Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

ANALISIS PROTEKSI MEREK TERDAFTAR OLEH DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL DARI MASALAH PELANGGARAN MEREK

 

Jerica April, R. Rahaditya

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perumusan penelitian ini bagaimana tolak ukur penentuan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk menyatakan bahwa suatu merek memiliki persamaan merek pada pokoknya dengan merek terdaftar? Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah deskriptif-analitis dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Penelitian deskriptif-analitis artinya suatu jenis penelitian yang menggabungkan 2 elemen yang terdapat dalam penelitian deskripitif dan penelitian analitis. Tolak ukur Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam penentuan persamaan merek pada pokoknya dengan merek terdaftar adalah ketika merek yang diajukan untuk pendaftaran memiliki persamaan pada pokoknya atau kesamaan yang signifikan dengan merek yang sudah terdaftar. Ini dapat mencakup kemiripan dalam elemen utama atau esensi merek seperti persamaan bentuk, cara penempatan, persamaan penulisan, dan persamaan bunyi yang dapat menimbulkan potensi kebingungan di antara konsumen.

 

Kata Kunci: Merek; Intelektual; Pelanggaran Merek

 

Abstract

The formulation of this study what is the benchmark of determination used by the Directorate General of Intellectual Property to certify that a mark has a trademark in essence similar to a registered mark? The method used in this journal is descriptive-analytical with data collection through literature study. Descriptive-analytical research means a type of research that combines 2 elements contained in descriptive research and analytical research. The benchmark of the Directorate General of Intellectual Property in determining the similarity of a mark in essence with a registered mark is when the mark submitted for registration has similarities in principal or significant similarities with the mark that has been registered. This can include similarities in the main elements or essence of the brand such as similarities in shape, mode of placement, similarity of writing, and similarity of sound that can create potential confusion among consumers.

 

Keywords: Brand; Intellectual property; Brand Infringement.

 

Pendahuluan

Kata HAKI ialah terjemahan dari Intellectual Property Rights pada sistem hukum Anglo Saxon. Kata HAKI adalah terjemahan yang berasal dari istilah Intellectuele Eigendomsrecht (Bahasa Belanda) dalam sistem hukum Kontinental (Syarifin & Jubaedah, 2004). Istilah tersebut terdiri berasal tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, serta Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.

Adapun Kekayaan Intelektual adalah kekayaan atas segala bentuk produksi dari kecerdasan daya pikir manusia sejenis teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) ialah hak-hak (kewenangan / kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual, yang diatur dengan tata cara dan aturan-aturan yang berlaku (Jotyka & Suputra, 2021).

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) mengacu kepada hak-hak hukum yang diberikan pada pencipta atau pemegang hak untuk melindungi dari hal-hal yang akan terjadi pada karya intelektual mereka. HAKI meliputi banyak bentuk karya, gagasan, dan inovasi yang dihasilkan oleh pikiran insan. Hak Kekayaan Intelektual pada hakikatnya merupakan hak yang memiliki sifat yang sederhana dan masuk akal. Pendapat ini mempunyai alasan bahwasanya hak kekayaan intelektual membahas mengenai apresiasi yang berupa penghargaan terhadap karya orang lain yang memiliki manfaat sehingga dapat dipergunakan pada lapisan rakyat (Habibi & Saidah, 2020).

Merek ialah bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI). Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 20 Tahun 2016, merek memiliki arti, Rifai (2016) yaitu: �Tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.�

Pada dasarnya, suatu barang / produk dan jasa membutuhkan merek agar dikenal dan dapat dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat. Secara sederhana, merek bertujuan untuk memungkinkan konsumen membedakan satu produsen dengan produsen lainnya, memungkinkan konsumen mampu untuk membuat pilihan pembelian sesuai pembelian sebelumnya.

Merek juga menyediakan insetif bagi perusahaan agar memproduksi barang serta/atau jasa yang berkualitas dan juga untuk melindungi investasi perusahaan dalam rangka menciptakan reputasi (Jened, 2015). Agar suatu merek mendapatkan perlindungan dan tidak bisa digunakan kembali oleh pelaku usaha / pemilik merek lain dengan barang atau produk yang sama, maka suatu merek perlu didaftarkan ke dalam Database Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

Dalam sistem registrasi merek dikenal 2 (dua) sistem pendaftaran, yakni sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Sistem deklaratif yang juga disebut sistem pasif memberi perkiraan bahwa pihak yang mereknya terdaftar ialah pihak yang memiliki hak atas merek terdaftar tersebut sebagai pemakai utamanya. Melalui sistem ini tidak diselidiki siapakah pemilik orisinil yang bersangkutan, hanya diperiksa apakah telah lengkap permohonannya serta apakah tidak terdapat pemilik merek yang serupa yang terlebih dahulu mendaftarkan.

Sedangkan sistem konstitutif merupakan pihak yang berhak atas suatu merek yaitu pihak yang mendaftarkan mereknya. Pihak pendaftar ialah pihak satu-satunya yang berhak atas suatu merek sehingga pihak lain harus menghormati haknya (Purwaningsih, 2005). Sistem pendaftaran merek di Indonesia pada Undang-Undang terbaru tahun 2016 memakai sistem konstitutif. Mengenai prosedur registrasi, permohonan pendaftaran registrasi merek dapat menggunakan cara biasa dan juga dapat juga dengan hak prioritas (Purwaningsih, 2020).

Namun sebelum sebuah pendaftaran merek diterima, merek tersebut wajib melewati proses pemeriksaan kelengkapan persyaratan registrasi merek sejenis yang ada di Pasal 11 Undang-Undang angka 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Bila sudah sesuai dengan semua persyaratan nya, merek akan diterima dan masuk ke database Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, maka pemilik merek menerima hak atas merek tersebut.

Seperti yang tertera pada Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 perihal Merek dan Indikasi Geografis, Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberi oleh negara pada pemilik Merek yang terdaftar buat jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau menyampaikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Waktu tertentu dengan memakai sendiri merek tersebut atau menyampaikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Pendaftaran atas merek artinnya suatu keharusan bagi pemilik merek, akan tetapi hak atas merek hanya akan diberikan Direktorat Merek dan jika permintaan pendaftaran merek permohon merek dilakukan dengan itikad baik. Unsur itikad baik pada suatu permintaan registrasi merek unsur yang krusial. Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara jujur serta layak tanpa adanya niat apapun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek milik pihak lain demi kepentingan perjuangan nya yang membuahkan kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen (Karina & Njatrijani, 2019).

Merek sebagai salah satu unsur krusial dalam global bisnis yang mempunyai peran strategis dalam membantu konsumen untuk mengidentifikasi serta membedakan barang atau jasa asal para pesaingnya. Pelaku usaha dapat menciptakan gambaran yang positif serta kepercayaan konsumen melalui merek, yang dengan sendirinya bisa menaikkan loyalitas konsumen serta menaikkan pemasaran. Oleh sebab itu, penting untuk pelaku usaha agar melindungi merek yang dimiliki dari kemungkinan persamaan merek pada pokoknya dengan pihak lain.

Tetapi pada kenyataannya, seringkali terjadi persamaan merek pada pokoknya dalam praktiknya. Di mana sebuah merek yang seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang bisa disalahgunakan ataupun ditiru oleh pihak yang lain menggunakan sedikit variasi atau tanpa adanya perubahan. Selain itu, dengan meningkatnya perkembangan teknologi serta globalisasi, masalah persamaan merek pada pokoknya rumit dan menantang untuk diselesaikan.

Mengenai pengertian persamaan merek pada pokoknya sebagaimana dinyatakan dalam penerangan Pasal 21 ayat (1) UU Merek menentukan sebagai berikut: yang dimaksud denganpersamaan pada pokoknyaialah kemiripan yang timbul karena adanya unsur yang lebih banyak mendominasi antara merek yang satu dengan merek yang lainnya sehingga menyebabkan adanya kesan persamaan, baik dari bentuk, cara penempatan, cara penulisan, atau kombinasi antara unsur, juga persamaan suara ucapan, yang ada pada Merek tersebut (Wijaya, 2020). ��

Pengertian persamaan merek pada pokoknya yang diuraikan pada penjelasan Pasal 21 ayat (1) menggunakan doktrin �nearly resembles�, faktor yang paling pokok dalam doktrin ini bahwa pemakaian merek yang memiliki persamaan pada pokoknya ini dapat mengakibatkan kebingungan yang nyata (actual confusion) atau menyesatkan (deceive) konsumen. Seolah-seolah merek tersebut berasal dari sumber atau penghasil merek yang sama, sehingga di dalamnya terlihat unsur itikad tidak baik untuk membonceng ketenaran yang dimiliki orang lain (Mustafa & SH, 2022).

Melihat dari hal tersebut, sistem hukum terutama sistem hukum Indonesia memberikan proteksi aturan pada pemilik merek terdaftar melalui Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis yang dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Proteksi hukum terhadap merek terdaftar adalah upaya yang dilakukan pemerintah serta sistem hukum suatu negara guna melindungi hak-hak yang dimiliki pemilik merek terhadap penggunaan yang tidak legal atau tanpa izin dari merek yang dimiliki pihak lain, terutama peaing atau pelaku usaha lainnya.

Perlindungan hukum ini memberi pemilik merek sebuah hak eksklusif untuk menggunakan, menggugat, menjual merek, serta mencegah orang lain untuk memakai merek tersebut tanpa izin. Proteksi hukum terhadap merek terdaftar merupakan salah satu tugas pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, khususnya Direktorat Merek serta Indikasi Geografis.

Suatu proteksi hukum merek terdaftar merupakan hal yang krusial untuk konsumen maupun pelaku usaha sebab perlindungan pada merek terdaftar dapat melindungi hak kepemilikan merek, mencegah terjadinya peniruan, mempertinggi kepercayaan konsumen dalam mengonsumsi barang maupun jasa, mendorong inovasi, serta mendukung suatu pertumbuhan bisnis. Proteksi hukum pada suatu merek terdaftar bisa menciptakan lingkungan usaha yang adil dan berkontribusi pada perekonomian secara keseluruhan.

Sehingga perlu ditinjau lebih lanjut tentang tolak ukur penentuan persamaan merek pada pokoknya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam permasalahan dengan merek terdaftar serta kepastian hukum dalam proteksi merek terdaftar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual terhadap merek yang dinyatakan memiliki persamaan merek pada pokoknya.

Perumusan penelitian ini; 1) Bagaimana tolak ukur penentuan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk menyatakan bahwa suatu merek memiliki persamaan merek pada pokoknya dengan merek terdaftar? 2) Bagaimana kepastian hukum dalam proteksi merek terdaftar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dari merek yang dinyatakan memiliki persamaan merek pada pokoknya?

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah deskriptif-analitis dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Penelitian deskriptif-analitis artinya suatu jenis penelitian yang menggabungkan 2 elemen yang terdapat dalam penelitian deskripitif dan penelitian analitis. Penelitian deskriptif-analitis dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi masalah-masalah sebagaimana adanya ketika penelitian dilaksanakan, kemudian hasil penelitian diolah serta dianalisis untuk diambil kesimpulannya (Burhan, 1996).

Studi kepustakaan yang dikenal juga dengan tinjauan literatur, artinya suatu proses penelitian yang melibatkan pengumpulan serta analisis informasi dan pengetahuan yang telah terdapat pada berbagai asal literatur, seperti buku, jurnal ilmiah, artikel, tesis, disertasi, dan sumber lainnya yang telah dipublikasi. Tujuan dari studi kepustakaan untuk menerima pemahaman yang lebih pada wacana topik atau persoalan tertentu dirinci dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan orang lain.

Hal ini membantu peneliti untuk mengetahui kerangka kerja konseptual yang ada, temuan-temuan yang relevan, dan kesenjangan pada pengetahuan yang masih perlu diisi. Selain itu, studi kepustakaan memungkinkan peneliti untuk menilai serta membandingkan berbagai pendekatan, teori, atau metodologi yang digunakan pada penelitian sebelumnya. Hal ini membantu dalam merumuskan pertanyaan penelitian yang lebih jelas dan menetapkan pendekatan yang sempurna untuk studi berikutnya.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Tolak Ukur Penentuan Yang Digunakan Oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Untuk Menyatakan Bahwa Suatu Merek Memiliki Persamaan Merek Pada Pokoknya Dengan Merek Terdaftar

Tolak ukur penentuan persamaan merek oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada permasalahan dengan merek terdaftar mengacu kepada proses penilaian apakah sebuah merek yang diajukan untuk pendaftaran atau dipergunakan oleh pemiliknya memenuhi kriteria legalitas serta tidak melanggar hak-hak merek yang telah terdaftar sebelumnya. Proses ini berlaku untuk melindungi pemilik merek terdaftar dari persaingan yang tidak sehat serta pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Sudarto Gautama (1989) menyampaikan sebuah pegangan untuk memilih persamaan pada pokoknya di antara merek-merek, yaituApabila sesuatu merek bersangkutan akan menimbulkan kekeliruan pada khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang yang sejenis, maka dianggap ada persamaan pada pokoknya. Apakah yang menentukan ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya ini? Yang menentukan hal tersebut adalah kesan dari merek-merek bersangkutan kepada khalayak ramai�. Sudargo Gautama juga beropini bahwa dalam memilih apakah terdapat persamaan pada pokoknya atau tidak, maka merek-merek yang bersangkutan harus dilihat dari keseluruhannya.

Dengan kata lain, tidak dapat dilakukan pemecahan terhadap bagian-bagian merek yang bersangkutan, lalu berdasarkan adanya perbedaan pada bagian-bagian merek ini, ditarik kesimpulan bahwa ada cukup pembedaan untuk keseluruhannya. Serta berdasarkan persamaan dari sebagian, tidak dapat lantas diklaim secara keseluruhan sudah ada persamaan ini.

Sedangkan kriteria persamaan merek pada pokoknya dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tertera bahwa Merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya merupakan merek yang memilki persamaan dengan: a) Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; b) Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c) Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau

d) Indikasi Geografis terdaftar.

Meninjau lebih dalam dari Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, terdapat penjelasan lebih lanjut dari maksud persamaan pada pokoknya dari pasal 21 ayat (1) tersebut yaitu sebagai berikut Adryani (2020):

Persamaan bentuk, yaitu wujud atau tampilan visual dari suatu merek yang merupakan suatu unsur yang secara umum lebih banyak didominasi. Bila terdapat merek yang memiliki bentuk yang sama maka dapat ditolak registrasi mereknya apabila mempunyai kelas barang/jasa yang sejenis.

Cara penempatan ialah tata peletakan, format atau susunan posisi mempunyai unsur yang sama atau seperti unsur-unsur merek yang secara umum dikuasai. Persamaan penulisan yang berarti cara penempatan tanda baca, spasi, huruf kapital serta jenis huruf yang digunakan. Adapun persamaan pada pokoknya bisa ditemukan berupa jenis huruf atau spasi yang juga digunakan pada merek pihak lain. Persamaan bunyi merupakan pelafalan atau cara pengucapannya yang sama dengan merek lain yang sudah terdaftar untuk kelas barang/jasa sejenis.

Sehingga dari penjelasan-penjelasan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa beberapa tolak ukur yang dipergunakan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam menentukan persamaan merek diantaranya yaitu:

Persamaan Visual: Merek akan dinyatakan serupa secara visual bila ada kesamaan dalam penampilan grafis atau tampilan merek, seperti angka, huruf, gambar, atau kombinasi asal elemen-elemen tersebut. Persamaan visual bisa berdampak pada kesan umum yang diberi oleh merek.

Persamaan Bunyi Bahasa: Merek bisa disebut seupa secara bunyi bahasa bila pengucapan atau suara merek tersebut mirip atau identic, meskipun penampilan grafisnya tidak sama. Hal ini mempertimbangkan pengucapan, ejaan, dan kesamaan bunyi pada bahasa yang dipergunakan.

Persamaan Konseptual: Persamaan konseptual berkaitan dengan kesamaan makna atau konsep yang diperlihatkan oleh sebuah merek. Merek diklaim seupa secara konseptual jika merek tersebut memberikan pesan yang serupa atau identik kepada konsumen, terlepas dari penampilan grafis atau bunyi Bahasa.

Taraf Kejelasan: Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual juga mempertimbangkan sejauh mana sebuah merek membingungkan konsumen. Semakin mirip 2 merek pada penampilan atau makna, semakin besar kemungkinan konsumen akan keliru dalam mengidentifikasi merek tersebut. ��������

Pada konteks Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, terdapat kebingungan dan ketidakjelasan mengenai kriteria atau tolak ukur yang absolut untuk menyatakan bahwa suatu merek mempunyai persamaan merek pada pokoknya. Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis memberikan kerangka kerja umum dan juga penjelasan yang umum mengenai persamaan merek pada pokoknya, namun dalam Undang-Undang tidak diatur secara rinci atau memberikan kriteria khusus mengenai persamaan merek pada pokoknya. Hal ini dapat menyebabkan interpretasi yang bervariasi serta penafsiran yang berbeda pada praktiknya.

Krusial untuk diingat bahwa setiap perkara penentuan persamaan merek bisa bervariasi tergantung pada informasi dan bukti yang ada. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada umumnya mempertimbangkan seluruh aspek yang ada serta regulasi dan panduan yang berlaku dalam aturan merek dagang negara tertentu. Jika suatu merek dianggap sejenis atau identic dengan merek terdaftar lainnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dapat menolak registrasi/pendaftaran merek tersebut atau meminta pemilik merek untuk menghentikan penggunaan merek yang disebut melanggar hak kekayaan intelektual.

 

B.     Kepastian Hukum dalam Proteksi Merek Terdaftar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dari Merek yang Dinyatakan Memiliki Persamaan Merek Pada Pokoknya

Pentingnya kepastian hukum bagi sebuah negara hukum tidak bisa diabaikan, seiring menggunakan perannya yang mendasar dalam pembentukan landasan aturan yang kokoh. Kepastian hukum menyampaikan fondasi yang stabil untuk pelaksanaan keadilan, mengakibatkan sistem hukum menjadi pilar utama bagi perkembangan masyarakat serta perekonomian.

Dalam konteks globalisasi yang terus berkembang, kepastian hukum menjadi semakin penting, memberikan arah yang jelas bagi evolusi tata cara-adat hukum dan menyampaikan pandangan yang dapat diandalkan bagi para pemegang kepentingan. Jika terdapat ketidakpastian hukum dapat menjadi hambatan yang serius dalam mencapai tujuan negara hukum, sehingga pemahaman mendalam dan penanganan terhadap aspek-aspek ketidakpastian tersebut sebagai Langkah esensial dalam upaya menciptakan sistem hukum yang adil, efektif, serta berkelanjutan.

Kepastian hukum dalam proteksi merek terdaftar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) terhadap merek yang dinyatakan memiliki persamaan merek pada pokoknya merujuk kepada aspek perlindungan merek terhadap kemungkinan kebingungan atau pelanggaran hak merek yang mungkin adanya dampak persamaan merek tersebut. Pada konteks ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) ialah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas registrasi/pendaftaran merek di Indonesia.

Kepastian hukum dalam hal ini terutama berkaitan dengan bagaimana Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual mengelola dan menangani situasi di mana merek yang diajukan untuk registrasi memiliki persamaan dengan merek yang telah terdaftar atau dilindungi oleh pemegang hak. Kepastian hukum pada konteks proteksi merek merupakan kunci untuk membentuk lingkungan bisnis yang adil dan mendorong investasi dalam merek.

Dengan proses pendaftaran yang transparan dan perlindungan yang bertenaga terhadap merek yang sudah terdaftar, pemilik merek bisa mempunyai keyakinan bahwa merek mereka akan dilindungi serta bahwa potensi pelanggaran merek akan ditangani secara efektif oleh otoritas hukum seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

Kepastian hukum menunjuk pada pemberlakuan hukum yang jelas, permanen serta konsisten yang dalam pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang bersifat subjektif. Mengutip pendapat Lawrence M. Friedman, untuk mewujudkan kepastian hukum maka setidaknya perlu didukung oleh unsur-unsur seperti substansi hukum, aparatur hukum, serta budaya hukum. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum adalah salah satu kondisi yang wajib dipenuhi pada penegakan hukum, artinya yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang dapat memperoleh sesuatu yang dibutuhkannya pada keadaan tertentu (Halilah & Arif, 2021).

Menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa perihal konsep kepasatian hukum yaitusecara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, eksistensi peraturan perundang-undangan perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya (Manan, 1998).

Meninjau dari hal tersebut, beberapa hal yang biasa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual kepada pemohon merek / pemilik merek yang melakukan pelanggaran merek terutama pelanggaran dalam bentuk persamaan merek pada pokoknya dengan merek terdaftar yaitu dengan melakukan penghapusan merek dan pembatalan pendaftaran merek.

Penghapusan merek terdaftar dapat dilakukan atas kewenangan Menteri.Penghapusan merek terdaftar atas kewenangan Menteri bisa dilakukan jika: a)������ Memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan Indikasi Geografi. b) Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau c) Memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan budaya takbenda, atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi turun-temurun.

Penghapusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dapat dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Komisi Banding Merek.Komisi Banding Merek memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berdasarkan permintaan Menteri. Sedangkan untuk gugatan pembatalan merek diatur dalam Pasal 76 UU Merek, yaitu: (1)��� Gugatan pembatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21. (2) Pemilik Merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mengajukan Permohonan kepada Menteri. (3) Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik Merek terdaftar.

Penjelasan tentangpihak yang berkepentingan� yang terdapat di dalam penjelasan Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Merek antara lain pemilik merek terdaftar, jaksa, yayasan/lembaga pada bidang konsumen, dan majelis lembaga keagamaan. Kemudian penjelasan tentangpemilik merek yang tidak terdaftar� yang terdapat dalam penjelasan Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Merek antara lain pemilik Merek yang itikad baik tetapi tidak terdaftar atau pemilik Merek terkenal tetapi Mereknya tidak terdaftar.

Selain karena pemohon pendaftar merek yang memiliki itikad tidak baik, adanya persamaan merek pada pokoknya seringkali lolos dan terdaftar dikarenakan terdapat kekurangan pada sistem saat dilakukan nya pendafataran. Seperti yang tertera pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dalam Pasal 14 dinyatakan bahwa jika terdapat pendaftaran, maka akan adanya pengumuman permohonan yang dilakukan Menteri dalam Berita Resmi Merek melalui sarana elektronik dan/atau non-elektronik.

Namun sistem dalam pengumuman tersebut mengharuskan pemilik merek/pelaku usaha yang mereknya sudah terdaftar untuk memeriksa Berita Resmi Merek secara berkala tanpa adanya notifikasi bahwa adanya pengumuman permohonan tersebut, sehingga seringkali sengketa terjadi setelah pemohon pendaftar merek yang memiliki persamaan pada pokoknya sudah terdaftar mereknya. Artinya adanya ketidakpastian hukum dalam hal pengumuman tersebut.

Melihat juga dari tolak ukur penentuan persamaan merek pada pokoknya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) maka adanya ketidaktelitian dan juga ketidakefektifan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam memeriksa permohonan merek yang didaftarkan oleh pemohon pendaftaran merek yang menyebabkan banyak merek yang terdaftar padahal memiliki persamaan merek dengan merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu. Sehingga perlu diperbaiki sistem pengumuman pendaftaran dalam Berita Resmi Merek dan juga ketelitian dan efektivitas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam memeriksa permohonan merek yang didaftarkan.

Ketidakpastian hukum dalam proteksi merek terdaftar di Indonesia juga bisa terkait dengan kurangnya tolak ukur atau penentuan yang jelas pada peraturan perundang-undangan mengenai persamaan merek pada pokoknya. Tanpa pedoman yang lengkap dalam peraturan perundang-undangan, penentuan sebuah merek memiliki persamaan merek pada pokoknya bisa menjadi subyektif dan bisa memunculkan interpretasi yang berbeda-beda.

Dampaknya, pemilik merek terdaftar akan menghadapi ketidakpastian terkait perlindungan merek yang dimilikinya, sementara pihak ketiga akan merasa kesulitan untuk memahami batasan yang jelas terkait penggunaan merek serupa. Oleh sebab itu, penyempurnaan dan penegasan tolak ukur penentuan persamaan merek dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dapat meminimalisir ketidakpastian hukum dan meningkatkan efektivitas perlindungan merek di Indonesia.

 

Kesimpulan

Tolak ukur Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam penentuan persamaan merek pada pokoknya dengan merek terdaftar adalah ketika merek yang diajukan untuk pendaftaran memiliki persamaan pada pokoknya atau kesamaan yang signifikan dengan merek yang sudah terdaftar. Ini dapat mencakup kemiripan dalam elemen utama atau esensi merek seperti persamaan bentuk, cara penempatan, persamaan penulisan, dan persamaan bunyi yang dapat menimbulkan potensi kebingungan di antara konsumen. Terdapat juga kurangnya tolak ukur atau penentuan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan mengenai persamaan merek pada pokoknya.

Kepastian hukum dalam proteksi merek terdaftar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dari merek yang memiliki persamaan pada pokoknya adalah esensial dalam menjaga hak-hak pemilik merek yang sudah terdaftar. Kepastian hukum ini melibatkan penghapusan merek terdaftar yang melanggar persamaan pada pokoknya dan memungkinkan gugatan pembatalan merek. Namun, sistem pengumuman permohonan pendaftaran perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketidakpastian hukum.

Selain itu, ketelitian dan efektivitas DJKI dalam memeriksa permohonan merek juga harus ditingkatkan untuk mencegah pendaftaran merek dengan persamaan pada pokoknya yang tidak sesuai. Ketidakpastian hukum dalam perlindungan merek terdaftar dari persamaan merek pada pokoknya juga disebabkan oleh kurangnya tolak ukur atau kriteria yang jelas dalam peraturan perundang-undangan untuk menentukan sebuah persamaan merek.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Adryani, Vira, & Kansil, Christine S. T. (2020). Perlindungan Hukum Merek Terkenal Terhadap Pengaturan Prinsip Persamaan Pada pokoknya yang Diajukan dengan Itikad Tidak Baik (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 92K/Pdt. Sus-HKI/2017). Jurnal Hukum Adigama, 3(2), 874�895.

 

Burhan, Ashofa. (1996). Metode Penelitian Disertasi Hukum. Bina Cipta, Jakarta.

 

Gautama, Sudargo, Indonesia, Hukum Merek, & Bandung, P. T. (1989). Citra Aditya Bakti, 1989. Halaman.

 

Habibi, Miftakhur Rokhman, & Saidah, Rohmatul Lailatus. (2020). Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Merek sebagai Jaminan Tambahan pada Perbankan. Jurnal Purnama Berazam, 2(1), 1�24.

 

Halilah, Siti, & Arif, Mhd Fakhrurrahman. (2021). Asas Kepastian Hukum Menurut Para Ahli. Siyasah: Jurnal Hukum Tata Negara, 4(II).

 

Jened, Rahmi. (2015). Hukum merek (trademark law): dalam era global dan integrasi ekonomi. Prenadamedia Group.

Jotyka, Gossain, & Suputra, I. Gusti Ketut Riski. (2021). Prosedur Pendaftaran Dan Pengalihan Merek Serta Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Ganesha Law Review, 3(2), 125�139.

 

Karina, Rahmadia Maudy Putri, & Njatrijani, Rinitami. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Merek Dagang Ikea Atas Penghapusan Merek Dagang. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(2), 194�212.

 

Manan, H. Bagir. (1998). Beberapa Masalah Hukum Tata Negara.

 

Mustafa, Marni Emmy, & SH, M. H. (2022). Aneka penegakan hukum hak cipta, paten, merek dan indikasi geografis. Penerbit Alumni.

 

Purwaningsih, Endang. (2005). Intellectual property rights. Ghalia Indonesia.

 

Purwaningsih, Endang. (2020). Paten dan merek: economic and technological interests dalam eksploitasi paten dan merek. Setara Press.

 

Rifai, Tomy Pasca. (2016). Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Dalam MenRifai, T. P. (2016). Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Universitas Lampung.gh. Universitas Lampung.

 

Syarifin, Pipin, & Jubaedah, Dedah. (2004). Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Pustaka Bani Quraisy.

 

Wijaya, Evelyn Larissa Florentia. (2020). Perlindungan Hukum Konsumen Atas Kesamaan Bunyi Merek Terhadap Barang Yang Tidak Sejenis. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 5(2), 185�197.

 

Copyright holder:

Jerica April, R. Rahaditya (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: