Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
PENGARUH KEBIJAKAN EFISIENSI SEBAGAI ALASAN PENJATUHAN
PHK: PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DAN UNDANG-UNDANG CIPTA
KERJA
Kerenhapukh Milka Tarmadi Putri, Gunardi
Lie
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Pemutusan hubungan kerja adalah tindakan serius
yang seringkali diambil oleh pemberi kerja dengan berbagai alasan. Salah
satunya bertujuan untuk menjaga efisiensi operasional dan stabilitas keuangan.
Tekanan ekonomi, persaingan pasar, atau perubahan strategis seringkali menjadi
alasan justifikasi bagi perusahaan untuk melakukan efisiensi dengan cara
melakukan PHK terhadap para pekerja agar perusahaan dapat bertahan. Alasan ini
seringkali memicu ketidaksetaraan kekuatan antara pengusaha/pemberi kerja
dengan pekerja, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan banyak hak pekerja yang
dilanggar. Awalnya Undang-Undang ini mengatur bahwa perusahaan dapat melakukan
PHK dengan alasan efisiensi dengan syarat perusahaan tutup. Namun kini
persyaratan tersebut mengalami perubahan yang dituangkan dalam Undang-Undang
Cipta Kerja. Perubahan persyaratan ini memperluas kebebasan pemberi
kerja/pengusaha untuk dapat melakukan PHK terhadap pekerja. Oleh karena itu,
perlindungan hukum dan regulasi yang efektif memiliki peranan penting untuk
memastikan bahwa pekerja tetap memiliki hak dan kepentingan yang harus
dihormati saat perusahaan melakukan PHK. Pada penelitian ini, penulis ingin
mengkaji lebih lanjut terkait hak pekerja saat dilakukannya PHK dengan alasan
efisiensi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang
dilakukan melalui bahan pustaka data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk
menelaah peraturan/ regulasi yang berlaku mengenai ketenagakerjaan terutama
mengenai PHK dengan alasan efisiensi.
Kata
Kunci: Pemutusan Hubungan
Kerja, Efisiensi, UU Cipta Kerja, UU Ketenagakerjaan.
Abstract
Termination of employment is a serious action that is often taken by
employers for various reasons. One of them aims to maintain operational
efficiency and financial stability. Economic pressure, market competition, or
strategic changes are often reasons for justification for companies to make
efficiencies by laying off workers so that the company can survive. This reason
often triggers power inequality between employers / employers and workers,
which in turn can result in many workers' rights being violated. Initially,
this law stipulated that companies could make layoffs for efficiency reasons on
condition that the company closed. But now these requirements have undergone
changes as outlined in the Job Creation Law. This change in requirements
expands the freedom for employers to lay off workers. Therefore, effective
legal and regulatory protection has an important role to ensure that workers
still have rights and interests that must be respected when companies make
layoffs. In this study, the author wants to further examine workers' rights
when layoffs are carried out for reasons of efficiency. The research method
used is normative juridical which is carried out through secondary data library
materials consisting of primary legal materials, secondary legal materials and
non-legal materials. The research approach used is a statutory approach. This
approach is used to review applicable rules / regulations regarding employment,
especially regarding layoffs for reasons of efficiency.
Keywords: Termination of Employment, Efficiency, Job Creation Law, Labor Law.
Pendahuluan
Tenaga kerja merupakan komponen penting yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas perekonomian suatu negara. Tenaga
kerja yang kompeten dan berkualitas akan memberikan dampak positif terhadap pembangunan nasional suatu negara (Abdullah & Lala, 2020). Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah tenaga kerja di Indonesia per Februari 2023 adalah sebanyak 146,62 juta jiwa. Angka ini mencakup hampir setengah dari total penduduk Indonesia yang menandakan
bahwa Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja
yang berlimpah dan siap untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Meskipun sering disamakan,
namun menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut sebagai �UU
Ketenagakerjaan�, menyatakan bahwa
ada perbedaan arti antara �pekerja� dan �tenaga kerja�. Pasal 1 ayat (2) menyatakan tenaga kerja adalah individu
yang dianggap memiliki kapasitas untuk dapat berkontribusi dalam produksi barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan pekerja. Pasal 1 ayat (3) menyatakan pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Melalui pengertian
ini dapat disimpulkan tenaga kerja adalah individu
yang dianggap mampu memiliki kapasitas untuk bekerja, sedangkan pekerja merupakan individu yang memang sudah bekerja
dan berhak menerima upah atau imbalan.
Hubungan antara pekerja
dengan pemberi kerja lahir dan dipersatukan dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja (Farianto, 2021). Perjanian kerja
berisi rangkaian aturan yang mencakup hak dan tanggung jawab dari kedua
belah pihak yaitu pihak pekerja
dan pemberi kerja. Perjanjian kerja memiliki beberapa jenis. Berdasarkan jangka waktunya, perjanjian kerja terdiri dalam 2 (dua) bentuk yakni Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) dan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) (Avianto, Suhartini, &
Adiwijaya, 2022).
Dalam praktik pembuatan perjanjian kerja, pihak pemberi
kerja memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja. Ini disebabkan karena adanya perbedaan peran, dimana pekerja
bergantung pada upah yang diberikan oleh pemberi kerja sebagai imbalan
atas tenaga yang diberikan. Pola perbedaan kedudukan dalam hubungan tersebut menjadikan pekerja sebagai pihak yang paling rentan terjadi eksploitasi.
Dalam upaya meminimalisir dan mencegah agar hal ini tidak
terjadi, pemerintah perlu untuk memberikan
perlindungan terhadap hak dan kepentingan pekerja (Hatane, Alfons, &
Matitaputty, 2021). Pemerintah memiliki
tanggung jawab untuk mewujudkan lingkungan kerja yang adil dan aman, serta memastikan bahwa pekerja mendapatkan
pengakuan terhadap hak-hak yang seharusnya mereka terima. Perlindungan pemerintah terhadap pekerja dapat mencakup berbagai aspek seperti menciptakan dan mengimplementasikan regulasi mengenai ketenagakerjaan, pengawasan kondisi kerja, memberikan hak untuk organisasi
serikat pekerja, ketentuan upah minimum, memberikan asuransi kesehatan, dan sebagainya.
Pemerintah juga berperan dan terlibat dalam menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan serta memberikan bantuan kepada pekerja yang mengalami kesulitan atau kondisi khusus,
seperti kondisi pengangguran atau cedera kerja. Selain berkewajiban untuk melindungi hak dan kepentingan pekerja, pemerintah juga memiliki tanggung jawab utama terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi negara.
Dalam mempertahankan kestabilan ekonomi suatu negara, pemerintah memerlukan bantuan dan kontribusi dari para pemberi kerja/pengusaha
sebagai penyokong utama, sementara pengusaha/ pemberi kerja membutuhkan pekerja sebagai penggerak utama untuk dapat menjaga
keberlangsungan usahanya. Kondisi ekonomi dan pasar cenderung fluktuatif dan tidak dapat diprediksi.
Saat terjadi ketidakstabilan
dalam kondisi ekonomi, pengusaha/pemberi kerja akan
berusaha semaksimal mungkin untuk tetap
mempertahankan kelangsungan
bisnis usahanya.
Salah satu cara yang dilakukan pemberi kerja adalah
melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah pekerja melalui pemutusan hubungan kerja yang selanjutnya disebut �PHK�. PHK merupakan peristiwa berakhirnya hubungan kerja yang disebabkan karena hal tertentu
yang berakibat pada pengakhiran
hak dan kewajiban para pihak (Undang-undang
Ketenagakerjaan, 2003). Ketika terjadi benturan kepentingan antar para pihak, maka akan memunculkan
potensi besar terjadinya perselisihan dalam hubungan kerja.
Mengutip dari buku
Zainal Asikin (2004) yang berjudul �Dasar-Dasar Hukum
Perburuhan� menurut Prof.
Imam Soepomo, PHK adalah awal dari segala
pengakhiran yang ada yakni berakhirnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Menurut Umar Kasim, Ketika hubungan
kerja berakhir karena PHK, pekerja akan kehilangan pekerjaan mereka yang dapat mengakibatkan dimulainya masa pengangguran dengan segala konsekuensi
yang menyertainya (Angelia & Yurikosari,
2020).
Oleh karena itu, Berdasarkan pasal 151 ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur
agar setiap pihak yang terlibat yakni Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, wajib untuk menjadikan
PHK sebagai jalan terakhir. Jalan terakhir memiliki arti bahwa setiap pihak wajib
untuk menghindari terjadinya PHK dengan melakukan upaya-upaya terlebih dahulu seperti pemotongan upah/gaji, mengatur
kembali mengenai waktu kerja, dan sebagainya.
Peraturan ketenagakerjaan mengatur alasan-alasan yang dapat menjadi dasar
untuk melakukan PHK, diantaranya seperti pekerja melakukan perbuatan pidana/ kesalahan berat, pelanggaran terhadap perjanjian kerja/ perjajian kerja bersama/ peraturan perusahaan, adanya corporate
action (merger, akuisisi, perubahan
status, dsb), perusahaan dinyatakan pailit, dan lain sebagainya. Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah tindakan serius yang kerap kali diambil oleh perusahaan dengan tujuan menjaga
stabilitas keuangan serta efisiensi operasional perusahaan.
Alasan efisiensi sering digunakan oleh pemberi kerja sebagai
justifikasi untuk melakukan PHK, terutama dalam situasi-situasi di mana perusahaan menghadapi tekanan ekonomi atau persaingan yang ketat. Latar belakang ekonomi global saat ini menunjukan betapa pentingnya keseimbangan antara kepentingan pemberi kerja dengan hak
pekerja. Namun pada praktiknya, PHK dengan alasan efisiensi sering digunakan sebagai strategi untuk menghindari terjadinya kerugian bagi perusahaan.
PHK dengan alasan efisiensi memberikan dampak langsung bagi pekerja,
dimana mereka akan kehilangan pekerjaan, yang merupakan kemampuan untuk memenuhi kebetuhan hidup dan mendapatkan kehidupan yang layak. PHK dengan alasan efisiensi
memperlihatkan adanya ketidaksetaraan posisi antara pemberi kerja/ pengusaha dengan pekerja, yaitu pemberi kerja
memiliki kekuatan lebih terhadap para pekerja (Silaban, Arini, &
Suryani, 2021). Hal ini membuat pekerja rentan terhadap tindakan PHK yang dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka.
Oleh karena itu, perlindungan hukum dan regulasi yang efektif sangat penting untuk dapat memastikan
bahwa pekerja memiliki hak dan kepentingan yang dihormati (Jahari & Artita, 2023). Ketentuan mengenai
PHK dengan alasan efisiensi telah mengalami perubahan pengaturan. Pada awalnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan
batasan penjatuhan PHK dengan alasan efisiensi
hanya dapat dilakukan jika perusahaan tutup. Namun seiring perkembangan
waktu, peraturan mengenai PHK mengalami perubahan seiring dengan kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja, dimana dalam peraturan
ini menyatakan bahwa pemberi kerja/pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi dapat divalidasi tanpa perlu menutup
perusahaan namun hanya dengan memenuhi
syarat mengalami kerugian dan untuk mencegah terjadinya kerugian.
Ketidaksetaraan dan penyalahgunaan hak yang diterima pekerja ini dapat
menimbulkan perselisihan,
dan ini membuat penulis tertarik untuk melakukan kajian penelitian lebih lanjut terhadap
saat terjadinya PHK dengan alasan efisiensi.
Dalam penulisan ini, terdapat beberapa penelitian Fitria (2018) mengenai PHK dengan
alasan efisiensi yang penulis temukan, yakni penelitian yang berjudul �Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja atau Buruh Yang Terkena PHK Akibat Efisiensi di Perusahaan�. Pembahasan
yang dilakukan dalam penelitian ini memiliki kemiripan dengan penulis dari sisi variabel,
yaitu PHK dengan alasan efisiensi.
Namun topik pembahasan
yang digunakan penulis berbeda dengan penelitian sebelumnya. Dimana dalam penelitian tersebut memiliki fokus membahas mengenai tahapan/ proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi dan hak-hak bagi pekerja
yang mengalami PHK tersebut.
Selain itu, penulis juga menemukan kesamaan dalam penelitian Sunarto (2023) yang berjudul �Efisiensi Pemutusan Karyawan Oleh Perusahaan Di Tengah Pandemi
Covid-19 Dengan Dalil Force Majeure�.
Penulis menemukan adanya
kemiripan dalam tema yang diangkat yakni mengenai pelaksanaan PHK dengan alasan efisiensi oleh pemberi kerja/ perusahaan, namun terdapat perbedaan pada topik pembahasan antara penulis dengan penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu berfokus pada pembuktian efisiensi perusahaan dengan dalil force majure (keadaan memaksa) yang digunakan untuk melakukan PHK (Sunarto, 2023).
Dalam penelitian ini penulis ingin
memaparkan bagaimana efisiensi dapat dijadikan sebagai alasan PHK tanpa melakukan penutupan perusahaan dan untuk menghindari terjadinya kerugian perusahaan dan bagaimana dampak dari adanya perubahan
regulasi mengenai PHK dengan alasan efisiensi
yang berlaku di Indonesia serta
tahapan atapun penyelesaian apabila terjadi PHK sepihak yang dilakukan pemberi kerja dengan alasan
efisiensi tersebut.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif. Setiap penelitian dalam bidang hukum
selalu normatif (Marzuki, 2013). Penelitian normatif
merupakan penelitian terhadap bahan pustaka/ data sekunder yang terdiri atas 3 jenis bahan, yaitu
hukum primer, hukum sekunder dan non hukum.
Terdapat 3 bahan hukum
primer yang digunakan oleh penulis
dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, serta konvensi International
Labor Organization (ILO) tetang Pemutusan
Hubungan Kerja atas Prakarsa Pengusaha Nomor 158 Tahun 1982.
Sedangkan bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam bentuk buku-buku,
jurnal ilmiah, ataupun artikel yang relevan dengan penelitian. Bahan non-hukum yang digunakan berupa kamus bahasa dan jurnal-jurnal non-hukum. Penulis mengambil pendekatan perundang-undangan sebagai pendekatan penelitian yang digunakan. Pendekatan ini digunakan untuk menelaah peraturan/ regulasi yang berlaku mengenai ketenagakerjaan terutama mengenai PHK dengan alasan efisiensi.
Pengumpulan bahan hukum akan dilakukan
melalui tindakan penelusuran, pemeriksaan, dan penelaahan bahan-bahan hukum, yang kemudian diikuti dengan analisis kualitatif terhadap materi hukum tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan efisiensi
tanpa diikuti perusahaan tutup
Perselisihan PHK merupakan permasalahan yang sering kita lihat dan tidak jarang terjadi dalam hubungan kerja. Dalam sebuah hubungan kerja, biasanya pemberi kerja memiliki kedudukan dan kekuasaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pekerja. Perbedaan kedudukan ini menyebabkan banyak pihak pekerja mendapatkan perlakuan yang tidak adil dalam memperoleh hak-haknya. Hal ini menimbulkan terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak.
Maka dari itu, pemerintah wajib untuk melindungi pekerja melalui regulasi mengenai ketenagakerjaan dengan tetap memperhatikan kepentingan dari pemberi kerja/pengusaha. Dengan begitu pemerintah dapat menjaga agar kedua pihak tersebut berada pada posisi yang adil dan seimbang, terutama dalam konteks perselisihan hubungan kerja, baik itu terkait dengan ketentuan, proses, hak dan kewajiban para pihak maupun penyelesaian perselisihan.
Adanya intervensi dari pemerintah dalam membuat regulasi tentang perselisihan dalam hubungan kerja merupakan suatu bentuk perlindungan untuk dapat memberikan batasan terhadap kebebasan masing-masing pihak. Dengan adanya peraturan mengenai ketenagakerjaan menunjukan bahwa pemerintah memperhatikan kesejahteraan para pekerja. Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai ketenagakerjaan sudah ada sejak Tahun 1951 yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selanjutnya mengalami pembaharuan sebanyak dua kali yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 (Mahmudah & Markus, 2022).
Pada tahun 2003, peraturan mengenai ketenagakerjaan mengalami pembaharuan hukum melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Undang-Undang ini secara komprehensif mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan yang belum pernah diatur sebelumnya. Pembaharuan peraturan ini bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah, karena dengan adanya modernisasi, kemajuan teknologi, dan berbagai perubahan yang terjadi secara signifikan hukum harus senantiasa melakukan perubahan untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat.
Setelah 20 tahun peraturan ketenagakerjaan tidak mengalami pembaharuan, dalam era pemerintahan Bapak Ir. Joko Widodo tepatnya pada tahun 2023 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang selanjutnya disebut sebagai �Undang-Undang Cipta Kerja�.
Peraturan tersebut memberikan harapan besar bagi pemerintah khususnya bagi para pembentuk undang-undang untuk menciptakan sebuah peraturan di bidang ketenagakerjaan demi meminimalkan serta mengurangi kesalahan dalam pengambilan langkah baik itu oleh para penegak hukum, pengusaha/ pemberi kerja, maupun pekerja itu sendiri.
Dalam pembuatan UU Cipta Kerja para pembentuk dan perumus UU menggunakan Konsep omnibus law. Omnibus law merupakan metode pembuatan undang-undang dengan mempersatukan beberapa aturan yang memiliki isi/ pokok yang berbeda sehingga menjadi sebuah kesatuan peraturan dalam satu payung hukum dengan tujuan untuk membuat peraturan hukum yang berlaku di Indonesia semakin sederhana (Kementerian Hukum dan HAM, 2022).
UU Cipta Kerja dibentuk bertujuan untuk menyerap tenaga kerja di Indonesia sebesar-besarnya ditengah persaingan yang semakin ketat. Kehadiran UU Cipta Kerja tidak serta merta membatalkan/menghapus peraturan lama, namun ada beberapa ketentuan yang diubah dari peraturan lama salah satunya terkait dengan PHK.
UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka (25) menyatakan PHK sebagai suatu keadaan dimana hubungan kerja dapat berakhir karena suatu hal tertentu yang berdampak pada berakhirnya hak serta kewajiban antara pekerja dengan pemberi kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan� beberapa jenis/ alasan penyebab dilakukannya PHK diantaranya ketika pihak pekerja melakukan kesalahan berat (pasal 158), pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana (pasal 160), pekerja melanggar isi dari perjanjian kerja/ peraturan perusahaan/ perjanjian kerja bersama (pasal 161), pekerja mengundurkan diri secara sukarela (pasal 162), PHK karena perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan (pasal 163), dan sebagainya (Uwiyono, Suryandono, Hoesin, & Kiswandari, 2014).
UU ini juga mengatur langkah dan proses penjatuhan PHK. Sebelum PHK dijatuhkan, dalam pelaksanaannya pengusaha dan pekerja serta pemerintah perlu melakukan upaya- upaya terlebih dahulu agar PHK tidak terjadi. Apabila dari segala usaha yang telah dilakukan, namun pada akhirnya PHK tidak dapat dihindari, maka pemberi kerja/ pengusaha wajib untuk melakukan perundingan terlebih dahulu mengenai penjatuhan PHK terhadap pekerja.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan dalam keputusan penjatuhan PHK, maka perlu dicapai kesepakatan antar kedua belah pihak. Namun faktanya, terdapat pemberi kerja/pengusaha yang melakukan PHK sepihak terhadap para pekerjanya. Hal ini menimbulkan suatu perselisihan dalam hubungan kerja yang dapat merugikan para pihak. Salah satu alasan yang sering digunakan oleh para pemberi kerja/pengusaha dalam penjatuhan PHK adalah alasan efisiensi. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian dari kata efisiensi.
Efisiensi merupakan tindakan perusahaan untuk dapat mencapai tujuan secara maksimal dengan penggunaan sumber daya yang terbatas (Hidayat T. Fitrianingrum L et all., 2021). Menurut Oxford Dictionary efisiensi bertujuan untuk: 1) Mengedepankan kualitas pekerjaan tanpa membuang waktu dan uang; 2) Melakukan penghematan terhadap uang dan waktu; 3) Adanya hubungan antara jumlah pengeluaran dan pendapatan.
Berdasarkan pengertian diatas, konsep dari efisiensi berkaitan erat dengan tujuan bisnis dan ekonomi. Efisiensi adalah pilihan yang ditempuh oleh pemberi kerja untuk dapat melakukan penghematan baik dari sisi waktu maupun biaya, dengan tujuan agar perusahaan dapat tetap beroperasi dan bertahan ditengah persaingan usaha yang semakin ketat. Bentuk efisiensi yang dilakukan oleh pemberi kerja adalah dengan cara mengurangi jumlah pekerja (Budi Santoso, 2013).
Alasan efisiensi ini merupakan salah satu bentuk PHK yang didasarkan atas keinginan pemberi kerja/pengusaha dengan tujuan untuk mengurangi atau menghemat beban perusahaan, terutama penghematan dari sisi biaya tenaga kerja agar keberlangsungan perusahaan dapat terjaga. Setelah hampir 20 tahun tidak pernah mengalami pembaharuan, pada tahun 2023 terjadi pembaharuan hukum dalam ranah ketenagakerjaan, yaitu adanya perubahan UU Ketenagakerjaan menjadi UU Cipta Kerja. Keberadaan UU Cipta Kerja hanya merubah beberapa ketentuan dalam peraturan sebelumnya (UU Ketenagakerjaan).
Salah satu perubahannya terletak pada ketentuan dan persyaratan terkait dengan efisiensi sebagai alasan PHK dilakukan. UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa PHK hanya dapat dilakukan atas dasar alasan yang sah, termasuk juga alasan efisiensi. Dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa PHK dengan alasan efisiensi hanya dapat dilakukan oleh pemberi kerja/pengusaha apabila memenuhi syarat �perusahaan tutup�. Pasal ini dianggap inkonstitusional dan dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam pertimbangannya hakim memberikan pendapat bahwa efisiensi tanpa disertai dengan perusahaan tutup tidak dapat dijadikan dalil untuk menjatuhkan PHK (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, 2011). Hakim menyatakan dalam putusan tersebut bahwa efisiensi dapat dijadikan sebagai dalil untuk menjatuhkan PHK dengan syarat perusahaan tutup secara permanen bukan hanya untuk sementara waktu, dimana tutup secara permanen inilah yang dianggap sebagai cara pemberi kerja untuk melakukan efisiensi.
Sementara dalam UU Cipta Kerja terjadi penambahan alasan ketentuan mengenai pelaksanaan PHK dengan alasan efisiensi. Terdapat berbagai macam jenis efisiensi yang dapat dijadikan sebagai dasar penjatuhan PHK. Alasan pertama, PHK dapat dilakukan sebagai bentuk upaya perusahaan dalam efisiensi karena kerugian yang dialami, namun tidak perlu sampai mengalami penutupan perusahaan. Kedua, efisiensi dapat dilakukan sebagai strategi yang dijalankan untuk mencegah terjadinya kerugian perusahaan. Ketiga, efisiensi� dengan alasan perusahaan tutup disertai dengan kerugian secara terus-menerus atau tidak secara terus menerus selama 2 (dua) tahun.
Keempat, efisiensi dengan alasan perusahaan tutup yang disebabkan bukan karena perusahaan mengalami kerugian. Berdasarkan alasan diatas, dapat dilihat terdapat perbedaan antara UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja terhadap ketentuan dan alasan yang mendasari pelaksanaan PHK. Dalam UU Cipta Kerja terdapat penambahan alasan efisiensi dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, dimana adanya penambahan pada jenis alasan efisiensi yang pertama dan kedua, yaitu efisiensi dapat dilakukan perusahaan tanpa perlu mengalami penutupan dan sebagai bentuk tindakan pencegahan kerugian.
Masing-masing jenis alasan efisiensi dalam UU tersebut tentunya memiliki dasar hukum yang melatarbelakanginya. Alasan pertama diatur dalam UU Cipta Kerja Pasal 154A ayat 1 huruf b, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan efisiensi dengan/atau tanpa melakukan penutupan perusahaan yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian. Jenis efisiensi yang kedua diatur pada peraturan turunan UU Cipta Kerja yakni dalam Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang menyatakan bahwa perusahaan diizinkan melakukan PHK dengan alasan untuk mencegah dan menghindari terjadinya kerugian.
PP 35 Tahun 2021 memberikan penjelasan bahwa efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian dapat dilakukan apabila ditemukan adanya potensi penurunan produktvitas perusahaan yang berdampak pada kinerja operasional perusahaan. Ditinjau dari isinya, perubahan tersebut menciptakan perbedaan yang signifikan diantara UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja memberikan ruang kepada pemberi kerja untuk melakukan PHK dengan alasan efisiensi dengan syarat mengalami kerugian maupun hanya untuk mencegah terjadinya kerugian.
Bila kita melihat pada bagian menimbang dalam UU Cipta Kerja, Undang-Undang tersebut memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur dengan memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun dengan adanya perubahan terhadap frasa �efisiensi harus diikuti dengan perusahaan tutup� dalam UU Ketenagakerjaan menjadi �efisiensi tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian� dan bahkan dengan alasan pencegahan kerugian perusahaan pun PHK tetap dapat dilakukan.
Maka hal ini dapat menjadi alasan dan membentuk pandangan bahwa hanya dengan alasan untuk mencegah kerugianperusahaan pun dapat memberlakukan PHK terhadap para pekerjanya. Penambahan alasan tersebut memperlihatkan bahwa pemberi kerja diberikan kebebasan lebih untuk dapat menjatuhkan PHK, padahal kita mengetahui bahwa pekerja menggantungkan kehidupannya atas upah/ gaji yang diberikan oleh pemberi kerja. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pekerja seakan-akan tidak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak.�
Pembaharuan hukum yang ada saat ini tidak selaras dengan pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang mana seluruh masyarakat Indonesia berhak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta menerima perlakuan yang adil dan sama sama suatu hubungan kerja�. Frasa �mengalami kerugian� pada Pasal 154A UU Cipta kerja dapat memiliki makna yang bias sehingga menimbulkan pandangan yang berbeda-beda.
Tidak ada indikator tertentu yang menjadi tolak ukur kerugian yang dialami dalam segi nominal, sehingga hal ini memberikan fleksibilitas pagi pemberi kerja dalam memberlakukan PHK, baik dalam jumlah kerugian yang kecil ataupun besar. Dengan adanya pembaharuan dalam klausul tersebut, maka akan menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan parameter/ sejauh mana kerugian yang dialami oleh pemberi kerja/ pengusaha yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk melakukan PHK dengan alasan efisiensi ini.
Kemudian mengenai alasan PHK untuk menghindari terjadinya kerugian, meskipun telah dijelaskan mengenai penurunan produktivitas perusahaan dalam UU Cipta Kerja, namun tetap belum ada kejelasan mengenai seberapa besar penurunan yang diperlukan agar dapat dijadikan sebagai alasan PHK dan dasar apa yang dapat dijadikan oleh pengusaha untuk membuktikan bahwa telah terjadinya penurunan produktivitas perusahaan. Maka dari itu, pemerintah harus mampu memberikan tindakan preventif untuk dapat menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penafsiran frasa tersebut, sehingga dapat tingkat perselisihan PHK yang terjadi dalam hubungan kerja dapat diminimalisir. Diperlukan adanya penjelasan/ penjabaran lebih lanjut agar tercipta sebuah pandangan yang selaras dalam menafsirkan frasa �mengalami kerugian� dan �mencegah terjadinya kerugian�.
Selain UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia, terdapat juga aturan lain dalam lingkup internasional yang mengatur mengenai ketenagakerjaan, yakni International Labor Organization (ILO) dengan� Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja Nomor 158 Tahun 1982. Konvensi ini mengatur permasalahan PHK dengan alasan ekonomi dan perubahan teknologi. Konvensi tersebut memang tidak melarang pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan ekonomi.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah ketentuan yang wajib untuk dilakukan pengusaha/pemberi kerja yang mana ketentuan ini yang diatur dalam pasal 13 konvensi ini, yakni: 1) Pemberi kerja/ pengusaha wajib secara transparan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan alasan PHK, serta jumlah tenaga kerja yang akan terdampak; 2) Membuka ruang diskusi/ konsultasi untuk melakukan pembahasan mengenai solusi terbaik yang dapat diambil untuk dapat mencegah atau meminimalisir PHK dan dampak yang akan diterima oleh pekerja.
Dapat disimpulkan bahwa konvensi tersebut memperbolehkan adanya PHK dengan alasan ekonomi, namun dalam praktik kedepannya pemberi kerja/pengusaha wajib memberikan alasan yang jelas dan terbuka yang disampaikan kepada setiap pekerja yang terkena penjatuhan PHK. Alasan yang digunakan oleh pihak pemberi kerja juga tidak boleh mengandung tujuan yang lain.
Selain mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan PHK, konvensi tersebut juga mewajibkan agar setiap pekerja mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja sesuai dengan regulasi yang berlaku, yakni: 1) Hak pesangon/upah lainnya, dimana jumlahnya harus didasarkan pada lamanya masa kerja dan dibayarkan secara langsung oleh pemberi kerja; 2) Pemberian tunjangan dari asuransi pengangguran atau bantuan serta perlindungan sosial lain; 3) Kombinasi pesangon dan tunjangan semacam itu.
Berdasarkan pada peraturan yang berlaku saat ini, PHK dengan alasan efisiensi diizinkan untuk digunakan, namun yang perlu� menjadi catatan pada saat ini adalah para penegak hukum terutama hakim perlu untuk menggali dan memastikan bahwa pihak pemberi kerja/ pengusaha benar-benar mengalami kerugian yang cukup besar, yang mana hal ini dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan dan dokumen-dokumen pendukung lainnya yang dapat dijadikan sebagai bukti kerugian maupun penurunan produktivitas perusahaan sehingga pemberi kerja tidak memiliki jalan lain untuk menyelamatkan perusahaannya selain dengan melakukan PHK.
Hakim juga perlu untuk memastikan bahwa pemberi kerja telah melakukan upaya-upaya sebelumnya untuk dapat menghindari terjadinya PHK, serta setiap hak-hak dari pekerja juga harus terpenuhi sesuai dengan aturan/ regulasi yang berlaku.
Upaya
hukum pekerja ketika menghadapi PHK dengan alasan efisiensi
tanpa perusahaan tutup dalam peraturan
ketenagakerjaan
Dasar hukum yang dijadikan acuan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang tersebut mengatur tahapan-tahapan penyelesaian perselisihan dalam suatu hubungan kerja. Terdapat 2 jalur penyelesaian yang dapat dilakukan yaitu melalui jalur pengadilan hubungan industrial dan jalur diluar pengadilan hubungan industrial. Langkah awal dari tahapan penyelesaian perselisihan ini dimulai dari proses musyawarah/perundingan dari pihak pekerja dan pemberi kerja untuk mencapai kesepakatan yang disebut dengan tahapan bipatrit.
Apabila dalam tahapan bipatrit tidak dapat ditemukan adanya jalan keluar/ titik temu, maka dalam situasi tersebut salah satu pihak wajib untuk mencatatkan perselisihan mereka kepada instansi yang memiliki kewenangan, yakni Dinas Ketenagakerjaan setempat. Tahapan ini disebut dengan tahapan Tripatrit. Dalam tahapan tripatrit, para pihak dapat memilih bentuk-bentuk penyelesaian perselisihan, yaitu melalui mediasi, arbitrase, atau konsiliasi.
Dalam tahap mediasi dan konsiliasi, akan ada pihak lain yang telah terdaftar di instansi kantor dinas tersebut yang berperan menjadi penengah antara pihak pemberi kerja dan pekerja. Dalam mediasi, pihak ini disebut mediator yang akan membantu kesepakatan damai namun lebih pasif tanpa memaksakan penyelesaian. Dalam proses konsiliasi, pihak ini disebut konsiliator, yang berperan aktif berusaha mempertemukan keinginan masing-masing pihak agar tercapai kesepakatan, berupa pendapat dan saran, keuntungan dan kerugian masing-masing pihak, dan sebagainya.
Cara lainnya yaitu arbitrase, yang melibatkan pihak lain disebut arbiter, yang ditunjuk oleh para pihak. Pihak pekerja dan pemberi kerja akan memberikan kesepakatan tertulis untuk menyerahkan perselisihannya kepada arbiter. Arbiter akan memberikan keputusan terhadap perselisihan ini dan hasilnya akan bersifat mengikat kedua belah pihak dan final. Kesepakatan akhir akan dicatat dalam sebuah dokumen yang disebut akta perdamaian yang merupakan hasil dari proses arbitrase (Iriyanto & Nugroho, 2022).
Namun, jika upaya mediasi atau konsiliasi masih gagal dan tidak menghasilkan kesepakatan, maka para pihak dapat mengambil jalur lain, yaitu melalui pengadilan hubungan industrial. Cara ini dilakukan dengan gugatan kepada pengadilan, dengan melampirkan hasil mediasi/konsiliasi serta anjuran dari mediator/konsiliator dengan menggunakan hukum acara perdata. Melalui UU ini, maka para pihak dapat memilih beberapa alternatif agar perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan, baik dengan tanpa ataupun melibatkan pihak lain.
PHK menggunakan alasan efisiensi untuk menghindari terjadinya kerugian sama halnya� dengan PHK yang dilakukan tanpa adanya kesalahan (Agung, 2021). Dengan kata lain, PHK dengan alasan efisiensi merupakan bentuk PHK sepihak yang didasarkan atas keinginan pemberi kerja tanpa ada kesalahan sedikitpun yang dilakukan oleh pekerjanya. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja yang mengalami PHK tanpa kesalahan telah diatur dalam peraturan mengenai ketenagakerjaan.
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja yang terkena PHK tetap terjamin dan dilindungi. Hal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja terlindungi dan bahwa mereka mendapatkan haknya dengan menerima kompensasi yang adil ketika mereka mengalami PHK efisiensi.
Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak pekerja ketika mengalami PHK, baik dalam peraturan lama maupun peraturan baru sama-sama menyepakati, bahwa setiap pekerja memiliki hak untuk menerima uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, dengan perhitungan yang disesuaikan dengan lama masa kerja mereka dan ketentuan yang berlaku.
Sementara pekerja kontrak berhak atas uang ganti rugi dan uang kompensasi sebagai bentuk dari pemenuhan hak bagi para pekerja, yang mana hal ini juga barlaku atas PHK dengan alasan efisiensi. Penting untuk ditekankan bahwa peraturan perundang-undangan harus senantiasa mematuhi prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi semua pihak.
Kesimpulan
Peraturan mengenai ketenagakerjaan terus mengalami perubahan dan
pembaharuan, begitu juga dengan perubahan peraturan mengenai PHK dengan alasan
efisiensi dimana pada peraturan lama, yaitu UU Ketenagakerjaan hanya
memperbolehkan pengusaha melakukan efisiensi dengan syarat perusahaan tutup.
Sementara pada peraturan yang baru yakni UU Cipta Kerja memberikan ruang kepada
pemberi kerja/ pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan efisiensi dengan
syarat mengalami kerugian dan mencegah terjadinya kerugian tanpa diikuti
penutupan perusahaan. Frasa �mengalami kerugian� dalam pasal 154A UU Cipta
kerja dan �Mencegah terjadinya kerugian� dalam Pasal 43 ayat (2) PP Cipta Kerja
dapat memiliki makna yang bias sehingga menimbulkan pandangan yang
berbeda-beda.
Dengan adanya pembaharuan dalam klausul tersebut akan menimbulkan banyak
pertanyaan terkait dengan parameter/ sejauh mana kerugian yang dialami oleh
pemberi kerja/ pengusaha yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk melakukan PHK
dengan alasan efisiensi ini. Mengenai alasan PHK untuk menghindari terjadinya
kerugian, meskipun telah dijelaskan mengenai penurunan produktivitas perusahaan
namun belum ada kejelasan mengenai seberapa besar penurunan yang diperlukan
agar dapat dijadikan sebagai alasan PHK dan dasar apa yang dapat dijadikan oleh
pengusaha untuk membuktikan bahwa perusahaan sedang mengalami penurunan
produktivitas.
Maka dari itu, pemerintah harus mampu memberikan tindakan preventif agar
menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penafsiran frasa tersebut, sehingga
dapat mengurangi tingkat perselisihan PHK yang terjadi dalam hubungan kerja.
Berdasarkan pada peraturan yang berlaku saat ini, PHK dengan alasan efisiensi
diizinkan untuk digunakan, namun yang perlu�
menjadi catatan pada saat ini adalah para penegak hukum terutama hakim
perlu untuk menggali dan memastikan bahwa pihak pemberi kerja/ pengusaha
benar-benar mengalami kerugian yang cukup besar.
Hal ini
dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan dan dokumen-dokumen pendukung
lainnya yang dapat dijadikan sebagai bukti kerugian maupun penurunan
produktivitas perusahaan sehingga pemberi kerja tidak memiliki jalan lain untuk
menyelamatkan perusahaannya selain dengan melakukan PHK. Hakim juga perlu untuk
memastikan bahwa pemberi kerja telah melakukan upaya-upaya sebelumnya untuk
dapat menghindari terjadinya PHK, serta setiap hak-hak dari pekerja juga harus
terpenuhi sesuai dengan aturan/ regulasi�
yang berlaku.
Abdullah, Abdullah, & Lala, Andi. (2020).
Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Melalui Arbitrase Menurut UU Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
5(2), 1�11.
Agung,
Agung Prasetyo Wibowo. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam
Pemutusan Hubungan Kerja (Phk) Dengan Alasan Efisiensi Akibat Pandemi Covid 19.
To-Ra, 7(1), 135�153.
Angelia,
Grace, & Yurikosari, Andari. (2020). Perlindungan Hukum terhadap Pekerja
Akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak Berdasarkan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bandung
Nomor 211/PDT. SUS-PHI/2018/PN. BDG). Jurnal Hukum Adigama, 3(1),
578�602.
Asikin,
Zainal. (2004). dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Avianto,
Rudi, Suhartini, Endeh, & Adiwijaya, Achmad Jaka Santos. (2022).
PERBANDINGAN SISTEM HUBUNGAN KERJA PKWTT DAN PKWT DALAM UPAYA PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN PEKERJA. JURNAL ILMIAH LIVING LAW, 14(2), 154�167.
Farianto,
Willy. (2021). Pola Hubungan Hukum Pemberi Kerja dan Pekerja: Hubungan Kerja
Kemitraan dan Keagenan. Sinar Grafika.
Fitria,
Annisa. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja atau Buruh yang Terkena PHK
Akibat Efisiensi. Lex Jurnalica, 15, 323�331.
Hatane,
Karina, Alfons, Saartje Sarah, & Matitaputty, Merlien Irene. (2021).
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Di Masa Pandemi Covid-19. TATOHI: Jurnal
Ilmu Hukum, 1(3), 265�275.
Iriyanto,
Erik, & Nugroho, Arinto. (2022). Analisis Yuridis Terkait Pemutusan
Hubungan Kerja Karena Efisiensi Tidak Diikuti Dengan Penutupan Perusahaan Yang
Disebabkan Perusahaan Mengalami Kerugian. Novum: Jurnal Hukum, 28�39.
Jahari,
Akis, & Artita, Rahmatin. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA
AKIBAT PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA PESANGON BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
13 TAHUN 2003 DAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN
2022 TENTANG CIPTA KERJA. Case Law: Journal of Law, 4(2), 79�100.
Mahmudah,
Masrifatun, & Markus, Dwi Pratiwi. (2022). PENGATURAN PHK EFISIENSI DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA. JUSTISI, 8(3), 148�162.
Marzuki,
Peter Mahmud. (2013). Penelitian hukum.
Silaban,
Eggy Septyadi, Arini, Desak Geded Dwi, & Suryani, Luh Putu. (2021).
Perlindungan Hukum bagi Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja pada Masa
Pandemi Covid-19. Jurnal Preferensi Hukum, 2(3), 543�547.
Sunarto,
Patricia Louise. (2023). EFISIENSI PEMUTUSAN KARYAWAN OLEH PERUSAHAAN DI TENGAH
PANDEMI COVID-19 DENGAN DALIL FORCE MAJEURE. NUSANTARA: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 10(1), 144�151.
Uwiyono,
Aloysius, Suryandono, Widodo, Hoesin, Siti Hajati, & Kiswandari, Melania.
(2014). Asas-asas hukum perburuhan. Rajawali Pers.
Copyright holder: Kerenhapukh Milka Tarmadi Putri, Gunardi Lie (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |