Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

PENETAPAN HARGA SEMEN PT CONCH DALAM PRAKTEK JUAL RUGI DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

 

Syifani Ristia Santi, Christine

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Strategi menetapkan harga jual suatu produk di bawah biaya produksi oleh suatu pelaku usaha merupakan suatu kegiatan yang dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan harga jual dibawah harga pokok dapat berindikasi pada kegiatan yang dilarang dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun yaitu praktek jual rugi. Praktek jual rugi memberikan dampak yang merugikan bagi pelaku usaha lain yaitu dapat menyingkirkan pelaku usaha di pasar yang bersangkutan sehingga menyebabkan iklim persaingan usaha tidak sehat dan menyebabkan terjadinya praktek monopoli. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan dari adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menghendaki adanya persaingan usaha yang wajar sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang sehat.

 

Kata kunci: Persaingan Usaha, Penetapan Harga, Jual Rugi

 

Abstract

The strategy of setting the selling price of a product below production costs by a business actor is an activity that is prohibited according to Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopoly Practices and Unfair Business Competition. Determining the selling price below the cost price may indicate activities that are prohibited in Article 20 of Law Number 5 of the Year, namely the practice of selling at a loss. The practice of selling at a loss has a detrimental impact on other business actors, namely that it can eliminate business actors in the relevant market, causing an unhealthy business competition climate and leading to monopolistic practices. This is not in line with the objectives of Law Number 5 of 1999 which requires fair business competition so that it can create a healthy business climate.

 

Keywords: Business Competition, Price Determination, Selling at a Loss

 

Pendahuluan

Perkembangan ekonomi di Indonesia dapat dilihat dari perkebambangan dunia usaha. Di dalam dunia usaha pelaku usaha cenderung akan terus berusaha untuk saling menggungguli satu sama lain untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Kondisi yang mendorong pelaku usaha untuk terus meraih keuntungan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya suatu persaingan diantara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya terlebih jika menjual produk yang sejenis dan berada di pasar yang sama (Pratiwi, 2019). Persaingan usaha dibutuhkan dalam mendorong kegiatan berinovasi sehingga tersedianya produk yang bervariasi sehingga produsen dan konsumen dapat diuntungkan (Retnowati & Fernando, 2020).

Dalam dunia usaha, persaingan merupakan suatu keadaan yang wajar terjadi jika persaingan tersebut masih berada dalam persaingan usaha yang sehat dan tidak menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat (Rachmadi Usman, 2022). Dalam kenyataanya, persaingan memiliki dampak yang negatif yaitu pelaku usaha melakukan persaingan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga dapat menyingkirkan pelaku usaha pesaing dan dapat menyebabkan adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Rizkia & Rahmawati, 2021).

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tentunya bertindak untuk memberlakukan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dengan tujuan agar persaingan usaha yang dilakukan masih berada di batas wajar dan sehat (Simbolon, 2018). Salah satu cabang hukum yang dikenal sebagai hukum persaingan mengatur hubungan atau interaksi korporasi antar pelaku usaha dalam menjalankan bisnis mereka secara adil dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di bidang kegiatan ekonomi (Nugroho, 2014).

Oleh karena itu, pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya dapat disingkat sebagai UU Persaingan Usaha) dibuat karena adanya persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini didasarkan pada prinsip demokrasi ekonomi para pelaku usaha Indonesia untuk digunakan dalam menjalankan bisnis mereka, yaitu untuk menyeimbangkan kepentingan para pelaku usaha. dalam menciptakan lingkungan bisnis yang sehat di Indonesia

Menurut UU Persaingan Usaha, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar, yaitu dengan menghalangi kegiatan ekonomi tertentu untuk dilakukan, sehingga dapat menghalangi pelaku usaha pesaing dari luar untuk memperkuat posisi suatu pelaku usaha tertentu (Yasmin Surya Rahmalia, 2023). Suatu praktek yang menyebabkan praktik terjadinya monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yaitu praktek jual rugi yang diatur dalam Pasal 20 UU Persaingan Usaha.

Praktek jual rugi pada persaingan bisnis di jangka waktu yang pendek memang sangat menguntungkan konsumen. Adanya strategi penetapan harga yang rendah dapat menguntungkan konsumen, keuntungan ini hanya akan bertahan sementara karena konsumen akhirnya akan dirugikan (Nurhayati, 2019). Perilaku bisnis yang dominan dapat menaikkan harga secara signifikan pada umumnya ditetapkan untuk menutup kerugian, hal ini merupakan harga monopoli atau harga yang lebih tinggi (Nurpadilla, 2018). Tujuan penerapan praktik ini adalah untuk memaksimalkan keuntungan dan menutup kerugian yang timbul apabila menjual dalam keadaan rugi atau dengan harga yang sangat rendah.�(Lubis, 2009)

Salah satu contoh kasus mengenai penetapan harga dala praktek jual rugi yaitu kasus PT Conch South Cement Kalimantan (selanjutnya dapat disebut sebagai PT CONCH), yang diduga melakukan pelanggaran Pasal 20 UU Persaingan Usaha, adapun KPPU telah mengeluarkan Putusan KPPU No.03/KPPU-L/2020 yang menyatakan bahwa PT CONCH terbukti melanggar ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tentang Praktek Jual Rugi.

Tindakan praktek jual rugi tersebut disimpulkan melalui bukti yang menunjukkan harga jual rata-rata yang lebih rendah dibandingkan harga pokok penjualan untuk penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan. Hal tersebut turut diperkuat oleh Laporan Keuangan di tahun 2015, dimana CONCH mengalami kerugian sebagai akibat dari perilaku tersebut�(Heriani, 2021).

Berdasarkan pemaran latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merasa tertarik untuk menulis jurnal dengan judul �Penetapan Harga Semen PT CONCH dalam praktek jual rugi ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha�. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana indikasi praktek jual rugi oleh PT CONCH dikaitkan dengan aspek strategi penetapan harga menurut Hukum Persaingan Usaha.

 

Penelitian Terdahulu

Adapun terdapat penelitian terdahulu tentang praktek jual rugi yaitu

1.      Yasmin Surya Rahmalia dengan judul �Tinjauan Yuridis Praktik Persaingan Tidak Sehat (Predatory Pricing) Terhadap Kasus Pt Conch South Kalimantan Cemen (Conch)

2.      Wahyu Buana Putra, Teddy Prima Anggriawan, Aldira Mara Ditta Caesar Purwanto dengan judul �Akibat Hukum Praktik Jual Rugi Semen Conch Dalam Persaingan Usaha Industri Semen Di Indonesia

3.      I Putu Fajar Apriana, Retnomurni, Marwanto dengan judul �Kegiatan Jual Rugi Dalam Persaingan Usaha: Suatu Kajian Yuridis

Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis merasa tertarik untuk menulis terkait judul yang penulis angkat. Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penulis yaitu untuk mengetahui indikasi praktek jual rugi dikaitkan dengan aspek strategi penetapan harga menurut Hukum Persaingan Usaha.

 

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu menggunakan data hukum sekunder dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga penelitian ini bersifat sebagai penelitian hukum normatif, serta pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Analisis Indikasi Jual Rugi oleh PT CONCH

Di dalam hukum persaingan usaha, pelaku bertanggung jawan untuk memastikan bahwa segala proses bisnis telah memenuhi ketentuan yang ada, serta mengupayakan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan penyalahgunaan posisi dominan yang berakibat terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Sumadi, 2017).

Dalam hal ini, sebuah perusahaan bisa memiliki posisi dominan dalam suatu industri karena memiliki keunggulan bersaing seperti halnya dalam hal ukuran, pengakuan nama perusahaan, dan sumber daya, hal yang sebenarnya dijelaskan sebagai faktor-faktor penentu posisi dominan pada pedoman Pasal 20 tentang larangan Jual Rugi atau menetapkan harga serendah-rendahnya (Predatory Pricing). (Ir. Akhmad Suraji, 2021).

Predatory Pricing atau jual rugi secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. (Dr. Andi Fahmi Lubis, 2017). Adapun tujuan utama dari predatory pricing yaitu untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama (Nazhari & Irkham, 2023). Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan.

Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan konsumen, namun setelah menyingkirkan pesaing dari pasar dan menghambat calon pesaing baru, pelaku usaha dominan atau pelaku usaha incumbent tersebut mengharap dapat menaikkan harga secara signifikan. Umumnya harga yang ditetapkan untuk menutupi kerugian tersebut merupakan harga monopoli (yang lebih tinggi) sehingga dapat merugikan konsnumen.

Praktek ini adalah upaya untuk memaksimalkan keuntungan dan menutup kerugian yang ditimbulkan ketika melakukan jual rugi atau harga rendah. Strategi penetapan harga yang sangat rendah, yang termasuk dalam Limit-Pricing Strategy diidentifikasikan dengan keinginan pelaku usaha monopolis atau dominan untuk melindungi posisinya dengan cara melakukan pemotongan harga secara substansial atau melakukan peningkatan produksi secara signifikan. Perilaku ini dimaksud agar tidak memberi kesempatan atau daya tarik pada pelaku usaha baru untuk masuk dalam industri, sehingga pelaku usaha monopolis dapat tetap mempertahankan posisi dominannya.

Meskipun penetapan harga rendah dapat menguntungkan konsumen, namun keuntungan tersebut hanya untuk beberapa waktu saja, karena setelah jangka waktu tertentu Batubara (2016), dimana sejumlah pelaku usaha pesaing tersingkir dari pasar konsumen justru akan dirugikan setelah pelaku usaha menetapkan harga yang sangat tinggi yang mengarah atau dapat merupakan harga monopoli. Kegiatan usaha semacam ini perlu dilakukan pengkajian berdasarkan Pasal 20 UU No. 5/1999 dengan mendasarkan pada kerangka analisis dan pertimbangan ekonomi. (Usaha, 2009).

Kasus pelanggaran Pasal 20 tentang Jual Rugi yang dilakukan oleh PT CONCH merupakan perkara pertama yang ditangani oleh KPPU. Pekara PT CONCH ini berawal dari adanya laporan publik terkait dugaan jual rugi semen conch paada tanggal 8 agustus 2019 di kalimantan selatan. Pasal 20 UU Persaingan Usaha pada pokoknya mengatur mengenai larangan bagi pelaku usaha dalam memasok barang atau jasa dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud menyingkirkan atau mematikan usaha pesaing di pasar yang bersangkutan sehingga menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.

PT CONCH mulai memasuki pasar di wilayah kalimantan selatan pada tahun 2014 dimana PT CONCH merupakan pelaku usaha baru di pasar bersangkutan. Adapun PT CONCH menjual 2 (dua) jenis produk semen yaitu PCC dan OPC. Sebelumnya telah ada 5 (lima) pelaku usaha lain yangh telah memasuki pasar di wilayah kalimantan selatan dengan menjual produk berupa semen. Kemudian pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 PT CONCH langsung mengalami peningkatan pangsa pasar yang cukup pesat dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya. Dengan adanya peningkatan pangsa pasar oleh PT CONCH menyebabkan keluarnya 3 (tiga) pelaku usaha pesaing di pasar yang bersangkutan.

Keseimbangan yang dialami Pangsa Pasar Terlapor didasarkan pada kondisi peningkatan yang signifikan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan sebagian besar terselenggaranya usaha yang sukses karena mengalami perubahan pangsa pasar yaitu Pangsa pasar PT Conch adalah 43,65% (empat puluh tiga koma enam puluh lima persen) padahal pada bulan Januari 2015 pemasaran produk. Tahun berikutnya, 2018 mengalami peningkatan sampai dengan 49% (empat puluh sembilan persen) sampai dengan Triwulan 3 tahun 2019 masih berada di angka 46,56% (empat puluh enam koma lima puluh enam persen) dimana angka pangsa pasar yang dilaporkan cukup tinggi besar. Akibatnya, strategi harga jual dilaporkan diterapkan di bawah harga pokok Penjualan (HPP).�(Yasmin Surya Rahmalia, 2023).

Adapun unsur-unsur tang harus dipenuhi sebelum menyatakan bahwa suatu pelaku usaha melakukan startegi jual rugi antara lain:

1.      Harus dibuktikan bahwa perusahaan tersebut menjual produknya dengan harga rugi (menjual di bawah biaya rata-rata). Jika perusahaan menjual dengan harga rendah, namun tidak merugi, maka perusahaan tersebut bersaing secara sehat (Sianipar, 2020). Perusahaan tersebut dapat menjual dengan harga rendah karena jauh lebih efisien dari pesaing-pesaingnya

2.      Jika terbukti perusahaan menjual dengan harga rugi, masih harus dibuktikan bahwa perusahaan tersebut memiliki kemampuan yang memungkinkan untuk menjual rugi disebabkan adakalanya penjual melakukan jual rugi untuk menghindari potensi kerugian yang lebih lanjut atau untuk sekedar mendapatkan dana untuk keluar dari pasar (usaha)

3.      Telah ditunjukkan bahwa perusahaan hanya akan menerapkan predatory pricing jika perusahaan tersebut yakin akan dapat menutup kerugian di tahap awal dengan menerapkan harga yang sangat tinggi (supra competitive) di tahap berikutnya.

Sebelum melakukan tuduhan pada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek predatory pricing sebaiknya terlebih dahulu dilakukan 2 (dua) tahap analisis yang berkaitan dengan diberlakukannya unreasonable price oleh pelaku usaha predator yaitu:

1.      Pertama, mempertimbangkan karakteristik pasar, seperti konsentrasi penjual dan kondisi untuk masuk dalam pasar tersebut, yang ditunjukkan oleh adanya market power.

2.      Kedua, memastikan bahwa tingkat harga yang diberlakukan tersebut sangat tidak masuk akal, dengan mengevaluasi perbandingan antara harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha predator dengan biaya produksi.

Suatu pelaku usaha hanya akan memperoleh keuntungan jika ia dapat menetapkan harga jual barang dan atau jasa yang diproduksinya di atas biaya total rata-rata, atau hanya dapat sekedar menutup biayanya (pulang pokok � break even) bila menetapkan harga persis sama dengan biaya total rata-rata. Tetapi harga yang ditetapkan di bawah biaya total rata-rata (ATC) tersebut tetap masih dapat dikatakan sebagai reasonable price apabila berada di atas biaya variabel rata-rata (average variable cost), karena pada kondisi tersebut tetap masih ada gunanya bagi pelaku usaha untuk berproduksi, meskipun tidak ada gunanya untuk mengganti peralatan modal yang sudah rusak.

Sedangkan apabila suatu pelaku usaha berproduksi pada harga di bawah biaya variabel rata-rata (AVC), maka dapat dikatakan bahwa harga tersebut sudah tidak wajar (reasonable) lagi, dan jual rugi yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dicurigai mempunyai maksud tertentu.

Selain itu terdapat beberapa test yang bisa dipergunakan untuk menentukan apakah penetapan harga yang sangat rendah oleh suatu pelaku usaha dimaksudkan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan. Adapun test tersebut adalah sebagai berikut:

a)      Above-Cost Test

Suatu pelaku usaha tetap bisa dianggap mengandung maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya meskipun menetapkan harga jual barang dan atau jasanya di atas biaya produksi rata-rata (ATC). Tetapi pada umumnya harga yang ditetapkan sangat rendah sehingga menurunkan keuntungan maksimum jangka pendek. Pada umumnya pelaku usaha akan memilih suatu tingkat produksi yang hanya menyisakan sedikit demand yang tersisa bagi pelaku usaha lain yang ingin ikut menikmati keuntungan tersebut.

Pada kenyataannya tidak ada pelaku usaha baru yang akan mampu menutupi biaya total rata-ratanya pada tingkat harga yang berlaku. Dengan mengorbankan sebagian keuntungannya, pelaku usaha incumbent pada umumnya akan membiarkan pelaku usaha pesaingnya berada tetap di luar pasar. Apabila hal ini telah terpenuhi, maka selanjutnya pelaku usaha incumbent akan berusaha memperoleh keuntungan yang melebihi tingkat keuntungan yang diperoleh dari pasar persaingan sempurna. Strategi ini akan merugikan konsumen apabila pelaku usaha pengikut pada akhirnya juga dapat meningkatkan efisiensinya setidaknya sama dengan pelaku usaha incumbent. Namun, hal ini hanya bisa diperoleh jika pelaku usaha pengikut mampu memperoleh tempat di pasar, mampu menambah volume barang, dan seringkali dengan menurunkan biaya operasinya.

b)      Limit-Pricing Strategy

Strategi penetapan harga������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� , yang dikenal sebagai Limit-Pricing Strategy diidentifikasikan dengan keinginan pelaku usaha monopolis atau dominan untuk melindungi posisinya dengan cara melakukan pemotongan harga secara substansial atau melakukan peningkatan produksi secara signifikan. Hal ini dilakukan untuk tidak memberi kesempatan atau daya tarik pada pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam industri, sehingga pelaku usaha monopolis dapat tetap mempertahankan posisi dominannya.

Strategi ini biasanya dilakukan dengan mengisyaratkan pada pelaku usaha pendatang bahwa dengan ikutnya pelaku usaha baru tersebut dalam industri, maka penambahan output akan menyebabkan turunnya harga sehingga berada tepat sama dengan total biaya rata-rata. Dengan kemungkinan terjadinya kondisi tanpa keuntungan (zero profit), pelaku usaha baru seringkali memilih tidak masuk dalam industri yang bersangkutan.

Adapun terdapat tes untuk mendeteksi suatu tindakan apakah termasuk ke dalam jual rugi atau tidak yaitu antara lain:

a.       Price-Cost Test

Tes ini untuk menentukan apakah jual rugi yang dilakukan oleh suatu pelaku usaha merupakan bagian dari strategi predatory pricing yang diterapkannya. Dengan membandingkan data harga dan biaya secara obyektif, tes ini tidak secara langsung ditujukan untuk membuktikan bahwa suatu pelaku usaha telah melakukan praktik predatory pricing, tetapi lebih kepada pemberian informasi bahwa hal tersebut memang mengarah kepada kondisi harga yang mematikan (predatory).

b.      Areeda-Turner Test

Menurut Areeda dan Turner, penetapan harga suatu barang dan atau jasa dikatakan merupakan predator apabila ditetapkan lebih kecil dari pada biaya marginal jangka pendeknya. Sementara setiap harga yang berada di atas harga marginal biaya jangka pendek bukanlah predator. Tes ini sejalan dengan teori pada pasar persaingan sempurna, yang menyamakan harga pasar sama dengan marginal cost (MC) dan marginal revenue (MR). Pada tingkat harga ini, setiap pelaku usaha pesaing tidak akan ke luar dari pasar sepanjang efisiensinya paling sedikit sama dengan pelaku usaha incumbent.

c.       Average Total Cost Test (ATC Test)

Karena tes ini terdapat kelemahan yaitu dapat menyebabkan overlooking terhadap kondisi harga yang berada di atas AVC tetapi di bawah AC. Sehingga beberapa otritas persaingan di uni eropa banyak menggunakan pendekatan gabungan AVC-ATC test, di mana harga yang berada di bawah AVC dipastikan sebagai predatory, sedangkan untuk harga di atas AVC tetapi di bawah ATC, juga bisa disebut predatory kecuali otoritas persaingan melihat alasan-alasan yang masuk akal.

d.      Average Avoidable Cost Test (AAC Test)

AAC test adalah salah satu variasi dari Areeda-Turner test. Pada AAC test, harga dibandingkan dengan AVC ditambah dengan biaya tetap tertentu, di luar sunk cost. Atau dengan perkataan lain, biaya yang muncul untuk memproduksi sejumlah output tertentu. Keuntungan penggunaan tes ini adalah karena dianggap merupakan estimasi yang lebih baik dari AVC pada pelaku usaha yang diduga melakukan predatory pricing.

e.       Recoupment test

Tes ini tidak dipergunakan untuk membuktikan suatu pelaku usaha melakukan predatory pricing, melainkan untuk mengkaji apakah pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar. Tes ini kemudian juga melihat apakah pelaku usaha predator akan mampu mendapatkan keuntungan yang melebihi keuntungan kompetitif untuk menutupi kerugian yang dideritanya selama menjalankan praktik predatory.

Recoupment test dimaksudkan sebagai penyelidikan awal. Apabila terbukti bahwa pelaku usaha yang dituduh melakukan praktik predatory pricing tidak mengeluarkan atau menghalangi pesaingnya masuk ke pasar, atau upaya penutupan kerugian pada akhirnya tidak memungkinkan, maka tes ini memungkinkan pihak otoritas persaingan membebaskan pelaku usaha tertuduh dari dakwaan sebagai predatory, tanpa harus melakukan tes perbandingan harga dan biaya (price-cost test).

 

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh PT CONCH merupakan suatu kegiatan yang dilarang yaitu adanya praktik jual rugi yang menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dengan melakukan strategi penetapan harga dimana PT CONCH menetapkan harga jual di bawah harga produksi dan lebih rendah dari harga jual rata-rata di pasaran hal ini menyebabkan PT CONCH menjadi pelaku usaha dominan dan menguasai pasar sehingga dapat melakukan praktek jual rugi.

Selain itu untuk dapat menentukan suatu penetapan harga yang sangat rendah dapat menggunakan 2 (dua) test yaitu Above-Cost Test dan Limit Pricing Strategy. Kemudian ada beberapa tes yang dapat mendeteksi suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha apakah termasuk ke dalam praktek jual rugi yaitu antara lain: Price-Cost Test, Areeda-Turner Test, Average Total Cost Test, Average Avoidable Cost Test (AAC Test) dan Recoupment Test.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Batubara, Azmiani, & Hidayat, Rahmat. (2016). Pengaruh Penetapan Harga dan Promosi terhadap Tingkat Penjualan Tiket pada PSA Mihin Lanka Airlines. Jurnal Ilman: Jurnal Ilmu Manajemen, 4(1), 33�46.

 

Dr. Andi Fahmi Lubis, S. (2017). Hukum Persaingan Usaha Buku Teks. In S. M. Dr. Anna Maria Tri Anggraini, & P. d. Kurnia Toha. Jakarta: Komisi Pengawas Persiangan Usaha.

 

Heriani, F. N. (2021, Januari 18). Terbukti Monopoli, Perusahaan Semen Ini Didenda KPPU Rp22 Miliar. Jakarta: Hukum Online.

 

Ir. Akhmad Suraji, M. P. (2021). DUA DEKADE PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN: Perdebatan dan Isu Yang Belum Terselesaikan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia.

 

Lubis, A. F. (2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta

 

Nazhari, Akhmad Farhan, & Irkham, Naufal. (2023). Analisis Dugaan Praktik Predatory Pricing Dan Penyalahgunaan Posisi Dominan Dalam Industri E-Commerce. Jurnal Persaingan Usaha, 3(1), 19�31.

 

Nugroho, Susanti Adi. (2014). Hukum persaingan usaha di Indonesia. Prenada Media.

 

Nurhayati, Ayu. (2019). Strategi Penetapan Harga pada Jasa Penitipan Anak di Baby Care LPIT Nurul Izzah Gurah Ditinjau Dari Etika Bisnis Islam. IAIN Kediri.

 

Nurpadilla, Nurpadilla. (2018). STRATEGI PENETAPAN HARGA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENJUALAN TOKO SINGAPORE MODE JL. DR. RATULANGI KOTA PALOPO. Institut Agama Islam Negeri Palopo.

 

Pratiwi, Meirina Dewi. (2019). PERSAINGAN USAHA DALAM HUKUM ISLAM. Justici, 11(2), 67�79.

 

Rachmadi Usman, S. H. (2022). Hukum persaingan usaha di Indonesia. Sinar Grafika.

 

Retnowati, Tutiek, & Fernando, Denaldi. (2020). Dampak Terhadap Konsumen Dari Persaingan Bisnis Tidak Sehat Para Pelaku Usaha Sepeda Motor. Jurnal Hukum Bisnis, 4(1), 289�311.

 

Rizkia, Amanda Ayu, & Rahmawati, Suci. (2021). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anti Monopoli Dan Persaiangan Bisnis Tidak Sehat: Globalisasi Ekonomi, Persaingan Usaha, Dan Pelaku Usaha.(Literature Review Etika). Jurnal Ilmu Manajemen Terapan, 2(5), 631�643.

 

Sianipar, Lukman Haryanto. (2020). Tinjauan Hukum Praktik Jual Rugi dalam Industri Retail Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Pada Swalayan Maju Bersama Glugur).

 

Simbolon, Alum. (2018). Hukum persaingan usaha. Liberty Yogyakarta.

 

Sumadi, Putu Sudarma. (2017). Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Hukum Acara Persaingan Usaha?). Zifatama Jawara.

 

Copyright holder:

Syifani Ristia Santi, Christine (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: