Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

TINJAUAN HAK PEKERJA KONTRAK ATAS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SEPIHAK

 

Daniel Marshal Sajou, Gunardi Lie

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pemutusan Hubungan Kerja timbul atas dasar hubungan kerja yang tercipta antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja yang tercipta atas dasar kesepakatan dalam perjanjian kerja. Pekerja kontrak diikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PHK adalah kejadian yang tidak diinginkan, khususnya bagi pekerja/buruh karena sejak terjadinya PHK maka pada saat itu juga pekerja/buruh kehilangan mata pencaharian serta kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik untuk diri sendiri, keluarga, atau yang lainnya, sehingga diperlukan hak pekerja yang harus dilindungi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami hak pekerja kontrak yang mengalami PHK sepihak selama kontrak berlangsung. Metode yang digunakan penelitian ini penelitian hukum normatif dengan mencari dan menghubungkan antara fakta hukum dengan dasar peraturan sehingga menciptakan kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang muncul. Hasil penelitian ditemukan bahwa 1) Pengaturan terhadap PHK sepihak oleh pemberi kerja terdapat dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan; 2) Dalam kasus PT Vietmindo Energitama terjadi ketimpangan karena hakim Pengadilan Hubungan Industrial menolak gugatan penggugat yang tidak dipenuhi oleh pemberi kerja. Dengan ini, menciptakan kerugian dan tidak terciptanya jaminan bagi pekerja/buruh karena sudah jelas dan rigid diatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan untuk membayar ganti rugi hingga jangka waktu kontrak berakhir.

 

Kata kunci: Pemutusan Hubungan Kerja; Hubungan Kerja; Hak Pekerja Kontrak

 

Abstract

Termination of Employment occurs based on the previous employment relationship created between the worker/laborer and the employer which is marked by an agreement in the employment agreement. Contract workers are bound by a Specific Time Work Agreement (PKWT). Layoff is something that is highly avoided, especially for workers/laborers because since the layoff occurs, at that time the worker/laborer also loses their livelihood and loses the ability to meet their daily needs, so workers' rights must be protected. This research aims to understand the rights of contract workers who experience unilateral termination of employment (PHK) during the contract. The method in this research is normative legal research by searching and connecting legal facts with the basis of regulations to create conclusions to answer the problems that arise. The results of the research found that 1) The regulation of unilateral termination by the employer is contained in Article 62 of the Labor Law; 2) In the case of PT Vietmindo Energitama there was an imbalance because the judge of the Industrial Relations Court rejected the plaintiff's claim which the employer did not fulfill. This, it creates losses and does not create certainty for workers/laborers because it is clearly and rigidly regulated that the party terminating the employment relationship is obliged to pay compensation until the contract period ends.

 

Keywords: Termination of Employment; Employment Relationship; Contract Workers' Rights

 

Pendahuluan

Indonesia memiliki tujuan berrnegara (staatside) yang tercantum dalam Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut �UUD NRI 1945�), yaitu memajukan kesejahteraan umum untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kemudian dalam dunia ketenagakerjaan tercermin pada Pasal 27 ayat 2 UUD NRI 1945 yang berbunyi �Tiap-tiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan�

Sehingga terciptanya peluang yang setara bagi setiap warga negara yang ingin dan mampu untuk bekerja agar tercapainya kesejahteraan dalam masyarakat yang ditandai dengan memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang pantas, oleh karena itu muncullah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang selanjutnya disebut �UU Ketenagakerjaan�) untuk mengakomodir dan melindungi setiap hak dari warga negara dalam hal ini adalah pekerja, serta menjadi dasar filosofis UU Ketenagakerjaan.

Refleksi untuk menggapai tujuan bernegara tersebut, yaitu dijalankannya pembangunan nasional untuk menciptakan manusia seutuhnya. Pembangunan nasional memiliki misi utama yang berfokus pada peningkatan kualitas dan standar hidup penduduk Indonesia secara berkesinambungan dengan memanfaatkan era globalisasi dengan teknologi yang tersedia (Sofyan, 2017). Masyarakat mengambil peran penting dalam pembangunan nasional, karena masyarakat merupakan tokoh utama serta akan menikmati secara langsung hasil dari pembangunan tersebut.

Parameter keberhasilan dari suatu pembangunan nasional terlihat dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi sangat penting karena tidak hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat tetapi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat (Sulis, 2022). Sasaran utama daripada pembangunan ekonomi adalah peningkatan dalam segi produksi barang, jasa, terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat, dan memberikan dampak langsung terhadap penerimaan negara (Rahmah & Widodo, 2019).

Dengan semakin meningkatnya perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat maka secara tidak langsung sumber daya manusia yang ada harus maksimal juga untuk hasil yang maksimal dalam Pembangunan (Satino & Surahmad, 2024). Dalam ketenagakerjaan, berhubungan dengan pembangunan nasional, maka pekerja/buruh merupakan pemeran utama dimana pekerja/buruh terus dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan zaman dengan segala kemajuan teknologi yang telah ada.

Oleh karena itu, banyak pekerja/buruh yang tidak dapat terserap oleh perusahaan atas dasar tidak memiliki kemampuan, pengetahuan, kapasitas sesuai dengan kebutuhan produksi di era globalisasi, hal ini berdampak langsung pada angka pengangguran yang ada di Indonesia berada di angka yang tinggi. Badan Pusat Statistik dalam Berita Resmi Statistik Tahun 2023 mencatatkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Februari 2023 berada di angka 5,45%, dimana dari 138,63 juta penduduk yang bekerja terdapat 7,99 juta orang pengangguran di Indonesia.

Parameter keberhasilan dari sebuah pembangunan ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi maka dengan peningkatan produksi barang, jasa, bahkan terbukanya lapangan pekerjaan, membuka kesempatan yang lebar bagi pekerja/buruh untuk dapat terserap dan bekerja untuk sebuah perusahaan, sehingga dapat terwujudnya tujuan bernegara Indonesia mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Era globalisasi serta pembangunan yang gencar saat ini memberikan dampak bagi seluruh bidang kehidupan, terkhusus bagi segi industri timbul berbagai permasalahan yang kompleks.

Molenaar memberikan pandangan mengenai Hukum Perburuhan, menurutnya hukum perburuhan pada dasarnya merupakan hukum yang mengatur relasi antara tiga pihak yang saling berhubungan, yaitu hubungan antara sesama pekerja, pekerja dengan penguasa, serta pekerja dengan majikan (Abdul, 2003). Menurut Pasal 1 ayat 15 UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hubungan kerja hadir atas kesepakatan para pihak yang tercantum dalam perjanjian kerja antara pekerja dengan pemberi kerja.

Dalam hubungan kerja, banyak permasalahan yang terjadi, salah satunya adalah Pemutusan Hubungan Kerja (yang selanjutnya disebut �PHK�). PHK menurut Pasal 1 ayat 25 UU Ketenagakerjaan merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Terdapat beberapa jenis PHK yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, antara lain: PHK oleh pengusaha, PHK oleh pengadilan, PHK demi hukum, dan PHK oleh pekerja/buruh (Asyhadie, 2007).

PHK juga merupakan jalan keluar terakhir bagi para pihak jika segala cara yang diusahakan tidak menemukan titik tengah, sehingga diperlukannya perbincangan untuk mencapai penyelesaian yang saling menguntungkan bagi pihak yang berselisih, jika perbincangan tidak berhasil maka PHK merupakan pilihan yang dapat dipilih. PHK adalah hal yang sangat ditakuti bahkan dihindari oleh pekerja/buruh, karena pihak pekerja/buruh memberikan dampak dan pengaruh secara ekonomis, psikologi serta finansial dimana dengan terjadinya PHK maka buruh/pekerja kehilangan pekerjaan yang menjadi mata pencaharian, tidak hanya kehilangan pekerjaan pekerja/buruh juga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau keluarga hingga mendapatkan pekerjaan yang baru, serta untuk mencari pekerjaan baru akan membutuhkan waktu dan biaya tambahan (Asikin, 1994).

Dalam praktiknya, banyak permasalahan dan isu hukum yang timbul karena acap kali PHK yang terjadi tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, dimana hak pekerja tidak dipenuhi oleh pemberi kerja, dalam jurnal penelitian kali ini akan lebih difokuskan kepada PHK terhadap pekerja kontrak dalam masa kontrak berlangsung.

Pekerja kontrak diikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang selanjutnya disebut �PKWT�) atau lebih dikenal dengan perjanjian kontrak, yang membedakan dengan pekerja/buruh tetap adalah status pekerja kontrak tidak tetap untuk bidang pekerjaan tertentu yang bersifat musiman (Avianto, Suhartini, & Adiwijaya, 2022). UU Ketenagakerjaan dengan rigid dan tegas melarang pengaplikasian PKWT bagi pekerja yang bersifat tetap, karena secara natur PKWT diperuntukkan bagi pekerjaan yang memiliki karakteristik sementara atau dibatasi dalam jangka waktu tertentu.

Kalangan pekerja/buruh memberikan pendapat, para pemberi kerja lebih memilih menggunakan sistem PKWT karena pemberi kerja dapat membatasi pemberian upah dalam kisaran minimum serta menghindari pembayaran pesangon karena membebani perusahaan (Fahrojih, 2016). Atas dasar inilah perlindungan dan jaminan diperlukan untuk memastikan hak-hak pekerja/buruh dapat dijamin dan terpenuhi serta tidak pelanggaran-pelanggaran bagi pihak yang lebih lemah, agar terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat.

Salah satu contoh kasus yang menjadi pusat pembahasan jurnal penelitian ini adalah PHK sepihak yang dilakukan oleh PT Vietmindo Energitama terhadap pekerja/buruh kontrak. Kasus bermula ketika kedua belah pihak sepakat dan menandatangani perjanjian PKWT dan pekerja diikat sebagai Mining Manager yang berpusat di kantor Jakarta selama 12 bulan dari tanggal 10 Januari 2019 hingga tanggal 09 Januari 2019. Dalam perjalanan waktu pada tanggal 10 Mei 2019, pekerja menerima Surat Keputusan CEO terkait dengan PHK yang disertai dengan pemberian gaji sisa hari kerja hingga 11 Juni 2019, uang tali asih berupa satu bulan gaji, serta uang kepulangan dari Vietnam menuju Manado.

Pekerja tidak menerima dan merasa keberatan terhadap keputusan tersebut, karena bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan yang ada dimana seharusnya pihak mengakhiri hubungan PKWT diwajibkan untuk membayar uang ganti rugi hingga masa kontrak berakhir. Penelitian ini akan mencari jawaban atas pertanyaan, yaitu bagaimana hak pekerja kontrak terhadap PHK sepihak dalam Putusan Pengadilan Nomor 290/Pdt.Sus-PHI/2020/Pn.Jkt.Pst sesuai dengan UU Ketenagakerjaan? dengan maksud untuk memahami dan menguraikan hak-hak pekerja/buruh yang menghadapi PHK sepihak selama masa berlaku kontrak.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang berfokus pada menjawab permasalahan dengan mengkaji bahan pustaka atau bahan sekunder, seperti bahan hukum primer, sekunder, dan non-hukum. Spesifikasi dalam penelitian ini bersifat preskriptif untuk dapat menjawab permasalahan dengan memberikan fondasi mengenai benar, salah, dan yang seharusnya sesuai dengan sudut pandang hukum yang diambil atas dasar fakta hukum yang terjadi.

Penulis memakai pendekatan statue approach dan case approach, sehingga penulis melihat dan memperdalam ketentuan yang berlaku terkait dengan isu yang diajukan dalam penelitian ini yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan tersebut untuk menemukan kesesuaian antara praktik dengan penerapan dalam masyarakat, pada akhirnya dari premis mayor (aturan/ketentuan yang berlaku) dengan premis minor (fakta hukum) diambil sebuah conclusion sebagai sebuah kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

UU Ketenagakerjaan dalam Pasal 61 mengatur bahwa hubungan kerja dapat berakhir ketika seorang pekerja/buruh meninggal, jangka waktu kontrak berakhir, putusan inckraht dari pengadilan atau lembaga penyelesaian perselisihan hubungan kerja, terjadi keadaan tertentu sebagaimana disepakati dalam peraturan perusahaan, kontrak kerja, atau perjanjian kerja bersama yang mengakibatnya berakhirnya hubungan kerja. Pasal tersebut kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (yang selanjutnya disebut �UU Cipta Kerja�) dengan menambahkan satu poin, yaitu selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Dalam hal terjadinya pengakhiran hubungan kerja bukan karena salah satu alasan tersebut, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi hingga masa kontrak dalam kesepakatan perjanjian kerja berakhir, kemudian diperkuat oleh Pasal 15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (yang selanjutnya disebut PP 35/2021) menegaskan pemberi kerja diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh dengan perjanjian kerja yang didasarkan oleh PKWT, serta jika terjadi pengakhiran hubungan kerja dalam masa kontrak oleh salah satu pemberi kerja diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi hingga masa kontrak PKWT berakhir.

Dalam hubungan kerja PKWT terdapat 2 (dua) pihak dalam perjanjian, antara lain pekerja/buruh dengan pemberi kerja/pengusaha yang dapat berupa perorangan, pengusaha, badan hukum milik sendiri, bukan milik sendiri, badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan milik sendiri atau bukan milik sendiri yang bertempat di luar wilayah Indonesia (Purnomo, 2019). Dalam hal lain, dapat dikatakan bahwa terciptanya hubungan kerja antara buruh/pekerja dengan pemberi kerja dalam suatu Perusahaan (Nugraha, Karsona, & Singadimedja, 2020).

Pemberi kerja atau perusahaan merupakan part of the ring dalam perekonomian negara Indonesia (Mantili, 2021). Dalam kasus pada penelitian kali ini, pihak pekerja adalah Frangky Raymond Luntungan, dan pihak pemberi kerja/pengusaha adalah PT Vietmindo Energitama. Telah terjadinya pengakhiran hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja, namun pada pelaksanaannya, pihak pemberi kerja hanya memberikan pemberian gaji sisa hari kerja hingga 11 Juni 2019, uang tali asih berupa satu bulan gaji, serta uang kepulangan dari Vietnam menuju Manado, sehingga terjadinya gap atau kesenjangan fakta dengan ketentuan yang berlaku, bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan untuk membayar uang ganti hingga masa kontrak berakhir menurut UU Ketenagakerjaan sementara UU Cipta Kerja menyatakan pekerja/buruh mempunyai hak untuk mendapat uang kompensasi.

Uang gaji pokok pekerja/buruh berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian adalah sebesar Rp6.902.083.33,- jika dihitung diluar dari tunjangan dan bonus, berdasarkan besaran tersebut uang ganti rugi yang menjadi hak pekerja/buruh adalah sebesar sisa masa kontrak x upah, yaitu 6 bulan x Rp6.902.083.33 = Rp41.412.499,98 (diluar tunjangan dan bonus), serta jika dihitung uang kompensasi berdasarkan Pasal 16 ayat 1 huruf b PP 35/2021 menggunakan perhitungan (masa kerja : 12) x 1 bulan upah, yaitu (12:12) x Rp6.902.083.33 = Rp6.902.083.33. Total hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja/buruh adalah sebesar uang ganti rugi + uang kompensasi, yaitu Rp48.314.583,31 (diluar tunjangan dan bonus).

Hal ini juga sejalan dengan mediator hubungan industrial yang menganjurkan bahwa perusahaan perlu menyelesaikan tanggungjawab perusahaan yang sudah menjadi hak pekerja/buruh upah yang belum dibayarkan hingga masa kontrak berakhir (6 bulan) sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian kerja antara kedua belah pihak, yaitu sebesar Rp69.195.000, dihitung berdasarkan 6 bulan upah x 11.532.500 (gaji pokok ditambah dengan tunjangan). Pihak pekerja/buruh telah menerima anjuran dari mediator hubungan industrial tersebut yang dijawab melalui surat Nomor 030/ELS&P/Disnaker-ANJ/VI/2020 pada tanggal 4 Juni 2020.

 

Penyelesaian Perselisihan Hak Pekerja/Buruh dengan PT Vietmindo Energitama

Dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja terdapat 3 (tiga) langkah, antara lain: penyelesaian secara bipartit, penyelesaian melelaui mediasi, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung. Terdapat beberapa jenis perselisihan hubungan industrial yang dijelaskan dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (yang selanjutnya disebut �UU PPHI), antara lain: a) perselisihan hak; b) perselisihan kepentingan; c) perselisihan pemutusan hubungan kerja; d) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

 

1.    Penyelesaian secara bipartit

Penyelesaian secara bipartit adalah pendekatan penyelesaian secara kekeluargaan untuk mencapai musyawarah mufakat antara pihak yang berselisih, yakni pekerja/buruh dengan pemberi kerja/perusahaan (Dalimunthe & Mendrofa, 2022). Bipartit ini bersifat wajib diupayakan oleh kedua belah pihak sebelum pihak yang berselisih memilih alternatif penyelesaian sengketa lainnya, waktu yang diberikan oleh undang-undang adalah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya perundingan bipartit tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU PPHI.

Sebagai catatan, jika upaya penyelesaian bipartit tidak berhasil maka salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih diwajibkan untuk melakukan pencatatan yang berisi bahwa telah dilakukannya upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit kepada instansi bidang ketenagakerjaan setempat untuk diperantarai.

 

2.    Penyelesaian melalui mediasi

Penyelesaian melalui mediasi merupakan bagian dari pendekatan penyelesaian tripartit, segala bentuk perselisihan hubungan industrial dapat diatasi melalui mediasi, yaitu dengan musyawarah yang melibatkan intervensi dari pihak ketiga sebagai penengah yang bersifat neutral. Mediasi merupakan salah satu pilihan yang lebih simple, hemat baik secara biaya maupun waktu, mediasi juga piliha proses yang lengkap karena mampu menyelesaikan segala bentuk perselisihan hubungan industrial tidak seperti arbitrase atau konsiliasi (Latip & Ainiyah, 2018).

Mediator adalah tenaga kerja yang bekerja untuk instansi pemerintah dan bertanggung jawab dalam urusan ketenagakerjaan sesuai dengan kualifikasi yang ada untuk melaksanakan mediasi serta mengemban tugas untuk mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak yang berselisih agar tercipta penyelesaian. Terdapat 2 (dua) mekanisme hasil dari penyelesaian melalui mediasi, antara lain: jika tercapai kata sepakat oleh para pihak yang berselisih, output yang dihasilkan berupa perjanjian bersama yang wajib ditandatangani oleh para pihak yang berselisih, dan harus diajukan pendaftaran pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat.

Sementara ketika tidak terjadi kesepakatan antara pihak yang berselisih, output yang dihasilkan berupa anjuran tertulis dari mediator yang berisi keterangan pekerja/buruh, keterangan pemberi kerja, keterangan saksi/saksi ahli (jika ada), pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator, serta isi anjuran. Anjuran tersebut wajib diberi tahu selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak mediasi pertama dimulai, pihak yang berselisih juga memberikan tanggapan tertulis kepada mediator yang berisi setuju atau tidak setuju anjuran tertulis mediator tersebut yang disampaikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja saat menerima anjuran.

Jika pada akhirnya pihak yang berselisih sepakat terhadap anjuran tertulis mediator tersebut maka mediator wajib membantu dalam pembuatan perjanjian bersama dan harus diajukan pendaftaran kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah anjuran tertulis mediator dapat disetujui.

 

3.    Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung

Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial baru dapat terjadi ketika upaya secara bipartite maupun tripartite tidak tercapai kata sepakat. Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan pada tingkat pertama berkaitan dengan perselisihan hak dan perselisihan PHK, sementara mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan dapat diselesaikan pada tingkat pertama dan terakhir.

Untuk itu, perselisihan hak dan perselisihan PHK dapat diselesaikan pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu kasasi yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung (MA). Pengadilan Hubungan Industrial mengenal beberapa asas dalam menyelesaikan sengketa, yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya murah. Namun, dalam perjalanannya ternyata Pengadilan Hubungan Industrial belum dapat mencapai tujuan tersebut karena masih banyak kekurangan dalam UU PPHI itu sendiri, seperti peraturan perundang-undangan yang sukar dipahami dan dapat menimbulkan multitafsir, serta masih banyak hambatan dalam jalannya peradilan (Sherly, Karsona, & Inayatillah, 2021).

Proses penyelesaian perselisihan hak antara pekerja/buruh dengan PT Vietmindo Energitama dilaksanakan pertama melalui Penggugat dalam hal ini adalah pekerja/buruh telah berulang kali menghubungi pihak pemberi kerja baik melalui pesan surel dan tidak ada perubahan, lalu penggugat melayangkan somasi sebanyak 2 (dua) kali untuk dapat melakukan pertimbangan kembali terhadap keputusan yang diambil agar perselisihan dapat selesai secara kekeluargaan dan win-win solution, namun tidak ada perubahan terhadap keputusan yang telah diambil pihak pemberi kerja, yaitu pemberian uang tali asih sebanyak 1 (satu) bulan gaji upah dari 7 (tujuh) bulan sisa kontrak sesuai kesepakatan dalam perjanjian. Proses kemudian berlanjut, penggugat membawa Surat Permohonan Mediasi kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta.

Dalam proses mediasi yang diadakan selama 2 (dua) kali pihak pemberi kerja tetap pada pendiriannya untuk tidak memenuhi kewajiban dalam pembayaran sisa kontrak pekerja/buruh hingga masa kontrak berakhir, sehingga tidak ada kata sepakat dari pihak yang berselisih. Untuk itu, mediator memberikan anjuran secara tertulis yang berisi agar PT Vietmindo Energitama dapat melakukan pembayaran ganti rugi terhadap sisa upah dari masa kontrak yang telah disepakati hingga masa kontrak pekerja/buruh selesai dengan nominal Rp69.195.000 dari perhitungan 6 (enam) bulan upah dikali gaji pokok ditambah tunjangan yang didasarkan oleh Pasal 62 UU Ketenagakerjaan.

Pihak penggugat menerima anjuran dari mediator tetapi pihak pemberi kerja menolah anjuran dari mediator tersebut, sehingga kembali tidak tercapai kata sepakat antara pihak yang berselisih. Dengan tidak terjadinya sepakat antara kedua belah pihak, maka penggugat melayangkan gugatannya ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan diajukan oleh Frangky Raymond Luntungan pada tanggal 21 Oktober 2020, dengan pokok gugatan adalah menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum karena merugikan penggugat serta menghukum PT Vietmindo Energitama untuk melakukan kewajiban pembayaran sisa upah selama 6 (enam) bulan hingga masa kontrak berakhir sebesar Rp124.678.995,00 (seratus dua puluh empat juta enam ratus tujuh puluh delapan ribu sembilan ratus sembilan puluh lima rupiah).

Berdasarkan gugatan tersebut, pengadilan mengadili dalam pokok perkara menolak gugatan penggugat seluruhnya, sehingga terjadi kesenjangan dan tidak ada jaminan hukum bagi penggugat karena secara rigid dan jelas bahwa pihak pemberi kerja harus melakukan ganti rugi dengan pembayaran upah hingga masa kontrak berakhir ketika pemberi kerja melakukan pengakhiran hubungan kerja dan pada akhirnya tidak terpenuhi hak-hak pekerja kontrak serta menciptakan kerugian bagi penggugat.

 

Kesimpulan

Dasar pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja kontrak didasarkan pada Pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja wajib untuk membayar ganti rugi hingga masa kontrak berakhir sesuai kesepakatan dalam perjanjian kerja. Realita yang terjadi dalam penelitian kali ini adalah hak pekerja kontrak tidak dipenuhi oleh pihak yang mengakhiri hubungan kerja dan hanya bersedia membayar uang tali asih berupa 1 (bulan) gaji upah beserta uang akomodasi oneway dari Vietnam ke Jakarta.

Penyelesaian perselisihan hak tersebut juga telah melewati tahapan sesuai ketentuan yang berlaku baik dari bipartite, tripartite (mediasi), dan Pengadilan Hubungan Industrial yang pada akhirnya dari tahapan tersebut pihak pekerja tetap tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya maka timbul kerugian serta ketidakpastian bagi pekerja.

 

Bibliografi

Abdul, Khakim. (2003). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Citra Adytia Bhakti, Bandung.

 

Asikin, Zainal. (1994). Dasar-dasar hukum perburuhan.

 

Asyhadie, Zaeni. (2007). Hukum kerja: hukum ketenagakerjaan bidang hubungan kerja.

 

Avianto, Rudi, Suhartini, Endeh, & Adiwijaya, Achmad Jaka Santos. (2022). PERBANDINGAN SISTEM HUBUNGAN KERJA PKWTT DAN PKWT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PEKERJA. JURNAL ILMIAH LIVING LAW, 14(2), 154�167.

 

Dalimunthe, Nikmah, & Mendrofa, Rizka Hanum. (2022). Upaya Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Pemberian Upah Buruh yang Tidak Sesuai dengan Penetapan Upah Minimum. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(6), 3338�3346.

 

Fahrojih, Ikhwan. (2016). Hukum perburuhan: konsepsi, sejarah, dan jaminan konstitusional. Setara Press.

 

Latip, Abd, & Ainiyah, Ainiyah. (2018). Mediasi sebagai Penyelesaian Permasalahan Tenaga Kerja di Kabupaten Bangkalan. Competence: Journal of Management Studies, 12(2).

 

Mantili, Rai. (2021). Konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara serikat pekerja dengan perusahaan melalui Combined Process (Med-Arbitrase). Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(1), 47�65.

 

Nugraha, Ellyna Putri, Karsona, Agus Mulya, & Singadimedja, Holyness. (2020). Aspek Hukum Hubungan Industrial Terkait Aksi Mogok Kerja Oleh Serikat Pekerja di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company. Jurnal Poros Hukum Padjadjaran, 2(1), 56�73.

 

Purnomo, Sugeng Hadi. (2019). Pekerja Tetap Menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, 2(2), 137�150.

 

Rahmah, Amaliya Nur, & Widodo, Sugeng. (2019). Peranan sektor industri pengolahan dalam perekonomian di Indonesia dengan pendekatan Input�Output tahun 2010�2016. Economie: Jurnal Ilmu Ekonomi, 1(1), 14�37.

 

Satino, Satino, & Surahmad, Surahmad. (2024). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Kontrak Yang Kena PHK Di Masa Kontrak. IKRA-ITH HUMANIORA: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 8(2), 165�178.

 

Sherly, Sherly Ayuna Putri, Karsona, Agus Mulya, & Inayatillah, Revi. (2021). Pembaharuan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Di Pengadilan Hubungan Industrial Berdasarkan Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Murah Sebagai Upaya Perwujudan Kepastian Hukum. Jurnal Bina Mulia Hukum, 5(2), 310�327.

 

Sofyan, Syaakir. (2017). Peran UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dalam Perekonomian Indonesia. Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum, 11(1), 33�64.

 

Sulis, Setiawati. (2022). PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013-2019 DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM. UIN RADEN INTAN LAMPUNG.

 

Copyright holder:

Daniel Marshal Sajou, Gunardi Lie (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: