Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 11, November 2023

 

URGENSI PENANGGULANGAN OVER CAPACITY LAPAS SEBAGAI UPAYA PEMENUHAN HAK BAGI NARAPIDANA

 

Humaira Afdini, Amad Sudiro

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Email : [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Jenis penelitan yang digunakan oleh penulis adalah yuridis normatif, yaitu penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka disebut dengan penelitian Hukum Kepustakaan. Pertimbangan penulis dalam mempergunakan jenis penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan tentang Urgensi Penanggulangan Over Capacity Lapas Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Bagi Narapidana. Upaya penanggulangan Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia menganut dua konsep yang dimuat dalam RKUHP yang akan diberlakukan pada 2026 yaitu Tujuan Pemidanaan dan Individualisasi Pidana. Pertama, tujuan pemidanaan diarahkan kepada pengayoman masyarakat, perlindungan masyarakat (social idefence), memasyarakatkan terpidana dengan melakukan pembimbingan, memulihkan dan menumbukan rasa penyelesalan dan rasa bersalah pada terpidana serta menciptakan keseimbangan antara masyarakat dan terpidana.

 

Kata kunci: Penanggulangan Over Capacity; Lapas; Narapidana

 

Abstract

The type of research used by the author is normative juridical, namely Legal research carried out by examining library materials called Literature Law research. The author's consideration in using this type of research is to know, analyze, and explain the Urgency of Overcoming Prison Overcapacity as an Effort to Fulfill Rights for Prisoners. Efforts to overcome the Overcapacity of Prisons in Indonesia adhere to two concepts contained in the RKUHP which will be enacted in 2026, namely the Purpose of Punishment and Criminal Individualization. First, the purpose of punishment is directed to community protection, community protection (social idefence), socializing convicts by guidance, restoring and crushing a sense of settlement and guilt in convicts and creating a balance between society and convicts

 

Keywords: Overcapacity Countermeasures; Prison; Inmate.

 

 

 

Pendahuluan

Kriminalitas merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara individu maupun kelompok yang melanggar hukum atau suatu tindak kejahatan sehingga menggangu stabilitas sosial dalam masyarakat. Kriminalitas merupakan sebuah tindakan yang bersifat negatif, dan dapat dilakukan baik oleh kaum perempuan maupun laki-laki, mulai masyarakat kelas bawah hingga masyarakat kelas atas pun bisa melakukan tindakan kriminal.�

Akibat perbuatan kriminalitas tersebut masyarakat dapat dijerat oleh pasal pasal yang berlaku, apabila hakim memutuskan hukuman bersalah maka pelaku kriminalitas tersebut dipidana sesuai dengan tuntutan dari hukum (Perkasa, 2020). Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah institusi dari sub sistem peradilan pidana yang mempunyai fungsi strategis sebagai pelaksanaan pidana penjara dan sekaligus sebagai tempat dibinanya narapidana. Sebelum dikenal istilah Lapas di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lapas merupakan institusi dari sub sistem peradilan pidana mempunyai fungsi strategis sebagai pelaksanaan pidana penjara dan sebagai tempat bagi pembinaan narapidana sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Fungsi Lapas ini sebenarnya sudah sangat berbeda dan jauh lebih baik dibandingkan dengan fungsi� penjara� ijaman� dahulu� dengan� dasar� hukum Peraturan Penjara (Gestichten� Reg lement� S.1917� No.� 708) (Benuf & Azhar, 2020).

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menegaskan tujuan pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana dan anak pidana untuk menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.

Sebagai tempat pembinaan narapidana, Lapas membina narapidana agar menjadi manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, yang memiliki kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, memiliki kemampuan intelektual dan berkesadaran hukum (Arsheldon, Simanjuntak, & Benuf, 2020).

Hal ini sesua dengan fungsi sistem pemasyarakatan yang merupakan suatu sistem perlakuan terhadap narapidana yang menganut konsep pembaharuan pidana penjara yang berdasarkan Pancasila dan asas kemanusiaan yang bersifat universal. Sistem ini menganut sistem mengintegrasikan narapidana ke dalam masyarakat melalui program-program pembinaan yang lebih memperhatikan hak-hak narapidana dibandingkan dengan sistem yang lama yaitu sistem kepenjaraan. Dalam menjalankan sistem pemasyarakatan� tersebut� dibutuhkan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat untuk� melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Mulyono & Arief, 2016).�

Narapidana sendiri ialah manusia pada umumnya yang karena kesalahannya melakukan pelanggaran hukum dan oleh hakim dijatuhi pidana, selain itu dalam sistem pemasyarakatan seorang narapidana tetap diakui sebagai anggota masyarakat sehingga di dalam proses pembinaannya tidak boleh di jauhkan dari kehidupan bermasyarakat.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan institusi dari sub sistem peradilan pidana mempunyai fungsi strategis sebagai pelaksanaan pidana penjara dan sekaligus seibagai tempat� bagi� pembinaan� narapidana sebagaimana diamanatkan dalam� Undang-Undang No� 22� Tahun� 2022� tentang� Pemasyarakatan.�

Fungsi Lapas ini sesungguhnya sudah sangat berbeda dan jauh lebih baik dibandingkan dengan fungsi penjara jaman dahulu dengan dasar hukum Peraturan Penjara Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Lapas dalam sistem pemasyarakatan selain sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara (kurungan) juga mempunyai beberapa sasaran srategis dalam pembangunan nasional.

Tujuan tersebut antara lain dinyatakan bahwa Lapas mempunyai fungsi ganda yakni sebagai lembaga pendidikan dan lembaga pembangunan. Namun demikian dalam perjalanan waktu tampak jelas bahwa tujuan pembinaan napi ini banyak menghadapi hambatan dan berimplikasi pada kurang optimalnya bahkan dapat menuju pada kegagalan fungsi sebagai lembaga pembinaan (Violina & Wibowo, 2021).

Permasalahan mendasar yang tampak riil adalah adanya kelebihan hunian (overcapacity) narapidana di Lapas-lapas hampir seluruh Indoneasia. Hal ini diungkapkan antara lain oleh mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi Andi Mattalatta, maupun Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM Untung Sugiyono. Hal senada juga dikemukakan oleh beberapa mantan napi seperti halnya Sussongko Suhardjo, Mantan Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum ketika menjalani masa pidana penjara (Kholiq, Arief, & Soponyono, 2015). ���

Beberapa contoh adanya overcapacity terjadi di Lapas Jakarta. Pada 2021, Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham) per 12 September 2021, kapasitas lapas di di 33 Kantor Wilayah (LKkanwil) untuk 134.835 ribu orang, tetapi jumlah penghuninya mencapai 271.007 orang. Artinya, terjadi kelebihan kapasitas penghuni lapas sebanyak 136.173 orang atau dua kali lipat dari total (101%).

Diantara kasus overkapasitas di Lapas, penulis memilih untuk mengambil bukti overkapasitas kepada salah satu Lembaga Pemasyarakatan yaitu Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Yang berdasarkan data tersebut pada 2021, didapatkan bahwa kapasitas dari Lapas Kelas I Cipinang adalah 880 namun dihuni oleh 3357 yang artinya sudah 281% melebihi kapasitas Lapas yang seharusnya.

Kemudian pada 2022, Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat 276.172 penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) pada 19 September 2022. Dengan demikian, terjadi kelebihan penghuni sebanyak 144.065 jiwa (109%) dari total kapasitas sebanyak 132.107 jiwa.

Menurut statusnya, terdapat 227.431 jiwa yang merupakan narapidana dan ada 48.741 jiwa yang merupakan tahanan. Pada 2022, Lapas Kelas I Cipinang masih memiliki permasalahan yang sama yaitu overkapasitas yang dimana hanya dapat menampung 880 narapidana, namun dihuni oleh 3199 warga binaan yang artinya Lapas ini kelebihan muatan 2324 penghuni.

 

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melaporkan, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia mencapai 265.897 orang per 24 Maret 2023. Jumlah tersebut telah melebihi total kapasitas lapas di dalam negeri yang sebesar 140.424 orang.

Fenomena tersebut di atas jelas bukan merupakan faktor kondusif bagi suatu proses pembinaan narapidana yang muaranya mencapai tujuan pemidanaan antara lain reintegrasi sosial dan dapat kembali diterima oleh masyarakat serta dapat menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat seperti anggota masyarakat lainnya (Fadhil, 2020). Dalam beberapa politik pemasyarakat bahkan diharapkan selepas kembali hidup di masyarakat akan dapat menjadi manusiapembangunan dengan bekal pembinaan yang diperoleh di dalam Lapas selama menjalani pidana penjara (Enggarsasi & Sudahnan, 2015).

 

Metode Penelitian

Jenis penelitan yang dipergunakan oleh penulis adalah yuridis normatif Marzuki (2013), yaitu penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka disebut dengan penelitian Hukum Kepustakaan. Pertimbangan penulis dalam mempergunakan jenis penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan tentang Urgensi Penanggulangan Over Capacity Lapas Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Bagi Narapidana.

Dalam penelitian hukum yuridis normatif ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta iapproach).� Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan karena yang menjadi bahan kajian utam adalah peraturan� perundang-undangan� tentang� Urgensi� Penanggulangan� Over� Capacity� Lapas� Sebagai� Upaya� Pemenuhan� Hak� Bagi� Narapidana. ���

�����������

Hasil dan Pembahasan

Overcapacity terjadi karena laju pertumbuhan penghuni lapas tidak sebanding dengan sarana hunian lapas. Presentase input narapidana baru dengan output narapidana sangat tidak seimbang, dengan perbandingan input narapidana baru jauh melebihi output narapidana yang selesai menjalani masa pidana penjaranya dan keluar dari lapas.� Beberapa kasus tindak pidana yang menimbulkan banyaknya narapidana baru berkaitan dengan peningkatan yang sangat pesat pada terjadinya tindak pidana khususnya yang berkaitan dengan narkoba, pencurian serta kekerasan terhadap anak.

Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu bagian yang penting dalam pembangunan sistem hukum pidana bidang pelaksana pidana di Indonesia. Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan pengembangan konsepsi umum mengenai sistem pemidanaan.

Pasal 1 huruf (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mcngenai arah dan batas serta metode pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan secara terpadu. Dalam Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi Pembinaan terhadap Narapidana (Adhari, 2021).

Berdasarkan data dari Direktoral Jenderal Pemasyarakatan sampai akhir tahun 2019, jumlah lapas dan rutan diseluruh Indonesia mencapai 528 dengan kapasitas Warga Binaan Pemasyarakatan yakni sebanyak 130.522 orang. Sedangkan faktanya� dilapangan bahwa� jumlah Warga binaan Pemasyarakatan yan menghuni lapas� dan� rutan� sebanyak 269.846 orang, sehingga� terdapat� Overcrowded sebanyak 107 persen. Berdasarkan data yang dihimpun Bulan Juni 2020 Jumlah Penghuni Lapas Sebanyak 230.310 orang yang terdiri dari Tahanan sebesar 50.276 dan Narapidana 180.084 (Amrullah & Wibowo, 2021).

Hal ini menunjukkan bahwa Lembaga pemasyarakatan di Indonesia sedang mengalami kelebihan kapasitas yang mencapai angka 74% dalam skala nasional. Dari 33 Kanwil yang berada di Indonesia hanya ada 10 Kanwil yang tidak mengalami kelebihan kapasitas yaitu Kanwil D.I Yogyakarta, Kanwil Gorontalo, Kanwil Maluku, Kanwil Maluku Utara Kanwil Nusa tenggara Timur, Kanwil Papua, Kanwil Papua Barat, Kanwil Sulawesi Barat, Kanwil Sulawesi Tenggara dan Kanwil Sulawesi Utara.�

Pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan seperti perbaikan bangunan atau rehabilitasi� hingga� pembuatan� gedung� baru� untuk� menambah daya� tampung. Kondisi demikian merupakan permasalahan serius yang harus segera terselesaikan. Seperti yang disampaikan Woolf, �dalam mengelola lapas perlu memperhatikan faktor yang memperburuk kondisi dalam lapas, diantaranya: kepadatan penjara yang extreme; kelebihan penghuni; keadaan penjara yang buruk; kerusuhan diantara para tahanan dan lainnya. Kondisi tersebut diperburuk dengan terjadinya bencana non alam� Corona� Virus Disiase� 2019� (Covid-19)� yang telah� menyebar� dan� menimbulkan� jumlah� korban� dan kerugian harta beda yang semakin� meluas dan masif di Indonesia (Jufri & Anisariza, 2017).� �

Masalahnya adalah terletak pada hubungan antara pemidanaan dengan pemasyarakatan harus dikembalikan konsep rasionalitas mekanisme upaya penanggulangan kejahatan. Fokus dari upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya pada mencegah dan menanggulangi kejahatan tetapi juga dalam kebijakan sistem pemidanaan yang berorientasi pemasyarakatan. Perkembangan di lembaga pemasyarakatan dewasa ini mengalami problematika dimana salah satu permasalahan dan terdapat sebagian� lembaga pemasyarakatan� di� Indonesia� yaitu� masalah� kepadatan� narapidana.�

Kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia terjadi kepadatan dimana perbandingan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan dan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang tidak sebanding jumlahnya. Kepadatan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan terjadi oleh beberapa faktor penyebab. Namun terdapat faktor perlu mendapat perhatian khusus penyebab kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan. Faktor penyebab kepadatan narapidana di Lembaga pemasyarakatan terjadi bukan hanya karena meningkatnya kejahatan namun juga terjadi akibat dari sistem pemidanaan (Lukman, 2020).

Menurut Dwidja Priyatno (2021) menyatakan bahwa �Upaya mempercepat proses pembinaan narapidana tersebut merupakan tolak ukur peran strategis lembaga pemasyarakatan dalam keberhasilan proses pembinaan narapidana dan hal ini direkomendasikan sebagai alternatif yang paling banyak mendatangkan manfaat terutam dalam menanggulangi dampak kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan.� Upaya mempercepat reintegrasi ini sangat penting terkait masalah pembinaan yang dilakukan oleh petugas lembag pemasyarakatan dengan narapidana.

Upaya mengurangi kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan mempercepat reintegrasi narapidana adalah bagian dari kebijakan sistem pemidanaan yang berorientasi dengan pemasyarakatan. Upaya optimalisasi peningkatan mempercepat reintegrasi merupakan langkah strategis dalam mengatasi kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu diperlukan upaya mengurangi kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan mencari alternatif tindakan setelah pemidanaan yaitu mempercepat reintegrasi (Situmeang, 2020).

Selain banyaknya peningkatan pada terjadinya tindak pidana tersebut di atas, tampak nya terdapat beberapa faktor pendorong lain untuk terjadinya overcapacity paradigma atau faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang di maksud di sini utamanya hukum pidana materiil, formil serta hukum pelaksanaan pidana penjara. Sehubungan dengan hal tersebut Muhammad Isnur sebagai Ketua YLBHI misalnya menyatakan bahwa politik pemidaaan saat ini yang tidak tepat sehingga setiap orang dapat dengan mudah masuk penjara dan menyebabkan kondisi Lapas overcapacity.

Muhammad Isnur juga mendesak pemerintah merevisi Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang� Syarat� Dan Tata� Cara� Pelaksanaan� Hak� Warga� Binaan� Pemasyaratan yang memuat mengenai bagaimana tata cara dan pelaksanaannya secara jelas dan rinci, dalam hal pemenuhan hak-hak narapidana perlu perhatian yang cukup tinggi dari berbagai pihak karena pemenuhan hak� narapidana� ini� sangat� penting� mengingat� kaitannya� dengan hak asasi manusia sehingga hak-hak narapidana didapatkan secara maksimal sesuai undang-undang yang berlaku.

Pemenuhan hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami overicapacity yang cukup tinggi juga perlu mendapat perhatian khusus mengingat kapasitas seharusnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan (Marthaningtyas & Hidayatullah, 2021). Salah satu upaya penanggulangan Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia adalah dengan upaya pencegahan dalam pembaharuan hukum pidana yang perlu dilakukan guna mengantisipasi pelonjakan Narapidana yang terus menerus meningkat. Pelonjakan Narapidana disebabkan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling banyak dalam KUHP (Magrhobi, 2014).

Bila mengacu terhadap KUHP dalam Pasal 10, dijelaskan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana denda, pidana kurungan dan ditambah lagi pidana tutupan, dalam pelaksanaan pemidanaan hakim cenderung memutus perkara dengan menjatuhkan pidana penjara, hal ini dikarenakan sistem pemidanaan yang kaku dalam KUHP saat ini. Akan tetapi, dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang telah disahkan pada 6 Desember 2022 telah mengakomodir langkah-langkah yang diharapkan mampu mencegah terjadinya over kapasitas di Lembaga Permasyarakatan di antaranya Megawati (2019):

1. Reorientasi Tujuan Pemidanaan

Sistem pemasyarakatan di Indonesia sudah menerapkan teori integratif yang telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Unsur teori Integratif ada pada langkah untuk mengekang para pelaku tindak pidana dalam waktu tertentu sebagai langkah pembalasan atas perbuatan yang dilakukanya. Pengekangan yang dimaksud dilakukan pada �Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) dengan sistem maximum security�.

Unsur teori relatif terlihat dalam pelaksanaan tahapan-tahapan pembinaan yang dilaksanakan pada sistem permasyarakatan. Dilihat dari uraian diatas, maka pemberlakukan teori integratif dalam lembaga permasyarakatan memang tepat untuk diterapkan. Penerapan Teori Integratif dalam Lembaga Permasyarakatan belum mampu secara maksimal dalam mengurangi overkapasitas dalam Lapas dan Rutan karena jumlah pelaku tindak pidana dan tahanan semakin lama semakin banyak.

Banyaknya tahanan tersebut dikarenakan KUHP selaku aturan yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang tidak mengatur secara jelas dan eksplisit mengenai tujuan pemidanaan, sehingga para aparat penegak hukum selalu cenderung melakukan penuntutan dan hakim cenderung menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana, karena teori dan pemikiran yang dianut atau diyakini oleh aparat penegak hukum tidak satu pemikiran.

Prinsipnya Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pelaksanan pidana penjara juga berfungsi sebagai lembaga� pendidikan� dan� pembangunan, sebagai� lembaga pendidikan� artinya� Lembaga� Pemasyarakatan mendidik� (Salsabila, 2021). Narapidana untuk menjadi manusia yang berkualitas yaitu beriman kepada Tuhan dan berbudi pekerti yang luhur, dan sebagai lembaga pembangunan artinya menjadikan manusia yang produktif baik di dalam Lapas atau ketika sudah di masyarakat demi mensukseskan pembangunan nasional.

Sebagai alternatif upaya untuk mengurangi over kapasitas Lapas yaitu �program pembinaan narapidana pengurangan masa menjalani pidana dengan melakukan suatu pekerjaan baik merupakan ketentuan pelaksana pidana penjara melalui program pembinaan narapidana di dalam maupun diluar lembaga pemasyarakatan yang disediakan pemerintah atau lembaga sosial�. Alternatif ini dalam RUU KUHP disebut Pidana Kerja Sosial.

Oleh karena itu, maka diharapkan dengan berlakunya RUU KUHP dimasa yang akan datang yaitu pada masa berlakunya ditahun 2026 maka aparat penegak hukum harus beriorintasi terhadap pelaku dan korban sehingga penjatuhan pidana selalu memperhatikan kedua belah pihak yang selalu mengharapkan terciptanya keadilan (Kusumaningrum & Supatmi, 2012).

 

2. Konsep Individualisasi Pidana

Konsep Individualisasi Pidana yang berasal dari aliran pemidanaan modern. Menurut aliran ini, dalam mencari kejahatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata namun harus dilihat dan ditelusuri secara konkrit bahwa dalam kenyataanya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh faktor biologis, watak pribadi, dan perlindungan masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa aliran modern memiliki tujuan yang bersifat manusiawi untuk melindungi kepentingan si terpidana, sekaligus melindungi masyarakat yang di dalamnya termasuk korban tindak pidana yang menekankan agar pemidanaan harus memperhatikan tujuan dari pada pidana itu sendiri (Kusumaningrum & Supatmi, 2012). Hal ini merupakan salah satu jawaban atas permasalahan over kapasitas Lapas di Indonesia yang dikarenakan pidana penjara merupakan sanksi pidana paling banyak dan paling sering dijatuhkan di Indonesia.

Adanya konsep individualisasi pidana yang nantinya akan dibawa oleh RUU KUHP memiliki beberapa karakteristik, antara lain seperti: �Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal); Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: tiada pidana tanpa kesalahan); dan Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi isi pelaku, ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan /penyesuaian) dalam pelaksanaannya (Trisnawati, 2020).

Jadi mengandung asas fleksibilitas dan asas modifikasi pidana�. Pokok pemikiran individualisasi pidana beriorientasi pada faktor �orang� (pelanggar/pelaku tindak pidana). tujuan individualisasi pidana terwujud dari norma umum pemidanaan antara lain: Pertama, �tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana tanpa adanya kesalahan/nulla poena sine culpa/Keine Strafe ohne Schuld�; Kedua, alasan penghapus pidana khusus mengenai alasan pemaaf, dimaksudkan sebagai masalah �error� (kesalahan), pembelaan terpaksa, daya paksa yang melampaui batas, dan tidak ada kemampuan bertanggungjawab dan anak yang berusia dibawah 22 tahun.

Ketiga, Dalam pedoman pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan beberapa factor sebagaimana diatur dalam Pasal� 54 ayat (1) KUHP antara lain: �motif, sikap batin dan kesalahan� isi pembuat, cara� isi pembuat melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonominya serta bagaimana pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, pengaruh tindak pidana terhadap korban maupun keluarga korban, pemaafan dari korban dan/atau keluarganya, dan/atau padangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.�;

Empat, �dalam pedoman pemberian maaf/pengampunan, hakim mempertimbangkan faktor keadaan pribadi isi pembuat dan pertimbangan segi kemanusiaan�. Menurut Prof. Nyoman Serikat pengampunan hanya dapat diberikan kepada terpidana yang melakukan tindak pidana ringan atau yang di dalam RUU KUHP diancam dengan pidana penjara tidak lebih/dibawah satu tahun ; Kelima, dalam ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana harus mempertimbangkan kepribadian si pelaku baik dari segi fisik, psikis dan perekonomian;

Keenam, dalam penjatuhan pidana kedepannya hakim� akan diberikan lebih banyak opsi pemidanaan untuk mengurangi penggunaan sanksi pidana penjara, termasuk pemberian pidana tindakan; ketujuh, kedepannya hakim diperbolehkan untuk mengubah sanksi pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sesuai dengan perubahan/ perkembangan/perbaikan pada diri terpidana setelah menjalani masa tahanan; dan kedelapan, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka yang akan menanggung beban/bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan adalah pribadi/individu yang melakukan tindakan pidana tersebut dan pertanggungjawaban tersebut tidak dapat diwakilkan.

Berdasarkan pada pokok pikiran individualisasi pidana memberikan sebuah trobosan baru dalam sistem pemidanaan di Indonesia dimana hakim diberikan keleluasaan dalam memilih dan menentukan sanksi, baik itu pidana ataupun tindakan yang dianggap tepat atau sesuai bagi pelaku tindak pidana (Johari & Husni, 2021). Meskipun keleluasaan yang dimiliki ada batasannya, namun hakim tetap saja memiliki banyak opsi pemidanaan.

Pola jenis sanksi pidana dalam RUU KUHP terdiri dari jenis �pidana� dan �tindakan� yang masing-masing terdiri dari �1) Pidana terdiri atas: a) Pidana pokok terdiri atas: Pidana Penjara; Pidana tutupan; Pidana pengawasan; Pidana denda; dan Pidana kerja sosial. b) Pidana tambahan terdiri atas: Pencabutan hak tertentu; Perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan; Pengumuman putusan hakim; Pembayaran ganti rugi; Pencabutan izin tertentu; dan Pemenuhan kewajiban adat setempat� (Pebriana, 2020).

Sedangkan pidana yang bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancam secara alternatif. 2). Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa; �Konseling; Rehabilitasi; Pelatihan kerja; Perawatan di lembaga; dan/atau Perbaikan akibat tindak pidana�. Mencermati pandangan para pakar hukum pidana sekaligus perumus RKUHP maka dapat disimpulkan bahwa keberhasilan konsep individualisasi pidana dalam mengatasi over kapasitas di lembaga pemasyarakatan tergantung terhadap hakim yang menjatuhkan putusan di persidangan kepada pelaku tindak pidana.

Mengingat bahwa konsep individualisasi pidana hanyalah sebagai suatu pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana yang bermartabat dan sesuai dengan prinsip humanis tanpa menghilangkan rasa keadilan bagi korban tindak pidana. Sehingga dengan adanya konsep individualisasi pidana diharapkan dapat menghindari dijatuhkannya sanksi pidana yang dapat berakibat pada semakin meningkatnya over kapasitas di lembaga pemasyarakatan.

Berkaitan dengan upaya pemenuhan hak mendapatkan makanan dan pelayanan Kesehatan belum dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku dikarenakan beberapa faktor. Hal yang sama juga terjadi dalam pemenuhan hak-hak narapidana di lembaga pemasyarakatan. Hal lainnya bahwa Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Pada Tanggal 30 Maret 2020, telah Menetapkan �Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19�, yang selanjutnya disebut �Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lapas� (Rizky, 2020).

Keputusan menteri ini merupakan kebijakan pemerintah yang diambil dalam rangka �menyelamatkan Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara�. Pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan ini utamanya adalah karena kondisi Lapas, Lembaga Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, merupakan sebuah institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sehingga sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Pengeluaran dan pembebasan Narapidana dan Anak dilakukan melalui 2 (dua) cara.

Cara yang pertama yaitu melalui asimilasi, ketentuan seorang narapidana mendapatkan asimilasi yaitu �2/3 (dua per tiga) masa pidananya telah dilewati. Bagi Anak yaitu � (setengah) masa pidananya telah dijalani. Narapidana dan anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing, asimilasi dilaksanakan di rumah, Surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA, dan Kepala Rutan�.

Cara yang kedua yaitu melalui integrasi, adapun ketentuan Narapidana untuk mendapatkan integrasi yaitu �telah menjalani 2/3 masa pidana, bagi Anak telah menjalani 1/2 masa pidana, Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor� 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing, Usulan dilakukan melalui system database pemasyarakatan, Surat keputusan integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan�.

Melalui dua cara inilah, sebagaimana yang telah diatur dalam Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lapas, seorang Narapidana dan anak bisa dikeluarkan dan dibebaskan, namun tatap mendapatkan Pembimbingan dan pengawasan asimilasi dan integrasi dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan. Diatur pula bahwa adanya �laporan pembimbingan dan pengawasan dilakukan secara daring�.

Kepala Bagian Humas Publikasi Ditjen Pemasyarakatan Rika Aprianti menjelaskan bahwa �asimilasi dan integrasi Narapidana dan anak pada Mei 2020 dengan total 39.273 Narapidana, dengan rincian 37.014 warga binaan dibebaskan melalui program asimilasi sementara melalui program integrasi Narapidana yang bebas sebanyak 2.259. Selanjutnya upaya penanggulangan Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia terkait kebijakan sanksi pidana kasus narkoba.

Penghuni lapas dan rutan saat ini mayoritas dihuni oleh narapidana dengan kasus narkoba maka dari itu perlunya sanksi tindak pidana narkotika yang seharusnya dapat dilakukan rehabilitasi, minimnya akses terpidana kepada advokat. Penangkapan seseorang untuk menjalani proses penahanan merupakan awal kemungkinan seseorang untuk ditahan di tempat-tempat penahanan, yang secara tidak langsung bertambahnya penghuni rutan dan lapas sebelumnya telah mengalami over kapasitas oleh penghuni lainnya.

 

Kesimpulan

Upaya penanggulangan Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia menganut dua konsep yang dimuat dalam RKUHP yang akan diberlakukan pada 2026 yaitu Tujuan Pemidanaan dan Individualisasi Pidana. Pertama, tujuan pemidanaan diarahkan kepada pengayoman masyarakat, perlindungan masyarakat (social� idefence), memasyarakatkan terpidana dengan melakukan pembimbingan, memulihkan dan menumbukan rasa penyelesalan dan rasa bersalah pada terpidana serta menciptakan keseimbangan antara masyarakat dan terpidana. Kedua, Ide Individualisasi Pidana yang berioerientasi terhadap pelaku tindak pidana yang manusiawi memperhatikan karakteristik pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi, tiada pidana tanpa kesalahan, pidana disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi sipelaku.

Hal ini memberikan pemahaman bahwa harus ada kelonggaran/fleksibilas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) mengingat hakim pada saat ini lebih cenderung menjatuhkan pidana penjara. Oleh karena itu dengan berlakunya RKUHP dimasa yang akan datang aparat penegak hukum sedapat mungkin tidak terburu buru menjatuhkan atau menuntut pelaku tindak pidana dengan pidana penjara karena dalam RKUHP banyak pilihan yang dapat dipilih oleh aparat penegak hukum dan tidak menghilangkan esensi perlindungan bagi masyarakat yang didalamnya termasuk korban tindak pidana. Selain itu kebijakan sanksi pidana pada kasus narkoba seharusnya dapat dilakukan rehabilitasi karena ini akan mengurangi jumlah tahanan pada Lapas ataupun Rutan di seluruh Indonesia.

 

BIBLIOGRAFI

Adhari, Ardhana Panca. (2021). Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora. Hlm.(213-224). Tapanuli Selatan: Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Tapanuli Selatan.

 

Amrullah, Ihsan, & Wibowo, Padmono. (2021). KONTROVERSI PEMBERIAN ASIMILASI DAN HAK INTEGRASI DALAM PERMENKUMHAM NOMOR 10 TAHUN 2020 DALAM MENANGGULANGI COVID-19. Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik, Dan Humaniora, 5(1), 59�70.

 

Arsheldon, Samuel, Simanjuntak, Supriardoyo, & Benuf, Kornelius. (2020). Strategi Antisipasi Over Kapasitas Lapas Suatu Refleksi Atas Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19. ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan, 1�26.

 

Benuf, Kornelius, & Azhar, Muhamad. (2020). Metodologi penelitian hukum sebagai instrumen mengurai permasalahan hukum kontemporer. Gema Keadilan, 7(1), 20�33.

 

Enggarsasi, Umi, & Sudahnan, Sudahnan. (2015). Model Perbaikan Interaksi Humanis Petugas Dengan Narapidana Sebagai Paradigma Baru Dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan. Perspektif: Kajian Masalah Hukum Dan Pembangunan, 20(3), 166�183.

 

Fadhil, Moh. (2020). Kebijakan Kriminal Dalam Mengatasi Kelebihan Kapasitas (Overcrowded) Di Lembaga Pemasyarakatan. Al Daulah, 167�186.

 

Johari, J., & Husni, H. (2021). Kebijakan Asimilasi Terhadap Narapidana Dimasa Pandemi COVID-19. JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH, 4(2).

 

Jufri, Ely Alawiyah, & Anisariza, Nelly Ulfah. (2017). Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta. ADIL: Jurnal Hukum, 8(1), 1�26.

 

Kholiq, Abdul, Arief, Barda Nawawi, & Soponyono, Eko. (2015). Pidana Penjara Terbatas: Sebuah Gagasan dan Reorientasi Terhadap Kebijakan Formulasi Jenis Sanksi Hukum Pidana di Indonesia. Law Reform, 11(1), 100�112.

 

Kusumaningrum, Santi, & Supatmi, Mamik Sri. (2012). Mekanisme pembinaan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial bagi anak di Indonesia: studi terbatas terhadap anak dalam sistem pemasyarakatan. Pusat Kajian Perlindungan Anak dan Departemen Kriminologi, FISIP Universitas ï¿½.

 

Lukman, Dwi Ratna Kamala Sari. (2020). ASIMILASI BAGI NARAPIDANA DAN ANAK SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN COVID-19. Jurnal Hukum Agama Hindu Widya Kerta, 3(1), 30�39.

 

Magrhobi, Berdy Despar. (2014). Tinjauan kriminologis faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru Malang). Brawijaya University.

 

Marthaningtyas, Sri, & Hidayatullah, Hidayatullah. (2021). KEBIJAKAN ASIMILASI NARAPIDANA DI TENGAH PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF SISTEM PEMASYARAKATAN. Jurnal Suara Keadilan, 22(1), 91�108.

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2013). Penelitian hukum.

 

Megawati, Cut, & Kurniawan, Kurniawan. (2019). Pembinaan Narapidana dalam Tahap Asimilasi. Jurnal Serambi Akademica, 7(3), 335�341.

 

Mulyono, Galih Puji, & Arief, Barda Nawawi. (2016). Upaya mengurangi kepadatan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Law Reform, 12(1), 1�16.

 

Pebriana, Lila Afrida. (2020). Kontra Masyarakat Terhadap Meningkatnya Kriminalitas Pasca Asimilasi Narapidana Dampak Covid-19. Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 258�273.

 

Perkasa, Risang Achmad Putra. (2020). Optimalisasi Pembinaan Narapidana dalam Upaya Mengurangi Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan. Wajah Hukum, 4(1), 108�115.

 

Rizky, Bayu. (2020). Dampak Positif Kebijakan Asimilasi Dan Integrasi Bagi Narapidana Dalam Pencegahan Dan Penaggulangan Covid-19. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 7(3), 655�665.

 

Salsabila, Saradinda. (2021). Pelaksanaan Kegiatan Kerja Bagi Klien Pemasyarakatan Di Balai Pemasyarakatan Pada Masa Pandemi Covid-19. Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 4(1), 279�294.

 

Simamora, Jonariko, & Husna, Lenny. (2021). TINJAUAN YURIDIS PEMBEBASAN WARGA BINAAN KEMASYARAKATAN PADA MASA COVID-19 DI KOTA BATAM. Jurnal Justitia: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 8(4), 599�606.

 

Situmeang, Sahat Maruli Tua. (2020). BaPEMBEBASAN NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF KONSEP ASIMILASI DI MASA PANDEMI COVID 19has Indonesia. Jurnal Litigasi (e-Journal), 21(2), 220�237.

 

Trisnawati, Niyan Ati. (2020). Pemberian Asimilasi Dan Integrasi Terhadap Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas Iia Malang). Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 26(14), 1765�1774.

 

Violina, Yurike, & Wibowo, Padmono. (2021). Pemberian Program Asimilasi Dan Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Sebagai Langkah Pencegahan Penyebaran Virus Corona. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(1), 200�206.

 

Copyright holder:

Humaira Afdini, Amad Sudiro (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: