Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
IMPLEMENTASI PRUDENTIAL� PRINCIPLE YANG DITERAPKAN OLEH NOTARIS DALAM
PENERIMAAN UANG TITIPAN BPHTB DAN UANG PEMISAH SERTIFIKAT
Kenzodhy
Armando Syahputra1*, R. Rahaditya2
1*,2Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta
Email: 1*[email protected],
2[email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas penerapan prinsip
kehati-hatian oleh notaris dalam menerima uang pemisahan sertifikat tanah dan
pembayaran BPHTB. Sebagai pejabat publik, notaris memiliki peran penting dalam
memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat. Dalam
menjalankan tugasnya, notaris harus menjaga integritas dan kepercayaan
masyarakat dengan mematuhi UUJN dan PMPJ. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis-normatif dengan pendekatan Undang-Undang dan pendekatan kasus. Analisis
data dilakukan secara kualitatif. Dalam penerimaan uang titipan, notaris harus
memastikan identitas klien, memverifikasi data dengan teliti, dan menjaga
transparansi serta akuntabilitas. Meskipun tidak ada aturan eksplisit yang
memperbolehkan notaris menerima pembayaran pajak BPHTB, diketahui beberapa
kasus menunjukkan notaris menerima uang titipan dari klien untuk pembayaran
pajak tersebut, meskipun hal ini berada di luar kewenangan formal. Tanggung
jawab notaris didasarkan pada prinsip kesalahan, yang mencakup adanya
perbuatan, unsur kesalahan, kerugian, dan hubungan kausalitas. Kesalahan
notaris dapat melibatkan tanggung jawab perdata, administratif, dan pidana.
Oleh karena itu penerapan prinsip kehati-hatian, integritas moral, dan
kepatuhan terhadap hukum adalah kunci untuk menjaga tanggung jawab notaris dan
kepercayaan masyarakat pada profesi tersebut. Berdasarkan penelitian ini,
diharapkan agar notaris mematuhi prinsip kehati-hatian, memahami batas
wewenangnya, dan menghadapi pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang
berlaku.� Pengawasan ketat dan sanksi
tegas diperlukan untuk menciptakan kesadaran dan efek jera bagi notaris.
Regulasi terkait peran notaris dalam pembayaran pajak perlu ditinjau ulang, dan
masyarakat perlu diberi penyuluhan mengenai pembayaran BPHTB agar dapat
mencegah risiko permasalahan dengan notaris. Langkah-langkah ini diharapkan
meningkatkan integritas notaris, kepercayaan masyarakat, dan menjaga kepastian
hukum di Indonesia.
Kata Kunci: Notaris, Prinsip Kehati-Hatian,
Uang Pemisah Sertifikat, BPHTB.
Abstract
This research explores the implementation of the Prudential Principle by
notaries in handling land certificate separation fees and BPHTB payments. As
public officials, notaries play a crucial role in providing legal certainty and
protection to the public. In executing their duties, notaries must maintain
integrity and public trust by adhering to UUJN (Notary Law) and PMPJ (Principle
of Recognizing Service Users). The study employs a juridical-normative method
with legal and case-based approaches, conducting qualitative data analysis. In
the acceptance of entrusted funds, notaries are required to ensure client
identities, meticulously verify data, and maintain transparency and
accountability. Although there is no explicit rule allowing notaries to accept
BPHTB payments, some cases indicate notaries receiving funds from clients for
these payments, albeit beyond their formal jurisdiction. Notarial
responsibilities are based on the principle of error, encompassing actions,
elements of fault, losses, and causality. Notarial errors can result in civil,
administrative, and criminal liabilities. Therefore, the application of Prudential,
moral integrity, and compliance with the law are pivotal in preserving notarial
responsibilities and public trust in the profession. This study emphasizes the
importance of notaries adhering to prudence, understanding their boundaries,
and facing legal accountability. Strict supervision and stringent penalties are
necessary to raise awareness and deter notarial misconduct. Regulations
concerning the notary's role in tax payments need reassessment, and the public
should be educated about BPHTB payments to prevent issues with notaries. These
measures are anticipated to enhance notarial integrity, public confidence, and
legal certainty in Indonesia.
Keywords: Notary, Prudential Principle, Certificate Separation Funds, BPHTB.
Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara yang berlandaskan hukum, hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,
sebuah negara harus dapat memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakatnya. Hukum sendiri memiliki peran khusus dalam mencapai suatu kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum, hal ini terjadi karena hukum memiliki
tujuan untuk terciptanya keteraturan di masyarakat. Salah satu pejabat pada
lingkup publik di Indonesia yang memiliki peran dalam memberikan kepastian
serta perlindungan hukum pada masyarakat yaitu notaris.
Jabatan notaris
diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU RI)
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris disebut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) (Adjie,
2008). UUJN memiliki
tujuan sebagai pedoman seorang notaris untuk memangku
peran penting dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat dan diharapkan sebagai landasan seorang notaris mengambil suatu tindakan hukum dalam menjalankan tugasnya. Peran seorang notaris yaitu berpartisipasi
dalam pergerakan pembangunan nasional yang semakin kompleks dan meningkat, disertai dengan suatu kepastian
hukum serta layanan jasa maupun
produk-produk hukum yang dihadirkan oleh notaris itu sendiri.
Dalam melaksanakan tugasnya, notaris menawarkan beberapa jasa terhadap masyarakat,
diantaranya adalah pemisahan sertifikat tanah dan jasa layanan mengenai pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut BPHTB). Pemisahan sertifikat tanah merupakan proses memecah sertifikat tanah menjadi beberapa
bagian. Di dalam pemisahan sertifikat tanah terdapat uang pemisahan yang merupakan biaya yang harus dibayarkan atas suatu pihak yang bersangkutan atas pembagian dan pemisahan hak atas tanah
melalui notaris. Apabila berlandaskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris, seorang notaris wajib meminta
uang pemisahan sebelum melakukan penerbitan sertifikat tanah atau bangunan yang berkaitan dengan transaksi jual beli. Uang pemisah tersebut akan disimpan
di rekening khusus notaris dan hanya akan digunakan untuk pembayaran biaya-biaya yang berkenaan atas pembuatan akta notaris serta
penerbitan sertifikat.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB yaitu sebuah pajak yang dapat dihasilkan atas perolehan hak atas tanah
atau bangunan. Jika dilihat pada Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (UU PDRD), menjelaskan
bahwa waktu di mana pembayaran dari BPHTB mulai ditetapkan pada saat akta peralihan
haknya dibuat dan ditandatangani pihak yang berkuasa yaitu PPAT. Di mana
BPHTB harus dibayarkan ketika akta peralihan
hak atas tanah dilakukan. Dikarenakan terdapat kewajiban pembayaran BPHTB yang mengakibatkan jangka waktu terhadap transaksi yang telah dilakukan di depan notaris, dengan peralihan hak yang dilakukan dihadapan PPAT yang terlibat, dan juga para pihak
yang terlibat dalam transaksi tersebut biasanya melimpahkan semua urusan maupun
memberikan sebagian uang untuk biaya BPHTB dengan menitipkannya pada notaris yang akan membuatkan akta peralihan hak atas
tanahnya dikarenakan kesibukan dari para pihak.
Pada dasarnya, pemungutan biaya BPHTB menggunakan sistem self assessment, sistem ini memberikan wajib pajak kepercayaan
untuk menghitung dan melakukan pembayaran sendiri atas pajak
terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Dalam pengurusan perhitungan dan pembayaran pajak nyatanya pihak ketiga lebih
banyak berperan aktif dibandingkan wajib pajak itu
sendiri, ini terjadi dikarenakan wajib pajak tidak
memiliki waktu dan juga biasanya para wajib pajak belum memahami
dengan aturan mengenai BPHTB. Sehingga, notaris sebagai bentuk bagian pelayanan
terhadap masyarakat membuka suatu jasa
pelayanan pembayaran pajak dari penghadap
dalam hal ini berupa pembayaran
pajak BPHTB.
Notaris dalam membuka
jasa membantu klien untuk melakukan
pemisahan sertifikat dan menyetorkan uang pembayaran BPHTB
sendiri memiliki sisi baik tersendiri,
seperti dapat membantu klien agar tidak kesulitan melakukan setoran pajak mengenai peralihan hak atas
tanah atau bangunan (Leomuwafiq, 2019). Disatu sisi,
karena memiliki rentan waktu antara
perjanjian jual beli di hadapan notaris dan perjanjian jual beli di hadapan
PPAT, dan sementara uang pemisahan
sertifikat dan uang BPHTB yang diberikan
kepada notaris oleh pihak yang terlibat tersebut dalam jumlah besar, yang dapat membuat kemungkinan
terdapat suatu permasalahan hukum yang kemungkinan dapat dilakukan oleh klien maupun notaris itu sendiri.
Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN Tahun 2014, menyatakan mengenai tanggung jawab seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya, harus berlaku amanah, jujur, seksama, independen, tidak berat sebelah, dan melindungi sesuatu hal yang penting terhadap pihak yang terlibat di dalam perbuatan hukum. Karena
ciri utama dari notaris yaitu
tidak berat sebelah terhadap pihak yang berkepentingan dan tidak terpengaruh oleh siapa pun (Andasasmita, 1981). �Makna �seksama� dalam pasal ini
dapat diartikan sebagai hati-hati, cermat, dan teliti, maka ketika melaksanakan
tugasnya� notaris wajib berhati-hati saat melakukan suatu tindakan hukum.
Hal tersebut dapat dikaitkan dengan Prudential
Principle atau prinsip kehati-hatian yaitu di mana notaris dalam tindakannya
termasuk dalam menerima uang pemisah sertifikat dan pembayaran BPHTB memiliki tanggung jawab besar dalam
menjaga kepercayaan masyarakat dan juga terhadap institusi notaris. Dalam menjalankan tugasnya, notaris harus mengikuti
prinsip kehati-hatian untuk menjaga kepentingan
masyarakat yang telah diamanatkan kepadanya (Ariesta Rahman, 2018). Prinsip kehati-hatian
ini menjadi salah satu asas terpenting
yang harus diimplementasikan
oleh seorang notaris ketika melaksanakan tugas jabatannya. Wujud dari prinsip
kehati-hatian pada notaris dapat dilihat saat
seorang notaris melakukan sumpah jabatan, tercantum pada Pasal 4 ayat (2) UUJN, yaitu:
�bahwa saya akan menjalankan
jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak berpihak, bahwa saya, akan menjaga
sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode
etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris�
Makna kata dari amanah
dan jujur yang terkandung
pada Undang-Undang di atas merupakan cerminan sebuah sikap kehati-hatian
seorang notaris saat memberikan informasi yang jujur dan terpercaya mengenai segala informasi yang diperlukan pihak yang terlibat dalam transaksi. Prinsip kehati-hatian pada dasarnya merupakan sebuah landasan atas tindakan
pencegahan ketika melaksanakan tugas dengan harapan terhindar dari masalah hukum yang akan datang di kemudian hari (Fathonah, 2020).
Dalam menjalankan tugasnya, notaris wajib untuk taat
terhadap hukum maupun peraturan yang telah ditentukan dan tidak memihak terhadap
pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian ini, notaris dapat
membantu mewujudkan tugasnya secara adil dan aman bagi
pihak-pihak yang terlibat,
dan diharapkan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian ini notaris akan jauh
dari masalah-masalah hukum yang bisa terjadi karena kelalaian dari notaris tersebut. Apabila dilihat dari penerapannya masih banyak notaris
yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian ini dan akhirnya menjadi masalah hukum bagi notaris
tersebut. Terdapat suatu permasalahan hukum yang masih sering dijumpai ketika notaris menjalankan tugasnya yaitu adanya penyalahgunaan
atau penggelapan uang titipan yang klien beri terhadap seorang
notaris atau pihak yang terlibat atas proses tersebut. Diketahui ini dapat
terjadi jika notaris tidak memiliki
integritas yang baik atau merasa tergoda
oleh uang titipan tersebut.
Seperti dalam perkara
Putusan Nomor 285/pid/2021/PT.Bdg yang di mana terdakwa notaris/PPAT H. Surjadi
Jasin, SH. membuat suatu tindakan melawan hukum dalam� menjalankan kewajiban tugasnya, terdakwa notaris/PPAT H. Surjadi
Jasin telah melakukan penggelapan uang titipan pajak pembeli, akta pelepasan hak, PNBP, dan BPHTB sejumlah
Rp.2.162.500.000,- (dua milyar seratus
enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiah), di
mana terdakwa terbukti memakai sebagian dari sejumlah uang tersebut demi kepentingan terdakwa dan tidak melalui izin pemilik.
Hal tersebut merupakan
suatu kelalaian bagi terdakwa dalam
melakukan kewajiban tugasnya dan mengurangi kepercayaan dari para pihak yang bersangkutan, yang di
mana jabatan notaris/PPAT sebagai pihak terpercaya
dan independen. Maka dengan
tidak dilaksanakannya pengurusan surat-surat dan pembayaran pajak pembelian tersebut sesuai dengan apa
yang dijanjikan oleh terdakwa
notaris/PPAT H. Surjadi Jasin, SH, perbuatan terdakwa tersebut dituntut oleh penuntut umum melanggar
Pasal 374 KUHP. Maka permasalahan pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Implementasi Prudential Principle oleh
notaris di dalam menerima uang pemisah sertifikat dan pembayaran BPHTB?
2. Apakah notaris memiliki kewenangan untuk menerima dan membayarkan
uang pajak BPHTB ke kas Negara?
Penelitian
ini memiliki tujuan untuk menganalisis
tentang penerapan prinsip kehati-hatian oleh notaris di dalam menerima uang pemisah sertifikat dan pembayaran BPHTB
dan untuk mengetahui kewenangan notaris dalam menerima dan membayarkan titipan uang pemisah sertifikat dan pembayaran pajak BPHTB ke kas negara. Penelitian ini diharapkan dapat memperbanyak wawasan dan ilmu pengetahuan bagi peneliti serta memberikan manfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak terkait mengenai penerapan prinsip kehati-hatian oleh notaris di dalam menerima uang pemisah sertifikat dan pembayaran BPHTB. Penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan suatu acuan dalam
menyampaikan sudut pandang mengenai penerapan prinsip kehati-hatian oleh notaris di dalam menerima uang pemisah sertifikat dan pembayaran BPHTB.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode yuridis-normatif. Tujuannya adalah untuk mencari sebuah kebenaran ilmiah
dalam masalah-masalah yang menjadi pembahasan dengan cara menganalisis serta
mengartikan hal-hal yang bersifat teoritis, antara lain seperti konsep-konsep
hukum, asas-asas, doktrin, serta norma. Metode penelitian dibuat dengan
menelaah sumber-sumber hukum kepustakaan yang berhubungan dalam isu hukum yang
menjadi pembahasan di penelitian ini (Ishaq,
2017).
Sifat penelitian itu yaitu bersifat
deskriptif, yang memiliki makna yaitu suatu
cara dalam menyelesaikan suatu masalah yang sedang dikaji melalui penjelasan detail mengenai kondisi atau keadaan
objek dan subjek yang terlibat, yang di mana dalam hal ini dapat
berupa seseorang, lembaga, serta masyarakat yang didasarkan kepada kebenaran yang ada (Kadarudin,
2021).
Penelitian ini menggunakan
dua jenis pendekatan diantaranya pendekatan Undang-Undang (statute approach), selanjutnya case approach (pendekatan
kasus). Statute approach merupakan
pendekatan yang meneliti seluruh peraturan, dalam hal ini
mempunyai keterlibatan dengan isu hukum
yang sedang diteliti, dengan tujuan untuk
menemukan konsistensi dan keselarasan antara suatu Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya dengan tujuan untuk menyelesaikan
isu hukum pada penelitian.
Pada penelitian ini akan memakai
dua sumber yaitu:
a)
Hukum Primer
Bahan hukum primer, menurut Marzuki (2005) menyebutkan bahwa
penelitian memiliki bahan hukum yang mengikat dan memiliki validitas, pada penelitian ini dapat berupa
suatu Undang-Undang dan catatan yang sah. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dari
itu penelitian ini akan menggunakan
bahan hukum primer, diantaranya adalah:
1. Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris disebut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN).
3. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
4. Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
5. Kode
Etik Notaris.
6.
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
b) Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder didefinisikan sebagai suatu bahan hukum
yang merupakan pelengkap dalam menguatkan dan menguraikan suatu keterangan dari bahan hukum primer yang selanjutnya dapat diteruskan sebagai suatu analisis serta pemahaman pandangan yang lebih yang jelas. Berdasarkan pendapat Marzuki (2005), bahan hukum
sekunder yang dipakai terkait penelitian hukum berupa seluruh
penerbitan terkait hukum meliputi dokumen-dokumen yang tidak resmi. Hal tersebut menyebabkan adanya suatu penguatan dasar hukum yang menghasilkan suatu analisa hukum yang sesuai. Berdasarkan penjelasan tersebut, pada penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder diantaranya berupa buku-buku dan jurnal yang membahas hukum, serta artikel yang berkaitan tentang hukum.
Bahan Non-hukum
Di dalam suatu
penelitian hukum, bahan non-hukum dibutuhkan untuk melakukan suatu proses identifikasi dan untuk menganalisis fakta. Hal tersebut dikarenakan dalam suatu penelitian
sering ditemukannya fakta atau masalah
yang kompleks, sehingga dalam hal itu
diperlukan suatu pemahaman tertentu untuk memahami masalah tersebut (Marzuki, 2005). Penelitian ini
pada bahan non-hukum yang digunakan diantaranya yaitu dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus
Hukum.
Pada proses pengumpulan data dimulai melalui pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, berupa penggabungan bahan-bahan yang dikerjakan menggunakan studi kepustakaan (library
research), merupakan pengkajian
informasi tentang hukum secara tertulis,
yang diambil dari berbagai sumber yang mana diperlukan dalam jenis penelitian hukum normatif. Pada teknik pengolahan data yang digunakan adalah suatu penyusunan bahan yang berdasarkan pada suatu kegiatan pengelompokan. Dalam penyusunan pengelompokan ini sesuai dengan kategori
atas bahan hukum yang telah dikumpulkan dan data hasil penelitian pada penyusunannya dibuat secara beraturan
dan logis.
Dalam penelitian ini teknik analisis
data yang digunakan yaitu teknik analisis kualitatif. Teknik ini dilakukan dengan cara bersama-sama terhadap pengambilan data dan metode normatif. �Data diambil melalui penelitian-penelitian terdahulu yang telah dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Selanjutnya dilakukan analisis data dan juga pengelompokan
untuk memahami dan memecahkan permasalahan yang ada pada penelitian ini. Keteraturan, ketertiban dan kecermatan merupakan hal yang dituntut dalam penelitian kualitatif yang di
mana data yang satu dengan
data lainnya ialah suatu permasalahan yang akan diungkapkan (Mamik, 2015).
Hasil dan Pembahasan
A.
Implementasi Prudential Principle oleh
Notaris di Dalam Menerima Uang Pemisah Sertifikat dan Pembayaran BPHTB
Prudential Principle atau prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang mengharuskan seorang notaris untuk memperhatikan dan menimbang segala kemungkinan dampak atau risiko yang mungkin terjadi atas tindakannya dalam menjalankan tugasnya sebagai notaris. Adapun tujuan dari penerapan prinsip kehati-hatian yaitu agar notaris lebih berhati-hati dalam menjalankan profesinya. Selain itu, penerapan prinsip kehati-hatian ini juga dapat dilihat dalam Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ), yang berarti secara tidak langsung pemerintah juga mengharuskan notaris untuk berlaku berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Dalam Pasal 2 Permenkumham No. 9 Tahun 2017 mengenai PMPJ disebutkan bahwa notaris wajib menerapkan PMPJ yang meliputi tiga kegiatan, yaitu (Rahma, 2018):
(a) Identifikasi pengguna jasa.
(b) Verifikasi pengguna jasa.
(c) Pemantauan transaksi pengguna jasa.
Sebagai pejabat umum, tugas utama notaris yaitu melayani masyarakat dengan harapan mampu memberikan sumbangan bagi pembangunan hukum nasional. Notaris memberikan beberapa pelayanan terhadap masyarakat, diantaranya adalah jasa pelayanan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB merupakan pajak yang awalnya menjadi kewenangan pemerintah pusat namun setelah adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Pemungutan BPHTB yang awal mulanya merupakan wewenang pemerintah pusat berubah menjadi kewenangan daerah untuk memungutnya.
Dalam hal ini pembayaran pajak BPHTB merupakan kewenangan bagi para wajib pajak dan bukan wewenang seorang notaris. Wajib pajak disini adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan. Melihat keadaan sekarang, banyak wajib pajak yang menitipkan pembayaran BPHTB kepada notaris dan terlihat juga beberapa notaris menerima penitipan tersebut, namun biasanya pajak tersebut atas nama wajib pajak pribadi.
Melihat fenomena ini, notaris sebagai pejabat secara tidak langsung memberikan kemudahan bagi para wajib pajak untuk dapat menyetorkan pajaknya. Jika dilihat dari segi aturan, notaris sendiri sebetulnya tidak memiliki wewenang dalam menerima dan membayarkan uang pembayaran tersebut, akan tetapi tidak terdapat larangan notaris untuk membantu klien. Prinsip kehati-hatian memiliki peranan yang sangat penting dalam hal penerimaan uang titipan oleh notaris, dikarenakan jumlah uang titipan dalam jumlah besar dapat menimbulkan permasalahan hukum apabila tidak diatasi dengan kehati-hatian, salah satu permasalahan hukum yang mungkin terjadi adalah ketika seorang notaris dengan sengaja mengambil dan menggunakan hak atas sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain.
Adapun bentuk prinsip kehati-hatian (prudentiality principle) yang seharusnya dilakukan notaris dalam proses penerimaan uang titipan yaitu (Saputra, 2022):
1)
Melakukan pengenalan
terhadap identitas klien.
2)
Memverifikasi secara
cermat data subjek dan objek klien.
3)
Menanyakan, mendengarkan,
mencermati keinginan atau kehendak klien.
4)
Bertindak hati-hati,
cermat dan teliti dalam proses pengerjaan.
5)
Memenuhi segala teknik
administrasi seperti kwitansi.
6) Memeriksa
bukti surat yang berkaitan dengan penitipan uang.
Bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian seperti ini sudah seharusnya
dimiliki oleh seorang notaris agar dapat mencegah timbulnya permasalahan hukum terhadap penerimaan uang titipan yang dibuatnya di kemudian hari (Manuaba et al., 2018). Untuk
meminimalisir timbulnya permasalahan hukum dalam melaksanakan tugas notaris, maka notaris harus
mengedepankan kaidah yang terkandung dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN 2014, menyatakan salah satu tanggung jawab seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya, harus berlaku amanah jujur, seksama, independen, tidak berat sebelah, dan melindungi sesuatu hal yang penting terhadap pihak yang terlibat di dalam perbuatan hukum.
Selanjutnya Notaris sekaligus dosen Universitas Sriwijaya Agus Trisaka melihat bahwa prinsip kehati-hatian ini sebagai langkah praktis yang dapat diambil oleh notaris untuk memastikan bahwa semua tindakan dan keputusan yang diambil dalam melaksanakan tugas notaris didasarkan pada kebenaran, keakuratan, dan integritas hukum, dikarenakan prinsip kehati-hatian melibatkan pemeriksaan yang cermat terhadap dokumen dan informasi yang terkait dengan perjanjian yang dilakukan oleh notaris.
Penerapan prinsip kehati-hatian harus berjalan sesuai dengan prinsip kehati-hatian notaris, apabila terjalin hubungan yang baik antara notaris dan para pihak, maka pelanggaran hukum dapat dihindari. Penerapan prinsip kehati-hatian yang diterapkan seorang notaris dalam proses penerimaan uang titipan sebagaimana wawancara dengan Notaris Tommy Graha Putra, adalah sebagai berikut:
1) Sikap
Jujur sebagai Dasar Utama
Kejujuran merupakan dasar utama bagi
seorang notaris. Dalam hal penitipan uang, notaris memiliki tanggung jawab untuk menyalurkan sejumlah uang milik orang lain ke pihak berwenang.
Kepercayaan ini harus dijaga, karena
ketidakjujuran notaris dapat menimbulkan risiko hukum dan melanggar prinsip profesi sebagai seorang profesional hukum
2) Bersikap
Teliti dengan Melakukan Pengecekan terhadap Identitas Klien
Dalam menjalankan tugasnya, terlebih dahulu seorang notaris akan menanyakan alasan kepentingan melakukan penitipan uang tersebut dan seorang notaris juga akan melakukan pengenalan terhadap identitas klien dengan memeriksa
dokumen identitas resmi seperti kartu
identitas yaitu Kartu Tanda Penduduk atau Passport serta mencocokkan foto pemilik identitas agar mencegah pemalsuan identitas, dilanjutkan dengan memverifikasi secara cermat data subjek maupun objek
klien tersebut melalui pengecekan dan pencocokan dokumen-dokumen yang diperlihatkan klien.
3) Notaris
Memberikan Kwitansi kepada Klien
Notaris memberi kwitansi kepada klien
dengan pernyataan telah dititipkan uang pajak BPHTB yang telah dicantumkan
jumlah nominal uang titipan tersebut. Dalam memastikan bahwa tidak terjadi
suatu kesalahan atau kelalaian dalam proses penerimaan uang titipan pembayaran
tersebut, dapat dilakukan dengan menghitung terlebih dahulu jumlah pajak yang
akan disetor dan menunjukkan juga ke klien secara transparan agar tidak terjadi
kesalahpahaman di kemudian hari.
4) Menjaga
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Proses Penerimaan Pembayaran
Notaris harus tetap
hati-hati dan mematuhi hukum serta etika
profesi saat menerima uang titipan BPHTB. Untuk menjaga transparansi,
notaris dapat melakukan scan bukti pembayaran BPHTB dalam format
PDF. Jika klien meminta dokumen fisik, notaris memberikan dokumen asli kepada
klien.
5) Melakukan
Dokumentasi
Dokumentasi adalah langkah
kunci dalam menjaga integritas dan kepatuhan hukum dalam proses uang titipan oleh notaris. Notaris harus membuat kontrak
perjanjian dengan klien, mencatatnya dalam kwitansi dengan detail pembayaran, dan jika melibatkan pajak BPHTB, menunjukkan bukti pembayaran pajak yang sah. Dokumentasi juga mencakup pengisian formulir pajak, pelaporan, serta penyimpanan catatan lengkap dan internal terkait semua transaksi
uang titipan.
6) Mengarsipkan
Dokumen yang Terkait dengan Proses Pembayaran
Sebagai seorang notaris harus melakukan pengarsipan yang teliti terhadap semua dokumen dan data yang berkaitan dengan tugasnya. Notaris harus mempertimbangkan
untuk menyimpan catatan yang berhubungan dengan uang titipan tersebut untuk memastikan kelengkapan dan keamanan dokumen. Hal ini bertujuan agar dokumen-dokumen tersebut tetap terjaga, dapat ditemukan kembali dengan mudah, dan tidak dikendalikan oleh pihak yang tidak berwenang.
7) Notaris
Memiliki Rekening Terpisah Antara Rekening Pribadi dan Rekening Uang Titipan
Dengan membuat rekening
terpisah, notaris memisahkan dana transaksi dari dana pribadi dan pihak lain. Ini bertujuan untuk melindungi kepentingan semua pihak, memastikan
penggunaan dana sesuai perjanjian, dan mencegah penyalahgunaan. Rekening terpisah menjaga keamanan dana klien dalam sengketa hukum dan mempermudah proses
audit oleh otoritas yang berwenang.
8) Bertanggung
Jawab
Bertanggung jawab berarti
notaris harus menyelesaikan tugasnya tanpa menimbulkan masalah hukum, khususnya dalam penerimaan uang titipan sesuai prosedur.
Sudah seharusnya apabila notaris menerima uang titipan langsung membayarkan uang tersebut, apabila notaris dalam menerima uang titipan tidak amanah atau tidak bertanggung jawab dan menggunakan uang tersebut sebagai kepentingan pribadi, maka notaris harus mengganti uang tersebut. Jika notaris tersebut bertindak dengan hati-hati, maka dapat mengurangi risiko kerugian finansial yang menyebabkan ia harus mengganti uang titipan tersebut, dikarenakan prinsip kehati-hatian membantu notaris menghindari kesalahan dalam pengecekan dokumen, mengevaluasi risiko, dan memastikan keabsahan transaksi secara keseluruhan. Namun, jika notaris tersebut terbukti melakukan kesalahan, sudah menjadi tanggung jawab notaris itu sendiri untuk menerima sanksi apabila terjadi suatu permasalahan hukum yang melibatkan uang titipan yang telah dipercayakan padanya.
Adapun menurut Tommy Graha Putra selaku Notaris di Kota Palembang menyarankan agar seorang notaris dapat menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya. Dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, notaris menunjukkan komitmennya terhadap integritas dan sikap profesionalisme yang tinggi. Hal ini dilakukan dengan tujuan notaris selalu dalam rambu-rambu yang benar, dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian beliau sebagai notaris berharap kepercayaan masyarakat terhadap notaris tetap tinggi, sehingga masyarakat di Indonesia bersedia dan tidak ragu-ragu menggunakan jasa notaris.
B. Kewenangan
Notaris untuk Menerima dan Membayarkan Uang Pajak BPHTB ke Kas Negara
Kewenangan atau authority diartikan sebagai kekuasaan yang dilembagakan atau diformalkan dan memiliki pengaruh dan kemampuan melakukan tindakan hukum public (Wijaya, 2011). Kewenangan juga merupakan hak yang dimiliki oleh negara atau lembaga pemerintahan berupa wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan tertentu untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab seseorang sebagai warga negara atau lembaga pemerintah. Seseorang yang memiliki kewenangan akan suatu hal tertentu, maka dirinya harus bertanggung jawab mengemban tugas dan wewenang yang telah diberikan tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, dasar setiap tindakan dari teori kewenangan ini sendiri didasarkan dari kewenangan yang sah yaitu peraturan perundang-undangan yang diperoleh melalui tiga cara yaitu kewenangan yang diperoleh melalui atribusi, kewenangan yang diperoleh melalui delegasi, dan kewenangan yang diperoleh dari mandat (Gandara, 2020):
1.
Kewenangan atribusi, kewenangan yang
diperoleh dari atribusi mutlak berasal dari pemberian kekuasaan melalui
Undang-Undang.
2.
Kewenangan delegasi, dalam delegasi
tidak dapat menciptakan dan memperluas wewenang yang ada hanya pelimpahan
wewenang dari organ/badan dan atau pejabat pemerintahan lain dan secara yuridis
tanggung jawab delegasi berpindah dari pemberi ke penerima delegasi.
3.
Kewenangan mandat yaitu
diperoleh dari pelimpahan wewenang yang diberikan dari pemberi mandat kepada penerima
mandat biasanya terdapat di dalam intern pemerintahan biasa terjadi antara
atasan dan bawahan kemudian mandat dapat ditarik kembali atau digunakan
sewaktu-waktu oleh pemberi kewenangan sedangkan tanggung jawab dan tanggung
gugat berada pada pemberi mandat.
Berdasarkan UUJN, notaris sebagai pejabat umum memperoleh kewenangan secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan oleh UUJN sendiri dan wewenang tersebut bukan berasal dari
lembaga lain seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (Adjie, 2008).
Notaris sebagai pejabat umum mempunyai
beberapa wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUJN, wewenang-wewenang
tersebut antara lain: Notaris berwenang membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/
atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh Undang-Undang.
Notaris berwenang pula:
1. Mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus.
2. Membukukan
surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
3. Membuat
salinan dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. Suatu
wewenang tidak muncul begitu saja, tetapi suatu wewenang harus dinyatakan
secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Notaris sebagai suatu jabatan, dan setiap jabatan di negara ini memiliki wewenangnya masing-masing. Setiap wewenang harus memiliki dasar hukum yang jelas, apabila seorang pejabat melakukan tindakan diluar wewenangnya, maka disebut sebagai perbuatan melanggar hukum. Dikarenakan wewenang notaris didasarkan pada Undang-Undang, Notaris diwajibkan untuk selalu berpedoman pada UUJN dan Kode Etik Profesi. Kode Etik dipahami sebagai norma dan peraturan mengenai etika baik yang tertulis maupun tidak tertulis dari suatu profesi yang fungsinya sebagai pengingat berperilaku bagi para anggota organisasi profesi (Indonesia, 2008).
Notaris memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat, termasuk pelayanan pembayaran BPHTB. Salah satu sumber potensi perolehan pajak yang perlu digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah jenis pajak BPHTB. BPHTB merupakan pajak yang dikenakan oleh perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Adapun waktu di mana pembayaran BPHTB ini mulai ditetapkan yaitu pada saat proses transaksi akta peralihan hak atas tanah maupun bangunan dibuatkan dan ditandatangani pihak yang memiliki kuasa yaitu Notaris/PPAT yang berwenang untuk membuat akta autentik.
Di mana BPHTB harus dibayarkan pada saat akta peralihan hak atas tanah dilakukan atau dibuat. Pemungutan biaya BPHTB pada prinsipnya menganut sistem selfassessment, yang mana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Dalam konteks ini, notaris bertindak sebagai pihak perantara yang bersifat independen, meskipun jika dilihat dari segi aturan notaris tidak memiliki kewenangan dalam membayarkan uang tersebut. Adapun alasan wajib pajak itu menitipkan uang BPHTB tersebut kepada notaris, karena wajib pajak tidak memiliki waktu dan juga beberapa wajib pajak tidak mengetahui aturan terkait BPHTB.
Notaris yang menerima penitipan atas pembayaran BPHTB memiliki niat untuk membantu dan memperlancar proses transaksi pihak yang tidak mengerti akan pembayaran BPHBTB dan notaris sebagai pejabat umum yang dianggap lebih memahami prosedur pembayaran pajak tersebut sebaiknya membantu dalam melaksanakan pembayaran pajak namun tidak berhak untuk memungut biaya atas penitipan tersebut. Selanjutnya Notaris Agus Trisaka mengungkapkan meskipun tidak ada aturan yang mengatur kewenangan notaris terkait penitipan pembayaran BPHTB, namun demi kelancaran dalam melaksanakan tugas profesi notaris maka seorang PPAT muncul untuk memberikan informasi sekaligus sebagai �first gate� (gerbang pertama) dalam pengamanan penerimaan BPHTB sebelum melakukan akta jual beli.
C. Tanggung
Jawab Notaris atas Penggelapan Terkait Uang Titipan Pembayaran
����������� Kedudukan seorang notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu pejabat yang mendapatkan amanat dari negara yang diberikan tugas, kewajiban, wewenang dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum di bidang keperdataan. Notaris dalam menjalani tugasnya dapat dibebani suatu tanggung jawab atas perbuatannya. Dalam rangka menegakkan hukum, notaris mengemban amanat yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. Frans mengemukakan setiap notaris dituntut untuk memiliki moral yang menjadi dasar kepribadian profesional hukum dari diri notaris itu sendiri yaitu sebagai berikut (Tjahjadi, 1991):
1. Jujur, apabila notaris melaksanakan
tugasnya tidak disertai dengan sifat yang jujur, dapat dikatakan bahwa professional hukum telah mengingkari tujuan profesinya.
2. Autentik,
yaitu menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya dan tidak melakukan perbuatan
merendahkan martabat profesi.
3.
Bertanggung jawab,
seorang notaris harus bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, bertindak
secara profesional tanpa membedakan perkara pembayaran dan perkara cuma-cuma.
Menurut Syukran & Umillah (2023) tanggung jawab yang dimiliki seorang notaris menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan yang harus memenuhi empat unsur pokok, yaitu:
1. Adanya perbuatan;
2. adanya unsur kesalahan;
3. adanya kerugian yang diderita;
4. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
����������� Unsur pokok kesalahan tersebut merupakan poin penting yang harus dihindari oleh notaris. Perbuatan melanggar hukum oleh notaris, tidak hanya perbuatan yang melanggar hukum secara langsung, melainkan juga perbuatan pelanggaran peraturan yang berada dalam ruang lingkup kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat (Prodjodikoro, 2000).
Tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya. Terdapat doktrin mengenai tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain dapat dibedakan dalam tiga teori, yaitu (Larasati, 2023):
1. Tanggung
jawab kesalahan, kesalahan disini diberi makna yang luas yang juga mencakup
sifat melanggar hukumnya perbuatan, orang yang menimbulkan kerugian pada orang
lain bertanggung jawab sejauh kerugian itu merupakan akibat pelanggaran suatu
norma dan pelakunya dapat menyesali karena melanggar norma tersebut.�
2. Teori
tanggung jawab dengan pembalikan pembuktian pihak yang dirugikan wajib
membuktikan bahwa pelaku telah melakukan tindakan melanggar hukum, maka disini
pelanggaran norma dianggap ada dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan
anggapan atau persangkaan ini menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar
hukum.
3. Teori
tanggung jawab resiko seorang atasan bertanggung jawab atas kerugian atau
kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya perbuatan melanggar hukum tersebut
dilakukan dalam ruang lingkup tugasnya.
Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada pihak lain, maka diwajibkan untuk orang yang menyebabkan kesalahan atas kerugian tersebut untuk mengganti kerugian yang ia lakukan. Seperti halnya penitipan uang yang diberikan kepada notaris, beberapa pihak notaris sering kali melakukan penggelapan pada uang titipan, hingga pada akhirnya membuat kerugian pada pihak yang menitipkan uang tersebut.
Apabila dalam menerima uang titipan seorang notaris sudah benar-benar teliti, hati-hati dan sesuai peraturan hukum yang berlaku maka seorang notaris tidak akan terjerat pada kasus hukum. Sudah seharusnya apabila notaris menerima uang titipan langsung membayarkan uang tersebut, apabila notaris dalam menerima uang titipan tidak amanah atau tidak bertanggung jawab dan menggunakan uang tersebut sebagai kepentingan pribadi, maka akan diberikan sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Menurut Notaris Tommy Graha Putra mengemukakan apabila terjadi permasalahan hukum, seorang notaris harus bertanggung jawab penuh dengan perbuatannya, tanggung jawab tersebut dapat dilakukan dengan membayar ganti rugi bahkan sampai dikenakan hukuman sesuai dengan tingkat permasalahan hukum yang terjadi. Setiap aturan hukum yang berlaku, selalu ada sanksi yang menyertainya pada akhir aturan hukum tersebut.
Pada hakikatnya pemberian sanksi sebagai suatu paksaan ini berguna untuk menyadarkan masyarakat atau para pihak, bahwa tindakan yang telah dilakukannya tersebut telah melanggar ketentuan aturan hukum yang berlaku. Begitu pula sanksi yang ditujukan terhadap notaris, hal ini semata-mata sebagai bentuk penyadaran kepada notaris bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, maka seorang notaris harus mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku. Pemberian sanksi terhadap notaris juga merupakan upaya perlindungan yang diberikan kepada masyarakat, agar terhindar dari tindakan notaris yang merugikan. Sanksi tersebut juga memiliki fungsi untuk menjaga martabat lembaga notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena kepercayaan masyarakat dapat turun apabila notaris tersebut melakukan pelanggaran (Salamah & Iriantoro, 2022).
Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Adapun tanggung jawab yang dapat diberikan kepada notaris apabila melakukan pelanggaran hukum, diantaranya adalah:
1.
Tanggung Jawab Perdata, sanksi keperdataan
merupakan sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang terjadi akibat
wanprestasi maupun perbuatan yang melanggar hukum onrechtmatige daad.
2.
Tanggung Jawab
Administratif, selain
sanksi keperdataan dan pidana yang dijatuhkan terhadap notaris, terdapat pula
sanksi administratif bagi notaris yang diatur di dalam UUJN telah ditentukan
sebagai berikut:
a. Teguran
lisan;
b. teguran
tertulis;
c.
pemberhentian sementara;
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 13 UUJN,
notaris dapat diberhentikan secara tidak hormat ketika notaris berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dijatuhkan pidana penjara
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
3.
Tanggung Jawab Pidana, sanksi berupa hukuman
pidana adalah sanksi yang paling dihindari oleh seorang notaris karena sanksi
ini adalah sanksi yang paling berat. Jika notaris tersebut bertindak dengan
hati-hati, maka dapat mengurangi risiko kerugian finansial yang menyebabkan ia
harus mengganti uang titipan tersebut, dikarenakan prinsip kehati-hatian
membantu notaris menghindari kesalahan dalam pengecekan dokumen, mengevaluasi
risiko, dan memastikan keabsahan transaksi secara keseluruhan.
Namun, jika notaris tersebut terbukti melakukan kesalahan, sudah menjadi tanggung jawab notaris itu sendiri untuk menerima sanksi apabila terjadi suatu permasalahan hukum yang melibatkan uang titipan yang telah dipercayakan padanya. Maka dari itu, untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum yang dapat menjerat notaris, prinsip kehati-hatian memegang peranan penting bagi seorang notaris agar dapat terhindar dari permasalahan-permasalahan yang dapat timbul akibat ketidak hati-hatian. Seperti kasus penggelapan pajak yang telah dilakukan oleh notaris HSJ sudah sangat jelas bahwa ia tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, terlihat pada Putusan Nomor 285/pid/2021/PT. Bdg. bahwa terdakwa sudah melakukan perbuatan hukum yang diluar kewenangan jabatannya hingga menyebabkan kerugian, maka perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh notaris tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dalam hal ini notaris HSJ selaku terdakwa dalam menjalankan jabatannya selaku notaris di Kota Bandung dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara menerima putusan hakim didalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 212/Pid.B/2021/PN.Bdg jo. Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 285/PID/2021/PT BDG, dan menjalankan tuntutan pidana selama 2 tahun 3 bulan tersebut. Namun, terkait masalah kerugian yang dialami oleh Andrew Purnomo, pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban kepada terdakwa HSJ dengan cara mengajukan gugatan perdata atas permasalahan yang dialaminya. Selain itu, dikarenakan tindak pidana penggelapan tersebut melibatkan jabatan notaris/PPAT maka atas perbuatannya tersebut dapat dilaporkan kepada majelis kehormatan, sehingga notaris/PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi berdasarkan kode etik notaris/PPAT.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian serta pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam
hal penerapan prinsip kehati-hatian oleh notaris di dalam menerima uang pemisah
sertifikat dan pembayaran BPHTB, Notaris memiliki kewajiban untuk selalu
menerapkan prinsip kehati-hatian bukan hanya pada saat menerima titipan uang
saja akan tetapi setiap tindakan yang dilakukannya, prinsip kehati-hatian sudah
menjadi kewajiban sejak Notaris tersebut melakukan sumpah jabatannya, dimana
hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN, yang mana kata seksama dalam
pasal tersebut dapat diartikan sebagai selalu hati-hati. Selain itu, penerapan
prinsip kehati-hatian ini juga dapat dilihat dalam Prinsip mengenali Pengguna
Jasa (PMPJ), yang berarti secara tidak langsung pemerintah juga mengharuskan
notaris untuk senantiasa untuk berlaku berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.
Apabila
dilihat dalam kewenangan notaris untuk menerima dan membayarkan uang pajak
BPHTB ke kas Negara, jika dilihat dalam UUJN maka tidak ada satupun ketentuan
yang mengatur mengenai kewenangan notaris untuk menerima dan membayarkan BPHTB
melalui notaris. Dikarenakan pembayaran BPHTB sebenarnya murni sifatnya dibayar
oleh wajib pajak itu sendiri. Akan tetapi dalam prakteknya, notaris banyak yang
memberikan jasa untuk membantu membayarkan uang BPHTB yang mana dalam hal ini
notaris hanya sebagai perantara yang bersifat independen.dan juga dikarenakan
belumnya ada peraturan tertulis yang melarang, sehingga penitipan pembayaran
pajak ini masih dilakukan hingga sekarang.
Pertanggungjawaban
yang dapat dilakukan apabila notaris kelalaian ketika menerima titipan uang
pembayaran ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu pertanggungjawaban administrasi, pertanggungjawaban
secara perdata, pertanggungjawaban secara pidana kepada notaris
sendiri apabila notaris tersebut terbukti melakukan pelanggaran pidana yang tercantum dalam KUHP, dengan syarat pidana
terhadap notaris tersebut dilakukan dengan batasan bahwa notaris melakukan
perbuatan hukum terhadap aspek lahiriah.
BIBLIOGRAFI
Adjie, Habib. (2008). Hukum Notaris Indonesia
(Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris).
Bandung: Refika Aditama.
Andasasmita, Komar. (1981).
Notaris I. Bandung: Sumur Bandung.
Ariesta Rahman, Fikri.
(2018). Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Notaris Dalam Mengenal Para Penghadap. Jurnal
Lex Renaissance, 3(2), 423�440.
https://doi.org/10.20885/jlr.vol3.iss2.art11
Fathonah, Ricky Auliaty.
(2020). Kehati-hatian Notaris Terhadap Kebenaran Identitas dan Tanda Tangan
Penghadap Kaitannya dengan Pembuatan Akta. Retrieved from
https://repository.unair.ac.id/96574/4/4. BAB I PENDAHULUAN.pdf
Gandara, Moh. (2020).
Kewenangan Atribusi, Delegasi dan Mandat. Khazanah Hukum, 2(3),
92�99. https://doi.org/10.15575/kh.v2i3.8187
Indonesia, Ikatan Notaris.
(2008). Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan di Masa Datang.
Jakarta: PT. Gramedia.
Ishaq. (2017). Metode
Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi (1st ed.).
Bandung: CV. Alfabeta.
Kadarudin. (2021). Penelitian
di Bidang Ilmu Hukum (1st ed.). Semarang: Formaci.
Larasati, Rindiana. (2023).
Dinamika Sistem Pengawasan Notaris di Indonesia. Pekalongan: NEM.
Leomuwafiq, Ghazi. (2019).
Pertanggung Jawaban Notaris PPAT dalam Melakukan Pelayanan Pembayaran Pajak Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jurnal Media Hukum Dan
Peradilan, 101�115. Retrieved from
https://repository.ubaya.ac.id/35588/1/Ghazi Leomuwafiq_Pertanggungjawaban
Notaris PPAT.pdf
Mamik. (2015). Metodologi
Kualitatif (1st ed.). Sidoarjo: Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Manuaba, Ida Bagus
Paramaningrat, Parsa, I. Wayan, & Ariawan, I. Gusti Ketut. (2018). Prinsip
Kehati-hatian Notaris dalam Membuat Akta Autentitk. Jurnal Ilmiah Prodi
Magister Kenotariatan, 59�74.
Marzuki, Peter Mahmud.
(2005). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Prodjodikoro, Wirjono.
(2000). Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata.
Bandung: Mandar Maju.
Rahma, Helmi Fariska.
(2018). Tanggung Jawab dan Akibat Hukum Notaris Dalam Melakukan Identifikasi
dan Verifikasi Data Pengguna Jasa Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 9 (Program Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta). Retrieved from
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/7172/TESIS HELMI FARISKA
UII.pdf?sequence=1
Salamah, Sania, &
Iriantoro, Agung. (2022). Prinsip Kehati-Haian Dan Tanggungjawab Notaris Dalam
Membuat Akta Berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Jabatan
Notaris (Studi Kasus Putusan Nomor 457 PK/Pdt/2019). Jurnal Kemahasiswaan
Hukum & Kenotariatan, 1(2), 562. Retrieved from
https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/imanot/article/view/4437/2115
Saputra, Andi. (2022). Penerapan
Prinsip Kehati-Hatian Pembuatan Akta Kuasa Menjual Dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli Tanah. Universitas Islam Indonesia.
Syukran, Asfari, &
Umillah, An. (2023). Tanggung Jawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatan
Terhadap Protokol Notaris ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak
Nomor 119 / Pdt . G / 2013 / Pn . Ptk ). 6(1), 703�721.
Tjahjadi, S. P. Lili.
(1991). Hukum Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Wijaya, Firman. (2011). Delik
Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek. Jakarta: Penaku.
Copyright holder: Kenzodhy Armando Syahputra, R. Rahaditya (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |