Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

URGENSI LEGALISASI PENGGUNAAN GANJA MEDIS DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA

 

Riska Andini Hasnabila, Rasji

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perencanaan legalisasi penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia sudah pernah dibicarakan dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang perubahan undang-undang narkotika oleh para legislator Indonesia. Pengujian terhadap undang-undang narkotika ini merupakan salah satu cara yang telah diupayakan dalam melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia, setiap individu memiliki hak untuk hidup dan hak atas kesehatan. Pemahaman tersebut tentunya berkembang dalam logika masyarakat mengenai pelarangan penggunaan ganja untuk kepentingan medis yang dianggap sama dengan melarang orang sakit untuk tetap hidup. Hal ini mengartikan bahwa negara telah gagal menjamin atas kehidupan warganya. Namun, di sisi lain, beberapa negara telah melegalkan ganja medis, seperti Thailand, Amerika Serikat, Belanda, Lebanon, Australia, dan juga Lebanon. Sedangkan di Indonesia sendiri masih melarang penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Dengan penelitian ini akan dikaji untuk menemukan alasan hukum dari pemerintah dalam kasus ganja medis di Indonesia. Masalah-masalah tersebut kemudian akan dianalisis menggunakan metode deskriptif analitis dengan untuk menemukan konsep-konsep baru terkait legalisasi ganja medis di Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa ganja medis akan mungkin memiliki potensi legal di masa depan. Urgensi ini juga didemonstrasikan oleh kemauan politik Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Kesehatan. Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan rekomendasi terkait wawasan pendidikan yang tepat tentang ganja medis dan potensi legalisasi di masa depan.

 

Kata Kunci: Hukum; Hak Asasi Manusia; Ganja; Medis.

 

Abstract

Planning to legalize the use of marijuana for medical purposes in Indonesia has been discussed in the discussion of a draft law on changes to narcotics laws by Indonesian legislators. Testing of this narcotics law is one way that has been attempted in legalizing the use of marijuana for medical purposes. Viewed from a human rights perspective, every individual has the right to life and the right to health. This understanding certainly develops in the logic of society regarding the prohibition of the use of marijuana for medical purposes which is considered the same as prohibiting sick people from staying alive. This means that the state has failed to guarantee the lives of its citizens. However, on the other hand, some countries have legalized medical marijuana, such as Thailand, the United States, the Netherlands, Lebanon, Australia, and also Lebanon. While in Indonesia itself still prohibits the use of marijuana for medical purposes. With this research, it will be studied to find legal reasons from the government in the case of medical marijuana in Indonesia. These problems will then be analyzed using analytical descriptive methods to find new concepts related to the legalization of medical marijuana in Indonesia. The study suggests that medical marijuana will likely have legal potential in the future. This urgency is also demonstrated by the political will of the Indonesian Ulema Council and the Ministry of Health. From this research, it is hoped that it will provide recommendations related to proper educational insights about medical marijuana and the potential for legalization in the future.

 

Keywords: Law; Human Rights; Marijuana; Medical.

 

Pendahuluan

Perencanaan legalisasi penggunaan ganja (cannabis sativa) untuk keperluan medis merupakan wacana yang terus berkembang dalam beberapa waktu terakhir (Murdomo, Ramadhani, Gomang, Wibiyanto, & Nugroho, 2021). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cangih, ganja medis tidak lagi dianggap sebagai narkotika ilegal yang hanya dianggap berbahaya (Ismansyah, Elvandari, & Sofyan, 2023).

Sementara itu, ganja mulai dilihat manfaatnya sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit tertentu. Salah satu contoh kasus, yang terjadi pada tahun 2017, terdapat seorang pria yang diduga menanam ganja di rumahnya sendiri sehingga hal tersebut membuatnya tertangkap oleh BNN (Badan Narkotika Nasional Indonesia). Padahal ganja tersebut akan digunakan untuk mengobati istrinya yang menderita penyakit Syringomyelia (Kumparan News, 2017).

Peristiwa tersebut menggambarkan pasal Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dua jenis pasal ini Indonesia mengatur penggunaan ganja medis bahkan dilarang untuk kebutuhan medis sebagaimana. Pria dalam kasus tersebut akhrinya dihukum 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar selama satu bulan waktu penahanannya (Sidik, 2020).

Menariknya, di beberapa negara di Eropa dan Amerika Selatan, ganja medis tidak hanya dianggap sebagai obat rekreasi, tetapi juga sebagai obat untuk beberapa penyakit serius seperti Alzheimer dan Arthritis (Petzke, T�lle, Fitzcharles, & H�user, 2022). Masyarakat di negara tersebut memahami manfaat tanaman ganja medis yang dapat digunakan sebagai pengobatan serta penghilang rasa sakit atau nyeri pasca proses operasi (Palace & Reingold, 2019).

Bahkan, dalam suatu penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Cancer Therapeutics mengemukakan bahwa terdapat zat yang terkandung pada ganja yaitu cannabidiol yang dapat membunuh gen yang disebut "Id-1" yang digunakan sel kanker untuk menyebar ke seluruh tubuh. Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) setuju bahwa kandungan cannabidiol atau THC tersebut memberikan manfaat medis dalam formulasi tertentu, beberapa obat berbasis THC yang disetujui adalah ronabiol (marinol) dan nabilone (cesamet), yang dapat diresepkan dalam bentuk pil untuk pengobatan mual muntah pada pasien pasca-kemoterapi. Obat ini juga membantu merangsang nafsu makan pasien dengan sindrom pemborosan akibat AIDS (Anywar et al., 2020). FDA juga telah menyetujui obat cair epidiolex sebagai obat untuk epilepsi, sindrom dravet, dan sindrom lennox gastaut (Wu, Zhang, Asher, & Thayer, 2019).

Sayangnya, penggunaan ganja untuk keperluan medis masih sangat terbatas di Indonesia baik pengaturan maupun hasil penelitiannya. Pasal 7 Undang-Undang Narkotika hanya mengizinkan penggunaannya dalam konteks kepentingan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-Undang Narkotika sendiri mengklasifikasikan ganja sebagai narkotika golongan I, yang merupakan kelompok yang dianggap sangat berbahaya dan seharusnya tidak digunakan bahkan dalam dunia medis. Semua tanaman ganja dilarang digunakan dari mulai daun, akar, batang, maupun bijinya. Maka dari itu, halasan tersebut yang menjadikan ganja kemudian termasuk dalam daftar yang sama dengan berbagai obat terlarang lainnya, seperti meth, heroin, kokain, dan ekstasi.

Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, masyarakat semakin dinamis dalam menanggapi setiap isu yang beredar. Negara-negara yang sebelumnya turut serta dalam Konvensi Tunggal PBB kini mulai melegalkan ganja. Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan beberapa negara lainnya telah melegalkan ganja meskipun masih dalam batasan tertentu. Hingga tahun 2022, 37 negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan penggunaan ganja sebagai bahan obat (Cable News Network Indonesia, 2022). Banyak negara juga telah mulai membuka ruang penelitian khusus terkait manfaat ganja di bidang medis.

Meskipun secara hukum diperbolehkan melakukan penelitian tentang ganja, mendapatkan izin hukum dan produk ganja masih merupakan tantangan. Sejauh ini, ganja hanya dapat diperoleh melalui BNN atau Kementerian Kesehatan selama itu dimaksudkan untuk penelitian dan pendidikan. Sayangnya, seiring dengan berkembangnya isu legalisasi ganja di bidang medis, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Wacana yang ada belum dapat menjawab apakah ganja bermanfaat atau merugikan.

Masih sangat sedikit literatur dan penelitian tentang ganja di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kesulitan akses terhadap penelitian ganja yang legal. Upaya untuk melegalkan ganja akhirnya dibawa ke pengadilan, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi dengan menguji Undang-Undang Narkotika. Praktik seperti ini merupakan cara praktis untuk melegalkan ganja seperti yang terjadi di beberapa Negara. Meskipun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian Undang-Undang Narkotika melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Agung memberikan perintah yudisial kepada pemerintah untuk melakukan penelitian lebih lanjut jika akan melegalkan ganja untuk keperluan medis.

Berdasarkan uraian diatas, penulis akan membahas mengenai: 1) Apa dasar hukumnya Hakim Konstitusi dalam putusan menolak uji materi UU Narkotika. 2) Bagaimana potensi legalisasi ganja medis di Indonesia dalam pemenuhan hak atas kesehatan di Indonesia?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini mencoba untuk menemukan alasan hukum pemerintah Indonesia dalam kasus ganja medis. Masalah-masalah ini kemudian dianalisis menggunakan metode preskriptif dengan berdasarkan metode normatif untuk menemukan konsep-konsep baru terkait legalisasi ganja medis di Indonesia (Irwansyah, 2020).

�����������

Hasil dan Pembahasan

Pertimbangan Hakim dalam putusan No. 106/PUU- XVIII/2020?

Kasus Upaya legalisasi ganja melalui jalur pengadilan sudah telah beberapa kali disidangkan oleh Kejaksaan Agung bangsa Indonesia dengan menguji UU Narkotika. Misalnya Putusan No. 106/PUU- XVIII/2020. Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa meskipun menggunakan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan di setidaknya beberapa negara, termasuk Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Polandia, Rumania, Kolombia, Swiss, Turki, Portugal, Spanyol, Selandia Baru, dan Thailand, tetapi faktanya undang-undang tidak serta merta dapat dijadikan parameter, bahwa semua jenis narkotika dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara.

Ini wajar, mengingat perbedaan karakter baik jenis bahan narkotika, struktur, maupun hukumnya budaya masyarakat masing-masing negara. Dari perspektif Indonesia, meskipun diperoleh fakta hukum bahwa banyak orang menderita penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin terjadi �dapat disembuhkan� dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika (ganja) tertentu, secara tidak langsung sebanding dengan besarnya akibat yang ditimbulkan jika tidak ada kesiapan, terutama yang berkaitan dengan struktur hukum dan budaya masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang diperlukan belum sepenuhnya tersedia.

Apalagi terkait pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi. Oleh karena itu,penggunaan Narkotika Golongan I di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur sebagai diuraikan di atas bahkan jika ada kemungkinan urgensi untuk penggunaannya. Mahkamah menambahkan bahwa pengelompokan narkotika ke dalam tiga golongan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Narkotika, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III adalah Hal ini penting dilakukan, mengingat sifat dari ketiga jenis narkotika tersebut memiliki perbedaan dampak.

Demikian pula mengenai akibat hukum yang ditimbulkan, apabila terjadi penyalahgunaan penggunaan Narkoba yang dapat menimbulkan bahaya, tidak hanya berkaitan dengan ancaman nyawa, tetapi juga terhadap manusia secara luas kehidupan (Majid, 2020).

Oleh karena itu, sangat relevan jika pembagian jenis golongan narkotika tetap dipertahankan digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengkajian dan penelitian, dan penegakan hukum bila terjadi penyalahgunaan (Alghifary, 2023). Karena setiap jenis golongan narkotika memiliki dampak yang berbeda, terutama dalam hal tingkat ketergantungan, dalam menentukan jenis-jenisnya narkotika yang ditetapkan ke dalam golongan golongan narkotika tertentu memerlukan pengaturan yang sangat ketat metode ilmiah.

Berdasarkan Penjelasan UU Narkotika dapat diketahui jenis Narkotika, Golongan I telah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Narkotika Hukum hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, dan sangat berpotensi menimbulkan ketergantungan. Demikian dari batasan-batasan imperatif dimaksud secara sederhana dapat dipahami bahwa Narkotika Golongan I adalah jenis Narkotika yang memilikidampak yang paling serius dibandingkan dengan jenis narkotika lainnya.

Jadi, dalam hal penggunaan Kelas I Narkoba, tidak lepas dari kepenuhan syarat yang sangat ketat tersebut, apalagi jika akan terjadi perubahan penggunaannya menjadi kegunaan lain (berbeda) yang berpotensi menimbulkan korban jiwa manusia, jika kajian dan penelitian ilmiah tidak dilakukan terlebih dahulu. Penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan dan/atau terapi kesehatan, sama dengan keinginan mengubah penggunaan Narkotika golongan I yang secara imperatif hanya diperbolehkan untuk kepentingan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Pembatasan pemanfaatan tersebut tidak terlepas dari pertimbangan bahwa Narkotika golongan I jenis ini sangat berpotensi menimbulkan ketergantungan. Oleh karena itu, penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi tidak ada bukti adanya kajian dan penelitian yang komprehensif dan mendalam secara ilmiah di Indonesia sehingga tidak bisaditerima karena alasan rasionalitas, baik secara medis, filosofis, sosiologis, dan secara yuridis.

Mahkamah menggaris bawahi bahwa sementara ada beberapa negara bagian yang lega, itu tidak bisa perlu digeneralisasi bahwa negara-negara yang belum atau belum melegalkan penggunaan secara bebas narkotika maka dapat dikatakan belum optimalnya manfaat dari narkotika tersebut. Menariknya, meskipun Pengadilan tidak dapat menerima dasar hukum untuk pengesahan tersebut ganja, sebenarnya dapat memahami kondisi sosial orang yang menggunakan Golongan I jenis narkotika untuk terapi dalam penyembuhan penyakit tertentu. Namun, mengingat ini belum hasil kajian dan penelitian ilmiah yang sahih, dengan tetap memperhatikan akibat atau dampak yang ditimbulkannya dapat terjadi jika dilegalkan.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi Pengadilan untuk mendorong penggunaan narkotika golongan I setelah dilakukan kajian dan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan kemungkinan pemanfaatan golongan tersebut Jenis Narkotika untuk pelayanan dan/atau terapi kesehatan. Selanjutnya, hasil ilmiah pengkajian dan penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembuat undang-undang dalam merumuskan kemungkinan perubahan kebijakan terkait penggunaan Narkotika golongan I.

Adapun perlu adanya kepastian bahwa Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan tersebut pelayanan kesehatan dan/atau terapi melalui pengkajian dan penelitian yang bersangkutan, pada satu sisi juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan keselamatan kepada masyarakat dari bahaya menggunakan jenis Narkotika Golongan I yang sangat berpotensi menimbulkan ketergantungan.

Oleh karena itu, sangat penting sebelum ada hasil penilaian dan penelitian, jenis Kelas Narkotika hanya benar-benar digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk apa pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Bahkan bagi penyalahguna Narkotika Golongan I yang ada diancam secara melawan hukum dengan pidana penjara yang berat sebagaimana diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 UU No

UU Narkotika. Sanksi ini disebabkan karena negara ingin melindungi bangsa dan negaranya keselamatan negara dari bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya Narkotika Golongan I. Dengan demikian, perlindungan terhadap masyarakat benar-benar dapat terwujud karena jenis Narkotika GolonganSaya harus tetap dipandang sebagai jenis narkotika yang paling berbahaya, apalagi jika dikaitkan dengan dampak ketergantungannya yang sangat tinggi.

Jika ditelaah lebih jauh, perlu adanya kepastian bisa atau tidaknya jenis Narkotika Golongan I dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi sudah lama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika, yang sudah mencantumkan �larangan tegas penggunaan narkotika golongan I untuk terapi�. Di lain dengan kata lain, �fenomena� yang sebenarnya mengenai perlunya penggunaan jenis Narkotika Golongan I untuk tujuan terapeutik sudah muncul sejak sebelum Undang-Undang Narkotika diundangkan.

Dengan demikian, melalui Putusan Said, MK kembali menegaskan bahwa pemerintah harus segeramenindaklanjuti Keputusan tentang pengkajian dan penelitian jenis Kelas I Narkotika untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi yang hasilnya dapat dimanfaatkan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini kemungkinan perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang untuk mengakomodir kebutuhan tersebut. Ini karena penyerahan wewenangoleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang didasarkan pada fakta bahwa UU Narkotika tidak hanya itu mengatur penggolongan jenis narkotika tetapi juga mengatur sanksi pidana.

 

Potensi Legalisasi Ganja Medis Dalam Hal Pemenuhan Hak Atas Kesehatan di Indonesia

Sebagai negara hukum, Indonesia secara konsisten berusaha mewujudkan jaminan pemenuhan hak-hak setiap warganya, termasuk pemenuhan hak di sektor kesehatan. Beberapa norma hukum telah mengatur hak atas kesehatan, antara lain:

1. Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan layanan kesehatan, yang diperlukan sosial, serta hak atas jaminan pada saat menganggur, sakit, kecacatan, ditinggalkan oleh pasangannya, orang tua, atau keadaan lain yang mengakibatkan kemerosotan standar hidup yang terjadi di luar kekuasaannya.

2. Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya Hak yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yaitu bahwa negara peserta perjanjian mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.

3. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin, hidup dan memiliki kehidupan yang baik dan sehat lingkungan, dan memperoleh pelayanan kesehatan.

4. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: Setiap orang mempunyai hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Setiap orang berhak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

����������� Atas dasar beberapa norma hukum tersebut, ada yang mendukung upaya legalisasi ganja untuk keperluan medis lahir di Indonesia. Salah satu organisasi yang rajin berkampanye atau legalisasi Ganja sebagai kebutuhan medis adalah Lingkaran Ganja Nusantara (Lingkar Ganja Nusantara, selanjutnya disebut 'LGN'). LGN berpendapat bahwa ganja untuk kondisi medis tidak dapat diganti dengan obat lain karena permintaannya sama spesifiknya dengan dosis tertentu (Rasmi, Mengge, & Raf, 2022);(Tarigan & Naibaho, 2020).

Beberapa kasus penyakit langka di Indonesia membutuhkan ganja sebagai komoditas medis. Misalnya dalam kasus Fidelis Ari Sudarwoto. Fidelis adalah PNS asal Provinsi Kalimantan Barat yang ditangkap BNN karena tumbuh ganja. Alasan Fidelis menanam ganja itu untuk pengobatan istrinya, Yeni, yang menderita penyakit Syringomyelia. Fidelis mengumpulkan informasi untuk menyembuhkan penyakitnya, Fidelis melakukan ekstraksi ganja sendiri dengan mencampurkan ganja ke dalam makanan istrinya dan minum. Sehingga membuat istrinya sulit makan, melahap, dan berbicara dengan lancar (Murdomo et al., 2021).

Selain Syringomyelia, berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, penyakit tertentu dan gangguan kesehatan juga memerlukan ganja medis, seperti: 1) penyakit Alzheimer; 2) Kehilangan nafsu makan; 3) Kanker; 4) penyakit Crohn; 5) Penyakit yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS atau Multiple Sclerosis (MS); 6) Gangguan makan seperti anoreksia; 7) Epilepsi; 8) Glaukoma; 9) Kondisi kesehatan mental seperti skizofrenia dan stres pascatrauma gangguan (PTSD); 10) Sklerosis multipel; 11) Kejang otot; 12) Mual; 13) Kejang; dan 14) Wasting syndrome (cachexia) (Solahuddin, 2022).

Banyak penyakit dan masalah kesehatan, seperti tersebut di atas, memerlukan perawatan dan pengobatan menggunakan mariyuana medis. Jadi, dengan kajian ilmiah dan penelitian, pemerintah perlu mengambil kebijakan terkait pemenuhannya hak kesehatan warga negara dalam konteks penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.��������� Hal ini semakin diperkuat dengan amanat yang tegas dalam Pasal 7 dan 8 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana Narkotika dan/atau Narkotika golongan I dapat dimanfaatkan kebutuhan medis, penelitian, dan pendidikan.

Oleh karena itu, jika mengacu pada ketentuan tersebut, secara hukum dan mengikat, orang dapat menggunakan ganja untuk tujuan medis. Namun, untuk menghindari penggunaan ganja secara ilegal dengan dosis yang tidak sesuai dengan takaran, Pemerintah harus segera menanggapi Pasal 7 dan 8 UU Kesehatan dengan peraturan teknis lainnya, misalnya dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan atau dalam bentuk yang lebih tinggi melalui sebuah Peraturan Presiden.

Melalui keterikatan norma hukum yang tampak, BNN dan Polisi diharapkan tidak sembarangan menangkap pengguna ganja untuk kebutuhan medis. Ini karena masyarakat mendapatkan perlindungan hukum untuk memenuhi hak kesehatannya. Beberapa elemen dan organisasi masyarakat telah memberikan dukungan terkait hal tersebut proyeksi legalisasi ganja medis di Indonesia. Ikhsan Abdullah, di Eksekutif Direktur Indonesia Halal Watch (IHW) bahkan menyebut legalisasi medis ganja sebenarnya tidak membutuhkan instrumen hukum tambahan atau semacam fatwa dari pihak yang berwenang MUI (Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Indonesia) (Mukhtar, 2022).

Hal ini dikarenakan Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana Narkotika dan/atau Narkotika Golongan I, dapat digunakan untuk keperluan medis, penelitian dan pendidikan. Sementara itu, sampai artikel ini ditulis, MUI belum mengeluarkan fatwa tentang penggunaan ganja untuk tujuan medis. Komisi fatwa MUI masih melakukan penelitian dan kajian terkait untuk legalisasi ganja medis (Priyasmoro, 2022). Di sisi lain, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan kajian tentang penggunaan mariyuana medis. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia juga berjanji akan melakukan kajian terkait wacana amandemen Narkotika Hukum.

����������� Demikian proyeksi mengenai legalisasi ganja medis di Indonesia ke depan kondisi yang sangat mungkin untuk direalisasikan. Meskipun demikian, perlu untuk memperkuat keduanya pendekatan fatwa agama dan penelitian ilmiah terkait dengan proyeksi legalisasi tersebut ganja medis. Beberapa lembaga pemberi fatwa, seperti Tarjih Muhammadiyah Dewan atau Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, dua aliran Islam terkemuka di Indonesia, diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran ijtihad melalui pendekatan agama Islam (Al-Fatih & Aditya, 2019).

Selanjutnya, pemerintah juga cenderung memberikan perhatian melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) untuk melakukan penelitian dengan topik ganja medis. Karena Indonesia itu tanah air umat Islam sebagai mayoritas, sehingga sangat penting untuk memiliki fatwa besar oleh MUI dan sebagainya pada, untuk memperkuat regulasi dan prospek legalisasi ganja medis di masa depan (Nur�han, 2023). Kolaborasi ilmiah dan ijtihad agama akan memberikan kejelasan dan lugas proyeksi terkait upaya legalisasi ganja medis di Indonesia ke depan.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses legalisasi penggunaan ganja medis di Indonesia� masih membutuhkan waktu, perlu waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Pasal 7 dan 8 dalam Undang-undang Narkotika mengandung� aturan secara jelas dalam penggunaan ganja medis. Namun, peraturan yang berlaku di Indonesia perlu adanya norma hukum sebagai salah satu unsur kebijakan yang bersifat mengikat.

 

BIBLIOGRAFI

Al-Fatih, Sholahuddin, & Aditya, Zaka Firma. (2019). Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Lembaga Pemberi Fatwa Halal Di Beberapa Negara. Jurnal Wacana Hukum, 25(1), 68�79. https://doi.org/10.33061/1.jwh.2019.25.1.3033

 

Alghifary, Rappin Muhamad. (2023). ANALISA YURIDIS KRIMINALISASI TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH APARAT PENEGAK HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA. Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

 

Anywar, Godwin, Kakudidi, Esezah, Byamukama, Robert, Mukonzo, Jackson, Schubert, Andreas, & Oryem-Origa, Hannington. (2020). Data on medicinal plants used by herbalists for boosting immunity in people living with HIV/AIDS in Uganda. Data in Brief, 29, 105097. https://doi.org/10.1016/j.dib.2019.105097

 

Irwansyah. (2020). Penelitian Hukum, Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel (2nd ed.). Yogyakarta: Mirra Buana Media.

 

Ismansyah, Ismansyah, Elvandari, Siska, & Sofyan, Syofirman. (2023). Rehabilitasi Medik Terhadap Pasien yang Menggunakan Ganja Medis dalam Pengawasan Sebagai Pemenuhan Hak Atas Kesehatan di Indonesia. UNES Law Review, 6(1), 3390�3402.

 

Majid, Abdul. (2020). Bahaya Penyalahgunaan Narkoba. Alprin.

 

Murdomo, J. S., Ramadhani, Vidya Ratri, Gomang, Jovan Ramadhan, Wibiyanto, Dery Yoga, & Nugroho, Lanjar Jalu. (2021). Pandangan Hukum Pidana Terhadap Legalisasi Ganja di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum, 6(1), 12�19.

 

Nur�han, Siti Rahmawati. (2023). Legalisasi Ganja Medis Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam. UIN KH Achmad Siddiq Jember.

 

Palace, Zachary J., & Reingold, Daniel A. (2019). Medical cannabis in the skilled nursing facility: a novel approach to improving symptom management and quality of life. Journal of the American Medical Directors Association, 20(1), 94�98. https://doi.org/10.1016/j.jamda.2018.11.013

 

Petzke, Frank, T�lle, Thomas, Fitzcharles, Mary Ann, & H�user, Winfried. (2022). Cannabis-based medicines and medical cannabis for chronic neuropathic pain. CNS Drugs, 36(1), 31�44. https://doi.org/10.1007/s40263-021-00879-

 

Rasmi, Muhammad Zulkifli, Mengge, Buchari, & Raf, Nuvida. (2022). Perempuan dalam Gerakan Lingkar Ganja Nusantara. Jurnal Noken: Ilmu-Ilmu Sosial, 7(2), 182�191.

 

Tarigan, Maria, & Naibaho, Nathalina. (2020). Perbuatan Memberikan Ganja Kepada Orang Lain Sebagai Alternatif Pengobatan Ditinjau Dari Sifat Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana (Studi Kasus Fidelis Arie Sudewarto). Riau Law Journal, 4(1), 65�85.

 

Wu, Mariah M., Zhang, Xinwen, Asher, Melissa J., & Thayer, Stanley A. (2019). Druggable targets of the endocannabinoid system: Implications for the treatment of HIV-associated neurocognitive disorder. Brain Research, 1724, 146467. https://doi.org/10.1016/j.brainres.2019.146467

 

 

Copyright holder:

Riska Andini Hasnabila, Rasji (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: