Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
KONFLIK HUKUM DI SEKTOR PERTAMBANGAN:
PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM YANG BERKELANJUTAN
Fakultas Hukum Universitas Tadulako
Email [email protected]
Abstrak
Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan
merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia, salah satu
sektor yang sering menjadi sumber konflik adalah sektor pertambangan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan konflik
hukum di sektor pertambangan di Indonesia serta mengkaji implikasi konflik
hukum terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini dengan menggunakan studi literatur. Data yang telah terkumpul
kemudian dianalisis menggunakan tiga tahapan yakni reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik hukum di
sektor pertambangan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
kurang adilnya pembagian keuntungan, kerusakan lingkungan, pelanggaran hak-hak
masyarakat. Konflik hukum di sektor pertambangan memiliki implikasi negatif
terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Konflik hukum dapat
menghambat investasi, menurunkan produktivitas, dan merusak lingkungan.
Kata Kunci: Konflik hukum, Pertambangan, Sumber Daya Alam.
Abstract
Sustainable management of natural resources is one of the major
challenges faced by Indonesia, one sector that is often a source of conflict is
the mining sector. The purpose of this study is to analyze the factors that
cause legal conflicts in the mining sector in Indonesia and examine the
implications of legal conflicts for sustainable natural resource management.
This research uses qualitative research methods. Data collection techniques in
this research using literature studies. The data that has been collected is
then analyzed using three stages, namely data reduction, data presentation and
conclusion drawing. The results showed that legal conflicts in the mining
sector in Indonesia were caused by several factors, including unfair profit
sharing, environmental damage, and violations of community rights. Legal
conflicts in the mining sector have negative implications for sustainable
natural resource management. Legal conflicts can hamper investment, reduce
productivity, and damage the environment.
Keywords: Legal Conflict, Mining, Natural Resources.
Pendahuluan
Pertambangan adalah aktivitas
ekstraksi bahan galian yang berharga dan memiliki nilai ekonomis dari dalam
lapisan bumi, dilakukan baik dengan metode mekanis
maupun manual, di permukaan
bumi, di bawah permukaan, atau di bawah air. Hasil dari kegiatan pertambangan ini termasuk minyak
dan gas bumi, batubara, pasir besi, serta
berbagai jenis bijih, seperti timah, nikel, bauksit,
tembaga, emas, perak, dan mangan (Samanlangi, 2016). Pada tahun 2019, sektor pertambangan menjadi topik yang ramai diperbincangkan dalam ranah publik.
RUU Minerba, salah satu
dari lima Rancangan Undang-Undang yang ditunda dalam proses pengesahannya di
DPR, menggarap masalah perizinan hingga operasional perusahaan tambang yang sering memicu protes dan akhirnya menghasilkan konflik dalam masyarakat.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), hampir semua perusahaan pertambangan yang beroperasi di suatu wilayah terlibat dalam konflik, baik antara masyarakat
setempat dengan perusahaan tambang, masyarakat dengan pemerintah, maupun antar kelompok masyarakat itu sendiri (JATAM, 2020).
Ki Bagus Hadikusuma, seorang peneliti di Jatam, mencatat bahwa periode 2014-2019 terdapat 71 kasus konflik dalam
sektor pertambangan. Konflik tersebut melibatkan penolakan izin pertambangan dari masyarakat terhadap perusahaan dan pemerintah, yang terjadi di lahan seluas 925.748 hektar. Daerah yang paling banyak
mengalami konflik adalah provinsi Kalimantan Timur
(14 kasus), disusul oleh
Jawa Timur (8 kasus) dan Sulawesi Tengah (9 kasus). Konflik yang tercatat terkait dengan keberadaan tambang emas (23 kasus), batubara (23 kasus), dan pasir besi (11 kasus) (Thea, 2020).
Pertambangan di Indonesia kerap kali menyisakan kesan buruk, misalnya pencemaran lingkungan, maupun eksploitasi alam. Akan tetapi disisi lain terdapat juga manfaat yang didapatkan dari dunia pertambangan terutamanya bagi negara. Pertambangan memiliki manfaat yang signifikan bagi perekonomian dan industri, baik secara lokal maupun
global. Secara ekonomi, pertambangan menyediakan lapangan pekerjaan dan pendapatan bagi banyak individu.
Hal ini mencakup pekerjaan langsung di pertambangan, misalnya sebagai operator peralatan atau teknisi, dan pekerjaan tidak langsung dalam industri terkait, seperti jasa konstruksi, transportasi, dan layanan. Selain
itu, sektor pertambangan memberikan kontribusi penting terhadap PDB negara. Secara
global, pertambangan menyediakan
sumber daya yang penting bagi berbagai
industri seperti logam, batubara, mineral, dan energi. Di sektor ini, sumber daya
alam diekstraksi untuk digunakan dalam pembuatan barang konsumen sehari-hari, teknologi modern, konstruksi, dan energi (Suherman, Suseno, &
Saleh, 2015).
Meskipun ada manfaat
signifikan, pertambangan sering kali menjadi topik kontroversi karena dampak lingkungan,
seperti degradasi lahan, pencemaran air, dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pertambangan
yang bertanggung jawab dan berkelanjutan menjadi penting untuk meminimalkan
dampak negatifnya. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan merupakan praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang memperhatikan keberlanjutan ekologis, ekonomis, dan sosial.
Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa sumber daya alam
dikelola sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Siregar, 2023). Penelitian terdahulu
oleh Yulianingrum (2021) meneliti kebijakan
pengelolaan sumber daya alam berbasis
kesejahteraan profetik, hasil penelitian menunjukan bahwa konstruksi existing politik hukum pengelolaan sumber daya alam
tidak berjalan sesuai dengan konstruksi
ideal cita-cita bangsa yang
memiliki karakter sosialis. konstruksi existing politik hukum pembentukan
perundang-undangan sektor pengelolaan sumber daya alam nasional
cenderung berkarakter �neo-liberalistik� yang mengarahkan dukungan pada swasta, hubungan antara pemerintah dan masyarakat juga hanya sebatas subordinatif
sehingga keadilan yang berusaha diwujudkan adalah keadilan distributif (individual).
Hukum progresif hadir menawarkan perspektif baru dengan berpegang pada prinsip bahwa agenda politik hukum pembentukan
perundang-undangan di bidang
pengelolaan sumber daya alam harus
dilakukan secara responsif, partisipatif, dan holistic.
Penelitian lain oleh Erika (2018) meneliti konflik
pembebasan lahan di wilayah
tanah adat masyakarat hukum adat dalam konsensi
pertambangan mineral dan batubara,
penelitian ini menunjukan bahwa dalam UUPA menyatakan hukum agraria nasional
berlandaskan hukum adat, dalam hal
ini hukum adat yang di konstruksi oleh hukum negara.
Undang-Undang Pokok Agraria
menunjukan konsep pluralismedengan membahas konstruksi undang-undang pokok agraria terhadap
hukum, menunjukan bahwa dalam relasi
antara hukum negara dan hukum adat sangat dimungkinkan upaya mengkontruksikan atau mendekonstruksikan hukum adat sesuai kepentingan
negara. Hal yang sangat tepat menyelesaikan
konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan
lokal yakni berperannya lembaga karena selama ini
sudah membudaya dalam masyarakat.
Belum adanya penelitian yang meneliti mengenai faktor-faktor yang menyebabkan konflik hukum di sektor pertambangan di Indonesia serta mengkaji implikasi konflik hukum terhadap
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan menjadi kebaharuan dalam penelitian ini. Penelitian ini telah memberikan kontribusi pada pengembangan pemahaman yang lebih baik mengenai konflik
hukum di sektor pertambangan.
Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi pada pengembangan teori pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor
yang menyebabkan konflik hukum di sektor pertambangan di Indonesia serta mengkaji implikasi konflik hukum terhadap
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Menurut Creswell ,(2017) penelitian kualitatif
merupakan tipe penelitian yang menggali serta memahami makna di dalam sejumlah individu atau sekelompok orang yang terkait dengan isu sosial. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan
studi literatur yang diperoleh dari Google Schoolar dengan mengeksplorasi buku, jurnal dan informasi lain yang relevan dengan penelitian.
Metode studi literatur
adalah serangkaian tindakan yang terkait dengan pengumpulan informasi dari berbagai sumber tulisan, membaca, dan mencatat informasi yang relevan serta mengelola materi penelitian (Zed, 2008). Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Penelitian dilakukan selama 3 hari mulai dari
tanggal 3 November � 6 November 2023. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan tiga tahapan yakni reduksi
data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Hakikatnya pembangunan sektor pertambangan dan energi mengupayakan suatu proses pengembangan sumberdaya mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Sulfahmi, Asmiani, & Thamsi, 2020).
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan di Indonesia biasanya berbentuk group. Tercatat terdapat 30 group yang bergerak dalam industri pertambangan Indonesia, di antaranya adalah BUMI Plc Group, ADARO Group, BAYAN Group, INDIKA Group, BANPU Group, BA Group, BORN Group, TANITO Group, ASTRA Group, SINAR MAS Group dan masih banyak yang lainnya. Dominasi keberadaan perusahaan group dibandingkan perusahaan tunggal di Indonesia ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan berskala besar tidak lagi dijalankan melalui bentuk perusahaan tunggal, tetapi mengunakan konstruksi perusahaan group.
Perusahaan-perusahaan group tersebut terus melakukan ekspansi bisnisnya di sektor pertambangan batubara. Tentu saja tujuannya adalah untuk memperoleh laba atas investasinya dan memberikan sumbangan pada peningkatan ekonomi dan sosial lingkungan yang lebih luas. Untuk mencapai tujuannya, perusahaan-perusahaan group tersebut menghadapi persaingan yang semakin ketat dari pesaing-pesaing yang mempunyai tujuan yang sama, dengan produk yang ditawarkan serta cara-cara yang hampir sama pula (Hartana, 2017).
Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam.
Konflik terjadi tidak memandang status atau tatanan dalam lingkup sosial. Faktor ekonomi menjadi factor pemicu utama terjadinya konflik yang terjadi di dalam masyarakat (Ahmad & Nurdin, 2022). Konflik yang terjadi juga seringkali berkaitan dengan sumber daya alam yang berkelanjutan. Beberapa konflik yang pernah terjadi mengenai konflik hukum berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah sebagai berikut.
1. Legalitas dan Izin
Perijinan usaha pertambangan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 19 tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 25 tahun 2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam rangka Pelaksanaan Pelayanan terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kenyataannya, tidak semua kegiatan pertambangan emas memiliki izin. Ada begitu banyak pertambangan emas tanpa izin, atau yang biasa disingkat dengan PETI.
Pertambangan emas tanpa izin adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 19 tahun 2020. Di Sulawesi Utara, khususnya di Kecamatan Ratatotok Kabupaten Minahasa Tenggara, pertambangan emas kebanyakan dilakukan secara illegal oleh kelompok-kelompok perorangan pada lahan-lahan perkebunan milik pribadi maupun pertambangan yang dikelola oleh perusahaan. Sudah sejak lama diketahui bahwa kegiatan pertambangan emas ilegal di Kecamatan Ratatotok beroperasi secara tidak terkendali (Tongkotow, Pati, & Posumah, 2023).
Kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh pihak PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) menjadi awal mula terjadinya konflik dan ketegangan antara pihak PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) dan pihak penambang rakyat yang dimana penambang rakyat ini adalah masyarakat asli Desa Tatelu, Tatelu Rondor, Tatelu Warukapas dan Desa-Desa di sekitarnya. Kasus penolakan masyarakat terhadap pihak perusahaan tambang juga terjadi di Kepulauan Sangihe dimana masyarakat Kepulauan Sangihe menolak dengan keras akan kehadiran dari Pihak perusahan tambang emas yaitu PT Tambang Mas Sangihe (TMS), masyarakat menolak dengan keras karena ditakutkan aktivitas pertambangan ini akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar dan dapat memicu terjadinya bencana alam yang dapat mengancam keselamatan warga Kepulauan Sangihe (Turangan, Pangemanan, & Kimbal, 2022).
Kehadiran perusahaan tambang di suatu wilayah juga biasanya diawali dengan konflik lahan seperti lahan tanah adat. Wilayah tanah adat biasanya diklaim sebagai tanah negara atau dinyatakan tidak berpenghuni sehingga perusahaan tambang bisa mendapatkan izin dari negara untuk melakukan penambangan (Munauwarah, 2016).
2. Hak Masyarakat Lokal
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak bisa dioperasionalkan, sehingga mengandung problem yuridis dan problem implementasi, termasuk sistem perizinan dan pengawasan, penyelesaian hak atas tanah, dan pengelolaan lingkungan hidup dalam reklamasi dan pasca tambang. Kompleksitas permasalahan dalam kawasan hutan yang penetapannya oleh pemerintah pusat telah lama terjadi dalam bentuk konflik-konflik tenurial, konflik masyarakat lokal dan masyarakat adat dengan pemegang izin, namun dalam penyelesaian hak atas tanah tidak tuntas.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menentukan bahwa sumber konflik 2 diantaranya adalah sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat (Nugroho, 2020). UUCK Pasal 22 menghapus ketentuan Izin Lingkungan yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan menggantikannya dengan Persetujuan Lingkungan.
Persetujuan Lingkungan diatur sebagai salah satu persyaratan dasar yang disederhanakan untuk memperoleh Perizinan Berusaha dalam Pasal 13 BAB III UUCK. Implikasi penggantian dari izin menjadi persetujuan yaitu hilangnya hak gugat administratif bagi masyarakat atas diterbitkannya persetujuan lingkungan. Kemudian, UUCK juga mengurangi pengawasan publik dalam proses penyusunan dokumen AMDAL sebagaimana dalam Pasal 26 UU PPLH dan menimbulkan dampak: 1) hilangnya hak masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL, dan 2) hilangnya hak pemerhati lingkungan hidup dan anggota masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL; 3) menyalahi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses pelibatan masyarakat di dalam penentuan kelayakan lingkungan; 4) menyalahi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Adapun Hak Ulayat yang merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/ pendayagunaan tanah. Hak Ulayat tersebut merupakan hak suatu persekutuan hukum (desa,suku) di mana para warga masyarakat (persekutuan hukum) mempunyai hak untuk menguasai tanah. Sebidang tanah yang ada disekitar lingkungannya di mana pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/ kepala desa) yang bersangkutan (Munauwarah, 2016).
3. Dampak Lingkungan
Usaha pertambangan dalam waktu relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi tanah dan keadaan muka tanah (land impact) sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya (Listiyani, 2017). Salah satu contohnya adalah dampak pertambangan marmer di Kabupaten Tulungagung seperti banjir dan kekeringan terus terjadi setiap tahun.
Menyikapi hal tersebut maka pemerintah daerah sebaiknya menciptakan progam pendamping untuk memperkuat dan melengkapi regulasi yang ada agar kebijakan tidak hanya berfokus kepada perijinannya saja tapi juga pengawasan, pengelolaan, serta dampaknya kepada lingkungan dan masyarakat setempat (Lina, 2019).
4. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan sumberdaya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat). Konflik kepentingan merupakan tipologi konflik paling dominan. Pemilik modal, pemerintah, penambang tradisional dan masyarakat memiliki kepentingan yang sangat besar dalam aktivitas pertambangan.
Masyarakat sekitar lokasi tambang melihat aktivitas dalam dua sisi: 1). Masyarakat dirugikan dengan rusaknya fasilitas umum, hilangnya lahan, dan rusaknya lingkungan sosial masyarakat. 2). Masyarakat merasa diuntungkan dengan aktivitas tersebut karena mempunyai mata pencaharian, dilibatkan dalam aktivitas pertambangan, dan mendapatkan kompensasi ekonomi. Pemerintah daerah melihatnya dalam tiga sisi: 1). Tambang bisa menjadi sumber pendapatan daerah. 2). Pemerintah melihat aktivitas tambang sebagai sebuah ancaman karena dampaknya terhadap stabilitas sosial, dimana pemerintah pada akhirnya harus menanggung keseluruhan proses pemulihan jika terjadi kerusakan maupun konflik horizontal. 3). Pemerintah melihat aktivitas pertambangan dalam kerangka regulasi yang harus dikawal dan ditegakkan (Safa�at & Qurbani, 2017).
Dengan demikian, konflik hukum di sektor pertambangan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurang adilnya pembagian keuntungan, kerusakan lingkungan, pelanggaran hak-hak masyarakat. Konflik hukum di sektor pertambangan juga memiliki implikasi negatif terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Konflik hukum dapat menghambat investasi, menurunkan produktivitas, dan merusak lingkungan.
Kesimpulan
Konflik
hukum dalam sektor pertambangan di Indonesia dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor yang meliputi ketidakadilan dalam pembagian keuntungan, kerusakan
lingkungan, serta pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat. Implikasi dari
konflik hukum tersebut berdampak negatif pada upaya pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan. Konflik tersebut dapat menghambat investasi dalam
sektor ini, menurunkan produktivitas, serta menimbulkan dampak merugikan pada
lingkungan. Dampak lingkungan yang berkelanjutan, termasuk kerusakan lahan,
pencemaran air, dan penurunan kualitas udara, merupakan beberapa efek negatif
yang diakibatkan oleh konflik hukum di sektor pertambangan.
Ahmad, Syarif, & Nurdin, Iing. (2022). KONFLIK
PERTAMBANGAN PASIR BESI DI KECAMATAN WERA KABUPATEN BIMA. Academia Praja:
Jurnal Ilmu Politik, Pemerintahan, Dan Administrasi Publik, 5(2),
278�295.
Creswell,
John W., & Creswell, J. David. (2017). Research design: Qualitative,
quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.
Erika,
Erika. (2018). Konflik Pembebasan Lahan Di Wilayah Tanah Adat Masyakarat Hukum
Adat Dalam Konsensi Pertambangan Mineral Dan Batubara. Jurnal Komunikasi
Hukum (JKH), 4(2), 1�14.
Hartana,
Hartana. (2017). PELAKSANAAN AKUISISI DI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA DALAM
PELAKSANAAN EKSPANSI PERUSAHAAN GROUP. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 3(2),
18�32.
Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM). (2020). Bergerilya melawan Mesin ekstraktivisme:
Mutasi Kejahatan Negara-Korporasi dan Babak Baru Jerat Oligarki Tambang.
https://www.jatam.org/wp-content/uploads/2021/07/Laporan-JATAM-Catatan-Akhir-Tahun-2020-dan-Proyeksi-2021.pdf.
Diakses pada 6 November 2023.
Lina,
Astrid Mey. (2019). Analisis Kebijakan Tata Kelola Dampak Aktivitas Penambang
Marmer Berdasarkan Perspektif Sustainable Development. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik, 5(3), 312�319.
Listiyani,
Nurul. (2017). Dampak pertambangan terhadap lingkungan hidup di kalimantan
selatan dan implikasinya bagi hak-hak warga negara. Al-Adl: Jurnal Hukum,
9(1), 67�86.
Munauwarah,
Munauwarah. (2016). Konflik Kepentingan dalam Perebutan Lahan Pertambangan di
Kabupaten Luwu Timur antara Masyarakat Adat To Karunsi�e dengan PT. Vale
Indonesia. The Politics: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin,
2(2), 132�146.
Nugroho,
Wahyu. (2020). Persoalan hukum penyelesaian hak atas tanah dan lingkungan
berdasarkan perubahan Undang-Undang Minerba. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
27(3), 568�591.
Safa�at,
Rachmad, & Qurbani, Indah Dwi. (2017). Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pertambangan (Studi di Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur). Jurnal
Konstitusi, 14(1), 150�167.
Samanlangi,
Andi Ilham. (2016). Sistem Penambangan. Penerbit Andi.
Siregar,
Fandy Ahmad. (2023). PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK
MENCAPAI KEBERLANJUTAN PANGAN.
Suherman,
Ijang, Suseno, Triswan, & Saleh, Ridwan. (2015). Kajian manfaat usaha
pertambangan bauksit terhadap sosial ekonomi daerah di Provinsi Kalimantan
Barat. Jurnal Teknologi Mineral Dan Batubara, 11(2), 129�145.
Sulfahmi,
Pangeran, Asmiani, Nur, & Thamsi, Alam Budiman. (2020). ANALISIS MANFAAT
SEKTOR PERTAMBANGAN TERHADAP PREKONOMIAN KAB LUWU TIMUR MENGGUNAKAN METODE
ANALASIS LOCATION QUENTION DAN ANALISIS SHIFT-SHARE. Jurnal GEOSAPTA Vol,
6(2), 81.
Thea,
Ady. (2020). Jatam: Ada 71 Konflik Pertambangan Periode 2014-2019. https://www.hukumonline.com/berita/a/jatam--ada-71-konflik-pertambangan-periode-2014-2019-lt5e14311f6aa5a/.
Diakses pada 6 November 2023.
Tongkotow,
Ekadia, Pati, Agustinus B., & Posumah, Daisy. (2023). Konflik Pada
Pertambangan Emas Tanpa Izin di Kecamatan Ratatotok Kabupaten Minahasa
Tenggara. Sam Ratulangi Politics Review (SRPolRev), 1(1).
Turangan,
Junaldy, Pangemanan, Fanley, & Kimbal, Alfon. (2022). Penanganan Konflik
Pertambangan di Kabupaten Minahasa Utara (Studi Kasus Konflik Antara PT.
Tambang Tondano Nusajaya dan Penambang Rakyat di Desa Tatelu). GOVERNANCE,
2(2).
Yulianingrum,
Aullia Vivi, Absori, Absori, & Hasmiati, Rahmatullah Ayu. (2021). Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kesejahteraan Profetik (Studi Analitik
Regulasi Mineral dan Batubara di Indonesia). Prosiding Seminar Nasional
Hukum Dan Pembangunan Yang Berkelanjutan, 1�24.
Zed,
Mestika. (2008). Metode penelitian kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Copyright holder: Zulkarnain (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |