Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

ANALISIS KETIMPANGAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH PASCA REFORMA AGRARIA DI INDONESIA

 

Mahmud Hi. Umar*, Suwarti, Nurlaila Kadarwati Papuluwa

Fakultas Hukum, Universitas Khairun

Email:*[email protected], [email protected] [email protected]

 

Abstrak

Pembaharuan hukum agraria itu hanya akan berhasil, apabila hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Dalam menindak lanjuti politik pembaharuan hukum Agraria yang diatur dalam UUPA pemerintah telah mengeluarkan ketetapan yang dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang nantinya akan menghambat pelaksanaan pembaharuan hukum agraria di Indonesia maka Pancasila dan UUD 1945 harus dijadikan landasan idiil dan landasan kosntitusional dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh Negara, artinya peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanan pembaharuan hukum agraria harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Konflik Agraria masih menjadi problematika hukum di Indonesia. Hadirnya strategi berupa reforma agraria diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan keadilan sosial serta kemakmuran rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan reforma agraria ditandai dengan penataan aset dan penataan akses secara menyeluruh sehingga penting untuk dilakukan evaluasi secara menyeluruh berkeadilan dan pemberdayaan masyarakat. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelenggara reforma agrarian diharapkan mampu menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial, baik itu melalui upaya Gugus Tugas Reformasi Agraria (GTRA) atau Pemerintah yang melakukan strategi kompromi dengan kementerian/lembaga untuk pemastian hak atas tanah melalui reforma agraria.

 

Kata Kunci: Ketimpangan Penguasaan; Lanfreform; Reforma Agraria; Indonesia..

 

Abstract

Reforming agrarian law will only be successful if agrarian law prioritizes farmers as the main pillar of national economic development, without ignoring the interests of investors and large investors as a source of development financing. In following up on the policy of reforming Agrarian law as regulated in the UUPA, the government has issued a decree as outlined in MPR Decree Number: IX/MPR/2001 concerning Agrarian Reform and Natural Resource Management. To overcome problems that will later hinder the implementation of agrarian law reform in Indonesia, Pancasila and the 1945 Constitution must be used as the ideal basis and constitutional basis for every legal act carried out by the State, meaning that regulations or policies issued in the context of implementing agrarian law reform must be based on on Pancasila and the 1945 Constitution. Agrarian conflict is still a legal problem in Indonesia. The presence of a strategy in the form of agrarian reform is expected to be able to make a real contribution in realizing social justice and people's prosperity for all Indonesian people. The implementation of agrarian reform is characterized by comprehensive asset management and access management, so it is important to carry out a comprehensive evaluation with fairness and community empowerment. The results obtained from this research show that the organizers of agrarian reform are expected to be able to guarantee increased community welfare and realize social justice, whether through the efforts of the Agrarian Reform Task Force (GTRA) or the Government which carries out a compromise strategy with ministries/institutions to ensure land rights through agrarian reform.

 

Keywords: Inequality of Tenure; Lanfreform; Agrarian Reform; Indonesia.

 

Pendahuluan

Tanah merupakan hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Yogatiyana & Hidayatullah, 2022). Oleh karna sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, maka permasalahan tentang tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal tersebut, gagasan atau pemikiran tentang pertahanan juga terus berkembangan sesuai dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.

Eksitensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, Yaitu social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, dan tanah sebagai capital assed yaitu sebagai faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebahai bahan perniagaan dan obyek spekulasi (Rubaie, 2007);(Joni, 2016). Tanah merupakan rintisan peradaban setiap masyarakat karena memiliki aspek filosofis dan historis di setiap daerah.

Seperti di Jawa yang memiliki semangat agraris yang tertuang dalam semboyan: �sanyari bumi sadumuk bathuk, totohane wutahing ludiro, pecahing dhodho�, yang artinya sejengkal tanah, njendhul bathuk taruhannya tumpahnya darah, sebagai karunia tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat. Tanah menjadi saran untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi bangsa indonesia sehingga perlu campur tangan negara untuk mengaturnya.

Hal ini sesuai amanat konstitusional dan sebagai dasar politik hukum agraria nasional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan: �Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, di kuasai oleh negara dan pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat�.

�Kekuasaan negara yang diwakili oleh pemerintah yang mengatur bidang pertanahan, khususnya yang berkenaan dengan gerak hukum dan penggunaan tanah, adalah ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPG, terutama yang berkenaan dengan kekuasaan pengaturan dan administrasi. Kapan. Penetapan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan tanah, termasuk penetapan dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan tanah. Ia juga menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan real estat. Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa "semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial."

Berdasarkan prinsip ini, jika tanah digunakan semata-mata untuk keuntungan pribadi, atau jika tidak digunakan, itu akan merugikan masyarakat sedikit dan membenarkan hak-hak tanah individu, saya tidak bisa melakukannya. Tata guna lahan harus disesuaikan dengan situasi dan hak untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, untuk mencegah pemanfaatan tanah secara optimal Prasista (2022), pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Terlantar.

Penghindaran, pengelolaan, dan penggunaan tanah yang dialihkan adalah tindakan yang bertujuan agar tanah dapat digunakan sesuai dengan cara dan tujuan pemberian hak. Oleh karena itu, penelantaran tanah harus dicegah dan diatur untuk mengurangi atau menghilangkan efek buruknya. Tanah terlantar yang diatur dalam UUPA menunjukkan bahwa negara telah melarangnya, dengan harapan tanah dalam satu wilayah negara Republik Indonesia dapat melayani kepentingan pemiliknya dan masyarakat secara keseluruhan (Parlindungan, 1980).

Berdasarkan pasal 33 UUD 1945 kemudian pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan UUPA. Berdasarkan pjasal 2 ayat (2) UUPA, Negara hanya memberi wewenang kepada Negara untuk: Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dirumuskan beberapa rumusan masalah yakni bagaimanakah tinjauan hukum penguasaan tanah dan pemilikan tanah (land reform) di Indonesia, serta bagaimana strategi mengatasi terjadinya ketimpangan penguasan dan kepemilikan tanah (land reform) di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini adalah tipe normatif, penelitian hukum normatif (normatif legal research) adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Logika keilmuan yang dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan displin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri (Marzuki, 2013).

 

Teknik pengumpulan bahan hukum/ data dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys.�

Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari asas hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, arsip serta hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik yang mempunyai relevansi dengan objek penelitian. Penelitian kepustakaan merupakan suatu jenis penelitian yang digunakan dalam pengumpulan informasi dan data secara mendalam melalui berbagai literatur, buku, catatan, majalah, referensi lainnya, serta hasil penelitian sebelumnya yang relevan, untuk mendapatkan jawaban dan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Tinjauan Hukum Penguasaan Tanah Dan Pemilikan Tanah (Land Reform) di Indonesia

Pemilikan tanah (Landreform) sebagai pelaksana dari berjalannya hukum agraria nasional tidak serta merta dilaksanakan tanpa dilandasi sebuah tujuan yang mendasar. Tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Perangin, 1989);(Sucianti, 2004).�

Sedangkan tujuan khusus landreform terbagi menjadi 3 (tiga): pertama, tujuan sosial ekonomis, dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada Hak Milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

Kedua, tujuan sosial politis dengan cara mengakhiri sistem tuan tanah, menghapuskan pemilikan tanah yang luas dan mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud ada pembagian yang adil pula. Ketiga, tujuan mental psikologis dengan meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah dan Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik dan penggarapnya.

Reforma agraria atau yang dahulu disebut dengan kebijakan landreform telah ada sejak era orde lama yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tepatnya setelah adanya unifikasi hukum agraria dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dimana pelaksanaan landreform pada masa pemerintahan Soekarno dilaksanakan dengan sangat serius dan berkeyakinan bahwa landreform merupakan bagian dari cita-cita revolusi di Indonesia (Salim & Utami, 2020).�

Kebijakan landreform tersebut pada masa orde baru dipandang sebagai program yang komunis dan tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat, dimana pada masa orde baru Soeharto melaksanakan kebijakan landreform berupa peluang untuk pelaksanaan redistribusi tanah berdasarkan proyek transmigrasi. Pada era reformasi, pelaksanaan landreform kembali dikenal dengan isu reforma agraria dan adanya persoalan dimana masyarakat melakukan reclaiming terhadap tanah-tanah milik masyarakat yang telah dirampas untuk pelaksanaan pembangunan negara pada masa orde baru.

Selanjutnya kini pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo adanya program reforma agraria yaitu dengan program legalisasi aset dan perluasan penafsiran reforma agraria yaitu dengan skema distribusi hak individu kepada distriusi hak pemanfaatan serta menghasilkan beberapa produk hukum yang mendasari pelaksanaan Reforma Agraria dan membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria.

Adapun karaktertistik dari reforma agraria hingga saat ini yaitu adanya landreform yang memuat penggabungan antara penataan aset dengan penataan akses, dimana penataan aset ditujukan untuk mengembalikan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah dengan lebih adil, sedangkan penataan akses ditujukan guna memberikan bantuan modal bagi masyarakat yang berdasarkan pemanfaatan tanah. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan inti dari program landreform khususnya redistribusi tanah ialah menguatkan atau kejelasan hak kepemilikan suatu tanah, dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Akibat yang masih dapat dirasakan sekarang akibat dari tidak diberlakukannya land reform adalah Bachriadi (1997): 1) Land reform menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya pemerataan tanah, maka tidak ada kekuatan daya beli, artinya juga tidak ada kekuatan pasar, akibatnya produksi tidak akan berkembang. 2) Petani tanpa asset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak akan mampu untuk menciptakan tabungan. Padahal tabungan pertania diperlukan oleh etiap pemerintahan, guna mendanai pembangunan pertanian maupun pengembangan sektor-sektor lainnya. 3) Tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetap minim. 4) Tanpa land reform, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja dipedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri. 5) Tanpa land reform, tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan terjadi disinvestasi karena lama kelamaan banyak petani miskin kehilangan tanah dan kemiskinan meluas. 6)� Tanah akhirnya hanya menjadi obyek spekulasi, karena tidak mampu digunakan secara produktif oleh kaum taninya melainkan dijarah oleh kelas-kelas di kota bagi kepentingan spekulasi dan investasi non-produktif.

�Sengketa agraria secara umum dikelompokkan menjadi 4 (empat) klasifikasi yaitu sengketa persoalan pengakuan kepemilikan atas suatu bidang tanah, persoalan peralihan hak atas tanah, persoalan berkenaan dengan menduduki bekas tanah partikelir, dan persoalan mengenai pembebanan hak atas tanah (Amaliyah, Ma�ruf, Sary, & Bitu, 2021);(Earlene & Djaja, 2023). Sengketa tanah yang kerap terjadi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) kelemahan dalam bidang administrasi pertanahan, (b) ketidakmerataan distribusi kepemilikan tanah, dan (c) legalitas kepemilikan hak atas tanah.

Berkenaan dengan sengketa tanah yang diakibatkan ketidakmerataan distribusi kepemilikan tanah dalam hal ini akan mengakibatkan timbulnya ketimpangan penguasaan dan kepemilikan atas tanah yang memberatkan masyarakat bawah khususnya bagi petani (Ningrum, 2014). Dengan demikian, mengenai ketimpangan kepemilikan atas tanah oleh petani merupakan suatu gambaran mengenai keadaan atau kondisi dalam bidang agraria yang juga merupakan cerminan dari struktur kemiskinan petani, yang mana pada masa kini isu hukum yang berkembang di pedesaan ialah banyaknya petani yang tidak memiliki tanah dengan ukuran yang memadai untuk melangsungkan usaha di bidang pertanian atau bahkan tidak memiliki tanah sama sekali yang dengan ini dapat diartikan bahwa adanya ketimpangan kepemilikan atas tanah oleh petani di pedesaan (Rasyid, Lapasere, & Nutfa, 2022).

Mengenai ketimpangan kepemilikan tanah, adanya dua jenis ketimpangan agraria yaitu ketimpangan distribusi dan ketimpangan alokasi, dimana ketimpangan distribusi ialah dengan adanya ketimpangan dalam hal penguasaan dan kepemilikan lahan antar petani dalam bidang usaha tani, sedangkan ketimpangan alokasi ialah adanya ketimpangan dalam hal peruntukkan sumber agraria antara sektor yaitu ketimpangan alokasi untuk korporasi dan rakyat.

Pembaruan Agraria sebagai suatu isu, bersifat kompleks dan multidimensi, dan oleh karena itu pendefinisiannya tidaklah sederhana. Namun demikian, tanpa bermaksud menyederhanakan kompleksitas permasalahannya, pembaruan agraria (agrarian reform) pada intinya meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka waktu (time frame), tetapi selama tujuan pembaruan agraria belum tercapai, pembaruan agrarian perlu terus diupayakan; b) Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber agraria) oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan; c)�� Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber daya agraria), serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Reformasi agraria tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, perdebatan ideologi, dan campur tangan pihak internasional dimasa lampau. Apa yang terjadi di masa lampau tersebut masih beresonansi dengan keberadaan struktur agraria di Indonesia kini. Sehingga sekarang ini sangat mendesak diperlukan suatu studi yang lebih komprehensif mengenai gagasan reforma agraria di Indonesia, terutama dalam menata politik pertanahan nasional yang menuai banyak masalah.

RUU Pertanahan mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan,Mineral dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga ditata ke dalam sistem keagrariaannasional. Dengan demikian, tampak adanya penerimaan terhadap paham sektoralisme dalam penyempurnaan UUPA.

Unsur yuridis dalam RUU ini adalah sebagai amanat dalam arah kebijakan pembaruan agraria yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dan e TAP MPR IX/MPR/2001 yaitu: 1) Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip pembaruan agrarian. 2) Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.

Unsur filosofis dalam RUU ini adalah mengatur tanah secara komprehensif untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan unsur sosiologisnya, tersebaranya pengaturan agrarian diberbagai bidang atau sektor sehingga dibutuhkan suatu sinkronisasi yang mengatur secara komprehensif tentanh pertanahan.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang ada dalam masyarakat melalui organisai kemasyarakatan RUU tentang Pertahanan berdampak kepada upaya-upaya hukum untuk memuluskan proses eksploitasi tanah secara liberal. Melalui mekanisme privatisasi, libera lisasi dan deregulasi para penguasa modal semakin terfasilitasi untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber agraria yang ada.

Pembaharuan agraria, atau sering juga digunakan istilah �Reforma Agraria� sebagai peng ganti istilah �Agrarian Reform�, merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Seluruh pihak hampir pasti menyetujui dilakukannya pembaruan agraria di Indonesia, sebagaimana telah termaktub dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001. Lahirnya ketetapan ini yang inisiatornya berasal dari kalangan non pemerintah menunjukkan bahwa ada kesepakatan tentang perlunya pembaruan agraria dijadikan perhatian bersama.

Jadi hukum-hukum di Indonesia juga harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 yakni untuk membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Ketentuan konstitusi tersebut haruslah menjadi instrumen dasar dalam penataan kembali politik agraria nasional dalam kerangka reforma agraria dengan menjadi kan Pancasila sebagai paradigma politik hukum, sehingga Pancasila dapat berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms dalam konteks kehidupan bernegara.

 

 

B.     Strategi mengatasi Terjadinya Ketimpangan Penguasan dan Kepemilikan Tanah (Land Reform) di Indonesia

Permasalahan agraria begitu kompleks harus diamati dan ditindaklanjuti karena meninggalkan dampak yang sangat besar. Memandang fenomena pembangunan yang menghasilkan perubahan terhadap kehidupan di pedesaan, seharusnya dibutuhkan kebijakan agraria yang didasari aspek sosial, sehingga penataan kembali terkait agraria dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan gejolak sosial yang destruktif.

Menjawab permasalahan tersebut perlu dikemukakan gagasan untuk dilaksanakan reforma agraria. Reforma Agraria telah menjadi diskursus sejak beberapa dekade lampau, setidaknya hal itu dapat dilihat dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang menjadi tonggak reformasi agraria di Indonesia.

Reforma agraria (land reform) adalah penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang secara lengkap. Paket penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak yang diberikan, tersedianya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap jasa-jasa advokasi, akses terhadap informasi baru dan teknologi, pendidikan dan latihan, dan adanya akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran. Reforma agraria bukan hanya dipahami sebagai kebijakan yang digunakan untuk retribusi tanah, tetapi merupakan konsep reforma evolving yang berkembang menjawab segala kebutuhan dan tuntutan zaman dari kebutuhan masyarakat.�

Reforma agraria tampil sebagai gambaran upaya konseptual dan sistematis dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Reforma agrarian sekaligus membuka jalan bagi terbentuknya struktur masyarakat yang berlandaskan demokrasi dan keadilan. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dijadikan sebagai dasar implementasi reforma agraria di pemerintahan saat ini. Di dalam peraturan ini memiliki beberapa kelemahan khususnya mengenai kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang belum melibatkan para petani dan organisasi petani, baik itu GTRA di tingkat pusat ataupun GTRA di tingkat wilayah.

Hal ini berdampak pada tidak teridentifikasi dengan baiknya berbagai konflik-konflik agraria yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat, termasuk juga redistribusi tanah-tanah yang sebelumnya sudah teridentifikasi sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) (Gevisioner, 2019).

Belum efektifnya GTRA juga secara tidak langsung diakui oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Hal ini dibuktikan dengan Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 505/SK- LR.01.01/IX/2020 tentang Revitalisasi Tim GTRA Pusat 3 September 2020. Keputusan ini menambah Wakil Menteri ATR/BPN dan Wakil Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai koordinator GTRA pusat. Walaupun sudah terjadi revitalisasi tim, keterwakilan petani sebagai subyek penerima TORA masih dikesampingkan dan tidak diikutsertakan (Utomo, 2021).�

Persoalan agraria saat ini merupakan akumulasi kasus-kasus penguasaan dan pemanfaatan atas tanah terdahulu yang timpang dan tidak adil yang tidak segera teratasi. Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia lebih menitikberatkan kepada konsep redistribusi tanah dengan cara membagi-bagikan tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, tanah kelebihan luas maksimum, tanah absentee, dan tanah-tanah Negara lainnya yang telah ditetapkan sebagai objek Reforma Agraria yang diberikan kepada para petani kecil dan petani lahan sempit. Akan tetapi, secara umum terdapat 3 (tiga) hal utama dalam reforma agraria yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yaitu penataan aset, penataan akses, dan penyelesaian sengketa.

Penataan aset meliputi penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan lahan berdasarkan hukum dan peraturan perundang- undanganan mengenai pertanahan. Pelaksanaan penataan aset dikomandoi oleh Kementerian ATR/BPN. Sedangkan penataan akses mencakup penyediaan kelembagaan dan manajemen yang baik agar penerima redistribusi lahan dapat mengembangkan lahannya sebagai sumber kehidupan yang memakmurkan (asas manfaat).

Implementasi kebijakan reforma akses dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah. Selain itu, pelaksanaan reforma, pelaksanaan reforma agrarian dikoordinasikan oleh Tim Reforma Agraria Nasional dengan pembentukan Satuan Tugas Reforma Agraria (GTRA), baik GTRA Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Kehadiran Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang merupakan organisasi lintas sektor yang bersifat ad hoc dan temporer, yang berfungsi memfasilitasi dan mendorong percepatan dan pelaksanaan program strategis nasional reforma agraria, yang meliputi pengelolaan aset melalui legalisasi aset (terdiri dari legalisasi aset dan penyelesaian tanah transmigrasi) dan redistribusi tanah (bersumber dari eks Hak Guna Usaha (HGU), tanah terlantar, dan dari pelepasan kawasan hutan) dan Penataan akses (pemberdayaan masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria), serta menyediakan cara penyelesaian sengketa dan konflik agrarian (Ramli, 2012).

Gagasan SPAB merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan dan paradigma global dalam pengelolaan pertanahan (land management paradigm) dan terintegrasi SDGs. SPAB diwujudkan dalam bentuk skema pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dengan unsur reforma agraria. Gagasan SPAB muncul dari tujuh fokus pembangunan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing dalam Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, salah satunya pengentasan kemiskinan melalui reforma agraria.

Berpangkal dari amanat konstitusi dan SDGs, serta berdasarkan paradigm pengelolaan pertanahan yang telah dibahas sebelumnya, SPAB dibangun untuk memberikan arahan dalam pengaturan pengelolaan pertanahan (agraria) berdasarkan prinsip keterpaduan, keserasian, keserasian, keseimbangan, keberlanjutan, keterbukaan, kesetaraan, keadilan dan perlindungan hukum.

Berkaitan dengan peran pemerintah dalam hal sengketa tanah, dipahami terlebih dahulu bahwasanya awal mula factor terjadinya sengketa tanah ialah masyarakat hanya memahami pentingnya menerbitkan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah, namun belum memahami dengan baik cara menggunakan sertifikat tersebut, contohnya dalam kasus jual beli seharusnya semua tercatat dalam sertifikat sehingga menjadi rekam jejak perbuatan hukum dari sertifikat tanah tersebut (Amaliyah et al., 2021).

Ketika ada pihak yang mengklaim kepemilikan telah tercatat bahwa telah terjadi peralihan hak milik dengan adanya jual beli yang telah dilakukan secara sah. Inilah seharusnya yang menjadi perhatian tersendiri untuk giat melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang penggunaan sertifikat tanah.

 

Kesimpulan

Pembaharuan hukum agrarian berparadigma Pancasila belum mampu diwujudkan dalam politik hukum agrarian nasional karena dua alasan, pertama, banyak penyimpangan-penyimpangan di lapangan dalam pelaksanaan UUPA, kedua aturan�aturan pelaksanaan yang dimanatkan UUPA banyak yang belum terealisir hingga saat ini. Untuk itu perlu adanya penegasan dan revitalisasai nilai

Pancasila dalam politik hukum agraria nasional, Terutama dalam hal penghormatan hak rakyat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah. UUPA sebagai induk kebijakan landreform di Indonesia berisikan hal-hal pokok yang menyangkut landreform yang dapat dilihat pengaturannya dalam pasal 7, 10 dan 17 UUPA.

Sampai sat ini UUPA maupun kebijakan landreform belum dapat mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang melampau batas karena terhambatnya penerapan kebijakan landreform serta tidak ada dukungan kemauan politik dari pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi untuk memasukkan program landreform dalam kebijakan pembanguan daripada memberikan perlindungan dan kepastian hak kepada petani yang tidak mempunyai dan memilii tanah pertanian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Amaliyah, Amaliyah, Ma�ruf, Muhammad Amar, Sary, Novytha, & Bitu, Syahril Gunawan. (2021). Reforma Agraria dan Penanganan Sengketa Tanah. HERMENEUTIKA: Jurnal Ilmu Hukum, 5(1).

 

Bachriadi, Dianto, Faryadi, Erpan, & Setiawan, Bonnie. (1997). Reformasi Agraria: perubahan politik, sengketa, dan agenda pembaruan agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria bekerja sama dengan Lembaga Penerbit, Fakultas ï¿½.

 

Earlene, Felishella, & Djaja, Benny. (2023). Implikasi kebijakan reforma agraria terhadap ketidaksetaraan kepemilikan tanah melalui lensa hak asasi manusia. Tunas Agraria, 6(2), 152�170.

 

Gevisioner, Gevisioner. (2019). Harapan dan Kenyataan: Implementasi Reformasi Agraria di Provinsi Riau. Unri Conference Series: Agriculture and Food Security, 1, 8�14.

 

Joni, H. (2016). Tanah Sebagai Aset Sosial Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional. Jurnal Cakrawala Hukum, 7(1), 123�134.

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2013). Penelitian hukum.

 

Ningrum, Herlina Ratna Sambawa. (2014). Analisis hukum sistem penyelesaian sengketa atas tanah berbasis keadilan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 1(2), 219�227.

 

Parlindungan, Adi Putera. (1980). Komentar atas undang-undang pokok agraria. (No Title).

 

Perangin, Effendi. (1989). Hukum Agraria di Indonesia; Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Rajawali Press.

 

Prasista, Putu Amalia Diva, Wijaya, Ketut Kasta Arya, & Suryani, Luh Putu. (2022). Pengaturan Tanah Terlantar dalam Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pertanahan. Jurnal Konstruksi Hukum, 3(3), 515�520.

 

Ramli, Asmarani. (2012). Telaah atas Reforma Agraria untuk Keadilan dan Kesejahteraan dalam Tataran Teori Kebenaran. AMANNA GAPPA, 47.

 

Rasyid, Suardin Abd, Lapasere, Ritha Safithri, & Nutfa, Moh. (2022). KETIMPANGAN PENGUASAAN TANAH, KEMISKINAN, DAN STRATEGI BERTAHAN HIDUP MASYARAKAT PETANI DI DESA LANGALESO KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI. Journal of Syntax Literate, 7(8).

 

Rubaie, Achmad. (2007). Hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Bayumedia Pub.

 

Salim, M. Nazir, & Utami, Westi. (2020). Reforma agraria, menyelesaikan mandat konstitusi: Kebijakan reforma agraria dan perdebatan tanah objek reforma agraria. STPN Press.

 

Sucianti, Nadya. (2004). Land Reform Indonesia. Lex Jurnalica, 1(3), 17977.

 

Utomo, Setiyo. (2021). Percepatan reforma agraria untuk mencapai keadilan. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, 4(2), 202�213.

 

Yogatiyana, Nana, & Hidayatullah, Mohammad Arief. (2022). Eksistensi Hak Tanah Ulayat Masyarakat Adat dalam Hukum Tanah di Indonesia. ANWARUL, 2(4), 323�333.

 

Copyright holder:

Mahmud Hi. Umar*, Suwarti, Nurlaila Kadarwati Papuluwa (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: