Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
��������������������
IMPLIKASI
PENYULUHAN HUKUM OLEH NOTARIS TERHADAP OTENTISITAS AKTA DAN KEABSAHAN SUATU
PERBUATAN HUKUM
Hanna Arinawati1*, Pieter E.
Latumeten2
1*,2 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,
Indonesia �
E-mail: 1*[email protected], 2[email protected]
Abstrak
Penelitian
ini membahas profesionalitas Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan akta yang dibuatnya, dengan fokus pada degradasi kekuatan
pembuktian akta autentik menjadi akta dibawah tangan dan implikasi penyuluhan
hukum terhadap otentisitas akta dan keabsahan perbuatan hukum. Metode yang
digunakan adalah penelitian yuridis-normatif dengan analisis asas-asas hukum dan
harmonisasi peraturan perundang-undangan melalui penelusuran literatur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketidakterlaksanaan penyuluhan hukum oleh Notaris
dapat mengakibatkan cacat yuridis pada akta autentik, yang berujung pada
hilangnya otentisitas atau terdegradasinya kekuatan pembuktian. Dampaknya
melibatkan pembatalan akta dan potensi tuntutan ganti rugi oleh pihak yang
merasa dirugikan, serta sanksi terhadap Notaris yang melanggar kewenangannya
sesuai UUJN.
Kata Kunci: Notaris, Penyuluhan Hukum, Otentisitas, Keabsahan
Perbuatan Hukum
Abstract
This research explores the professionalism of
Notaries in providing legal counseling related to the documents they create,
focusing on the degradation of the evidentiary strength of authentic deeds into
underhand deeds and the implications of legal counseling on the authenticity of
deeds and the validity of legal actions. The research employs a
juridical-normative method with an analysis of legal principles and the
harmonization of legal regulations through literature review. The findings
indicate that the failure to conduct legal counseling by Notaries can result in
juridical defects in authentic deeds, leading to the loss of authenticity or
the degradation of evidentiary strength. This has implications for the
annulment of deeds and the potential for compensation claims by aggrieved
parties, as well as sanctions against Notaries who violate their authority in
accordance with the UUJN (Notary Position Law).
Keywords:
Notary, Legal Counseling, Authenticity, Validity of Legal Actions
Pendahuluan
Notaris sebagai pejabat umum yang mengemban
kepercayaan dari masyarakat wajib melakukan penyuluhan hukum dalam menjalankan
kewenangannya. Hal ini untuk menghindari timbulnya kesalahan materiil dalam
akta notaris yang mengakibatkan hilangnya otentisitas akta dan terdegradasi
menjadi akta di bawah tangan.
Pada awalnya, profesi Notaris hadir di
Indonesia karena adanya kebutuhan bagi bangsa Eropa akan alat bukti autentik di
bidang perdagangan untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi
anggota masyarakat yakni berupa suatu nota atau akta autentik. Hingga saat ini,
negara menempatkan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang dalam hal
pembuatan akta autentik, untuk kepentingan pembuktian atau alat bukti (Santia Dewi
dan R.M Fauwas Diradja, 2019), sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Perubahan Atas UUJN)
yang menyatakan bahwa: �Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan kewenangan lainnya�.
Notaris merupakan jabatan kepercayaan dari
negara untuk menjalankan sebagian urusan atau tugas negara dalam bidang hukum
perdata. Keberadaan notaris menjawab kebutuhan masyarakat akan bantuan hukum
yang netral sehingga melindungi kepentingan hukum masyarakat. Selain itu,
Notaris diharapkan dapat memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat serta
memberikan penyuluhan hukum khususnya dalam pembuatan akta sehingga masyarakat mendapatkan
kepastian dan perlindungan hukum.
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan Notaris
sebagai pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diperintahkan oleh undang-undang
atau atas permintaan para pihak yang ingin dibuatkan suatu akta. Suatu akta
Notaris agar dapat dinyatakan sebagai akta autentik, harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu: �a. akta harus dibuat
oleh atau di hadapan pejabat umum; b. akta harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dan; c. akta dibuat oleh yang berkuasa untuk itu
di tempat di mana akta itu dibuat.� (KUHPerdata, 2008). Jika salah satu dari
persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka akta tersebut kehilangan otentisitas,
dengan kata lain akta tersebut menjadi akta di bawah tangan (Sudikno
Mertokusumo, 2015).
Dalam membuat suatu akta autentik, seorang
Notaris harus mengikuti aturan-aturan yang telah diatur dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris, diantaranya memberikan penyuluhan hukum terkait akta yang dibuatnya. Ismail
Saleh menyatakan bahwa setidaknya ada empat pokok yang harus diperhatikan oleh
Notaris dalam menjalankan jabatannya yaitu memiliki integritas moral yang baik,
kejujuran intelektual terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan
batas-batas kewenangannya dan berpegang teguh pada keadilan bukan pertimbangan
uang (Ismail Saleh, 1993).
Sebagai salah satu profesi hukum, Notaris
juga memiliki kode etik profesi dalam menjalankan profesinya, yakni dalam
menjalankan tugas jabatannya, Notaris harus menyadari kewajibannya, bekerja
mandiri, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Profesi
Notaris berlandaskan pada nilai moral, sehingga pekerjaannya harus berdasarkan
kewajiban, yaitu adanya itikad baik dalam dirinya sendiri. Sikap moral
penunjang etika profesi Notaris adalah bertindak atas dasar tekad, adanya
kesadaran berkewajiban untuk menjunjung tinggi etika profesi, menciptakan
idealisme dalam mempraktikan profesi dan mengabdi kepada masyarakat (Felicia
Amien, 2003).
Notaris sebagai pejabat umum yang
mengkonstantir akta para pihak harus memberikan penjelasan kepada para
penghadap terkait isi (substansi) dari akta tersebut. Hal ini karena akan
berpengaruh terhadap hasil akta yang dibuat oleh Notaris. Jika notaris tidak
bersikap profesional dalam memberikan penyuluhan hukum pada saat pembuatan
aktanya, maka dapat timbul sengketa di kemudian hari yang merugikan salah satu
pihak atau kedua belah pihak karena ternyata akta yang dibuat bermasalah (Ling
Fransiska et al., 2021). Perbuatan Notaris yang tidak memberikan penyuluhan
hukum dapat terjadi karena beberapa faktor, misalnya Notaris tersebut mengejar
target perolehan akta yang besar jumlahnya dengan waktu yang terbatas dan
banyaknya klien (Felicia Amien, 2003).
Salah satu contoh akta Notaris yang terdapat
sengketa karena tidak didahului dengan pemberian penyuluhan hukum oleh Notaris
salah satunya terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2819 K/Pdt/2012,
Notaris dijadikan sebagai Tergugat II karena tidak melakukan penyuluhan hukum
terlebih dahulu kepada Penggugat dalam pembuatan perjanjian perkawinan mengenai
hak dan kewajibannya dalam harta bersama (gono-gini) yang diperoleh selama
perkawinan (Mahkamah Agung, 2012). Kemudian dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta Nomor 115/G/2017/PTUN-JKT, Majelis Pemeriksa Pusat Notaris dan
Notaris yang membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dijadikan sebagai Tergugat
I dan Tergugat II Intervensi karena Notaris tidak memberikan penyuluhan Hukum
terkait ada atau tidak adanya pembayaran lunas (Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta, 2017). Hal ini tentunya merugikan kepentingan masyarakat dalam
mendapatkan kepastian hukum dalam pembuatan akta yang sesuai dengan kaidah
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berujung kepada
timbulnya permasalahan dalam akta tersebut.
Oleh karena itu, topik ini sangat menarik
untuk dikaji lebih mendalam yaitu mengenai profesionalitas Notaris sehubungan
dengan kewenangan dalam memberikan penyuluhan hukum, degradasi kekuatan
pembuktian akta autentik menjadi akta dibawah tangan, serta implikasi penyuluhan hukum oleh Notaris terhadap
otentisitas akta yang dibuatnya dan keabsahan suatu perbuatan hukum.
Metode
Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian
merupakan �suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi
yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten� (Soerjono
Soekanto, 2009). Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif
yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis penerapan asas-asas hukum
dan harmonisasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum
normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder berupa penelusuran literatur atau studi kepustakaan
untuk memahami konseptualisasi hukum dalam teks atau sumber hukum (Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, 2019). Dalam tulisan ini membahas mengenai
profesionalitas Notaris sehubungan dengan kewenangan dalam
memberikan penyuluhan hukum, degradasi kekuatan pembuktian akta autentik
menjadi akta dibawah tangan, serta
implikasi penyuluhan hukum oleh Notaris terhadap otentisitas akta yang
dibuatnya dan keabsahan suatu perbuatan hukum.
Sumber data sekunder dilihat dari kekuatan
mengikatnya terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yakni
sebagai berikut:
1)
Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat (Sri
Mamudji, 2005). Pada penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.08.10 tahun 2006 tentang Pola
Penyuluhan Hukum.
2)
Bahan
hukum sekunder yang berfungsi untuk menjelaskan, menganalisis, dan menerangkan
lebih lanjut norma dan teori dalam bahan hukum primer (Sri Mamudji, 2005). Pada
penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, artikel
ilmiah, tesis, dan penelusuran internet.
3)
Bahan
hukum tersier yang berfungsi untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder (Sri Mamudji, 2005), seperti kamus dan ensiklopedia (Soekanto
dan Mamudji, 2005).
Hasil dan
Pembahasan
Profesionalitas Notaris Sehubungan
Dengan Kewenangan Dalam Memberikan Penyuluhan Hukum
Notaris
merupakan profesi yang dilatarbelakangi dengan keahlian khusus, sehingga
Notaris dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas dan tanggung jawab untuk
melayani kepentingan umum. Notaris wajib mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada
saat Notaris menjalankan tugasnya, notaris harus memegang teguh dan menjunjung
tinggi martabat profesinya sebagai jabatan kepercayaan yang terhormat. Notaris memiliki
kewenangan untuk memberikan penyuluhan dan nasehat hukum serta memberikan
penjelasan mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada penghadap
yang datang kepadanya. Hal ini artinya sebelum para pihak menuangkan
kehendaknya dalam akta, Notaris harus terlebih dahulu memberikan nasihat kepada
para pihak, antara lain mengenai kecakapan para pihak dalam akta serta apa yang
harus dilengkapi untuk keperluan pembuatan akta tersebut dan lain sebagainya (A. Kohar, 2013).
Kewenangan
Notaris diatur dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU Perubahan
Atas UUJN, yang dapat dibagi menjadi kewenangan umum dan kewenangan khusus (Habib
Adjie, 2018). Kewenangan umum Notaris berkaitan dengan tugas Notaris membuat
akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan,
dengan batasan sepanjang akta tersebut tidak dikecualikan kepada pejabat lain
yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan umum Notaris diatur dalam
Pasal 15 angka (1) UU Perubahan Atas UUJN yang menyatakan: �
�Notaris berwenang membuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.�
Adapun
kewenangan khusus Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perubahan Atas UUJN
yakni:
a. Mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan
surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. �Membuat fotokopi dari asli surat-surat di
bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana yang ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan
pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau;
g. �Membuat akta risalah lelang.
Kewenangan
Notaris untuk memberikan penyuluhan hukum yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat
(2) huruf e sangat penting untuk dicermati dan penuh tanggung jawab, karena
penyuluhan notaris mengenai akta yang dibuatnya kepada para pihak adalah untuk
memastikan apakah keinginan para pihak tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga akan mencegah terjadinya permasalahan
di kemudian hari. Menurut Soerjono Soekanto, penyuluhan hukum bertujuan untuk
menjadikan masyarakat paham hukum, dengan memahami ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam peraturan-peraturan hukum, membina dan meningkatkan kesadaran
hukum bagi warga masyarakat sehingga setiap masyarakat taat pada hukum dan
secara sukarela melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh
hukum (Soerjono Soekanto, 2013).
Fungsi dan manfaat dari penyuluhan hukum oleh
Notaris kepada para penghadap baik subjek hukum orang perorangan (natuurlijk persoon)
maupun subjek hukum berupa badan hukum (recht persoon) yang datang
kepadanya adalah pertama, sebagai tindakan pencegahan (preventif), yakni mencegah timbulnya
permasalahan yang menyangkut para pihak yang terlibat dalam akta yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi para pihak dari isi akta yang dibuatnya (Sudjito,
2018). Kedua, penyuluhan hukum
yang dilakukan oleh Notaris berfungsi sebagai tindakan korektif, yakni
memberikan koreksi terhadap isi akta yang akan dibuatnya, sehingga apabila
terdapat suatu hal yang berkaitan dengan kepentingan para pihak yang melanggar
hukum, kepentingan umum, moral, kesusilaan dan lain sebagainya atau terdapat
hak dan kewajiban para pihak yang belum dituangkan ke dalam akta, maka dapat
diambil tindakan-tindakan perbaikan terhadap isi rancangan akta tersebut.
Ketiga, penyuluhan hukum oleh Notaris berfungsi sebagai tindakan pemeliharaan (presevatif),
yakni guna mewujudkan dan memelihara kesadaran hukum masyarakat sehingga
memberikan dorongan dan semangat partisipatif pembangunan hukum di masyarakat.
Penyuluhan hukum kepada penghadap sebelum pembuatan
akta sangat penting dilakukan agar para penghadap dapat mengerti dan mengetahui
akibat hukum dari setiap perbuatan hukum yang dilakukan termasuk hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Penyuluhan hukum yang baik akan memberikan
keyakinan bagi para pihak atas perbuatan hukum yang dilakukan serta dapat
mencegah timbulnya sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari. Selanjutnya
ditegaskan di dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor: M.01-PR.08.10 Tahun 2006 tentang Pola Penyuluhan
Hukum, bahwa Penyuluhan Hukum diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan
kesadaran hukum masyarakat yang lebih baik sehingga setiap anggota masyarakat
menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara serta
mewujudkan budaya hukum dalam sikap dan perilaku yang sadar, patuh, taat
terhadap hukum dan menghormati hak asasi manusia. Dari pengertian tersebut
dapat dismpulkan tujuan dari penyuluhan hukum adalah untuk membina dan
meningkatkan kesadaran hukum, sehingga timbul ketaatan terhadap hukum.
Profesi
Notaris adalah jabatan kepercayaan sehingga ia harus bertanggung jawab dan
menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya termasuk
dalam fungsinya sebagai profesional di bidang hukum untuk memberi konsultasi
hukum kepada kliennya sesuai pedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan
Kode Etik Notaris. Oleh karena itu Notaris harus mempunyai pengetahuan dan
wawasan yang luas serta keterampilan baik dari segi bahasa, teknik pembuatan
akta, pemahan hukum dalam peraturan perundang-undangan serta moral yakni amanah,
jujur dan tidak memihak (netral) sehingga dapat memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam merancang, menyusun, dan membuat akta autentik (Komar
Andarsasmita, 2013).
Degradasi Kekuatan Pembuktian Akta
Autentik Menjadi Akta Dibawah Tangan
Menurut
KUHPerdata, akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk
itu ditempat dimana akta itu dibuat (KUHPerdata, 2008). Salah satu pejabat umum
yang diberikan kewenangan tersebut adalah Notaris. Sedangkan akta dibawah
tangan adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh
undang-undang dan tidak dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang.
Perbedaan
utama antara kedua jenis akta tersebut adalah pada nilai pembuktiannya. Akta
autentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak dan ahli warisnya. Akta
autentik merupakan alat bukti yang mengikat yaitu hal-hal yang tertulis dalam
akta tersebut dianggap benar selama tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya (Hery Susanto, 2010). Sementara akta di bawah tangan dapat menjadi
alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani akta tersebut
serta para ahli warisnya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan
tersebut diakui oleh para pihak yang menandatangani akta tersebut (KUHPerdata,
2008). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN) adalah sebagai perwujudan jaminan kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum. Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat pengguna jasa notaris dengan akta yang dibuatnya.
�Akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris
dapat menjadi bukti alat bukti autentik dalam memberikan kepastian peristiwa
atau perbuatan hukum yang dilakukan. Namun, akta autentik dapat menjadi objek
sengketa apabila adanya kesalahpahaman isi dari akta yang dibuat di hadapan notaris,
sehingga salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan adanya akta autentik itu
mengajukan gugatan perdata ke pengadilan uuntuk melakukan pembatalan dan akta
notaris tersebut akan mengalami degradasi kekuatan pembuktian (Ling Fransiska
et al., 2018).
Degradasi
menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, artinya adalah penurunan mutu, moral,
kemerosotan atau menempatkan ditingkat yang lebih rendah. Dalam praktiknya,
akta notaris dapat mengalami penurunan kualitas kekuatan pembuktian atau
degradasi menjadi akta dibawah tangan. Degradasi ini secara umum terjadi jika
pejabat umum yang membuat akta tidak memiliki cakap atau tidak memiliki
kewenangan atau adanya cacat dalam pembuatan akta tersebut, sehingga akta
autentik tersebut hanya memiliki kekuatan dibawah tangan (Soegeng Ari Soebagyo
dan Gunarto, 2017).
Adapun
pembatalan adalah suatu perbuatan dengan tujuan membatalkan sesuatu. Kata
degradasi dan pembatalan ini memiliki kaitannya dengan akta notaris, karena
istilah terdegradasi terjadi apabila akta notaris sebagai akta autentik yang
memiliki kekuatan bukti sempurna berubah menjadi seperti akta dibawah tangan.
Alasan terdegradasinya akta notaris adalah karena akta tersebut mengandung
cacat hukum yang menyebabkan pembatalan atau ketidakabsahannya akta Notaris.
Akta Notaris akan kehilangan keautentikannya serta mengalami penurunan kekuatan
pembuktian menjadi akta dibawah tangan apabila tidak dipenuhinya syarat formal
akta autentik yang diatur dalam Pasal 1869 KUHPerdata jo. UUJN (Ling Fransiska,
2018).
Sebuah
akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada notaris. Kewajiban bagi notaris adalah untuk
memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris betul-betul telah
dimengerti dan sesuai dengan maksud para pihak. Oleh sebab itu dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif suatu
akta tidak terpenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka suatu akta dapat
dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang adanya permintaan oleh orang-orang
tertentu atau yang berkepentingan. Sedangkan apabila syarat objektif tidak
terpenuhi, maka akta batal demi hukum (nietig) tanpa perlu ada
permintaan dari para pihak. Oleh karena itu, jika Notaris berbuat salah dengan melanggar
aturan yang telah ada dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang memiliki
sebab-akibat dengan Pasal 1869 KUHPerdata maka akan memberikan dampak akta
autentik hanya memiliki kekuatan pembuktian dibawah tangan (Ufuk Robert Wibowo,
2020).
Oleh
karena itu, apabila seorang Notaris melanggar ketentuan tersebut dapat
mengakibatkan akta yang dibuatnya terdegradasi dan hanya memiliki kekuatan
pembuktian di bawah tangan. Akan tetapi, akta tersebut masih dapat mengikat
para pihak selama belum ada putusan dari pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap, sehingga pengadilan yang berhak memutuskan apakah akta autentik
tersebut terdegradasi atau batal demi hukum. Dengan demikian, suatu akta dapat
dinyatakan terdegradasi menjadi akta dibawah tangan terhitung sejak adanya
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (M Luthfan Had Darus,
2014).
Implikasi
Penyuluhan Hukum Oleh Notaris Terhadap Otentisitas Aktanya dan Keabsahan Suatu
Perbuatan Hukum
Notaris
adalah jabatan kepercayaan yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta autentik. Seorang
Notaris yang tidak bertanggung jawab dan tidak menjunjung tinggi etika hukum
dan martabat serta keluhuran profesinya dapat merugikan masyarakat yang
dilayaninya. Oleh sebab itu, tanggung jawab Notaris kepada masyarakat dijamin
dengan adanya pengawasan dan pembinaan yang terus menerus agar tugas Notaris
selalu sesuai dengan kaidah hukum pelaksanaan jabatannya dan terhindar dari
penyalahgunaan kewenangan yang diberikan kepadanya (Felicia Amien, 2014).
Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, seorang
Notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Notaris yang merupakan tuntunan,
bimbingan, pedoman moral atau kesusilaan untuk Notaris dan disusun oleh anggota
profesi itu sendiri sehingga mengikat mereka dalam mempraktikannya
(Liliana Tedjosaputro, 2015). Abdulkadir Muhammad berpendapat, Kode Etik Notaris meliputi etika kepribadian
sebagai pejabat umum maupun sebagai professional, etika melakukan tugas dan
jabatan, etika pelayanan terhadap klien serta etika hubungan
sesama rekan Notaris (Abdulkadir Muhammad, 2017).
Etika kepribadian Notaris meliputi moral, akhlak dan
kepribadian yang baik, menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
jabatan Notaris, taat hukum berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, sumpah
jabatan dan Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia, memiliki sikap professional,
meningkatkan ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak terbatas pada ilmu
pengetahuan kenotariatan salah satunya dengan memberikan penyuluhan hukum kepada
para penghadap yang ingin dibuatkan akta oleh Notaris (Abdulkadir
Muhammad, 2017).
Etika
melakukan tugas jabatan meliputi tindakan untuk bersikap jujur, mandiri, tidak
berpihak, dan penuh rasa tanggung jawab. Selanjutnya etika pelayanan terhadap
klien ditunjukan dengan mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat
dan negara, memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik dan adil tanpa
membedakan status ekonomi atau status sosialnya, memberikan penyuluhan hukum,
serta tidak memungut honorarium ketika memberikan jasa pembuatan akta dan jasa
kenotariatan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu. Terakhir, etika
hubungan sesama rekan Notaris ditunjukkan dengan sikap saling membantu, saling
menghormati sesama rekan notaris dalam susana kekeluargaan, tidak melakukan
persaingan yang merugikan sesama notaris serta tidak membentuk kelompok sesama
rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan
suatu instansi dan menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk ikut berpartisipasi.
Mekanisme
pengawasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap Notaris di dalam
menjalankan tugas dan jabatannya, dilaksanakan berdasarkan UUJN dan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota,
Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.
Kewenangan pengawasan dan pembinaan Notaris dilakukan oleh Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pengawasan Notaris tersebut dilakukan
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas
Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas
Wilayah (MPW), Majelis Pengawas Pusat (MPP).
Sehubungan dengan kewenangan Notaris dalam memberikan
penyuluhan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, dalam
praktiknya, banyak di antara kalangan Notaris yang lalai dalam melakukan
penyuluhan hukum yang berakibat timbulnya kasus sengketa hukum di kemudian
hari. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa penyebab, misalnya Notaris
menyerahkan pekerjaan pembuatan akta kepada asistennya, jumlah Notaris yang
relatif banyak dan persaingan semakin ketat, sehingga mereka lebih
memprioritaskan mendapat klien sebanyak-banyaknya untuk kantornya, tanpa
memperhatikan kewenangannya dan syarat formil serta syarat materiil pembuatan
akta autentik (Felicia Amien, 2008).
Apabila
akibat tidak disampaikannya penyuluhan hukum oleh Notaris mengakibatkan akta
autentik tersebut mengandung cacat yuridis pada materi dalam suatu akta atau
adanya kesalahan materiil yakni jika para pihak sudah menyampaikan keterangan
secara benar, namun Notaris tidak cermat dalam memasukan keterangan para pihak
yang merugikan kepentingan para pihak, sehingga isi dalam aktanya tidak benar,
berimplikasi pada akta autentik tersebut dapat didegradasikan kekuatan
pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan, dapat dimintakan pembatalan (non
existent) atau batal demi hukum. Hal ini mengakibatkan perbuatan hukum
menjadi tidak berlaku atau perbuatan
hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum (Ahmad Rifa�ih dan Anik Ifitah,
2018).
Suatu
akta Notaris dapat dimintakan pembatalan apabila dalam akta tersebut melanggar
syarat subjektif perjanjian yakni kesepakatan para pihak dan/atau
ketidakcakapan orang yang membuat pejanjian dengan dalih tertipu atau merupakan
suatu kekhilafan semata. Persetujuan, kesepakatan atau persesuaian kehendak di
antara kedua belah pihak dalam perjanjian harus diberikan secara bebas tanpa adanya
kekhilafan atau kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) atau
penipuan (bedrog). Kekhilafan terjadi apabila ada pihak yang merasa
dirinya telah khilaf mengenai suatu sebab pokok dalam perjanjian, sifat-sifat
objek perjanjian atau dengan siapa ia membuat kontrak tersebut pada awalnya.
Subekti berpendapat, kekhilafan merupakan
alasan bagi seseorang untuk meminta pembatalan perjanjian (Hanna Arinawati,
2022).
Tidak dilakukannya penyuluhan hukum oleh Notaris dapat menyebabkan para pihak
tidak mengerti sepenuhnya isi dalam akta yang dibuatnya apakah tidak
bertentangan dengan moral atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang majemuk memiliki latar belakang adat istiadat, pendidikan,
kondisi geografis dan kondisi sosial yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan tidak semua masyarakat
paham hukum (Salimul Jihad, 2021), oleh karena itu penyuluhan hukum Notaris kepada para penghadap dalam
pembuatan akta sangatlah penting.
Selanjutnya
paksaan dapat berupa paksaan secara rohani atau yang memaksa kejiwaan orang.
Misalnya seseorang dipaksa untuk memberikan persetujuan dalam perjanjian jika
tidak ia akan diancam dibunuh atau dianiaya. Ancaman disini harus berupa suatu
tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Berbeda halnya jika ia diancam akan
digugat di depan hakim, itu merupakan sebuah hal yang tidak ditentang oleh
undang-undang dan kesusilaan. Adapun penipuan terjadi jika salah satu pihak
dengan sengaja memberikan informasi yang palsu atau tidak benar disertai
rangkaian kebohongan atau tindakan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
agar percaya dan memberikan persetujuannya dalam perjanjian. Pihak yang menipu
tersebut aktif memberikan keterangan-keterangannya untuk menjerumuskan pihak
lawannya.
Oleh
karena itu, seseorang yang karena ketidakbebasannya memberikan persetujuannya
pada suatu perjanjian diberikan hak untuk meminta pembatalan perjanjian. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata, akibat hukum dari perjanjian
yang dibatalkan yakni semua objek perjanjian atau pihak-pihak dalam perjanjian
tersebut dipulihkan sama seperti keadaan
sebelum perjanjian itu dibuat (Hanna Arinawati, 2008).
Adapun
akta notaris akan batal demi hukum apabila klausul dalam akta tersebut
melanggar syarat objektif perjanjian berupa
suatu hal tertentu dan sebab yang halal (KUHPerdata, 2008).
Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan perjanjian
itu tidak dapat dilaksanakan karena isinya tidak jelas (silent or unclear).
Demikian juga dengan perjanjian yang tidak mengandung sebab yang halal,
perjanjian itu tidak boleh dilaksanakan karena bertentangan dengan hukum dan
kesusilaan. Perjanjian yang batal demi hukum harus dianggap tidak pernah
terjadi atau dilakukan. Hakim diwajibkan karena jabatannya menetapkan bahwa
tidak pernah ada suatu perjanjian itu, baik perjanjian yang dinyatakan batal
demi hukum ataupun perjanjian yang dapat dibatalkan, pengajuan gugatannya hanya dapat dilakukan oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut (Subekti, 1990).
Terakhir, perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) yang merupakan perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan secara
normatif perbuatan tersebut tunduk
pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Implikasi hukum terhadap akta autentik
yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum menyebabkan akta autentik menjadi
akta dibawah tangan dan akta tersebut dapat dibatalkan karena penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana notaris telah melanggar ketentuan
perundang-undangan misalnya akta yang dibuat tidak sesuai dengan fakta hukum
sehingga mengakibatkan kerugian bagi para pihak, maka berakibat pada batalnya
otentisitas akta tersebut (Ling Fransiska et al., 2021).
Ketidakterbukaan
Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum mengenai klausul-klausul dalam akta
yang dibuatnya, sehingga salah satu klien atau penghadap merasa dirugikan.
Dalam hal ini, perbuatan Notaris tersebut telah menyalahi wewenangnya dan
terhadap keabsahan aktanya dapat dimintakan pembatalan otentisitas aktanya dan mengakibatkan
perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum.
Tindakan
Notaris yang merugikan salah satu kliennya dapat berakibat hukum bagi Notaris
yang bersangkutan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN,
dalam melaksanakan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak terkait dalam perbuatan
hukum. Berdasarkan Pasal 85 UUJN, Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16
ayat (1) huruf a dapat dikenaikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan
tidak hormat. Pihak yang dirugikan juga
dapat menuntut ganti kerugian kepada Notaris tersebut sebagaimana ketentuan
Pasal 84 UUJN.
Berbeda
halnya apabila kesalahan materiil yang termuat dalam akta autentik bukan
disebabkan karena kelalaian dan kesalahan dari Notaris, misalnya adanya
tindakan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari salah satu pihak yang
mengakibatkan akta tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian akta autentik,
dalam hal ini Notaris tidak dapat disalahkan karena Notaris telah membuat akta
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini karena Notaris
hanya bertanggung jawab terhadap kebenaran formil, tidak bertanggung jawab
secara materiil terhadap apa disampaikan oleh para pihak yang menghadap
kepadanya untuk membuat akta. Misalnya terkait kebenaran identitas. Akan
tetapi, terhadap klausul perjanjian Notaris haruslah cermat, jangan sampai akta
tersebut mengandung klausul yang melanggar peraturan perundang-undangan dan
bertentangan dengan syarat sah perjanjian yakni suatu hal tertentu dan/atau sebab
yang halal karena akan berakibat akta tersebut batal demi hukum.
Dengan
demikian, implikasi hukum dari akta autentik yang memiliki kesalahan materiil
dapat didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta dibawah tangan, dapat
batal demi hukum atau dapat dibatalkan yang mengakibatkan perbuatan hukum
tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai
akibat hukum. Namun, apabila kesalahan tersebut berasal dari para pihak sendiri
maka akta tersebut tidak kehilangan otentisitasnya (tetapi isi dan perbuatan
hukumnya saja yang batal.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa notaris memiliki
jabatan kepercayaan, yang selain membuat akta autentik, juga memiliki
kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum sesuai dengan Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN) Pasal 15 ayat (2) huruf e. Penyuluhan hukum yang efektif
oleh notaris memiliki peran penting dalam memastikan pemahaman para penghadap
terhadap akibat hukum dari setiap perbuatan hukum yang dilakukan, serta
mencegah timbulnya sengketa di masa depan. Namun, akta autentik yang dibuat
oleh notaris dapat terdegradasi menjadi akta dibawah tangan jika tidak memenuhi
syarat formil dan/atau syarat materiil yang ditetapkan oleh UUJN.
Ketidaksesuaian dengan syarat otentisitas dapat mengakibatkan akta tersebut
batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalan, dengan konsekuensi perbuatan
hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau tanpa akibat hukum. Notaris yang
melanggar kewenangannya dapat dikenai sanksi sesuai Pasal 85 UUJN, dan pihak
yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti kerugian sesuai Pasal 84 UUJN. Oleh
karena itu, penting bagi notaris untuk menjalankan kewenangannya dengan penuh
tanggung jawab dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan UUJN guna menjaga
otentisitas akta yang dibuatnya.
BIBLIOGRAFI
Adji, H. (2018). Hukum Notaris Indonesia Tafsir
Tematik Terhadap UU No 30. Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: PT
Rafika Aditama.
Afifah, K. (2017). "Tanggung Jawab dan
Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata Terhadap Akta yang
Dibuatnya." Jurnal Lex Renaissance, 2(1), 147-161.
Amien, F. (2012). "Analisa Yuridis Mengenai
Kewenangan Notaris Untuk Melakukan Penyuluhan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris." Tesis
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia.
Andarsasmita, K. (2013). Notaris Selayang Pandang.
Bandung: Penerbit Alumni.
Arinawati, H. (2022). "Gugatan Pembatalan
Perjanjian Oleh Pihak Ketiga Demi Kepentingan Umum dalam Citizen Lawsuit: Studi
Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro Nomor 29/PDT.G/2020/PN.BJN."
Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia.
Darus, M. L. H. (2014). Hukum Notariat Dan Tanggung
Jawab Jabatan Notaris. Yogyakarta: UIIPress.
Dewi, S., & Diradja, R. M. F. (2019). Panduan
Teori dan Praktik Notaris. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Enggarwati, I. D. (2015). "Pertanggungjawaban
Pidana dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris yang Diperiksa Oleh Penyidik dalam
Tindak Pidana Keterangan Palsu Pada Akta Otentik." Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 3(5), 1-20.
Fransiska, L., Erni, D., & Latumeten, P. E. (2021).
"Degradasi Kekuatan Pembuktian dan Pembatalan Akta Autentik (Studi Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2377 K/PDT/2016)." Jurnal Indonesian
Notary, 3(2), 340-357.
Fuady, M. (2015). Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum
bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan Pengurus). Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Harahap, M. Y. (2017). Hukum Acara Perdata: Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hendra, A. (2021). "Tanggungjawab Notaris Terhadap
Akta Otentik Yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu Di Kota
Pekanbaru." Jurnal Hukum Kaidah, 3(1), 211-235.
Humana, L. (2016). "Makna Pemberian Penyuluhan
Hukum Oleh Notaris Pembuatan Akta Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris."
Jurnal Hukum dan Humaniora, 1(1), 45-58.
Copyright holder: Nama
Author (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |