Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e- ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 11, November
2023
Sally Dian Nastity,
Richard C. Adam
Universitas Tarumanagara
Email: [email protected], [email protected]
Penelitian ini menginvestigasi disparitas dalam penerapan sanksi administratif akibat keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham pelaku usaha berdasarkan hukum persaingan usaha. Fenomena ini menjadi penting karena dampaknya terhadap ketertiban persaingan usaha dan keadilan dalam penegakan hukum ekonomi. Penelitian hukum normatif merupakan suatu metode penelitian di bidang hukum yang menitikberatkan pada analisis teks-teks hukum dan dokumen- dokumen hukum guna memahami, menafsirkan dan mengevaluasi kerangka hukum yang mengatur suatu persoalan atau permasalahan hukum tertentu. Hasil penelitian menunjukkan adanya disparitas yang signifikan dalam penegakan hukum terkait keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham. Faktor-faktor seperti kebijakan regulator, tingkat kesadaran pelaku usaha, dan interpretasi hukum memainkan peran kunci dalam menentukan tingkat sanksi yang diberlakukan.
Kata Kunci: Disparitas Sanksi Administratif; Pelaku Usaha; Pengambilalihan Saham
Abstract
This study investigates disparities in the application of administrative sanctions due to late notification of takeover of business actors based on
competition law. This phenomenon is important because of its impact on business
competition order and fairness in economic law enforcement. Normative legal
research is a research method in the field of law that focuses on the analysis
of legal texts and legal documents in order to understand, interpret and
evaluate the legal framework that regulates a particular legal problem or
problem. The results showed a significant disparity in law enforcement related
to the delay in notification of the takeover. Factors such as regulatory policies, level of awareness of business actors,
and legal interpretation play
a key role in determining the level of sanctions imposed.
Keywords: Disparity in administrative sanctions; Business Actors;
Share Takeover.
How
to cite: Sally
Dian Nastity, Richard C. Adam (2023) Disparitas
Sanksi Administratif Akibat Keterlambatan Pemberitahuan Pengambilalihan Saham Pelaku Usaha
Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (8) 11, |
E-ISSN: 2548-1398 |
Published by: Ridwan Institute |
Secara umum untuk memperoleh keuntungan atau penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup, orang cenderung menyelesaikan masalah dengan cara berusaha. Dengan demikian, hal tersebut mendorong semua orang untuk terlibat dalam berbagai jenis usaha, baik yang serupa maupun yang berbeda. Dari situasi tersebut, persaingan bisnis antara para pelaku usaha muncul dan menjadi sesuatu yang umum terkait dengan persaingan di dalam dunia bisnis.
Masuknya era perdagangan bebas telah memperketat persaingan di antara perusahaan. Kondisi ini menekankan kebutuhan perusahaan untuk terus mengembangkan strategi agar dapat bertahan dan tumbuh. Oleh karena itu, perusahaan perlu merancang strategi yang sesuai untuk mempertahankan popularitas dan meningkatkan kinerja mereka. Seperti entitas kolektif, perusahaan akan mengalami berbagai situasi, termasuk pertumbuhan dinamis, periode statis, dan kemungkinan kemunduran. Untuk berkembang, perusahaan dapat melakukan ekspansi bisnis dengan memilih antara dua pendekatan: pertumbuhan dari dalam perusahaan atau pertumbuhan dari luar perusahaan.
Pertumbuhan internal merujuk pada ekspansi melalui pembangunan bisnis atau unit bisnis baru dari awal (Digdowiseiso, 2019). Proses ini melibatkan serangkaian langkah seperti riset pasar, desain produk, perekrutan tenaga ahli, uji pasar, serta pengadaan dan pembangunan fasilitas produksi sebelum produk dijual ke pasar. Di sisi lain, pertumbuhan eksternal terjadi melalui akuisisi perusahaan yang sudah ada.
Melalui strategi merger dan pengambilalihan (akuisisi), perusahaan dapat dengan cepat memperoleh akses ke pasar baru dan produk baru tanpa memulai dari nol (Gustina, 2017). Dibanding pertumbuhan internal, pertumbuhan eksternal melalui merger dan akuisisi menghemat waktu secara signifikan. Secara umum, perusahaan cenderung lebih memilih pertumbuhan eksternal melalui merger dan akuisisi (pengambilalihan) daripada pertumbuhan internal (Sugiarsih, Sholihah, & Sumriyah, 2023).
Akusisi (pengambilalihan) saham merupakan salah satu pertumbuhan yang dipilih oleh pelaku usaha untuk mengekspansi keuntungan (Anggraini, 2021). Akan tetapi, akuisisi atau pengambilalihan dari dari pandangan hukum persaingan usaha, dampak negatif yang berpotensi timbul dari akuisisi adalah terganggunya keseimbangan persaingan usaha pada pasar yang bersangkutan dimana akan merugikan pelaku usaha lain dan konsumen pada pasar tersebut (Nuha, 2021);(Reeze & Kansil, 2022).
Untuk mengontrol perilaku pelaku usaha agar tetap dalam persaingan usaha yang sehat, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Antimonopoli) dan membentuk lembaga dengan kewenangan khusus dalam menjaga iklim persaingan usaha yang dikenal dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU) (Hernanda & Njatrijani, 2022).
Sejak berlakunya ketentuan UU Antimonopoli pelaku usaha yang melakukan akuisisi diwajibkan untuk memberitahukan pemberitahuan (notifikasi) secara tertulis kepada KPPU. Ketentuan lebih lanjut mengenai akuisisi (pengambialihan) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010. Dalam penelitian ini permasalahan yang
dibahas adalah keterlambatan pemberitahuan (notifikasi) kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh PT Cipta Prima Sejati.
Dalam hal ini PT. Citra Prima Sejati melakukan akuisisi beberapa saham yang sebelumnya dimiliki oleh PT. Mitra Bisnis Harvest pada 28 November 2013. Dengan akuisisi ini terjadi perubahan komposisi pemegang saham PT. Mitra Bisnis Harvest. Berdasarkan laporan yang diterima KPPU, pengambilalihan saham yang dilakukan oleh PT Cipta Prima Sejati terhadap PT Mitra Bisnis Harvest telah berlaku efektif sejak 24 Desember 2013. Batas waktu pemberitahuan pengambilalihan paling lambat tanggal 7 Februari 2014. PT Cipta Prima Sejati baru memberitahukan akuisisi tersebut pada 26 April 2019.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai ada keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham tersebut. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyatakan bahwa PT. Cipta Prima Sejati telah melaksanakan ketentuan pasal 29 undang-undang no. 5 Tahun 1999 juncto Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 (Hikari, 2022). Ketentuan ini mewajibkan perusahaan untuk memberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apabila melakukan pengambilalihan atau akuisisi karena berdampak pada nilai aset dan penjualan perusahaan yang diakuisisi (Julita, 2022).
Jika nilai ini melebihi batas yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 berpotensi menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal ini PT. Cipta Prima Sejati mengalami keterlambatan laporan pengadaan selama
1.220 (seribu dua ratus dua puluh) hari. Sesuai Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang memberikan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.
Mengenai pengenaan denda, khususnya pada Pasal 47 ayat (2) huruf g disebutkan bahwa pengenaan denda paling rendah 1 miliar rupiah dan setinggi-tingginya 25 miliar rupiah, sedangkan menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 mengatur sanksi administratif berupa denda setiap hari (Amalia, 2019).
Pasca diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja ketentuan mengenai pengenaan denda tersebut di ubah menjadi pengenaan denda menjadi paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tanpa menyebutkan batas maksimal.
PT Cipta Prima Sejati berkeberatan atas besaran denda yang dikenakan KPPU dalam Putusan KPPU Nomor 02/KPPU-M/2019 dan memutuskan menghukum PT Citra Prima Sejati selaku tergugat dengan denda sebesar Rp10.330.000.000,00 (sepuluh miliar tiga ratus tiga puluh) juta rupiah terutang). Dalam upaya mengatasi ketidaksepakatan terhadap keputusan tersebut, PT. Cipta Prima Sejati mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan permohonan keberatan diterima dan meninjau kembali putusan KPPU dengan mengenakan denda kepada PT Cipta Prima Sejati sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang selanjutnya ditegaskan melalui putusan kasasi Nomor 650 K/Pdt.Sus-KPPU/2020.
Akan tetapi, salah satu contoh kasus pengambilalihan saham dalam Putusan KPPU No. 05/KPPU-M/2022 disebutkan bahwa pihak yang memberitahukan PT Lestari Gemilang Intisawit dengan keterlambatan pemberitahuan selama 1.361 (seribu tiga ratus enam puluh satu) hari dikenakan sanksi administratif oleh KPPU jauh lebih kecil yaitu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar) rupiah. Hal ini perlu dikaji mengingat untuk memperoleh kepastian hukum bagi para pelaku usaha, khususnya dalam pengenaan sanksi administratif.
Penelitian hukum normatif merupakan suatu metode penelitian di bidang hukum yang menitikberatkan pada analisis teks-teks hukum dan dokumen-dokumen hukum guna memahami, menafsirkan dan mengevaluasi kerangka hukum yang mengatur suatu persoalan atau permasalahan hukum tertentu. Dalam metode ini, peneliti akan mengkaji peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur hukum yang relevan untuk mengidentifikasi norma hukum yang berlaku, menjelaskan makna dan implikasinya serta merumuskan pandangan atau kesimpulan hukum berdasarkan landasan hukum yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sumber data berdasarkan buku, jurnal atau dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
Dasar Mekanisme Pengenaan
Sanksi Administratif Akibat Keterlambatan Pemberitahuan Pengambilalihan Saham
Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai persaingan usaha dan pengawasan pengambilalihan saham untuk mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Rachmadi Usman, 2022). Salah satu undang-undang yang relevan dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut “UU Persaingan Usaha Tidak Sehat”).
Pasal 29 Undang-Undang Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang mengakibatkan terjadinya Prakrik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur kewajiban pelaku usaha untuk memberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada saat terjadi pengambilalihan saham yang dapat meningkatkan nilai aset dan mempengaruhi penjualan perusahaan diakuisisi (Muryanto, 2018). Hal ini merupakan upaya untuk menjamin transparansi dalam penyelenggaraan usaha yang melibatkan pengambilalihan saham, sehingga KPPU dapat memantau dan mengidentifikasi potensi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 29 UU Persaingan Usaha Tidak Sehat mewajibkan setiap pelaku usaha yang melakukan pengambilalihan atau pengambilalihan wajib memberitahukan kepada KPPU. Sementara itu, Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 menegaskan
ketentuan tersebut wajib dipatuhi oleh perusahaan publik yang akan melakukan pengambilalihan saham. Pemberitahuan ini penting karena dapat mempengaruhi perubahan komposisi pemegang saham suatu perusahaan, yang berpotensi mempengaruhi persaingan usaha di pasar.
Peraturan ini juga mengatur batas waktu atau tenggat waktu yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha untuk memberikan pemberitahuan. Dalam kasus pengambilalihan saham, penting untuk memenuhi tenggat waktu tersebut. Hal ini sejalan dengan tujuan pembentuk undang-undang untuk memastikan KPPU dapat segera mengidentifikasi dan mengevaluasi pengambilalihan saham yang mungkin berdampak signifikan terhadap persaingan usaha.
Batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 adalah pemberitahuan pengambilalihan harus dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal efektif pengambilalihan saham. Dalam kasus yang disebutkan yaitu kasus PT Cipta Prima Sejati yang mengambil alih saham PT Mitra Bisnis Harvest pada tanggal 28 November 2013, batas waktu penyampaian pemberitahuan berakhir pada tanggal 7 Februari 2014. Hal ini sejalan dengan prinsip transparansi dan pengawasan. yang menjadi dasar peraturan ini.
Namun kekhawatiran terbesar dalam konteks penerapan sanksi administratif adalah keterlambatan penyampaian pemberitahuan pengambilalihan saham. Untuk PT Cipta Prima Sejati, pemberitahuan pengambilalihan dilakukan pada tanggal 26 April 2019 yaitu 1.220 (seribu dua ratus dua puluh) hari setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan peraturan. Akibat penundaan tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai PT Cipta Prima Sejati melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Persaingan Usaha Tidak Sehat Jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010.
Pasal 47 UU Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan dasar hukum bagi KPPU untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Pasal 47 ayat (1) UU Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa KPPU berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar undang-undang ini.
Lebih lanjut, Pasal 47 ayat (2) huruf g UU Persaingan Usaha Tidak Sehat menjelaskan bahwa salah satu bentuk sanksi administratif yang dapat diterapkan oleh KPPU adalah pengenaan denda. Dalam konteks kasus PT Cipta Prima Sejati, denda yang dikenakan KPPU dalam keputusan KPPU No. 02/KPPU-M/2019 dikenakan sebesar Rp10.330.000.000,00 (sepuluh miliar tiga ratus tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini merupakan sanksi yang dikenakan akibat keterlambatan penyampaian pemberitahuan pengambilalihan saham.
Dasar hukum lebih lanjut mengenai besaran denda yang dikenakan dalam rangka pengambilalihan saham terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010. Pasal 6 peraturan ini menyebutkan bahwa pelaku usaha yang terlambat memberikan pemberitahuan wajib membayar denda. Denda ini dihitung berdasarkan perhitungan sebesar 1 miliar rupiah untuk setiap hari keterlambatan, dengan batasan maksimal 25 miliar rupiah.
Dengan merujuk kepada Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010, besaran denda yang diatur oleh KPPU dalam Putusan KPPU No. 02/KPPU-M/2019 terlihat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan. Denda tersebut dihitung berdasarkan jumlah hari keterlambatan, yang dalam kasus ini mencapai 1.220 hari, sehingga besaran denda mencapai angka yang signifikan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa PT Cipta Prima Sejati mengajukan permohonan keberatan terhadap besaran denda yang dikenakan oleh KPPU. Dalam upaya mengatasi ketidaksetujuan terhadap putusan tersebut, PT Cipta Prima Sejati mengajukan permohonan keberatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa permohonan keberatan diterima dan memperbaiki putusan KPPU dengan menjatuhkan denda kepada PT Cipta Prima Sejati sejumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Selanjutnya, putusan tersebut dikuatkan dengan putusan kasasi Nomor 650 K/Pdt.Sus-KPPU 2020. Dalam putusan tersebut, besaran denda yang dikenakan pada PT Cipta Prima Sejati telah mengalami penurunan dibandingkan dengan putusan KPPU, namun tetap berdasarkan pertimbangan hukum yang relevan.
Namun, dalam kasus Putusan KPPU No. 05/KPPU-M/2022 yang melibatkan PT Lestari Gemilang Intisawit, meskipun terdapat keterlambatan pemberitahuan selama
1.361 hari, sanksi administratif yang dikenakan oleh KPPU jauh lebih kecil, yaitu sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar) rupiah. Kejanggalan ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dalam pengenaan sanksi administratif oleh KPPU pada kasus-kasus yang memiliki karakteristik serupa dalam hal keterlambatan pemberitahuan.
Majelis Komisi dalam mengenakan sanksi denda pada kasus pengambilalihan saham PT Mitra Bisnis Harvest oleh PT Citra Prima Sejati telah mempertimbangkan beberapa faktor yang relevan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, peraturan perundang-undangan yang mengatur tindakan administratif dalam konteks persaingan usaha tidak sehat, serta aspek-aspek yang relevan dengan kasus yang sedang ditangani.
Dalam pertimbangannya, Majelis Komisi merujuk pada Pasal 36 huruf l dan Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut "UU Persaingan Usaha Tidak Sehat"). Pasal- pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar undang-undang ini. Oleh karena itu, Majelis Komisi memiliki dasar hukum yang kuat dalam menjatuhkan sanksi administratif dalam kasus ini.
Selanjutnya, Majelis Komisi mengacu pada ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang mengakibatkan terjadinya Prakrik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut "PP No. 57/2010"). Pasal 6 PP No. 57/2010 mengatur sanksi administratif dalam bentuk denda yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3) PP No. 57/2010.
Dalam kasus ini, pelaku usaha yang melakukan pengambilalihan saham diwajibkan untuk memberikan pemberitahuan tertulis kepada KPPU. Keterlambatan dalam memberikan pemberitahuan dikenakan sanksi berupa denda administratif yang diatur dalam Pasal 6 PP No. 57/2010.
Majelis Komisi juga mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang melandasi pengenaan denda administratif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Peraturan KPPU No. 4/2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif, denda merupakan salah satu bentuk tindakan administratif yang bertujuan untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha dari tindakan yang melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan denda ini, pelaku usaha dimotivasi untuk tidak melakukan tindakan serupa di masa depan, dan juga sebagai bentuk peringatan kepada pelaku usaha lainnya untuk tidak meniru tindakan yang melanggar hukum.
Dalam kasus PT Citra Prima Sejati, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi administratif berupa denda. Penetapan lamanya hari keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham PT Mitra Bisnis Harvest oleh PT Citra Prima Sejati adalah selama
1.220 (seribu dua ratus dua puluh) hari atau setidaknya telah terlambat lebih dari 25 (dua puluh lima) hari kerja, yang dihitung dari berakhirnya tenggat waktu yang diatur oleh peraturan.
Besaran denda yang dikenakan pada PT Citra Prima Sejati dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 6 PP No. 57/2010, yaitu sebesar Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, dengan ketentuan denda administratif secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (Dua Puluh Lima Miliar Rupiah). Perhitungan ini mencerminkan tingkat keterlambatan pemberitahuan yang signifikan, yang berdampak pada besaran denda yang cukup besar.
1)
Ketika mempertimbangkan aspek yang
meringankan bagi Terlapor (PT Citra Prima Sejati), Majelis Komisi memperhatikan
beberapa faktor. Pertama, Terlapor telah mengakui adanya
kesalahan penafsiran terhadap
ketentuan Pasal 29 UU No. 5/1999
jo. Pasal 5 PP No. 57/2010. Hal ini menunjukkan sikap kooperatif dan kesadaran
dalam mengakui pelanggaran.
2)
Kedua, Majelis Komisi mencatat
bahwa Terlapor belum menerima manfaat ekonomi dari PT Mitra Bisnis Harvest
setelah proses pengambilalihan (akuisisi) saham. Hal ini dapat dianggap
sebagai faktor meringankan karena tidak ada manfaat yang diperoleh oleh Terlapor dari
pelanggaran yang dilakukan.
3)
Ketiga, Terlapor belum pernah
dinyatakan bersalah dalam putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) karena melanggar UU No.
5/1999. Hal ini dapat dianggap sebagai faktor meringankan yang menunjukkan
bahwa Terlapor tidak memiliki riwayat pelanggaran hukum sebelumnya.
4)
Keempat, Terlapor telah bersikap
baik dan kooperatif selama proses persidangan. Sikap kooperatif ini juga dapat
dianggap sebagai faktor meringankan yang mencerminkan kesediaan Terlapor untuk mematuhi
hukum dan menjalani proses
hukum dengan baik.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor ini, Majelis Komisi akhirnya menentukan besaran denda yang lebih rendah daripada yang dijatuhkan dalam putusan KPPU sebelumnya. Hal ini mencerminkan upaya Majelis Komisi untuk menjatuhkan sanksi yang seimbang dan adil, dengan memperhatikan aspek yang meringankan bagi Terlapor. Dalam konteks peraturan dan prinsip hukum, penentuan besaran denda ini mencerminkan kesadaran akan peran sanksi administratif dalam mendisiplinkan pelaku usaha, sambil tetap menjaga prinsip keadilan dan keseimbangan dalam penegakan hukum.
Namun saat ini terdapat pembaharuan regulasi. Dalam kerangka perundang- undangan yang terbaru, yakni Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Pada ketentuan tersebut perhitungan denda dikenakan paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebelumnya, terkait mekanisme perhitungan denda juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dan Peraturan Pelaksananya yaitu PP Nomor 44 Tahun 2021, beserta aturan turunannya yaitu Peraturan Komisi Nomor 2 Tahun 2021. Sebagai catatan, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku dikarenakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 sudah dicabut. Disisi lain, PP Nomor 57 Tahun 2010 masih berlaku, sehingga masih menjadi acuan.
Mekanisme perhitungan sanksi telah menjadi fokus utama dalam menegakkan kepatuhan dan kedisiplinan. Peraturan ini dirancang untuk menciptakan lingkungan hukum yang kondusif, mempromosikan investasi, dan melindungi kepentingan masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi ini, terdapat berbagai faktor dan prinsip yang menjadi dasar perhitungan sanksi administratif.
Selanjutnya, skala pelanggaran juga menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran sanksi administratif. Kasus ini mencatat bahwa PT Cipta Prima Sejati mengalami keterlambatan laporan pengambilalihan selama 1.220 hari, suatu periode yang signifikan. Oleh karena itu, skala pelanggaran ini dapat dianggap besar dan berpotensi memberikan dampak serius terhadap nilai aset dan penjualan perusahaan yang diakuisisi.
Pengenaan sanksi administratif dalam ranah hukum persaingan usaha merupakan langkah penting untuk menjaga prinsip persaingan yang sehat, mendorong kepatuhan terhadap peraturan, dan menjamin transparansi dalam dunia bisnis (Khoiri, 2017). Namun, penting untuk memahami bahwa pengenaan sanksi administratif harus
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan konsisten. Ketika pengenaan sanksi tidak konsisten dan menyebabkan disparitas, ini dapat mengganggu integritas sistem hukum dan memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam penegakan hukum persaingan usaha.
Dalam konteks hukum persaingan usaha, UU Persaingan Usaha Tidak Sehat dan peraturan terkait, seperti PP No. 57/2010, memberikan kerangka kerja yang mengatur pengenaan sanksi administratif. Pasal 47 UU Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan dasar hukum untuk pengenaan sanksi administratif oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. Pasal ini memberikan wewenang kepada KPPU untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut.
Selanjutnya, pengenaan denda administratif diatur lebih lanjut oleh Pasal 6 PP No. 57/2010. Pasal ini mengatur besaran denda administratif yang dapat dikenakan tergantung pada jenis pelanggaran dan lamanya keterlambatan atau pelanggaran tersebut. Dalam banyak kasus, besaran denda dihitung berdasarkan lamanya pelanggaran, dengan besaran tertentu yang ditetapkan untuk setiap hari keterlambatan.
Namun, dalam praktiknya, pengenaan sanksi administratif tidak selalu konsisten. Hal ini terkadang menghasilkan disparitas dalam besaran denda yang dikenakan pada pelaku usaha yang terlibat dalam kasus serupa. Disparitas ini dapat terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, pertimbangan hukum yang digunakan oleh lembaga penegak hukum dalam menentukan besaran denda dapat bervariasi (Zuniarto, 2020). Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran denda, seperti pengakuan atas kesalahan, manfaat ekonomi yang diperoleh dari pelanggaran, dan kerjasama selama proses persidangan, dapat dievaluasi secara berbeda oleh berbagai lembaga penegak hukum (Yuliartini, 2022).
Kedua, perbedaan dalam interpretasi hukum dapat memengaruhi pengenaan sanksi administratif. Meskipun undang-undang dan peraturan mungkin jelas dalam ketentuannya, interpretasi mereka dapat beragam. Ini dapat mengarah pada hasil yang berbeda dalam pengenaan denda administratif.
Ketiga, aspek lain yang dapat menciptakan disparitas adalah pemahaman dan interpretasi hakim atau Majelis Pengadilan yang menangani kasus. Keputusan hakim dalam mengurangi atau menambah besaran denda dapat menciptakan perbedaan dalam pengenaan sanksi antar kasus yang serupa.
Disparitas dalam pengenaan sanksi administratif adalah masalah yang perlu diperhatikan karena dapat memengaruhi kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem hukum persaingan usaha. Ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh disparitas semacam itu dapat membuat pelaku usaha kesulitan untuk memahami konsekuensi pelanggaran hukum dan mengukur risiko yang terlibat dalam tindakan bisnis mereka.
Pengenaan sanksi administratif oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan langkah penting dalam menjaga integritas dan transparansi dalam dunia bisnis serta memastikan pelaksanaan persaingan usaha yang sehat. Namun, pengenaan sanksi tersebut haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan konsisten. Dalam
kasus KPPU No. 02/KPPU-M/2019 yang melibatkan PT Citra Prima Sejati, terkait keterlambatan dalam memberikan pemberitahuan pengambilalihan saham PT Mitra Bisnis Harvest, terdapat perdebatan mengenai besaran denda yang dijatuhkan oleh KPPU. Permasalahan ini menciptakan disparitas dalam pengenaan sanksi administratif yang perlu diperinci dengan cermat.
Pengenaan sanksi administratif dalam kasus KPPU No. 02/KPPU-M/2019 didasari pada Pasal 47 UU Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini memberikan dasar hukum bagi KPPU untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sanksi administratif ini termasuk dalam bentuk denda sebagai bentuk penegakan hukum yang bertujuan untuk mencegah pelanggaran hukum dan mendorong kepatuhan terhadap peraturan persaingan usaha.
Selanjutnya, pengenaan denda diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 (PP No. 57/2010) tentang Penggabungan, Peleburan Badan Usaha, dan Pengambilalihan yang mengakibatkan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 6 PP No. 57/2010 mengatur bahwa dalam kasus di mana pelaku usaha tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana diwajibkan, pelaku usaha dapat dikenakan denda administratif. Denda ini dihitung berdasarkan besaran Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, dengan ketentuan denda administratif secara keseluruhan paling tinggi sebesar Rp25.000.000.000,00 (Dua Puluh Lima Miliar Rupiah).
Dalam kasus PT Citra Prima Sejati, penyebab sanksi administratif dikenakan adalah keterlambatan dalam memberikan pemberitahuan pengambilalihan saham PT Mitra Bisnis Harvest, yang berlangsung selama 1.220 (seribu dua ratus dua puluh) hari atau setidaknya telah terlambat lebih dari 25 (dua puluh lima) hari kerja. Besaran denda yang dikenakan oleh KPPU dalam putusan awal adalah sebesar Rp 10.330.000.000,00 (sepuluh miliar tiga ratus tiga puluh juta rupiah).
Namun, ketika PT Citra Prima Sejati mengajukan permohonan keberatan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk mengurangi besaran denda menjadi Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dalam putusannya. Putusan tersebut kemudian dikuatkan dengan putusan kasasi Nomor 650 K/Pdt.Sus-KPPU 2020. Keputusan ini menciptakan perbedaan yang signifikan dalam besaran denda yang dikenakan pada kasus PT Citra Prima Sejati dibandingkan dengan putusan sebelumnya.
Kemunculan disparitas dalam pengenaan sanksi administratif antara kasus serupa mengundang pertanyaan tentang prinsip-prinsip hukum yang menjadi dasar pengenaan sanksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam pengenaan sanksi harus dipahami dan dianalisis secara seksama. Salah satu faktor yang mempengaruhi disparitas adalah pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam menentukan besaran denda.
Dalam pertimbangan hukum, Majelis Komisi mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi dasar dalam pengenaan denda. Pertama, Majelis Komisi merujuk pada Pasal 36 huruf l dan Pasal 47 ayat (1) UU Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang
memberikan wewenang kepada KPPU untuk menjatuhkan sanksi administratif. Hal ini menjadi dasar hukum utama dalam menjatuhkan denda.
Kedua, Majelis Komisi mengacu pada ketentuan Pasal 6 PP No. 57/2010 yang mengatur besaran denda administratif berdasarkan hari keterlambatan. Besaran denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan adalah ketentuan yang sangat jelas dalam peraturan.
Ketiga, Majelis Komisi mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang mendasari pengenaan denda administratif. Denda dalam konteks ini bukan hanya sebagai sumber pendapatan bagi negara, tetapi juga sebagai instrumen untuk mengambil keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha dari tindakan anti-persaingan dan untuk mencegah tindakan serupa di masa depan.
Keempat, Majelis Komisi memperhitungkan lamanya hari keterlambatan dalam pemberitahuan pengambilalihan saham oleh PT Citra Prima Sejati, yang mencapai 1.220 hari atau setidaknya lebih dari 25 hari kerja. Lamanya keterlambatan ini menjadi dasar dalam perhitungan besaran denda.
Kelima, dalam pertimbangan hukum, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi Terlapor (PT Citra Prima Sejati). Di antara hal yang meringankan adalah pengakuan Terlapor atas kesalahan penafsiran terhadap ketentuan hukum, ketiadaan manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengambilalihan saham, riwayat pelanggaran hukum sebelumnya, dan sikap kooperatif Terlapor selama proses persidangan.
Namun, meskipun pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Komisi cukup jelas, adanya perbedaan yang signifikan antara besaran denda dalam putusan KPPU awal dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan serta putusan kasasi mengindikasikan adanya ketidaksesuaian dalam pengenaan sanksi administratif. Disparitas ini menciptakan ketidakpastian hukum dan membingungkan pelaku usaha, serta dapat mengancam prinsip-prinsip hukum yang adil dan konsisten dalam penegakan hukum persaingan usaha. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan disparitas ini dan untuk menjaga konsistensi dalam pengenaan sanksi administratif sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Dalam menganalisis disparitas tersebut, perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti pengakuan atas kesalahan, manfaat ekonomi yang diperoleh dari pelanggaran, riwayat pelanggaran sebelumnya, dan kerjasama selama proses persidangan (Ani, 2021). Penggunaan faktor-faktor ini dapat membantu memastikan pengenaan sanksi yang seimbang dan adil bagi pelaku usaha yang terlibat dalam kasus serupa. Terlebih lagi, langkah-langkah ini harus diambil untuk menghindari ketidakpastian hukum dan menjaga integritas penegakan hukum persaingan usaha.
Dalam menangani disparitas dalam pengenaan sanksi administratif, KPPU dan instansi terkait harus mempertimbangkan panduan yang lebih rinci dan konsisten dalam menilai faktor-faktor yang mempengaruhi besaran denda. Selain itu, perlu memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan sanksi
administratif. Hal ini akan membantu menciptakan lingkungan hukum yang lebih pasti dan adil bagi pelaku usaha dalam konteks persaingan usaha yang sehat.
Pertama, perlunya reformulasi terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan pentingnya panduan yang lebih rinci dan konsisten dalam menilai faktor- faktor yang mempengaruhi besaran denda. Panduan ini harus memberikan pedoman yang jelas kepada lembaga penegak hukum, hakim, dan pelaku usaha tentang bagaimana besaran denda dihitung dan faktor-faktor apa yang akan dipertimbangkan. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pengenaan sanksi administratif sangat penting. Keputusan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip hukum yang adil.
Kedua, perlu ditingkatkan pemahaman tentang hukum persaingan usaha di kalangan pelaku usaha. Dengan pendidikan yang lebih baik tentang ketentuan hukum persaingan usaha, pelaku usaha akan lebih cenderung mematuhi peraturan, dan ini dapat mengurangi insiden pelanggaran hukum yang memicu pengenaan sanksi administratif.
Amalia, Izmi. (2019). DISPARITAS
SANKSI DENDA KPPU ATAS KETERLAMBATAN
NOTIFIKASI AKUISISI SAHAM (Perbandingan Kasus PT.
JAPFA dengan LG INTERNATIONAL. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Anggraini, Anna Maria Tri. (2021). Kewajiban Notifikasi Pengambilalihan Aset Perusahaan Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha. Law Review, 21(1).
Ani, Evi Nur Fitri. (2021). ANALISIS IMPLEMENTASI KERJA SAMA TERNAK SAPI DI DESA TITIAN RESAK KECAMATAN SEBERIDA DITINJAU
MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI
SYARIAH. Skripsi.(Pekanbaru: Fakultas
Syariah Dan Hukum UIN Suska Riau, 2021), H, 29–30.
Digdowiseiso, Kumba. (2019). Teori pembangunan. Lembaga Penerbitan Universitas Nasional (LPU-UNAS).
Gustina, Ira. (2017). Analisis Kinerja Keuangan Sebelum dan Sesudah Merger dan Akuisisi pada Perusahaan yang Go Public yang Terdaftar di BEI. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 6(2), 38–59.
Hernanda, Febrian, & Njatrijani, Rinitami. (2022). KAJIAN YURIDIS KETERLAMBATAN PEMBERITAHUAN AKUISISI SAHAM PT GLOBAL LOKET SEJAHTERA OLEH PT APLIKASI KARYA ANAK BANGSA.
Diponegoro Law Journal, 11(1).
Hikari, Dimas. (2022). Akibat Hukum Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-M/2022 atas Keterlambatan Pengambilalihan Saham. Jurnal Persaingan Usaha, 2(2), 138–146.
Julita, Nadaria. (2022). PERTIMBANGAN BESARAN DENDA TERHADAP PERUSAHAAN YANG TERLAMBAT MELAKUKAN PEMBERITAHUAN AKUISISI KEPADA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. Al-Qisth Law Review, 6(1), 22–51.
Khoiri,
Farid Misdar. (2017). Ketidakjelasan
Prosedur Beracara Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1
Tahun 2010. Universitas Islam Indonesia.
Muryanto, Yudho Taruno. (2018). PROBLEMATIKA HUKUM PENGATURAN KEWAJIBAN PEMBERITAHUAN PENGAMBILALIHAN SAHAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA. Jurnal Privat Law, 9(2), 258–268.
Nuha,
Ilham Ulin. (2021). Tinjauan Yuridis
Sanksi Administratif Pasal 47 Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat Pada Perusahaan Yang Terbukti Melakukan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Rachmadi Usman, S. H.
(2022). Hukum persaingan usaha di
Indonesia. Sinar Grafika. Reeze, Reeze, & Kansil, Christine S. T. (2022).
Analisis Hukum terhadap
Perseroan yang
Mengalami Keterlambatan Pemberitahuan Pengambilalihan Saham.
Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(12), 17111–17119.
Sugiarsih, Dewi, Sholihah, Putri Ayu Indah, & Sumriyah, Sumriyah. (2023). Analisis Keterlambatan Pemberitahuan Pengambilalihan (Akuisisi) Saham PT Karya Prima Agro oleh PT Dharma Setya Nusantara Tbk (Studi Kasus Putusan Nomor: 34/KPPU- M/2020). Deposisi: Jurnal Publikasi Ilmu Hukum, 1(3), 95–118.
Yuliartini,
Ni Putu Rai. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak Korban
Kekerasan Seksual Berdasarkan Perda Kabupaten Buleleng Nomor 5 Tahun 2019. Bunga Rampai Isu-Isu Krusial Tentang Kekerasan Seksual, 67.
Zuniarto, Heri. (2020). Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Denda Bersifat Minimum Khusus Dalam Delik Narkotika. Lex Renaissance, 5(2), 323–343.
Copyright holder: Sally Dian Nastity, Richard
C. Adam (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |