Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SEPIHAK TERHADAP PEKERJA HAMIL

 

Michellie Chandra Wijaya1*, Gunardi Lie2

Universitas Tarumanagara

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kurangnya fokus pada perlindungan kesehatan, keselamatan, dan hak-hak reproduksi pekerja perempuan merupakan penyebab utama masih banyaknya permasalahan ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja terhadap pekerja hamil merupakan salah satu unsur yang menimbulkan permasalahan di bidang ketenagakerjaan. Masih meluasnya diskriminasi terhadap pekerja hamil di tempat kerja, sehingga menghambat realisasi penuh hak-hak pekerja seperti perlindungan keselamatan, kesehatan, dan hak reproduksi bagi perempuan. Jaminan sosial misalnya telah diperluas ke pekerja perempuan dan secara umum penerapannya sudah memadai, namun ada beberapa aspek yang belum sesuai, misalnya cuti haid dan cuti melahirkan. Upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan, keselamatan, dan hak-hak reproduksi pekerja hamil terhambat oleh lemahnya pengawasan dari pemberi kerja yang seringkali melanggar peraturan demi keuntungan mereka sendiri.

 

Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Kerja, Perusahaan Pemberi Kerja, Pekerja Hamil

 

Abstract

Lack of focus on protecting the health, safety, and reproductive rights of female workers is a major contributor to the persistence of many labor issues. Unilateral termination of employment (PHK) carried out by the employer firm against pregnant workers is one of the elements producing issues in the sphere of labor. There is still widespread discrimination against pregnant workers in the workplace, which hinders the full realization of workers' rights such the protection of safety, health, and reproductive rights for women. Social security has been extended to female workers, for example, and the implementation is generally adequate, but there are certain aspects that are not yet appropriate, such as menstruation leave and maternity leave. The government's efforts to ensure the health, safety, and reproductive rights of pregnant workers are hampered by lax oversight from employers who often break the rules to their own gain.

 

Keywords: Termination of Employment, Employer Company, Pregnant Worker

 

 

Pendahuluan

Meskipun hak dan tanggung jawab tidak dapat dipisahkan, namun seringkali keduanya saling bertentangan karena tidak selalu sejalan (Triyani & Tarina, 2021). Setiap laki-laki dan perempuan di negara ini berhak atas perlindungan hukum yang sama dan kesempatan yang adil dalam mencari nafkah (Jauhari & Waluyo, 2023). Namun, rasa sejahtera tersebut tidak dimiliki oleh semua warga. Hal-hal seperti itu biasa terjadi di masyarakat dan digunakan oleh banyak orang setiap hari.

Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 mendefinisikan persamaan hak universal. Gagasan tentang kesetaraan ini membantu penghapusan prasangka dengan memastikan bahwa semua orang diperlakukan setara di hadapan hukum tanpa memandang warna kulit, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, atau sifat lainnya. Sebelum terbentuknya negara Indonesia, para pendiri negara ini melihat perlunya perlindungan hak asasi manusia, seperti yang ditunjukkan oleh dukungan Konstitusi terhadap prinsip persamaan di depan hukum dan pemerintahan pada tahun 1945 (Martojo & Martojo, 1999).

Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang juga dikenal dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, merupakan peraturan perundang-undangan yang menetapkan pedoman di tempat kerja dengan tujuan untuk melindungi pekerja baik jenis kelamin maupun jenis kelamin. Secara khusus, Pasal 5 dan 6 UU Ketenagakerjaan menunjukkan adanya persamaan hak, bebas dari diskriminasi, antara pekerja laki-laki dan perempuan di pasar kerja.

Pasal 5 menyatakan bahwa �Tidak ada bias dalam perekrutan dan setiap orang mendapat kesempatan yang adil dalam suatu pekerjaan.�. Pasal 6: �Di tempat kerja, setiap orang harus diperlakukan secara adil dan setara oleh atasannya.� Mengingat pemerintah sering mengabaikan kesetaraan dan keadilan di tempat kerja, maka perlindungan hukum bagi pekerja sangatlah penting. Salah satu bidang yang perlu dipertimbangkan adalah hak pekerja perempuan untuk bereproduksi.

Hak khusus yang berkaitan dengan kemampuan bawaan perempuan untuk bereproduksi dikenal sebagai hak reproduksi (Permatawati & Purwanti, 2015). Hak-hak reproduksi pekerja perempuan seringkali diabaikan sehingga berujung pada diskriminasi gender terhadap mereka (Bidayati, 2021). Karena setiap perempuan hamil merupakan bagian dari kelompok masyarakat rentan dan mempunyai hak atas perlindungan yang lebih baik terhadap kandungannya, maka diberlakukan peraturan khusus untuk mencapai perlindungan bagi pekerja perempuan (Susiana, 2019). Peraturan tersebut antara lain melarang perempuan bekerja pada malam hari dan melakukan pekerjaan apa pun yang membahayakan kesehatan moral perempuan atau melanggar hak reproduksinya (ketentuan mengenai menstruasi, melahirkan, cuti melahirkan, atau keguguran) (Mustari & Bakhtiar, 2020).

Menurut Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999), perempuan berhak mendapatkan perlindungan ekstra dalam menjalankan pekerjaannya atau melakukan kegiatan lain terhadap risiko terhadap dirinya. kesehatan dan/atau keselamatan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk bereproduksi. Selain itu, UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 49 Ayat 3 menyatakan bahwa hak-hak khusus perempuan yang dihasilkan dari peran reproduksinya dijamin dan dilindungi secara hukum. Namun dunia usaha tidak selalu berhasil menerapkan perlindungan ekstra ini dengan baik.

Perlu diingat, dalam menjalani tahapan kehidupan, termasuk pembuahan dan persalinan, pegawai perempuan tidak bisa lepas dari karakter bawaannya. Perempuan yang ingin bekerja tanpa mengorbankan hak-haknya sebagai perempuan dapat menggunakan hak reproduksinya, sehingga memberikan perlindungan hukum bagi mereka (Sulvi, 2016). Namun pada kenyataannya, dunia usaha seringkali mengabaikan hak-hak reproduksi pekerja perempuan. Terkadang mempekerjakan karyawan yang hamil malah menjadi bahaya atau sumber kekhawatiran bagi perusahaan karena mempekerjakan karyawan yang hamil membutuhkan dana yang lebih besar (Rahmawati & Darsono, 2022).

Kemudian berbunyi sebagai berikut: �Pemecatan yang melanggar ayat (1) adalah batal dan tidak sah, dan pemilik usaha harus mempekerjakan kembali pekerja atau buruh yang bersangkutan.� Meskipun pekerja yang hamil dilarang oleh undang-undang dan dimaksudkan untuk dilindungi, dalam praktiknya banyak pengusaha yang memberhentikan pekerjanya secara sepihak karena alasan ini. Sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penulis studi ini akan menyelidiki kontroversi seputar pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap pekerja hamil yang dilakukan oleh organisasi perekrutan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif, yang mencari pembuktiannya dengan mengkaji evaluasi literatur terkait dan sumber-sumber primer, seperti undang-undang dan peraturan. Baik strategi undang-undang, yang melibatkan evaluasi mendalam terhadap semua undang-undang dan peraturan yang berlaku, dan pendekatan kasus, yang melibatkan pemeriksaan terhadap kejadian aktual, digunakan dalam penelitian ini. Putusan pengadilan yang mempunyai dampak hukum yang luas telah berkembang sebagai hasil dari kerangka konseptual dan gagasan ilmu hukum (Marzuki, 2013).

Studi jurnal dan literatur dianalisis sebagai bagian dari proses pengumpulan data penelitian ini. Sebagian besar informasi yang dikumpulkan berasal dari berbagai argumentasi yang disampaikan di pengadilan. Informasi yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari makalah hukum utama dan sumber sekunder (pendukung).

 

Hasil dan Pembahasan

A. Perlindungan terhadap pekerja hamil yang terkena PHK sepihak

Perusahaan yang baik, bertanggung jawab, dan terintegrasi akan peduli terhadap karyawannya, termasuk karyawan wanita yang sedang hamil, karena karyawannya adalah sumber daya yang menggerakkan keberhasilan Perusahaan (Fernando, 2022). Perempuan hamil yang bekerja membutuhkan lebih banyak dari majikannya dalam bentuk perlindungan terhadap hak-hak reproduksinya.

Dimana cuti haid, hamil, melahirkan, dan aborsi diakui sebagai bagian dari hak reproduksi perempuan. peraturan perundang-undangan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) menjamin hak-hak dasar bagi perempuan di tempat kerja, antara lain perlakuan yang sama, cuti haid, dan cuti melahirkan atau keguguran, oleh karena itu setiap perlakuan khusus yang diberikan kepada pekerja atau buruh perempuan harus dilaksanakan. sesuai dengan peraturan perundang-undangan ini.

Namun ketika diterapkan di lapangan ternyata masih belum sesuai dengan kebutuhan yang ada sehingga menimbulkan tantangan yang merugikan bagi pekerja atau buruh. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak adil terhadap pekerja hamil merupakan masalah yang umum terjadi. Perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk mencegah PHK dengan cara apa pun. Jika suatu perusahaan memutuskan bahwa seorang karyawannya tidak lagi cocok untuk posisinya, maka mereka berhak untuk memberhentikannya. Sikap seorang pekerja dalam bekerja merupakan barometer kelangsungan hidupnya sebagai seorang karyawan (Sunaryo & ABS, 2017). Terkait PHK, pengusaha harus memperlakukan pekerja perempuan dan laki-laki secara setara.

Jika pemberi kerja mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja yang hamil, maka pemberi kerja tidak boleh memecat mereka tanpa alasan (Rohendra Fathammubina, 2018). Jika pemberi kerja menyadari banyaknya perlindungan yang diterapkan bagi pekerja, termasuk peningkatan perlindungan bagi ibu hamil, kecil kemungkinannya bahwa PHK akan dilakukan secara sepihak oleh perusahaan.

Pedoman, peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis, perlindungan sosial dan ekonomi melalui undang-undang, dan bentuk pengawasan hukum lainnya, semuanya berperan dalam melindungi karyawan di tempat kerja (Asikin, 1994). Perlindungan bagi pekerja akan mencakup: 1) Standar Keselamatan Kerja. 2) Kebijakan dan prosedur kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. 3) Bagi karyawan yang sakit atau cedera saat bekerja; 4) Bagi perempuan dan anak-anak yang menghadapi diskriminasi di tempat kerja karena gender mereka (Kartasapoetra, 1982).

Setiap pekerja mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lebih lanjut, menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seluruh pekerja berhak untuk diperlakukan secara adil dan setara oleh pemberi kerja. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara khusus melarang diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja (Pasal 5), sedangkan Pasal 6 undang-undang yang sama memberikan klarifikasi lebih lanjut. Namun, hal ini sering kali digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan karena perbedaan biologis antara kedua jenis kelamin.

Perlindungan hukum bagi perempuan di tempat kerja mencakup hal-hal berikut: 1) Perempuan berhak mengambil cuti kerja pada dua hari pertama pada masa haidnya apabila ia memberitahukan kepada majikannya bahwa ia merasakan sakit akibat haidnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2) Jam kerja bagi perempuan dibatasi pada tengah malam hingga pukul tujuh sesuai dengan Pasal 76 Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 3) Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin perempuan menyusui berhak untuk mengambil istirahat dari pekerjaan jika mereka perlu mengasuh bayinya.

Pekerja yang hamil sangat berisiko menerima diskriminasi dari pemberi kerja, karena banyak kontrak mengharuskan pekerja untuk berhenti jika mereka hamil. PHK paksa terhadap perempuan hamil yang dilakukan perusahaan dibenarkan oleh potensi hilangnya produktivitas akibat kehadiran mereka di tempat kerja.

1. Larangan bekerja pada malam hari

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melarang perempuan di bawah umur 18 tahun dan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter akan membahayakan kesehatan dan keselamatan dirinya atau janinnya bila bekerja pada shift malam (mulai pukul 23: 00 hingga 07:00). Jika suatu perusahaan memberlakukan jam malam terhadap pekerja perempuan yang sedang hamil, perusahaan tersebut harus memastikan bahwa mereka mempunyai akses terhadap makanan dan air yang cukup, bahwa mereka diperlakukan dengan hormat, dan bahwa mereka tetap aman dan terlindungi di tempat kerja. Pasal 2 Keputusan Menteri Republik Indonesia tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Pukul 07.00 (Kep-224/Men/2003) menyatakan demikian.

2. Dia dipecat karena dia sedang mengandung. Karena perempuan diharapkan untuk berkeluarga dan berkeluarga, maka tidak adil jika suatu perusahaan meminta perempuan berhenti atau memutuskan hubungan kerja (PHK) karena menikah, hamil, atau mempunyai anak. Pasal 2 Peraturan Menteri Republik Indonesia tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Bagi Pekerja Perempuan Karena Menikah, Hamil, dan Melahirkan (Per03/MEN/1989) menyatakan bahwa ketentuan ini berlaku untukwaktu-waktu tertentu atau tidak tertentu."

3. Pengalihan tugas tanpa mengurangi hak

Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Per-03/MEN/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja perempuan karena perkawinan, kehamilan, dan persalinan mengharuskan pengusaha untuk merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pegawai tanpa mengurangi haknya. Apabila perusahaan tidak dapat melakukan mutasi, maka harus memberikan cuti melahirkan, dan setelah pekerja tersebut melahirkan, harus tetap mempekerjakannya pada jabatan yang sama dengan tidak mengurangi haknya (pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Per-03/MEN/1989 tentang Larangan Termi.

 

4. Cuti hamil

a) Pekerja perempuan mempunyai hak untuk cuti kerja sampai dengan tiga setengah bulan (pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) sebelum dan sesudah melahirkan, berdasarkan rekomendasi dokter atau bidan pekerja. b) Keguguran membuat pekerja perempuan mendapat cuti 1,5 bulan atau surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan berdasarkan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jelas bahwa perempuan hamil dan baru melahirkan diberikan perlindungan khusus berdasarkan undang-undang. Sayangnya, karena sejumlah hambatan, banyak dari hak-hak tersebut masih belum sepenuhnya dinikmati oleh pekerja yang sedang hamil.

Pekerja mungkin akan berupaya untuk menyelesaikan masalah mereka di pengadilan hukum industrial jika mereka yakin bahwa perusahaan tempatnya bekerja telah melanggar atau merampas hak-hak mereka. Musyawarah atau mediasi merupakan tindakan pertama yang boleh dilakukan. Moderator, karyawan bermasalah, dan pemilik atau perwakilan bisnis menghadiri dan berpartisipasi dalam musyawarah tersebut. Jika perundingan berhasil mencapai kompromi, maka permasalahan tersebut tidak perlu dibawa ke pengadilan. sebelum terjadi kesepakatan tidak dapat dicapai melalui musyawarah, maka permasalahan hubungan kerja diselesaikan di pengadilan hubungan industrial.

 

Kesimpulan

Perlindungan terhadap perempuan di tempat kerja sejauh ini belum efektif. Sebagai bentuk perlindungan terhadap pekerja perempuan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai undang-undang dan konvensi internasional yang menekankan pentingnya hak-hak reproduksi perempuan, termasuk hak atas cuti berbayar selama kehamilan, persalinan, dan aborsi. Namun, penerapan metode implementasi ini terbukti masih belum sepenuhnya memuaskan, terutama oleh banyak perusahaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak adil terhadap pekerja hamil masih terjadi hingga saat ini.

 

BIBLIOGRAFI

Asikin, Zainal. (1994). Dasar-dasar hukum perburuhan.

 

Bidayati, Kholis. (2021). Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan dan Interpretasinya di Pengadilan Agama: Studi Putusan Pengadilan Agama di DKI Jakarta 2015-2019. Penerbit A-Empat.

 

Fernando, Ardi. (2022). Tinjauan Terhadap Kewajiban Pemberian Uang Pesangon Sebagai Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)(Studi Kasus Pemberian Pesangon Pada Karyawan PHK di PT Ramajaya Prakmukti). Universitas Islam Riau.

 

Jauhari, Muhammad Yahya, & Waluyo, Waluyo. (2023). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Oleh Perusahaan Saat Cuti Hamil di Kota Bandung. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 3(2), 1947�1960.

 

Kartasapoetra, Gunawi. (1982). Pokok-pokok Hukum Perburuhan. Armico.

 

Martojo, Moempoeni, & Martojo, Moempoeni. (1999). Prinsip Persamaan di Hadapan hukum bagi Wanita dan Pelaksanaannya di Indonesia. Disertasi, Semarang: Universitas Dipenogoro (UNDIP).

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2013). Penelitian hukum.

 

Mustari, Mustari, & Bakhtiar, Bakhtiar. (2020). Implementasi Nilai Kemanusiaan dan Nilai Keadilan pada Pekerja Perempuan (Analisis Terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan). SUPREMASI: Jurnal Pemikiran, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Hukum Dan Pengajarannya, 15(1).

 

Permatawati, Rezki, & Purwanti, Ni Putu. (2015). Perlindungan Terhadap Pekerja Wanita Yang Sedang Hamil. Article, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana.

 

Rahmawati, Dwi Mia, & Darsono, S. H. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cuti Pekerja Perempuan Hamil. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Rohendra Fathammubina, S. H. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Bagi Pekerja. Jurnal Ilmiah Hukum DE�JURE: Kajian Ilmiah Hukum, 3(1), 108�130.

 

Sulvi, Lindiana. (2016). Pemberian Cuti Dan Waktu Istirahat Kerja Kepada Tenaga Kerja Wanita Dihubungkan Dengan Perlindungan Terhadap Hak Reproduksi Wanita Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus Di Pt. Vires Karawang).

 

Sunaryo, Hadi, & ABS, Muhammad Khoirul. (2017). Pengaruh Kerjasama Tim dan Kreativitas Terhadap Kinerja Karyawan UD. Agro Inti Sejahtera Jember. E-JRM: Elektronik Jurnal Riset Manajemen, 6(04).

Susiana, Sali. (2019). Pelindungan hak pekerja perempuan dalam perspektif feminisme. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 8(2), 207�221.

 

Triyani, Rismaenar, & Tarina, Dwi Desi Yayi. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cuti Pekerja Perempuan Hamil (Studi Pada Perusahaan Es Krim Di Bekasi). Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, 4(1), 98�108.

 

Copyright holder:

Michellie Chandra Wijaya, Gunardi Lie (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: