Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

TINJAUAN HUKUM TERHADAP GENERIC TERMS DALAM PERLINDUNGAN MEREK

 

Yemima Andria Hotmauli Simanjuntak, Jeane Nelje Saly

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perkembangan kegiatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena adanya perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang menyebabkan aktivitas di sektor perdagangan dalam penciptaan karya atas barang dan jasa mengalami perkembangan yang pesat. Salah satu bentuk perlindungan karya yang dinamakan hak kekayaan intelektual adalah penggunaan merek dagang. Melalui penelitian ini, akan membahas mengenai tinjauan hukum terhadap generic terms yang merupakan salah satu dari beberapa syarat yang dilarang dalam hal mengajukan permohonan atas pendaftaran nama merek. Metode penelitian ini menggunakan metode normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis melalui pendekatan kasus yang mengkaji Putusan Nomor 85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN. Niaga.Jkt.Pst. Tujuan penelitian ini diharapkan agar memberikan pengetahuan kepada masyarakat yang merupakan calon pendaftar merek untuk mengetahui kriteria-kriteria nama merek apa saja yang dapat didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan, dalam hal ini adalah mengenai merek yang mengandung unsur generic terms. Kesimpulan membuktikan bahwa generic terms atau istilah umum merupakan sebuah makna yang merujuk bentuk kelompok dari produk atau istilah yang umum pada kalangan konsumen atau publik. Seharusnya, merek yang didaftarkan dengan menggunakan generic terms atau peristilahan umum yang merupakan bagian dari public domain tidak dapat lolos atau melalui tahapan pemeriksaan substantif dalam proses pemeriksaan merek. Hal tersebut perlu dicegah karena apabila permohonan merek tersebut dikabulkan dikhawatirkan dapat memberikan hak monopoli bagi pemilik merek atas penggunaan merek tersebut sehingga merek tersebut tidak dapat bersaing secara efektif.

 

Kata kunci: Hak Kekayaan Intelektual, Merek, Generic Terms.

 

Abstract

The development of trade activities in goods and services in Indonesia has increased quite significantly due to developments in information and transportation technology which have caused activities in the trade sector in the creation of works for goods and services to experience rapid development. One form of law protection called intellectual property rights, namely trademarks. Through this research, we will discuss legal reflections on general terms which are one of several conditions that are prohibited when submitting an application for trademark name registration. This research method uses a normative method with research specifications, namely analytical descriptive using a case approach that examines Verdict Number 85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN. Niaga.Jkt.Pst. The aim of this research is to provide knowledge to the public who are prospective trademark registrants to know the criteria for brand names that can be registered or cannot be registered, in this case regarding brands that contain elements of generic terms. The conclusion proves that a generic term is a meaning that refers to a group of products or terms that are common among consumers or the public. Supposedly, brands registered using generic terms or general terms that are part of the public domain cannot pass or go through the substantive examination stage in the trademark examination process. This needs to be prevented because if the trademark application is granted, inquiries can give the trademark owner monopoly rights over the use of the trademark so that the trademark cannot compete effectively.

 

Keywords: �Intellectual Property Rights, Trademark, Generic Terms.

 

Pendahuluan

Pada saat ini, perkembangan kegiatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena adanya perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang menyebabkan aktivitas di sektor perdagangan barang dan jasa mengalami perkembangan yang pesat (Jened, 2010). Hal tersebut terbukti dengan adanya sektor ekonomi kreatif yang merupakan sektor dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Dengan sektor ekonomi kreatif, Indonesia dapat menyumbang sekitar 82 miliar USD terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan sekitar 23,9 miliar USD terhadap ekspor nasional (Kementerian Luar Negeri, 2023).

Kehidupan dalam persaingan sektor ekonomi kreatif merupakan wadah bagi setiap orang berlomba-lomba untuk melahirkan setiap karya baru untuk memperoleh manfaat bagi kehidupannya. Tak lepas dari itu, setiap orang memiliki hak dan kewajibannya untuk memperoleh suatu hal. Oleh karena itu, perlu adanya peran hukum untuk mengatur hak dan kewajiban tersebut.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat diartikan sebagai hasil olah pikir dan kreativitas yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat menghasilkan berbagai ciptaan dan penemuan baru di berbagai bidang, baik itu di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan, maupun teknologi yang mana hal tersebut nantinya akan menghasilkan manfaat bagi perekonomian nasional maupun internasional (Gautama, 1990).

Tubuh HKI sendiri terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu hak milik perindustrian dan hak cipta. Hak milik perindustrian sendiri terdiri lagi dari merek, paten, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan perlindungan varietas tanaman (Michael & Kansil, 2021). Sedangkan hak cipta meliputi bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan hak cipta.

Lahirnya HKI tiada lain tiada bukan merupakan wujud dari perindungan hukum bagi setiap aspek kegiatan manusia dalam proses menghasilkan karya-karyanya dengan beberapa alasan di dalamnya. Pertama, pentingnya perlindungan HKI dinyatakannya oleh Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi, �Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesustraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta�.

Oleh karena itu, perlindungan terhadap HKI pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi karya yang merupakan hasil jerah payah suatu pihak agar dapat diterima oleh publik dan apabila tidak dilindungi khawatirnya akan terdapat pihak lain yang ingin memboncengi atau memakai karya hasil jerah payah pihak lain tersebut tanpa izin.

Kedua, perlindungan HKI dilakukan sebagai bentuk pemberian dorongan dan imbalan dari segi ekonomi atas inovasi dan penciptaan karya oleh suatu pihak. Hal tersebut diupayakan karena mengingat suatu proses dalam menciptakan atau menemukan suatu karya memerlukan banyak biaya dan waktu, sehingga tidaklah cukup hanya dibayar dengan sebuah apresiasi, pujian semata, atau respons lainnya yang serupa.

Perlindungan HKI di Indonesia sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat karena sudah adanya beberapa peraturan yang mengakomodasi hal tersebut. Pada penelitian kali ini, penulis memilih fokus pembahasan mengenai salah satu wujud dari HKI yaitu merek. Peraturan mengenai merek sudah ada di Indonesia sejak tahun 1961 yaitu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang mengalami pencabutan perubahan sebanyak 3 (tiga) kali dengan undang-undang yang baru.

Pertama, adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, dicabut dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang dicabut dengan undang-undang yang berlaku hingga saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (untuk selanjutnya disebut dengan �UU MIG�). Peraturan terkait merek juga diatur dalam beberapa peraturan turunan lainnya.

Menurut Pasal 1 UU MIG, merek dapat diartikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Perlindungan hukum atas merek diharapkan dapat menjamin kualitas dan mutu barang dan jasa yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumennya, untuk menyematkan sebuah nama, dan menghindari terjadinya itikad buruk dari pihak lain atas produk yang telah ada (Pakpahan & Haryanto, 2021).

Dalam perlindungan merek dikenal prinsip �first to file�, yang artinya ialah suatu merek memiliki persyaratan untuk didaftarkan terlebih dahulu apabila kepemilikan atas suatu merek ingin diakui secara sah oleh hukum (Nabilah, Sudjana, & Rafianti, 2018). Sistem administrasi merek yang demikian merupakan hal yang begitu penting atas kepemilikan hak merek (Abdurahman, 2020). Pengakuan atas kepemilikan terhadap sebuah merek merupakan hak khusus yang diberikan oleh pemerintah atau negara kepada pemilik merek untuk menggunakan merek tersebut atau memberi pihak lain untuk menggunakannya.

Oleh karena itu, siapa yang terlebih dahulu mendaftarkan merek, maka dialah yang berhak atas penggunaan merek tersebut dan pihak lain tidak diperkenankan untuk mendaftarkan merek dengan nama yang sama. Sehingga, perlindungan atas merek dapat diberikan setelah seseorang mendaftarkan merek tersebut.

Pasal 20 UU MIG mengatur mengenai ketentuan atas merek yang tidak dapat didaftarkan. Pada penelitian ini, penulis akan mempusatkan pembahasan pada 2 (dua) syarat pendaftaran merek yang tidak dapat diajukan. Pertama, merek yang tidak dapat didaftarkan adalah apabila suatu merek bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. Kedua, merek tidak dapat didaftarkan apabila merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum.

Dewasa ini, banyak sekali terjadi permasalahan yang ada di masyarakat terkait dengan pendaftaran merek karena menggunakan nama-nama yang terdiri dari persitilahan yang sebenarnya merupakan istilah umum yang ada dalam masyarakat. Salah satu kasus dalam hal tersebut adalah pada penelitian kali ini. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini penulis hendak melakukan pembahasan mengenai generic terms.

Seperti pada kasus putusan yang telah dipilih dalam pembahasan kali ini, bermula dengan didaftarkannya suatu merek dengan nama �Open Mic Indonesia� pada tanggal 5 Juni 2015 dengan nomor pendaftaran IDM000477953 pada kode kelas 41 (jasa) dengan jenis hiburan, acara hiburan radio, dan hiburan televisi oleh Ramon Pratama alias Ramon Papana. Kemudian, setelah didaftarkannya merek tersebut, banyak sekali pihak yang merasa dirugikan.

Tergugat yang memberikan somasi kepada beberapa caf� ataupun pihak yang menggunakan istilah �Open Mic� dalam penyelenggaraan acara di tempat hiburan mereka masing-masing. Melalui somasi yang dilayangkan, tergugat menuntut sebesar Rp250.000.000,00 kepada pihak-pihak tersebut dengan dasar mereka menggunakan kata �Open Mic� tanpa izin kepaada pemilik merek �Open Mic Indonesia� dan hal tersebut dituding merupakan tindakan dalam pelanggaran hak cipta. Hal tersebut jelaslah menimbulkan keresahan masyarakat dan membatasi karya seniman yang ingin meningkatkan kemampuannya dalam bidang seni, terkhusunya dalam bidang lawak tunggal (stand up comedy).

Maka dari itu, untuk menindaklanjuti sikap dari pemegang hak atas merek tersebut, pada tanggal 25 Agustus 2022, Perkumpulan Stand Up Indonesia mengajukan gugatan pembatalan atas merek tersebut dengan pokok gugatan sebagai berikut: a) Penggugat termasuk pihak yang berkepentingan apabila merujuk pada Pasal 76 ayat (1) UU MIG; b) Pemohon pendaftar merek beritikad tidak baik; c) Pendaftaran merek �Open Mic Indonesia� bertentangan dengan ketertiban umum. d) Istilah �Open Mic� adalah generic terms di bidang jasa hiburan (Bersifat, 2016).

Berdasarkan latar belakang di atas, timbul pertanyaan yang menjadi permasalahan untuk diteliti lebih lanjut oleh penulis, yaitu sebagai berikut: (1) Bagaimana tinjauan hukum terhadap generic terms dalam perlindungan merek? dan (2) Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN. Niaga.Jkt.Pst?

Oleh karena itu, pada penelitian kali ini penulis hendak mengangkat judul �Tinjauan Hukum Terhadap Generic Terms dalam Perlindungan Merek (Studi Putusan 85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN. Niaga.Jkt.Pst)�. Tujuan dari penelitian ini adalah dengan harapan agar memberikan pengetahuan kepada masyarakat yang merupakan calon pendaftar merek untuk mengetahui kriteria-kriteria nama merek apa saja yang dapat didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan, dalam hal ini adalah mengenai merek yang mengandung unsur generic terms.

 

Metode Penelitian

����������� Metode penelitian ini menggunakan metode normatif, yaitu suatu metode penelitian yang mengkaji aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab permasalahan hukum yang diteliti (Marzuki, 2013). Normatif memiliki arti sebagai kaidah yang berlaku atau yang seharusnya/sepantasnya. Oleh karena itu, melalui penggunaan metode penelitian ini akan dilengkapi dengan beberapa doktrin-doktrin yang berlaku.

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang nantinya dalam penelitian ini adanya pemaparan berupa analisis dari isu yang diangkat. Spesifikasi penelitian deskriptif analitis ini bertujuan agar penelitian ini dapat memperoleh kebenaran dan gambaran yang lengkap serta sistematis terkait isu hukum dan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kasus (case approach) karena pembahasan isu hukum dalam pembahasan ini diangkat dari sebuah Putusan Pengadilan Niaga dengan nomor 85/Pdt. Sus-HKI/Merek/2022/ PN.Niaga.Jkt.Pst.

 

Hasil dan Pembahasan

Merek merupakan suatu tanda untuk memberikan identitas atau pengindividualisasian terhadap suatu barang dan jasa yang dihasilkan. Pada dasarnya, dalam konsep perlindungan merek dinyatakan jika merek yang tidak memiliki kemampuan sebagai daya pembeda, maka merek tersebut tidak dapat dilindungi.

Tidaklah adil bahwa sebuah suatu hal yang sudah menjadi milik umum (public domain) yang meliputi generic terms, deceptive terms, dan geographically deceptively misdescriptive dijadikan sebagai objek monopoli oleh salah satu pihak saja (Sumarto, Harsono Adi, 1989). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perlindungan merek diberikan untuk melindungi itikad baik dalam penggunaannya sebagai suatu identitas untuk membedakan barang dan jasa.

Permohonan atas pendaftaran merek dilakukan melalui 2 (dua) tahap dalam Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Tahap pertama yaitu pemeriksaan formalitas yang dilakukan selama 15 (lima belas) hari. Setelah pemeriksaan formalitas selesai, hasil pemeriksaan akan diumumkan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan. Setelah itu, pada tahap kedua, akan dilakukannya pemeriksaan substantif yang dilakukan dalam waktu 150 hari. Jika merek yang didaftarkan tidak ada penolakan, maka sertifikat merek dapat diterbitkan setelahnya.

Seharusnya, merek yang didaftarkan dengan menggunakan generic terms atau peristilahan umum yang merupakan bagian dari public domain tidak dapat lolos atau melalui tahapan pemeriksaan substantif dalam proses pemeriksaan merek. Pun demikian, suatu hal yang telah menjadi public domain yang menjadikan suatu karya tidak dapat lagi digunakan untuk kepentingan umum tidak dapat didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual (Yanto, 2012).

Terdapat sebuah teori Abercrombie Classification yang membagi merek menjadi ke dalam 5 (lima) kategori berdasarkan tahap kekuatannya mulai dari asal kata atau nama yang mendapatkan perlindungan tertinggi hingga merek yang tidak dapat diberikan perlindungan.

1.      Fanciful Trademark

Peristilahan ini digunakan untuk menggambarkan kondisi merek yang dibuat berdasarkan kata-kata yang berasal dari khayalan yang unik dan produknya menggambarkan penamaannya. Hal tersebut merupakan upaya pokok untuk membedakan atau menandakan suatu barang dan jasa berdasarkan keunikan namanya, contohnya adalah merek Kodak.

2.      Arbitrary Trademark

Peristilahan ini digunakan untuk menggambarkan penamaan merek yang diambil dari kata-kata yang artinya sudah terdapat dalam kamus dan tidak mengandung kaitan dengan produk barang atau jasa pada merek tersebut. Contohnya adalah merek Jaguar yang merupakan nama hewan namun dijadikan sebagai merek dari sebuah mobil.

3.      Suggestive Trademark

Peristilahan yang digunakan pada merek dengan kondisi memiliki kaitan erat atau secara langsung menggambarkan barang atau jasa dari merek tersebut, contohnya adalah merek Sunny untuk sebuah lampu.

4.      Descriptive Trademark

Peristilahan ini digunakan pada merek dengan kondisi yang memiliki unsur pemaknaan kata yang dengan langsung menggambarkan kondisi barang atau jasa tersebut, contohnya merek Mie Gelas yang artinya produk tersebut menggambarkan produk mie yang dijual dengan penyajian di dalam gelas

5.      Generic Terms

Peristilahan ini digunakan pada merek dalam kondisi yang menjelaskan produk yang ditampilkan. Tanda-tanda ini bersifat menerangkan objek secara umum dengan menggunakan kata umum, contohnya kata �Meja� untuk menggambar produk berupa meja.

Apabila dikaji lebih dalam, generic terms atau istilah umum dapat diartikan sebagai suatu makna yang merujuk bentuk kelompok dari produk atau istilah yang umum pada kalangan konsumen atau publik. Sebuah merek yang menggunakan istilah umum (generic terms) merupakan gambaran yang menandakan genus atau asal muasal dari produknya.

Menurut kamus umum bahasa Inggris, arti kata �generic� adalah umum, atau berkaitan dengan satu kelas atau jenis barang atau jasa yang sama. Contoh yang dijadikan sebagai tanda milik umum adalah tanda tengkorak dengan dua tulang bersilang, hal tersebut diartikan sebagai tanda bahaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, tanda dari contoh yang tadi disampaikan tidak dapat lagi didaftarkan sebagai sebuah merek.

Dalam beberapa penerapan hukum, tidak ada istilah-istilah yang bersifat generik atau yang sekadar deskriptif bisa dijadikan sebagai merek dagang (Rohman, 2016). Meskipun demikian, berdasarkan Undang-Undang Merek Amerika Serikat, Lanham Act No. 15 Tahun 1946 (untuk selanjutnya disebut dengan �Lanham Act)�, memberikan pengecualian penting sehubungan dengan istilah-istilah deskriptif yang memperoleh makna sekunder, namun hal ini tidak memberikan pengecualian untuk merek generik.

Lanham Act mengatur pembatalan merek terdaftar jika sewaktu-waktu suatu penggunaan nama suatu merek beralih menjadi nama deskriptif umum suatu barang atau substansi (Hartono, Suryani, & Syailendra, 2023). Hal ini menandakan bahwa bukti makna sekunder yang berdasarkan hal itu, beberapa merek yang �sekadar deskriptif� mungkin saja untuk didaftarkan dan tidak dapat diubah menjadi istilah umum untuk merek dagang.

Dalam Lanham Act juga diatur mengenai sebuah merek yang harus ditinggalkan atau tidak digunakan lagi apabila terjadi salah satu unsur di bawah ini: 1) Ketika merek tersebut sudah tidak digunakan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut dan terdapat bukti ditinggalkannya �prima facie�. 2) Ketika perilaku pemilik hak atas merek tersebut lalai dalam menggunakan merek tersebut dan menyebabkan merek tersebut kehilangan nilai esensialnya dan berubah menjadi nama generik pada suatu barang atau jasa (Precillia, Santoso, & Njatrijani, 2016).

Penggunaan kata dari istilah umum pada merek menjadi suatu persyaratan atas tidak dikabulkannya permohonan merek karena hal tersebut dikhawatirkan dapat memberikan hak monopoli selama penggunaan merek oleh pemilik hak atas merek tersebut baik itu pada tanda maupun bagi produk yang dihasilkan sehingga membuat persaingan tidak sehat karena membuat merek tersebut tidak dapat bersaing secara efektif (Tampubolon, 2022). Contoh penggunaan generic terms dalam usaha adalah seperti penggunaan kata �Kopi� untuk penjualan merek produk kopi, penggunaan kata �Gula� untuk penjualan merek produk gula, lalu penggunaan kata �Beras� untuk penjualan merek produk gula.

Penggunaan kata atau tanda yang berhubungan langsung secara melekat (inherent) dengan jenis barang atau jasa yang bersangkutan kecuali tulisan perkataan sifat tersebut hanya berupa tambahan atau disebut dengan �secondary meaning� untuk membedakan jenis produksi atau sifat produksi jenis yang sama oleh produsen yang sama dapat dibenarkan (Harahap, 1996).

Namun, yang menjadi larangan adalah saat perkataan tersebut menerangkan dari sifat produk tersebut dan berdiri sendiri sebagai merek. Maka dari itu, perlu adanya penambahan kata lain untuk menjadi penamaan sebuah merek, seperti contohnya penambahan kata �ko� untuk merek permen kopi �Kopiko�. Penggunaan hal tersebut digunakan untuk penamaan merek yang memiliki daya pembeda yang lemah atau descriptive trademark (Saidin, H. OK., 2007). Hal ini dilarang agar tidak terjadinya penjualan atas barang atau jasa yang sejenis dengan nama merek yang sama. Apabila hal tersebut terjadi, maka dikhawatirkan membingungkan konsumen.

Istilah umum tidak boleh dipertahankan sebagai merek dagang meskipun istilah tersebut merupakan istilah baru yang ditemukan dan berhasil didaftarkan sebagai merek oleh pemilik (Wibowo & Hadi, 2017). Seperti pemilik hak atas merek �Rollerblades�, �facial tissue�, dan �fotocopy� yang pada praktiknya menghabiskan banyak uang dan waktu untuk mengawasi penggunaan merek mereka dan mencoba untuk mencegah penyalahgunaan merek milik mereka. Namun, betapapun kerasnya mereka berusaha, jika masyarakat mulai menggunakan istilah tersebut sebagai istilah umum, merek dagang tersebut dibatalkan dan istilah tersebut akan berpindah menjadi domain publik.

Tidak peduli seberapa banyak uang atau usaha yang dilakukan oleh pengguna istilah umum sebuah merek untuk mempromosikan penjualan barang dan jasanya, seberapa besar kesuksesan yang telah dicapainya untuk mengamankan identifikasi publik, mereka tidak dapat menghilangkan hak dari produsen pesaing untuk menyebut suatu barang dengan namanya. Hal tersebut ditegaskan dengan bunyi dari Pasal 6 quinquies B ayat (2) Konvensi Paris:

�Trademarks covered by this Article may be neither denied registration nor invalidated except in the following cases:

1.      �.;

2.      when they are devoid of any distinctive character, or consist exclusively of signs or indications which may serve, in trade, to designate the kind, or the time of production, or have become customary in the current language or in the bona fide and established practices of the trade of the country where protection is claimed�

Istilah �open mic� sudah menjadi istilah umum karena merupakan istilah yang biasa digunakan di bidang jasa hiburan berkaitan dengan pertunjukan seni yang meliputi lawakan tunggal (stand up comedy), pertunjukan musik, pembacaan puisi, syair, dan kegiatan seni lainnya.

Permasalahan pada kasus ini adalah pemegang hak atas merek, Ramon Papana melakukan tindak monopoli atas penggunaan kata �Open Mic�, padahal merek yang terdaftar adalah dengan menggunakan kata utuh �Open Mic Indonesia�. Pada tanggal 1 April 2017, Ramon Papana melakukan pengumuman untuk masyarakat umum terkait pelarangan penggunaan istilah �open mic�, dengan dalih bahwa setiap masyarakat yang hendak menggunakannya harus melakukan izin terlebih dahulu kepadanya.

Sehubungan dengan hal tersebut, pihak pemilik merek �Open Mic Indonesia� melakukan pemberian somasi terus menerus kepada beberapa pihak yang menggunakan istilah �open mic� dalam acara atau kegiatan yang mereka selenggarakan.� Adapun denda dari somasi yang dilayangkan oleh pemilik merek tersebut bernilai ratusan juta rupiah. Sehingga, banyak pihak yang merasa dirugikan atas hal tersebut.

Meskipun kata �open mic� merupakan kata umum, namun merek tersebut diikuti dengan kata �Indonesia� dan lukisan bergambar mikrofon, sehingga unsur merek yang dilindungi pada merek tersebut adalah kata �Open Mic Indonesia� dan lukisan tersebut secara satu kesatuan yang utuh. Dengan kata lain, merek milik Ramon Papana seharusnya bukan dilihat secara parsial atau bagian per bagian.

����������� Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila kata �open mic� tidak dijadikan sebagai nama dari suatu merek. Hal ini juga ditegaskan dengan pengertiannya yang terdapat dalam beberapa kamus mendunia, salah satunya adalah Oxford Learner�s Dictionaries yang mendefinisikan �open mic� sebagai sebuah acara di suatu tempat dimana semua orang dapat menyanyi, bermain musik atau menceritakan lelucon.

����������� Maka dari itu, Majelis Hakim pada Putusan 85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN. Niaga.Jkt.Pst memutuskan amar putusan sebagai berikut: 1) Mengabulkan gugatan Penggugat; 2) Menyatakan merek �Open Mic Indonesia� dengan Nomor Pendaftaran �. Milik Tergugat melanggar Pasal 20 huruf a dan/atau Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis �. 3) Menyatakan batal terhadap pendaftaran merek �Open Mic Indonesia� �.; 4) Memerintahkan Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan dalam perkara a quo; 5) Memerintahkan Turut Tergugat untuk menghapuskan merek �Open Mic Indonesia� �.; 6) Memerintahkan Turut Tergugat untuk mengumumkan penghapusan pendaftaran merek �Open Mic Indonesia� �.; 7) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara Rp. �.

 

Kesimpulan

����������� Generic terms atau istilah umum merupakan sebuah makna yang merujuk bentuk kelompok dari produk atau istilah yang umum pada kalangan konsumen atau publik. Seharusnya, merek yang didaftarkan dengan menggunakan generic terms atau peristilahan umum yang merupakan bagian dari public domain tidak dapat lolos atau melalui tahapan pemeriksaan substantif dalam proses pemeriksaan merek. Hal tersebut perlu dicegah karena apabila permohonan merek tersebut dikabulkan dikhawatirkan dapat memberikan hak monopoli bagi pemilik merek atas penggunaan merek tersebut sehingga merek tersebut tidak dapat bersaing secara efektif.

Penggunaan kata atau tanda yang berhubungan langsung secara melekat dengan jenis barang atau jasa yang bersangkutan harus disertai dengan kata tambahan yang disebut dengan �secondary meaning� untuk membedakan jenis produk atau sifat produksi jenis yang sama oleh produsen yang sama.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAPHY

Abdurahman, Humaedi. (2020). Asas First To File Principal Dalam Kasus Hak Merek Nama Terkenal Bensu. Aktualita (Jurnal Hukum), 3(1).

 

Bersifat, Yang. (2016). Pendaftaran terhadap merek yang bersifat generic dan descriptive.

 

Gautama, Sudargo. (1990). Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual. Eresco.

 

Harahap, M. Yahya. (1996). Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992.

 

Hartono, Margareta Kristiani, Suryani, Cendana, & Syailendra, Moody Rizqy. (2023). Pembatalan Merek Yang Telah Terdaftar Berdasarkan Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016. Unes Law Review, 5(4), 3411�3422.

 

Jened, Rahmi. (2010). Hak kekayaan intelektual: penyalahgunaan hak eksklusif. Pusat Penerbitan dan percetakan Unair.

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.

 

Michael, Michael, & Kansil, Christine S. T. (2021). ANALISIS TANGGUNG JAWAB DIREKTORAT JENDERAL HAKI TERHADAP KASUS PENDOMPLENGAN NAMA/PASSING OFF TERHADAP MEREK TERKENAL �M&G� DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PUTUSAN NO 526K/PDT. SUS-HKI/2020). Jurnal Hukum Adigama, 4(2), 424�448.

 

Nabilah, Ilvi, Sudjana, Sudjana, & Rafianti, Laina. (2018). Penggunaan Nama Desa Trusmi Pada Merek Dagang Terdaftar Dikaitkan Dengan Hak Ekonomi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis. ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, 2(1), 46�55.

 

Pakpahan, Yohan Prawira, & Haryanto, Imam. (2021). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK MEREK TIDAK TERDAFTAR DITINJAU DARI PRINSIP �USE IN COMMERCE.� Dialogia Iuridica, 12(2), 22�35.

 

Precillia, Yolanda, Santoso, Budi, & Njatrijani, Rinitami. (2016). Analisis Yuridis Pendaftaran Merek Deskriptif Yang Menjadi Merek Generik (Studi Kasus: Putusan Nomor: 179/Pk/Pdt. Sus/2012). Diponegoro Law Journal, 5(3), 1�9.

 

Rohman, Taufikur. (2016). Perlindungan Hukum Hak Merek Bagi Pendaftar Pertama (First To File) Di Indonesia (Analisis Putusan Nomor: 304 K/Pdt. Sus-HKI/2014).

 

Tampubolon, Fiona Christa. (2022). PENYELESAIAN SENGKETA MEREK TERHADAP PENGGUNAAN KATA �ACC� ANTARA MEREK KLIKACC DAN ACC MEMBERI KEMUDAHAN.

 

Wibowo, Ari, & Hadi, Hernawan. (2017). Penerapan Prinsip Itikad Baik dan Daya Pembeda dalam Pendaftaran Merek Dagang yang Bersifat Keterangan Barang (Descriptive Trademark) Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Privat Law, 3(1), 164801.

 

Yanto, Oksidelfa. (2012). Tinjauan Yuridis Uu No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek: Sisi Lain Kelemahan Sistem First To File Dalam Perlindungan Hukum Atas Merek Sebagai Bagian Dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI). ADIL: Jurnal Hukum, 3(1), 23�45.

 

 

Copyright holder:

Yemima Andria Hotmauli Simanjuntak; Jeane Nelje Saly (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: