Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
11, November 2023
Karakteristik Capaian
Index Pemberdayaan Gender Di
Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Pembangunan Masyarakat Berbasis
Gender 2021
Muhammad Abi
Firmansyah*, Soetji Lestari
Program Studi Sosiologi;
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah dengan Index Pemberdayaan Gender (IDG) paling baik dibandingkan dengan provinsi lain di Indoensia. Angka Index Pembangunan Manusia (IPM), Index Pembangunan Gender (IPG), Index Pemberdayaan Gender (IDG) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan sudah lebih tinggi dibandingkan skala nasional. Index Pemberdayaan Gender merupakan capaian atau indikator untuk mengukur terlaksananya keadilan dan kesetaraan gender berdasarkan partisipasi politik dan ekonomi; perempuan perlu diberdayakan sehingga pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) harus menjadi tolak ukur dalam setiap program pemberdayaan manusia. Pengarusutamaan gender merupakan rangkaian strategi untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pengembangan dan pembangunan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi yang mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya sebanyak tiga kali pada tahun 2016, 2018, dan 2021; hal tersebut menandakan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah baik dalam pemberdayaan gender melalui pengarusutamaan gender. Pemberdayaan perempuan yang baik di setiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dilihat kembali bagaimana karakteristik setiap wilayahnya untuk memastikan pemerataan pembangunan dan pemberdayaan gender. Karakteristik wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki perbedaan pembangunan dan pemberdayaan, Kabupaten Gunung Kidul dalam hal ini masih tertinggal dalam angka Harapan Lama Sekolah dan Rata Lama Sekolah, selain itu Kabupaten Bantul masih tertinggal dalam angka partisipasi perempuan dalam parlemen. Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki karakteristk yang berbeda dalam Index Pemberdayaan Gender, pemerataan pembangunan dan pemberdayaan gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum merata.
Kata kunci: Index Pemberdayaan Gender, Pengarusutamaan Gender, dan Pemerataan����������������� ������� Pemberdayaan Gender.
Abstract
Yogyakarta Special Region Province is the region with the best Gender
Empowerment Index (IDG) compared to other provinces in Indonesia. The figures
for the Human Development Index (HDI), Gender Development Index (IPG), Gender
Empowerment Index (IDG) for the Yogyakarta Special Region Province as a whole
are higher than the national scale. The Gender Empowerment Index is an
achievement or indicator to measure the implementation of gender justice and
equality based on political and economic participation; women need to be
empowered so that gender mainstreaming must be the benchmark in every human
empowerment program. Gender mainstreaming is a series of strategies for
integrating gender perspectives in development and development. Yogyakarta
Special Region Province as a province that received the Anugerah
Parahita Ekapraya (APE)
award three times in 2016, 2018 and 2021; This indicates that the Yogyakarta
Special Region Province is good at gender empowerment through gender
mainstreaming. Good women's empowerment in each Regency/City region in the
Special Region of Yogyakarta Province needs to be reviewed at the
characteristics of each region to ensure equitable development and gender
empowerment. The regional characteristics of the Special Region of Yogyakarta
Province have differences in development and empowerment, Gunung
Kidul Regency in this case is still lagging behind in
terms of Expected Years of Schooling and Average Years of Schooling, apart from
that, Bantul Regency is still lagging behind in terms of women's participation
in parliament. Regency/City areas in the Special Region of Yogyakarta Province
have different characteristics in the Gender Empowerment Index, equitable
development and gender empowerment in the Special Region of Yogyakarta Province
are not yet evenly distributed.
Keywords: Gender Empowerment Index, Gender Mainstreaming, and Equal Gender
������������������ Empowerment
Pendahuluan
Gender dalam konstruksi
sosial menguntungkan laki-laki dalam kepemilikan alat produksi dan pembangunan
suatu wilayah baik skala mikro maupun makro. Perempuan tersubordinasi oleh
dominasi laki-laki, pandangan bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, mampu mengambil
keputusan, rasional, dan �pencari nafkah� menyempitkan peluang perempuan dalam
memberikan pembangunan. Perempuan dalam hal ini hanya memiliki peran besar pada
sektor domestik, seperti menjaga anak, mengurus rumah, dan merawat suami; hal
ini terjadi sebagai dampak dari pemahaman �kodrat perempuan� dan �kodrat
laki-laki� yang tidak imbang atau bias (Mirni, 2016).
Ketimpangan gender
khususnya kontribusi perempuan dalam sektor publik, semakin membuat gap antara
peran laki-laki dan perempuan dalam melakukan suatu pembangunan atau
pemberdayaan. Masyarakat tidak hanya terdiri dari laki-laki, perempuan
merupakan bagian dari masyarakat; oleh karena itu, perempuan harus mendapatkan
kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam membangun wilayahnya sendiri.
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang dibentuk pada 1978 merupakan
langkah awal Indonesia untuk memberdayakan perempuan dalam berbagai bidang,
mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Indonesia sebagai negara
dengan jumlah penduduk terbanyak keempat dunia yaitu sebesar 273,8 Juta
memiliki pekerjaan rumah untuk membenahi sumber daya manusianya, 49,52 %
penduduk Indonesia adalah perempuan, jumlah yang besar untuk diberdayakan.
Pada tahun 2009 Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beinisiatif membentuk Perencanaan
dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan tujuan meningkatkan kepedulian
terhadap isu gender, memberikan kesejahteraan bagi laki-laki dan perempuan,
mengurangi kesenjangan gender, meningkatkan partisipasi laki-laki dan perempuan
dalam pemberdayaan, serta menjamin akomodasi kebutuhan laki-laki dan perempuan
dari berbagai kelompok sosial (KemenPPPA, 2010). PPRG jika diterapkan dengan
baik akan mengintegrasikan perspektif gender di dalam proses perencanaan dan
penganggaran di setiap wilayah Indonesia.
Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender memberikan sumbangsih baik bagi peningkatan Index
Pembangunan Manusia (IPM), Index Pembangunan Gender (IPG), dan Index
Pemberdayaan Gender (IDG) di beberapa wilayah Indonesia. Salah satu provinsi
dengan penerapan PPRG yang baik adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
berdasarkan data statistik, Provinsi Yogyakarta memiliki Index Pembangunan
Gender (IPG) tertinggi di Indonesia yaitu 94,88 (bps.go.id, 2022). Prestasi
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu diikuti oleh provinsi lain yang ada
di Indonesia dalam misi mewujudkan kesejahteraan gender baik bagi laki-laki
maupun perempuan. PPRG yang
diterapkan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat
menjadi acuan bagi provinsi lain dalam menerapkan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender secara maksimal.
Tulisan ini berupaya
untuk menganalisa karakteristik setiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta berdasarkan Index Pemberdayaan Gender (IPG) pada tahun
2021. Analisa ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana karakteristik capaian Index Pembangunan Manusia (IPM), Index Pembangunan
Gender (IPG), dan Index Pemberdayaan Gender (IDG) di setiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, serta
menganalisa pemerataan pembangunan gender di setiap
wilayah kabupaten Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, tulisan ini berusaha memberikan
solusi terhadap pembangunan gender setiap kabupaten di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Responden penelitian terdiri dari berbagai
lapisan masyarakat, termasuk perwakilan pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum.
Hasil dan Pembahasan
A. Komitmen Diy
Dalam Pengarusutamaan Gender
Program perencanaan
pembangunan mendapat perhatian khusus dari aktivis dan pemerhati masalah perempuan, program pembangunan
yang diterapkan berfokus
pada pembangunan manusia (umum) akan tetapi
hasilnya relatif tidak memberi keadilan
dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki.
Pembangunan yang berfokus pada manusia,
memiliki asumsi dasar bahwa setiap
manusia (laki-laki dan perempuan) memiliki modal dan kebutuhan yang sama dalam pembangunan; pada kenyataannya, hasil pembangunan memperlihatkan pencapaian yang diraih perempuan lebih sedikit jika dibandingkan
pencapaian lak-laki dalam berbagai bidang, baik pendidikan,
kesehatan, ekonomi, hukum, dan politik.
Program perencanaan
pembangunan tidak berupaya mendiskreditkan perempuan dalam pembangunan, hal ini terjadi akibat
adanya ketimpangan hubungan gender. Salah satu
strategi mengatasi masalah tersebut adalah menciptakan pengarusutamaan
gender (gender mainstreaming) yang dibangun untuk mengintegrasikan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam
proses perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi (Sardjunani dkk, 2001).
Perencanaan dan Penganggaran
Responsif Gender (PPRG) merupakan
hasil produk dari strategi pengarusutamaan
gender. Pada tahun 2013, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta memperoleh Anugerah Parahita Ekapraya atas komitmennya
dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. APE merupakan penghargaan yang diberikan secara berkala setiap tahunnya oleh KPPPA untuk mengetahui sejauh mana implementasi pengarusutamaan
gender untuk mencapai kesetaraan gender di tingkat nasional dan daerah.
Penghargaan APE sendiri
ada empat tingkatan atau kategori, dari yang paling dasar yaitu, Kategori
Pratama, Kategori Madya, Kategori Utama, dan Kategori Mentor
yang merupakan kategori tertinggi (dp3ap2.jogjaprov.go.id, 2021). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat
penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya Kategori Mentor sebanyak tiga kali pada tahun 2016, 2018,
dan 2021 (dp3ap2.jogjaprov.go.id. 2021).
Gambar Grafik 1 IPG Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2021
Sumber: KPPA 2021
Berdasarkan gambar
grafik 1, IPG Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 94,88; angka yang sangat tinggi dalam Index Pembangunan Gender. Tingginya
angka IPG Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dipengaruhi oleh Index
Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi dan hanya memiliki gap yang sedikit. IPM Laki-Laki berada
pada angka 82,99 dan IPM Perempuan berada pada angka 78,74; walaupun IPM perempuan belum mencapai angka 8, index pembangunan manusia di Provinsi DIY sudah melewati angka 75. Rentang atau gap antara pembangunan laki-laki dan perempuan hanya berkisar 4,25; jarak ini memengaruhi jumlah IPG Provinsi DIY tinggi. Berdasarkan gafik tersebut, sudah terlihat bahwa diskriminasi perempuan tidak terpaut jauh dengan
laki-laki, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta mampu membangun
dan memberdayakan perempuan
baik dalam sektor domestik maupun sektor publik.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berhasil mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di
Indonesia sesuai dengan
Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN) Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 hingga 2004 tentang program pembangunan nasional, kemudian dipertegas melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(PUG) dalam pembangunan nasional. Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta memiliki gap Index Pembangunan
Manusia sebesar 4,25, angka
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan
gap Index Pembangunan Manusia tingkat nasional yang mencapai 6,66.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mampu meningkatkan angka Index Pembangunan Manusia karena
adanya program Perencanaan
dan Penganggaran Responsif
Gender (PPRG) berupa, program kecamatan
sayang ibu, pelatihan anggaran responsif gender, penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE), dan program kampung ramah
anak (Mirni, 2016).
Gambar Grafik 2 IPG Nasional Tahun 2021
Sumber:
KPPA
2021
Berdasarkan gambar
grafik 2, IPG Nasional Indonesia sebesar
91,27; angka tersebut menunjukkan bahwa IPG Yogyakarta lebih tinggi dengan
gap 3,71. Perbedaan IPG antara
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Indonesia diikuti oleh perbedaan Index Pembangunan Manusianya,
IPM Laki-Laki Provinsi Daerah istimewa
Yogyakarta lebih tinggi
6,74 sedangkan IPM Perempuan lebih
tinggi 9,15. Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tingkat IPG dan IPM yang lebih tinggi dari Indonesia, hal tersebut membuktikan
bahwa pengarusutamaan
gender dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah
lebih baik dari Indonesia (secara keseluruhan).
Angka Index Pembangunan Manusia
Indonesia yang lebih rendah
6,66 dari angka Index
Pembangunan Manusia DIY disebabkan oleh pembangunan manusia yang tidak merata di seluruh Indonesia, ketimpangan ini belum dapat
diselesaikan dengan baik; Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta selalu berada
pada posisi paling atas dalam pembangunan manusia dan pembangunan gender (Aprilianti dan Setiadi, 2020).
B. Angka Ipm, Ipg, Dan Idg
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Index Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator untuk melihat upaya
dan kinerja program pembangunan
secara menyeluruh di suatu wilayah, selain itu IPM berguna untuk melihat dampak
kinerja pembangunan wilayah
dengan dimensi yang sangat luas terkait dengan
kualitas penduduk berupa harapan hidup, standar hidup layak, dan intelektualitas. Capaian IPM hanya dapat menunjukan
kesenjangan antar wilayah saja dan belum dapat menggambarkan perbedaan capaian kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan.
Dalam pembangunan
manusia sering kali berkaitan dengan perbedaan gender yang membahas bagaimana dalam memperoleh kesetaraan gender agar
dapat meningkatkan kualitas dari sumber
daya manusia tanpa membedabedakan antara laki-laki dan perempuan (Fajriyyah dan Budiantara, 2015). Berdasarkan komponennya, IPM mencakup Angka
Harapan Hidup (AHH), Rata Lama Sekolah (RLS), Harapan
Lama Sekolah (HLS), dan Pengeluaran
Perkapita yang disesuaikan
(PPP). IPM di Provinsi DIY merupakan
capaian pemerintah dalam melaksanakan program PPRG
dan pengarusutamaan gender dengan
melihat kualitas penduduknya.
Berdasarkan data IPM Provinsi
DIY dan Nasional Berdasarkan Komponen
Tahun 2021, IPM Provinsi
DIY lebih tinggi dibandingkan dengan nilai IPM nasional dengan rentang 7,93. Capaian IPM Provinsi DIY selaras dengan komponen IPM yang sama tingginya; Angka Harapan Hidup (AHH) manusia
di Provinsi DIY mencapai
75,04 sedangkan Indonesia hanya
71,57 (rentang 3,47); Harapan Lama Sekolah (HLS) manusia di Provinsi DIY mencapai 15,64 sedangkan Indonesia 13,08 (rentang
2,56); Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) manusia di Provinsi DIY mencapai 9,64 sedangkan Indonesia
hanya 8,54 (rentang 1,1); serta Pengeluaran Perkapita Penduduk (PPP) manusia di Provinsi DIY mencapai 14.111 sedangkan
Indonesia hanya 11.156 (rentang
2.955).
Memperlihatkan bahwa penerapan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
(PPRG) Pemerintah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta berhasil melampaui skala nasional; kualitas hidup masyarakat Provinsi DIY lebih baik dibandingkan dengan rata-rata kualitas hidup masyarakat dalam cakupan nasional,
terutama dalam sektor pendidikan dan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat Provinsi DIY memiliki angka Harapan Lama Sekolah 15,64 (15-16 tahun), artinya masyarakat Provinsi DIY sudah banyak yang melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi; masyarakat Provinsi DIY dapat dikatakan sejahtera dalam bidang pendidikan
karena berhasil mengenyam pendidikan wajib belajar 12 tahun (Sekolah Menengah Atas).
Selain itu,
sebagai salah satu provinsi yang memiliki berbagai macam destinasi wisata, sangat mengembangkan dan memberdayakan perekonomian masyarakatnya, jumlah pengeluaran perkapita penduduk Provinsi DIY yang mencapai 14 juta rupiah menggambarkan bahwa kesejahteraan ekonomi penduduk sudah cukup terjamin
(ketimpangan ekonomi yang tidak signifikan), hal ini dipengaruhi
oleh berbagai macam destinasi wisata. Provinsi DIY memiliki keunggulan geografis karena berada di antara dataran tinggi dan rendah, Provinsi DIY memiliki destinasi wisata pegunungan, pantai, dan sebagainya; Provinsi DIY juga menjadi tempat berkembangnya pendidikan khususnya Perguruan Tinggi dengan jumlah 128 Perguruan Tinggi yang tersebar di
seluruh wilayah Provinsi
DIY.
Berdasarkan Grafik
2 Index Pembangunan Manusia Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta secara keseluruhan
lebih tinggi dibandingkan dengan Index
Pembangunan Manusia tingkat Nasional (72,29). Kota
Yogyakarta memperoleh angka
paling tinggi dengan 87,18,
diikuti oleh Kabupaten
Sleman dengan angka 84, Kabupaten Bantul dengan angka 80,28, Kabupaten Kulon Progo dengan angka
74,71, dan yang terakhir adalah
Kabupaten Gunung Kidul dengan angka
70,16. Pembangunan manusia di Provinsi
DIY belum merata sepenuhnya, namun perlu disadari bahwa angka pembangunan
manusia di Provinsi DIY lebih dari angka
70.
Perbedaan terlihat
signifikan antara Kota
Yogyakarta dengan Kabupaten
Gunung Kidul, rentang perbedaan Index
Pembangunan Manusia (IPM) berkisar 17,02. Kabupaten Gunung Kidul meruapakan salah satu kabupaten terluas di Provinsi DIY dengan Ibukota Kabupaten Wonosari. Kabupaten Gunung Kidul merupakan wilayah yang dipenuhi oleh destinasi wisata alam seperti
pantai, goa, dan sebagainya.
Kabupaten Gunung Kidul berdasarkan grafik di atas hanya memiliki rentang sebesar 4,55 dengan Kabupaten Sleman, sehingga untuk melihat pemerataan pembangunan wilayah di Provinsi
DIY perlu dijabarkan berdasarkan komponen Index
Pembangunan Manusianya.
Secara keseluruhan,
dapat terlihat bahwa Index Pembangunan Manusia di Kabupaten
Gunung Kidul merupakan yang terendah dibandingkan Kabupaten/Kota lain
di Provinsi DIY dan nasional;
menurut Sunaryanta (Bupati Gunung Kidul)
dalam gunungkidul.com hal tersebut terjadi sebab oleh pertumbuhan penduduk yang masif dan harapan lama sekolah anak-anak masih kurang, rata-rata penduduk Gunung Kidul baru
menamatkan jenjang pendidikan kelas satu Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
Grafik 3. menunjukkan
bahwa perbedaan Index
Pembangunan Manusia (IPM) setiap Kabupaten/Kota
Provinsi DIY tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu signifikan terutama pada bagian Angka
Harapan Hidup (AHH) yang masih berkisar
73 hingga 75 tahun. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada komponen Harapan Lama Sekolah
(HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Kabupaten Gunung Kidul menempati posisi terendah dengan angka Harapan Lama Sekolah 12,98 dan angka Rata-Rata
Lama Sekolah 7,30; sedangkan
angka tertinggi berada di Kota Yogyakarta dengan
Harapan Lama Sekolah (HLS) 17,6 tahun
dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 11,72 tahun. Rentang angka Harapan Lama Sekolah Kota
Yogyakarta dengan Kabupaten
Gunung Kidul berkisar 4,82 sedangkan rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Gunung Kidul berkisar 4,42.
Pembangunan manusia
di Provinsi DIY ternyata belum menyeluruh, masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul belum
mendapatkan kesejahteraan
dan keadilan pendidikan;
index pembangunan manusia
di Kabupaten Gunung Kidul merupakan yang terendah dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi DIY. Dalam tingkat nasional dengan angka Harapan Lama Sekolah 13,08;
Kabupaten Gunung Kidul masih tertinggal,
hal tersebut terjadi sebab motivasi
dan keinginan pelajar untuk melanjutkan pendidikan masih sangat rendah, alasan mengapa pelajar tidak melanjutkan pendidikan adalah masalah ekonomi sehingga tidak sanggup untuk membayar
biaya pendidikan
(jogja.solopos.com, 2021).
Pembangunan manusia
di Provinsi DIY yang sudah baik, perlu dilihat
bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam pembangunan tersebut. Index pembangunan
Gender (IPG) merupakan satuan
ukuran pembangunan manusia (seperti IPM) namun fokus pada status gender dalam mengukur kemampuan dasar, dalam hal� ini
Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah
(HLS), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS, dan Pengeluaran Perkapita yang disesuaikan (PPP).
Berdasarkan data IPG Provinsi
Daerah Istimewa Yokyakarta Berdasarkan
AHH Tahun 2021 menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup perempuan
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan atau rentang Angka Harapan Hidup laki-laki dengan perempuan berkisar 3 Tahun. Berdasarkan pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten Kulon Progo memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara
laki-laki (73,39) dengan perempuan (77,18) sekitar 3,79; Kabupaten Bantul memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara
laki-laki (71,97) dengan perempuan (75,71) sekitar 3,74; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara
laki-laki (72,26) dengan perempuan (76,02) sekitar 3,76; Kabupaten Sleman memiliki rentang Angka Harapan Hidup antara
laki-laki (73,08) dengan perempuan (76,73) sekitar 3,65; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki
rentang Angka Harapan Hidup antara
laki-laki (72,92) dengan perempuan (76,40) sekitar 3,48.
Angka Harapan Hidup perempuan paling tinggi berada di wilayah Kulon Progo sedangkan yang terendah berada di wilayah Bantul. Terlihat
bahwa masyarakat Kabupaten Kulon Progo memiliki Angka Harapan Hidup yang lebih
tinggi dibandingkan dengan masyarakat di kabupaten atau kota lain di Provinsi DIY dengan Angka Harapan Hidup laki-laki
73,39 dan perempuan 77,18. Masyarakat Kulon Progo memiliki pembangunan khususnya sektor kesehatan yang cukup baik dan memadai, pemerintah Kabupaten Kulon Progo meningkatkan jaminan kesehatan dan gizi ibu hamil (harianjogja.com,
2019). Jika dibandingkan dengan
Angka Harapan Hidup tingkat nasional,
Provinsi DIY sudah mengungguli karena berada di atas rata-rata.
Berdasarkan data IPG Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan HLS Tahun 2021 menunjukkan bahwa Harapan Lama Sekolah di setiap kabupaten atau kota di Provinsi
DIY memiliki angka yang fluktuatif; Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta merupakan
wilayah dengan angka
Harapan Lama Sekolah perempuan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain
yang angka Harapan Lama Sekolah
perempuan lebih rendah dibanding dengan laki-laki (rentang hanya berkisar
1 Tahun).
Berdasarkan pembagian
setiap kabupaten atau kota; Kabupaten
Kulon Progo memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (14,24) dengan perempuan (15,26) sekitar 1.02; Kabupaten Bantul memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (15,67) dengan perempuan (15,13) sekitar 0,54; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (13,17) dengan perempuan (12,88) sekitar 0,29; Kabupaten Sleman memiiki rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (16,76) dengan perempuan (16,55) sekitar 0,21; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki
rentang angka Harapan Lama Sekolah antara laki-laki (17,46) dengan perempuan (17,63) sekitar 0,17.
Kota Yogyakarta merupakan wilayah dengan
rentang atau perbedaan angka Harapan Lama Sekolah paling minim; artinya,
Kota Yogyakarta sudah dibangun
dan diberdayakan dalam sektor pendidikan secara merata.
Berdasarkan data IPG Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan RLS Tahun 2021 menunjukkan bahwa angka Rata-Rata Lama Sekolah perempuan lebih rendah dibandingkan
dengan laki-laki, rentang atau perbedaan
berkisar beberapa bulan saja. Berdasarkan
pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten Kulon Progo memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (9,44) dengan perempuan (8,62) sekitar 0,82; Kabupaten Bantul memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (10,09) dengan perempuan (9,28) sekitar 0,81; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (7,90) dengan perempuan (6,88) sekitar 1,02; Kabupaten Sleman memiliki rentang angka Rata-Rata Lama Sekolah antara laki-laki (11,34) dengan perempuan (10,54) sekitar 0,8; sedangkan Kota Yogyakarta memiliki
rentang angka Rata-Rata
Lama sekolah antara laki-laki (11,91) dengan perempuan (11,34) sekitar 0,57.
Kota Yogyakarta kembali menjadi wilayah yang unggul dalam pembangunan
pendidikan sebab rentang atau gap antara laki-laki dan perempuan paling sedikit; namun, kembali lagi Kabupaten Gunung Kidul menjadi
wilayah paling terbelakang dalam
pembangunan pendidikan.
Berdasarkan data IPG Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Pengeluaran Perkapita yang Disesuaikan Tahun 2021 menunjukkan bahwa angka Pengeluaran Perkapita perempuan di Provinsi DIY lebih rendah dibandingkan Pengeluaran Perkapita laki-laki, bahkan perbedaannya cukup jauh. Hal tersebut merupakan dampak dari sedikitnya peran perempuan dalam sektor publik.
Berdasarkan pembagian setiap kabupaten atau kota; Kabupaten
Kulon Progo memiliki rentang angka Pengeluaran
Perkapita antara laki-laki (13.058) dengan perempuan (9.539) sekitar 3.519; Kabupaten Bantul memiliki rentang angka Pengeluaran
Perkapita antara laki-laki (18.010) dengan perepmpuan (14.868) sekitar
3.142; Kabupaten Gunung Kidul memiliki rentang angka Pengeluaran
Perkapita antara laki-laki (15.748) dengan perempuan (6.543) sekitar 9.205; Kabupaten Sleman memiliki rentang angka Pengeluaran
Perkapita antara laki-laki (17.312) dengan perempuan (15.029) sekitar 2.283;
sedangkan Kota Yogyakarta memiliki
rentang angka Pengeluaran Perkapita antara laki-laki (19.002) dengan perempuan (18.642) sekitar 36.
Kota Yogyakarta kembali unggul dalam pembangunan perekonomian yang merata antara laki-laki dengan perempuan, pembangunan berbasis gender di
Kota Yogyakarta layak menjadi
contoh bagi wilayah lain terutama wilayah dalam provinsinya sendiri yaitu Kabupaten gunung Kidul karena
harus menjadi yang paling rendah dalam pembangunan
perekonomian berbasis
gender yang merata. Kabupaten
Gunung Kidul memiliki ketimpangan Pengeluaran Perkapita yang sangat
tinggi antara laki-laki dengan perempuan, rentang atau perbedannya mencapai 9.250.
Berdasarkan data IDG Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2021 menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan di Provinsi DIY sudah cukup maksimal sebab rentang atau
gap antar wilayah dengan provinsi tidak berbeda terlalu jauh. Berdasarkan keterlibatan perempuan dalam parlemen, Kabupaten Sleman (28,00), Kabupaten
Gunung Kidul (24,44), dan Kabupaten Kulon Progo (20,00) sudah melampaui angka keterlibatan perempuan dalam parlemen di Provinsi DIY (20,00);
namun keterlibatan perempuan dalam parlemen di Kabupaten Bantul
sangat minim (8,89).
Partisipasi perempuan
dalam parlemen di Kabupaten Bantul sangat sedikit, ketertarikan perempuan di Kabupaten Bantul untuk masuk sebagai anggota
parlemen berbanding jauh dengan Kabupaten
Sleman (28,00), rentang atau
gap menjapai 20,00. Berdasarkan
posisi perempuan sebagai manajer atau pemimpin (pengambil keputusan), Kabupaten Kulon Progo (52,57) dan
Kota Yogyakarta (52,51) sudah melampaui
angka Provinsi DIY (52,18).
Kabupaten Gunung
Kidul (44,59) masih tertinggal dari wilayah lain, secara tidak langsung
hal tersebut merupakan dampak dari angka harapan
lama sekolah dan rata-rata lama sekolah
perempuan di Kabupaten Gunung Kidul yang masih rendah, sehingga
lapangan pekerjaan yang didapatkan belum maksimal. Berdasarkan sumbangan pendapatan perempuan, hanya Kota Yogyakarta
(44,27) yang sudah melampaui
angka Provinsi DIY (41,26),
sedangkan Kabupaten Kulon Progo (34,27) berada pada posisi yang paling rendah.
Berdasarkan data IDG Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2021 menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan di Provinsi DIY sudah cukup maksimal sebab rentang atau
gap antar wilayah dengan provinsi tidak berbeda terlalu jauh. Berdasarkan keterlibatan perempuan dalam parlemen, Kabupaten Sleman (28,00), Kabupaten
Gunung Kidul (24,44), dan Kabupaten Kulon Progo (20,00) sudah melampaui angka keterlibatan perempuan dalam parlemen di Provinsi DIY (20,00);
namun keterlibatan perempuan dalam parlemen di Kabupaten Bantul
sangat minim (8,89).
Partisipasi perempuan
dalam parlemen di Kabupaten Bantul sangat sedikit, ketertarikan perempuan di Kabupaten Bantul untuk masuk sebagai anggota
parlemen berbanding jauh dengan Kabupaten
Sleman (28,00), rentang atau
gap menjapai 20,00. Berdasarkan
posisi perempuan sebagai manajer atau pemimpin (pengambil keputusan), Kabupaten Kulon Progo (52,57) dan
Kota Yogyakarta (52,51) sudah melampaui
angka Provinsi DIY (52,18).
Kabupaten Gunung
Kidul (44,59) masih tertinggal dari wilayah lain, secara tidak langsung
hal tersebut merupakan dampak dari angka harapan
lama sekolah dan rata-rata lama sekolah
perempuan di Kabupaten Gunung Kidul yang masih rendah, sehingga
lapangan pekerjaan yang didapatkan belum maksimal. Berdasarkan sumbangan pendapatan perempuan, hanya Kota Yogyakarta
(44,27) yang sudah melampaui
angka Provinsi DIY (41,26),
sedangkan Kabupaten Kulon Progo (34,27) berada pada posisi yang paling rendah.
C. Karakteristik Wilayah Kabupaten/Kota
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Capaian Ipm, Ipg, Dan Idg.
Penjelasan Karakteristik
wilayah Berdasarkan IPM, IPG, dan IDGadalah
sebagai berikut, Angka
Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS),
Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), Pendapatan
Perkapita Penduduk yang disesuaikan (PPP), Partisipasi
Perempuan Dalam Parlemen (PPDP), Perempuan Sebagai Manajer (PSM), dan Sumbangan Pendapatan Perempuan
(SPP).
Berdasarkan data Karakteristik
wilayah Berdasarkan IPM, IPG, dan IDGmenunjukkan
bahwa pembangunan berbasis gender melalui Prencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Provinsi
DIY belum dapat dikatakan maksimal karena masih terdapat
perbedaan yang cukup signifikan terutama pada sektor pendidikan, pendapatan (perekonomian), dan partisipasi perempuan dalam parlemen. Untuk menjelaskan karakteristik setiap wilayah perlu penjabaran lebih lanjut.
1. Kabupaten Kulon Progo
Kabupaten Kulon Progo
menjadi salah satu Kabupaten yang diberikan kawasan industri untuk DIY dan Jawa Tengah. Kawasan industri
Sentolo merupakan Kawasan strategis untuk mengembangkan industri; dalam rangka menciptakan
kawasan industri yang ramah lingkungan dan bebas polusi, maka
dikembangkan kawasan industri di Sentolo. Masyarakat Kabupaten Kulon Progo mayoritas bekerja pada sektor pertanian dan industri manufaktur.
Berdasarkan data, menunjukkan
bahwa Kabupaten Kulon Progo cukup unggul
pada AHH (75,22), HLS (14,27), dan PSM (52,57); sedangkan
tertinggal pada RLS (9,02), PPP (10.069), dan SPP
(34,27). Data tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat Kabupaten Kulon Progo masih mendapatkan upah yang rendah dilihat berdasarkan pengeluaran perkapita dan sumbangan pendapatan perempuan yang masih rendah; sebagai kabupaten yang diberikan kawasan industri selayaknya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan upah yang layak.
Posisi perempuan
sebagai manajer yang tinggi namun sumbangan
pendapatan perempuan yang sedikit mengindikasikan bahwa perempuan diupah lebih sedikit
dibandingkan dengan laki-laki, Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
(PPRG) di Kabupaten Kulon Progo
harus meningkatkan upah yang layak bagi perempuan agar pembangunan berbasis gender di Kabupaten Kulo Progo meningkat.
2. Kabupaten Bantul
Kabupaten Bantul merupakan
salah satu wilayah di Provonsi
DIY yang memiliki berbagai desa wisata. Kawasan desa wisata di Kabupaten Bantul memiliki karya atau produk
berupa kerajinan kulit, gerabah, dan batik.
Masyarakat di Kabupaten Bantul banyak
diberdayakan melalui desa wisata sebagai
pengrajin kerajinan tangan. Berdasarkan data tabel di atas, menunjukkan bahwa Kabupaten Bantul cukup unggul dalam IPM (80,28) dan PPP
(15.543), sedangkan tertinggal
pada PPDP (8,89) dan AHH (73,89).
Data tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat sudah diberdayakan melalui desa wisata, terlihat
pendapatan pekapita yang cukup bersaing dan sumbangan pendapatan perempuan yang masih lebih tinggi dari
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman; namun partisipasi perempuan dalam parlemen sangat rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat terutama perempuan sudah berdaya melalui produk kerajinan tangan berupa gerabah,
kerajinan kulit, dan batik,
walaupun skalanya masih home industry. Program Perencanaan
dan Penganggaran Responsif
Gender yang perlu ditingkatkan
oleh pemerintah Provinsi
DIY hanya memaksimalkan
home industry dengan teknologi
terbarukan dan mendukung perempuan untuk mengisi kursi parlemen.
3. Kabupaten Gunung
Kidul
Kabupaten Gunung
Kidul merupakan salah satu wilayah yang paling tertinggal
dari wilayah lainnya; IPM
(70,16), HLS (12,98), RLS (7,30), PPP (9.505), dan PSM (44,59) Kabupaten Gunung Kidul berada pada angka yang paling bawah. Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu wilayah Provinsi DIY dengan potensi sumber daya alam
yang melimpah, hal tersebut membuat konsentrasi perekonomian Gunung Kidul terpusat
pada pertanian, perkebunan,
perikanan, dan peternakan.
Pemerintah Provinsi
DIY perlu menekankan kembali pembangunan yang merata di setiap wilayah terutama di Kabupaten Gunung Kidul karena
ketertinggalan pembangunan manusia dan pemberdayaan gender
yang masih rendah; program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kabupaten Gunung Kidul perlu
ditinjau kembali apakah sudah berjalan
maksimal atau belum; pembangunan perlu dilakukan pada berbagai sektor baik pendidikan, perekonomian, dan kesehatan masyarakat.
Pemerintah Provinsi
DIY memiliki �pekerjaan rumah� yang besar untuk membangun dan memberikan pemberdayaan yang merata untuk Kabupaten
Gunung Kidul agar tidak tertinggal dengan wilayah lain; hal tersebut akan berdampak
pada angka Index Pembangunan Manusia Provinsi DIY bahkan nasional.
4. Kabupaten Sleman
Kabupaten Sleman merupakan
daerah dengan pertumbuhan ekonomi cukup besar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten
Sleman merupakan pusat dari wilayah administratif provinsi dimana digunakan sebagai wilayah kerja pemerintahan kabupaten. Pasar tradisional di Kabupaten Sleman tersebar di seluruh wilayah, bahkan Kabupaten Sleman memiliki pasar
modern yang dijadikan sebagai
destinasi wisatawan seperti Plaza Ambarrukmo, Hartono
Mall Yogyakarta, Jogja City Mall, dan Sleman City Hall. Masyarakat Kabupaten Sleman mayoritas bekerja sebagai �pengelola� dalam sektor pembangunan atau konstruksi.
Kabupaten Sleman cukup
unggul pada IPM (84,00), HLS (16,74), RLS (10,92),
PPP (16.060), PPDP (28,00), dan PSM (51,66), sedangkan
SPP (38,92) masih lebih rendah dari Kabupaten
Bantul (39,28). Berdasarkan data tersebut,
dapat terlihat bahwa program Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kabupaten Sleman sudah dilakukan secara merata dan perempuan sudah diberdayakan dengan maksimal, baik dalam sektor
kesehatan, pendidikan, perkonomia, dan politik.
Hal tersebut
tercermin dalam data pengeluaran perkapita masyarakat (16.060) yang cukup tinggi, harapan lama sekolah (16,74) dan rata-rata lama sekolah
(10,92), serta partisipasi perempuan dalam parlemen (28,00) dan perempuan sebagai manajer (51,66); hal ini membuktikan
bahwa tingginya angka partisipasi perempuan dalam parlemen sesuai dengan wilayah Kabupaten Sleman
yang dijadikan sebagai
wilayah kerja pemerintahan kabupaten, sehingga mendorong perempuan untuk turut berpartisipasi
dalam dunia politik.
5. Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta merupakan wilayah yang berfokus
pada sektor industri, komersial, dan jasa, khususnya jasa pada sektor pariwisata. Berkembangnya Kota Yogyakarta berdampak
pada pertumbuhan ekonomi
yang signifikan. Kota Yogyakarta memiliki
beberapa pusat industri menengah dan pusat industri modern, salah satunya adalah Pasar Beringharjo; Kota Yogyakarta juga memiliki
kawasan komersial seperti Malioboro, sedangkan
pasar modern di Yogyakarta antara lain Plaza
Malioboro, Galeria Mall, Lippo Plaza Jogja, Ramai Mall, Ramayana, Gardena, Toko
Progo dan Kampus Mirota.
Pesatnya perkembangan
pariwisata telah membantu kota Yogyakarta memiliki banyak hotel, motel, dan
wisma. Kota Yogyakarta sudah
unggul dalam berbagai pembangunan; angka IPM (87,18), HLS (17,60), RLS (11,72), PPP (18.801),
PSM (52,51), dan SPP (44,27) menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta sudah unggul dalam berbagai
sektor, baik kesehatan, pendidikan, perekonomian, dan politik.
Program Perencanaan dan Penganggaran
Responsif Gender di Kota Yogyakarta sudah berjalan maksimal; Kota Yogyakarta menjadi
salah satu wilayah yang mendukung
angka pembangunan manusia Provinsi DIY meningkat.
Namun, di sisi
lain Pemerintah Provinsi
DIY perlu melakukan pembenahan kembali agar ketimpangan pembangunan antar wilayah tidak terjadi; bila dibandingkan
dengan Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten
Yogyakarta sudah mencapai �titik puncak� pembangunan
manusia berbasis gender, sedangkan Kabupaten Gunung Kidul masih
tertinggal jauh.
Kesimpulan
Perempuan
menjadi salah satu korban dari ketimpangan gender yang terjadi dalam
pembangunan negara, perempuan perlu diberdayakan agar tidak terjadi ketimpangan
yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan. Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang menerapkan Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender (PPRG) untuk mengurangi ketimpangan gender antara
laki-laki dengan perempuan dalam pembangunan.
Perempuan
harus memiiki peran aktif dalam pembangunan baik dalam ruang lingkup kabupaten,
kota, provinsi, bahkan dalam skala nasional. Penerapan PPRG yang baik di
wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada tahun 2021 karena
mengalami peningkatan cukup signifikan baik dalam angka IPM, IPG, maupun IDG. Pemerintah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta perlu melakukan
pembangunan yang merata khususnya pada Kabupaten Gunung Kidul; perempuan
di Kabupaten Gunung Kidul belum memiliki
kesejahteraan baik dalam bidang esehatan,
pendidikan, dan perekonomian.
Masyarakat kabupaten
Gunung Kidul yang mayoritasnya bekerja sebagai petani atau buruh perlu
disejahterakan kembali, sebagai salah satu wilayah yang memiliki destinasi wisata cukup banyak;
Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dapat
mencontoh program Perencanaan
dan Penganggaran Responsif
Gender (PPRG) Kabupaten Bantul dengan
cara embuat desa wisata dan memberikan pelatihan kepada penduduk setempat untuk menghasilkan produk berupa kerajinan, karena secara tidak
langsung akan mensejahterakan perempuan karena industrinya masih dalam skala
home industry yang sebagian besar
pengelolanya adalah perempuan.
Pemerintah Kabupaten
Gunung Kidul juga dapat menjadikan Kabupaten Kulon Progo sebagai referensi untuk menjadikan wilayahnya (Kabupaten Gunung Kidul) sebagai
kawasan industri terutama industri pariwisata. Pembangunan manusia berbasis gender perlu ditekankan sebab permpuan di Kabupaten Gunung Kidul masih
memberikan sumbangan pendapatan yang sangat rendah. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan
pertama kali adalah memudahkan akses dan meningkatkan kualitas pendidiakan di Kabupaten Gunung Kidul.
Angka HLS dan RLS yang masih rendah mengindikasikan
masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul masih
tertinggal dalam sektor pendidikan; hal ini akan
berdampak pada akses lapangan pekerjaan dan �kualitas� pekerjaan yang akan didapatkan oleh masyarakat. Akses dan kualitas pendidikan yang baik secara tidak langsung
akan mensejahterakan masyarakat karena di kemudian hari masyarakatnya
dapat mandiri baik secara ekonomi
maupun sosial dengan pekerjaan dan upah yang layak sehingga mereka akan mendapatka kesejahteraan dalam sektor kesehatan dan perekonomian.
Secara garis besar,
Peprogram Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah
sangat maksimal dan dijalankan
dengan cukup baik, pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya
perlu fokus pada pemerataannya agar tidak terjadi gap yang cukup besar antara wilayah kota satelit dengan
wilayah �pedesaan�.
Amanda, Maudy Pritha, Humaedi, Sahadi, & Santoso,
Meilanny Budiarti. (2017). Penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja
(Adolescent Substance Abuse). Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, 4(2).
Kela,
Doni Albert. (2015). Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau dari Undang-undang No 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lex Crimen, 4(6).
Majid, Abdul. (2020). Bahaya
Penyalahgunaan Narkoba. Alprin.
Maspaitella,
M. J., & Rahakbauwi, Nancy. (2014). Pembangunan Kesejahteraan Sosial:
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pendekatan Pekerja Sosial. Aspirasi: Jurnal
Masalah-Masalah Sosial, 5(2), 157�164.
Miles,
M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis
A Methods Sourcebook Edition 3. United States of America.
Moleong,
Lexy J. (2005). metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja. Rosdakarya.
T. Hani.
Pahlevi,
Diki. (2020). Peran Badan Narkotika Nasional (Bnn) Dalam Penanggulangan Narkoba
Di Kelurahan Pelita Kota Samarinda. Ilmu Pemerintahan, 8(2),
60�75.
Pauzana,
Anisa. (2022). Konseling Kelompok Mengurangi Kecemasan Residen Rehabilitasi
dengan Masalah Penyalahgunaan Narkoba. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(11),
3705�3708.
Rismanda,
Cakra, & Ginting, Rehnalemken. (2018). Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Di Kota Surakarta. Jurnal Hukum Pidana Dan
Penanggulangan Kejahatan, 6(2), 227�243.
Saputra,
Putra Pratama. (2017). Penguatan Manajemen Organisasi Lokal dalam Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif di Bandung. Pekerjaan
Sosial, 16(1).
Schaefer,
David R., Davidson, Kimberly M., Haynie, Dana L., & Bouchard, Martin.
(2021). Network integration within a prison-based therapeutic community. Social
Networks, 64, 16�28.
St
Fatmawati, L., & Niasa, La. (2022). Penanggulangan Peredaran Dan
Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Dikota Kendari. Sultra Law
Review, 4(1), 1�22.
Sugiyono.
(2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Sumadyo, Hadi. (2001). Psikologi Sosial. Bandung: Pustaka Setia.
Welsh, Wayne N., & McGrain, Patrick N. (2008).
Predictors of therapeutic engagement in prison-based drug treatment. Drug
and Alcohol Dependence, 96(3), 271�280.
https://doi.org/doi.org/10.1016/j.drugalcdep.2008.03.019
Copyright holder: Muhammad Abi Firmansyah*, Soetji Lestari (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |