Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

TINJAUAN TERHADAP TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN DI KECAMATAN BATANGLOMANG

 

Dahlai Hasim1*, Mardia Ibrahim2

Universitas Khairun, Ternate Maluku Utara, Indonesia1,2

Email: [email protected]1*, [email protected]2

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan  Pertama Untuk mengetahui Bagaimana Upaya Mengatasi Tiingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomang Kedua Untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomang Tipe Penelitian ini adalah penelitian Normatif Emiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang dilakukan secara interaktif. Dampak Terhadap Tinginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanlomang. Hasil penelitian upaya mengatasi tingginya angka percerian yang dilakukan di Kecamatan Batanglomang yaitu dengan menerapkan Peran Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Selain Bp4 Sebagai upaya untuk mencegah sebuah kasus perceraian adalah nasehat dari pihak keluarga dan hendaknya dapat memberikan penjelasan seperti. Memberikan Bimbingan Penasehatan Pelestarian Perkawinan dan Perceraian sebelum melangsungkan Pernikahan. Mengadakan penyuluhan tentang pelaksanaan pernikahan/perceraian dan rujuk. Membentuk majelis ta’lim yang berfungsi memberikan motivasi dalam berumah tangga. PPN memberikan bantuan buku tentang kehidupan dalam berumah tangga, khususnya pernikahan, perceraian dan rujuk. Adapun jumlah perceraian pada kurun waktu tersebut di atas yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha sebanyak 64 kasus perceraian. Tingginya angka perceraian di Kecamata Banglomang tidak mudah ditekan meskipun telah diminimalisir oleh Pengadilan Agama Labuha, yaitu dengan melakukan proses mediasi lewat mediator dan pemberian nasihat di setiap persidangan oleh majelis hakim namun hasilnya tetap meningkat pertahunnya. Penyebab faktor terjadi perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama pada kurun waktu 2018-2022 sangat bervariasi.

Kata Kunci: Angka Perceraian, Kecamatan Batanglomang. Pernikahan, Rumah Tangga

 

Abstract

This study aims first to find out how efforts to overcome the high divorce rate in Batanlomang sub-district The second is to find out the factors that influence the high divorce rate in Batanglomang sub-district This type of research is an empirical Normative research. The data used are primary data and secondary data. The data collection techniques used are interviews, observation and documentation. The data analysis technique used is qualitative data analysis which is carried out interactively. Impact on High Divorce Rate in Batanlomang District. The results of research efforts to overcome the high number of divorces carried out in Batanglomang District are by implementing the Role of the Marriage Development and Preservation Advisory Board (BP4). In addition to Bp4 As an effort to prevent a divorce case is advice from the family and should be able to provide explanations such as. Provide Guidance on Marriage Preservation and Divorce Advice before marriage. Conduct counseling on the implementation of marriage/divorce and reconciliation. Forming a ta'lim assembly that functions to provide motivation in marriage. VAT provides book assistance about married life, especially marriage, divorce and reconciliation. The number of divorces during the period mentioned above that has been handled by the Labuha Religious Court is 64 divorce cases. The high divorce rate in Banglomang District is not easily suppressed even though it has been minimized by the Labuan Religious Court, namely by conducting a mediation process through mediators and providing advice in each trial by a panel of judges but the results continue to increase every year. The causes of divorce factors that occurred in religious courts in the 2018-2022 period varied greatly.

Keywords: divorce rate, Batanglomang District, Wedding, Household

 

Pendahuluan

Manusia diciptakan untuk bisa hidup berpasang-pasang. Fitrah tersebut diwujudkan dalam sebuah ikatan perkawinan dengan tujuan menciptakan keturunan (rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan adalah pertalian yang antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama (Subekti & Tjitrosudibio, 1999). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

   Esensi nilai perkawinan ini akan terdegradasi dengan semakin adanya fenomena Perkawinan bagi anak di bawah umur yang sering terjadi disekeliling kita tanpa adanya pencegahan dengan maksimal (Santoso, 2016);(Anshori, 2019). Perkawinan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggung jawab. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka siap menanggung segala beban yang timbul akibat perkawinan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang berkaitan dengan perlindungan serta pergaulan yang baik untuk menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan pencapaian esensi dari suatu perkawinan (Hilman, 2007).

Oleh karena itu, ditentukan batas umur untuk melaksanakan perkawinan yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (Adila, 2020). Namun dalam keadaan yang sangat memaksa, perkawinan di bawah batas umur minimum sebagaimana dalam Undang-undang Perkawinan dimungkinkan setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua. Muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu hamil sebelum menikah.

Dilihat dari faktor sosiologis yang terjadi saat ini semakin bebas pergaulan anak yang menyebabkan anak luar kawin, hal ini dilatar belakangi oleh faktor internal dalam keluarga yaitu kurangnya pengawasan dari orang tua dan faktor ekstern yaitu dari faktor sosiologis yang kurang baik yang menyebabkan anak terjerumus dalam pergaulan bebas (Sembiring, 2016).

Faktor sosial lain seperti pemberlakuan adat istiadat daerah-daerah tertentu untuk menikahkan anaknya pada umur yang belum cukup menurut Undang-Undang Perkawinan. Anak-Anak yang belum matang jiwa raganya, dijodohkan oleh orang tuanya tanpa mereka itu tahu arti dan makna perkawinan yang dilakoninya. Pada peristiwa seperti itu, justru kehendak dan kepentingan orang tua dijadikan batu ukur, tanpa mempedulikan kebutuhan anak yang masih terlalu mudah untuk membangun keluarga (Andriati & Perdata, 2011).

Berdasarkan pertimbangan medis, ada kalanya perkawinan anak-anak itu tidak sehat, baik ditinjau dari segi fisik maupun mental yang bersangkutan sehingga sering terjadi kegagalan dalam membina rumah tangga mereka (Puniman, 2018). Peristiwa ini sedikit banyak akan merugikan tumbuh kembangnya sumber daya manusia yang unggul. Pendidikan yang mestinya harus dirintis, terhenti karena harus kawin atas dasar kehendak orang tua (Isnaeni, 2016).

Tujuan perkawinan yang paling utama ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Kesejahteraan dalam perkawinan tidak dapat diharapkan dari mereka yang kurang matang, baik fisik maupun emosional,melainkan juga kedewasaan dan tanggung jawab, serta kematangan fisik dan mental. Suatu asas bagi kematangan calon suami dan istri cercantum dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan diijinkan jika pria berusia 19 tahun wanita 16 tahun.

Persyaratan batasan usia yang diberikan adalah agar calon suami dan isteri siap jiwa raganya untuk melakukan pernikahan, agar diwujudkan tujuan pernikahan yang baik dan tidak berujung pada perceraian (B. Abdullah & Saebani, 2013). Karena menikah bukan merupakan perkara yang akan berlangsung satu atau dua hari saja, melainkan sepanjang sisa umur kita. Ibarat perjalanan, kita harus mempersiapkan perbekalan cukup. Perbekalan itu mencakup empat hal, yaitu: 1) pengetahuan yang cukup tentang kewajiban suami-isteri dan hukum-hukum dalam rumah tangga; 2) Kesiapan fisik berupa umur yang cukup dan jasmani yang sehat; 3) Kesiapan mental berupa kuatnya niat untuk berumah tangga; dan 4) Bagi laki-laki harus ada kesiapan memberi nafkah (Mulyadi, 2010).

Beberapa dampak yang kemudian timbul akibat dari pernikahan yang rentang masih mudah adalah adanya usia pernikahan yang hanya beberapa tahun saja dan pisah tanpa proses hukum yang benar, terjadinya perceraian dan keluarga yang tidak harmonis serta terjadinya tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Susilo & Cerai, 2008). Padahal seharusnya pernikahan menjadi sesuatu yang sangat sakral dan penting dalam membina hubungan dalam rumah tangga agar terbentuk keluarga yang Sakinah, Mawadah dan Warohmah

Hukum perceraian adalah bagian dari hukum perkawinan yang memilikimakna lebih luas, hukum perceraian juga merupakan bidang hukum keperdataan karena perceraian adalah awalnya perkawinan sebab itu hukum perceraian ini sangat bergantung pada hukum perdata (Ariani, 2019). Perkawinan merupakan sebuah perikatan suci, dimana perikatan yang tidak dapat dilepaskan dari agama maupun kehidupan suami istri.

Perikatan dalam perkawinan ini tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami istri tetapi dalam keberlangsungan hubungan rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami istri (Malik, 2010). Perceraian seringkali berakhir antara suami istri karena adanya faktor yang dapat mempengaruhi kedua pihak untuk mengakhiri sebuah perkawinan tanpa memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi, namun dengan adanya perceraian juga dapat membuat kedua pihak juga sadar bahwa dengan perceraianlah dapat memperbaiki hal buruk menjadi hal baik. Sedangkan tanpa di sadari oleh kedua pihak bahwa setiap proses perceraian tentu adanya keterlibatan anak yang akan mempengaruhi kehidupan mereka menjadi buruk.

Kabupaten Halmahera Selatan, terdiri dari 30 (tiga puluh) Kecamatan dan 249 (dua ratus empat puluh Sembilan) Desa, dengan jumlah Penduduk pada tahun 2020-2022 sebanyak 251.299 jiwa, dengan memiliki luas wilayah 8.779.32 km, sedangkan kecamatan Batanglomang terdiri dari 8 (delapan Desa) yaitu Desa Bajo, Desa Pasimbaos, Desa Sawangakar, Desa Toin, Desa Batutaga, Desa Prapakanda, Desa Tanjung Obit, Desa Prapakanda, dengan jumlah penduduk 7.606, masyarakat yang bermata pencahrian Petani dan Nelayan.

Sebagai sebuah gambaran umum, berdasarkan data pra penelitian yang penulis dapatkan tingkat perceraian berdasarkan sebaran data dari Pengadilan Agama Labuha menunjukan perbandingan signifikan. Fenomena Perceraian yang didapatkan penulis sejauh pra penelitian di Pengadilan Agama Labuha menunjukan bahwa Pada Tahun 2021-2022 fenomena/faktor penyebab perceraian (cerai gugat dan cerai talak) meliputi kasus-kasus sebagai berikut; Perselingkuhan, Zudi, Meninggalkan Salah Satu Pihak.

Salah satu Pihak dihukum Penjara karena kasus hukum, Poligami, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cacat Badan, Perselesihan dan Pertengkaran secara terus menerus, Kawin Paksa, dan Faktor Ekonomi (Tektona, 2012). Maraknya kasus perceraian di Kecamatan Batanglomang yang cendrung meningkat dari tahun ke tahun dan sebagian besar disebabkan oleh pernikahan yang masih rentan mudah yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat setempat.

Rumusan masalah penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah Upaya Mengatasi Tiingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomang? 2) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Percraian di Kecamatan Batanglomang? Adapun tujuan Penelitian ini; 1) Untuk mengetahui Bagaimana Upaya Mengatasi Tiingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomanag. 2)      Untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Percraian di Kecamatan Batanglomang.

Manfaat Penelitian, Secara Teoritis; dapat memberikan masukan data secara teoritis kepada pihak-pihak terkait secara komprehensif mengenai Tingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomang sebagaimana prinsip-prinsip perundang-undangan yang berlaku secara imperatif. Secara Praktis; dapat menjadi bahan referensi atau pemahaman dalam masyarakat secara luas mengenai Tingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomang yang pada akhirnya bisa dijadikan rujukan dalam memahami prinsip-prinsip umum dalam melangsungkan perkawinan.

 

Metode Penelitian

Adapun Tipe penelitian yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah Penelitian hukum normatif empiris atau yang disebut dengan penelitian hukum yang menggunakan sumber data primer yakni data yang diperoleh langsung dari msyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui (observasi), wawancara. Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian didalam krangka know-how. Didalam hukum. Hasil yang dicapai adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang di ajukan (Marzuki, 2013).

Mengenai lokasi penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh data dan keterangan yang berhubungan dengan judul di atas, maka lokasi penelitian yang diambil adalah Pengadialan Agama Labuha Kabupaten Halmahera Selatan. Penentuan lokasi ini dilakukan secara purposive yang didasarkan pada pertimbangan yaitu, karena lokasi yang dipilih berkaitan dengan permasalahan pekerja sehingga peneliti memilih lokasi tersebut. Untuk memperoleh data maka metode atau cara yang di gunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Data Primer yang mencakup: a) Observasi pada lokasi penelitian di Kantor Pengadilan Agama Labuha halmahera selatan, data yang diperoleh dengan cara mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta. b) Data yang di peroleh secara langsung dari peagawai kantor Pengadilan Agama dan masyarakat melalui wawancara secara terarah dan sistematis dengan pihak yang dipandang mengetahui serta memahami tentang obyek.

Data Sekunder Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh tidak secara langsung, tapi diperoleh melalui studi pustaka, literatur, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.

Teknik Pengumpulan Data: a) Wawancara, Metode ini dilakukan secara langsung dengan media tanya jawab antara peneliti dengan narasumber yang bersangkutan pada Pengadilan Agama Labuha. b) Dokumentasi, Mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang mendukung terhadap penelitian berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, artikel, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Data yang diambil pun hanya meliputi tentang perkara yang terjadi di Pengadilan Agama Labuha. 

Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang berhasil dihimpun selama berlangsungnya penelitian ini, kemudian diklafikasi dan dianalisa. Analisa yang digunakan adalah analisa Kualitatif yaitu data-data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara Induktif.

 

Hasil dan Pembahasan

Upaya Mengatasi Tingginya Angka Perceraian di Kecamatan Batanglomang

Menurut agama Islam perceraian merupakan sesuatu yang halal tetapi merupakan hal yang sangat di benci Allah (W. T. Abdullah, 2014). Perkawinan adalah ikatan yang sah namun dalam perkawinan adakalanya terjadi suatu perselisihan yang mengakibatkan ketidak harmonisan dalam suatu rumah tangga. Perceraian umumnya terjadi karena adanya pihak yang mengajukan (menggugat) baik diajukan oleh pihak laki-laki (suami) maupun pihak perempuan (isteri).

Perceraian yang diajukan oleh pihak suami lazim.disebut dengan "talaq" sedangkan gugatan yang diajukan oleh pihak isteri disebut dengan "gugat cerai", Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 4l Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Dengan adanya ketentuan yang mengatakan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia termasuk juga bagi mereka yang beragama Islam.

Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, namun karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak pada khususnya, maka seluruh warga Negara wajib mengikuti ketentuan ini. Selain itu, bahwa sesuai dengan asas dalam hukum positif Indonesia yang mengatakan bahwa peraturan itu berlaku bagi seluruh warga Negara kecuali peraturan menentukan lain.

Pada waktu menjalankan bahtera perkawinan, adakalanya terjadi perselisihan antara suami isteri yang mengakibatkan ketidak harmonisan dalam berumah tangga bahkan dapat berakhir dalam suatu perceraian. Perceraian yang terjadi antara umat yang memeluk agama Islam atau pasangan yang sewaktu menikah mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA) harus dilakukan di Pengadilan Agama dimana pasangan atau salah satu pihak berdomisili.

Perihal perceraian sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, terjadi dalam dua bentuk. Pertama, cerai talak, dimana pihak laki-laki menjatuhkan talaknya Dalam pasal 117 disebutkan, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang terjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131. Kedua, gugatan isteri. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 132 disebutkan, gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin.

Cerai talak merupakan perceraian yang terjadi karena talak yang diberikan oleh suami terhadap istrinya dengan berbagai alasan-alasan yang terjadi, sedangkan Cerai gugat merupakan perceraian yang diakibatkan oleh pihak istri yang menggugat seorang suami dengan alasan yang sudah terjadi. Perceraian yang disebabkan oleh istri terhadap suami harus sesuai dengan syarat (istri tersebut) membayar tebusan.

Namun, di Indonesia perceraian harus dilaporkan dan dilakukan di hadapan Pengadilan Agama, maka dalam konteks ini istri harus mengajukannya gugatan tersebut pada Pengadilan Agama dan istri harus memberikan bukti dan alasan yang pasti terhadap pengadilan tersebut. Dalam fenomena yang terjadi khususnya pada daerah Kabupaten Halmahera Selatan jumlah perceraian hingga saat ini terus menerus mengalami peningkatan, Berdasarkan data tingkat perceraian yang diperoleh dari pengadilan Agama Labuha pada kurun waktu 2018-2022 dapat dilihat pada tabel berikut:

 

Tabel 1. Data Perceraian Secara Keseluruhan Cerai Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Labuha

No

Tahun

 Cerai Talak

Cerai Gugat

Perkara Lain

Total

1

2018

104

203

6

313

2

2019

71

241

4

316

3

2020

96

229

23

348

4

2021

105

275

50

430

5

2022

81

234

94

409

 

Jumlah

 

 

 

1.816.000

           Sumber: Data Primer yang di olah 2023

 

Dari table diatas dapat dilihat bahwa tingkat perceraian yang paling tinggi adalah cerai gugat, dimana perceraian tersebut merupakan perceraian yang diajukan oleh pihak istri tehadap suaminya. Namun dari sekian banyaknya jumlah perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Labuha tidak semata-mata semua akan dikabulkan. Ada yang dikabulkan karena memang pernikahan tersebut sudah tidak dapat dirukunkan kembali, ada yang perkaranya dicabut kembali oleh penggugat yang dimana perkara tersebut sudah ditemukan titik terang untuk berdamai kembali, dan ada gugatan permohonan perkara yang ditolak atau digugurkan oleh Pengadilan Agama Labuha karena suatu faktor yang tidak relative atau tidak memenuhi syarat dalam mengajukan perkara perceraian.

Putusnya suatu perkawinan diatur dalam Undang-Undang Bab VIII Pasal 38 hingga pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Disebutkan dalam hal ini bahwa perkawinan adalah putusnya ikatan yang terjadi karena sebab kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Berikut merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Labuha kurun waktu 5 (lima) tahun yang dimulai pada tahun 2018 hingga 2022 dan merupakan perkara yang sudah diputus atau perkara yang sudah diselesaikan dan memiliki akta cerai secara sah.

Perbandingan angka perceraian diatas, menunjukan bahwa jumlah perceraian yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha dari tahun 2018-2022 mengalami kenaikan. Pada setiap tahunnya, dari angka perceraian tersebut memiliki perbandingan (4-6%) saja, pada tahun 2021 sampai 2022 sebanyak 21 kasus perbedaanya (9%) perkara cerai di Pengadilan Agama Labuha

Penelitian penulis, Jumlah perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha per tahun 2018-2022 pada prinsipnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data tabel 1 di atas, perceraian yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha memiliki perbedaan yang sangat signifikan (Cerai talak dan cerai gugat), dalam hal ini pengadilan Agama Labuha telah menangani perkara perceraian yang lebih banyak, dengan jumlah kasus yang suda di utus sebanyak 1.816.000 kasus, yakni cerai talak sebanyak 457 kasus sedangkan cerai gugat sebanyak 1.182.000 kasus dan perkara lain sebanyak 177 kasus, dikarenakan factor demografi (wilayah) dan kebutuhan ekonomi yang terus melonjak dari waktu ke waktu.

Aspek wilayah yang besar tentu berimbas pada variabel kebutuhan masyarakat dan tentu juga pada kebutuhan dalam keluarga. Disamping itu, psikologi dalam masyarakat juga akan berimbas pada kepekaan setiap pasangan dalam menjalin hubungan rumah tangga. 

 

Tabel 2. Data Perceraian Cerai Talak dan Cerai Gugat Kecamatan Batanlomang di Pengadilan Agama Labuha

No

Tahun

 Cerai Talak

Cerai Gugat

Perkara Lain

Total

1

2018

3

5

1

9

2

2019

2

8

-

10

3

2020

3

8

2

13

4

2021

5

          9

2

16

5

2022

4

10

2

16

 

Jumlah

17

40

7

     64

Sumber: Data Primer yang di olah 2023

 

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat perceraian yang paling tinggi adalah cerai gugat, dimana perceraian tersebut merupakan perceraian yang diajukan oleh pihak istri tehadap suaminya. Namun dari sekian banyaknya jumlah perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Labuha tidak semata-mata semua akan dikabulkan. Ada yang dikabulkan karena memang pernikahan tersebut sudah tidak dapat dirukunkan kembali, ada yang perkaranya dicabut kembali oleh penggugat yang dimana perkara tersebut sudah ditemukan titik terang untuk berdamai kembali, dan ada gugatan permohonan perkara yang ditolak atau digugurkan oleh Pengadilan Agama Labuha karena suatu faktor yang tidak relative atau tidak memenuhi syarat dalam mengajukan perkara perceraian.

Jumlah perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha per tahun 2018-2022 pada prinsipnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data tabel 4.2 di atas, perceraian yang di lakukan di Kecamatan Batanglomang yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha memiliki perbedaan yang sangat signifikan (Cerai talak dan cerai gugat), dalam hal ini pengadilan Agama Labuha telah menangani perkara perceraian yang dilakukan di Kecamatan Batanlomang, dengan jumlah kasus yang suda di putus sebanyak 64 kasus, yakni cerai talak sebanyak 17 kasus sedangkan cerai gugat sebanyak 40 kasus dan perkara lain sebanyak 7 kasus. Berdasarkan data perceraian yang telah penulis peroleh pada Pengadilan Agama Labuha.

Upaya untuk mengatasi angka perceraian di Kecamatan Batangloimang antara lain:

A. Memaksimalkan Fungsi dan Peran BP4

Berdasarkan hasil interview dengan kepala KUA Kec. Batanglomang Kab Halahera Selatan. Bapak Muhamad Yani, Mengatakan bahwa Langkah-langkah yang dilakukan dalam mencegah Perceraian yaitu dengan menerapkan Peran Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang menyatakan bahwa setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian pada Pengadilan Agama harus terlebih dahulu datang ke kantor penasihat perkawinan untuk sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan perselisihannya. Lembaga penasihat perkawinan ketika itu mengambil peranan sebagai mediasi, yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan Agama. Upaya tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara signifikan.

Di kantor Urusan Agama Kec. Batanglomang, peran BP4 dalam mencegah kasus perceraian berjalan sebagaimana mestinya. Pemberian nasehat umumnya di laksanakan sebelum nikah (ijab qabul) melalui lembaga penasehat perkawinan dan pelestarian. Pemerintah mengamanatkan agar sebelum pernikahan dilangsungkan setiap calon mempelai diberi wawasan terlebih dahulu tentang arti sebuah rumah tangga melalui kursus calon pengantin (suscatin).

Pada kursus itu kedua mempelai diberikan gambaran tentang kehidupan yang aman, damai dan sejahtera, tanggung jawab suami kepada isterinya. Disamping itu juga sebelum akad nikah maka calon suami dan isteri datang ke KUA menyampaikan maksud dan kehendaknya sehinggah BP4 dapat memberi nasehat dan bimbingan tentang makna dan tujuan perkawinan. Kini pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan utama.

Padahal, ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata. Banyaknya perceraian kasus perceraiannya, belakangan ini juga ditengarai sebagai dampak globalisai arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat melalui multimedia yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga mengungkap.

B. Memaksimalkan Fungsi Keluarga

Selain Bp4 Sebagai upaya untuk mencegah sebuah kasus perceraian adalah nasehat dari pihak keluarga dan hendaknya dapat memberikan penjelasan seperti sebagai berikut:

1)  Perceraian yang hendak dilakukan itu sebenarnya adalah perbuatan sah, dengan ketentuan apabila isteri menghadapi iddahnya (yang wajar) atau telah melakukan atau mengerjakan perbuatan keji yang terang sangat dibenci oleh Allah swt sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Ath-Thalaq/65:1. Yang artinya

Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah tuhanmu janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang terang itulah hukumhukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.

Berdasarkan ayat tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa isteri tidak boleh diceraiakan ataupun dikeluarkan dari rumah kecuali melakukan perbuatan yang keji Allah memberikan batasan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang halal tapi juga dibenci Allah Swt.

b) Berusaha untuk membujuk kedua bela pihak, agar rujuk dalam membina mahligai rumah tangga yang harmonis. c) Berusaha untuk mendamaikan terhadap perselisihan diantara keduanya sehingga tidak terjadi perceraian oleh karena itu hanya disebabkan persoalan yang sangat mendesak. Dan hal ini juga dapat diupayakan agar tidak terburu-buru dalam mengambil suatu keputusan yang fainal tanpa melalui penasehat-penasehat.

Masalah perceraian islam telah mengatur beberapa upaya untuk menyelamatkan kedua bela pihak yang akan bercerai adalah sebagai berikut: a) Masing-masing pasangan harus saling mengoreksi diri sendiri sehingga dapat memahami kekuatan masing-masing. b) Masing-masing pasangan harus mencari orang ketiga untuk membantu menyelesaikan perselisihan merek. c) Masing-masing pasangan pisah untuk sementara, yaitu pergi kekeluarga masingmasing untuk merenungkan keadaan mereka dengan baik. d) Masing-masing pasangan harus dapat mengalah dari tuntutan yang menimbulkan timbulnya perceraian.

Kantor Urusan Agama Kecamatan Batanglomang optimis upaya di atas dapat mengurangi perceraian. Berkenaan dengan hal di atas, dalam Peraturan Menteri Agama RI tentang Pencatatan Nikah perlu ditambahkan ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin yang akan menyampaikan pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA)

 

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Percraian di Kecamatan Batanglomang

Perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan. Dalam KHI ada tiga istilah yang digunakan, yaitu cerai talak, cerai gugat, dan khulu’.Perceraian sendiri terjadi karena alasan-alasan tertentu.

Dalam pasal 116 KHI disebutkan, perceraian dapat terjadi karena alasan: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Suami melanggar taklik talak; g) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga.

Pada prinsipnya, perceraian hanya dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.dengan kata lain perceraian harus melalui pengadilan,tidak bisa tidak. Namun tidak mudah untuk menggugat ataupun memohon cerai ke pengadilan. Harus ada alasan-alasan yang cukup menurut hukum, sehingga gugatan cerai bisa dikabulkan pengadilan. Alasan-alasan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Yakni sebagai berikut:

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: 1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan: 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (tahun) berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri; 6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkara dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;

            Alasan terbesar penyebab terjadinya perceraian pada kurun waktu sebagaimana diatas yang telah diputuskan pengadilan Agama Labuha adalah Antara lain: (1) Suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga / suami melanggar taklik talak dengan jumlah 18 kasus di putuskan pengadilan Agama Labuha. (2) Meninggalkan salah satu pihak (factor ekonomi) tidak ada tanggungjawab sebanyak 16 kasus di putuskan di Pengadilan Agama Labuha. (3) Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebnyak 14 kasus di putuskan di Pengadilan Agama Labuha. (4) Salah satu pihak berzina, pemabuk, berjudi, sebanyak 9 kasus di putuskan pengadilan agama Labuha. (5)  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri sebanyak 8 kasus di putuskan di Pengadilan Agama Lanuha. Dengan jumlah kasus dari tahun 2018-2022 sebanyak 64 kasus/faktor penyebab terjadinya perceraian.

Faktor-faktor penyebab perceraian yang penulis uraikan diatas adalah berdasarkan data yang penulis peroleh pada pengadilan Agama Labuha, penulis hubungkan dengan ketentuan  Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan ketentuan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam tabel di atas dijelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian memiliki korelasi, namun terlihat jelas bahwa ada peningkatan angka perceraian dengan setiap faktor-faktor yang penulis uraikan pada setiap tahunnya antara lain KDRT, Faktor Ekonomi, Pemabuk, Perjudian, Perselingkuhan dll.

Ketentuan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah memberi penegasan bahwa, dalam mengakhiri hubungan perkawinan, sebagai syarat mutlak harus diperhatikan kesesuaian dengan ketentuan yang dibolehkan.  Perkawinan merupakan sebuah institusi yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang menimbulkan kehalalan bagi seseorang untuk melakukan hubungan suami istri, sehingga seseorang dapatmeneruskan keturunannya dan melangsungkan kehidupannya, dengan kata lain perkawinan merupakan langkah awal bagi laki-laki maupun wanita untuk membentuk sebuah keluarga. Namun hal ini tercederai dengan banyaknya percerain yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Jika dilihat dari jumlah faktor dan presentasenya, menunjukan bahwa Pengadilan Agama Labuha yang paling dominan dalam menyelesaikan perkara perceraian antara lain pertengkaran/perselisihan secara terus menerus di dalam membina hubungan kekeluargaan. Ketidakharmonisan ini dimaksudkan bahwa adanya pertengkaran secara berkesinambungan  dalam kehidupan rumah tangga, karena didasari kebutuhan rumah tangga yang tidak dipenuhi oleh suami maupun isteri.

Adapun seorang hakim yang memiliki pertimbangan dalam memutuskan sebuh perkara dengan faktor-faktor yang mendasar dalam setiap perkara, setiap keputusan seorang hakim semua telah ditetapkan di dalam Undang-Undang, karena seorang hakim tidak bisa memutuskan sebuah perkara apabila seorang hakim tidak memiliki keputusan hukum yang tetap oleh karena itu sebagai seorang hakim yang diberikan kewenangan memutuskan suatu perkara seorang hakim tidak diperbolehkan untuk berbuat sewenang-wenang dalam memberikan putusan.

Dalam pertimbangan hakim yang bersifat yuridis Hakim didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan telah ditetapkan oleh undang undang sebagaimana hal yang harus dimuat di dalam putusan harus ada keterangan dan bukti-bukti secara sah, oleh karena itu Hakim dianggap sebagai sosok yang paling dipercaya oleh masyarakat dalam memutuskan sebuah perkara karena diharapkan mampu bersifat adil dan aktif.

 

Tabel 3. Data Faktor Perceraian Cerai Talak dan Cerai Gugat Kecamatan Batanlomang di Pengadilan Agama Labuha

No

Tahun

Persilisihan

Faktor Ekonomi

KDRT

Pihak kedua

Cacat Badan

1

2018

2

2

1

1

1

2

2019

4

3

3

2

1

3

2020

3

3

3

2

1

4

2021

4

4

3

2

2

5

2022

5

4

4

3

2

 

Jumlah

18

16

14

9

7

Sumber: Data Primer yang di olah 2023

 

Dari tabel diatas diambil beberapa jenis faktor yang sebagia besar menjadi pemicu retaknya rumah tangga hingga menjadi faktor utama yang menyebabkan perceraian di Pengadilan Agama Labuha. Dapat disimpulkan diantara beberapa data yang diambil untuk dijadikan bahan perbandingan antara lain perselisihan 18 kasus, faktor ekonomi 16 kasus, KDRT 14 kasus, Perselingkuhan 9 kasus, dan cacat badan 8 kasus,  yang terbesar menjadi penyebab perceraian yaitu terjadinya perselisihan, yang mana data yang diambil dari informan 1, informan 2, dokumntasi laporan data Pengadilan Agama Labuha dan surat perkara pada Pengadilan Agama Labuha yang semuanya ke lima data tersebut di dominasikan penyebab perceraian yaitu terjadinya perselisihan atau pertengkaran diantara para  pasangan suami/istri tersebut.

Dengan ini maka dapat dilihat bahwa Pengadilan Agama Labuha dari tahun 2018 hingga 2022 sudah mengeluarkan akta cerai sah dengan total keseluruhan sebanyak 64 akta cerai. Khusunya perceraian yang terjadi di Kecamatan Batanglomang. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian itu dikarenakan oleh adanya masalah atau konflik yang tidak dapat di selesaikan oleh kedua pasangan tersebut hingga mengakibatkan keduanya bercerai.

Jika dikaitkan dengan teori konflik yang di kemukakan oleh Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa tidak ada masyarakat jika tidak ada konflik, konflik bisa menimbulkan perubahan sosial, ketidaksamaan struktural dan fungsi di dalam keluarga juga menimbulkan konflik. Konflik yang terjadi pada sebuah keluarga disebabkan oleh masalah perbedaan kepentingan yang akan menyebabkan keresahan, ketakutan, kehancuran, dan kehilangan.

Konflik dalam perkawinan bergantung pada kebahagiaan salah satu pasangan dengan hubungan mereka apabila salah satu pasangan tidak merasa bahagia maka akan menimbulkan perdebatan dan pertengkaran yang memicu sebuah konflik       Perkara Perceraian yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha  pada kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir yang dimulai pada tahun 2018-2022 memiliki faktor-faktor penyebabnya dari presentase terbesar hingga paling rendah, hal tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut:

 

 

a)   Terjadi Perselisihan Secara Terus Menerus. (pasal 19 ayat 6 Undang-undang perkawinan)

Terus menerus berselisih merupakan faktor terbanyak pertama perceraian di Pengadilan Agama Labuha. Perselisihan yang dimaksudkan disini adalah pertengkaran antara suami dan isteri akibat dari ketidakharmonisnya gaya komunikasi dan pelayanan dalam membina rumah tangga. Suami tidak memenuhi kewajiban sebagai kepala rumah tangga secara baik, begitupula isteri yang tidak melayani suami dengan baik secara jasmani maupun psikologi.

Perselisihan merupakan kasus yang sudah pasti ada dan terjadi dalam rumah tangga, tidak memungkinkan bahwa setiap rumah tangga tidak ada yang namanya perselisihan. Perselisihn merupakan keadaan dimana hal ini biasa disebabkan oleh perbedaan pendapat antara seorang istri dan suami, mulai dari perbedaan dalam pengurusan rumah tangga, perselisihan masalah nafkah dan lain sebaginya. Adapun pembagian perkara mulai dari tahun 2018 hingga tahun 2022, yaitu: Jumlah faktor penyebab perkara perceraian karena faktor ini sebanyak 18 (delapan belas) kasus di putus di Pengadilan Agama Labuha.

b)    Meninggalkan salah satu pihak dan tidak ada tanggungjawab (Faktor Ekonomi) (Pasal 19 Ayat 2 Undang-undang Perkawinan)

Hak terbesar wanita atas kewajiban suami adalah nafkah, nafkah secara bahasa adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah apa yang diwajibkan atas suami terhadap istrinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya. Perceraian yang disebabkan karna faktor ekonomi atau nafkah memang biasa terjadi karena di sebabkan suami yang tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarganya dan tidak berusaha untuk bekerja keras memenuhi kewajibannya.

Adapula suami yang sudah memberikan nafkah dan menjalankan kewajibannya akan tetapi istrinya bergaya hidup mewah sehingga ia menuntut nafkah yang tidak dipenuhi oleh suaminya yang kemudian mengajukan perceraian. Ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya di setiap permasalahan yang ada.

Faktor ekonomi yang terjadi dalam rumah tangga akan menyebabkan semua yang ada menjadi sulit, faktor ini bisa dikategorikan menjadi 2 hal yang pertama adalah pemecatan seorang suami di perusahaan nya atau ketidak milikan pekerjaan dari seorang suami sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan nafkah untuk keluarganya, dan yang kedua adalah ketidakpuasan seorang istri terhadap nafkah yang diberikan seorang suami, selalu menuntut seorang suami untuk memenuhi kebutuhan yang dimana kebutuhan tersebut tidak harus di penuhi seperti berbelanja barang milik istri pribadi yang dimana tidak ada hubungan nya dengan kebutuhan keluarga tersebut.

Faktor ini juga sangat mempengaruhi setiap pasangan memilih untuk mengakhiri suatu perkawinan. Hal ini bisa saja dilakukan oleh suami maupun istri yang merasa dikhianati/dimadu satu sama lain olehnya tanggungjawab sebagai pihak istri maupun suami tidak terpenuhi dalam kehidupan rumah tangga. Faktor ini merupakan urutan ke 2, yakni sebanyak 16 (enam belas) Kasus di putuskan Pengadilan Agama Labuha. 

 

 

c)    Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Pasal 19 Ayat 4 Undang-undang Perkawinan)

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan faktor perceraian yang sering terjadi selain faktor ekonomi faktor ini juga sering dijadikan alasan untuk bercerai di Pengadilan Agama Labuha, karena merupakan faktor yang sering dialami oleh perempuan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan yaitu kekerasan fisik, yang meliputi tindakan memukul, menendang, menampar, mendorong, mencengkram dengan keras pada bagian tubuh pasangan.

Kekerasan emosional atau psikologis, bentuknya meliputi tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang tidak pantas dan mempermalukan pasangan, menjelek-jelekkan dan lainnya. Sedangkan untuk kekerasan ekonomi, dapat berupa meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangannya.

Bentuk kekerasan lainnya yaitu kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. Kemudian kekerasan selanjutnya yaitu membatasi aktivitas oleh pasangan. Kekerasan ini banyak dialami oleh perempuan dalam kehidupan rumah tangganya, misalnya pasangan yang terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan hingga sering marah dan suka mengancam.

Menurut Dahrendorf konflik merupakan hal yang biasa terjadi pada sebuah keluarga. Dahrendorf mengemukakan tatanan yang ada di tengah-tengah masyarakat tumbuh dari tekanan yang dilancarkan oleh segelitir orang yang berada dipuncak. Adanya kekejaman/kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dalam sebuah perkawinan. Perilaku tempramental (kasar) dalam rumah tangga atau sering disebut juga dengan kekerasan dalam rumah tangga ini akan menimbulkan keinginan untuk melakukan perceraian. Presentase KDRT untuk pengadilan Agama Labuha menempati urutan 3 (ketiga), sebanyak 14 (empat belas) Kasus/faktor di putus pengadilan Agama Labuha.

d)    Salah satu pihak Berbuat Zina atau selingkuh dan Lain-lain.

Faktor Madat/suami yang sering selingkuh memang bukan hal yang baru lagi. Selingkuh adalah penyebab utama perpisahan antara kekasih maupun suami istri. Ada beberapa kasus perselingkuhan yang terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan yang menyebabkan terjadinya suatu perceraian, kasus perselingkuhan ini pada umumnya terjadi antara pria beristri dengan wanita yang masih lajang. Tren menunjukan selingkuh terjadi biasanya pada pria yang sudah mapan, tentunya sudah berkeluarga, dan wanita yang menjadi selingkuhannya tertarik karena faktor ekonomi.

Pada zaman sekarang perceraian yang disebabkan oleh perselingkuhan itu banyak terjadi karena facebook dan jejaring sosial yang lainnya, situs ini banyak digunakan oleh individu yang merasa tidak bahagia, mereka mencari teman baru, atau bertemu dengan bekas pacar lama melalui facebook dan berselingkuh dengan membohongi pasangannya. Menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan saling menyanyangi menjadi harapan dalam suatu hubungan kekeluargaan.

Namun, hal ini kadang di khianati oleh suami yang sering berselingkuh yang berakibat pada kekerasan dalam rumah tangga, tidak menghidupi rumah tangga dll. Pengadilan Agama Labuha telah menangani perkara Perceraian karena alasan ini pada rentan waktu selama lima tahun dengan presentasi urutan pada posisi ke 4 (keempat), yakni sebanyak 9 (Sembilan) Kasus/faktor di putus Pengadilan Agama Labuha.

 

e)    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. (Pasal 19 Ayat 5 Undang-undang Perkawinan)

Alasan penyebab perceraian karena faktor ini cenderung terjadi dalam hal suami meminta untuk poligami karena isteri tidak bisa menghasilkan keturunan disebabkan karena faktor biologis. Disamping itu disebabkan faktor penyakit/kecacatan yang sangat sulit disembuhkan atau bahkan sakit permanen yang dialami setiap pasangan (suami/isteri) sehingga hubungan perkawinan harus diakiri dengan perceraian. Faktor ini menempati urutan ke 5 di pengadilan Agama Labuha dengan faktor pemnyebab sebanyak 7 (tujuh) kasus di putus di pengadilan Agama Labuha.

Berdasarkan data perceraian yang telah penulis peroleh pada  Pengadilan Agama Labuha, maka dapat dilihat perbandingan antara keduannya dalam angka perceraian, karena pada umumnya faktor-faktor atau alasan-alasan perceraian yang ditangani  pada

Pengadilan Agama Labuha berkisar pada beberapa faktor yang telah disebutkan di atas. alasan yang paling banyak dalam fenomena persidangan sehingga terjadi cerai pada Pengadilan Agama Labuha adalah Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Faktor ini menjadi presentase tertinggi di Pengadilan Agama Labuha.

Menurut penulis, dengan melihat faktor perceraian tertinggi di atas mengenai suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan rumah tangga berimbas dari dinamisasi pendapatan dan pengeluaran kebutuhan keluarga dalam rumah tangga (alasan ekonomi). Faktor ekonomi menjadi fenomena yang cukup familiar di dalam alasan-alasan bercerai, karena faktor ekonomi seringkali perceraian terjadi keributan dalam membina rumah tangga, di hubungkan dengan fenomena perceraian yang telah ditangani pengadilan Agama Labuha. 

Penulis berpendapat bahwa, banyak terjadi perceraian dengan alasan perselisihan dalam keluarga ini akibat dari kompleksitas kehidupan dengan berbagai kebutuhan mendasar yang tidak bisa dipenuhi utamanya dalam aspek ekonomi, akhirnya muncul percekcokan antara pasangan yang itu sering terjadi berlarut-larut tanpa ada itikad baik untuk tetap mempertahankan hubungan keluarga. Akhirnya alasan-alasan seperti yang tertuang dalam pasal 116 KHI butir f sering dijadikan hal pembenaran dan peluang untuk bercerai.

Peneliti meminta tanggapan dari infoman yang merupakan hakim di pengadilan agama Labuha mengenai Faktor atau dampak perceraian yaitu sebagai berikut: “seperti yang kita ketahui bahwa perceraian ini akan sangat berdampak bagi anaknya apabila sudah memiliki anak. Perceraian ini akan sangat berdampak pada kehidupan si anak yang mana anaknya akan kurang perhatian dari kedua orang tuanya apalagi kalau salah satu atau keduanya masing-masing sudah menikah kembali, dan keduanya pasti akan berebut hak asuh anak. perceraian ini juga akan berdampak pada pemisahan harta gonogini” (wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Labuha, Lahati., S.A.P, 16/08/2023).

Dampak dari perceraian tidak hanya akan menyakiti kedua keluarga dan kedua pasangan suami atau istri tetapi juga akan menyakiti anak, dampak perceraian yang mungkin saja terjadi pada anak akan berbeda-beda tergantung dari usia anak pada saat perceraian terjadi, serta keperibadian anak itu sendiri. Pada anak balita mungkin perceraian tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perkembangan mentalnya, lain halnya dengan anak usia yang sudah memasuki usia sekolah atau usia remaja, dimana ia sudah bisa mengamati situasi di sekitanya dan menyadari bahwa orang tuanya tidak lagi bersama.

Perceraian terjadi karena antara suami atau istri tidak dapat lagi mempertahankan mahligai pernikahan mereka. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan tersendiri pasal 40. Pengadilan yang di maksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, Pengadilan Negeri bagi yang lainnya pasal 63 ayat 1 UU No. 1-1974 dan pasal 16 PP No. 9- 1975.

 

Kesimpulan

Upaya mengatasi tingginya angka percerian yang dilakukan di Kecamatan Batanglomang yaitu dengan menerapkan Peran Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Selain Bp4 Sebagai upaya untuk mencegah sebuah kasus perceraian adalah nasehat dari pihak keluarga dan hendaknya dapat memberikan penjelasan seperti. Memberikan Bimbingan Penasehatan Pelestarian Perkawinan dan Perceraian sebelum melangsungkan Pernikahan. Mengadakan penyuluhan tentang pelaksanaan pernikahan/perceraian dan rujuk. Membentuk majelis ta’lim yang berfungsi memberikan motivasi dalam berumah tangga. PPN memberikan bantuan buku tentang kehidupan dalam berumah tangga, khususnya pernikahan, perceraian dan rujuk. Adapun jumlah perceraian pada kurun waktu tersebut di atas yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama Labuha sebanyak 64 kasus perceraian. Tingginya angka perceraian di Kecamata Banglomang tidak mudah ditekan meskipun telah diminimalisir oleh Pengadilan Agama Labuha, yaitu dengan melakukan proses mediasi lewat mediator dan pemberian nasihat di setiap persidangan oleh majelis hakim namun hasilnya tetap meningkat pertahunnya. Penyebab faktor terjadi perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama pada kurun waktu 2018-2022 sangat bervariasi. Namun jika dilihat dari presentasi uraian penulis diatas berdasarkan fakta yang ditemukan, faktor perceraian yang paling besar sehingga menempati urutan pertama di Pengadilan Agama Labuha adalah Faktor persilisihan 18 kasus, faktor ekonomi 16 kasus, faktor Tidak ada keharmonisan dan pertengkaran (KDRT) 14 kasus, pengarunya pihak kedua 9 kasus dan cacat badan 8 kasus.  Dari sekian banyak perceraian yang sudah diputus bahwa percerain tersebut menimpa pasangan usia 20 hingga 40 tahun dengan usia perkawinan yang masih di bawah 10 tahun lamanya.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdullah, B., & Saebani, B. A. (2013). Perkawinan dan perceraian keluarga muslim. Bandung: Pustaka Setia.

Abdullah, W. T. (2014). Hukum Acara Peradilan Agama. CV. Mandar Maju, Bandung.

Adila, M. (2020). Batas Usia Perkawinan Pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Tinjau Dari Teori Maslahah Mursalah. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Andriati, T. K. L., & Perdata, H. (2011). Hukum Orang dan Keluarga. USU Press, Medan.

Anshori, T. (2019). Analisis Usia Ideal Perkawinan Dalam Perspektif Maqasid Syari’ah. Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies, 1(1).

Ariani, A. I. (2019). Dampak perceraian orang tua dalam kehidupan sosial anak. Phinisi Integration Review, 2(2), 257–270.

Hilman, H. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Sumbersari Indah.

Isnaeni, M. (2016). Hukum Perkawinan Indonesia. Refika Aditama.

Malik, H. R. (2010). Memahami undang-undang perkawinan. BUKU DOSEN-2009.

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.

Mulyadi, E. (2010). Buku Pintar Membina Rumah Tangga Yang Sakinah, Mawaddah, Warahmah.

Puniman, A. (2018). hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Jurnal Yustitia, 19(1).

Santoso, S. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 7(2), 412–434.

Sembiring, R. (2016). Hukum Keluarga “Harta Benda dalam Perkawinan.” Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (1999). Hukum Perdata.

Susilo, B., & Cerai, P. G. (2008). Pustaka Yustisia. Yogyakarta.

Tektona, R. I. (2012). Kepastian hukum terhadap perlindungan hak anak korban perceraian. Muwâzâh, 4(1).

 

 

Copyright holder:

Dahlai Hasim, Mardia Ibrahim (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: