjadi objektivitas amoral dan sumber kejahatan yang karenanya penanganan hukum terhadap perempuan harus diberikan ruang pengkhususan.

2.    Pasal Korban Perkosaan

Bagian ketujuh Bab IV tentang Jarimah pada Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 52 yang berbunyi;

a.       Setiap orang yang mengaku diperkosa dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik tentang orang yang memperkosanya dengan menyertakan alat bukti permulaan.

b.      Setiap diketahui adanya Jarimah Pemerkosaan, penyidik berkewajiban melakukan penyelidikan untuk menemukan alat bukti permulaan.

c.       Dalam hal penyidik menemukan alat bukti, tetapi tidak memadai, orang yang mengaku diperkosa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan sumpah sebagai alat bukti tambahan untuk menyempurnakannya.

d.      Penyidik dan Jaksa Penuntut Umun meneruskan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Mahkamah Syariat Kabupaten/ Kota dengan bukti permulaan serta pernyataan kesediaan orang yang mengaku diperkosa untuk bersumpah di depan Hakim.

e.       Kesediaan orang yang mengaku diperkosa untuk bersumpah sebagaimana dimaksud ayat (4) dituangkan oleh penyidik dalam Berita Acara Khusus untuk itu.

Ketidak-berpihakan Pasal 52 di atas, bertumpu pada 2 (dua) masalah, yaitu:

a.       pernyataan alat bukti permulaan yang harus dimiliki korban pemerkosaan ketika melapor khasusnya ke penyidik. Alat bukti permulaan yang dimaksud adalah alat bukti permulaan yang digunakan untuk menduga adanya tindak pidana yang dituduhkan kepada pelaku pemerkosaan.

b.      peran pelapor dan penyidik untuk bukti permulaan. Mereka yang sepakat dengan pemberlakuan Qanun tersebut, memiliki logika hukum bahwa tuduhan apapun yang dilayangkan oleh seseorang harus disertai dengan bukti yang kuat agar tidak menjadi fitnah dan sekaligus membahayakan dirinya secara hukum, dalam artian tidak terjadi penuntutan balik. Adapun penyertaan bukti pemerkosaan seringkali bersifat privatif dan rahasia, sehingga peran pelapor lebih diutamakan, dibandingkan dengan penyidik.

Aktivis HAM umumnya memandang Pasal tersebut �rancu�. Kerancuan dapat dilihat dari; Pertama, absennya penjelasan ayat (1) terkait dengan penyertaan alat bukti permulaan. Ketiadaan penjelasan ini menjadikan Pasal ini multi-tafsir. Kedua, Pasal tersebut pada ayat (1) tidak konsisten dengan ayat (b) yang secara tegas menyatakan. �Setiap diketahui adanya Jarimah Pemerkosaan, penyidik berkewajiban melakukan penyelidikan untuk menemukan alat bukti permulaan.� Ayat ini secara subtantif tumpang tindih, karena yang harus menyediakan alat bukti tidak jelas, antara pelapor atau penyidik. Kalaupun beban penyediaan alat bukti permulaan harus dibebankan kepada pelapor, maka hal itu merupakan bentuk dari diskriminasi hukum terhadap perempuan karena memberikan beban ganda kepada perempuan pelapor yang telah menjadi korban.14

3.    Kerentetan Pasal Peradilan Anak

Pasal-pasal pada Bab VI Jarimah Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang membahas tentang peradilan anak-anak. Pada bab ini hanya berisi dua pasal yang kedua-duanya menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat Aceh, utamanya mereka yang fokus mengikuti isu-isu gender dan isu-isu hak asasi manusia (HAM).

Pasal 66, menyatakan: �Apabila anak yang belum mencapai umur 18 tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan mengenai Peradilan Pidana Anak.

Kontroversi pada Pasal tersebut terfokus pada pemaknaan �berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan mengenai Peradilan Anak�. Absennya penjelasan mengenai kata �berpedoman� menjadikan Pasal ini multi-tafsir. Para aktivis hak asasi manusia (HAM) berpandangan bahwa, kata �berpedoman� tersebut harus diganti dengan kata �menggunakan� agar Pasal tersebut terdengar jelas, tegas dan tidak multi-tafsir.15

Kemudian pada Pasal 67 menyatakan bahwa:

a.    Apabila anak yang telah mencapai umur 12 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan �Uqubat paling banyak 1/3 dari �Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

b.   Tata cara pelaksanaan �Uqubat terhadap anak yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang- undangan mengenai Sistem Peradilan Anak diatur dalam Peraturan Gubernur.

Para penggiat isu-isu kekerasan terhadap anak dan hak asasi manusia (HAM) berpandangan, bahwa hukuman cambuk yang dikenakan kepada anak-anak jelas melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 B ayat (2) UUD yang menyatakan, bahwa �setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi�. Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tidak ada hukuman cambuk bagi anak-anak. Ketiga, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 64 Undang-Undang tersebut, secara tegas mengungkapkan, bahwa; Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum�.16 Para penggiat isu-isu kekerasan terhadap anak dan hak asasi manusia (HAM) berpandangan bahwa penerapan hukuman cambuk kepada anak-anak telah menjadikan anak- anak perempuan sebagai objek penderitaan yang paling dominan, tindak pidana anak-anak perempuan yang dihukum dengan hukuman cambuk, dalam sistem masyarakat patriarkis seperti Aceh, menjadikan mereka ter-stigmakan sebagai perempuan nakal yang tidak boleh menjadi teman anak-anak lainnya. Stigma yang dalam realitas kehidupan pragmatis menjadikan mereka sebagai objek marginalisasi dan subordinasi.

 

Kesimpulan

Catatan sejarah telah membuktikan bahwa Syariat Islam bukan hanya telah membentuk budaya khas bangsa Aceh, tetapi juga telah mengubah sifat-sifat kepribadian rakyat Aceh yaitu keras, berani dan bermental baja. Sulit untuk memungkiri bahwa, sifat keras dan mental baja ini pula yang menjadikan salah satu faktor keberhasilan rakyat Aceh dalam menuntut pelaksaan Syariat Islam pasca reformasi. Catatan historis juga menunjukkan bahwa, sifat keras berani dan bermental baja rakyat Aceh bukan hanya dimiliki oleh kaum Adam, tetapi juga dimiliki oleh kaum Hawa. Eksistensi Inong Balee menjadi bukti nyata emansipasi kaum hawa di Aceh yang menafikan sekat-sekat ideologi masyarakat patriarkis yang acapkali menjadi sumber ketidakadilan gender. Ketidakadilan yang modus operandinya dilakukan melalui steretipe, kekerasan, peran ganda, marginalisasi, dan subordinasi.

Syariat Islam di Aceh saat ini bukan hanya sebagai identitas budaya, tetapi menjadi identitas politik dan hukum. Penempatan posisi perempuan dalam sistem politik dan hukum Qanun Aceh yang bersandar pada Syariat Islam, seringkali mendapat tekanan karena dalam realitas faktual, perempuan dianggap menjadi potensial korban. Para aktivis HAM menentang Qanun tersebut dan selalu membenturkannya dengan hukum Nasional dan hak asasi manusia (HAM), serta mendekontruksikan tafsir-tafsir misoginis yang digunakan untuk melegalkan pendiskriminasian terhadap perempuan. Tidak hanya itu, mereka juga me-reinterpretasi-kan kembali ayat-ayat Alquran dan Hadis dalam perspektif gender.

Kontroversi masyarakat mengenai Qanun Jinayah adalah karena termuatnya hukum cambuk bagi terpidana Jinayat. Bagi sebagian kelompok, hukuman cambuk di Aceh secara doktrinal tidak dapat ditolak, karena hukuman cambuk merupakan salah satu bagian dari hukum Islam yang telah lama menjadi keyakinan masyarakat Aceh, demikian halnya secara konstitusional. Hukuman cambuk merupakan konsekuensi dari ke-Istimewa-an yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh sebagai penerapan Syariat Islam. Tetapi, bagi penggiat dan pemerhati HAM, hukuman cambuk merupakan hukuman yang melukai dan merendahkan martabat manusia. Hukuman cambuk di luar nalar hukum, terlebih hukum cambuk tidak dikenal dalam hukum pidana nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abubabakar, Alyasa� dan Marah Halim. 2006. Hukum Pidana Islam di Aceh: Penafsiran dan Pedoman Pelaksaan Qanun Tentang Perbuatan Pidana. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Chalil, Zaki. Fuad. 2007. Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Hasjmy, A. 1977. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda Jakarta: Bulan Bintang.

 

Jamal, Anton. dkk. 2018. Perempuan dan Hak Asasi Manusia; Narasi Agama dalam Imajinasi Negara Bangsa di Aceh. Malang: PUSAM UMM.

 

Muhammad, Ali, Rusjdi. 2003. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

 

Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Islami di Kabupaten Aceh Barat.

 

Peraturan Daerah (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 2 Tahun 2013 tentang Larangan Perempuan Dewasa Duduk Mengangkang (duek phang) berkendara dengan sepeda motor (dibonceng).

 

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

 

Shihab, M. Quraish. 2007. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.

 

Tobroni, I.S. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggara keistimeawaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

 

Zentgraff, H. C. 1983. Aceh. Terj. Firdaus Burhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Copyright holder:

Makmur Rizka, Rahmat Gunawan (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: