Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 12, Desember 2023

 

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN TERKAIT KARTU GARANSI YANG TELAH LEWAT MASA BERLAKU

 

Andreas Noval, Christine S.T Kansil

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pelaku usaha adalah pihak yang mampu memproduksi produk dengan kualitas serta nilai jual tinggi. Keberadaan pelaku usaha sebagai subjek hukum sangat penting baik domestik maupun internasional. Terkait tanggung jawab pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sudah diatur dalam UUPK, keberadaan UUPK diharapkan bisa terciptanya kepastian hukum untuk pelaku usaha yang dirugikan akibat perbuatan konsumen yang beritikad tidak baik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini Pelaku usaha sudah tidak memiliki tanggung jawab terhadap produk kulkas yang mengalami kerusakan dikarenakan masa garansi yang dikeluarkan oleh Pelaku usaha dan berdasarkan Permendag 38/2019 telah melewati batas waktu sehingga pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana tertera pada Pasal 27 UUPK Juncto Pasal 19 Ayat (5) UUPK. Akibat hukum yang terjadi terhadap konsumen yang beritikad tidak baik terhadap pelaku usaha dapat berupa menimbulkan pertanggung jawaban mutlak, Menimbulkan gugatan ganti kerugian dari pelaku usaha. pembatasan hak konsumen dan hilangnya reputasi terhadap pelaku usaha.

 

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Pelaku usaha, Itikad tidak baik.

 

Abstract

Business actors are parties who are able to produce products with high quality and selling value. The existence of business actors as legal subjects is very important both domestically and internationally. Regarding the responsibilities of business actors in running their business, it is regulated in the UUPK, it is hoped that the existence of the UUPK will create legal certainty for business actors who suffer losses due to the actions of consumers who have bad intentions. This research uses normative legal research methods. The results of this research are that business actors no longer have responsibility for refrigerator products that are damaged because the guarantee period issued by the business actor and based on Minister of Trade Regulation 38/2019 has passed the time limit so that business actors are freed from responsibility as stated in Article 27 UUPK Juncto Article 19 Paragraph (5) UUPK. The legal consequences that occur for consumers who have bad intentions towards business actors can be in the form of absolute liability, giving rise to claims for compensation from business actors. restrictions on consumer rights and loss of reputation for business actors.

 

Keywords: Responsibility, Business Actors, bad faith.

 

Pendahuluan

Saat ini transaksi bisnis sudah tidak asing dilakukan, apalagi konsumen dan pelaku usaha, transaksi yang dilakukan antara produsen dan konsumen merupakan suatu hubungan yang berkesinambungan. yang bisa membawa dampak hukum secara spesifik (Hidayat, 2018).

Sebagaimana diketahui, pelaku usaha adalah pihak yang mampu membuat suatu produk dan tentunya mempunyai kualitas produk serta nilai jual yang tinggi sehingga dapat memasarkan produknya baik di pasar domestik maupun internasional (Saebah & Asikin, 2022). Selain itu konsumen dapat memanfaatkan produk-produk yang dihasilkan karena adanya pertumbuhan perekonomian nasional dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, karena pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak akan pernah ada habisnya (Safri, 2018).

Sebagai produsen dalam industri perdagangan, para pelaku usaha jelas mempunyai hak dan kewajiban serta tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan usaha yang sehat sehingga dapat menjadi faktor pendorong pertumbuhan perekonomian negara secara keseluruhan. Pemenuhan akan tugas dan kewajiban pada dasarnya adalah tanggung jawab produsen yaitu pelaku usaha, salah satunya mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, berperilaku dan praktik usaha dengan benar yang mana sudah menjadi aturan seluruh pelaku ekonomi. Hal ini termasuk pemeliharaan etika bisnis (Muthiah, 2016).

Definisi dari pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) pada intinya menerangkan bahwa pelaku usaha ialah perseoragan atau badan usaha, berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berlokasi dalam wilayah hukum negara dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian untuk melaksanakan usaha.

Keberadaan pelaku usaha sebagai subjek hukum memang sangat penting baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Karena terbentuknya hak dan kewajiban dalam hubungan usaha dan kepastian hukum dapat tercapai sehingga dapat memberikan dampak positif. Untuk mewujudkan hak dan kewajiban tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan UUPK sebagai landasan peraturan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum guna meminimalisir kerugian terhadap pelaku usaha dengan konsumen.

Sebagaimana diketahui, dalam perdagangan, pelaku usaha dengan sendirinya mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dan d UUPK antara lain ��hak untuk mendapat perlindungan hukum atas perbuatan konsumen yang tidak baik, dan hak untuk mendapat rehabilitasi nama baik jika terbukti bahwa kerugian yang timbul bukan berasal dari barang yang diperdagangkan��(Santoso & Anik, 2015).

Selain mengatur hak ada juga kewajiban yang harus dipatuhi sesuai Pasal 7 UUPK. Hal ini mencakup ��beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan serta memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.��

Pemberlakuan UUPK diharapkan bisa terciptanya kepastian hukum dan melindungi pelaku usaha yang dirugikan akibat tindakan konsumen yang tidak beritikad baik. Oleh karena itu, keberadaan dan pengesahan UUPK, dapat bersifat mengikat, tidak hanya memudahkan kegiatan perdagangan bagi pelaku usaha dan konsumen, namun memberikan dampak positif berupa keadilan, kenyamanan, dan keamanan.

Sekalipun hukum yang mengatur pelaku usaha dan konsumen telah ada berlaku, namun pada praktiknya masih terjadi penyelewengan yang tidak hanya mengakibatkan kerugian bagi konsumen, namun juga bagi pelaku usaha itu sendiri akibat perbuatan konsumen (Barkatullah, 2017). Hal ini memberikan dampak kurang baik bagi keberadaan pelaku usaha karena ada berbagai macam pelaku usaha yang menjalankan usaha dan memasarkan produk dengan tujuan memperoleh keuntungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Justru berbanding terbalik timbulnya kerugian yang disebabkan oleh tindakan itikad baik konsumen.

Kasus yang diambil dalam Penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 93/Pdt.Sus-BPSK/2021/PN Jkt.Pst antara PT LG Electronics Indonesia sebagai pelaku usaha melawan Jimmy Li sebagai konsumen. Permasalahan yang dipersoalkan berawal dikarenakan Lemari Es mengalami kerusakan pada bagian Refrigerator Compartment (bagian pendingin) yaitu pada komponen damper yang mana jika komponen damper mengalami kerusakan berakibat suhu kompartemen lemari es secara bertahap akan menjadi sama dengan di dalam freezer.�

Kerusakan komponen damper menimbulkan produk kulkas dalam mendinginkan makanan dan minuman menjadi berlebihan sehingga cepat membeku dan rusak serta tidak dapat dikonsumsi lagi, sehingga perlu ada penggantian suku cadang komponen damper. Sebagai pelaku usaha PT LG Electronics Indonesia sudah menjalankan kewajibannya dengan melakukan beberapa kali investigasi ke alamat konsumen serta telah memberikan informasi jelas bahwa diperlukan penggantian suku cadang meskipun suku cadang yang diperlukan belum tersedia sehingga perlu diimpor secara langsung dari Korea Selatan. Namun ketika komponen demper telah tiba di Indonesia dan akan dilakukan penggantian komponen ke rumah konsumen, konsumen menolak dengan alasan sudah membeli produk lemari es dari merek lain dan sudah mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya disebut BPSK) pada tahun 2020.

Namun yang menjadi permasalahan pada produk yang dilaporkan oleh konsumen secara perjanjian (penjaminan) sudah tidak berada dalam masa jaminan atau sudah lewat masa garansi baik berdasarkan kartu jaminan purna jual yang diterbitkan PT LG Electronic Indonesia maupun berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38 Tahun 2019 (yang selanjutnya disebut Permendag 38/2019) yang telah menentukan kewajiban pemberian pelayanan pengajuan setelah berakhirnya masa jaminan yaitu satu tahun harus tetap diberikan paling sedikit setelah masa jaminan tersebut berakhir, maka jika dihitung berawal sejak pembelian produk pada 11 Mei 2012 mendapatkan masa garansi produk selama 18 bulan maka berakhir 10 November 2013, selanjutnya penambahan satu tahun pada Pasal 4 Ayat (2) Permendag 38/2019 sehingga masa jaminan tersebut berakhir pada 10 November 2014.

�PT LG Electronics Indonesia tetap beritikad baik melayani konsumen dengan memberi toleransi yang cukup tinggi dalam menghadapi tuntutan konsumen Meskipun masa jaminan produk telah berakhir. PT LG Electronics Indonesia juga memberikan diskon jasa perbaikan sebesar 20% (dua puluh persen), namun ditolak konsumen dengan alasan tetap pada gugatannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diteliti adalah Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen terkait kartu garansi yang telah lewat masa berlaku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Bagaimana akibat hukum terhadap konsumen yang memiliki itikad tidak baik terhadap pelaku usaha.

Tujuan dari penelitian ini ialah: a) Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen terkait kartu garansi yang telah lewat masa berlaku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. b) Untuk mengetahui akibat hukum terhadap konsumen yang memiliki itikad tidak baik terhadap pelaku usaha.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Marzuki, 2005). Data yang digunakan yaitu data sekunder yang berasal dari bahan pustaka. sumber data yang dikumpulkan meliputi bahan hukum primer, sekunder, bahan non hukum

a. Bahan Hukum Primer: bahan hukum yang memiliki sifat mengikat seperti: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2019 tentang Ketentuan Petunjuk Penggunaan Dan Jaminan Layanan Purna Jual Bagi Produk Elektronika dan Produk Telematika. 4) Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Provinsi DKI Jakarta Nomor. 009/A/BPSK-DKI/XII/2020. 5) Putusan Pengadilan Negeri Nomor 93/Pdt.Sus-BPSK/2021/PN Jkt.Pst.

b. Bahan Hukum Sekunder: referensi penunjang tambahan sehingga mendapatkan gambaran terkait dengan bahan hukum primer yang meliputi buku, jurnal, karya tulis ilmiah tentang perlindungan konsumen serta kegiatan wawancara yang penulis lakukan dengan narasumber atau pihak terkait yang memiliki keterkaitan dengan kasus.

c. Bahan non-hukum: diantaranya adalah Kamus. Teknik pengumpulan data yang penulis pakai guna menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas yakni studi kepustakaan (library research). Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif-kualitatif yakni memberikan arahan atas topik permasalahan guna menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas (Hadi, 1987).

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Terkait Kartu Garansi Yang Telah Lewat Masa Berlaku Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

Pada hakekatnya, hubungan terbentuk dari berkembangnya suatu perbuatan hukum dari suatu pokok hukum, dan perbuatan hukum itu menjadi tonggak awal terbentuknya suatu hubungan hukum (rechtbetrekking). Khususnya interaksi subyek hukum dengan yang mempunyai suatu kaitan atau hubungan hukum. Suatu hubungan hukum yang harmonis diperlukan agar dapat berfungsi secara adil dan merata, sehingga undang-undang menjadi landasan pengaturan hubungan hukum tersebut.

Tanggung jawab menurut pendapat Titik Triwulan pada dasarnya harus memiliki landasan, yang mencakup baik hal-hal yang memberikan hak hukum kepada seseorang untuk menuntut orang lain maupun hal-hal yang memberikan kebutuhan hukum kepada orang lain untuk memberikan tanggung jawab (Tutik & Febriana, 2010). Menurut Abdulkadir Muhhamad, tanggung jawab hukum dikelompokan menjadi beberapa kategori, yaitu (Muhammad, 1999):

A. Tanggung jawab yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang disengaja, yaitu tergugat harus telah melakukan perbuatan yang merugikan penggugat atau memahami bahwa perbuatan yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

B. Tanggung jawab yang timbul dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kecerobohan atau kelalaian, berdasar pada konsep kesalahan, yang dikaitkan dengan moralitas dan hukum.

C. Tanggung jawab mutlak atas pelanggaran hukum tanpa memandang kesalahannya berdasar dari perbuatannya, baik yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja, artinya walaupun bukan kesalahannya, ia tetap bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.

Membahas tanggung jawab hukum, harus diketahui terlebih dahulu mengenai ada atau tidaknya suatu pihak yang mengalami kerugian sebagai akibat (dalam interaksi antara konsumen dan pelaku usaha) dari konsumsi dan penggunaan oleh konsumen atas produk dan/atau jasa yang diciptakan oleh pelaku usaha (Widjaja & Yani, 2000). Tanggung jawab hukum (legal tanggung jawab) dimaksudkan sebagai tambahan terhadap ketentuan hukum.

Dalam melaksanakan kewajibannya Perbuatan hukum pelaku usaha bersifat timbal balik Perlindungan hukum yang diterima benar-benar diutamakan karena pelaku usaha telah melaksanakan kewajibannya dan menunjukkan itikad baik dalam menjalankan kegiatan perdagangan (Kolopaking & SH, 2021). Oleh karena itu, lahirnya UUPK yang mengandung gagasan perlindungan hukum digunakan sebagai landasan bagi konsumen dan pelaku usaha. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa asas-asas hukum yang ada, seperti asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keselamatan dan keamanan konsumen, dan asas kepastian hukum, dapat dikaitkan dengan hukum yang mana perlindungan bagi pelaku usaha atas tindakan konsumen yang beritikad buruk dapat dihubungkan dengan Pasal (2) UUPK.

Oleh karena itu, Asas ini membentuk hubungan ketergantungan antara konsumen dan pelaku usaha yang mencari perlindungan hukum. Untuk mendapatkan keadilan, konsumen dan pelaku usaha wajib menjalankan dan menegakkan hukum secara efisien sehingga semua pihak terlindungi dan tercapai tujuan yaitu kepastian hukum.

Apabila dihubungkan dengan kasus mengenai tanggung jawab pelaku usaha terkait kartu garansi yang telah lewat masa berlaku, pelaku usaha sudah melaksanakan tanggung jawabnya setelah menerima laporan konsumen dengan adanya pengecekan ke alamat konsumen berada serta memberikan informasi jelas terkait pelu adanya perbaikan penggantian suku cadang meskipun suku cadang yang dibutuhkan belum tersedia, sehingga suku cadang tersebut harus diimpor secara langsung dari Korea Selatan.

Tetapi ketika komponen damper tiba dan akan dipasangkan, konsumen menolak dengan alasan sudah membeli lemari es dari merek lain dan telah mengajukan gugatan ke BPSK. kemudian terkait produk kulkas yang dilaporkan konsumen secara perjanjian sudah tidak dalam masa penjaminan atau masa garansi telah lewat waktu baik dari kartu jaminan purna jual yang diterbitkan PT LG Electronic Indonesia maupun berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Permendag 38/2019.

Berdasarkan uraian kasus tersebut, mengenai batasan tanggung jawab itu sendiri dapat dilihat pada hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. mengenai kewajiban pelaku usaha diuraikan dalam Pasal 7 Huruf (A) (B) dan (C) UUPK yang menyebutkan bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Pada kasus ini pelaku usaha sudah menjalankan tanggung jawabnya yaitu kewajibannya sebagai pelaku usaha sebagaimana sudah diuraikan dalam Pasal 7 UUPK tersebut namun di sini pelaku usaha justru mengalami kerugian atas perbuatan konsumen yang beritikad tidak baik, yang seharusnya setelah pelaku usaha melaksanakan kewajiban, Pelaku usaha mendapatkan hak sesuai dengan yang ia telah lakukan namun malah berbanding terbalik pelaku usaha justru dirugikan.

Sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 UUPK Huruf (B) (C) dan (D) yang menyebutkan bahwa pelaku usaha berhak untuk mendapatkan (b). hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; (c). hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; (d). hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Pada hakekatnya tidak semua perselisihan yang melibatkan konsumen yang melakukan kesalahan disebabkan oleh pelaku usaha, namun bisa jadi kesalahan tersebut disebabkan oleh perbuatan konsumen itu sendiri sehingga menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha. Jika berbicara tentang hubungan hukum, jelas bahwa hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen diatur dengan jelas dalam UUPK, dimana hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUPK. UUPK. Selain itu, karena masa garansi atas barang yang dipegang telah berakhir, maka sudah terlihat jelas bahwa hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen telah terputus.

Pelaku usaha sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap kerusakan kulkas yang dialami konsumen, hal ini didasari pada Pasal 27 UUPK yang menjelaskan Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian konsumen apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Dalam Pasal 27 UUPK inilah yang memberi kepastian dan perlindungan kepada pelaku usaha, dikarenakan masa garansi yang dimiliki konsumen sudah lewat waktu, maka keberadaan pasal ini menjadi jawaban pelaku usaha untuk dilindungi ketika konsumen memiliki itikad tidak baik.

Selanjutnya terkait ganti kerugian Pasal 19 Ayat (5) menyebutkan ��Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen��. Sehingga jika dihubungkan dalam Pasal 27 UUPK Juncto Pasal 19 Ayat (5) UUPK ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Sehingga jika kesalahan dilakukan oleh konsumen maka pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab dan tidak berkewajiban lagi melayani konsumen karena masa garansi telah melewati batas waktu sebagaimana yang sudah ditentukan.

Maka dari itu sudah jelas bahwa pelaku usaha sudah melaksanakan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 UUPK yaitu telah melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, memberikan informasi yang jelas, benar, jujur mengenai kondisi barang dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan pengguaan, perbaikan dan pemeliharaan. dan memiliki itikad baik dalam menjalankan usahanya. Dan Pelaku usaha sudah tidak memiliki tanggung jawab terhadap produk yang mengalami kerusakan dikarenakan masa garansi sebagaimana telah dikeluarkan Pelaku usaha dan melalui Permendag 38/2019 telah melewati batas waktu sehingga pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUPK Juncto Pasal 19 Ayat (5) UUPK.

 

B. Akibat Hukum Terhadap Konsumen Yang Memiliki Itikad Tidak Baik Terhadap Pelaku Usaha

Dalam transaksi bisnis yang melibatkan produk dan/atau layanan, itikad baik sangatlah penting. Ketika pelaku usaha dan nasabah melakukan transaksi dengan itikad baik, maka dampak buruk yang terjadi akan berkurang (Widjaja & Yani, 2000). Akibat hukum ialah akibat dari perbuatan subjek hukum sebagai akibat hukum. Akibat hukum pada dasarnya merupakan akibat perbuatan yang dilaksanakan guna mencapai hasil yang diinginkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat hukum, sedangkan kegiatan yang dilakukan adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menurut hukum sesuai dengan yang berlaku.

Membahas mengenai itikad baik pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 arti diantaranya: 1) Arti subjektif, yaitu mengacu pada makna itikad baik berada dalam sikap batin seseorang. Artinya, gagasan itikad baik yang melekat pada sikap batin seseorang sangat penting guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. 2) Arti Objektif, bahwa dalam suatu perjanjian itu harus dilakukan dengan memperhatikan norma yang terkandung di dalamnya seperti norma kepatutan dan kesusilaan; Artinya dalam kegiatan perdagangan para pihak harus memenuhi kewajibannya untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak wajar, yaitu tidak melenceng dari norma kepatutan dan kesusilaan, dengan harapan dapat menciptakan keadilan bagi para pihak dan tidak menimbulkan kerugian. kepada siapa pun.

Pada dasarnya banyak konsumen yang tidak sadar telah melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap pelaku usaha, perbuatan yang dilakukan konsumen atas itikad tidak baik masih belum dapat dimengerti secara baik dan kebanyakan masyarakat bahwa hal tersebut merupakan hal yang biasa (Wijaya & Dananjaya, 2018);. Apabila konsumen melakukan hal tersebut dengan itikad tidak baik maka dapat menimbulkan akibat hukum, akibat hukum yang terjadi diantaranya adalah:

1. Menimbulkan pertanggung jawaban mutlak (strict liability) atas kerugian pelaku usaha

Tanggung jawab mutlak merupakan suatu jenis kewajiban yang dilakukan oleh seseorang yang kegiatannya berpotensi menimbulkan kerugian dan mempertanggung jawabkan kerugian yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan tersebut. Tanggung jawab mutlak mengandung makna bahwa pertanggungjawaban dan/atau penggantian kerugian dilakukan setelah kerugian muncul (Al-Farizy, 2016). Akibatnya, dalam suatu proses hukum, penggugat tidak wajib menunjukkan kesalahan tergugat. Melainkan hanya perlu membuktikan bahwa penggugat mengalami kerugian akibat perbuatan tergugat.

Terhadap pelaku usaha yang dirugikan, dengan diberlakukannya prinsip strict liability, para pelaku usaha yang merasa dirugikan atas tindakan konsumen dapat menuntut kompensasi atau ganti rugi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan dari pihak konsumen. dengan adanya kata sepakat di awal transaksi terjadi, berarti konsumen telah menyetujui aturan dan bersedia menjalankan kewajibannya sebagai konsumen, Jika hal ini tidak terjadi, konsumen harus menerima tanggung jawab atas perilakunya.

 

2. Menimbulkan gugatan ganti kerugian dari pelaku usaha

Gugatan ganti rugi ialah upaya yang dapat dipergunakan untuk menegaskan hak atau memaksa pihak lain untuk bertanggung jawab atas kewajibannya (Windari, 2015). Gugatan ganti rugi dapat membantu penggugat memulihkan kerugian melalui keputusan pengadilan. Mengklaim hak ini merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan hak yang diberikan pengadilan untuk menghindari adanya main hakim sendiri. Agar pengadilan dapat mengakui suatu tuntutan hak sebagai dasar suatu tuntutan hak, maka penggugat harus mempunyai kepentingan-kepentingan yang memadai dan dasar hukum yang memadai.

Bentuk gugatan terhadap tuntutan hak ada bermacam-macam, salah satunya gugatan biasa. Litigasi perdata pada umumnya terdiri dari dua pihak: penggugat dan tergugat. Dalam perkara perdata dapat mengajukan tuntutan hak baik secara lisan maupun tertulis. Pengajuan tuntutan hak dengan gugatan biasa adalah tuntutan hak yang dilakukan oleh suatu subjek hukum kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa perdata, baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, yang mana pihak yang menuntut hak tersebut mengalami kerugian materil.

 

3. Pembatasan Hak Konsumen

�jika konsumen melakukan perilaku yang merugikan pelaku usaha, maka lembaga perlindungan konsumen dapat membatasi hak konsumen tersebut.

 

4. Hilangnya Reputasi

�Konsumen yang mempunyai niat negative sehingga merugikan reputasi pelaku usaha. dapat menimbukan kerugian finansial dan reputasi buruk di mata masyarakat. Hal ini berpotensi melemahkan kepercayaan konsumen terhadap pelaku usaha

Terkait akibat konsumen yang beritikad tidak baik, maka pelaku usaha perlu melindungi diri dengan mengambil beberapa langkah berikut:

1. Membuat peraturan yang jelas: Pelaku usaha dapat membuat kebijakan yang jelas mengenai pembelian, pengembalian, dan pemanfaatan. Pastikan kebijakan ini terlihat dan dapat digunakan dengan mudah oleh konsumen. sehingga membantu terhindar dari kesalahpahaman dan membatasi tindakan yang tidak diinginkan.

2. Mempunyai kontrak atau perjanjian tertulis: memiliki kontrak tertulis yang jelas dan lengkap sangat penting bagi pelaku usaha dan konsumen. dengan adanya kontrak ini dapat melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan dapat digunakan sebagai bukti jika terjadi sengketa di kemudian hari.

 

Kesimpulan

Dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:

Pelaku usaha sudah tidak memiliki tanggung jawab terhadap produk yang mengalami kerusakan pada produk kulkas konsumen dikarenakan masa garansi sebagaimana telah dikeluarkan oleh Pelaku usaha dan berdasarkan Permendag 38/2019 telah melewati batas waktu sehingga pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUPK Juncto Pasal 19 Ayat (5) UUPK. Pelaku Usaha juga sudah melaksanakan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 UUPK yaitu telah melayani konsumen secara benar serta tidak diskriminatif, memberikan informasi yang jelas, benar, jujur mengenai kondisi barang dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan serta Pelaku usaha juga telah memiliki itikad baik dalam menjalankan usahanya.

Akibat hukum yang terjadi terhadap konsumen yang memiliki itikad tidak baik terhadap pelaku usaha dapat berupa menimbulkan pertanggung jawaban mutlak, Menimbulkan gugatan ganti kerugian dari pelaku usaha. pembatasan hak konsumen dan hilangnya reputasi terhadap pelaku usaha

 

BIBLIOGRAFI

Al-Farizy, S. (2016). Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) Dalam Hukum Perdata Lingkungandi Indonesia (Kajian UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup).

 

Barkatullah, A. H. (2017). Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Nusa Media.

 

Hadi, S. (1987). Metodologi Research 1 & 2. Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

 

Hidayat, P. (2018). ANALISIS YURIDIS SENGKETA KONSUMEN DALAM PEMBIAYAAN MOBIL PADA PT ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 756 K/PDT. SUS-BPSK/2014). Universitas Mataram.

 

Kolopaking, I. A. D. A., & SH, M. H. (2021). Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui Arbitase. Penerbit Alumni.

 

Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum, Kencana. Jakarta.

 

Muhammad, A. (1999). Gunawan Widjaja. Citra Aditya Bakti.

 

Muthiah, A. (2016). Tanggung Jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen tentang Keamanan Pangan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen. Dialogia Iuridica, 7(2), 1�23.

 

Saebah, N., & Asikin, M. Z. (2022). Efektivitas Pengembangan Digital Bisnis pada Gen-Z dengan Model Bisnis Canvas. Jurnal Syntax Transformation, 3(11), 1534�1540.

 

Safri, H. (2018). Pengantar Ilmu Ekonomi. Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo, 3�4.

 

Santoso, H., & Anik, A. (2015). Analisis Pembiayaan Ijarah Pada Perbankan Syariah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 1(02).

 

Tutik, T. T., & Febriana, S. (2010). Perlindungan hukum bagi pasien. Prestasi Pustaka Publisher.

 

Widjaja, G., & Yani, A. (2000). Hukum tentang perlingdungan konsumen. Gramedia Pustaka Utama.

 

Wijaya, I., & Dananjaya, N. S. (2018). Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6(8), 1�15.

 

Windari, R. A. (2015). Pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) dalam hukum perlindungan konsumen. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 1(1).

 

Copyright holder:

Andreas Noval, Christine S.T Kansil (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: