Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PEREMPUAN
PADA TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Jessica Chandra
Fakultas Hukum, Tarumanagara
E-mail: [email protected]
Abstrak
Setiap manusia pada umumnya akan selalu
berdampingan dengan yang namanya perbedaan seperti perbedaan antara latar
belakang atau SARA, fisik, jenis kelamin dan juga banyak hal lainnya. Namun,
hal tersebut juga dapat menjadi permasalahan bagi tiap manusia antara lain
seperti individu dengan individu, antar individu dengan kelompok, dan juga
antar kelompok dengan kelompok. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan konflik
sebagai timbulnya pemicu tindak kekerasan atau kejahatan dalam lingkup
masyarakat. Tindak kekerasan menurut WHO, adalah penggunaan kekerasan atau
kekuatan fisik yang dilakukan secara sengaja atau terdapat unsur kesengajaan
yang berupa ancaman atau tindakan terhadap seseorang atau kelompok orang atau
masyarakat yang menyebabkan luka, kematian, kerugian psikologis, dan kelainan
perkembangan atau perampasan hak. Tindak kekerasan ini juga merupakan suatu
tindakan yang melanggar hak asasi manusia karena tindak tersebut tidak
mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai yang mencerminkan hak asasi manusia.
Salah satu contoh tindak kekerasan yang tidak mencerminkan hak asasi manusia
adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga atau yang
biasa dikenal dengan istilah KDRT merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, hingga penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kata Kunci: Perlindungan
Hukum; Korban; Perempuan; Tindak Kekerasan; Rumah Tangga.
Abstract
Every human being in general will always be side by side with differences
such as differences between background or SARA, physicality, gender and many
other things. However, this can also be a problem for each human being, such as
between individuals and individuals, between individuals and groups, and also
between groups and groups. These differences can cause conflict and trigger
acts of violence or crime within society. According to WHO, acts of violence
are the use of violence or physical force that is carried out intentionally or
contains an element of intent in the form of threats or actions against a
person or group of people or society which causes injury, death, psychological
harm, and developmental abnormalities or deprivation of rights. This act of
violence is also an act that violates human rights because this act does not
reflect the norms and values that reflect human rights. One example of an act
of violence that does not reflect human rights is domestic violence. Domestic
violence or what is commonly known as domestic violence is any act against
someone, especially women, which results in physical, sexual, psychological
misery or suffering, as well as domestic neglect, including threats to commit
acts, coercion or unlawful deprivation of liberty. in the household sphere.
Keywords: Legal Protection; Victim; Woman; acts of violence; Household.
Pendahuluan
Setiap manusia pada umumnya
akan selalu berdampingan dengan yang namanya perbedaan seperti perbedaan antara
latar belakang atau SARA, fisik, jenis kelamin dan juga banyak hal lainnya.
Namun, hal tersebut juga dapat menjadi permasalahan bagi tiap manusia antara
lain seperti individu dengan individu, antar individu dengan kelompok, dan juga
antar kelompok dengan kelompok. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan konflik
sebagai timbulnya pemicu tindak kekerasan atau kejahatan dalam lingkup
masyarakat.
Tindak kekerasan menurut
WHO, adalah penggunaan kekerasan atau kekuatan fisik yang dilakukan secara
sengaja atau terdapat unsur kesengajaan yang berupa ancaman atau tindakan
terhadap seseorang atau kelompok orang atau masyarakat yang menyebabkan luka,
kematian, kerugian psikologis, dan kelainan perkembangan atau perampasan hak (Lewoleba & Fahrozi,
2020). Tindak kekerasan ini juga
merupakan suatu tindakan yang melanggar hak asasi manusia karena tindak
tersebut tidak mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai yang mencerminkan hak
asasi manusia (Suryamizon, 2017).
Salah satu contoh tindak
kekerasan yang tidak mencerminkan hak asasi manusia adalah kekerasan dalam
rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasa dikenal dengan
istilah KDRT merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, hingga penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga (Wardhani, 2021).
KDRT ini biasanya dikenal
dengan pemukulan terhadap pasangan, penganiayaan terhadap pasangan, penyiksaan
terhadap pasangan, hingga kekerasan dalam pasangan terutama terhadap sang
istri. Perilaku kekerasan ini merupakan pengungkapan ekspresi diri terhadap
emosi melalui penampilan perilaku buruk akibat hilangnya kendali diri akibat
stres yang berkembang menjadi masalah fisik dan psikis yang membahayakan diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan (Risdian Abi, 2022).
Namun pada kenyataannya,
sangat sulit bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menceritakan
atau melaporkan penderitaan yang dialaminya kepada penegak hukum karena
sebagian besar korban beranggapan bahwa apa yang terjadi dalam keluarga, termasuk
penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya, adalah bagian dari urusan privat
atau urusan rumah tangga (Nebi, 2021).
Berdasarkan Survei
Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga dapat mempengaruhi dari beberapa faktor yaitu faktor
individu, faktor pasangan, faktor ekonomi, hingga faktor sosial budaya. Dilihat
dari Data SIMFONI PPA menunjukkan bahwa terdapat 8.764 korban perempuan yang
terlapor pada tahun 2020, 10.364 korban perempuan
yang terlapor pada tahun
2021, 11.538 korban perempuan yang terlapor pada tahun 2022, dan
8.592 korban perempuan hingga
saat ini pada tahun 2023.
Data dari Catatan
Tahunan Komnas Perempuan
pada tahun 2020, mencatat bahwa KDRT atau Ranah Personal masih menempati pada urutan pertama dengan jumlah 75,4% dibandingkan dengan ranah lainnya. Sedangkan bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus. Dari
11.105 kasus yang ada, maka sebanyak 6.555 atau 59% adalah kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap anak perempuan
juga meningkat 13%, dan juga kekerasan
terhadap pekerja rumah tangga.
Diantara kasus KDRT tersebut
didalamnya ada kekerasan seksual (marital rape
dan inses). Kasus kekerasan
seksual di ranah personal
yang paling tinggi adalah inses dengan jumlah
822 kasus. Dari data tersebut,
kita dapat melihat bahwa kasus
kekerasan dalam rumah tangga menjadi
persoalan penting di
Indonesia, karena sangat sering
terjadinya tindakan Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Peningkatan jumlah kasus kekerasan
dalam rumah tangga ini tentu
saja menjadi keprihatinan tersendiri bagi negara kita.
Dalam hal ini,
kekerasan dalam rumah tangga tidak
hanya menimpa istri atau suami
tetapi juga orang-orang yang ada
di dalam lingkup rumah tangga (Manan, 2018). Namun pada umumnya,
korban KDRT menimpa kaum perempuan yang dianggap sebagai makhluk yang lemah. Sejak dahulu
banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, salah satunya
adalah laki-laki yang selalu dianggap bertindak secara rasional, sedangkan perempuan selalu mendahulukan perasaan. Kekerasan demi kekerasan yang dialami oleh perempuan ternyata meninggalkan dampak traumatik yang sangat berat. Pada umumnya korban merasa cemas, stres,
depresi, trauma serta menyalahkan diri sendiri. Sedangkan akibat fisik yang ditimbulkan adalah memar, patah tulang,
kerusakan bagian tubuh bahkan kematian.
Meskipun di Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) serta telah mengesahkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT), namun angka kekerasan dalam lingkup domestik
tetap saja masih menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Padahal dengan Undang-Undang ini diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga,
khususnya perempuan dari segala tindak
kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Kementerian Perlindungan
Perempuan dan Anak (Kemen PPA), menyajikan data bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kekerasan dengan tingkat paling tinggi saat ini. Bentuk
KDRT tidak hanya kekerasan secara fisik, namun masih
ada bentuk lainnya dan lebih kompleks. Sehingga sangat dibutuhkan Undang-Undang yang dapat melindungi korban KDRT, khususnya terhadap perempuan yang lebih sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004, mengenai setiap kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Undang-Undang
tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan, penanganan secara khusus, pendampingan oleh pekerja sosial, dan pelayanan bimbingan kerohanian terhadap korban KDRT.
Tujuan ini adalah
untuk mengetahui bentuk KDRT, faktor penyebab terjadinya KDRT, dampak terhadap psikologis perempuan korban KDRT
dan upaya penangan terhadap perempuan korban KDRT serta perlindungan yang korban dapatkan. Sedangkan manfaat penelitian ini, hasilnya dapat
mengemukakan penyebab terjadinya KDRT terhadap perempuan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran mengenai KDRT.
Metode Penelitian
Metode pada
penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, dimana
dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif yang
bertujuan untuk mengkaji dan meneliti penerapan hukum terhadap permasalahan
dalam rumah tangga yaitu tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dari segi
ketentuan undang undang serta didukung oleh data yang disebut sebagai unsur
yuridis. Untuk mendapatkan data dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan
beberapa pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (Statue Approach).
Hasil dan Pembahasan
A. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan Pasal 1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga mencakup segala bentuk kekerasan yang disebabkan oleh karena adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban yang terjadi dalam rumah tangga (Meidianto & STK, 2021). Tindak kekerasan ini sering dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang atau pihak lain, namun karena kekerasan adalah bentuk kejahatan dan melanggar hak-hak asasi, maka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan pelanggaran hukum.
Menurut Fakhri Usmita (2017) �dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Kekerasan Rumah Tangga; Suatu Tinjauan Interaksionis, mengemukakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam kekerasan yang unik, dimana pelaku dan korban adalah orang yang telah saling mengenal sebelum peristiwa kekerasan terjadi, dan seharusnya saling menyayangi. Ironisnya, kekerasan dalam rumah tangga tidak jarang berupa pembunuhan atau penganiayaan berat. Biasanya yang menjadi korban kekerasan rumah tangga merupakan pihak perempuan atau pun istri, dan tidak jarang pula korban dari kekerasan rumah tangga adalah anak.
Kekerasan rumah tangga masih dianggap hal yang tabu, dikarenakan kekerasan tersebut terjadi dalam sebuah ikatan yang sangat sakral yaitu rumah tangga (Marwiyah & Si, 2015). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dalam sebagian rumah tangga di dunia, termasuk di Indonesia (Zahra, 2023).
Menurut Galtung, Kekerasan dalam arti luas adalah sebagai sesuatu penghalang yang seharusnya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar. Penghalang tersebut menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga bisa dihindari jika penghalang itu disingkirkan.
Menurut Johan Galtung, kekerasan dapat dibagi menjadi beberapa dimensi yaitu: a) Kekerasan fisik dan psikologis yaitu kekerasan yang berdampak pada jiwa seseorang (Zahra, 2023). Kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental atau otak (Rachminingsih, 2011). b) Pengaruh positif dan negatif yaitu seperti kekerasan yang terjadi dimana tidak hanya yang bersalah diberi hukuman, namun diberi imbalan apabila tidak bersalah. c) Ada obyek atau tidak yaitu apakah terdapat manusia yang disakiti atau tidak. d) Ada subjek atau tidak yaitu apakah dalam perbuatan kekerasan tersebut terdapat pelaku, maka perbuatan tersebut bersifat langsung, namun apabila tidak ada pelaku, maka perbuatan tersebut bersifat tidak langsung.
e) Disengaja atau tidak yaitu hal ini menjadi penting apabila seseorang melakukan suatu kejahatan dalam mengambil suatu keputusan. Galtung menekankan bahwa kesalahan yang walau tidak disengaja tetap merupakan suatu kekerasan, karena dilihat dari sudut korban, kekerasan tetap mereka rasakan, baik disengaja maupun tidak. f) Yang tampak dan yang tersembunyi yaitu kekerasan yang tampak adalah yang nyata, dimana terdapat orang yang disakiti, namun kekerasan yang tersembunyi adalah kekerasan yang tidak kelihatan namun tetap bisa dengan mudah ditebak. Kekerasan tersembunyi terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah (unstable equilibrium).
Pada umumnya,
kekerasan yang terjadi pada
perempuan merupakan segala bentuk perilaku
yang dilakukan oleh pihak pelaku kekerasan yang memunculkan perasaan yang tidak nyaman dan rasa takut, baik terhadap
kekerasan fisik atau non fisik. Dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, ruang lingkup rumah tangga
dalam Undang-Undang tersebut meliputi: a) suami, isteri, dan anak; b) orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau. c) orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Hal ini
dapat diartikan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat untuk pulang,
tempat yang nyaman untuk berbagi cerita,
tempat yang menjadi perlindungan untuk masing masing individu dalam suatu rumah
tangga. Namun di samping itu, banyak
juga yang menjadikan �rumah�
tersebut menjadi pelampiasan atau tempat penderitaan bagi anggota rumah
tangga tersebut.
ketika terjadi
permasalahan di dalam rumah tangga terkadang
diselesaikan dengan menggunakan cara yang tidak beretika, yaitu dengan cara
menggunakan kekerasan. Menurut Pasal 33 dalam Undang Undang
Perkawinan dikatakan bahwa suami dan istri wajib saling
cinta dan mencintai, saling hormat dan menghormati, hingga setia dan memberi bantuan lahir batin
yang satu kepada yang lain.
B. Bentuk Bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu:
Kekerasan Fisik yaitu kekerasan yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat (Nurfalah,
2022). Contoh
perilaku kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelaku antara lain seperti menampar, memukul, meludahi, menjambak, menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi
patah atau bekas luka lainnya
atau hingga menghilangkan nyawa seseorang.
Kekerasan Psikis
yaitu Kekerasan psikis diartikan sebagai perbuatan yang dapat mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara psikis adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan
atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak. Kekerasan jenis ini tidak begitu
mudah dikenali, akibat yang dirasakan korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan ini akan berpengaruh
pada situasi perasaaan yang
tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta
martabat korban.
Kekerasan Seksual
yaitu kekerasan yang berupa perlakuan tidak senonoh dari
orang lain, kegiatan yang menjurus
pada pornografi, perkataan-perkataan
porno, dan melibatkan anak dalam proses prostitusi dan lain sebagainya. Termasuk dalam kategori ini adalah segala
tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan
atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan
termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak.
Setelah melakukan
hubungan seksualitas segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun lingkungan sekitar tempat tinggal anak termasuk
dalam kategori kekerasan ini. Kekerasan jenis ini dapat terjadi
juga terhadap anak-anak
(child abuse) berkisar dari
pengabaian anak sampai kepada perkosaan
dan pembunuhan. Terry E. Lawson seorang
psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk
yaitu, emotional abuse, verbal abuse, physical abuse
dan sexual abuse.
Penelantaran Rumah Tangga
yaitu setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga
yang menurut hukum seseorang itu telah
ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya (Khaira,
Saputra, & Saifullah, 2022). Penelantaran
rumah tangga merupakan jenis pengembangan dari kekerasan fisik, psikis, dan seksual (Asmadi,
2018). Contoh
yang termasuk dalam kategori penelantaraan rumah tangga adalah
memberikan batasan atau melarang seseorang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada dalam kendali orang tersebut.
C. Hak-Hak Korban
Berdasarkan Pasal 10 Undang Undang Nomor
23 Tahun 2004, apabila
korban mengalami kekerasan ini, korban mendapatkan hak-haknya sebagai berikut: a) perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c) penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban; d)
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
dan e) pelayanan bimbingan rohani.
Namun apabila
dilihat dari Pasal 5 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006, korban dan saksi berhak mendapatkan: a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya; b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c) memberikan keterangan tanpa tekanan; d) mendapat penerjemah; e) bebas dari pertanyaan
yang menjerat; f) mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus; g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h) mengetahui dalam hal terpidana
dibebaskan; i) mendapat identitas baru; j) mendapatkan tempat kediaman baru; k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l)� mendapat nasihat hukum; m) memperoleh bantuan biaya hidup sementara
sampai batas waktu perlindungan berakhir.
D. Faktor
Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat
mempengaruhi dari beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
Faktor individu
yaitu jika dilihat dari bentuk
pengesahan perkawinan melalui kawin siri,
secara agama, adat, kontrak, atau lainnya
perempuan yang menikah secara siri, kontrak,
dan lainnya berpotensi 1,42
kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui
negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu,
faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini
beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan
yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan.
Perempuan yang sering menyerang
suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.
Faktor pasangan
yaitu perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan
yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami menganggur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
yang pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan
dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
yang suaminya tidak pernah minum miras.
Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk
minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
yang tidak pernah mabuk.
Perempuan dengan
suami pengguna narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan
narkotika. Perempuan yang memiliki
suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan fisik dan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini
berisiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
yang tidak pernah berkelahi fisik.
Faktor ekonomi
yaitu perempuan yang berasal dari rumah
tangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan (NS
& Gunawan, 2021). Perempuan yang berasal dari rumahtangga
pada kelompok 25% termiskin
memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya.
Aspek ekonomi
merupakan aspek yang lebih dominan menjadi
faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan
(Nofitasari
& Supianto, 2019). Hal ini
paling tidak diindikasikan
oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana
kita tahu bahwa tingkat upah
buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak
pada tingkat kesejahteraan rumah tangga.
Faktor sosial
budaya yaitu seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya
kejahatan yang mengancam.
Perempuan yang selalu dibayangi
kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah pedesaan.
E. Perlindungan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, terdapat perlindungan hukum untuk perempuan
dalam korban KDRT, dengan tujuan untuk mencegah
segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Undang Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
juga dilaksanakan berdasarkan
asas penghormatan hak asasi manusia,
keadilan dan kesetaraan
gender, non diskriminasi dan perlindungan
terhadap korban.�
Hal ini
dapat menjadi suatu perubahan yang baik agar para korban dari kekerasan dalam rumah tangga ini
bisa melakukan penuntutan serta mereka akan merasa
lebih aman karena dilindungi oleh hukum. Dengan adanya
peraturan terhadap hal ini, sangat menentukan terwujudnya suatu keadaan dimana
pelaksanaan peraturan tersebut dilakukan dengan baik, hal
ini sangat diperlukan karena undang undang
merupakan suatu sumber hukum yang utama.
Namun, dengan
adanya peraturan ini, masih banyak
korban yang tidak berani untuk melaporkan atas hal kekerasan
yang mereka dapatkan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu seperti rasa malu karena merasa
bahwa hal yang terjadi dalam pada mereka adalah sebuah
aib yang harus ditutupi, kemudian ketergantungan ekonomi, serta kinerja para penegak hukum juga bisa saja menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Dalma hal ini, masih banyak
laporan mengenai kekerasan dalam rumah tangga tetapi
laporan tersebut tidak dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Menurut Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004,
parameter dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan
asas-asas berikut: 1) Penghormatan Hak Asasi Manusia. 2) Keadilan serta Kesetaraan Gender. 3) Non Diskriminasi. 4)������� Perlindungan korban
Berdasarkan Pasal
4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tersebut dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari
adanya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah
mencegah segala bentuk kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Dengan
begitu diharapkan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
yang saat ini sangat sering terjadi di negara kita dapat dihapus
dari kehidupan masyarakat kita.
Perlindungan hukum bagi istri yang menjadi korban KDRT menurut undang undang ini
adalah perlindungan sementara, penetapan perintah perlindungan oleh pengadilan, penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian, penyediaan rumah aman atau tempat
tinggal alternatif, dan pemberian konsultasi hukum oleh advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pada sidang pengadilan. Namun mengingat kebanyakan aparat penegak hukum adalah kaum
laki-laki, karena itu sesuai amanat
undang-undang ini disediakan lembaga khusus, yakni RPK di instansi kepolisian dengan petugas khusus pula, polisi wanita (polwan), sehingga korban tidak takut melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Selama ini banyak korban kekerasan dalam rumah tangga
yang tidak bisa keluar dari lingkaran
kekerasan akibat keengganan atau ketakutan korban melapor kepada aparat penegak
hukum. Salah satu penyebab munculnya ketakutan atau keengganan korban tersebut adalah sikap pihak
kepolisian yang cenderung interogatif, terkesan tidak melindungi korban, bahkan justru menyalahkan
korban. Dengan demikian undang-undang ini mengatur secara khusus (lex specialis) mengenai perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kaitan ini proses perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga
tahap awal berupa perlindungan sementara.
Proses mendapatkan
perlindungan sementara ini diatur dalam
Pasal 16 undang-undang ini, bahwa: 1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian
wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. 2) Perlindungan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
3) Dalam waktu 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pada kasus
kekerasan dalam rumah tangga memperlihatkan
suatu pola yang menunjukkan siklus kekerasan diantara pasangan suami istri. Siklus ini
terdiri dari tiga tahapan (fase)
utama, yaitu:
Fase ketegangan
atau ketegangan yang meningkat Pada tahap ini pelaku kekerasan
mulai menyalahkan pasangannya dan menggunakan penganiayaan kecil untuk mengontrol pasangannya. Sebaliknya korban (istri) akan mencoba
menyabarkan diri dan timbul perasaan dalam dirinya untuk
menyelamatkan rumah tangga.
Fase akut
atau penganiayaan akut Pada tahap kedua, ketegangan yang telah meningkat dapat meledak menjadi
tindak penganiayaan. Dalam hal ini suami
bermaksud untuk memberi pelajaran kepada pasangan, maka timbullah perasaan takut pada istri dan istri mencoba melepaskan rasa marahnya dengan jalan melawan.
Keadaan tenang
atau fase bulan madu Setelah
terjadi penganiayaan pada istri, terkadang pelaku menyadari dan menyesali tindakannya yang telah melewati batas.
Umumnya pelaku
akan minta maaf dan berjanji tidak mengulangi penganiayaan lagi. Permintaan maaf suami tersebut membuat istri merasa
bahagia dan mempunyai harapan lagi.
Kesimpulan
Perlindungan
hukum untuk perempuan korban KDRT ada pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004,
tujuan dibentuknya Undang-Undang ini adalah untuk menyelamatkan para korban
kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini tentu saja merupakan suatu kemajuan yang
baik agar para korban dari kekerasan dalam rumah tangga ini dapat melakukan
penuntutan serta mereka akan merasa lebih aman karena dilindungi oleh hukum.
Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004. Adapun cara
untuk penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yaitu; 1) Hak-hak
korban kekerasan dalam rumah tangga, 2) Kewajiban pemerintah dan masyarakat, 3) Perlindungan
korban, 4) Pemulihan
korban, 5) Penyelesaian
kekerasan dalam rumah tangga melalui penerapan sanksi hukum,
Serta
faktor yang mempengaruhi dalam kekerasan dalam rumah tangga adalah 1)� Faktor Individu (Perempuan), 2) Faktor
Pasangan, 3) Faktor
Sosial Budaya, 4) �Faktor
Ekonomi.
Asmadi, Erwin. (2018). Peran Psikiater dalam
Pembuktian Kekerasan Psikis Pada Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah
Tangga. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 3(1), 39�51.
Khaira,
Ulfi Ana, Saputra, Ferdy, & Saifullah, T. (2022). Penelantaran Rumah Tangga
Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari UU Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 5.
Lewoleba,
Kayus Kayowuan, & Fahrozi, Muhammad Helmi. (2020). Studi Faktor-Faktor
Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual Pada Anak-Anak. Jurnal Esensi Hukum,
2(1), 27�48.
Manan,
Mohammad�Azzam. (2018). Kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif
sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, 5(3), 9�34.
Marwiyah,
Siti, & Si, M. (2015). Dampak sosial ekonomi terhadap tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Universitas Panca Marga Probolinggo.
Meidianto,
Achmad Doni, & STK, S. I. K. (2021). Alternatif penyelesaian perkara
kekerasan dalam rumah tangga: dalam perspektif mediasi penal. Nas Media
Pustaka.
Nebi,
Oktir. (2021). HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA:�Perspektif Teori
Perlindungan Hukum.� CV. AZKA PUSTAKA.
Nofitasari,
Solehati, & Supianto, Supianto. (2019). Perlindungan Hukum bagi Perempuan
Ekonomi Lemah dalam upaya Pencegahan Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga di
Kelurahan Tegalgede Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Jurnal Rechtens,
8(1), 53�66.
NS,
Safitri Wikan, & Gunawan, Andrianus. (2021). Urgensi RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS) Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pahlawan:
Jurnal Pendidikan-Sosial-Budaya, 17(2), 128�139.
Nurfalah,
Fatwa Alvian. (2022). TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PERBUATAN KEKERASAN
FISIK DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA. Universitas Pancasakti Tegal.
Rachminingsih,
Tetik Lestari. (2011). KEKERASAN VERBAL DAN NON VERBAL DALAM TAYANGAN CURHAT
DENGAN ANJAS (Analisis Isi Tayangan Curhat Dengan Anjas Di Tpi Tanggal 13-14
Agustus Tahun 2009). University of Muhammadiyah Malang.
Risdian
Abi, Sultan. (2022). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Jiwa Supportive
Therapy terhadap Pengendalian Emosi Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD
Atma Husada Mahakam Samarinda.
Suryamizon,
Anggun Lestari. (2017). Perlindungan hukum preventif terhadap kekerasan
perempuan dan anak dalam perspektif hukum hak asasi manusia. Marwah: Jurnal
Perempuan, Agama Dan Jender, 16(2), 112�126.
Usmita,
Fakhri. (2017). Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Suatu Tinjauan Interaksionis. Sisi
Lain Realita, 2(1), 51�64.
Wardhani,
Karenina Aulery Putri. (2021). Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Tingkat Penyidikan Berdasarkan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UUPKDRT). Jurnal Riset Ilmu Hukum, 21�31.
Zahra,
Safrida. (2023). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Relevansinya
terhadap Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Mega Suryani Dewi Tahun 2023. Gema
Keadilan, 10(3), 115�126.
Copyright holder: Jessica Chandra (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |