Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
KADALUWARSA PADA KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
Brilian Lawyer, Gunardi
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara
Email: [email protected],
[email protected]
Kedaluwarsa merupakan kondisi dimana telah terlewatnya suatu tenggang waktu terhadap hak kita untuk dapat mengajukan gugatan, maka dari itu ketika akan mengajukan gugatan jangka waktu menjadi perhatian penting untuk diperhatikan bagi setiap pihak yang akan mnegajukan gugatan ke pengadilan. Setiap permasalahan dalam bidang hukum memiliki pengaturan jangka waktu yang berbeda-beda. Salah satu permasalahan yang sering kali terjadi dalam dunia ketenagakerjaan adalah Pemutusan Hubungan Kerja, ketika seseorang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terdapat beberapa hak yang seharusnya diperoleh oleh seorang pekerja, namun apabila hak tersebut tidak dipenuhi oleh pengusaha maka pekerja dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), ketika akan mengajukan gugatan seorang pekerja harus memperhatikan jangka waktu yang telah diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam praktiknya masih terdapat ketidak tepatan dalam menetapkan kedaluwarsa dalam kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimana pengaturan mengenai kedaluwarsa terhadap kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam hukum ketenagakerjaan. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian normatif, peneliti akan mengkaji permasalahan yang diangkat dengan mengaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesimpulannya dalam praktiknya masih terjadi kesalahan penggunaan dasar hukum dalam menetapkan kedaluwarsa pada kasus Pemutusan Hubungan Kerja.
Kata kunci: Kadaluwarsa; Pemutusan Hubungan Kerja; Gugatan
Abstract
Keywords: Expiration;
Terminations Of Employement;
A Lawsuit
Pengajuan gugatan adalah salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh hak yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak. Setiap pihak yang mengajukan gugatan perlu memperhatikan batasan waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang agar ketika mengajukan gugatan, gugatan tersebut dapat diterima oleh hakim sehingga hakim tidak memutuskan bahwa gugatan tersebut telah lewat waktu atau kedaluwarsa.
Kedaluwarsa merupakan kondisi dimana telah lewatnya jangka waktu terhadap hak kita untuk dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk memperoleh hak-hak yang seharusnya kita terima. Adapun mengapa kedaluwarsa menjadi penting untuk diatur adalah untuk dapat menciptakan kepastian hukum mengingat bila suatu permasalahan sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama maka untuk dapat mendapatkan bukti yang dapat membenarkan gugatan tersebut.
Salah satu hal yang penting diatur mengenai kedaluwarsa dalam hukum ketenagakerjaan adalah mengenai masalah pengajuan gugatan terhadap hak-hak yang timbul ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Apabila gugatan terhadap kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak diatur dalam undang-undang maka kemungkinan besar banyak pekerja yang sudah dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jangka waktu terlampau lama akan mengajukan gugatan untuk memperoleh hak-hak mereka, yang mana hal ini akan menyulitkan proses pembuktian dan akan menimbulkan ketidak pastian hukum.
Ketika seorang pekerja mengajukan gugatan padahal dia sudah dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jangka waktu yang terlampau lama, maka dari kedua belah pihak harus mampu membuktikan hubungan kerja mereka pada masa tersebut dan hal ini membuat suatu masalah penyelesaiannya menjadi berlarut-larut.
Pada kenyataannya, masih banyak orang yang salah dalam memahami aturan kedaluwarsa dalam hukum ketenagakerjaan. Ketentuan kedaluwarsa dalam hukum ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mengenai kedaluwarsa pada prakteknya masih sering terjadi kesalahpahaman mengenai pengaturan kedaluwarsa dalam hukum ketenagakerjaan.
Dalam praktiknya pada hukum ketenagakerjaan masih terjadi kekeliruan dalam menyatakan kedaluwarsa, banyak pihak yang mengatakan bahwa dasar hukum kedaluwarsa dalam hukum ketenagakerjaan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seharusnya dasar hukum yang digunakan dalam hukum ketenagakerjaan adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan lex specialis/hukum yang mengatur secara khusus. Hukum Indonesia menganut salah satu asas hukum yakni lex specialis derogate lex generali, asas ini memiliki arti bahwa hukum yang mengatur secara khusus mengeyampingkan hukum yang mengatur secara umum. Pada hukum ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial ini merupakan hukum acara, sehingga beralasan untuk menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk menentukan suatu gugatan kedaluwarsa atau tidak.
Perkembangan hukum ketenagakerjaan yang terjadi sekarang ini pasca terbitnya UU Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial masih berlaku sebagai hukum positif. Adapun Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur pengajuan gugatan terhadap pemutusan hubungan kerja dibatasi hanya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diberitahukannya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha.
Pada Pasal 82 tersebut diatur bahwa pemutusan hubungan kerja yang dimaksud harus berdasarkan pada Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi dalam perkembangannya Pasal 159 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal 171 sudah dihapus oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
Adapun masa waktu kedaluwarsa untuk pengajuan gugatan selama 1 tahun merupakan waktu yang proporsional karena apabila suatu masalah penyelesaiannya berlarut-larut maka akan menimbulkan ketidak pastian hukum. Suatu permasalahan apabila proses penyelesaiannya berlarut-larut maka akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi para pihak yang terlibat dalam permasalahan tersebut baik pengusaha ataupun pekerja.
Bagi pengusaha, masalah yang tidak segera diselesaikan dalam waktu yang cepat akan berpotensi menghambat produktivitas kegiatan bisnisnya dan dapat menimbulkan citra yang buruk bagi para kolega bisnisnya, sedangkan bagi pekerja kerugian yang dirasakan apabila suatu permasalahan yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah terjadi sejak lama namun tidak diselesaikan secepat mungkin adalah ketidak pastian hukum bagi pekerja dalam menggugat dan apabila dalam perkembangan zaman telah terjadi perubahan pada hukumnya maka sangat memungkinkan hak yang seharusnya dia terima menjadi lebih kecil dari sebelumnya ataupun gugatannya dinyatakan kedaluwarsa oleh hakim sehingga menyebabkan pekerja tidak memperoleh apa yang dituntut. Maka dari itu penting bagi para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ingin mengajukan gugatan untuk memperhatikan waktu yang telah diatur dalam undang-undang agar ketika mengajukan gugatan, gugatan tersebut tidak menjadi kedaluwarsa.
Berdasarkan latar belakang diatas, timbul beberapa pertanyaan yang menjadi permasalahan untuk dapat dikaji lebih lanjut oleh peneliti sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pengaturan mengenai kedaluwarsa pada kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam hukum ketenagakerjaan? 2) Bagaimanakah perkembangan mengenai kedaluwarsa dalam hukum ketenagakerjaan?
Tujuan penelitian
ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai kedaluwarsa dalam kasus pemutusan hubungan kerja dengan melihat pada hukum ketenagakerjaan. Adapun penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik dari
segi akademis dan praktis, dari segi
akademis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
literatur ataupun referensi bagi setiap individu yang sedang mempelajari ilmu hukum ketenagakerjaan
terutama pada topik kedaluwarsa. Lalu dari segi praktis penelitian
ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
dan pengetahuan bagi para praktisi dan hakim pada pengadilan
hubungan industrial (PHI) dalam
menentukan kedaluwarsa suatu gugatan yang diajukan oleh pekerja karena terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh seorang peneliti tentang bagaimana dia mengolah bahan-bahan yang dia dapatkan untuk dapat memecahkan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian kali ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan suatu metode penelitian yang mana peneliti akan mengkaji permasalahan yang diangkat dengan mengkaitkannya dengan berbagai peraturan yang relevan dengan permsalahan yang akan diteliti dan peraturan yang masih berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.
Selain
mengkaitkan permasalahan
yang akan diteliti dengan peraturan yang masih berlaku sebagai
hukum positif, peneliti akan mengkaji
permasalahan yang diangkat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang akan diteliti dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi yang digunakan tersebut adalah untuk mempertajam argumentasi peneliti dalam menjawab permasalahan yang akan diteliti.
Hasil dan Pembahasan
Ketenagakerjaan merupakan segala sesuatu yang berkaitan antara berbagai pihak dalam hal ini adalah Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja (Putra, 2019). Dalam dunia ketenagakerjaan sering terjadi berbagai dinamika, tak jarang dinamika yang terjadi menimbulkan perselisihan yang dapat mengancam keberlangsungan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha selaku pemberi kerja (Farianto, 2021). Ada beberapa macam perselisihan dala hukum ketenagakerjaan yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar Serikat Pekerja (Maswandi, 2017).
Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan perselisihan yang sering terjadi dari keempat macam perselisihan yang terjadi dalam hubungan industrial (Pracelia & Yurikosari, 2019). Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan tersebut dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti telah berakhirnya waktu kerja yang ditetapkan, perselisihan dengan pengusaha ataupun antar serikat buruh, buruh meninggal, dan sebab lainnya (Asikin, 1994). Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan suatu peristiwa yang sangat dihindari dalam hukum ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh dan juga sangat tidak diharapkan dapat terjadi dalam hukum ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat diharapkan tidak terjadi karena hal ini sangat berdampak bagi pekerja karena mereka akan kehilangan pekerjaan untuk dapat menghidupi dirinya dan keluarganya.
Sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha harus mampu memberikan alasan kepada pekerja mengapa mereka dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perusahaan harus mampu terbuka akan hal tersebut. Selain itu sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha melakukan musyawarah dengan dasar itikad baik dengan serikat pekerja atau buruh (Budi Santoso, 2013).
Terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) menyebabkan terhentinya upah dan kesejahteraan bagi buruh. Hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup buruh dan keluarganya serta merupakan awal dari terjadinya pengangguran (Adhistianto & Alijana, 2020). Semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial baik pekerja, pengusaha ataupun pemerintah harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) (Husni, 2010).
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak hanya berdampak pada kehilangan pekerjaan, tetapi juga berdampak terhadap psikologis dan finansial bagi pekerja dan keluargany (Djumialdji & Soejono, 1990). Akan tetapi sering kali terhadap suatu perselisihan kedua belah pihak tidak menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi, sehingga sering kali penyelesaian yang digunakan adalah dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya (Hadistianto, 2022).
Namun dalam hukum ketenagakerjaan para pihak tidak secara langsung mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu seperti bipartit dan mediasi dahulu hingga kemudian bisa mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial (PHI). Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial (PHI) adalah proses penyelesaian perselisihan dengan melibatkan pihak ketiga dalam hal ini pengadilan hubungan industrial (PHI) yang merupakan pengadilan yang dibentuk khusus dalam lingkungan pengadilan negeri (Uwiyono, Suryandono, Hoesin, & Kiswandari, 2014).
Dalam mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial (PHI) banyak hal yang harus dipersiapkan oleh para pihak untuk dapat beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI). Agar gugatan tersebut dapat diterima dengan baik oleh hakim maka semua hal yang menjadi inti perselisihan yang terjadi diantara kedua belah pihak harus mampu dibuktikan, jangan sampai gugatan tersebut diajukan hanya untuk mencari sensasi belaka.
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) kedua belah pihak harus mampu membuktikan berbagai dokumen pendukung atas pemutusan hubungan kerja yang terjadi. Selain dokumen pendukung hakimpun akan melihat apa yang mejadi landasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja kepada pekerja tersebut, adapun dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur berbagai alasan yang tidak boleh digunakan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain harus mampu membuktikan dokumen pendukung yang terkait dengan perselisihan yang terjadi, juga dalam mengajukan suatu gugatan terdapat aspek batasan waktu juga menjadi perhatian yang penting untuk diperhatikan oleh para pihak, perlunya memperhatikan batasan waktu yang telah diatur dalam suatu undang-undang menjadi penting agar kelak ketika kita mengajukan suatu gugatan, gugatan yang kita ajukan tidak menjadi sia-sia.
Ketika gugatan yang kita ajukan telah melewati batasan waktu sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang maka gugatan dapat dikatakan kedaluwarsa, dan ketika gugatan yang diajukan maka sebagai pihak yang mengajukan gugatan akan kehilangan haknya untuk dapat mengajukan suatu gugatan untuk menuntut suatu hak yang diinginkan.
Menurut Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) kedaluwarsa adalah suatu sarana hukum untuk mendapatkan sesuatu, atau alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Berdasarkan pengertian yang dapat kita lihat dalam Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dapat disimpulkan bahwa kedaluwarsa adalah kondisi dimana terlepasnya hak seseorang untuk mengajukan tuntutan karena telah lewatnya batasan waktu yang telah diatur dalam undang-undang.
Dalam hukum ketenagakerjaan
juga terdapat peraturan mengenai kedaluwarsa ini, adapun yang menjadi acuannya adalah Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pada pasal tersebut dikatakan bahwa terhadap kasus pemutusan hubungan kerja pengajuan gugatan diberikan batasan waktu selama 1 tahun saja sejak
dilakukannya pemutusan hubungan kerja (PHK). Apabila seorang pekerja dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tanggal 14 Februari 2022, maka jangka waktu maksimal
untuk dapat mengajukan gugatan atas pemutusan hubungan kerja tersebut adalah 14 Februari 2023, apabila lewat dari tanggal
tersebut maka gugatan yang diajukan dapat dikatakan telah kedaluwarsa.
Adapun mengapa kedaluwarsa menjadi penting untuk diatur adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Suatu perselisihan yang terjadi ada baiknya diselesaikan sesegera mungkin, ketika suatu permasalahan dibiarkan berlarut-larut maka nantinya kedua belah pihak akan mengalami kesulitan. Kesulitan yang akan dialami adalah ketika harus membuktikan permasalahan yang terjadi. Suatu permasalahan yang timbul yang tidak segera diselesaikan dan dibiarkan berlarut-larut untuk jangka waktu yang lama kemungkinan besar para pihak akan sulit untuk mengumpulkan dokumen pendukung yang dapat dijadikan sebagai bukti untuk mendukung dari gugatan yang diajukan.
Pada suatu Perusahaan tentu akan terjadi pergantian kepemimpinan ataupun kepengurusan, ketika terjadi pergantian kepemimpinan ataupun kepengurusan maka kemungkinan besar dokumen-dokumen terdahulu yang dianggap sudah tidak penting akan dimusnahkan. Apabila ini terjadi maka akan terjadi kesulitan bagi para pihak untuk melakukan suatu pembuktian. Maka dari itu agar suatu dokumen yang diperlukan dalam pembuktian nantinya masih ada maka perselisihan yang terjadi haruslah segera diselesaikan.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) apabila penyelesaiannya dibiarkan berlarut-larut kedepannya akan menimbulkan berbagai kesulitan bagi para pihak yang berselisih, sebagai contoh pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap seorang pekerja terjadi pada tahun 1995, lalu pada tahun 2023 pekerja baru menyadari bahwa ada beberapa hak yang seharusnya dia terima namun tidak dia terima dan pekerja mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial, apabila kita melihat rentang waktu nya hal tersebut telah terjadi lebih dari 1 tahun sehingga apabila pekerja mengajukan gugatan maka gugatan dia dapat dikatakan kedaluwarsa sehingga pengusaha dapat terbebas dari tuntutan pekerja.
Pada praktiknya terdapat kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja, dimana pekerja dijatuhkan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Maret 2022, sepanjang waktu berjalan hingga bulan Maret 2023 tidak ada gugatan yang diajukan oleh pekerja atas pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dijatuhkan terhadapnya. Namun pada bulan April 2023 pekerja mengajukan gugatan atas pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dijatuhkan pengusaha terhadap dirinya.
Apabila kita melihat rentang waktu kejadian tersebut, terlihat jelas bahwa rentang waktu penjatuhan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja mengajukan gugatan sudah melebihi batas waktu 1 tahun, melihat hal tersebut kuasa hukum dari pengusaha mengajukan eksepsi atas gugatan yang diajukan oleh pihak pekerja yang pada intinya menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh pekerja sudah kedaluwarsa karena telah melewati batas waktu 1 tahun. Namun yang menjadi aneh dalam kasus ini adalah dasar hukum yang digunakan oleh hakim adalah tidak berdasar pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melainkan menggunakan Pasal 1969 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Apabila kita melihat dari kasus diatas telah terjadi kekeliruan penggunaan dasar hukum. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial seharusnya menjadi dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara tersebut. Pasal 1969 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa masa daluwarsa terhadap kasus pemutusan hubungan kerja adalah 2 tahun. Jikalau kita teliti lebih dalam bahwa Pasal 1969 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur mengenai penuntutan terhadap hak-hak yang timbul dalam suatu hubungan kerja, dalam kasus ini kondisinya terhadap pekerja telah dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), ketika sudah dilakukan pemutusan hubungan kerja dapat kita telaah bahwa disana sudah tidak ada lagi hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dengan pengusaha, sehingga tidak tepat jikalau Pasal 1969 ini digunakan sebagai dasar hukum, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan karena ketidak sesuaian hukum yang digunakan untuk memutus permasalahan kedaluwarsa ini dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Pasal 1969 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pernah diadopsi didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hal ini dapat dilihat pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hanya saja Pasal 96 ini sudah dihapus setelah dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012, dalam putusan tersebut dikatakan bahwa Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyebabkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi tidak berlaku lagi. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya untuk dapat melakukan judicial review suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review adalah untuk melindungi hak fundamental setiap warga negara dari penyalahgunaan kewenangan oleh lembaga negara dan memastikan berjalannya sistem demokrasi dalam perimbangan (Hidayatulloh, 2018). Berdirinya lembaga konstitusi merupakan konsekuensi dari dianutnya konsep negara hukum dalam ketatanegaraan di Indonesia (Mulyata, 2015).
Maka dari itu dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus suatu perkara yang kedaluwarsa juga menjadi aspek penting untuk dapat menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum menunjuk pada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten yang tidak dipengaruhi oleh alasan subjektif (Prayogo, 2016). Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang digunakan, apakah dasar hukum yang digunakan sudah tepat atau belum. Kedaluwarsa terhadap kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam hukum ketenagakerjaan secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Perlindungan terhadap pekerja tetap harus terus dijaga dengan cara menegakkan hukum ketenagakerjaan. Penegakkan hukum ketenagakerjaan ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk menegakkan fungsi norma hukum ketenagakerjaan yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja bersama guna mewujudkan keadilan dalam hubungan kerja (Hadistianto, 2017). Hukum ketenagakerjaan perlu ditegakkan mengingat bahwa hukum ketenagakerjaan memiliki tujuan yakni untuk mencapai keadilan dibidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja dari kuasa yang tidak terbatas dari pengusaha (Aris Prio Agus Santoso, 2022).
Seiring dengan berjalannya waktu dinamika dalam hukum ketenagakerjaan terus terjadi, salah satunya adalah munculnya undang-undang baru yakni Undang-Undang Cipta Kerja yang didalamnya terdapat beberapa perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kendati demikian kemunculan Undang-Undang Cipta Kerja tidak merubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga dalam beracara pada pengadilan hubungan industrial hukum acara yang masih digunakan adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut.
Karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak diubah, ketentuan kadaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 82 tetap berlaku sebagai hukum positif. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan titik awal yang sangat penting dalam pembentukan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Suratman, 2022). Dianggap sebagai titik awal yang sangat penting karena dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menciptakan lembaga untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa kedaluwarsa menjadi aspek yang penting untuk diperhatikan oleh para pihak dalam mengajukan suatu gugatan, terutama bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Perusahaan tempat dia bekerja. Memang hal ini terkesan membatasi hak yang seharusnya bisa diperoleh oleh pekerja, namun kedaluwarsa menjadi penting untuk diatur guna menciptakan suatu kepastian hukum bagi para pihak yang akan mengajukan suatu gugatan terutama dalam hal ini gugatan yang diajukan karena terjadinya perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Diaturnya mengenai kedaluwarsa terkesan menjadi pembatas bagi pekerja untuk dapat mengajukan gugatan terhadap hak-hak yang seharusnya mereka terima, namun hal ini tidak bisa dipandang dari satu sudut pandang mengingat bila suatu permasalahan yang sudah lama terjadi namun penyelesaiannya dibiarkan berlarut-larut maka hal tersebut dapat menciptakan kesulitan tersendiri bagi para pihak dalam hal melakukan suatu pembuktian nantinya.
Kedaluwarsa dengan jangka waktu 1 tahun merupakan waktu yang sudah tepat. Suatu permasalahan yang terjadi jangan sampai penyelesaiannya menjadi berlarut-larut untuk waktu yang cukup lama. Batasan jangka waktu 1 tahun merupakan batasan waktu yang cukup untuk dapat menyeimbangkan antara kepentingan pekerja dengan pengusaha agar suatu perselisihan yang terjadi tidak berlarut-larut dan segera menemukan jalan keluar atas permasalahan tersebut.
Melalui penelitian ini juga dapat kita simpulkan juga bahwa masih terdapat kesalahpahaman dalam penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam menentukan kedaluwarsa suatu gugatan, seharus nya selama belum terdapat undang-undang lain yang mengubah undang-undang tersebut maka undang-undang yang masih berlaku harus ditegakkan, mengingat bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini merupakan hukum yang mengatur secara khusus dalam hukum ketenagakerjaan.
Adhistianto, Mohammad Fandrian, & Alijana, Erma
Hari. (2020). Konstruksi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam
Memberikan Pertimbangan Hukum Dengan Alasan Disharmonis. Jurnal Surya
Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, 11(1), 103.
Asikin,
Zainal. (1994). Dasar-dasar hukum perburuhan.
Djumialdji,
F. X., & Soejono, Wuoko. (1990). Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
Pancasila. Bina Aksara, Jakarta.
Farianto,
Willy. (2021). Pola Hubungan Hukum Pemberi Kerja dan Pekerja: Hubungan Kerja
Kemitraan dan Keagenan. Sinar Grafika.
Hadistianto,
Mohammad Fandrian. (2017). Praktek Pengawasan Perburuhan Dalam Konteks
Penegakan Hukum Perburuhan Heteronom. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika
Masalah Hukum Dan Keadilan, 8(2), 21.
Hadistianto,
Mohammad Fandrian. (2022). PROBLEMATIKA REGULASI MENGENAI DALUWARSA GUGATAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu
Hukum, 7(1), 1�18.
Hidayatulloh,
Bagus Anwar. (2018). Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Penggunaan
KTP dan Paspor dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Kerangka
Menjamin Hak Memilih Dalam Pemilu. WIDYA PRANATA HUKUM JURNAL, 1(2),
110�131.
Husni,
Lalu. (2010). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Maswandi,
Maswandi. (2017). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Di Pengadilan
Hubungan Industrial. Publikauma: Jurnal Administrasi Publik Universitas
Medan Area, 5(1), 36�42.
Mulyata,
Jaka. (2015). Kaadilan, Kepastian, dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 100/PUU-X/2012 Tentang Judicial Review
Pasal 96 Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. UNS
(Sebelas Maret University).
Pracelia,
Yolanda, & Yurikosari, Andari. (2019). Analisis Putusan Sela Terhadap
Permohonan Pembayaran Upah Proses Dalam Pengadilan Hubungan Industrial (Studi
Putusan: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 181/Pdt.
Sus-Phi/2016/Pn. Bdg Jo Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 82/Pdt.
Sus-Phi/2016/Pn. Bdg). Jurnal Hukum Adigama, 2(1), 124�147.
Prayogo,
R. (2016). Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Angung Nomor
1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-undang. Jakarta: Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan HAM.
Putra,
Pamungkas Satya. (2019). Aksesibilitas Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 31(2), 205�221.
Santoso,
Aris Prio Agus. (2022). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan & Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Pustaka Baru Press, Yogjakarata.
Santoso,
Budi. (2013). Perlindungan Pekerja Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Atas
Inisiatif Pengusaha Berdasarkan Konvensi ILO No. 158. Jurnal Hukum PRIORIS,
3(2), 27�39.
Uwiyono,
Aloysius, Suryandono, Widodo, Hoesin, Siti Hajati, & Kiswandari, Melania.
(2014). Asas-asas hukum perburuhan. Rajawali Pers.
�����
Copyright holder: Brilian Lawyer, Gunardi (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |