Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
PERAN ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK TERHADAP PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI
Priskila Paulina Kurnia, Christine ST. Kansil
Universitas Tarumanagara
Email: [email protected]
Abstrak
Setiap Lembaga Pemerintah, dalam melakukan tugas dan wewenang administratifnya dilandasi oleh beberapa asas, salah satunya adalah Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu lembaga pemerintahan yang berfungsi untuk mengawasi sektor keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan. Peneliti akan memecahkan isu hukum yang ada seputar Peranan Asas Umum Pemerintahan yang Baik Terhadap Pencabutan Izin Usaha Asuransi dengan menggunakan metode yuridis normatif, karena Penulis ingin mencari jawaban atas isu hukum tersebut berdasarkan sisi norma atau sisi hukum atau perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan ini dipergunakan oleh Peneliti untuk menelaah peraturan perundang-undangan dan aturan hukum lain yang berkaitan dengan asuransi guna menjawab permasalahan berupa peran asas umum pemerintahan yang baik terhadap pencabutan izin usaha asuransi. Terdapat 8 (delapan) poin yang dinaungi oleh Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik. Akibat hukum yang terjadi apabila perusahaan perasuransian telah dicabut izin usahanya yaitu diberhentikan seluruh kegiatan usahanya serta wajib melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan juga membentuk Tim Likuidasi untuk mengganti kerugian pihak-pihak yang dirugikan. Selain daripada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perasuransian yang terdapat dalam POJK No. 9/POJK.05/2021, OJK juga harus menjadikan AUPB sebagai bahan pertimbangan sebelum mengeluarkan putusan, terlebih lagi dalam hal ini apabila OJK mencabut izin usaha dari perusahaan perasuransian.
Kata kunci: Lembaga; Asuransi; Asas
Abstract
Every Government
Institution, in carrying out its administrative duties and authority, is based
on several principles, one of which is the General Principles of Good
Government (AUPB). AUPB is a principle used as a reference for the use of
authority for Government Officials in issuing Decisions and/or Actions in
administering government. One of the government institutions that functions to
supervise the financial sector is the Financial Services Authority. The
researcher will solve the legal issues surrounding the role of general
principles of good governance in the revocation of insurance business licenses
using normative juridical methods, because the author wants to find answers to
these legal issues based on norms or legal or statutory aspects. This legislative
approach is used by researchers to examine statutory regulations and other
legal rules relating to insurance in order to answer problems in the form of
the role of general principles of good governance in the revocation of
insurance business permits. There are 8 (eight) points covered by the General
Principles of Good Government, namely legal certainty, usefulness,
impartiality, accuracy, non-abuse of authority, openness, public interest and
good service. The legal consequences that occur if an insurance company has had
its business license revoked are that all business activities are stopped and
they are required to hold a General Meeting of Shareholders (GMS) and also form
a Liquidation Team to compensate the losses of the injured parties. Apart from
violations committed by insurance companies contained in POJK No.
9/POJK.05/2021, the OJK must also take the AUPB into consideration before
issuing a decision, especially in this case if the OJK revokes the business
license of an insurance company.
Keywords: Institution; Insurance; Principle
Pendahuluan
Pembangunan ekonomi adalah upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan yang merata, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
(Febriyani & Anis, 2021). Pembangunan ekonomi juga dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat (Hasan & Azis, 2018). Apabila kita
membahas tentang sebuah negara, tentu tidak jauh-jauh dengan perekonomiannya. Pada dasarnya sistem keuanganlah yang menjadi pondasi dasar dalam
perekonomian sebuah negara.
Sistem keuangan ini
berperan dalam menyediakan fasilitas-fasilitas jasa dibidang ekonomi
melalui Lembaga keuangan serta Lembaga penunjang keuangan lainnya (Abdullah et al., 2023). Lembaga keuangan sangat dibutuhkan pada perekonomian zaman
ini dikarenakan berfungsi sebagai mediator antara kelompok masyarakat yang kelebihan dana dengan kelompok masyarakat yang memerlukan dana (Muktar, 2016). Di Indonesia, Lembaga keuangan dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu, Lembaga Jasa
Keuangan Bank (LJKB) dan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (LJKNB).
Lembaga Jasa Keuangan Bank adalah
badan usaha dibidang jasa keuangan yang beroperasi dengan cara memberikan fasilitas jasa layanan keuangan, menghimpun dana dari masyarakat, dan menyalurkannya kembali untuk pendanaan
ke berbagai kegiatan keuangan yang mempengaruhi jalannya perekonomian (Afrianty, Isnaini, &
Oktarina, 2019). Tak hanya itu, LJKB
juga perlu memutar arus uang dalam perekonomian dengan mendapatkan keuntungan dalam bentuk bunga
atau persentase.
Kegiatan usaha dalam
LJKB pun berbagai macam, seperti memberikan jasa layanan keuangan,
penyertaan modal, menawarkan
layanan rekening giro, membuat pinjaman
bisnis, pribadi, dan hipotek. Selain itu, umumnya Bank juga menawarkan produk keuangan dasar, seperti sertifikat deposito (CD) dan rekening tabungan untuk individu maupun usaha kecil.
Walau demikian, dalam operasionalnya, LJKB hanya menjalankan salah satu atau dua kegiatan
usaha sekaligus.
LJKB ini tidak
serta merta berdiri dan memiliki kegiatannya sendiri, tetapi memerlukan pihak yang dapat mengatur dan mengawasi yang sekarang dapat dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK), OJK adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan
pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Namun begitu,
OJK yang secara sah lahir pada 16 Juli 2012 ini secara otomatis mengambil alih fungsi regulator dan pengawasan
pada perbankan yang sebelumnya
dijalankan oleh Bank Indonesia.
Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral
yang bersifat independen.
UU BI ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan. Dalam Pasal 33
UU BI dinyatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang independen, dan dibentuk
dengan undang-undang, dimana pembentukan lembaga pengawasan tersebut akan dilaksanakan
selambat-lambatnya 31 Desember
2002.
Sementara untuk pengawasan
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (LJKNB), OJK mengambil
alih peran yang sebelumnya dijalankan oleh
Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan atau yang biasa
disebut dengan Bapepam-LK. Bapepam-LK merupakan penggabungan dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang dibubarkan
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan digantikan oleh
OJK.
Setiap Lembaga Pemerintah, dalam melakukan tugas dan wewenang administratifnya dilandasi oleh beberapa asas yang tertera dalam Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP)
yaitu, asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia
dan AUPB (Asas Umum Pemerintahan yang Baik). Penelitian ini akan menitikberatkan pada salah satu asas yang tertera dalam Pasal 10 UU AP,
yang menyebutkan setidaknya
ada 8 (delapan) hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
AUPB adalah prinsip
yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat
Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan atau
Tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan (Azhar, 2015). Sementara menurut
Ridwan HR, asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil,
terhormat dan bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang serta tindakan sewenang-wenang.
Dalam kacamata yuridis, asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah prinsip
yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat
pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan
(Kusdarini, 2020). Sementara itu,
di antara LJKNB lainnya,
salah satu jenis yang
paling umum ditemui dan
salah satu layanan keuangan tertua yang ada di Indonesia adalah asuransi. Asuransi juga dapat ditujukan untuk perorangan maupun korporasi. Namun umumnya, di Indonesia, asuransi yang paling banyak ditemui adalah asuransi untuk manusia dan juga barang seperti mobil.
Industri asuransi memiliki
peran penting dalam masyarakat dan ekonomi modern karena asuransi bertujuan untuk memberikan perlindungan finansial dari risiko-risiko yang tidak terduga, seperti kerugian harta benda, kecelakaan,
atau Kesehatan (Rizkita & Syarifuddin,
2023). Keberadaan asuransi
membantu mengurangi dampak finansial yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, sehingga masyarakat dan bisnis dapat mengelola risiko dengan lebih
baik (Ajib, 2019).
Dalam Pasal 1774 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, diterangkan bahwa asuransi merupakan salah satu perjanjian untung-untungan, dimana: �Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan
yang hasilnya, mengenai untung ruginya baik bagi semua
pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung dari suatu kejadian
yang belum timbal balik tidak seimbang.�
Sementara menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU No. 2 Tahun
1992) yang disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada 11 Februari 1992 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan
Negara Republik Indonesia Nomor
3467) asuransi adalah: �Asuransi atau Pertanggungan
adalah perjaniian antara dua pihak atau lebih, dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.�
����������� Undang-Undang
tersebut di atas kemudian dicabut karena diperlukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan mengenai perasuransian harus dilakukan untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat
diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional. Kemudian akhirnya digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU No. 40 Tahun 2014) yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal
17 Oktober 2014 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor
337, Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 5618) sehingga
definisi asuransi diperbaharui menjadi sebagai berikut:
�Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. memberikan
penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.
memberikan pembayaran
yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan
pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.�
����������� Ruang lingkup asuransi dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan Pasal 2 UU No.
40 Tahun 2014, yaitu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan reasuransi. Badan hukum usaha perasuransian
dapat berbentuk koperasi, perseroan terbatas, maupun usaha bersama. Bagi para pihak yang ingin menyelenggarakan usaha perasuransian wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari OJK dan selanjutnya perusahaan perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi, data, dan/ atau dokumen kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan mengenai peraturan
dan pengawasan OJK terhadap
Perusahaan Perasuransian diatur
dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 67 UU No. 40 Tahun
2014. Sementara untuk tugas pengawasan sendiri diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu, pengawasan normal, pengawasan intensif, dan pengawasan khusus. Setiap klasifikasi pengawasan memiliki kriteria penilaiannya sendiri yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 9/POJK.05/2021.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan apabila usaha perasuransian
telah memasuki pengawasan khusus dan tidak dapat melakukan
upaya untuk keluar dari kriteria
yang ada, makai zin usaha perasuransian berhak dicabut oleh Dewan Komisioner
OJK. Dalam ranah perasuransian
yang termasuk subjek perasuransian adalah penanggung dan tertanggung, sementara objek asuransi adalah jiwa dan raja, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda
dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
����������� Salah satu kewenangan
OJK seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu mencabut izin usaha. Dalam bidang perasuransian, OJK mencabut izin usaha
atas dasar OJK melihat bahwa usaha
asuransi ini nantinya dapat merugikan konsumen serta usaha asuransi
yang telah mendapat pengawasan khusus tidak dapat memenuhi
tuntutan OJK dalam kurun waktu tertentu.
Dalam hal usaha asuransi yang dicabut izin usahanya, maka akibat hukum
yang terjadi adalah usaha asuransi diberhentikan seluruh kegiatan usahanya serta diwajibkan untuk melakukan Rapat Usaha Pemegang Saham (RUPS)
dalam kurun waktu 30 hari setelah
pencabutan dan membentuk tim likuidasi.
Metode Penelitian
Peneliti akan memecahkan
isu hukum yang ada seputar Peranan
Asas Umum Pemerintahan yang Baik Terhadap
Pencabutan Izin Usaha Asuransi dengan menggunakan metode yuridis normatif, karena Penulis ingin mencari jawaban
atas isu hukum tersebut berdasarkan sisi norma atau sisi hukum
atau perundang-undangan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata yuridis dapat diartikan
menurut hukum, secara hukum: bantuan,
bantuan hukum (diberikan oleh pengacara kepada kliennya di muka pengadilan).� Sementara kata normatif berarti berpegang teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang berlaku. Berdasarkan pengertian kedua hal di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian yuridis normatif menitikberatkan atau dengan kata lain memfokuskan penelitian pada sudut pandang hukum yang ada di Indonesia. ��
Lebih spesifik lagi,
Peneliti juga akan menggunakan metode preskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang diharapkan dapat menghasilkan argumentasi, teori bahkan konsep baru
sebagai preskripsi dalam menyelesaikan sebuah permasalahan (Soerjono, 1986).
Sementara untuk jenis
data, Peneliti menggunakan pengklasifikasian oleh Peter Mahmud Marzuki. Peter Mahmud
Marzuki (2013) mengklasifikasikan data ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu Bahan Hukum dan
Bahan Non-Hukum. Terdapat 2 (dua) hal
yang termasuk ke dalam Bahan Hukum yaitu, Bahan
Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Untuk Bahan Hukum Primer, Peneliti
akan mengambil peraturan perundang-undangan atau hukum positif
yang terkait dengan permasalahan yang diangkat.
Bahan hukum primer yang dipergunakan oleh Peneliti dalam penelitian hukum ini diantaranya
sebagai berikut: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2) Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan; 3) Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun
2014 tetang Administrasi
Negara; dan 4) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 9/POJK.05/2021 tentang Penetapan Status Tindak
Lanjut Pengawasan.
Pada Bahan Hukum Sekunder, Penulis akan menggunakan
bahan-bahan pustaka untuk memperkuat serta menunjang Bahan Hukum
Primer seperti buku, jurnal, prosiding, makalah hukum, laporan penelitian hukum, juga terbitan pemerintah. Dalam hal meneliti tentang permasalahan yang menjadi isu hukum dalam
penelitan ini, maka Penulis memilih
untuk menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute
Approach), dimana pendekatan
perundang-undangan ini dipergunakan oleh Peneliti untuk menelaah peraturan perundang-undangan dan aturan hukum lain yang berkaitan dengan asuransi guna menjawab
permasalahan berupa peran asas umum
pemerintahan yang baik terhadap pencabutan izin usaha asuransi.
Hasil dan Pembahasan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).
Dalam regulasi tersebut dijelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: (1) Kegiatan jasa keuangan
di sektor perbankan; (2) Kegiatan jasa keuangan
di sektor pasar modal; dan (3) Kegiatan
jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang OJK,
yang berbunyi bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
OJK mempunyai wewenang
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan non-bank,
yang dalam hal ini merupakan pengaturan
dan pengawasan mengenai kesehatan lembaga non-bank juga mengenai pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian lembaga non-bank. Dalam Pasal 8 UU OJK dijelaskan
bahwa terdapat 9 (sembilan) wewenang OJK dalam melakukan tugas pengaturan, yaitu:
a.
menetapkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.
menetapkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
c.
menetapkan
peraturan dan keputusan OJK;
d.
menetapkan peraturan
mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.
menetapkan
kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.
menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa
Keuangan dan pihak tertentu;
g.
menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan;
h.
menetapkan
struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.
menetapkan
peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Sementara itu, dalam
Pasal 9 UU OJK tercantum juga mengenai
8 (delapan) wewenang OJK dalam melakukan tugas pengawasan, yakni sebagai berikut :
a.
menetapkan
kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.
mengawasi
pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
c.
melakukan
pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain
terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d.
memberikan
perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.
melakukan
penunjukan pengelola statuter;
f.
menetapkan
penggunaan pengelola statuter;
g.
menetapkan
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.
memberikan
dan/atau mencabut:
1.
izin usaha;
2.
izin orang perseorangan;
3.
efektifnya
pernyataan pendaftaran;
4.
surat tanda
terdaftar;
5.
persetujuan
melakukan kegiatan usaha;
6.
pengesahan;
7.
persetujuan
atau penetapan pembubaran; dan
8.
penetapan
lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan.
Kemudian untuk lebih
spesifik lagi mengenai tugas pengawasan, OJK mengaturnya dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
9/POJK.05/2021. Lebih lanjut
disebutkan dalam POJK tersebut bahwa pengawasan sendiri diklasidikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu pengawasan
normal, pengawasan intensif,
dan juga pengawasan khusus.
Penetapan status pengawasan
ini didasarkan atas faktor peringkat
komposit, peringkat faktor tata kelola perusahaan yang baik, dan atau parameter kuantitatif.
Untuk pengawasan intensif
memiliki jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan disertai peningkatan status pengawasan. Sementara pengawasan khusus memiliki jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang oleh OJK dengan mempertimbangkan penyelesaian atas rencana tindak yang telah disetujui. Baik pengawasan intensif maupun pengawasan khusus, masing-masing status memiliki
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan asuransi. Apabila batas waktu telah habis
dan perusahaan asuransi masih memenuhi kriteria dalam status pengawasan khusus, maka izin usaha
perusahaan asuransi berhak dicabut oleh OJK.
Berdasarkan Pasal 4 POJK Nomor
9/POJK.05/2021 kriteria dari
LJKNB yang berada dalam
status pengawasan intensif adalah sebagai berikut: a) Tingkat Kesehatan LJKNB ditetapkan
pada Peringkat Komposit 4 (empat) atau Peringkat
Komposit 5 (lima); b) Tingkat Kesehatan LJKNB ditetapkan pada Peringkat Komposit 3 (tiga) dengan peringkat faktor tata kelola
perusahaan yang baik pada peringkat 4 (empat) atau peringkat 5 (lima); atau c) memenuhi paramater kuantitatif.
Sementara itu berdasarkan
Pasal 5 POJK Nomor 9/POJK.05/2021, kriteria dari LJKNB yang berada dalam status pengawasan khusus adalah sebagai berikut: 1) Tingkat Kesehatan LJKNB ditetapkan
pada Peringkat Komposit 5
(lima) dengan penilaian faktor tata kelola perusahaan yang baik
pada peringkat 5 (lima); atau
2) Memenuhi paramater kuantitatif.
Dalam hal pemenuhan
parameter kuantitatif tersebut
apabila perusahaan asuransi memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Tingkat solvabilitas lebih kecil dari
80% (delapan puluh persen) dari modal minimum berbasis risiko
atau dana tabarru� minimum berbasis risiko; b) rasio likuiditas lebih kecil dari
80% (delapan puluh persen); c) Rasio kecukupan investasi lebih kecil dari
80% (delapan puluh persen);
Perusahaan perasuransian yang berada dalam status pengawasan khusus memiliki kewajiban, diantaranya sebagai berikut:
a.
menyampaikan
rencana tindak sesuai permasalahan yang dihadapi;
b.
menyampaikan
realisasi rencana tindak;
c.
menyampaikan
daftar pihak terkait secara lengkap;
d.
menyampaikan
laporan keuangan terkini;
e.
menyampaikan
rincian aset yang dikelompokkan berdasarkan tingkat likuiditas;
f.
menyampaikan
Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan LJKNB yang terkini;
g.
menyampaikan
laporan struktur terkini kelompok usaha terkait LJKNB, termasuk badan hukum
pemegang saham LJKNB sampai dengan kepemilikan terakhir;
h.
menyampaikan
laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu 1 (satu) bulan mendatang atau
berdasarkan periode laporan lain, yang terinci secara harian dan dengan
frekuensi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
i.
melakukan
tindakan lain dan/atau menyampaikan informasi dan dokumen lain yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pengawasan khusus yang dilakukan
oleh OJK memiliki jangka waktu 6 (enam) bulan serta dapat
diperpanjang sesuai dengan kesepakatan OJK dengan pihak yang bersangkutan. Namun apabila perusahaan perasuransian dianggap tidak dapat melakukan
kewajiban seperti yang telah disebutkan sebelumnya, juga tetap dalam kriteria yang tertera, maka OJK melalui Dewan Komisioner OJK berhak mencabut izin usaha perasuransian
tersebut.
Dalam hal OJK mencabut
izin usaha asuransi tersebut atas dasar perusahaan
asuransi memenuhi kriteria yang tertera dalam POJK, OJK juga tidak boleh lupa bahwa
selain kriteria dalam POJK tersebut terdapat juga asas-asas yang harus dipenuhi oleh OJK sebagai Lembaga pemerintah saat akan bertindak.
Bertindak disini berarti saat melaksanakan
tugas dan wewenang yang telah disebutkan sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 10 UU AP disebutkan setidaknya ada 8 (delapan) poin yang dinaungi oleh Asas Umum Pemerintahan
yang Baik, yaitu: a) Kepastian
hukum; b) kemanfaatan; c) Ketidakberpihakan; d) Kecermatan;
e) Tidak menyalahgunakan kewenangan;
f) Keterbukaan; g) Kepentingan
umum; h) Pelayanan yang baik.
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam
sebuah negara yang berlandaskan
hukum yang pastinya mengutamakan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajekan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Secara teoritis, asas kepastian hukum dibagi menjadi
dua aspek Akhmaddhian (2018), yaitu:
1.
Aspek hukum
material, asas ini mewajibkan untuk menghormati hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan keputusan
pemerintah, meskipun nantinya didapati keputusan
tersebut salah. Sehingga, demi kepastian hukum, keputusan yang telah
dikeluarkan pemerintah akan terus berlaku hingga diputus pengadilan sebaliknya.
2. Aspek hukum formal,
mengartikan
keputusan pemerintah baik yang
memberatkan maupun yang menguntungkan harus disampaikan dan dibuat dengan kata-kata yang jelas. Pihak yang berkepentingan berhak
untuk mengetahui dengan tepat apa maksud atau kehendak dari keputusan tersebut dan jangan sampai dibuat bingung
dengan maksud keputusan tersebut.
Asas kemanfaatan berarti manfaat yang harus diperhatikan oleh Lembaga pemerintah secara seimbang Sukmadewi (2022) antara: 1) Kepentingan
individu yang satu dengan individu yang lain; 2) Kepentingan individu dengan masyarakat; 3) Kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing; 4) Kepentingan kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain; 5) kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat;
6) Kepentingan generasi sekarang dengan generasi yang akan datang; 7) Kepentingan manusia dengan ekosistemnya; dan 8) Kepentingan pria dan wanita.
Asas Ketidakberpihakan adalah asas yang mengharuskan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan atau melakukan keputusan atau tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para
pihak secara keseluruhan dan tidak berat sebelah. Asas Kecermatan menghendaki bahwa suatu keputusan
atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung
legalitas penetapan atau pelaksanaannya sehingga keputusan atau tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum
ditetapkan atau dilakukan. Asas ini bertujuan agar aktivitas penyelenggaraan pemerintahan tentunya tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dengan demikian, saat mengeluarkan keputusan pemerintah harus meneliti semua fakta dan kepentingan yang relevan untuk dipertimbangkan.
Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap badan atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan lain yang tidak sesuai dengan
tujuan pemberian kewenangan, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan atau tidak mencampuradukkan kewenangan (Solechan, 2019). Ridwan HR menyebut sebagai asas tidak
mencampuradukkan kewenangan.
Dalam asas tidak mencampuradukkan kewenangan menghendaki pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenangnya secara melampaui batas.
Asas Keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskiminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia
negara.
Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mengutamakan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif (Hadiyono, Kurniaty, &
Noviasari, 2023). Asas kepentingan umum
atau asas penyelenggaraan kepentingan umum pada dasarnya menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan umum yaitu kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Contohnya, kepentingan warga negara yang tidak dapat dipelihara
oleh warga negara sendiri seperti persediaan sandang pangan, perumahan kesejahteraan, dan
lain-lain. Asas Pelayanan yang Baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur
dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar
pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akibat hukum yang terjadi
apabila perusahaan perasuransian telah dicabut izin usahanya
yaitu diberhentikan seluruh kegiatan usahanya serta wajib melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
dan juga membentuk Tim Likuidasi
untuk mengganti kerugian pihak-pihak yang dirugikan. Apabila salah satu atau kedua
pihak merasa dirugikan dengan keputusan OJK, maka para pihak melalui kuasa
hukumnya dapat mengajukan permohonan untuk dilakukannya penilaian kembali berdasarkan bukti yang ada serta berdasarkan
AUPB tersebut.
Kesimpulan
Selain daripada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perasuransian yang terdapat dalam POJK No.
9/POJK.05/2021, OJK juga harus menjadikan
AUPB sebagai bahan pertimbangan sebelum mengeluarkan putusan, terlebih lagi dalam
hal ini apabila
OJK mencabut izin usaha dari perusahaan
perasuransian.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Akmal, Syamsiyah, Nur, Arthawati, Sri Ndaru,
Syahrir, Sasmita Nabila, Andaningsih, I. G. P. Ratih, Rejekiningsih, Tri Wahyu,
Atmanti, Hastarini Dwi, Triani, Neks, Rohmi, Misfi Laili, & Ardana,
Yudhistira. (2023). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Get Press
Indonesia.
Afrianty,
Nonie, Isnaini, Desi, & Oktarina, Amimah. (2019). Lembaga Keuangan
Syariah. Zigie Utama.
Ajib,
Muhammad. (2019). Asuransi syariah.
Akhmaddhian,
Suwari. (2018). Asas-Asas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik untuk
Mewujudkan Good Governance. LOGIKA: Jurnal Penelitian Universitas Kuningan,
9(01), 30�38.
Azhar,
Muhamad. (2015). Relevansi asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam Sistem
penyelenggaraan administrasi Negara. Notarius, 8(2), 274�286.
Febriyani,
Annisa, & Anis, Ali. (2021). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan
Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di
Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi Dan Pembangunan, 3(4), 9�16.
Hadiyono,
Wahyu Cahyo, Kurniaty, Yulia, & Noviasari, Dilli Trisna. (2023). Analisa
Penerapan Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelaksanaan Pelayanan Publik
Berbasis Online sebagai Inovasi Pelayanan Publik. Borobudur Law and Society
Journal, 2(3), 118�127.
Hasan,
Muhammad, & Azis, Muhammad. (2018). Pembangunan Ekonomi &
Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan Manusia dalam Perspektif Ekonomi
Lokal. CV. Nur Lina Bekerjasama dengan Pustaka Taman Ilmu.
Kusdarini,
Eny. (2020). Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam Hukum Administrasi Negara.
UNY Press.
Marzuki,
Peter Mahmud. (2013). Penelitian hukum.
Muktar,
Bustari. (2016). Bank dan lembaga keuangan lain. Prenada Media.
Rizkita,
Rindy Putri, & Syarifuddin, Syarifuddin. (2023). Peran Asuransi Dalam
Kehidupan Humanisme Ditengah Pro-Kontra Masyarakat. Jurnal Pendidikan Dan
Konseling (JPDK), 5(1), 5736�5744.
Soerjono,
Soekanto. (1986). Pengantar penelitian hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.
Solechan,
Solechan. (2019). Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam pelayanan publik.
Administrative Law and Governance Journal, 2(3), 541�557.
Sukmadewi,
YSukmadewi, Y. D., & Utama, K. W. (2022). Relevansi Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik Dan Asas Kemanfaatan. Law, Development and
Justice Review, 5(1), 1�9.
Copyright holder: Priskila Paulina Kurnia, Christine ST. Kansil
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |