Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

ANALISIS HUKUM PENYEROBOTAN TANAH YANG BERIMPLIKASI TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DITINJAU DALAM PERSPEKIF HUKUM PERDATA

 

Suwarti*, Faisal,Puji Rahayu Subandi, Nurlaila Kadarwati Papuluwa

Fakultas Hukum, Universitas Khairun

Email: *[email protected], [email protected], [email protected]

[email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serta untuk mengkaji indikator hukum penyerobotan tanah yang berimplikasi terhadap perbuatan melawan hukum secara perdata (onrechmatigheid daad). Serta Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa penyerobotan tanah yang berimplikasi terjadinya perbuatan melawan hukum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif tentang kaidah hukum yang termuat pada Pasal 1328 KUHPerdata. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang bersifat otoritatif yang artinya mempunyai otoritas, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

 

Kata Kunci: Penyerobotan Tanah, Onrechtmatige Daad.

 

Abstract

This research aims to analyze and examine legal indicators of land grabbing which have implications for civil unlawful acts (onrechmatigheid daad). And what is the mechanism for resolving land grabbing disputes which have implications for unlawful acts. The method used in this research is normative research on the legal rules contained in Article 1328 of the Civil Code. The data used in this research is secondary data. Secondary data used in this research consists of primary legal materials which are authoritative, which means they have authority, secondary legal materials and tertiary legal materials

 

Keywords: Land Grabbing, Onrechtmatige Daad; Civil law.

 

Pendahuluan

Manusia sebagai subjek hukum adalah sekelompok orang yang tinggal Bersama dalam suatu wilayah tertentu di sebut sebagai masyarakat, dalam kehidupannya di dasari oleh interaksi antara satu dan lainnya. Masyarakat sebagaimana kodratnya tidak dapat hidup sendiri, melainkan haruslah saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Berinteraksi semacam ini berarti melibatkan lebih dari satu pihak yakni dua pihak atau lebih, dalam arti masing-masing pihak berkeinginan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan.

Hal ini disebabkan karena kedua pihak saling terikat satu dengan yang lainnya. Dengan demikian yang dilakukan segenap kelompok sudah tentu adanya suatu ikatan-ikatan yang muncul yang mana hal ini tentunya membuthkan aturan untuk mengaturnya. Jika tidak adanya suatu aturan yang jelas maka akan menimbulkan benturan kepentingan (interest) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan berkelompok.

Eskalasi masyarakat di suatu wilayah membuat tanah menjadi suatu objek yang sangat dibutuhkan. Sebab, ketersediaannya yang semakin menipis. Oleh karena itu, tanah menjadi suatu objek yang sangat bernilai dan tentunya membuat banyak orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh tanah. Ketidakseimbangan antara persediaan tanah yang terbatas dengan kebutuhan akan tanah sangat berakibat pada timbulnya masalah-masalah yang terkait dengan tanah.

Permasalahan tanah sejak dahulu merupakan persoalan hukum yang pelik dan kompleks serta mempunyai dimensi yang luas, sehingga tidak mudah untuk diselesaikan dengan cepat. Sebab, tanah tidak hanya berdimensi yuridis, tetapi berdimensi ekonomi, politik, sosial, religious - magis, bahkan bagi negara tanah mempunyai dimensi strategis. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan sering memakan waktu yang lama. Bahwa lamanya proses perkara melalui gugatan perdata di Pengadilan dikarenakan apabila Pengadilan Negeri memutus atas gugatan tersebut, pihak yang tidak menerima atas putusan tersebut dapat mengajukan banding dan selanjutnya setelah berkas perkara yang dilakukan Banding tersebut dikirim Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dan selanjutnya oleh Majelis Hakim Tingkat Banding akan mempelajari berkas Banding tersebut kemudian memutuskannya melalui musyarawarah majelis Hakim Banding.

Akan tetapi, apabila ternyata kemudian ada pihak yang merasa kurang puas atas putusan banding tersebut, dapat mengajukan keberatan dengan cara mengajukan Kasasi. Kesadaran akan kedudukan istimewa tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, di mana dalam Undang-undang Pokok Agraria tersebut dinyatakan adanya hubungan abadi antara Bangsa Indonesia dengan tanah. Reformasi agraria yang telah dicanangkan dengan diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, namun pada kenyataannya terasa masih sangat sulit diterapkan di lapangan karena berbagai persoalan hukum dan non hukum.

Penyerobotan tanah bukanlah suatu hal yang baru dan terjadi di Indonesia. Kata penyerobotan sendiri dapat diartikan dengan perbuatan mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan merupakan haknya. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Dalam perspektif hukum perdata, diatur didalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 bisa menjerat orang-orang yang melakukan penyerobotan tanah, karena bisa dilihat dalam kasus penyerobotan tanah ada pihak yang dirugikan dan memerlukan ganti rugi atas kerugian yang di alami pihak tersebut, dan juga penyerobotan tanah merupakan perbuatan melawan hukum yang mana seseorang secara tanpa hak masuk ke tanah.

Banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur tentang penyerobotan tanah yang ada di negara kita, ternyata belum bisa juga membuat kasus penyerobotan tanah bisa dengan mudah di selesaikan ditingkat peradilan. Hal tersebut bisa terlihat ketika adanya keputusan pengadilan atas kasus pidana tentang penyerobotan tanah, belum bisa digunakan untuk mengeksekusi lahan yang disengketakan atau yang diserobot, karena keputusan pidana yaitu menghukum atas orang yang melakukan penyerobotan tanah, sehingga hak penguasaan atas tanah tersebut pada umumnya masih harus diselesaikan melalui gugatan secara perdata (Weku, 2013).

Adapun mekanisme pengajuan surat gugatan tentang penyerobotan anah, yaitu pemilik atas tanah yang diserobot orang mempunyai alat-alat bukti yang kuat antara lain, Sertifikat atas tanah yang diserobot atau Sertifikat Hak Milik (SHM), Surat-surat tentang asal muasal tanah yang dimiliknya tersebut dan atau kronologis perolehan tanah yang menjadi obyek sengketa.

Hal tersebut terkandung maksud agar dalam proses perkara penyerobotan tanah tersebut dalam tahapan sidang pembuktian pemilik tanah atau penggugat mampu meyakinkan majelis hakim yang memeriksa gugatan dari pemilik tanah tersebut dan selanjutnya akan memutuskan sesuai dengan fakta -fakta persidangan yang diajukan para pihak yang bersengketa. Demikian pula orang yang melakukan penyerobotan atas tanah yang bukan miliknya, diwajibkan menerangkan apa alasan atau apa yang yang mendasari penyerobot memasuki, menguasasi tanah dimaksud. Hal-hal ini sangat penting diterangkan dalam persidangan untuk pentingnya majelis hakim yang memproses perkara penyerobotan tanah akan memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan perkara nanti.

Berdasarkan uraian di atas maka terdapat dua rumusan masalah antar lain Bagaimana konsep hukum penyerobotan tanah yang berimplikasi terhadap perbuatan melawan hukum secara perdata (onrechmatigheid daad)? Dan Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa penyerobotan tanah yang berimplikasi terjadinya perbuatan melawan hukum?

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut sebagai penelitian perpustakaan. Di mana pada penelitian hukum doctrinal dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini disebut sebagai penelitian perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan (Soekanto, 2007).

Dalam kajian normatif, hukum yang tertulis dikaji dalam Pendekatan perundang-undangan (statue approach) digunakan untuk menunjang penulisan yang dilakukan yakni sebagai dasar awal melakukan suatu analisis. Pendekatanhukum positif merupakan kegiatan pendahuluan yang sangat mendasar. Oleh karena itu, sebelum menemukan norma hukum haruslah diketahui lebih dahulu, hukum positif apa yang berlaku (Hernoko, 2010).

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum ialah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian. Atas dasar itulah, maka tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya digunakan untuk menunjukan jalan pemecahan permasalahan penelitian (Sunggono, 2007).

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan oleh peneliti ialah studi Kepustakaan, yaitu suatu metode pengumpulan bahan-bahan hukum dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka yakni mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, pendapat para sarjana hukum. Maupun hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang diteliti yaitu berupa jurnal, artikel, dasar hukum perikatan yang bersumber karena perjanjian yang perbuatan tersebut bertentangan dengan UU serta bahan-bahan lainnya yang menunjang penelitian ini.����������

 

Analisis bahan hukum dalam penelitian ini akan menggunakan metode analisis logika deduktif yang dengan metode analisis normatif kualitatif (Hanitijo, 1988). Metode analisis logika deduktif adalah menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang diteliti. Sedangkan metode analisis normatif kualitatif, yaitu pembahasan dan penjabaran yang disusun secara logis terhadap hasil penelitian terhadap norma, kaidah, maupun landasan teori hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Konsep Penyerobotan Tanah yang Berimplikasi Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Secara Perdata (Onrechmatigheid Daad)

����������� Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanah memiliki hubungan yang sangat erat dengan manusia, setiap orang selalu membutuhkan tanah tidak hanya di dunia ini saja, bahkan untuk mati manusia memerlukan sebidang tanah. Keberadaan tanah menjadi semakin penting dengan tingginya angka pertumbuhan penduduk dan bertambah pesatnya kegiatan pembangunan yang menyebabkan kebutuhan akan tanah meningkat, sementara disisi lain persediaan akan tanah yang relatif sangat terbatas.

Ketimpangan antara meningkatnya jumlah kebutuhan manusia akan tanah dengan keterbatasan ketersediaan tanah menyebabkan munculnya benturan kepentingan di masyarakat. Eksistensi tanah menjadi kebutuhan dasar manusia, sejak lahir sampai meninggal dunia. Bahwa manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan yang mana secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup, tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana mereka pergi. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis (Bernhard, 2012).

Ketentuan mengenai tanah juga dapat dilihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria atau yang biasa disebut dengan UUPA. Secara substansi UUPA menempati posisi yang strategis dalam hukum nasional di Indonesia. Kestrategisan tersebut antara lain disebabkan karena UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan UUPA yang bermakna: 1) Tanah dalam tataran yang paling tinggi dikuasai negara dan digunakan. 2) Sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; 3) Pemilikan atau penguasaan tanah yang berlebihan tidak dibenarkan; 4) Tanah bukanlah komoditi ekonomi biasa, oleh sebab itu tanah tidak boleh diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan; 5) Setiap warga negara yang memiliki atau menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumber daya alam.

Hak-hak rakyat atas tanah perlu diperkuat, bukan saja untuk ketenteraman, tetapi yang lebih penting adalah melindungi hak-hak mereka dari tekanan para pihak ekonomi yang kuat yang ingin mengambil atau membeli tanah untuk kepentingan investasi. Salah satu identitas dari suatu negara hukum ialah memberikan jaminan dan perlindungan hukum atas hak-hak warga negaranya.

Sebagaimana tujuan hukum adalah ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, termasuk didalamnya perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala perbuatan manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat untuk manusia menjalankan dan melanjutkan kehidupannya (Adrian Sutedi, 2023). Warga negara Indonesia, kita memiliki hak-hak atas tanah yang meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan.

Dalam UUPA, hak milik adalah hak atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pembuktian hak milik atas tanah dapat dibuktikan melalui sertifikat tanah yang merupakan tanda bukti hak paling kuat bagi pemilik tanah. Kegiatan pendaftaran tanah sangat diperlukan. Tujuannya agar para pemegang hak atas tanah bisa dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya dan mendapat kepastian hukum mengenai hak atas tanah. Namun pada kenyataannya, pendaftaran tanah pun tidak dapat menjamin suatu tanah bersertifikat dapat bebas dari konflik pertanahan (Urip Santoso, 2015).

Salah satu konflik pertanahan yang sering terjadi adalah pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, atau biasa disebut penyerobotan tanah milik orang lain, baik disengaja maupun tidak disengaja baik dilakukan perorangan maupun sekelompok orang. Penyerobotan tanah bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Penyerobotan tanah adalah sebuah fenomena yang merujuk pada tindakan seseorang atau sekelompok orang yang mengambil alih atau menguasai tanah yang sebenarnya bukan milik mereka tanpa izin atau hak yang sah. Fenomena ini melibatkan pelanggaran hukum yang serius dan memiliki implikasi yang signifikan dalam bidang ilmu hukum.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kepemilikan tanah diatur oleh peraturan hukum yang berlaku. Tanah dapat dimiliki secara individual, kelompok, atau oleh lembaga pemerintah. Hak kepemilikan atas tanah ini dilindungi oleh hukum untuk memastikan bahwa pemilik memiliki kontrol, kebebasan, dan kepastian hukum terhadap aset mereka (Syafnil, Arifin, & Delfi, 2022). Namun, dalam beberapa kasus ada orang yang dengan sengaja melanggar hak kepemilikan orang lain dengan melakukan penyerobotan tanah. Penyerobotan tanah dapat terjadi karena berbagai alasan.

Salah satu motif utama adalah keuntungan finansial. Sebagian orang melihat tanah sebagai sumber daya yang berharga dan ingin memperolehnya tanpa harus membayar harga yang wajar atau melakukan proses yang legal. Mereka dapat memalsukan dokumen kepemilikan, menggunakan kekerasan atau ancaman, atau mengeksploitasi kelemahan sistem administrasi tanah yang kurang efektif.

Konsekuensi penyerobotan tanah sangat beragam dan kompleks. Tindakan tersebut melanggar hak-hak pemilik yang sah dan dapat menyebabkan kerugian finansial dan psikologis yang signifikan (Sukananda, 2021). Pemilik yang terkena dampak harus menghadapi ketidakpastian hukum, kehilangan penghasilan, dan biaya hukum yang tinggi untuk memulihkan hak mereka.

Dalam beberapa kasus, penyerobotan tanah juga dapat mengakibatkan penggusuran paksa atau kehilangan tempat tinggal. Selain itu, penyerobotan tanah juga berdampak pada stabilitas sosial dan politik. Ketidakadilan yang diakibatkannya dapat memicu ketegangan antara kelompok-kelompok masyarakat, mengancam perdamaian, dan merusak kepercayaan pada sistem hukum dan pemerintahan.

Masalah penyerobotan tanah telah menjadi isu hukum yang sensitif dan memicu protes serta gerakan sosial untuk memperjuangkan perlindungan hak-hak individu dan keadilan sosial. Respons hukum terhadap penyerobotan tanah bervariasi di berbagai yurisdiksi. Di banyak negara, penyerobotan tanah dianggap sebagai pelanggaran hukum pidana dan dapat dikenakan sanksi seperti penjara atau denda yang signifikan. Selain itu, pemilik yang terkena dampak dapat mengajukan tuntutan hukum perdata untuk memulihkan hak kepemilikan mereka dan mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang mereka alami (Sopacua, 2019).

Pemerintah memiliki peran penting dalam menangani kasus penyerobotan tanah. Mereka bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban hukum, menegakkan hukum properti, dan memberikan perlindungan kepada pemilik yang sah. Untuk itu, pemerintah harus memiliki sistem administrasi tanah yang efektif, termasuk registri tanah yang akurat, prosedur pendaftaran yang transparan, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran terkait tanah.

Dalam beberapa kasus, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan tanah yang diserobot kepada pemilik yang sah. Ini dapat melibatkan penggunaan kekuatan hukum untuk mengosongkan tanah, memberikan kompensasi kepada pemilik yang terkena dampak, atau melakukan reformasi sistem administrasi tanah untuk mencegah penyerobotan tanah di masa depan. Untuk mengatasi masalah penyerobotan tanah, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi.

Hal ini melibatkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pemilik tanah untuk meningkatkan kesadaran akan hak kepemilikan tanah, memperkuat sistem administrasi tanah, dan meningkatkan perlindungan hukum terhadap pemilik yang sah. Pendidikan hukum dan pemahaman tentang hak properti juga penting bagi masyarakat untuk memahami dan mempertahankan hak kepemilikannya (Safitri, 2022).

Kasus penyerobotan tanah, pemilik yang dirugikan dapat mengambil langkah-langkah hukum perdata untuk memulihkan hak kepemilikan mereka. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemilik yang sah atas tanah tersebut. Ini dapat mencakup sertifikat tanah, akta jual beli, dokumen perjanjian sewa-menyewa, atau bukti pembayaran pajak. Setelah memiliki bukti yang cukup, pemilik yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap pelaku penyerobotan.

Gugatan ini diajukan ke pengadilan yang berwenang dan harus memenuhi persyaratan hukum yang berlaku. Dalam gugatan tersebut, pemilik yang dirugikan harus menjelaskan klaim kepemilikan mereka dan memberikan bukti-bukti yang mendukung klaim tersebut. Mereka juga harus menjelaskan bagaimana penyerobotan terjadi dan dampak yang timbul akibat penyerobotan terhadap hak kepemilikan mereka (Lubis, 2021).

Proses peradilan dalam kasus penyerobotan tanah akan melibatkan pemeriksaan bukti, pendengaran saksi, dan pendengaran argumentasi hukum dari kedua belah pihak. Pengadilan akan menilai semua bukti dan argumentasi yang diajukan oleh pemilik yang dirugikan dan pelaku penyerobotan, serta menerapkan hukum yang relevan untuk mencapai keputusan yang adil dan berdasarkan fakta. Jika pengadilan menemukan bahwa pemilik yang dirugikan memiliki klaim yang kuat dan bukti yang meyakinkan, pengadilan dapat mengeluarkan putusan yang menyatakan hak kepemilikan tanah kembali kepada pemilik yang sah.

Pelaku penyerobotan tanah untuk mengosongkan tanah, dan mungkin memberikan ganti rugi kepada pemilik yang dirugikan atas kerugian yang mereka alami akibat penyerobotan (Amalia & Fawaid, 2017). Namun dalam beberapa kasus, proses hukum perdata mungkin tidak sepenuhnya dapat memulihkan hak kepemilikan tanah yang diserobot. Ini dapat terjadi jika penyerobotan telah terjadi dalam jangka waktu yang lama atau jika tanah telah diubah atau dimodifikasi secara signifikan oleh pelaku penyerobotan.

Dalam situasi seperti itu, pemilik yang dirugikan mungkin akan memerlukan solusi alternatif, seperti negosiasi dengan pelaku penyerobotan atau mengajukan tuntutan ganti rugi. Selain itu, dalam beberapa yurisdiksi, ada mekanisme hukum yang memungkinkan pemilik tanah yang dirugikan untuk mendapatkan kompensasi melalui program perlindungan hukum atau skema kompensasi yang disediakan oleh pemerintah.

Program-program ini bertujuan untuk membantu pemilik yang dirugikan dalam mengatasi kerugian akibat penyerobotan tanah. Dalam rangka mencegah penyerobotan tanah, langkah-langkah perlindungan properti yang lebih kuat perlu diterapkan. Ini termasuk peningkatan administrasi tanah, keamanan dan pengawasan yang lebih baik, dan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran hak properti. Kesadaran hukum masyarakat tentang hak properti serta prosedur hukum yang terkait juga sangat penting untuk mengurangi kasus penyerobotan tanah di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyerobotan tanah adalah pelanggaran hak properti yang serius dan dapat diproses melalui tuntutan hukum perdata oleh pemilik yang dirugikan. Dalam proses perdata, pemilik yang dirugikan harus menyajikan bukti yang kuat dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Penting untuk mendapatkan bantuan dari ahli hukum yang berpengalaman dalam kasus penyerobotan tanah agar dapat melindungi hak kepemilikan tanah yang sah dan mendapatkan keadilan dalam peradilan.

 

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penyerobotan Tanah Yang Beakibat Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum

����������� Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku subyek hukum sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat itu. Masing-masing anggota masyarakat tentunya mempunyai berbagai kepentingan yang beragam. Jumlah kepentingan ini tergantung dari wujud dan sifat kemanusiaan yang berada di dalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing.

Jika keinginan ini sudah nyata sehingga menimbulkan berbagai usaha untuk melaksanakannya, maka disitulah mulai ada benturan antar kepentingan masyarakat (Prodjodikoro, 1977). Hukum bertujuan mengadakan suatu keseimbangan di antara berbagai kepentingan. Hukum juga bertujuan untuk menjamin keselamatan dalam masyarakat. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila hukum yang mengaturnya dilaksanakan dan dihormati, serta tidak dilanggar.

����������� Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat mempunyai suatu kedudukan tertentu dalam masyarakat sedemikian rupa, sehingga dirasakan adil atau patut, bahwa di samping orang itu, atau dengan menyampingkan orang itu, seharusnya ada seorang lain yang juga dipertanggungjawabkan. Hal yang lazim dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum adalah membebankan tanggung jawab berupa membayar ganti rugi jika pelakunya bersalah atas tindakan tersebut.

����������� Sengketa dapat terjadi karena salah satu pihak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pihak lainnya, dan pihak yang dirugikan tersebut mengajukan gugatan karena merasa haknya telah dilanggar secara tidak adil. Salah satu fenomena sengketa yang sering dijumpai dalam kehidupan di masyarakat yaitu sengketa pertanahan. Sengketa pertanahan atau land dispute dapat dirumuskan sebagai pertikaian atau perselisihan yang menjadikan hak atas tanah sebagai objek persengketaan.

Sengketa perdata yang berkenaan dengan tanah dapat terjadi antar individu atau antar individu dengan badan hukum, yang disengketakan beraneka ragam, baik yang menyangkut data fisik tanahnya, data yuridisnya, atau karena perbuatan hukum yang dilakukan atas tanah. Suatu bidang tanah dapat mengenai letaknya berkaitan sengketa data fisik, batas atau luasnya.

Sedangkan sengketa data yuridis lebih condong mengenai status hukum (hak atas tanahnya), pemegang haknya, atau hak-hak pihak lain yang mungkin membebaninya. Perbuatan melawan hukum di dalam praktiknya dapat bersifat aktif maupun pasif. Bersifat aktif berarti bilamana seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain, sedangkan bersifat pasif berarti bahwa seseorang itu tidak berbuat, yang akibatnya menimbulkan kerugian pada orang lain.

����������� Perbuatan penyerobotan dari hukum perdata, maka Pasal 1365 KUHPerdata unsur-unsur yang terkandung harus dipahami sehingga perbuatan melawan hukum seseorang tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, Pasal 1365 KUHPerdata menentukan 4 (empat) syarat perbuatan melawan hukum yang sekaligus merupakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Keempat unsur tersebut, yaitu; 1) Adanya suatu pelanggaran hukum; 2) Adanya kesalahan; 3) Terjadinya kerugian; 4) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.

Adapun keempat unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Adanya Suatu Pelanggaran Hukum

Perumusan luas dari onrechtmatigedaad, makna daad atau perbuatan haruslah perbuatan melawan hukum apabila: a) Bertentangan dengan hak orang lain. b) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c) Bertentangan dengan kesusilaan. d) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat atau benda.

Perbuatan dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif orang lain yaitu kewenangan yang berasal dari kaedah hukum, hak-hak yang penting diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak pribadi, seperti hak atas kebebasan, kehormatan, nama baik dan kekayaan. Menurut terminologi hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai yang didasarkan pada hukum, baik yang tertulis. Menurut rumusan perbuatan melawan hukum di atas, yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah kewajiban menurut undang-undang (Rechtsplict).

Syarat pertama bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan syarat kedua bertentangan dengan hak subjektif orang lain adalah syarat yang bersumber dari undang-undang, sedangkan syarat ketiga bertentangan dengan kesusilaan dan syarat keempat adalah syarat bersumber dari kaidah hukum tertulis bahwa penafsiran dalam Pasal 1365 KUHPerdata dalam Yurisprudensi Belanda (Yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya. Dalam abad ke-19 ketika aliran logisme masih kuat, yang menjadi perbuatan melawan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja.

Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang berpendapat diluar undang-undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat aliran logisme ini mendapat tantangan dari berbagai pihak. Telah diketahui bahwa mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang sempit itu tidak dapat dipertahankan dan diteruskan. Tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaedah-kaedah sosial.

Anggapan ilmu hukum ini diterima dalam yurisprudensi tahun 1919. Artinya setelah tahun 1919 perbuatan melawan hukum seperti tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata bukan saja yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kaedah-kaedah norma sosial dan norma-norma yang lain. Adapun asas yang tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menegaskan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum (melawan hukum), yang merugikan orang lain, mewajibkan pihak yang merugikan (yang melakukan) mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan itu.

 

Adanya Kesalahan

Seseorang dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum, Pasal 1365 KUHPerdata mengisyaratkan adanya kesalahan bahwa Pasal 1365 KUHPerdata tidak membedakan antara kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet dolus) dan kesalahan dalam bentuk kekurang hati hatian (culpa).Jadi berbeda dengan hukum pidana yang membedakan antara kesengajaan dengan hukum pidana yang membedakan antara kesengajaan dan kurang hati-hati. Oleh karena itu, hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu sehingga ditentukan ganti rugi yang seadil-adilnya.

 

Terjadi Kerugian

Kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum dapat berupa:

Kerugian materil, Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain, misalnya: kebakaran mobil penumpang akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu tidak hanya membayar biaya perbaikan mobil tersebut, akan tetapi juga bertanggung jawab untuk mengganti penghasilan mobil penumpang itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki mobil tersebut.

Kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa: 1)���� Kerugian moral. 2) Kerugian ideal. 3) Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang. 4) Kerugian non ekonomis.

Besaran kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut karena itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan yang sesungguhnya jika tidak terjadi perbuatan melawan hukum. Berdasaran hal di atas, adanya kerugian dapat dituntut pihak yang merugikan baik tuntutan ganti rugi bisa berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi immateriil. Kerugian materiil yang dituntut yaitu dalam bentuk uang/kekayaan/benda.

Sedangkan kerugian inmateriil dapat dituntut yang tidak benilai uang, seperti rasa sakit, nama baik, dan lain-lain. Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum.

Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang. Untuk itu ganti rugi atas perbuatan melawan hukum dengan menguasai tanah milik orang lain tanpa dasar hak, haruslah memenuhi unsur tersebut di atas dan penuntutan ganti rugi tersebut dapat di tuntut kepada seseorang atau korporasimelalui pengadilan, badan atau lembaga yang terkait dan berwenang, ataupun langsung kepada yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut dengan upaya mediasi.

 

Adanya Hubungan Kausalitas

Ganti rugi terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selain harus ada kesalahan, disamping itu pula harus ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian tersebut. Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini harus dilihat secara materiil. Dikatakan materiil karena sifat perbuatan melawan hukum dalam hal ini haru dilihat sebagai suatu kesatuan tentang akbat yang ditimbulkan olehnya terhadap diri pihak korban.

Hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi, sedangkan teori penyebab kira-kira adalah lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap korban, apakah perbuatan pelaku atau perbuatan lain yang justru bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melawan hukum.

 

Upaya Hukum Melalui Litigasi.

Litiga maupun immaterial. Mengajukan gugatan ke pengadilan menurut hukum acara perdata merupakan upaya mempertahankan hak-hak perdata yang dilanggar, dalam hal ini tentunya gugatan dimaksud adalah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Gugatan PMH), yaitu gugatan ganti rugi karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mengakibatkan kerugian pada orang lain.

Hubungan antara PMH dan kerugian yang ditimbulkannya itu secara kausalitas harus langsung, yaitu PMH tersebut secara langsung yang menyebabkan terjadinya kerugian, sebagai satu-satunya alasan munculnya kerugian (Adequate Veroorzaking). Kerugian itu harus merupakan akibat dari perbuatan salah dari si pelaku, yang tanpa perbuatannya itu kerugian tersebut tidak akan muncul. Dengan terpenuhinya unsur-unsur di atas maka seseorang dapat menuntut ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum.

Namun harus diingat sebelum mengajukan tuntutan ganti rugi ke pengadilan pihak korban harus mempunyai bukti kuat dahulu bahwa pelaku telah terbukti secara hukum melakukan perbuatan melawan hukum tersebut yaitu adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum (inkracht). Kemudian putusan pidana tersebut dijadikan alat bukti untuk mengajukan gugatan ganti rugi tersebut.

Tuntutan ganti rugi terhadap adanya perbuatan melawan hukum tersebut dapat dalam bentuk ganti rugi baik secara materil atau immateril atau pula kombinasi keduanya. Ganti rugimateri dapat berupa penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan oleh korban terkait dengan kerugian yang diderita, sedangkan immateri dapat berupa karena adanya kerugian immaterial berupa kerugian moral, kerugian ideal,kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang dan kerugian non ekonomis adalah proses penanganan perkara hukum yang dilakukan melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Tuntutan Litigasi yaitu dengan cara mengajukan gugatan perdata ke pengadilan agar pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum mengganti kerugian yang diderita oleh korban baik secara materil.

 

Upaya Hukum Non Litigasi

Perkara penyerobotan tanah dapat juga masuk wilayah hukum perdata. Untuk itu tidak harus hanya diselesaikan melalui pidana. Penyelesaian melalui perdata dapat dilakukan melalui non litigasi yaitu suatu penanganan hukum tidak melalui jalur pengadilan untuk menyelesaiannya. Intinya non litigasi adalah penyelesaian hukum diluar jalur pengadilan. Dalam praktiknya penyelesaian hukum melalui non litigasi adalah dengan cara mediasi baik menggunakan jasa hakim pengadilan sebelum sidang pemeriksaan dimulai atau mediasi melalui mediator luar pengadilan tergantung para pihak yang mana yang lebih efektif digunakan.

Dalam penyelesaian hukum perdata, yang palingbaik penyelesaian hukum adalah dengan melalui non litigasi karena para pihak akan mendapat keadilan atau win-win solution artinya keadilan yang diperoleh bersama (keadilan komutatif), dalam hal ini penyelesaiannya tidak ada yang menang dan kalah, karena didasarkan atas kesepakatan dalam menyelesaikannya, maka tidaklah salah jika Mahkamah Agung mengelurkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebelumnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yang berbunyiMediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.�

Mediator adalah Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Pihak mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa tersebut, melainkan hanya berfungsi untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa tersebut.

Pengalaman, kemampuan dan integritas dari pihak mediator tersebut diharapkan dapat mengefektifkan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa. Mediator harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan perannya dalam menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa tertentu dan kemudian mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat. Ia menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.

Dengan demikian mediator berperan membantu para pihak dalam pertukaran informasi dan proses tawar-menawar. Melalui mediasi diharapkan menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak yaitu berupa kesepakatan perdamaian yang merupakan kesepakatan hasil Mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator.

 

Kesimpulan

Tinjauan penyerobotan tanah menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan perbuatan melawan hukum (PMH) yang dapat dituntut ganti rugi baik secara materil maupun immateril. Ganti rugimateril dapat berupa penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan oleh korban terkait dengan kerugian yang diderita, sedangkan immateril dapat berupa karena adanya kerugian immaterial berupa kerugian moral,kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang dan kerugian non ekonom.

Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi penyerobotan tanah ditinjau dari Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah melalui upaya hukum Litigasi yaitu menuntut ganti rugi ke pengadilan atas kerugian yang diderita oleh korban dan upaya hukum non litigasi yaitu upaya hukum melalui jalur luar pengadilan dengan cara menyelesaikan ganti rugi melalui mediasi untuk mencapai perdamaian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Adrian Sutedi, S. H. (2023). Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Sinar Grafika.

 

Amalia, Sulfi, & Fawaid, Ikromil. (2017). Kekuatan Hukum Dari Bantuan Hukum Oleh Lembaga Bantuan Hukum Yang Belum Terverifikasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi Pada Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogykarta). Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu.

 

Bernhard, Limbong. (2012). Konflik Pertanahan. Pustaka Margaretha, Jakarta.

 

Hanitijo, Ronny. (1988). Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

Hernoko, Agus Yudha. (2010). Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak komersial. Kencana.

 

Lubis, Muhammad Ridwan. (2021). Tindak Pidana Penyerobatan Tanah Dalam Perspektif Hukum Pidana. Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 20(2), 242�260. https://doi.org/10.30743/jhk.v20i2.3661

 

Prodjodikoro, Wirjono. (1977). Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet. 9. Sumur Bandung, Bandung.

 

Safitri, Safitri. (2022). Analisis Yuridis Putusan Tindak Pidana Penyerobotan Tanah (Stellionaat) Ditinjau Dari Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.

 

Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Sopacua, Margie Gladies. (2019). Penyerobotan Tanah Secara Tidak Sah Dalam Perspektif Pidana. Jurnal Belo, 4(2), 204�217.

 

Sukananda, Satria. (2021). Analisis Hukum Bentuk Penanggulangan Tindak Pidana Penyerobotan Tanah di Indonesia. Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), 2(3), 160�169. https://doi.org/10.18196/ijclc.v2i3.12466

 

Sunggono, Bambang. (2007). Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Syafnil, Syafnil, Arifin, Zainal, & Delfi, Maskota. (2022). PETANI Vs PENGUASA (Penyerobotan Tanah Dan Perlawanan Petani Di Kabupaten Pasaman Barat). Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 9(2), 257�271. https://doi.org/10.31571/sosial.v9i2.4166

Urip Santoso, S. H. (2015). Perolehan hak atas tanah. Prenada Media.

 

Weku, Robert. (2013). . Lex Privatum, 1(2).

 

Copyright holder:

Suwarti, Faisal, Puji Rahayu Subandi, Nurlaila Kadarwati Papuluwa (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: