Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022�����������������������

 

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH YANG MELAKUKAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH SEPIHAK

 

Tara Ulina1*, Amad Sudiro2

1*,2 Tarumanagara University, Indonesia

Email: 1*[email protected], 2[email protected]


Abstrak

Kasus peralihan hak atas tanah sepihak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjadi perhatian serius dalam konteks hukum dan etika profesi. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak hukum dan konstitusional dari tindakan tersebut serta mengevaluasi pelanggaran etika profesi. Melalui pendekatan analisis kasus, penelitian merinci latar belakang, tujuan, metode, dan hasilnya. Hasilnya menunjukkan bahwa peralihan tanah sepihak oleh PPAT melibatkan pelanggaran hukum dan konstitusional, merugikan kepercayaan masyarakat, dan berpotensi memicu pencabutan izin dan sanksi hukum. Temuan ini menekankan pentingnya kepatuhan terhadap etika profesi dan prinsip-prinsip hukum dalam menjalankan tugas sebagai PPAT, mendukung upaya menjaga integritas lembaga, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses peralihan hak atas tanah.

 

Kata Kunci: PPAT; Hukum Tanah; Peralihan Hak Atas Tanah

 

Abstract

The case of unilateral transfer of land rights by the Land Deed Official (PPAT) has raised serious concerns in the legal and professional ethics context. This research aims to analyze the legal and constitutional impacts of such actions and evaluate professional ethics violations. Through a case analysis approach, the study details the background, objectives, methods, and findings. The results indicate that the unilateral transfer of land by PPAT involves legal and constitutional violations, detrimentally affecting public trust and potentially leading to permit revocation and legal sanctions. These findings underscore the importance of adherence to professional ethics and legal principles in the role of PPAT, supporting efforts to maintain institutional integrity and build public trust in the land rights transfer process.

 

Keywords: PPAT; Land Law; Land Rights Transfer

 

Pendahuluan

Sistem hukum properti yang berkaitan dengan hak atas tanah merupakan fondasi dari aktivitas ekonomi dan sosial di berbagai negara. Hak atas tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat besar dan seringkali menjadi aset paling berharga yang dimiliki oleh individu, perusahaan, atau entitas hukum. Oleh karena itu, untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum dalam peralihan hak atas tanah, peran peFjabat pembuat akta tanah (PPAT) sangat penting.

PejabatPembuat Akta Tanah atau sering disingkat dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat suatu akta-akta otentik mengenai salah satu perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. dilihat dari penjelasan pasal tersebut telah jelas bahwa sama hanya dengan notris PPAT juga adalah seorang pejabat umum yang berwenang membuat sebuah akta autentik sesuai yang telah ditentukan dengan peraturannya yang berkaitan dengan tanah.i.

Seorang PPAT didalam melaksnakan tugasnya keagrariaan sebagaimana didalam UUPA, dan juga didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka disini peranan scorang Pejabat Pembuat Akta Tanah disini sangatiah penting, maka dariitu scorang PPAT dianggap telah menguasai dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan Pendaftaran suatu hak atas tanah dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang lainya yang berkaitan dengan pendaftaran tanah).

Dalam perundang-undangan PPAT maupun Notaris adalah merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu, yang membedakan keduanya adalah Landasan hukum berpijak yang mengatur keduanya. PPAT diatur dalam UUPA, PP No. 24 Tahun 1997, PP No. 37 Tahun 1998 sedangkan Pejabat Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat Undang-Undang No. 30 Tahun 2004).

Meskipun regulasi yang jelas dan tegas telah ditetapkan untuk memandu praktik peralihan hak atas tanah, sayangnya, masih terdapat kasus di mana seorang PPAT melakukan peralihan hak atas tanah secara sepihak. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh PPAT tanpa mematuhi prosedur yang berlaku ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang serius, serta keraguan tentang profesionalisme dan etika kerja PPAT.

Tindakan semacam ini bisa merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi properti, merugikan kepentingan publik, dan merusak integritas sistem hukum properti secara keseluruhan. Oleh karena itu, artikel jurnal ini bertujuan untuk mendalami isu-isu yang berkaitan dengan tanggung jawab PPAT dalam peralihan hak atas tanah dan mengidentifikasi konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi oleh PPAT yang melakukan peralihan hak atas tanah secara sepihak.

Dengan demikian, penelitian ini akan menggali lebih dalam tentang aspek-aspek hukum yang terkait dengan peran PPAT dalam peralihan hak atas tanah serta menjawab pertanyaan-pertanyaan esensial seputar praktik peralihan hak atas tanah yang dilakukan secara sepihak oleh PPAT. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi dalam memahami kompleksitas peraturan properti dan menjaga integritas sistem hukum properti yang berlaku.

 

Hukum Tanah

Hukum Tanah, sebagai salah satu cabang hukum yang sangat vital, mencakup sekumpulan peraturan hukum, baik yang terdokumentasi secara tertulis maupun yang bersifat tidak tertulis, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai objek pengaturannya. Di Indonesia, konsep Hukum Tanah Nasional telah dirumuskan oleh negara dan terdiri atas perangkat hukum perundang-undangan yang terdokumentasi, dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat yang masih berlaku(Rasyidi, 2021).

Hukum Tanah menjadi dasar hukum yang penting dan mencakup berbagai aspek yuridis, dengan fokus utama pada hak-hak penggunaan atas tanah. Pengaturan yang bersifat perdata dalam Hukum Tanah mengarah pada penjelasan mengenai hak-hak penguasaan atas tanah, yang dapat dimiliki oleh individu, badan-badan hukum perdata, dan badan-badan Pemerintah yang menguasai tanah untuk memenuhi kebutuhan dan/atau melaksanakan tugas-tugas mereka.

Uniknya, sistem Hukum Tanah di Indonesia tidak hanya bersifat tertulis, tetapi juga memasukkan unsur-unsur hukum adat setempat yang masih berlaku. Integrasi ini mencerminkan kearifan lokal dan keanekaragaman budaya yang diakui dalam kerangka hukum nasional.

Salah satu aspek krusial dari Hukum Tanah adalah pengaturan kepemilikan, penggunaan, dan peralihan hak atas tanah secara adil dan transparan. Dengan merinci hak-hak penggunaan tanah, Hukum Tanah memberikan landasan hukum yang kuat bagi individu, perusahaan, dan instansi pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam ranah perdata, Hukum Tanah menjadi pedoman bagi para pemilik tanah dan penguasa tanah untuk memahami dengan lebih mendalam hak dan kewajiban mereka. Pemahaman yang cermat terhadap ketentuan hukum ini mendukung terciptanya kepastian hukum, suatu unsur yang sangat penting dalam setiap transaksi dan peralihan hak atas tanah di Indonesia. Melalui Hukum Tanah, diharapkan tercipta kerangka hukum yang inklusif, adil, dan responsif terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat terkait tanah, seiring dengan upaya menjaga keberlanjutan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya tanah negara ini (Hartana, 2019).

 

Regulasi Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah

Regulasi peraturan pemerintah yang mengatur pendaftaran tanah di Indonesia mencakup beberapa dokumen hukum yang menetapkan tata cara dan tanggung jawab Pejabat pembuat akta tanah (PPAT) serta berbagai aspek terkait kepemilikan dan pengelolaan tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 membahas perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menggambarkan perkembangan dalam jabatan tersebut seiring waktu (UUD Republik Indonesia, 2016).

Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 fokus pada penertiban kawasan dan tanah terlantar dalam satu naskah, memberikan arahan terkait penataan dan pemanfaatan tanah yang tidak terurus. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 menguraikan tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun, dan hak atas satuan rumah susun, menciptakan kerangka kerja yang jelas terkait kepemilikan dan pengelolaan properti (UU-RI, 2021).

Terakhir, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 membahas perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Regulasi ini bertujuan untuk mengatur proses pengadaan tanah yang diperlukan dalam pembangunan untuk kepentingan umum, menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan hak-hak pemilik tanah (PP19/2021 et al., 2021).

Melalui regulasi-regulasi ini, diharapkan tercipta kepastian hukum yang kuat dalam proses pendaftaran dan peralihan hak atas tanah di Indonesia. PPAT memiliki peran yang terdefinisi dengan jelas, dan hak serta kewajiban pemilik tanah lebih terlindungi. Semua ini membentuk kerangka kerja hukum yang komprehensif untuk mendukung transparansi dan keadilan dalam urusan properti tanah di negara ini.

 

Metode Penelitian

����������� Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan ini dipilih karena penelitian ini akan lebih berfokus pada analisis terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab Pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah.

����������� Data untuk penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan. Sumber data utama mencakup peraturan perundang-undangan terkait hak atas tanah, putusan pengadilan terkait peralihan hak atas tanah, literatur hukum yang membahas tanggung jawab PPAT, dan kode etik profesi PPAT.

����������� Analisis data dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengevaluasi isi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah, menganalisis putusan pengadilan untuk mendapatkan pandangan hukum, dan menarik kesimpulan dari literatur hukum yang telah diakses. Pendekatan ini memberikan pemahaman mendalam tentang kerangka hukum yang mengatur peralihan hak atas tanah dan tanggung jawab PPAT.

 

Hasil dan Pembahasan

Tanggung Jawab PPAT dalam Peralihan Hak Atas Tanah

����������� Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memegang peran utama dalam menjalankan berbagai aspek yang terlibat dalam proses peralihan hak atas tanah. Dalam mengemban tanggung jawabnya, PPAT melakukan serangkaian tugas yang melibatkan keterampilan penelitian, hukum, dan komunikasi yang tinggi. Berikut adalah ekspansi lebih rinci terkait tanggung jawab PPAT dalam peralihan hak atas tanah.

1.      Penelitian dan Verifikasi Dokumen:

Tanggung jawab pertama PPAT melibatkan penelitian mendalam dan verifikasi dokumen yang terkait dengan tanah yang akan dialihkan. PPAT harus memastikan bahwa dokumen-dokumen tersebut autentik, seperti sertifikat tanah, dan melakukan verifikasi status kepemilikan. Langkah pemeriksaan lapangan yang inklusif diperlukan untuk memvalidasi informasi dalam dokumen dan memastikan keadaan fisik tanah sesuai dengan yang tercatat.

2.      Penyusunan Akta Tanah:

Dalam menyusun akta tanah, PPAT harus menjaga ketelitian dan ketepatan informasi. Mencakup seluruh informasi terkait transaksi peralihan hak, termasuk deskripsi tanah dan ketentuan peralihan hak secara rinci. Penggunaan bahasa hukum yang jelas dan dipahami oleh semua pihak terlibat adalah esensial. PPAT juga perlu memastikan bahwa akta tersebut mematuhi hukum adat setempat, jika berlaku.

3.      Pemberian Penjelasan kepada Para Pihak:

Memberikan penjelasan kepada semua pihak yang terlibat adalah komponen kritis dalam tanggung jawab PPAT. Penjelasan melibatkan memastikan bahwa semua pihak memahami isi akta tanah, hak dan kewajiban yang terlibat, serta konsekuensi hukum dari peralihan hak atas tanah. Proses ini melibatkan komunikasi yang efektif untuk memastikan transparansi dan pemahaman yang mendalam.

4.      Memastikan Kepastian Hukum:

PPAT harus memastikan bahwa seluruh proses peralihan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemeriksaan hukum yang cermat dan konsultasi dengan ahli hukum jika diperlukan akan menjamin kepatuhan dan kepastian hukum dalam setiap langkah transaksi.

5.      Pelaporan ke Pihak Berwenang:

Tanggung jawab PPAT juga melibatkan pelaporan yang akurat dan tepat waktu kepada pihak berwenang, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ini mencakup penyusunan dokumen pelaporan yang sesuai dan mengirimkannya untuk proses registrasi dan pencatatan yang sah.

6.      Etika Profesional:

PPAT harus bertindak dengan itikad baik dan menjalankan tugasnya dengan etika profesional yang tinggi. Ini melibatkan menjaga kerahasiaan informasi klien, menghindari konflik kepentingan, dan memberikan pelayanan dengan integritas dan transparansi.

7.      Pemenuhan Ketentuan Hukum Adat:

Jika terdapat unsur hukum adat setempat yang masih berlaku, PPAT harus memastikan pemenuhan terhadap ketentuan hukum adat tersebut. Hal ini bisa melibatkan konsultasi dengan tokoh atau pihak yang berkompeten dalam konteks hukum adat.

Peralihan Hak Atas Tanah Sepihak oleh PPAT

Peralihan hak atas tanah sepihak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan etika profesi dan prinsip-prinsip hukum yang mengatur proses peralihan hak atas tanah. PPAT memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap transaksi peralihan hak atas tanah dilakukan dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan tanpa kehadiran pemegang hak dapat dianggap tidak sah atau cacat hukum(Iftitah, 2014).

PPAT seharusnya menjunjung tinggi prinsip itikad baik dalam menjalankan tugasnya. Peralihan hak atas tanah sepihak dapat mencerminkan pelanggaran etika profesi karena melibatkan tindakan yang tidak transparan dan dapat merugikan salah satu pihak. PPAT diharapkan untuk selalu bertindak dengan integritas dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi mereka.

Salah satu contoh kasus ini yakni Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 347/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Tim, Notaris yang juga menjabat sebagai PPAT dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan Akta Jual Beli nomor 6657/2004 yang dibuat oleh PPAT tersebut dinyatakan tidak sah atau cacat hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. PPAT tersebut membuat akta jual beli tanpa persetujuan dan sepengetahuan pemilik objek, yang mana dalam hal ini sangat merugikan pemilik objek tersebut (Hernando, 2021).

Pengadilan menyatakan bahwa Notaris yang juga menjabat sebagai PPAT melakukan perbuatan melawan hukum. Ini bisa merujuk pada pelanggaran etika profesi, kecurangan, atau pelanggaran hukum lainnya yang terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat notaris dan PPAT.

Akta Jual Beli dengan nomor 6657/2004 yang dibuat oleh PPAT tersebut dinyatakan tidak sah atau cacat hukum. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan atau pelanggaran dalam proses pembuatan akta tersebut, yang dapat mencakup informasi yang tidak akurat, kelalaian dalam verifikasi dokumen, atau pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang mengatur peralihan hak atas tanah.

Penting untuk dicatat bahwa akta jual beli yang dinyatakan cacat hukum oleh pengadilan juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Artinya, transaksi tersebut tidak sah secara hukum dan tidak dapat dianggap sebagai dasar yang sah untuk peralihan hak atas tanah.

Putusan ini dapat memiliki dampak hukum yang serius bagi Notaris yang bersangkutan. Selain dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, reputasi profesi Notaris dan PPAT tersebut dapat tercoreng. Konsekuensinya dapat mencakup sanksi administratif, tuntutan ganti rugi, atau tindakan disiplin sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Kasus peralihan hak atas tanah sepihak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memunculkan pertimbangan serius dari perspektif hukum dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang merangkum landasan konstitusional negara. Dalam analisis ini, akan dibahas beberapa aspek yang mencakup pelanggaran hukum, dampak terhadap etika profesi, dan implikasi terhadap prinsip-prinsip konstitusional.

Peralihan hak atas tanah sepihak yang dilakukan oleh PPAT dapat dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap kewajiban hukum dan etika profesi. PPAT, sebagai penjaga keabsahan transaksi tanah, memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap proses peralihan hak sesuai dengan itikad baik dan ketentuan hukum yang berlaku. Pelanggaran ini bisa melibatkan kelalaian dalam verifikasi dokumen, pengabaian prosedur yang ditetapkan, atau tindakan melawan hukum.

Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 menekankan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan harus dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Peralihan hak atas tanah sepihak yang tidak sah bisa dianggap sebagai penyimpangan dari prinsip kekuasaan yang seharusnya dipegang oleh rakyat. Begitu juga dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menetapkan bahwa bumi dan kekayaan alamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Pelanggaran prinsip ini dapat menciptakan ketidaksesuaian dengan semangat pembangunan hukum yang berkeadilan.

Dampak hukum dari peralihan hak atas tanah sepihak melibatkan potensi pencabutan izin dan penerapan sanksi hukum. Hal ini dapat mencakup sanksi administratif, sanksi pidana, atau tindakan hukum lain sesuai dengan regulasi yang berlaku. Selain itu, peralihan hak atas tanah sepihak juga bisa merugikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga PPAT dan profesi notaris secara umum, mengingat hal tersebut bertentangan dengan semangat pembangunan hukum yang adil, transparan, dan berkeadilan.

Dalam konteks konstitusional, pelibatan PPAT dalam praktik peralihan hak atas tanah sepihak dapat dianggap sebagai pengabaian terhadap prinsip pemerintahan yang baik, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Oleh karena itu, perlindungan hak-hak masyarakat dan menjaga integritas lembaga PPAT memerlukan pematuhan terus-menerus terhadap prinsip-prinsip hukum dan konstitusional.

 

Kesimpulan

Secara keseluruhan, kasus peralihan hak atas tanah sepihak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menggambarkan kompleksitas isu hukum, etika profesi, dan konstitusional. Penelitian ini menyoroti pelanggaran hukum dan dampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat yang diakibatkan oleh tindakan tersebut. Peralihan hak tanah yang tidak sah melibatkan PPAT menunjukkan ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum dan etika profesi, merugikan kepercayaan publik terhadap lembaga notaris. Dampaknya mencakup pencabutan izin dan sanksi hukum, menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap norma-norma hukum. Temuan ini memberikan pengingat bahwa menjaga integritas profesi notaris memerlukan komitmen terhadap prinsip-prinsip etika dan kepatuhan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa di masa depan dan memastikan kepercayaan masyarakat terhadap proses peralihan hak atas tanah.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Baharudin. (2014). Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Dalam Proses Jual Beli Tanah Baharudin. Keadilan Progresif, 5(1), 88�101.

 

Hartana, I. G. A. A. M. C. (2019). Hukum tanah sebagai bagian dari hukum agraria dalam pembangunan nasioal di indonesia. 7(3), 114�118.

 

Hernando, K. (2021). Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Yang Dibuat Tanpa Sepengetahuan dan Persetujuan Pemilik Objek Dalam Gunawan Djajaputra A . Latar Belakang Tanah merupakan hal yang tak ternilai harganya, dan sifatnya sangat kompleks bagi kehidupan umat manusia . Setiap ora. 711�734.

 

Iftitah, A. (2014). Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Dalam Membuat Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya. Lex Privatum, 2(3), 49�55.

 

PP19/2021, UUD/1945, UU5/1960, UU2/2012, & UU11/2020. (2021). Permen RI No. 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Negara Republik Indonesia, 086995, 1�112.

 

Rasyidi, M. A. (2021). Hukum Tanah Adalah Hukum yang Sangat Penting, Dibutuhkan Oleh Masyarakat/Bangsa Indonesia di dalam Kehidupan Sehari-hari. Jurnal Mitra Manajemen, 12(2), 53-59.

 

Rini, S. (2023). Peranan Ppat (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Dalam Pembuatan Akta Jual. 502�511.

 

UUD Republik Indonesia. (2016). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peratumn Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 16.

 

UU-RI. (2021). Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, 086597, 1�99.

Copyright holder:

Tara Ulina, Amad Sudiro (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: