Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September
2022�����������������������
PENJATUHAN
PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTA AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2011
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
(UU ITE)
Thio Jonatan1*,
Hery Firmansyah2
1*,2Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara, Indonesia
E-mail : 1*[email protected], 2[email protected]
Abstrak
Perkembangan
teknologi di era globalisasi berkembang sangat pesat, sehingga penggunaan
teknologi sudah menjadi bagian dalam aspek kehidupan manusia. Namun
perkembangan tersebut akan memberikan dampak negatif apabila tidak digunakan
dengan bijak, salah satu dampak negatif tersebut adalah timbulnya ujaran
kebencian yang berbentuk penistaan terhadap suatu agama di Indonesia. Oleh
sebab itu sebagai negara hukum yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tentu hukum harus mengikuti perkembangan
jaman, salah satunya perkembangan teknologi. Sehingga hukum dapat ditegakkan
seadil-adilnya guna untuk menciptakan keadilan dan ketertiban di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kata Kunci: Perkembangan Teknologi, Penistaan Agama, Hukum Pidana, Negara Hukum
Abstract
The rapid development of
technology in the era of globalization has become an integral part of human
life. However, this development can have negative consequences if not used
wisely, one of which is the emergence of hate speech in the form of blasphemy
against a religion in Indonesia. Therefore, as a constitutional state
established in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the law must
keep up with the times, including technological advancements. This is to ensure
that the law can be enforced as fairly as possible in order to create justice
and order in social life.
Keywords: Development of Technology, Blasphemy against religion,
Criminal Law, State of Law
Pendahuluan
Dalam era globalisasi saat ini
perkembangan teknologi telah berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan
teknologi ini sangat membantu manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dimulai dari mencari informasi sampai dengan berbagai profesi telah menggunakan
teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi menjadi bagian dalam kehidupan
sehari-hari (Cecep
Abdul Cholik, 2021). Salah satu teknologi yang sering dipakai oleh
manusia adalah handphone. Berbagai media sosial dan platform yang
disediakan dan dapat digunakan di handphone dapat digunakan sebagai
sarana untuk melakukan chatting, calling, bahkan video call
sekalipun.
Pada
dasarnya penggunaan media sosial sangat mempermudah manusia untuk melakukan
komunikasi dan melakukan interaksi dengan individu lainnya dari berbagai
negara. Adanya media sosial, manusia dapat saling memberikan komentar kepada
orang yang tidak dikenal, bebas berekspresi, mampu menyatakan pendapat dan
opini, dan dapat membagikan foto atau video. Namun hal ini dapat berdampak
negatif jika manusia tidak menggunakan media sosial dengan bijak. Berbagai
komentar yang dilontarkan dalam media sosial dapat mengandung ujaran kebencian
yang dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat (Ferry Irawan Febriansyah et
al, 2020).
Indonesia
merupakan negara yang memiliki berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan.
Sehingga Indonesia memiliki semboyan �Bhinneka Tunggal Ika� yang berarti
berbeda-beda tetap satu. Namun, banyaknya perbedaan ini terkadang menimbulkan
perpecahan dan rentan terjadi konflik antar satu sama lain. Adanya berbagai
pihak yang tidak bijak dalam menggunakan media sosial yang dijadikan ajang
untuk berkomentar berisi ujaran kebencian terhadap SARA (Maskun, 2014).
Adanya
kebebasan beragama di Indonesia diatur dalam pasal 29 ayat 2 yang berisi bahwa
negara Indonesia menjamin kepada tiap-tiap warga negaranya untuk dapat dengan
bebas memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Beberapa
pihak terkadang merasa bahwa agama dan kepercayaannya lah yang paling benar.
Sehingga hal ini memunculkan konflik dan perdebatan.
Ujaran
kebencian memiliki berbagai bentuk, salah satunya adalah penistaan terhadap
kepercayaan atau agama lain. Pelaku ujaran kebencian ini biasanya menggunakan
media sosial untuk memberikan komentar yang berisi kebencian. Para pelaku
melakukannya tanpa memikirkan akibat yang muncul dikemudian hari. Hal ini
menyebabkan fenomena ujaran kebencian sangat marak terjadi di media social (Dian
Junita Ningrum et al, 2018).
Penistaan
agama merupakan suatu bentuk penghinaan atau pelecehan terhadap agama yang ada
di Indonesia baik secara verbal maupun non-verbal. Penistaan ini biasanya
dilakukan kepada agama-agama besar di Indonesia, seperti Islam, Kristen, dan
Katolik. Hal ini dapat terjadi dikarenakan banyaknya individu yang masih
�kurang� dalam pendidikannya sehingga mampu menimbulkan perpecahan dan konflik
antar agama (Yaya Mulya Mantri, 2022).
Indonesia
sendiri merupakan sebuah negara hukum yang berlandaskan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana berdasarkan landasan tersebut
Negara Indonesia bertanggung jawab untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman di
dalam masyarakat. Juga bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat Indonesia dari
setiap ancaman yang ada baik di dalam negeri maupun luar negeri (Hery
Firmansyah, 2011).
Indonesia
memiliki dasar hukum yang mengatur mengenai penggunaan teknologi informasi. Hal
ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
elektronik. Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 ini bertujuan untuk
memberikan jaminan keamanan dan ketertiban dalam menggunakan teknologi.
Salah satu
contoh kasus ujaran kebencian terhadap SARA dalam media sosial terjadi pada
Putusan Nomor 1145/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr. Pelaku bernama Leopratama Limas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Pasal
64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam kasus
ini Leopratama Limas (disingkat menjadi terdakwa) membuat suatu rekaman suara
yang berjudul �Bahaya Dahsyat dari Vegetarian dan Ikrar Sesat� dan di upload di
media sosial Youtube. Hal ini berisi penistaan dan penghinaan terhadap agama
Budha, dan terdakwa bukanlah pemuka agama Budha. Kemudian terdakwa membuat video
kembali di media sosial youtube dengan judul �Kedunguan, kesesatan sutra hati
Mahayana, mahaprajnaparamitha hrdaya sutram� dimana setelah ditelaah arti
mahaprajnaparamitha merupakan sifat dari bodhisattva, setelah diunggah kembali
menimbulkan reaksi yang negatif dari umat agama Budha karena berisi ajaran yang
menyesatkan.
Kemudian
terdakwa Kembali mengunggah foto yang berisi terdakwa menginjak 5 kitab suci
agama Budha di facebook yang membuat masyarakat beragama Budha menjadi marah
terhadap terdakwa. Kemudian terdakwa kembali menggungah foto yang telah
diunggah sebelumnya, namun ditambahkan Sembilan foto tambahan yang berisi
terdakwa sudah merobek-robek, membakar, mencoret-coret, dan memasukan kedalam
air 5 kitab yang digunakan oleh umat agama budha untuk menjalankan ibadah,
sehingga hal tersebut membuat masyarakat yang beragama budha menjadi sangat
marah terhadap hal tersebut.
Dalam media
sosial memiliki aturan yang berlaku jika perilaku individu menyimpang. Di
Indonesia sendiri sudah memiliki hukum yang mengatur mengenai informasi dan
transaksi elektronik. Mengingat bahwa di dalam Sistem peradilan di Indoensia menerapkan
Asas Legalitas yang berarti pidana akan diberikan apabila telah ada
undang-undang yang mengaturnya sebelum perbuatan pidana dilakukan (Hery
Firmansyah, 2015), berdasarkan pemaparan di atas dan penelusuran penulis,
penulis memiliki ketertarikan untuk mengkaji lebih dalam penerapan hukum
tentang pemidanaan bagi pelaku ujaran kebencian terhadap SARA dalam media
sosial dengan mengangkat judul penelitian �Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Pelaku Penistaan Agama Dalam Media Sosial Berdasarkan Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Studi Putusan Nomor 1145/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr)�.
Metode Penelitian
Untuk
menjawab penelitian ini, penulis menggunakan prosedur jenis penelitian hukum normative.
Menurut Soekanto (2001), penelitian hukum normatif dilakukan berdasarkan hukum,
peraturan, serta asas hukum yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti seperti
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Bahan hukum sekunder berhubungan dengan penjelasan-penjelasan
mengenai rumusan masalah yang dituangkan kedalam buku-buku yang membahas
mengenai permasalahan dan juga jurnal-jurnal penelitian sebelumnya yang juga
membahas mengenai permasalahan yang sedang diteliti.
Dalam
penelitian ini menggunakan metode pendekatan Undang-Undang (statute approach). Pendekatan
Undang-Undang ini berkaitan dengan Tindak Pidana Ujaran Kebencian. Hal ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atau
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE).
Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Yang
Dilakukan Di Dalam Media Sosial Dalam Putusan Nomor
1145/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr.
Dalam proses
penjatuhan pidana tidak serta merta memberikan sanksi pidana kepada pelaku yang
didakwakan tindak pidana kepadanya, melainkan perlu mengikuti prosedur-prosedur
dalam persidangan yang dituangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Dalam proses penjatuhan pidana perlu memperhatikan perbuatan si pelaku yang
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku
di Indonesia juga bertentangan dengan norma-norma yang hidup di dalam
masyarakat (H. Usman, 2018). Konsep penjatuhan pidana sendiri perlu mengacu
kepada bentuk-bentuk pidana yang di berlakukan di Indonesia, dimana mengenai
hal tersebut dituangkan di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu:
1.
Pidana Mati
2.
Pidana Penjara
3.
Pidana Kurungan
4.
Pidana Denda
5.
Pidana Tutupan
Kemudian pidana tambahan terdiri atas:
1.
Pencabutan hak-hak tertentu
2.
Penyitaan benda-benda
tertentu
3.
Pengumuman putusan hakim
Proses
penjatuhan pidana erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, bahwa dalam prinsip
penjatuhan pidana kepada pelaku perlu memperhatikan apakah si pelaku yang melakukan
perbuatan tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan mengenai perbuatannya
tersebut.
Pertanggungjawaban
pidana sendiri merupakan bentuk tanggung jawab yang diberikan kepada pelaku
tindak pidana untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya yang
telah melanggar hukum positif yang ada serta bertentangan dengan norma-norma yang
hidup di dalam masyarakat (Roeslan Saleh, 2000). Dalam proses penjatuhan pidana
pelaku yang melakukan tindak pidana perlu memperhatikan syarat-syarat seseorang
dapat dijatuhi pidana. Dimana syarat tersebut berkaitan dengan pelaku yang
melakukan tindak pidana, dan perbuatannya bertentangan dengan hukum yang
berlaku. Sehingga dalam proses penjatuhan pidana, perlu untuk memperhatikan sebuah
fakta bahwa pelaku tindak pidana merupakan seorang manusia yang hak-haknya
dijamin oleh hukum dan Hak Asasi Manusia, sehingga penjatuhan pidana kepada
pelaku juga perlu untuk memperhatikan hak-haknya sebagai manusia.
Kaitan
antara penjatuhan pidana dengan pertanggungjawaban pidana memang tidak terpisahkan
dan menjadi suatu kesatuan yang pasti. Hal tersebut dikarenakan dalam proses
menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana perlu memperhatikan apakah
pelaku secara ikhwalnya mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan bertanggung jawab dari
pelaku tindak pidana menjadi salah satu acuan dalam penjatuhan pidana kepadanya
(Hanafi Amrani & Mahrus Ali, 2015).
Dalam konsep
pertanggungjawaban pidana, tidak semua orang dapat diberikan pertanggungjawaban
pidana kepadanya. Dalam Pasal 44 KUHP dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan
sebuah perbuatan pidana namun karena jiwanya cacat, sehingga secara psikologis
orang tersebut tidak mampu untuk bertanggung jawab, maka orang tersebut tidak
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam artian seseorang karena
jiwanya cacat dan tidak mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka
orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana kepadanya, dan sifat pidana dari
perbuatannya terhapuskan.
Mengenai penghapusan
sifat pidana yang dituangkan dalam Pasal 44 KUHP yang menyatakan bahwa orang
yang mengalami kecacatan jiwa tidak dapat dijatuhi pidana kepadanya, penulis
sepakat bahwa memang tidak semua orang dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya, sehingga dalam konteks hukum pidana, ketidakmampuan bertanggung
jawab berarti penjatuhan pidana tidak dapat dilakukan. Hal tersebut selaras
dengan konsep hukum pidana di Indonesia yang mengenal adanya alasan pembenar
dan alasan pemaaf dalam suatu perbuatan
pidana. Alasan pembenar antara lain:
1.
Daya paksa
2.
Pembelaan terpaksa
3.
Menjalankan perintah
undang-undang.
4.
Perintah Jabatan
Kemudian alasan pemaaf antara lain:
1.
Ketidakmampuan untuk
bertanggungjawab
2.
Daya paksa
3.
Pembelaan terpaksa
4.
Menjalankan perintah jabatan
Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang diterangkan diatas memiliki makna
bahwa apabila alasan-alasan tersebut dapat dibuktikan, maka sifat pidana dari perbuatan
tindak pidana tersebut terhapuskan. Sehingga dengan hilangnya sifat pidana dari
suatu tindak pidana, maka penjatuhan pidana tidak dapat diberlakukan (P.A.F.
Lamintang, 2013).
Dalam proses
penjatuhan pidana kepada pelaku yang melakukan tindak pidana, perlu
memperhatikan dasar-dasar dalam pemidanaan untuk menjatuhkan pidana kepada
pelaku. Bahwa untuk menjatuhkan pidana maka harus ada perbuatan pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Perbuatan pidana itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum untuk tujuan menertibkan masyarakat dan sebagai penegakkan
hukum, dimana apabila dilanggar akan memberikan sanksi pidana kepada pelakunya (Moeljatno,
2008). Tentu dalam hal ini berkaitan bahwa proses penjatuhan pidana kembali
pada penerapan kemampuan pelaku untuk mempertanggungjawaban perbuatan
pidananya. Pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu acuan dalam menjatuhkan
pidana bertujuan bukan hanya untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana, namun juga keadilan bagi pelaku tindak
pidana itu sendiri sebagai seorang manusia. Sehingga tujuan dari hukum pidana
itu dapat terlaksana dengan baik (Eddy. O. S. Hieriej, 2014).
Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana juga
perlu memperhatikan unsur-unsur pidana selain dari kemampuan bertanggung jawab yang
dimiliki oleh pelaku tindak pidana. Unsur-unsur pidana antara lain (S.R.
Sianturi, 20020):
1.
Adanya subjek hukum yang
melakukan perbuatan pidana.
2.
Adanya kesalahan.
3.
Perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum.
4.
Perbuatannya dilarang oleh
undang-undang.
5.
Perbuatanya terjadi pada
suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.
Kesalahan sendiri merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam
unsur-unsur penjatuhan pidana. Perbuatan pidana pada dasarnya terjadi karena
adanya kesalahan, dimana kesalahan yang terjadi menjadi suatu penyebab suatu
tindakan bertentangan dengan hukum, yang memberikan konskuensi penjatuhan hukum
pidana kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana tersebut (Johan Widjaja,
et al, 2021).
Dalam
Putusan Nomor: 1145/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr Terdakwa Leopratama Limas di
dakwakan pada Pasal 45A ayat (2) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik yang berbunyi: �Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)�. Pada putusan tersebut
Terdakwa dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama satu tahun sepuluh bulan,
dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan
ketentuan bahwa apabila pidana denda tidak dilaksanakan, akan digantikan dengan
pidana kurungan selama tiga bulan. Dalam proses penjatuhan pidana kepada
terdakwa, hakim telah memperhatikan unsur-unsur pidana baik secara kemampuan
bertanggung jawab dari Terdakwa, maupun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal
yang didakwakan.
Bahwa seperti yang telah diterangkan diatas sebelumnya, Terdakwa secara
sadar dan tanpa paksaan melakukan perbuatan penistaan agama yang dilakukan di
dalam media sosial. Kemudian juga secara kondisi psikologis, Terdakwa mampu
bertanggung jawab, sehingga dalam hal ini Terdakwa dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan pidananya, sehingga Terdakwa dapat dijatuhi pidana kepadanya. Mengenai
penerapan alasan pembenar dan alasan pemaaf, dalam fakta persidangan dalam
Putusan Nomor: 1145/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr tidak ada alasan pembenar dan
alasan pemaaf pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa yang dapat
menghilangkan sifat pidana dari perbuatan pidananya, sehingga Terdakwa dapat
dijatuhi pidana karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Kemudian penerapan unsur-unsur pidana yang telah dijelaskan diatas yaitu:
1.
Adanya subjek hukum yang
melakukan perbuatan pidana.
2.
Adanya kesalahan.
3.
Perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum.
4.
Perbuatannya dilarang oleh
undang-undang.
5.
Perbuatanya terjadi pada
suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu
Subjek hukum yang melakukan perbuatan pidana dalam Putusan adalah
Terdakwa Leopratama Limas. Kemudian Terdakwa melakukan kesalahan dengan menistakan ajaran agama Budha yang dilakukan di dalam media
sosialnya, dimana perbuatannya tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, dan juga perbuatannya dilarang oleh undang-undang. Dalam
melakukan perbuatannya tersebut, Terdakwa melakukan perbuatannya secara
bertahap sehingga dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan berlanjut, yang
dilakukan pada 30 April 2020 sampai 1 Juni 2020, yang dilakukan di dalam media
sosialnya yang dia posting di kediamannya. Sehingga berdasarkan kemampuan untuk
bertanggung jawab atas perbuatan pidana dari Terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan olehnya, kemudian keseluruhan unsur-unsur pidana dari
pelaku terpenuhi secara keseluruhan, maka perlu memperhatikan unsur-unsur dalam
pasal yang didakwakan kepadanya untuk menjatuhkan pidana kepada Pelaku.
�� Berdasarkan Pasal 45A Ayat (2)
Undang Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2011 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dalam pasal tersebut dirumuskan
dua unsur yaitu unsur setiap orang, dalam unsur ini dijelaskan di dalam
putusannya unsur setiap orang merupakan subjek pelaku yang didakwakan dengan
pasal tersebut. Dalam putusan ini, unsur setiap orang yaitu Terdakwa Leopratama
Limas, sehingga unsur setiap orang terpenuhi. Kemudian unsur dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antar-golongan (SARA), dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa unsur
tersebut bahwa Terdakwa memang mengkehendaki perbuatannya serta akibatnya, berdasarkan
fakta persidangan, unsur tersebut terpenuhi.
Kemudian mengenai
perbuatan berlanjut, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan
berlanjut apabila (Andi Hamzah, 2010):
1.
Adanya suatu kesatuan dari
kehendak dalam berbuat.
2.
Perbuatan yang dilakukan merupakan
perbuatan yang sama atau perbuatan yang sejenis.
3.
Hubungan kausalitas dari
perbuatan pertama ke perbuatan berikutnya tidak terlalu jauh.
Dalam Pasal 64 KUHP yang
berbunyi: �Jika diantara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu
aturan pidana, jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat� dalam fakta persidangan bahwa unsur perbuatan
berlanjut telah terpenuhi.
Bahwa berdasarkan keseluruhan
unsur-unsur pidana yang secara keseluruhan telah terpenuhi, kemudian
keseluruhan unsur-unsur pidana dalam Pasal 45A Ayat (2) yang menjadi dasar
tuntutan kepada terdakwa telah tepenuhi, juga tidak adanya alasan pembenar dan
alasan pemaaf yang dapat menghilangkan sifat pidana dari perbuatan pidana,
serta Terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya, maka hakim
dalam Putusan Nomor 1145/Pid.Sus/2020/Jkt.Utr menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa dengan Pidana Penjara selama satu tahun sepuluh bulan, dan pidana
denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan
apabila tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana kurungan selama tiga
bulan. Berdasarkan ketentuan diatas, penulis sepakat bahwa penjatuhan pidana
kepada Terdakwa dilakukan oleh hakim dengan mempertimbangkan keseluruhan baik
dari segi hukum, penegakkan keadilan, serta hak-hak masyarakat maupun Terdakwa.
Bahwa hakim telah mempehatikan aspek-aspek sebagai berikut (Barda Nawawi Arief,
2001):
1.
Kesalahan yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana.
2.
Tujuan dan motif dalam
melakukan tindak pidana.
3.
Cara melakukan tindak
pidana.
4.
Sikap batin pelaku tindak
pidana.
5.
Sikap dan tindakan pelaku
setelah melakukan tindak pidana.
6.
Riwayat hidup pelaku tindak
pidana.
7.
Dampak dari sanksi pidana
yang diberikan kepada pelaku tindak pidana.
8.
Pandangan dari masyarakat
terkait dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana.
Sehingga penerapan hukum pidana kepada putusan tersebut dapat dikatakan
selaras dengan tujuan pidana dan penegakkan hukum di dalam masyarakat telah berhasil
ditegakkan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa adanya perkembangan
teknologi yang pesat dapat menimbulkan dampak yang negatif jika tidak digunakan
dengan semestinya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ini dapat diberikan kepada pelaku tindak
pidana untuk memberikan efek jera. Seperti kasus yang dilakukan oleh Leopratama
Limas yang menggunakan media sosial dengan tidak bijak.
Pelaku melakukan penistaan terhadap agama lain yang mengharuskan ia untuk
melalui persidangan atas perilakunya. Melalui proses pemeriksaan, mengadili,
dan memutuskan perkara ini yang dilakukan oleh hakim, serta melalui
pertimbangan hukum yang adil dan jujur, maka hakim menjatuhkan sanksi pidana
penjara selama satu tahun sepuluh bulan dan denda sebesar satu milyar rupiah.
Hal ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang bertujuan untuk
menegakkan keadilan dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
BIBLIOGRAFI
Amrani, H., & Ali, M. (2015). Sistem
pertanggungjawaban pidana: Perkembangan dan penerapan. Jakarta: Rajawali
Pers.
Arief, B. N. (2001). �Masalah penegakan hukum dan kebijakan
penanggulangan kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Firmansyah,
H. (2015). Hukum pidana, materiel, & formil: Asas legalitas.
Jakarta: Kemitraan Partnership.
Hamzah, A. (2010). Pengantar dalam hukum pidana
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hieriej, E. O. S. (2014). Prinsip-prinsip hukum
pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Lamintang, P. A. F. (2013). Dasar-dasar hukum pidana
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.
Moeljatno. (2008). Asas-asas
hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Saleh, R. (2000). Pikiran-pikiran tentang
pertanggungjawaban pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sianturi, S. R. (2002). Asas-asas hukum pidana di
Indonesia dan penerapan. Jakarta: Storia Grafika.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian
hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cholik, C. A.
(2021). Perkembangan teknologi informasi komunikasi/ICT dalam berbagai
bidang. Jurnal Fakultas Teknik Unisa Kuningan, 2(2).
Firmansyah, H. (2011). Upaya penanggulangan tindak
pidana terorisme di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, 23(2).
Ningrum, D. J., et al. (2018). Kajian ujaran kebencian di media sosial, Jurnal Ilmiah Korpus,
2(3).
Usman, H. (2018). Analisis perkembangan teori hukum
pidana. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 2(1).
Widjaja, J., et al. (2021). Konsep sanksi pidana yang
memberikan keadilan bagi korban tindak pidana penipuan. Jurnal Yustitia,
22(1).
Yahya, M. M. (2022). Kasus penistaan
agama pada berbagai
era dan media di
Indonesia. Jurnal Agama dan Sosial-Humaniora, 1(3).
Indonesia, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik.
Copyright holder: Thio
Jonatan, Hery Firmansyah (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |