Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
09, September 2022�����������������������
HAMBATAN PENERAPAN PERLINDUNGAN DATA
PRIBADI DI INDONESIA SETELAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2022
TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI
Bella Christine1*, Christine
S.T. Kansil2
1*,2Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara, Indonesia
Email: 1*[email protected]; 2[email protected]
Abstrak
Perlindungan
data pribadi merupakan salah satu hak privasi dan hak asasi yang dimiliki oleh
warga negara Indonesia sehingga hak tersebut dijamin melalui Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejak disahkannya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, Indonesia telah memiliki
payung hukum mengenai perlindungan data pribadi warga negara. Undang-undang
tersebut mengatur bagaimana hak dan kewajiban antara Pengendali Data Pribadi
dan Subjek Data Pribadi. Namun, satu tahun setelah diundangkannya dan
disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data
Pribadi, masih terdapat berbagai pelanggaran data pribadi. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat tantangan serta hambatan penerapan dari undang-undang
tersebut. Maka dari itu, melalui penelitian ini akan dikaji mengenai bagaimana
hambatan penerapan perlindungan data pribadi setelah disahkannya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Kata Kunci:
Hambatan; Perlindungan Data Pribadi.
Abstract
Personal
data protection is one of the privacy rights and human rights possesed by the
Indonesian citizens, so that right is guaranteed through the 1945 Constitution
of the Republic of Indonesia. Since the enactment of Law Number 27 of 2022 on
Personal Data Protection, Indonesia has had a legal umbrella regarding the
protection of citizens� personal data. This Law regulates the rights and
obligations between Data Controller and Personal Data Subjects. However, one
year after the promulgation and ratification of Law Number 27 of 2022 on
Personal Data Protection, there are still various personal data violations.
This indicates that there are challenges and obstacles in implementing the Law.
Therefore, this research wll examine the obstacles to implement personal data
protection after the enactment of Law Number 27 of 2022 on Personal Data
Protection.
Keywords:
Obstacle; Personal Data Protection.
Pendahuluan
Dunia semakin terhubung satu
sama lain melalui teknologi informasi yang terus berkembang. Perkembangan
teknologi informasi membawa perubahan dalam berbagai sektor industri hingga kehidupan
sehari-hari masyarakat. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi
informasi, data pribadi dapat dengan mudah diakses dan digunakan oleh berbagai
pihak, yang tertu hal ini berdampak pada privasi individu. Terlebih, pada masa
kini sudah diterapkan era Society 5.0
dimana Society 5.0 berkonsep bahwa
masyarakat harus memanusiakan manusia dengan teknologi (Heri, et. al. 2021). Dengan
adanya konsep memanusiakan manusia dengan teknologi, maka masyarakat mau tidak
mau harus mampu hidup berdampingan dengan teknologi itu sendiri, sehingga terjadi
berbagai fenomena digitalisasi aspek kehidupan seperti penggunaan layanan
kesehatan, pembuatan identitas resmi, pembuatan akun media sosial, dan lain
sebagainya. Adanya fenomena tersebut menyebabkan masyarakat seringkali
dihadapkan pada situasi dimana mereka harus menyerahkan data pribadi untuk
keperluan registrasi. Tentu ketika masyarakat menyerahkan data pribadinya untuk
melakukan registrasi dan lain sebagainya, mereka berharap agar data tersebut
dapat diproses dengan aman sesuai dengan regulasi yang berlaku. Namun
kenyataannya pada dewasa ini di Indonesia, masih banyak kasus pelanggaran
perlindungan data pribadi seperti salah satunya kasus kebocoran data pribadi. Pada
akhirnya, perlindungan data pribadi merupakan suatu isu yang mau tak mau wajib
dihadapi masyarakat pada era ini (Pratana, 2021).
Perlindungan data pribadi
berkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak pribadi atau hak privat
(Niffari, 2020). Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut sebagai: UUD NRI 1945), hak atas privasi yang
juga termasuk di dalamnya yaitu hak atas perlindungan diri pribadi, merupakan
hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (Djafar, 2019). Adapun
perlindungan tersebut telah dijamin berdasakan konstitusi melalui Pasal 28G
ayat (1) UUD NRI 1945, yang berbunyi: �Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabah,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi�. Danrivanto Budhijanto berpendapat bahwa
perlindungan terhadap hak pribadi atau hak pribadi akan meningkatkan hubungan
antar individu dan masyarakatnya, meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan
kemandirian atau ekonomi atas kontrol dan menerima kepantasan, serta meluaskan
toleransi dan mengurangi perilaku diskriminasi maupun perbuatan semena-mena
pemerintah (Budhijanto, 2010). Adanya jaminan melalui UUD NRI 1945 tersebut ditambah
dengan manfaat dengan terjaminnya hak privasi dan hak pribadi masyarakat dari kasus
kegagalan perlindungan data pribadi maka pemerintah sudah sewajibnya turut
andil serta dalam melindungi warga negara dari kasus-kasus pelanggaran data
pribadi data pribadi.
Sejak 20 September 2022,
Indonesia telah memiliki payung hukum untuk perlindungan data pribadi yaitu
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
(selanjutnya disebut sebagai: �UU PDP�). Kehadiran UU PDP sangat dinantikan
mengingat masifnya transaksi data pribadi di Indonesia yang jumlahnya sudah
tidak dapat dihitung dengan jari setiap harinya. Melalui UU PDP, maka dalam hal
ini negara memberikan suatu upaya perlindungan preventif terhadap segala hal
yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi warga negara. Adapun Samuel
Abrijani yang merupakan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian
Komunikasi dan Informatika menyampaikan bahwa UU PDP memberikan manfaat seperti
perlindungan hak fundamental masyarakat, memajukan reformasi praktik pemrosesan
data pribadi baik dalam sektor publik maupun sektor privat, serta sebagai upaya
untuk meningkatkan standar industri (Rizki, 2022). UU PDP membebani pengendali
data pribadi (selanjutnya disebut sebagai: �Data
Controller�) berbagai macam
kewajiban data pribadi seperti bagaimana cara menyimpan, memproses, dan memusnahkan
data pribadi yang dikumpulkan, bagaimana persyaratan minimum yang harus
dipenuhi oleh Data Controller, apa
saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Data Controller, hingga bagaimana kewajiban yang harus dilakukan
oleh Data Controller ketika terjadi
kegagalan perlindungan data pribadi (misalnya: kebocoran data pribadi karena
peretasan, dan lain sebagainya). Di sisi lain, UU PDP juga memberikan
pengaturan tentang hak-hak yang dimiliki oleh subjek yang data pribadinya
dikumpulkan oleh Data Contorller.
Meski telah memberikan
pengaturan yang komprehensif untuk perlindungan data pribadi warga negara,
nyatanya masih banyak kasus-kasus kebocoroan data pribadi yang merugikan banyak
warga masyarakat sebagai korban dan tidak mendapatkan pertanggungjawaban apa
pun. Sepanjang tahun 2023 ini, setidaknya terdapat 4 (empat) kasus besar
kebocoran data pribadi terjadi yang terjadi di bawah naungan beberapa institusi
besar di Indonesia. Adapun jumlah data pribadi masyarakat Indonesia yang
membuat dapat diakses oleh publik adalah kurang lebih 405,4 juta data pribadi,
dengan rinician sebagai berikut: (Alhabsy, 2023).
Padahal sesuai dengan amanat
Pasal 39 ayat (1) UU PDP, ditegaskan bahwa pada pokoknya Data Controller wajib melakukan pencegahan agar data pribadi tidak
dapat diakses secara sah dengan menggunakan sistem keamanan secara andal, aman,
dan bertanggungjawab. Lebih lanjut, jikalau-pun kasus kebocoran data pribadi
tidak dapat dihindarkan maka pada nyatanya pengendali data pribadi tidak
mendapatkan sanksi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pada
akhirnya kasus kebocoran data pribadi tersebut dilupakan begitu saja. Tentu
kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hambatan atau tantangan dalam
penerapan UU PDP yang mana dalam hal ini ingin peneliti kaji dan teliti.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan untuk menulis penelitian ini adalah dengan metode
penelitian yuridis-normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian
hukum yang dilakukan
dengan cara menelisik bahan pustaka dan bahan sekunder belaka melalui penelaahan
atas peraturan perundang-undangan serta berbagai literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti (Soekanto & Mamudji, 2015). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach). Penelitian hukum dengan pendekatan kasus
dilakukan melalui penelaahan terhadap berbagai kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang mana kasus tersebut telah terdapat putusan pengadilan inkrah
(Marzuki, 2019). Kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning pada pertimbangan pengadilan
atas putusan kasus tersebut. Sedangkan, pada penelitian komparatif dilakukan
dengan melakukan perbandingan atas undang-undang atau putusan hakim antara
negara yang satu dengan negara yang lain (Marzuki, 2019).
Pada
penelitian hukum tidak dikenal dengan adanya data, maka untuk mendapatkan solusi
atas suatu isu hukum diperlukan sumber-sumber penelitian berupa bahan hukum
primer dan/atau bahan hukum sekunder (Marzuki, 2019). Adapun bahan hukum primer
yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
United Nations Guidelines for the Regulations of
Computerized Personal Data Files 1990 (selanjutnya disebut
sebagai: �UN GRCPDF 1990�);
2.
APEC Privacy Framework; dan
3.
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Sedangkan
bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, yaitu:
1.
Buku-buku;
2.
Jurnal;
3.
Artikel; dan
4.
Karya tulis
ilmiah lainnya.
Hasil dan Pembahasan
A. Peraturan
Pelaksana UU PDP Masih Belum Disahkan Maupun Dirampungkan
Bahwa UU PDP mengamanatkan
10 (sepuluh) pembentukan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana untuk
mengamalkan perlindungan data pribadi di Indonesia. Kesepuluh amanat tersebut
terdapat pada Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 16
ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 48 ayat (5), Pasal 54 ayat (3), Pasal 56
ayat (5), Pasal 57 ayat (5), dan Pasal 61. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa
sampai dengan setahun setelah disahkannya UU PDP, tidak ada satupun peraturan
pemerintah yang diamanatkan tersebut yang sudah sah berlaku. Hal tersebut
menimbulkan ketidakjelasan hingga kekosongan hukum terkait dengan perlindungan
data pribadi di Indonesia. Tidak adanya penegakkan hukum atau regulasi yang
kuat dan tegas, menyebabkan kejahatan yang berhubungan dengan data pribadi
warga negara semakin berkembang pesat (Firdaus, 2022). Lebih lanjut dengan
tidak adanya peraturan pelaksana, dikhawatirkan dapat menimbulkan penafsiran
liar terhadap UU PDP.
Bahwa apabila terjadi
pelanggaran data pribadi maka sudah sewajarnya pemilik data pribadi tersebut
meminta ganti rugi dan/atau menggugat Data Controller yang telah melakukan
pelanggaran, yang mana hal tersebut tersurat pada Pasal 12 ayat (1) UU PDP.
Akan tetapi mekanisme dan tata cara terkait dengan bagaimana upaya gugatan
dilakukan, pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perkara perlindungan
data pribadi, tidak dirincikan dalam UU PDP, melainkan akan diatur lebih lanjut
melalui peraturan pemerintah. Lebih lanjut, sampai dengan saat ini, peraturan
pemerintah guna mengatur ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU PDP tersebut sampai
dengan saat ini tidak ada. Tidak adanya peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai penegakkan hukum terhadap pelanggaran data pribadi menimbulkan
kekosongan hukum dan ketidakjelasan terkait dengan mekanisme ganti rugi maupun
pengajuan gugatan.
Bahwa pembentukan peraturan
pemerintah yang lama atau tidak kunjung dibentuk memang tidak membawa pengaruh
keberlakuan suatu undang-undang, akan tetapi hal tersebut akan mempengaruhi
efektivitas dari suatu undang-undang (Yusuf, 2022). Lebih lanjut, dengan tidak
adanya peraturan pelaksana dari suatu undang-undang berpotensi akan memunculkan
tafsiran liar dari suatu undang-undang karena tidak adanya regulasi yang
mengatur secara teknis dan rinci dalam penerapannya (Yusuf, 2022). Dengan belum
adanya peraturan pelaksana untuk UU PDP, hal ini menghambat keefektivitasan
keberlakukan UU PDP, sehingga meskipun UU PDP sudah sah namun penerapan dan
manfaat yang dapat dirasakan bagi warga masyarakat terhambat.
Jika mengambil konsep stufenbau
theorie yang digagas oleh Hans Kelsen, bahwa suatu norma memiliki jenjangnya
atau berlapis-lapis dan berlaku sesuai dengan hierarkinya. Konsep tersebut
bermakna bahwa norma hukum berlaku dengan dasar yang lebih tinggi dan bersumber
pada norma yang lebih tinggi lagi secara berkesinambungan hingga norma
tertinggo yaitu Norma Dasar (Grundnorm) (Putra & Akbar, 2022). Melalui konsep
Kelsen tersebut, maka membawa implikasi yang signifikan pada pemahaman struktur
hukum. Dalam kerangka ini, undang-undang sebagai regulasi yang lebih umum harus
selalu diikuti dengan peraturan pelaksana di bawahnya agar tidak terjadi
mis-konsepsi terhadapnya. Dengan kata lain, agar undang-undang dapat berlaku
secara efektif maka diperlukan peraturan pelaksana yang lebih detail dan
konkret.
Hal tersebut juga berlaku
dengan UU PDP. UU PDP terhambat penerapan konkretnya dikarenakan belum adanya peraturan
pelaksana yang mengatur secara mendetail. Dengan demikian agar UU PDP dapat
diterapkan dan manfaatnya dapat dirasakan lebih efektif bagi warga masyarakat
Indonesia, pemerintah harus mampu sesegera mungkin membentuk serta mengesahkan
10 (sepuluh) peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam UU PDP
tersebut.
B. Belum
Ada Pembentukan Lembaga Independen Khusus Untuk Perlindungan Data Pribadi di
Indonesia
Melanjuti pembahasan pada poin sebelumnya dimana
implikasi dari belum rampungnya berbagai peraturan pelaksana UU PDP menyebabkan
terhambatnya efektivitas UU PDP. Bahwa Pasal 58 UU PDP mengamanatkan
pembentukan sebuah lembaga sebagai
upaya mewujudkan penyelenggaraan perlindungan data pribadi. Adapun lembaga
perlindungan data pribadi tersebut bertanggungjawab kepada Presiden serta
memiliki 15 (lima belas) wewenang dalam upaya penyelenggaraan perlindungan data
pribadi. Lebih lanjut, Pasal 61 UU PDP mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai
tata cara wewenang pelaksanaan lembaga tersebut akan diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah. Akan tetapi, dikarenakan belum adanya satupun peraturan
pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU PDP, menyebabkan terhambatnya
pembentukan lembaga khusus untuk perlindungan data pribadi di Indonesia.
Lembaga perlindungan data
pribadi bersifat sangat dibutuhkan dan penting mengingat adanya dasar hukum
yang kuat yaitu pada Pasal 58 UU PDP serta melihat kondisi kasus pelanggaran
data pribadi di Indonesia yang kian meningkat tiap tahunnya. Lembaga tersebut
berperan serta bertugas dalam mengawasi, melindungi, dan menegakkan hak privasi
individu serta mengawasi penggunaan data pribadi oleh pengendali data pribadi.
Bahwa terdapat peran krusial yang dimiliki oleh lembaga tersebut dalam menjaga
keamanan data pribadi dan memastikan bahwa praktik perlindungan data pribadi di
Indonesia sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh undang-undang
terkait, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia dalam
penggunaan data pribadi pada era digital ini khususnya era Society 5.0 saat ini.
Pengadaan lembaga independen
khusus perlindungan data pribadi, bukan hanya sekedar mandat dari UU PDP,
melainkan juga merupakan mandat dari beberapa instrumen hukum internasional,
antara lain UN GRCPDF 1990 dan APEC Privacy Framework. Bahwa berdasarkan UN
GRCPDF 1990, dinyatakan secara eksplisit bahwa syarat minimum daripada
perlindungan data pribadi pada suatu negara, adalah dengan adanya lembaga
pengawas perlindungan data pribadi yang independen. Sedangkan APEC Privacy Framework,
merupakan suatu kerangka kerja privasi oleh organisasi kerjasama ekonomi
negara-negara di kawasan Asia Pasifik yaitu Asia Pacific Economic Coorperation
(APEC). Kerangka kerja privasi yang dirumuskan oleh APEC dikeluarkan pada tahun
2004 dan kemudian diamandemen pada tahun 2015 (Djafar, 2019). Bahwa dalam Pasal
10 APEC Privacy Framework diterangkan bahwa APEC setuju agar tujuan dari
kerangka kerja ini (kerangka kerja privasi) tercapai, maka orang atau
organisasi (negara) dapat menginstruksikan individu ataupun suatu organisasi
untuk mengumpulkan, menyimpan, menggunakan memproses mentransfer atau
mengungkapkan informasi pribadi atas namanya (Christine, 2021).
Oleh karena itu, hambatan
perlindungan data pribadi di Indonesia juga dipengaruhi karena belum adanya lembaga
independen khusus di bidang perlindungan data pribadi. Padahal, pengadaan
lembaga tersebut tidak hanya amanat dalam UU PDP melainkan juga berdasarkan
interumen hukum internasional di bidang data privasi dan/atau data pribadi. Maka
dari itu, terdapat urgensi bagi pemerintah untuk dapat segera menerbitkan serta
mengesahkan peraturan pemerintah terkait dengan pembentukan lembaga
perlindungan data pribadi sehingga lembaga independen perlindungan data pribadi
di Indonesia dapat segera dibentuk dan menjalankan kewenangannya. Lebih lanjut,
perlu diingat bahwa hukum seharusnya lebih daripada sekedar seperangkat kaidah
sosial saja, hukum juga mencakup lembaga serta proses yang diperlukan untuk
mewujudkannya sebagai hukum yang efektif (Kusumaatmadja, 1986).
Kesimpulan
Bahwa berdasarkan kedua
pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi hambatan
penerapan perlindungan data pribadi di Indonesia meskipun sudah terdapat UU PDP
adalah pertama belum diundangkannya peraturan pemerintah sebagaimana
diamanatkan dalam UU PDP. Hal tersebut menjadi hambatan karena dapat
memunculkan perbedaan berbagai tafsiran maupun pemaknaan UU PDP. Kedua adalah
sebagai implikasi dari belum diundangkannya peraturan pemerintah membuat tidak
dapat dibentuknya lembaga independen khusus untuk perlindungan data pribadi di
Indonesia. Lembaga independen khusus perlindungan data pribadi merupakan suatu
syarat minimum dan bersifat wajib bagi suatu negara menurut UN GRCPDF 1990. Lebih
lanjut, melalui lembaga independen khusus data pribadi tersebut maka memberikan
kejelasan terkait dengan pihak mana yang memiliki kewenangan dan otoritas untuk
penegakan kasus-kasus pelanggaran perlindungan data pribadi warga negara di
Indonesia.
Melalui pembahasan serta
kesimpulan di atas tersebut, maka diharapkan dan disarankan bagi pemerintah
untuk segera dapat mengundangkan 10 (sepuluh) peraturan pemerintah sebagaimana
yang telah diamanatkan dalam UU PDP. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu segera
membentuk lembaga independen khusus perlindungan data pribadi sebagai mana
diamanatkan pada Pasal 58 UU PDP, sehingga lembaga ini diharapkan mampu
memberikan pengaturan secara komprehensif dan menjadi lembaga yang mampu
memberikan solusi untuk permasalahan perlindungan data pribadi di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Alhabsy, S. (2023). 4 Kasus Kebocoran Data di Semester I 2023, Mayoritas Dibantah. Retrieved from http://news.gunadarma.ac.id/2023/07/130723/
Bella, C. (2021). Mandate of Procurement of Independent Commision for Personal Data Protection In Indonesia Reviewed From International Legal Instruments. International Journal of Social Service and Research, 1(2), 64-71.
Budhijanto, D. (2010). Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi. PT Refika Aditama.
Djafar, W. (2019). Hukum Perlindungan Data Pribadi Di Indonesia: Lanskap, Urgensi, Dan Kebutuhan Pembaruan. Mimbar Hukum.
Firdaus, I. (2022). Upaya Perlindungan Hukum Hak Privasi Terhadap Data Pribadi dari Kejahatan Peretasan. Jurnal Rechten: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, 4(2), 23-31.
Heri, et al. (2021). Revolusi Industri 5.0 Dalam Perspektif Ekologi Administrasi Desa. Jurnal Ilmiah �Neo Politea� FISIP Universitas Al-Ghifari, 2(1), 35-45.
Kusumaatmadja, M. (1986). Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional. Lembaga Penelitian Hukum Dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Marzuki, P. M. (2019). Penelitian Hukum. Prenadamedia Group.
Muhammad, A. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti.
Muhamad J. Rizki. (2022). Kominfo Paparkan Beragam Manfaat Penting Kehadiran UU PDP. Retrieved from https://www.hukumonline.com/berita/a/kominfo-paparkan-beragam-manfaat-penting-kehadiran-uu-pdp-lt6360ac5d1f1e3/
Niffari, H. (2020). Perlindungan Data Pribadi Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia Atas Perlindungan Diri Pribadi (Suatu Tinjauan Komparatif Dengan Peraturan Perundang-Undangan Di Negara Lain). Jurnal Yuridis, 7(1), 105-119.
Pratana, I. (2021). Urgensi Pengaturan Mekanisme Pemanfaatan Data Pribadi Dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Rawang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(8), 701-702.
Putra, B. M., & Akbar, M. I. (2022). Implikasi Peniadaan Peraturan Pemerintah Terhadap Undang-Undang Ekonomi Kreatif. Jurnal APHTN-HAN Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara, 1(i2), 290-308.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada.
Yusuf, M. (2022). Keberlakuan Peraturan Dalam Undang-Undang Yang Tidak Kunjung Diterbitkan Peraturan Pemerintah Sebagai Peraturan Pelaksananya. Jurnal Resotasi Hukum Jurnal Pusat Studi dan Konsultasi Hukum Fakultas Syari�ah dan Hukum, 5(1), 66-86.
Copyright
holder: Bella
Christine, Christine S.T. Kansil (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |