Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
09, September 2022
�����������������������������������������������������������������������������
KEABSAHAN HUKUM AKTA PISAH HARTA DALAM PERKAWINAN SETELAH
PERKAWINAN DILANGSUNGKAN
Resia Monika1*,
Mella Ismelina Farma Rahayu2
1*,2 Tarumanagara University, Indonesia
Email: 1*[email protected],
2[email protected]
Abstrak
Penelitian ini mengkaji keabsahan hukum akta pisah harta
perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Fokus utama melibatkan aspek-aspek
formal dan materiil dalam pembuatan perjanjian pisah harta, serta implikasinya
terhadap pajak pasangan. Dalam konteks ini, kepatuhan terhadap undang-undang,
proses resmi, dan persetujuan dari pihak berwenang menjadi krusial.
Syarat-syarat materiil, seperti kejelasan informasi harta yang dipisahkan, dan
ketetapan perjanjian yang sulit diubah, menjadi faktor kunci dalam menjaga
keberlakuan hukum perjanjian. Selain itu, aspek agama juga menjadi pertimbangan
penting. Cacat yuridis yang mungkin timbul, seperti ketidaksesuaian dengan
undang-undang, kurangnya persetujuan resmi, dan ketidakpatuhan terhadap
nilai-nilai agama, dapat berdampak pada keberlakuan hukum perjanjian. Kesimpulannya,
pemahaman yang mendalam terhadap peraturan hukum, ketentuan formal, dan
nilai-nilai agama penting untuk menciptakan perjanjian pisah harta perkawinan
yang sah secara hukum dan berkelanjutan.
Kata Kunci: Akta Pemisahan Harta, Perkawinan, Keabsahan Hukum
Abstract
This research examines
the legal validity of the marital property separation deed after the marriage
has taken place. The primary focus involves the formal and material aspects of
creating a property separation agreement, along with its implications on the
couple's taxes. In this context, adherence to the law, formal processes, and
approval from the authorities is crucial. Material requirements, such as
clarity regarding the separated assets and the inflexibility of the agreement,
are key factors in maintaining the legal validity of the contract.
Additionally, religious aspects are also significant considerations. Potential
legal defects, such as non-compliance with the law, lack of official approval,
and non-adherence to religious values, can impact the legal validity of the
agreement. In conclusion, a profound understanding of legal regulations, formal
requirements, and religious values is essential in creating a legally valid and
sustainable marital property separation agreement.
Keywords: Marital Property
Separation Deed, Marriage, Legal Validity
Pendahuluan
Pernikahan adalah sebuah upacara atau proses pengikatan janji suci antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Di dalam ranah hukum perkawinan, pengaturan harta bersama menjadi perhatian
utama dalam konteks perceraian. Saat perkawinan berakhir, pemisahan harta
adalah tahapan krusial yang seringkali didasari oleh sebuah dokumen hukum, yang
dikenal sebagai akta pemisahan harta perkawinan. Keberadaan dokumen ini menjadi
landasan yang mengatur pembagian harta yang telah terakumulasi selama masa
perkawinan.
�Sebuah aspek kunci dalam
penyelesaian harta perkawinan saat terjadi perceraian adalah keberadaan akta
pemisahan harta perkawinan. Dokumen ini menjadi landasan hukum yang mengatur
pembagian harta yang telah terakumulasi selama masa perkawinan. Namun, meskipun
pentingnya peran akta pemisahan harta ini, pertanyaan mengenai keabsahannya
dalam proses hukum sering kali menjadi sorotan utama.
Permasalahan yang sering muncul terkait dengan pembagian harta bersama
antara mantan suami dan mantan istri dalam proses perceraian merupakan
persoalan yang kompleks dan seringkali memunculkan konflik yang sulit
diselesaikan. Saat hubungan perkawinan berakhir, aset yang terakumulasi selama
masa perkawinan menjadi fokus utama yang memicu ketegangan, pertikaian, dan
seringkali pertarungan hukum yang panjang.
Pemisahan harta bersama ini dapat melibatkan berbagai aset, mulai dari
properti, investasi, harta kekayaan, warisan, bahkan sampai hak atas kekayaan
intelektual. Ketidaksepakatan antara kedua belah pihak seringkali muncul, baik
terkait penilaian aset, pembagian proporsi, atau bahkan kepemilikan aset yang
menjadi subjek sengketa.
Selain itu, terdapat perbedaan yang signifikan dalam aturan hukum yang
mengatur pembagian harta bersama di berbagai yurisdiksi. Hal ini dapat
menyulitkan proses penyelesaian, terutama jika pasangan tersebut berasal dari
yurisdiksi yang berbeda atau memiliki aset di wilayah hukum yang berbeda pula.
Konflik juga dapat muncul akibat adanya perbedaan persepsi dan harapan yang
berbeda antara mantan suami dan mantan istri terkait apa yang dianggap sebagai
pembagian yang adil dan layak atas harta bersama. Pertanyaan moral dan
emosional juga seringkali ikut memperumit proses pembagian ini, menjadikan
pembicaraan terkait harta sebagai titik yang sensitif dan sering kali memicu
konflik emosional.
Pentingnya akta pemisahan harta perkawinan dalam konteks hukum perkawinan
dan perceraian menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahannya dalam proses hukum.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi validitas dan kekuatan hukum dari akta ini?
Bagaimana proses pembuatannya dan bagaimana aturan serta undang-undang yang
mengatur keberlakuan akta pemisahan harta ini dalam hukum perkawinan suatu
yurisdiksi?
Dalam pandangan ini, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan
menganalisis keabsahan hukum dari akta pemisahan harta perkawinan yang
dilakukan setelah proses perkawinan berlangsung. Analisis ini menjadi penting
karena kejelasan status hukum dari akta pemisahan harta sangat menentukan
validitas dan kekuatan hukumnya, yang pada gilirannya memengaruhi proses
pemisahan harta saat terjadi perceraian.
Melalui pemeriksaan dan analisis yang cermat terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi keabsahan hukum akta pemisahan harta perkawinan, artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait kekuatan hukum
dari dokumen ini dalam proses pemisahan harta pasangan yang bercerai setelah
perkawinan dilangsungkan.
Tujuan
Pernikahan
Dalam perspektif hukum Islam, tujuan perkawinan yang diatur dalam Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam menyiratkan beberapa prinsip yang mendalam. Mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawardah, dan rahmah merupakan pijakan yang mengarah
pada sebuah hubungan perkawinan yang seimbang, penuh kasih sayang, serta
memberikan rahmat dan kedamaian. "Sakinah" merujuk pada keharmonisan
dalam hubungan suami-istri yang diiringi dengan ketenangan batin dan emosional,
"mawardah" menyoroti aspek kasih sayang, dan "rahmah"
menekankan pada keberadaan saling memberi kasih sayang, toleransi, dan
kepedulian dalam berumah tangga
Dalam pandangan hukum Islam, tujuan perkawinan juga dipahami sebagai upaya
untuk berbakti kepada Allah dan memenuhi kodrat hidup manusia yang telah
ditetapkan sebagai hukum. Ini melibatkan pemenuhan kewajiban agama sekaligus
keberadaan suatu peradaban yang berlandaskan pada prinsip-prinsip agama.
Setiap agama memiliki pandangan yang unik terkait tujuan dari institusi
perkawinan. Dalam agama Kristen Protestan, tujuan utamanya ditekankan pada
pencapaian kebahagiaan melalui kesetiaan, kasih sayang, dan pemahaman antara
suami dan istri. Ini menekankan aspek pentingnya kesetiaan dan cinta dalam
membentuk hubungan yang harmonis
Dalam ajaran agama Hindu, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Ini menyoroti pentingnya keharmonisan
dalam hubungan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang damai dan seimbang
Sementara dalam agama Buddha, tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagiaan
dan kedamaian dalam kehidupan keluarga. Ini menekankan pentingnya kedamaian
batin dan kebahagiaan dalam konteks keluarga
Meskipun pandangan dan fokus dari setiap agama berbeda, pada intinya,
tujuan perkawinan menurut berbagai agama umumnya mengarah pada penciptaan
keluarga yang bahagia, harmonis, serta pencapaian kebahagiaan dan kedamaian
dalam kehidupan keluarga. Hal ini menegaskan pentingnya nilai-nilai seperti
cinta, kesetiaan, harmoni, dan tujuan spiritual dalam membangun hubungan perkawinan
yang kokoh dan bermakna.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia juga
menegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Konsep bahagia tidak hanya sekadar aspek kesenangan semata, tetapi juga
mencakup aspek kebahagiaan secara holistik, baik secara psikologis, emosional,
maupun spiritual bagi seluruh anggota keluarga. Sementara kekal menekankan pada
stabilitas dan ketahanan dalam hubungan perkawinan, menciptakan hubungan yang
mampu bertahan di berbagai situasi dan cobaan kehidupan.
Dengan demikian, tujuan perkawinan bukanlah sekadar bentuk hubungan antara
suami dan istri, tetapi juga merupakan fondasi bagi pembentukan sebuah keluarga
yang kokoh, penuh kasih sayang, dan dijalankan dalam bingkai ajaran agama.
Keselarasan antara tujuan perkawinan dalam hukum Islam dan hukum positif yang
mengatur perkawinan di Indonesia menekankan pada pentingnya menciptakan
hubungan yang tidak hanya harmonis antara pasangan suami-istri, tetapi juga
dalam membentuk suatu keluarga yang kuat, bahagia, dan abadi.
Putusnya
Perkawinan Menurut UU
Putusnya perkawinan menurut Undang-Undang di Indonesia merupakan proses
yang teratur dan diawasi oleh ketentuan hukum yang berlaku. Langkah pertama
dalam mengakhiri perkawinan adalah dengan mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama. Dalam gugatan ini, pihak yang ingin bercerai perlu memenuhi
persyaratan tertentu, seperti telah melewati masa percobaan hidup bersama dan
menyajikan alasan yang diakui oleh hukum.
Setelah gugatan diajukan, proses selanjutnya adalah persidangan di
Pengadilan Agama. Pada tahap ini, pasangan yang bercerai dapat mengemukakan
argumen dan bukti untuk mendukung atau menentang gugatan perceraian. Pengadilan
mempertimbangkan semua elemen ini sebelum mengeluarkan keputusan.
Keputusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama mencakup
berbagai aspek, seperti pembagian harta bersama, hak asuh anak (jika ada), dan
kewajiban finansial. Setelah putusan dikeluarkan, catatan resmi perceraian
dicatat di Kantor Catatan Sipil, mengakhiri secara resmi status perkawinan.
Pentingnya mematuhi putusan pengadilan juga menjadi bagian integral dari
proses perceraian. Pihak yang bercerai diharapkan untuk melaksanakan putusan,
termasuk pembagian harta dan pemenuhan kewajiban finansial sesuai dengan yang
diatur dalam keputusan pengadilan. Pelanggaran terhadap putusan ini dapat
mengakibatkan sanksi hukum
Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai putusnya perkawinan di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
Undang-Undang ini, Pasal 38 menyatakan bahwa perkawinan dapat berakhir karena
beberapa alasan, yaitu kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Poin ini menegaskan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi baik karena faktor
alamiah seperti kematian maupun karena keputusan pasangan untuk bercerai yang
diakui oleh hukum.
Selanjutnya, Pasal 39 UU Perkawinan lebih lanjut mengatur prosedur
perceraian. Perceraian dapat dilakukan berdasarkan dua metode, yaitu talak yang
merupakan perceraian yang diajukan oleh suami, dan gugat yang merupakan
perceraian yang diajukan oleh istri. Hal ini mencerminkan prinsip kesetaraan
dalam proses hukum mengenai perceraian di Indonesia.
Terkait dengan aspek hukum Islam, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
turut mengatur mengenai dasar-dasar perceraian. Beberapa alasan yang diakui
antara lain adalah perbuatan zina, kepemabukan, penyalahgunaan narkotika,
perjudian, atau alasan lain yang dianggap sulit disembuhkan. Juga, jika salah
satu pihak meninggalkan pasangan selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan
alasan yang sah, hal ini dapat menjadi dasar perceraian menurut KHI.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa putusnya perkawinan di Indonesia
diatur secara rinci oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang ini memberikan kerangka kerja hukum yang jelas terkait
alasan-alasan dan prosedur putusnya perkawinan, dengan mengakomodasi berbagai
kondisi dan prinsip hukum, termasuk prinsip-prinsip Islam yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam.
Harta dalam
Pernikahan
Harta dalam perkawinan, seperti yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, melibatkan konsep harta bersama dan
harta pisah. Harta bersama mencakup seluruh aset yang diperoleh oleh suami dan
istri selama perkawinan berlangsung. Di sisi lain, harta pisah adalah harta
yang dimiliki individu sebelum perkawinan atau yang diperoleh melalui warisan
atau hadiah, dan tetap menjadi milik pribadi pemiliknya.
Pengelolaan harta perkawinan diatur dengan prinsip kerjasama antara suami
dan istri, kecuali jika terdapat perjanjian pemisahan harta yang diakui secara
resmi. Pembagian harta bersama terjadi saat perceraian atau kematian, yang
dapat dilakukan melalui kesepakatan antara pihak-pihak terkait atau, jika
diperlukan, melalui putusan pengadilan.
Selain itu, Undang-Undang Perkawinan memberikan opsi untuk melakukan
pemisahan harta dengan membuat perjanjian khusus dalam akta perkawinan. Dengan
adanya perjanjian ini, harta yang diperoleh selama perkawinan dapat dijaga agar
tetap menjadi milik pribadi masing-masing suami dan istri. Perlindungan hak
pihak yang lebih lemah, terutama istri, juga menjadi perhatian dalam
undang-undang ini. Ketentuan khusus diterapkan untuk melindungi harta istri
yang diperoleh sebelum perkawinan atau yang berasal dari warisan atau hadiah.
Berdasarkan hasil pencarian, harta bersama dalam perkawinan menurut hukum
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Dalam praktiknya, harta bersama ini
dibagi secara seimbang antara mantan suami dan mantan istri apabila terjadi
perceraian
Metode
Penelitian
Penelitian ini mengadopsi metode analisis hukum dengan fokus pada keabsahan
akta pemisahan harta perkawinan. Tahapan awal melibatkan identifikasi
yurisdiksi hukum yang menjadi pusat perhatian, dimana studi mendalam terhadap
undang-undang perkawinan dan peraturan terkait dilakukan secara menyeluruh.
Analisis dokumen hukum, termasuk undang-undang perkawinan dan ketentuan terkait
pemisahan harta, menjadi langkah penting dalam menyusun kerangka penelitian.
Data� Primer, yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikuti peraturan perundangundangan yang berlaku seperti Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan beberapa aturan hukum lainnya yang masih
berkaitan dengan judul penelitian, misalnya KUHPerdata ataupun Kompilasi Hukum
Islam.
Data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan berupa
literature-literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Analisa data yang diperoleh dari penelitian yang sifatnya deskriptif
analisis dengan pendekatan yuridis empiris, dilakukan secara yuridis kualitatif
melalui penafsiran dan abstraksi, untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk
uraian-uraian (depenelitian)
Pemeriksaan lebih lanjut diarahkan pada akta pemisahan harta perkawinan
yang menjadi fokus penelitian. Evaluasi mendalam dilakukan mempertimbangkan
ketentuan pembagian harta, kesesuaian dengan hukum yang berlaku, dan pemenuhan
persyaratan formal dan materiil. Seiring dengan itu, penelusuran kasus hukum
terkait memberikan wawasan dari sudut pandang praktik hukum yang telah terjadi,
dan kasus-kasus ini menjadi pedoman dalam mengarahkan analisis lebih lanjut.
Hasil dan
Pembahasan
Hasil
Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menjadi pijakan utama yang mengatur
pemisahan harta perkawinan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa keberlakuan
pemisahan harta dapat diakui dengan adanya perjanjian pemisahan harta yang
dibuat secara tertulis. Ketentuan ini memberikan dasar hukum yang jelas terkait
prosedur dan persyaratan pemisahan harta perkawinan.
Keabsahan hukum akta pemisahan harta perkawinan memerlukan pemenuhan
beberapa syarat. Selain perjanjian tertulis, syarat formal mencakup kehadiran
pejabat pencatat perkawinan sebagai saksi formal. Disamping itu, syarat
materiil melibatkan persetujuan kedua belah pihak yang menjadi elemen kunci
dalam menjaga keabsahan hukum dari akta pemisahan harta.
Pejabat pencatat perkawinan memiliki peran kunci dalam menjamin keabsahan
hukum akta pemisahan harta. Dalam pembuatan akta pemisahan harta, kehadiran
mereka sebagai saksi formal memberikan legitimasi dan kekuatan hukum pada
perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri.
Berdasarkan hasil analisis beberapa sumber yang relevan, sejumlah temuan
signifikan terkait keabsahan hukum akta pemisahan harta perkawinan setelah
pernikahan dapat diidentifikasi. Pertama, perjanjian perkawinan diakui memiliki
keabsahan di mata hukum dan normatifnya diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
Undang-Undang Perkawinan, serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Selanjutnya, peran seorang Notaris dalam proses pembuatan perjanjian
perkawinan ternyata sangat penting, terutama dalam mengatur berbagai aspek yang
berkaitan dengan harta kekayaan. Perjanjian tersebut, sebagai temuan ketiga,
secara khusus membahas pengaturan harta kekayaan calon suami dan istri, dengan
tujuan utama mengatur konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang terkait dengan
aspek finansial
Yang tak kalah penting, temuan keempat menunjukkan bahwa perjanjian
perkawinan memperoleh kekuatan hukum terhadap pihak ketiga setelah mendapatkan
persetujuan dan pengesahan dari pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian ini
dapat dibuat baik sebelum maupun pada saat pernikahan berlangsung
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Pembahasan
Keabsahan hukum akta pemisahan harta perkawinan sangat tergantung pada
ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Pasal 35 UU Perkawinan
memberikan dasar hukum bagi pemisahan harta, namun dengan persyaratan tertentu,
terutama terkait perjanjian pemisahan harta yang harus dibuat secara tertulis
di hadapan pejabat pencatat perkawinan.
Kejelasan prosedur pembuatan akta pemisahan harta dan persyaratan formal
yang harus dipenuhi adalah faktor penting dalam menilai keabsahan hukumnya.
Penting untuk ditekankan bahwa transparansi dan kesepahaman kedua belah pihak
dalam proses pemisahan harta menjadi faktor kunci untuk menjaga keadilan dan
keabsahan hukum.
Dalam konteks ini, peran pejabat pencatat perkawinan sebagai saksi formal
dalam pembuatan akta pemisahan harta menjadi krusial. Keberadaan mereka
memberikan legitimasi dan keabsahan secara hukum terhadap perjanjian yang
dibuat oleh pasangan yang bersangkutan.
Perjanjian pisah harta setelah pernikahan merupakan suatu kesepakatan yang
dapat disusun sebelum atau selama berlangsungnya ikatan perkawinan, yang
kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Proses
pembuatan perjanjian ini melibatkan beberapa syarat dan prosedur yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak, serta dokumen-dokumen tertentu yang harus
diserahkan.
Dalam menyusun akta pisah harta, beberapa dokumen identitas seperti Kartu
Tanda Penduduk (KTP) calon suami dan istri atau suami dan istri, fotokopi Kartu
Keluarga, fotokopi akta nikah, serta surat pernyataan para pihak terkait jumlah
dan bentuk aset atau harta yang dimiliki selama perkawinan menjadi persyaratan
utama. Dokumen-dokumen ini memberikan dasar yang kuat untuk menyusun perjanjian
tersebut dengan merinci informasi mengenai harta bersama yang akan dipisahkan.
Perjanjian pisah harta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
kecuali terdapat ketentuan khusus di dalamnya yang mengatur waktu berlakunya.
Selama berlangsungnya perkawinan, perjanjian tersebut dapat mencakup berbagai
hal terkait harta atau perjanjian lainnya yang menjadi fokus kesepakatan antara
suami dan istri.
Penting untuk dicatat bahwa perjanjian pisah harta setelah menikah memiliki
sifat yang tetap dan sulit diubah atau dicabut tanpa adanya persetujuan dari
kedua belah pihak. Namun, jika terdapat kesepakatan antara suami dan istri,
perubahan atau pencabutan perjanjian dapat dilakukan dengan persetujuan
bersama.
Cacat yuridis yang mungkin terdapat dalam perjanjian pisah harta perkawinan
setelah perkawinan dilangsungkan melibatkan aspek-aspek krusial yang perlu
diperhatikan. Pertama-tama, perjanjian tersebut harus memastikan kesesuaian
dengan undang-undang yang berlaku. Jika terdapat ketidaksesuaian atau pertentangan
dengan ketentuan undang-undang, perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi
hukum, menandakan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Selanjutnya, proses resmi dan persetujuan dari pihak berwenang, khususnya
pegawai pencatat perkawinan, menjadi unsur kritis. Perjanjian pisah harta yang
tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan tidak didaftarkan ke
pengadilan negeri dapat mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut secara
hukum. Oleh karena itu, aspek administratif ini tidak boleh diabaikan dalam
rangka menjaga keabsahan perjanjian pisah harta.
Perjanjian pisah harta juga harus memenuhi syarat-syarat umum yang berlaku
untuk suatu perjanjian. Termasuk di dalamnya adalah kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan keberadaan suatu sebab yang
halal. Ketidakpatuhan terhadap syarat-syarat ini dapat menyebabkan cacat
yuridis dalam perjanjian tersebut.
Selain itu, aspek agama juga menjadi pertimbangan penting. Perjanjian pisah
harta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, dan hukum.
Dalam konteks ini, kepatuhan terhadap prinsip-prinsip agama menjadi faktor yang
mendukung keabsahan hukum perjanjian pisah harta perkawinan.
Proses penyusunan perjanjian pisah harta memerlukan diskusi mendalam antara
pasangan. Mereka harus secara bersama-sama menentukan ketentuan-ketentuan yang
akan diatur dalam perjanjian tersebut. Setelah itu, pasangan dapat mengajukan
perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis untuk disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau notaris. Proses pengesahan ini memberikan legalitas dan
keabsahan hukum terhadap perjanjian pisah harta yang telah disepakati.
Dari segi materiil, akta pemisahan harta harus mengandung informasi yang
jelas dan terinci mengenai harta atau perjanjian lainnya yang akan dipisahkan.
Penting untuk dicatat bahwa perjanjian ini memiliki karakter tetap dan sulit
diubah atau dicabut tanpa persetujuan kedua belah pihak.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa keputusan untuk memisahkan harta juga
dapat berdampak pada kewajiban pajak pasangan. Pisah harta dapat mempengaruhi
pengenaan Pajak Penghasilan setelah menikah, di mana penghasilan suami dan
istri dapat dikenakan pajak secara terpisah atas dasar tertulis kesepakatan
mereka.
Kesimpulan
Dalam proses pembuatan akta, kesesuaian dengan undang-undang menjadi hal
mendasar. Ketidakpatuhan atau pertentangan dengan regulasi dapat mengakibatkan
batalnya perjanjian. Pentingnya resmi dan persetujuan dari pihak berwenang,
seperti pegawai pencatat perkawinan, juga ditekankan karena merupakan langkah
administratif yang tidak boleh diabaikan.
Syarat-syarat materiil, termasuk kejelasan informasi mengenai harta yang
dipisahkan, menjadi faktor kunci dalam menjaga keberlakuan hukum perjanjian.
Selain itu, ketetapan perjanjian yang sulit diubah menekankan pentingnya
kesepakatan antara suami dan istri.
Aspek agama juga menjadi pertimbangan penting, di mana perjanjian pisah
harta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, dan hukum.
Keberlakuan hukum perjanjian sangat tergantung pada sejauh mana perjanjian
tersebut memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Keseluruhan, pemahaman mendalam terhadap peraturan hukum, ketentuan formal,
dan nilai-nilai agama menjadi kunci dalam menciptakan perjanjian pisah harta
perkawinan yang sah secara hukum dan mampu menjaga keadilan serta keberlanjutan
hubungan keluarga.
BIBLIOGRAFI
Basuki, K.
(2019). Pengertian Perkawinan. ISSN 2502-3632 (Online) ISSN 2356-0304
(Paper) Jurnal Online Internasional & Nasional Vol. 7 No.1, Januari � Juni
2019 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, 53(9), 1689�1699. www.journal.uta45jakarta.ac.id
Fariza, N.
(2015). Keabsahan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan berdasarkan
perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan (studi kasus putusan Mahkamah
Agung Nomor 2901 K /PDT/2012 = The validity of asset separation in marriage
based on prenuptial agreement made af. Universitas Indonesia.
Hartanto, D.
A. (2019). Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Positif dan Hukum Agama di
Indonesia. YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 10(2),
137. https://doi.org/10.21043/yudisia.v10i2.5877
Hyma
Puspytasari, H. (2020). Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan
Hukum Positif. Jatiswara, 35(2), 129�143. https://doi.org/10.29303/jatiswara.v35i2.252
Liky, F.
(2015). Harta Bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, 8(2), 1�26. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijtimaiyya/article/view/912
Pratitis, S.
A., & Rehulina. (2023). Keabsahan Perjanjian Pra Nikah dan Akibat Hukumnya
Ditinjau dari Perspektif Hukum. Jurnal Hukum �, 2(2), 56�73. https://ejurnal.politeknikpratama.ac.id/index.php/jhpis/article/view/1593
Prayipto, B.,
& Mulati. (2021). Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dalam
Dinas Terkait. 4(1), 1181�1201.
Remaja, I. N.
G. (2005). Makna Perkawinan Dalam Perspektif Hukum dan Agama Hindu. Pariksa
- Jurnal Hukum Agama Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 76�83.
Rosidi, A.
(2015). Mereguk Kedamaian dalam Perkawinan Satu Agama. Harmoni, Jurnal
Multikultural & Multireligius, 14(3), 166�178.
Shamad, M. Y.
(2017). Hukum Pernikahan dalam Islam. Istiqra�, 5(1), 76.
Sopiyan, M. (2023). Analisis
Perjanjian Perkawinan Dan Akibatnya Menurut Undang-Undang Perkawinan Di
Indonesia. Misykat Al-Anwar Jurnal Kajian Islam Dan Masyarakat, 6(2),
175. https://doi.org/10.24853/ma.6.2.175-190
Copyright holder: Resia
Monika (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |