Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 1, Januari 2024
PERTANGGUNGJAWABAN
MANAJEMEN RS PHC SURABAYA DALAM PEREKRUTAN PRAKTIK DOKTER ILEGAL BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN
Jayanti Purnama Sari1, Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa2,
I Gusti Ayu Putri Kartika3, I Gde Sastra Winata4
Program Studi Magister Hukum Kesehatan, Universitas Udayana,
Indonesia1,2,3,4
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4
Abstrak
Penelitian ini menyelidiki kasus Susanto, seorang
dokter ilegal yang bekerja di RS Primasatya Husada Citra Surabaya selama kurang
lebih 3 tahun, yang telah menimbulkan keresahan di masyarakat Surabaya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi peran Komite Medik RS Primasatya
Husada Citra dalam mengawasi proses perekrutan dokter dan dampaknya terhadap
pasien yang menerima dosis atau tindakan salah oleh Susanto. Metode yang
digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, melibatkan
analisis dokumen atau data sekunder dan disajikan secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Komite Medik RS PHC Surabaya gagal menjalankan
tugasnya secara optimal, memungkinkan Susanto, yang tidak memenuhi syarat,
untuk menduduki posisi sebagai dokter. Implikasi bagi pasien yang mendapat
dosis atau tindakan salah adalah mereka berhak mengajukan tuntutan hukum untuk
kompensasi dan keadilan, termasuk tuntutan pidana dan gugatan perdata.
Kesimpulan penelitian ini menekankan bahwa kegagalan pengawasan oleh Komite
Medik telah menyebabkan pelanggaran serius dalam sistem kesehatan. Hal ini
menuntut peningkatan audit dan evaluasi proses perekrutan serta perlindungan
hukum yang lebih kuat bagi pasien untuk mencegah terjadinya kasus serupa di
masa depan. Penelitian ini menjadi penting dalam konteks pengembangan kebijakan
dan praktik kesehatan di Indonesia, khususnya dalam peningkatan pengawasan
terhadap perekrutan tenaga medis guna menghindari kejadian serupa yang bisa
berdampak negatif pada keselamatan pasien.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Hukum,
Implikasi Hukum, Peran Komite Medik
Abstract
This research
investigates the case of Susanto, an illegal doctor who worked at RS Primasatya
Husada Citra Surabaya for about 3 years, causing unrest in Surabaya's
community. The study aims to explore the role of the RS Primasatya Husada Citra
Medical Committee in overseeing doctor recruitment and its impact on patients
receiving incorrect doses or treatments from Susanto. A normative juridical
method with a qualitative approach was used, involving secondary document
analysis, presented descriptively. The findings reveal that the RS PHC Surabaya
Medical Committee failed to optimally perform its duties, allowing unqualified
Susanto to become a doctor. Patients affected by incorrect treatments have the
right to seek legal claims for compensation and justice, including criminal
charges and civil lawsuits. The conclusion emphasizes the serious breaches in
the healthcare system due to the Medical Committee's oversight failure, calling
for enhanced audit and recruitment process evaluation, and stronger legal protection
for patients to prevent similar future incidents. This research is significant
in the context of healthcare policy and practice development in Indonesia,
especially in improving the supervision of medical staff recruitment to avoid
similar adverse impacts on patient safety.
Keyword: Legal Liability; Legal
Implications; Role of the Medical Committee
Pendahuluan
Manusia sejak lahir memiliki hak-hak dasar yang
tak dapat dicabut oleh siapa pun. Hak-hak ini dikenal sebagai Hak Asasi Manusia
atau HAM, yang melekat pada setiap individu sejak kelahirannya tanpa memandang
ras, suku, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Hak-hak asasi ini mencakup
hak untuk hidup, kebebasan, kesetaraan, kebebasan beragama, hak atas pengadilan
yang adil, dan berbagai hak lainnya ( Sidi, 2022).
Salah satu hak asasi manusia adalah hak atas
kesehatan, dimana hak ini merupakan konsep yang mencerminkan usaha untuk
mencapai derajat kesehatan tertinggi yang mungkin sebagai bagian dari hak dasar
setiap individu. Hak atas kesehatan berkembang seiring dengan Revolusi Industri
di abad ke-19 dan didorong oleh kemajuan ilmu kedokteran dan kesehatan (Sidi, 2022). Reformasi di bidang kesehatan pada abad ke-19,
yang dikenal sebagai kebijakan Sanitary Revolution yang ditetapkan oleh
pemerintahan Inggris, menjadi tonggak penting dalam pengakuan kesehatan sebagai
hak dasar individu. Sejak saat itulah kesehatan diakui sebagai salah satu HAM (Muhamad, 2019).
Definisi hak atas kesehatan ini seringkali
mengacu pada upaya untuk mencapai kondisi kesehatan optimal, yang mengandung
dua dimensi utama, yaitu kebebasan (freedom) yang memberikan individu hak untuk
mengontrol tubuh dan kondisi kesehatannya, serta keberhakan (entitlements) yang
memberikan hak pada individu untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa
diskriminasi dan dengan prinsip kesetaraan (Muhamad, 2019).
Dalam konteks hak atas kesehatan dalam Hak Asasi
Manusia (HAM), penting untuk memahami bahwa HAM dan kesehatan memiliki hubungan
timbal balik. Pelanggaran HAM dapat berdampak negatif pada kesehatan individu
dan masyarakat, dan sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga
dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM. Dengan pemahaman ini, penting untuk
menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam kesehatan yaitu prinsip ketersediaan
(availability), keterjangkauan (accessibility), penerimaan (acceptability), dan
kualitas (quality).
Semua prinsip HAM dalam kesehatan tersebut
penting, tetapi prinsip kualitas (quality) dalam hak atas kesehatan perlu
menjadi perhatian. Prinsip kualitas ini mencerminkan komitmen untuk menyediakan
layanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai dengan standar profesi untuk
mencapai kesehatan yang optimal dan memenuhi hak dasar setiap individu. Selain
itu, prinsip kualitas ini juga mencerminkan bahwa masyarakat harus mendapatkan
layanan kesehatan berupa tenaga kesehatan yang kompeten dan ahli di bidangnya.
Sistem kesehatan yang efektif dan berkualitas
adalah fondasi penting untuk mendukung kesejahteraan masyarakat di sebuah kota.
Surabaya, sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia, tidak
terkecuali dalam kebutuhan akan sistem kesehatan yang baik. Pentingnya memiliki
sistem kesehatan yang efisien dan berkualitas sangat berkaitan erat dengan
kesejahteraan warga Surabaya, dan juga dengan upaya untuk menciptakan
lingkungan yang sehat dan aman bagi masyarakat.
Dalam konteks sistem kesehatan, rumah sakit (RS)
memiliki peran sentral dalam memberikan layanan medis yang berkualitas. RS
diharapkan untuk menyediakan fasilitas yang memadai dan tenaga medis yang
terlatih, termasuk dokter-dokter terbaik, untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang optimal kepada pasien. Namun, praktik sehari-hari di RS belum selalu
mencapai standar yang diharapkan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus yang
terungkap di Rumah Sakit PHC Surabaya ( Pramesuari & Agus,
2023).
Kasus ini baru-baru ini mencuat ke publik, mengungkapkan
adanya seseorang yang mengaku sebagai seorang dokter di RS PHC Surabaya, dengan
menggunakan data curian, dan bahkan menerima gaji sebesar Rp 7,5 juta per bulan
selama kurang lebih 3 tahun tanpa diketahui oleh siapapun dalam lingkup RS
tersebut. Dalam menjalankan modusnya, Susanto memulai penipuan pada tahun 2020
dengan mencuri berbagai dokumen milik dokter asli dr. AY yang bertugas di
Bandung, termasuk Surat Izin Praktik (SIP) Dokter, Ijazah Kedokteran, KTP,
serta sertifikat higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes) (Al Ansori, 2023). Selanjutnya, Susanto mengubah foto pada
dokumen-dokumen tersebut tanpa merubah isi asli dari dokumen tersebut. Semua
langkah ini diambil Susanto dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Pada tanggal 30 April 2020, Susanto menggunakan
data yang dicurinya untuk mengajukan lamaran pekerjaan di RS PHC Surabaya.
Karena pandemi COVID-19 sedang berlangsung, proses rekrutmen dilakukan secara
daring. Meskipun hanya berpendidikan Sekolah Menengah Atas, Susanto berhasil
mengecoh pihak PT PHC dan diterima sebagai dokter di Klinik Occupational
Health and Industrial Hygiene (OHIH/Hiperkes), yang dikelola oleh PT PHC
sejak 15 Juni 2020 (Christa, 2023).
Selama dua tahun berpura-pura menjadi dokter, ia
menerima gaji bulanan sebesar Rp7,5 juta, tanpa memperhitungkan tunjangan dan
fasilitas lainnya. Kejahatan Susanto akhirnya terungkap pada 12 Juni 2023,
ketika manajemen PT PHC menemukan ketidaksesuaian dalam berkas-berkas lamarannya
saat hendak memperpanjang kontraknya (Al Ansori, 2023). Tindakan ini mengakibatkan manajemen PT PHC
menghubungi dokter AY yang sebenarnya untuk mengklarifikasi situasi tersebut.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan pasien dan juga
integritas sistem kesehatan di Surabaya.
Dalam kasus ini, untuk menilai kasus pelanggaran
kode etik yang dilakukan oleh Susanto, diperlukan mempertimbangkan beberapa
pertimbangan yang mencakup tujuan spesifik yang ingin dicapai oleh tindakan
medis tersebut, manfaatnya bagi kesembuhan pasien, manfaatnya bagi
kesejahteraan pasien, serta penerimaan pasien terhadap tindakan tersebut (Widjaja et al., 2023). Selain itu, penting juga untuk
mempertimbangkan preseden tentang tindakan serupa yang mungkin telah ada
sebelumnya dalam praktik kedokteran. Terakhir, standar pelayanan medis yang
berlaku juga harus dijadikan acuan dalam mengevaluasi apakah tindakan medis
tersebut etis atau tidak.
Peraturan yang terkait dengan kasus di atas
adalah seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 Tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit, dimana dalam
peraturan ini disebutkan terkait tugas dan kewenangan Komite Medik di setiap
rumah sakit, yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12.
Pada intinya, pasal 11 ayat (1) peraturan menteri
kesehatan tersebut menyebutkan bahwa komite medik mempunyai tugas meningkatkan
profesionalisme staf medis dengan salah satu caranya yaitu melakukan kredensial
bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah sakit,
memelihara mutu profesi staf medis, serta menjaga disiplin, etika dan perilaku
profesi staf medis.
Selanjutnya, di pasal 11 ayat (2) peraturan
menteri kesehatan tersebut membahas yang pada intinya adalah bahwa komite medik
memiliki beberapa fungsi yaitu penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian dalam
hal kompetensi, kesehatan fisik dan mental, perilaku, etika profesi. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
tersebut, pasal 12 di peraturan yang sama menyebutkan bahwa komite medik mempunyai
beberapa wewenang yang diantaranya adalah memberikan rekomendasi penolakan
kewenangan klinis (clinical privilege) tertentu dan memberikan rekomendasi
pemberian tindakan disiplin.
Kemudian, dari kasus pelanggaran dokter ilegal
Susanto ini, terdapat implikasinya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam
undang-undang tersebut, telah diatur tentang sanksi terhadap setiap orang yang
mengaku sebagai dokter sehingga perlu ditinjau dari Undang-Undang No. 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan tersebut juga (Widjaja, 2023).
Juga, sangat penting untuk mengangkat kasus ini sebagai
sumber pembelajaran bagi RS lain di Surabaya dan seluruh Indonesia. Aspek
kebaruan penelitian ini menggali secara mendalam melalui lensa hukum Kesehatan
serta menyoroti kesenjangan dalam pengawasan dan manajemen tenaga medis yang
bisa berakibat pada pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya
hak atas kesehatan yang aman dan berkualitas (Firmansyah, 2020).
Dengan menganalisis kasus ini, penelitian
membuka wawasan baru tentang pentingnya mekanisme pengawasan yang lebih ketat
dan transparan dalam perekrutan tenaga medis. Hal ini tidak hanya relevan untuk
meningkatkan standar praktik medis, tetapi juga untuk memastikan bahwa hak-hak
pasien terlindungi secara hukum, meminimalkan risiko kesalahan medis, dan
meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan di Indonesia (Notoatmodjo, 2010). Pendekatan ini memberikan kontribusi
signifikan terhadap literatur hukum kesehatan, mengingat kebutuhan mendesak
akan reformasi dan pengawasan yang lebih baik dalam sistem kesehatan di
Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalah yang diangkat pada penulisan ini adalah sebagai berikut; 1) Bagaimana
peran IDI, Dinas Kesehatan dan Komite Medik RS Primasatya Husada Citra Surabaya
dalam pengawasan proses perekrutan dokter? 2) Bagaimana implikasi bagi pasien
yang mendapatkan dosis dan/atau tindakan salah yang dilakukan oleh dokter
ilegal Susanto?
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel
jurnal ini adalah metode yuridis normatif yang melibatkan analisis terhadap
dokumen atau data sekunder. Data sekunder tersebut mencakup teori hukum,
undang-undang, dokumen resmi, hasil penelitian, dan sebagainya.
Selanjutnya pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif
dimana mengacu pada studi pustaka yang terkait dengan penelitian dan disajikan
secara deskriptif demi mendapat kesimpulan hasil penelitian yang terperinci.
Hasil dan Pembahasan
Peran IDI, Dinas
Kesehatan Kota Surabaya dan Komite Medik RS Primasatya Husada Citra Surabaya
dalam Pengawasan Proses Perekrutan Dokter
Peran Komite Medik Rumah Sakit sangat penting
dalam mengawasi sistem kredensial yang diterapkan oleh pihak klinik atau rumah
sakit. Satu alasan mengapa dokter ilegal Susanto bisa menyamar menjadi dokter
adalah karena adanya kegagalan dalam sistem kredensial yang diterapkan oleh
pihak klinik atau rumah sakit. Sistem kredensial tersebut seharusnya mampu
mencegah orang seperti Susanto masuk ke dalam sistem pelayanan medis. Tujuan
utama dari sistem kredensial ini adalah untuk menjaga keselamatan pasien dengan
memastikan bahwa staf medis yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien
memenuhi standar dan kompetensi yang diperlukan (Jaksa, et al., 2023).
Dalam pengawasan proses perekrutan dokter, peran
komite medik rumah sakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
755/MENKES/PER/IV/2011 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah
Sakit. Di dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b peraturan menteri kesehatan
tersebut disebutkan bahwa Komite medik mempunyai tugas meningkatkan
profesionalisme staf medis yang bekerja di rumah sakit dengan cara melakukan
kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah
sakit,memelihara mutu profesi staf medis, serta menjaga disiplin, etika dan
perilaku profesi staf medis (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2011).
Di peraturan yang sama, di dalam Pasal 11 ayat
(2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas kredensial komite medik memiliki
fungsi sebagai penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian: 1) kompetensi; 2)
kesehatan fisik dan mental; 3) perilaku; dan 4) etika profesi.
Dalam konteks kasus di RS PHC Surabaya, proses
seleksi sumber daya manusia menurut (Darkoh, 2014) dapat terdiri dari
penyaringan (screening), tes seleksi (selection test), referensi dan
pemeriksaan latar belakang (reference & background check), wawancara (interview),
pemeriksaan fisik (physical examination), dan tawaran pekerjaan (job offering).
Dalam kaitannya dengan kasus dokter ilegal Susanto, komite medik tidak berhasil
melaksanakan tugasnya secara efektif dalam melakukan penyaringan (screening)
dan referensi serta pemeriksaan latar belakang (reference & background
check) terhadap pemohon kewenangan klinis, sehingga memungkinkan Susanto, yang
sebenarnya tidak memenuhi syarat, untuk mendapatkan posisi sebagai dokter
ilegal.
Hal ini menunjukkan pentingnya menjalankan
proses pemeriksaan dan pengkajian yang ketat sesuai dengan peraturan yang
berlaku untuk memastikan bahwa hanya individu yang memenuhi syarat dan memiliki
integritas yang tinggi yang dapat berpraktik dalam bidang kedokteran (Bambuta et al., 2019).
Berdasarkan Pasal 12 huruf c dan h diatas, dalam
melakukan tugas dan fungsinya, komite medik memiliki beberapa wewenang yang
diantaranya adalah berwenang memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis
(clinical privilege) tertentu dan pemberian tindakan disiplin. Dalam hal ini,
jika Komite Medik telah menjalankan tugasnya dengan baik, mereka seharusnya
mampu mengidentifikasi bahwa Susanto tidak memiliki kualifikasi yang sesuai
untuk mendapatkan kewenangan klinis sebagai dokter. Oleh karena itu, mereka
seharusnya memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical
privilege) untuknya karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukan hal itu.
Perlu diperhatikan juga bahwa Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) memainkan peran penting dalam memberikan rekomendasi Surat Izin
Praktik kepada dokter, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tahun 2011 tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran. Pasal 8 ayat (1) huruf d secara implisit menyebutkan,
"Untuk memperoleh SIP, Dokter dan Dokter Gigi harus mengajukan permohonan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik kedokteran
dilaksanakan dengan melampirkan: surat rekomendasi dari organisasi profesi,
sesuai tempat praktik" (Syahputra, 2022).
Dalam konteks kasus Susanto, pihak rumah sakit
(RS) ternyata mengabaikan pengecekan ulang terhadap Surat Izin Praktik yang dimiliki
oleh Susanto. Seharusnya, RS melakukan verifikasi melalui situs web
https://idionline.org/organisasi/info/diranggota karena SIP yang diterbitkan
oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya didasarkan pada rekomendasi dari Ikatan
Dokter Indonesia.
Di sisi lain, Dinas Kesehatan Kota Surabaya
mempunyai peran dalam memberikan Surat Izin Praktik kepada dokter yang akan
menjalankan praktik kedokteran. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tahun 2011 tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran, dimana di Pasal 2 ayat (2) menyebutkan hal tersebut (Firmansyah et al., 2020).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut,
bentuk pengawasan Dinas Kesehatan Kota Surabaya adalah dapat mengambil tindakan
administratif terhadap pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan itu berupa
peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan SIP. Peran Manajemen dan
Komite Medik RS PHC dalam proses rekrutmen melibatkan pemeriksaan pengajuan
lamaran, Surat Tanda Registrasi (STR), Surat Izin Praktik (SIP), dan
persyaratan lainnya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dalam meninjau
persyaratan ini, pihak RS PHC tidak berhasil memvalidasi kelengkapan karena
Susanto melakukan pemalsuan data dokter AY, mengganti foto dokter AY dengan
fotonya sendiri sehingga dengan mudah berhasil melewati proses tersebut.
Kemudian, Komite Medik RS PHC dalam proses
perekrutan tenaga medis memiliki peran untuk melaksanakan proses kredensial
bagi semua tenaga medis di rumah sakit tersebut . Namun, kenyataannya, terdapat
kegagalan dalam implementasi sistem kredensial yang diterapkan oleh pihak rumah
sakit. Sistem kredensial seharusnya dapat menghindarkan kehadiran Susanto dalam
lingkup pelayanan medis. Sistem tersebut sejatinya dirancang untuk menjamin
bahwa setiap layanan medis hanya diberikan oleh tenaga medis yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi yang sesuai (Ansyah et al., 2017).
Lebih lanjut, dengan terjadinya kasus dokter
ilegal Susanto yang berhasil lolos menyamar sebagai dokter sungguhan, artinya
Manajemen RS PHC Surabaya dan Komite Medik tidak melakukan audit atau
pemeriksaan secara berkala terhadap staf medis-nya, baik audit kompetensi
maupun etika profesi. Adapun konsekuensi hukum terhadap manajemen RS PHC
Surabaya adalah bahwa RS PHC Surabaya harus bertanggung jawab terhadap kerugian
yang timbul karena kelalaiannya dalam perekrutan dokternya.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 193 UU No. 17
Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang berbunyi “Rumah Sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.” (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, 2023). Pihak RS PHC Surabaya pun dapat dikenakan
sanksi administratif karena telah melanggar kewajibannya berdasarkan Pasal 189
ayat (1) huruf g UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dimana kewajiban rumah
sakit tersebut adalah membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani Pasien.
Maka dari itu, sangat penting bagi
negara untuk hadir dalam mengimplementasikan prinsip kualitas (quality)
terhadap hak atas kesehatan bagi warga negaranya yaitu dengan menjamin dan
mengawasi bahwa setiap tenaga medis atau dokter benar-benar telah kompeten di
bidangnya dan memiliki Surat Izin Praktik (SIP), ijazah kedokteran, dan
surat/izin lainnya (Syahputra, 2022).
Implikasi bagi Pasien yang Mendapatkan Dosis
dan/atau Tindakan Salah yang Dilakukan oleh Dokter Ilegal Susanto
Salah satu hak setiap orang yang diatur dalam
Pasal 4 UU No. 17 Tahun 2023 adalah mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau agar dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang
setinggi-tingginya. Selain itu, dalam Pasal 276 huruf b UU No. 17 Tahun 2023 disebutkan
bahwa pasien mempunyai hak mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu.
Oleh karena hak-hak pasiennya
dilanggar, maka pasien yang mendapatkan dosis dan/atau tindakan salah yang
dilakukan oleh dokter ilegal Susanto dapat mengajukan tuntutan hukum untuk
mendapatkan ganti rugi dan keadilan. Tuntutan hukum dapat berupa tuntutan
pidana dan gugatan perdata (Pramesuari & Agus,
2023).
Dalam hal tuntutan hukum secara pidana, pelapor
dapat mengajukan tuntutan tersebut dengan cara melaporkan dokter ilegal
tersebut kepada kepolisian setempat dengan melampirkan bukti-bukti dan
dasar-dasar hukum yang dapat menjerat dokter ilegal tersebut. Adapun dasar
hukum yang dapat diajukan sebagai tuntutan pidana adalah sebagai berikut (Moeljatno, 2021).
1. Pasal 439 UU
No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang bukan
Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan, namun melakukan praktik seakan-akan mereka
adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang memiliki Surat Izin Praktik
(SIP), dapat dikenai hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda
maksimal sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Pasal 441
ayat (1) UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang
menggunakan identitas palsu, seperti gelar atau bentuk lainnya, yang membuat
kesan masyarakat bahwa ia adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang sah
dengan Surat Tanda Registrasi (STR) dan/atau Surat Izin Praktik (SIP) sesuai
dengan Pasal 312 huruf a, dapat dikenai hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun
atau denda maksimal sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 442 UU
No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang
mempekerjakan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki Surat
Izin Praktik (SIP) sesuai dengan Pasal 312 huruf c, dapat dikenai hukuman
pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 378
KUHP
Pasal ini mengatur bahwa siapa pun yang dengan
niat untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain dengan cara
yang melanggar hukum, seperti menggunakan nama palsu, identitas palsu, tipu
daya, atau serangkaian kebohongan, untuk mempengaruhi orang lain agar
menyerahkan barang, memberi hutang, atau menghapuskan piutang, dapat dihukum
penjara maksimal selama empat tahun karena melakukan penipuan.
Adapun tuntutan hukum secara perdata, penggugat
dapat menggugat dokter ilegal dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang pada intinya mengatur bahwa
setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian terhadap orang
lain, orang yang menimbulkan kerugian itu wajib menggantikan kerugian tersebut
yang disebabkan kesalahannya. Dari pengaturan pasal tersebut, maka penggugat
harus memastikan bahwa unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum telah terpenuhi yang
terdiri dari: 1) Terdapat perbuatan melawan hukum; 2) Terdapat kesalahan; 3) Terdapat
kerugian; dan 4) Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum,
kesalahan dan kerugian yang ada.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
peran komite medik Rumah Sakit dalam pengawasan proses perekrutan dokter di
kasus di RS PHC Surabaya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
755/MENKES/PER/IV/2011 tahun 2011, dimana komite medik RS PHC Surabaya tidak
berhasil melaksanakan tugasnya yang memungkinkan Susanto, yang sebenarnya tidak
memenuhi syarat, untuk mendapatkan posisi sebagai dokter ilegal. Adapun
implikasi bagi pasien yang mendapatkan dosis dan/atau tindakan salah yang
dilakukan oleh dokter ilegal Susanto adalah bahwa pasien berhak mengajukan
tuntutan hukum untuk mendapatkan ganti rugi dan keadilan. Tuntutan hukum dapat
berupa tuntutan pidana dan gugatan perdata.
Adapun beberapa saran dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Rumah Sakit PHC Surabaya, harus secara rutin
melakukan audit dan evaluasi internal yang ketat terhadap proses perekrutan
dokter dan tenaga medis. Audit tersebut dapat mencakup pemeriksaan berkas
lamaran, validasi kualifikasi, dan pemeriksaan latar belakang calon tenaga
medis. Audit yang berkala akan membantu mengidentifikasi potensi masalah dalam
proses perekrutan dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan. Hasil
audit ini harus diambil tindakan yang sesuai untuk memperbaiki proses rekrutmen
dan meningkatkan pengawasan komite medik.
Pasien harus diberikan perlindungan hukum yang
jelas terhadap masalah ini. Sistem hukum harus mengenali hak-hak pasien untuk
menerima pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan sesuai dengan standar
profesi. Penting untuk memastikan bahwa pasien yang menjadi korban praktik
medis ilegal atau salah oleh dokter ilegal memiliki akses yang mudah untuk
mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku. Sistem hukum juga harus memastikan
bahwa hukuman yang diberikan kepada dokter ilegal atau pelaku serupa
mencerminkan seriusnya pelanggaran tersebut dan memberikan keadilan kepada
korban. Dalam kasus ini, pelibatan aparat penegak hukum, pengacara, dan lembaga
yang dapat memberikan dukungan hukum kepada pasien sangat penting untuk memastikan
keadilan dan perlindungan hukum yang memadai.
BIBLIOGRAFI
Adu-Darkoh, M. (2014). Employee
recruitment and selection practices in the construction industry in Ashanti
Region.
Al Ansori, A. N. (2023). Kronologi
Susanto Jadi Dokter Gadungan di RS PHC Surabaya dengan Gaji Rp7 Juta per Bulan,
Bermodal Data Curian. Liputan6.Com.
https://www.liputan6.com/health/read/5396556/kronologi-susanto-jadi-dokter-gadungan-di-rs-
Ansyah, R., Putra, S., & Sudiro, S. (2017).
Analisis Pelaksanaan Peran, Fungsi dan Wewenang Governing Body di Rumah Sakit
Islam NU Demak. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia, 5(2),
119–130.
Aulia, A. F. (2019). Analisis pelaksanaan
rekrutmen dan seleksi calon karyawan baru di RSIA Kendangsari Merr Surabaya. Medical
Technology and Public Health Journal, 3(2), 107–119.
Bambuta, R. M., Mandagi, C. K. F., &
Maramis, F. R. R. (2019). Analisis Rekrutmen Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit
Manado Medical Center. KESMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Sam
Ratulangi, 8(3).
Christa, A. V. (2023). IDI Ungkap
Penyebab Susanto Bisa Leluasa Jadi Dokter Gadungan Bertahun-tahun.
BeritaSatu.Com.
https://www.beritasatu.com/nusantara/1066899/idi-ungkap-penyebab-susanto-bisa-leluasa-jadi-dokter-gadungan-bertahuntahun
Firmansyah, Y., Sylvana, Y., & Wijaya,
H. (2020). Aspek Hukum Pidana Terhadap Individu Yang Menggunakan Identitas
Palsu Sebagai Seorang Dokter (DOKTEROID). Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, Dan Seni, 4(2), 429–438.
Jaksa, S., Sigit, S. A., A’la Al Maududi,
A., Latifah, N., & Arifianti, N. (2023). Pelaksanaan Kredensial dan
Rekredensial Dokter Umum di Rumah Sakit X Ciputat. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian LPPM UMJ, 1(1).
Kaseger, M. S. M., Maramis, F. R. R., &
Kolibu, F. K. (2019). Analisis Rekrutmen Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit Cantia
Tompaso Baru. KESMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi,
8(4).
Moeljatno. (2021). Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Bumi Aksara.
Muhamad, S. I. (2019). Etika dan Hukum
kesehatan di Indonesia (Cetakan ke-3). Prenadamedi Group.
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku
kesehatan. Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. (2011). Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit.
Pramesuari, F. D., & Agus, A. S. S.
(2023). Hak dan Tanggungjawab Dokter Dalam Melakukan Tindakan Medis. Jurnal
Hukum Dan HAM Wara Sains, 2(09), 701–720.
Sidi, R. (2022). Hak Asasi Manusia Dalam
Perspektif Hukum Kesehatan di Indonesia. Perdana Publishing.
Sofyan, A. M., & Munandar, M. A.
(2021). Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan, Eutanasia, Dan Aborsi: Suatu
Refleksi, Teoretis, dan Empiris. Prenada Media.
Sulaiman, E. S. (2022). Pendidikan dan
Promosi Kesehatan: Teori dan Implementasi di Indonesia. UGM PRESS.
Syahputra, R. (2022). Kebijakan Penerbitan
Surat Izin Praktik Dokter Di Indonesia. Jurnal Hukum Positum, 7(1),
67–82.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2023 tentang Kesehatan, (2023).
Widjaja, M., Fahmi, F., & Triana, Y. (2023).
Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Tindakan Malpraktik. Innovative:
Journal Of Social Science Research, 3(3), 5788–5799.
Widodo, A. P. W., Ardiansah, A., &
Fahmi, S. (2022). Penegakan Hukum Terhadap Pemalsu Identitas Dokter Dalam
Perspektif Keadilan. Law, Development and Justice Review, 5(1),
89–104.
Yuliana, Y., & Rahayu, S. (2022).
Analisis Rekrutmen Dan Seleksi Karyawan di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Public
Health and Safety International Journal, 2(02), 107–113.
Copyright holder: Jayanti Purnama Sari, Anak Agung Gede Duwira Hadi
Santosa, I Gusti Ayu Putri Kartika, I Gde Sastra Winata (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |