Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
PENGGUNAAN CRYPTOCURRENCY SEBAGAI OBJEK JAMINAN
FIDUSIA
Deny Akbar Santoso1*, Ermanto Fahamsyah2,
Firman Floranta Adonara3
1*,2,3 Fakultas Hukum Universitas
Jember, Indonesia
Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected]
Abstrak
Kemajuan revolusi 4.0 mendasari terciptanya cryptocurrency,
secara universal awalnya cryptocurrency memanglah dimaknai hanya sebagai
mata uang belaka, namun dikala ini telah mengalami perluasan sudut pandang
maupun fungsinya. Perihal itu dibuktikan dengan telah digunakannya cryptocurrency
sebagai suatu jaminan; berlandaskan perihal itu maka dapat dikonsipsikan
bahwasanya cryptocurrency dapat dipergunakan sebagai objek jaminan
fidusia. Selaras perihal itu, maka diperlukannya kajian mendalam terkait
penggunaan cryptocurrency sebagai objek jaminan fidusia; pokok
permasalahannya yaitu keistimewaan serta kepastian
hukum penggunaan cryptocurrency
sebagai objek
jaminan fidusia. Tujuan dari penelitian
ini ialah memperoleh korelasi antara cryptocurrency
dengan jaminan fidusia. Teknik peradilan normatif, undang-undang, dan
konseptual digunakan dalam metodologi penelitian ini. Hasil penelitian ini yakni crytocurrency yang
dipergunakan sebagai jaminan fidusia tidak melanggar norma hukum yang sudah ada
dan berlaku, alhasil dapat dikatakan sah karena selaras dengan teori dari Roscoe Pound yang menyatakan bahwasanya di mana hukum
selaku alat pembaharuan masyarakat. Cryptocurrency mempunyai
keisitimewaan sebagai komoditi
yang mempunyai hak atau kepentingan, berbentuk digital aset dan dapat dimiliki
oleh perseorangan maupun badan hukum; serta dapat diklasifikasikan kedalam
hukum kebendaan yang bersifat memberikan jaminan sepanjang dapat dibuktikannya hak kepemilikannya, sehingga dapat
digunakan sebagai terobosan atau perkembangan dalam hukum jaminan, khususnya sebagai objek
jaminan fidusia. Cryptocurrency
yang digunakan sebagai
jaminan
fidusia akan berlaku asas droit de
suit (Pasal 1 angka 1 UU.4/1999); penjaminan atas cryptocurrency
berlaku asas publisitas (Pasal 11 UU.4/1999 jo. PP.21/2015). Senyampang
perihal itu, cryptocurrency
hanya dapat dipergunakan sebagai jaminan tambahan bukan sebagai jaminan pokok,
karena sifat cryptocurrency
memliki harga yang sangat flutuatif.
Kata kunci: Cryptocurrency,
Jaminan Fidusia, Status Hukum.
Abstract
The improvement of revolution 4.0 is the foundation of
cryptocurrency being created. In beginning, cryptocurrency was used for normal
currency, but now it has an extension of viewpoints and functions. It has been
proven by cryptocurrency was used as a guarantee object; so cryptocurrency also
can be conceived as a fiduciary guarantee object and it needs deep research
about that. The privilege and legal certainty of cryptocurrency that is used as
a fiduciary guarantee object is the main problem of this thesis. The objective
of this study is to gather bitcoin and fiduciary guarantee items. This study
employs a legal normative methodology; a legislative approach and notion. In
accordance with Roscoe Pond's view that the law is a tool of social
engineering, the conclusion of this study is that a cryptocurrency that once
served as a fiduciary assurance does not violate the law and may be considered
legitimate. Cryptocurrency has the privilege of a commodity that has rights and
interests, in digital assets form that can be had with a person or a legal
entity; and it can be classified as a law of goods that has the quality to give
guarantee as long as it can be proved the ownership. So it can be used as a
breakthrough or progress in the law of warranty, specifically as an object of
fiduciary warranty. The cryptocurrency used as the fiduciary warranty will be
applied with the droit de suite principle (Article 1 point 1 Of The Law.
4/1999); the cryptocurrency guarantee will be applied with the publicity
principle (Article 11 of The Law. 4/1999 jo. Government Regulations. 21/2015.
Accordingly, with all that has been explained before, cryptocurrency only can
be used as an additional warranty and not as a main warranty because its
characteristic has a fluctuating price.
Keywords: Cryptocurrency, Fiduciary
Warranty, Law Status
Pendahuluan
Kebutuhan pertumbuhan global dan peningkatan teknologi
informasi dan komunikasi yang semakin pesat telah memunculkan periode revolusi
industri 4.0, yang telah memiliki implikasi luas bagi kehidupan sehari-hari
masyarakat. Salah satu dampak fundamental dari perkembangan tersebut ialah pada
sektor ekonomi yang mengalami pergeseran yang signifikan. Pergesearan tersebut
memunculkan dinamika baru, sehingga mengakibatkan terjadinya perpaduan antara
ekonomi dengan digital, sehingga memunculkan istilah baru yaitu ekonomi digital
atau digital economics. Perubahan
fundamental yang terjadi pada sektor ekonomi ialah terciptanya uang digital (digital currency) atau yang lebih dikenal dengan istilah cryptocurrency.
Fenomena cryptocurrency
saat ini sudah menjadi salah satu bahasan pokok di
seluruh dunia, tak tekecuali di Indonesia. Selaras hal tersebut, pada tahun
2022 lalu khususnya dalam pertemuan G20 yang di adakan di Nusa Dua-Bali,
Indonesia juga sedikit banyak membahas mengenai keberadaan cryptocurrency (Doni, 2022). Cryptocurrency ialah sebuah alat tukar digital yang diciptakan dengan teknik khusus,
yaitu teknologi berbasis kriptogarfi yang terdapat pada sebuah blockchain (Ida Bagus Prayoga Bhiantara, 2018). Blockchain
merupakan sebuah teknologi sebagai media atau alat pencatatan pada sistem
transasksi yang saling terhubung dengan menggunakan kode-kode algoritma yang
cukup unik dan rahasia (enkripsi) yang berbasis pada jaringan dan komputer sehingga tidak bisa dengan
mudah untuk dirubah dan bersifat kekal (Patrick Schueffel, 2017). Disisi lain, kode
enkripsi yang terdapat pada blockchain tersebut juga
berfungsi sebagai pengontrol dari jumlah cryptocurrency yang telah ada
dan beredar serta mengonfirmasi pendistribusiannya yang berjalan secara
independen dan juga otomatis (Palmira Rotua Simbolon, 2019). Hal tersebut
selaras dengan tujuan awal dari diciptakannya cryptocurrency
yaitu terciptanya suatu alat transaksi
yang dapat dilakukan secara cepat dan independen sehingga tidak diperlukannya
lagi campur tangan dari pihak ketiga seperti perbankan maupun pemerintah.
Secara sederhana, cryptocurrency ialah
sistem nilai tukar digital yang memiliki fungsi sepadan dengan nilai tukar
standar, sehingga menstimulus pengguna melakukan transaksi digital dengan
beragam kebutuhan. Di
Indoenesia sendiri, istilah yang dipergunakan dalam penyebutan cryptocurrency ialah koin kripto atau juga asset kripto
atau hanya kripto saja.
Perkembangan terkait pengguna atau pemilik
dari cryptocurrency di Indonesia setiap tahunnya telah
mengalami peningkatan yang sangatlah pesat. Pada tahun 2021 saja, jumlah
pengguna atau pemilik cryptocurrency di
Indonesia telah mencapai sekitar � 7,4 juta user,
hal tersebut juga memberikan dampak terhadap posisi Indonesia sebagai pengguna
jasa atau pemilik cryptocurrency
tertinggi ke-4 dunia dari 10 negara sebagai pengguna cryptocurrency (Briggita Raras, 2022).
Berdasarkan pernyataan tersebut membuktikan bahwasanya animo masyarakat
Indonesia terutama kaum milenial terhadap cryptocurrency sangatlah
tinggi. Akan tetapi, meskipun animo yang ditunjukan masyarakat sangatlah tinggi,
hal tersebut tidak berdampak terhadap fungsi dari cryptocurrency di
Indoneisa, yaitu tetap tidak dapat diterima sebagai sebuah mata uang yang sah
di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dapat bertentangan dengan Pasall 23 B
UUD RI 1945 serta Pasal 1 (1)
& (2), Pasal 2 (1), dan Pasal 21 (1) UU No.7 2011 mengenai Mata Uang.
Pasal-Pasal tersebut secara tegas dan jelas mengisyaratkan bahwasannya di Indonesia hanya menerima Rupiah
selaku mata uang yang sah dan resmi yang diakui sebagai alat transaksi. Berdasarkan hal tersebut, maka sejak 2019
pemerintah Indonesia menggolongkan cryptocurrency kedalam komoditas berjangka, dengan
dikeluarkannya. Diawali dengan Peraturan Bappebti No.5/2019, yang membahas
ketentuan teknis penerapan pasar fisik aset kripto di Bursa Berjangka,
Indonesia telah memulai proses pengaturan mata uang kripto. Pasal 1 (7)
Peraturan Bappebti No.5/2019,
cryptocurrency dinyatakan
sebagai komoditas asset digital tidak terwujud. Itu sesuai dengan permohonan regulator keuangan seperti BI dan OJK, yang
ingin bank dan lembaga keuangan lainnya berhenti menerima pembayaran
cryptocurrency dan memblokir pelanggan untuk menggunakannya.
Seiring perkembangan tahun, pengaturan cryptocurrency terus
mengalami pembaharuan terkait dengan peraturan
perundang-undangannya; hal tersebut dimaksudkan serta diharapkan agar dapat
disesuaikan dengan keadaan serta perkembangan zaman kedepan. Contohnya saja
pada tahun 2023, menjadi penguatan secara fundamental terhadap keberadaan cryptocurrency di Indonesia, hal itu terbukti dengan adanya UU
No.4 Tahun 2023 mengenai Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (selanjutnya disingkat UU
No.4/2023). Bahwa pengawasan industri mata uang kripto, yang sebelumnya
merupakan lingkup Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (selanjutnya
disebut Bappebti), telah dialihkan ke Kantor Kejaksaan Agung (OJK) merupakan
perkembangan positif yang seharusnya berdampak jangka panjang bagi
keberlangsungan industri mata uang kripto di Indonesia. Pada UU No.4/2023 tersebut, terdapat 2 Pasal
penting yang berkaitan dengan cryptocurrency yaitu
pada Pasal 10 ayat (4) serta Pasal 213, selaras hal tersebut saat ini cryptocurrency selain tergolong sebagai suatu komoditas juga
tergolong Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (selanjutnya disingkat ITSK).
Saat ini pertumbuhan sektor ekonomi di Indonesia khususnya pada
sub sektor bisnis menunjukkan proses yang semakin maju dan berkembang dari
waktu ke waktu, dimana penekanannya berorentasi pada suatu perubahan atau
perkembangan itu sendiri. Selaras hal tersebut, saat ini cryptocurrency termasuk sebagai aset kekayaan milik
seseorang yang tegolong sebagai instrument investasi terbarukan yang tidak
berwujud dan berbentuk digital. Pada
dasarnya, setiap objek yang dapat dijadikan sebagai jaminan merupakan aset yang
termasuk dalam kekayaan milik seseorang dan memiliki suatu hak kebendaan. Aset
menurut Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (2018), aset dalam lingkup yang
luas, termasuk SDA, manusia, dan ekonomi, sedangkan dalam sudut pandang
keuangan serta akuntansi, hanya sumber daya ekonomi saja yang dianggap sebagai
aset.
Selaras hal tersebut diperkuat dengan
adanya edaran Menko Perekonomian No.S-302/M.Ekon/9/2018. Aset Kripto tetap
tidak diperbolehkan dimanfaatkan untuk alat tukar, tapi digolongkan komoditas
yang boleh diperdagangkan pada bursa berjangka. Dalam konteks Kontrak
Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya,
komoditas mengacu pada setiap dan setiap aset yang dapat diperdagangkan
dan/atau dilindungi nilai, baik berwujud maupun tidak berwujud, termasuk
produk, layanan, hak, dan kepentingan lainnya, dan semua derivatif. Selain itu,
digital aset juga bisa dijadikan jaminan karena sudah memiliki nilai di dunia
bisnis dan diakui legalitasnya serta digunakan oleh masyarakat umum (Irham
Rahman, 2020). Dalam
konteks hutang piutang, jaminan merujuk pada objek tertentu yang diberikan oleh
debitur kepada kreditur. Tujuan dari pemberian jaminan adalah agar kreditur
merasa yakin bahwa debitur akan dapat menyelesaikan seluruh kewajibannya (Deny Akbar Santoso,
2019). Jaminan perbendaharaan diatur
dalam Buku II KUH Perdata, yang masuk akal mengingat bahwa jaminan properti
adalah jenis jaminan umum (selanjutnya disingkat KUHP. Wahyu). Mengenai Pasal 2
KUHP. Pendeta menguraikan perbedaan antara benda-benda material dan immaterial,
serta perbedaan antara benda bergerak dan tidak bergerak dan yang dapat
dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Abdulkadir Muhammad, 2014).
Hal tersebut sesuai dengan fenomena yang
telah terjadi pada masa sekarang, yaitu saat ini cryptocurrency telah mengalami perkembangan yang sangat masif. Hal
itu seperti yang telah terjadi di negara Ukraina dan Indonesi, di Ukraina
terdapat lembaga gadai yang telah menyediakan jaminan gadai terhadap koin kripto dengan minimum jaminan
Bitcoin yaitu minimal 0.01 BTC (Rp. 3.416.320,24,-) dan maksimal 3 BTC (Nadia Imanda , 2020), (Rp. 1.024.896.072,60,-) yang bernama Skarbnytsya
dan Cryto Zastavarna. Sedangkan di Indonesia terdapat satu exchange atau lembaga bursa jual beli
asset kripto bernama Triv yang telah
meluncurkan produk terbarunya, yaitu gadai kripto. Saat ini Triv hanya
menyediakan jasa gadai dengan ketentuan dengan jenis kripto berupa Bitcoin
(Btc), Ether (ETH) dan Tether (USDT), dengan jumlah nilai
pinjamannya paling rendah yaitu sejumlah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
serta paling tinggi yaitu kurang lebihnya sejumlah Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) (Triv � Triv, 2021). Hal tersebut
dikarenakan dengan menggadaikan cryptocurrency, user tidak
perlu memperjual-belikan aset kriptonya jika user
tersebut membutuhkan dana segar dan cepat.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, dengan
meningkatnya inovatif dibidang ekonomi serta teknologi informasi yang kian
sangatlah masif; saat ini cryptocurrency telah mengalami perkembangan serta perluasan sudut
pandang maupun fungsi yang awalnya hanya dipandang
sebagai suatu mata uang digital ataupun sebagai instrument investasi terbarukan
belaka, akan tetapi pada saat ini nyatanya cryptocurrency juga dapat digunakan sebagai suatu objek
jaminan yang berupa objek gadai. Menanggapi
hal tersebut, penggunaan dari cryptocurrency sebagai suatu jaminan sendiri masih menjadi suatu
fenomena baru di Indonesia dikarenakan belum terdapatnya pengaturan yang secara
jelas maupun spesifik yang mengatur akan hal tersebut. Senyampang
dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk menelaah terkait apakah cryptocurrency juga dapat dipergunakan sebagai suatu objek
jaminan selain jaminan gadai; maka dengan
adanya kajaian ini diharapkan dapat menambah kejelasan tekait penggunaan dari cryptocurrency sebagai suatu
objek jaminan terbarukan khususnya pada jaminan fidusia. Selaras dengan
pemaparan tersebut diatas, maka diperlukannya suatu kajian lebih mendalam lagi
terkait hal tersebut yaitu dengan tajuk: Penggunaan Crytocurrency Sebagai Objek Jaminan Fidusia.
Metode Penelitian
Pada sebuah karya ilmiah yang mempunyai
nilai kebenaran ilmiah, harus menggunakan metode penulisan yang benar dan
tepat. Metode tersebut dipakai untuk menggali, menganalisa dan membuat rumusan
mengenai bahan-bahan yang didapat untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat
diterima suatu kebenaran ilmiah. Senyampang hal tersebut, kebenaran ilmiah juga
bisa menjadi jawaban atas isu hukum yang sedang diteliti. Adapun metode yang
diterapkan pada karya ilmiah yang ditulis ialah tersusun dari 1. Tipe pengkajian yang dipergunakan untuk memecahkan suatu isu hukum yaitu yuridis normatif (Legal
Research); 2. Pendekatan hukum dan konseptual berfungsi sebagai
panduan penulis untuk menemukan jawaban; 3. Bahan hukum berfungsi sebagai dasar
pemecahan masalah yang timbul dari materi hukum primer, skunder, dan non hukum;
dan 4. Analisis materi hukum adalah proses yang digunakan untuk memecahkan
masalah dan menemukan jawaban dengan menggunakan metode induktif (Peter Mahmud
Marzuki, 2016).
Hasil dan Pembahasan
A. Keistimewaan
Cryptocurrency Sebagai
Perkembangan Objek Jaminan
Fidusia
Seiring perkembangan
teknologi dan informasi, mengakibatkan terdorongnya kemajuan digitalisasi yang
tersasa di hampir seluruh aspek kehidupan manusia; salah satu perkembangan yang
terasa ialah terkait dengan adanya inovasi finansial. Hal itu semakin memudahkan
kegiatan manusia sebagai perseorangan maupun suatu badan atau lembaga dengan
kehadiran inovasi tersebut. Pada saat ini terdapat sebuah inovasi finansial
yang sedang marak dan menjadi pokok perbincangan masyarakat, yaitu cryptocurrency. Pada dasarnya suatu cryptocurrency
tersebut diciptakan ialah dengan maksud untuk menggantikan peran dari mata uang
konvensional atau mata uang fiat, juga adanya keinginan
terciptanya suatu taransaksi yang dapat dilakukan secara cepat dan independen
sehingga tidak diperlukannya lagi campur tangan dari pihak ketiga seperti
perbankan maupun pemerintah.
Hal itu selaras dengan
terminologi dari cryptocurrency yang
artinya sebuah bentuk mata uang yang dapat digunakan untuk alat tukar, alat
penyimpanan suatu nilai, serta unit akun. Tetapi, mata uang digital tidak
mempunyai status pengaturan resmi dari otoritas lembaga finansial secara
universal. Yakni cryptography yang bermakna
kode bersifat rahasia, serta currency berarti mata uang. Dengan
demikian, cryptocurrency mengacu pada sebuah mata uang berjenis digital
dengan memanfaatkan kriptografi guna mengamankan transaksi serta pengelolaan
asetnya (Ananda,
2022). Sistem pembayaran dalam cryptocurrency berbasis pada jaringan peer-to-peer
disentralisasi. Dalam jaringan ini, tidak ada otoritas sentral atau perantara,
dan sistemnya sepenuhnya dikontrol oleh pengguna melalui jaringan konsensus
yang memungkinkan verifikasi transaksi
tanpa harus melibatkan pihak ketiga (Rahmadi Indra Tektona, Nadya Ulfa Safilia,
2020). Berdasarkan
hal tersebut, maka cryptocurrency dapat diartikan sebagai metamorfosa dari mata uang konvensional atau mata
uang fiat menjadi mata uang tidak berwujud atau mata uang digital. Selaras hal itu, sebelum membahas mengenai penggunaan crytocurrency sebagai jaminan fidusia, maka seyogyanya mengetahui crytocurrency sebagai komoditi digital aset serta klasifikasi dari crytocurrency sebagai hukum benda.
B. Cryptocurrency Sebagai Komoditi Digital Asset
Secara universal cryptocurrency memanglah diartikan
sebagai sebuah mata uang yang berbentuk digital, akan tetapi hal tersebut tidak
dapat diberlakukan di Indonesia; di karenakan apabila cryptocurrency diartikan sebagai sebuah mata uang yang sah di
Indonesia, maka akan bertentangan dengan perundangan berlaku sebelumnya yaitu Pasal
23B UUD RI.1945 Jo Pasal 1 (1 & 2), Pasal 2 (1), dan Pasal 21 (1) UU
No.7/2011. Salaras hal tersebut, sejak tahun 2019 pemerintah Indonesia melalui
Bapeppti telah mengatur tentang keberadaan cryptocurrency di Indonesia yaitu sebagai sebuah komoditi berbentuk aset digital atau tidak berwujud. Pada dasarnya suatu aset dapat dikelompokkan atas
aset kekayaan secara real atau terlihat (tangible asset) serta aset
kekayaan secara tidak terlihat (intangible asset). Beberapa macam aset digital disektor ekonomi yang
tersedia di Indonesia, yaitu: 1). Investasi Koin kripto; 2). Investasi reksa dana
mapun investasi saham; 3). Sosial media (Firda Dwi Muliawati, 2022). Pada
dasarnya digital aset merupakan perkembangan dari
konsep aset secara konvensional atau nyata; Digital aset merujuk pada asset
yang tercatat dalam bentuk digital dan dapat dikendalikan pemiliknya. Dalam
digital aset, informasi tentang kepemilikan dan transaksi terkait aset tersebut
disimpan secara elektronik dan dapat diakses oleh pemilik aset melalui sistem
yang telah ditentukan, hal itu sama dengan kepemilikan dari cryptocurrency
yang hanya tercatat
pada suatu akun digital (dalam hal ini tercatat pada akun exchange) dan juga dapat
dikendalikan langsung oleh sang pemiliknya (diperjual-belikan) atau di simpan
sebagai instrumen investasi (Pedro
Franco, 2015).
Selaras hal itu, penetapan cryptocurrency
sebagai suatu komoditas digital aset dalam Peraturan
Perundang-Undangan tersebut merupakan hal yang tidak beralasan atau serta
merta, melainkan melalui proses yang sangatlah panjang. Senyampang dengan
pada itu, apabila melihat pengaturan cryptocurrency di Indonesia
sudah beberapa kali dirubah. Akan tetapi, substansi dari pengaturannya tidak
banyak berubah; yang pada intinya ialah tetap menyatakan cryptocurrency
merupakan komoditi berupa digital aset yang dapat diperjualbelikan melalui
bursa perdagangan berjangka. Dalam hal ini, aset tersebut dapat diperdagangkan
dalam bentuk kontrak berjangka atau derivatif lainnya. Sejalan dengan hal itu, maka sejak saat itu pula
masyarakat Indonesia lebih memilih cryptocurrency
untuk digunakan sebagai media investasi dari pada sebagai alat pembayaran.
Hal itu sejalan dengan fakta bahwa keberadaan cryptocurrency saat ini
dirasa mempunyai tujuan lain disbanding hanya untuk mata uang saja. Komoditi
meliputi barang, jasa, serta kepentingan lain, termasuk mata
uang asing, serta instrument keuangan yang dapat diperdagangkan dengan mudah.
Aset-aset ini bisa ditukar dengan berbagai produk berjenis sama serta bisa
disimpan dalam periode tertentu. Investor dapat membeli dan menjual komoditi
ini melalui bursa berjangka, dan harga dari suatu komoditi ditentukan
berdasarkan permintaan dan penawaran di pasar. Harga komoditi tidak ditentukan
oleh penyalur atau penjualnya (Khairunnisa Harahap et al., 2022). Di sisi lain, digital aset dapat
diartikan sebagai asset tercatat elektronik dan bernilai yang bisa dimiliki
serta dikuasai badan hukum ataupun perseorangan. Aset digital dapat berupa cryptocurrency,
token, atau bentuk lainnya, yang disimpan dalam dompet digital dan
diperjualbelikan pada pasar kripto (Pedro Franco, 2015).
Senyampang dengan
hal itu, alasan cryptocurrency
dikategorikan sebagai digital aset dalam komoditi berjangka ialah (Bapebbti,
2020):
1. Pada dasarnya komoditi memiliki hak, sehingga
berkategori komoditi sesuai Pasal 1 ayat (2) UU No.10/2011 mengenai perubahan
dari UU No.32/1997 mengenai Perdagangan Berjangka Komoditi (UU10/ 2011);
2. Cryptocurrency pada dasarnya menggunakan sistem blockchain, blockchain sendiri diklasifikasikan
kedalam suatu hak ataupun kepentingan;
3. Harga dari cryptocurrency sangatlah fluktuatif setiap waktunya, sehingga
perdagangannya sangatlah likuid;
4. Perdagangan cryptocurrency dilakukan secara
bebas dan tanpa intervensi dari pemerintah, menjadikannya memiliki struktur
pasar yang sempurna;
5. Cryptocurrency sebagai sebuah komoditi digital, aset kripto memiliki standar tertentu
yang serupa dengan standar komoditi lainnya. Aset kripto memiliki teknologi
yang digunakan, memiliki nilai atau harga yang dapat diperdagangkan, serta
memiliki manfaat sebagai alat pembayaran dalam proyek atau komunitas tertentu.
Sebagai komoditi digital, aset kripto juga dapat memenuhi persyaratan dan
standar kelayakan yang ditetapkan dalam pasar komoditi.;
6. Permintaan dan penawaran pasar aset kripto sangat
tinggi di tingkat nasional maupun global. Aset kripto telah tersedia dalam
jumlah yang cukup dan telah muncul bursa aset kripto di seluruh dunia. Di
Indonesia, banyak pedagang aset kripto dan pengguna yang aktif melakukan
transaksi;
7. Cryptocurrency telah menjadi semakin populer dan dapat dijadikan sebagai subjek kontrak
dalam bursa berjangka untuk langkah perlindungan hukum bagi pelaku usaha dan
masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengatur perdagangan aset kripto;
8. Hasil rapat koordinasi mengenai organizir asset kripto
untuk komoditas yang diperjual belikan dalam bursa berjangka dihadiri oleh
beberapa lembaga seperti BI, OJK, Bappebti, BIN, BNN, Kementerian Keuangan dan
menyepakati tindak lanjut sebagai berikut:
a.
Mata uang digital
memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan bisnis startup domestik dan
mencegah keluarnya investasi ke luar negeri;
b.
Meskipun masih
dilarang sebagai alat tukar sesuai UU No.7/2011, asset kripto bisa dianggap
komoditas yang dapat diperjual belikan dalam bursa berjangka.
c.
Pengaturan perdagangan
asset kripto untuk komoditas dalam bursa berjangka ditegaskan bahwa ruang
lingkup komoditas yang boleh diperdagangkan dalam bursa berjangka telah
dijelaskan didalam UU No.10/2011, yang masuk sebagai yurisdiksi Bappebti.
Pengaturan
cryptocurrency telah dipandang sesuai dengan teori ekonomi neo-klasik, di mana
investasi memiliki efek positif pada pembangunan ekonomi di negara tuan rumah.
Investasi asing dapat membawa modal yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas di
negara tersebut. Aliran modal dan keuntungan kembali dapat mendorong
peningkatan tabungan total di negara tuan rumah dan memberikan kontribusi pada
pertumbuhan dan pendapatan pemerintah melalui pajak dan pembayaran (Dewa
Ayu Fera Nitha dan I Ketut Westra, 2020). Selaras
hal tersebut, menjadi dasar penggunaan cryptocurrency tidak
hanya sebagai alat pembayaran saja melainkan juga aset untuk berinvestasi
dikarenakan adanya rasa nyaman, cepat, tanpa kesulitan karena adanya sistem
kriptografi yang terdapat dalam blockchain (Firda Nur Amalina Wijaya, 2019).
Senyampang hal tersebut, suatu pengiriman uang atau remitansi yang menggunakan
cryptocurrency dalam metode investasi tidak bertentangan dengan ketentuan BI,
sebab remitansi umumnya yang melalui exchange tetap memanfaatkan rupiah, lalu
ditukar menjadi cryptocurrency melalui exchange, lantas baru dapat dilakukannya
pengiriman atau penukaran terhadap cryptocurrency
(Firda
Nur Amalina Wijaya, 2019).
Berdasarkan hal diatas, bahwasanya dapat pahami cryptocurrency merupakan
digital aset berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan serta alasan-alasan lain
yang telah disampaikan diatas, sehingga badan hukum maupun individu diperbolehkan untuk memiliki dan
memanfaatkan cryptocurrency..
C. Crytocurrency Sebagai Objek Kebendaan
Memperhatikan Peraturan
OJK No.77/POJK.01/2016, tentang Layanan Pinjaman Uang Basis Teknologi (POJK/ No.77/POJK.01/2016), maka dengan
adanya perkembangan inovasi finansial dapat semakin mempermudah orang atau
perusahaan untuk medapatkan dana pinjaman. Senada dengan hal tersebut, saat ini cryptocurrency termasuk sebagai salah
satu instrument investasi terbarukan milik perseorangan atau perusahaan yang
menjadikannya sebagai salah satu bagian dari aset harta kekayaan. T.E. Holland
mengatakan bahwa barang atau benda
dapat diartikan sebagai objek hak, yang artinya apa saja yang oleh hukum
diperlakukan sebagai objek yang berkaitan dengan hak dan kewajiban (A`an Efendi & Ahmad
Suhaimi, 2021). Selaras dengan hal tersebut, apabila berbicara tentang harta kekayaan pastilah merupakan
suatu benda, serta pada dasarnya hampir setiap harta kekayaan dapat dijadikan
sautu jaminan.
Sitematika
hukum keperdataan Indonesia telah mengatur terkait benda sebagaimana dalam KUH.Pdt, khususnya pada Buku II tentang
hukum harta kekayaan atau lebih umum disebut dengan hukum benda. Pada Pasal 499
KUH.Pdt menyatakan bahwa: kebendaan yaitu seluruh barang, ataupun hak yang bisa
dikuasai dengan hak kepemilikan. Akan tetapi, KUH.Pdt sendiri tidak secara
eksplisit mengisyaratkan mengenai benda
tidak berwujud seperti halnya hak cipta, cryptocurrency. Berdasarkan penjelasan-nya, benda dalam KUH.Pdt dapat terbagai
menjadi 3 (tiga) bagaian, yaitu benda
(pemaknaan zaak) yang dibagi menjadi benda berwujud maupun
tidak berwujud; benda (pemaknaan goed)
yang diartikan sempit karena sifatnya yang kongkrit; serta hak (pemaknaan recht) diartikan dalam arti benda tidak
berwujud (immaterial) (Trias
Palupi Kurnianingrum, 2017).
Selain pembagian benda yang
sudah ditetapkan oleh KUH.Pdt, akan tetapi terdapat pula penggolongan benda,
yaitu: Pasal 503 KUH.Pdt yaitu benda yang bertubuh, berwujud (material) dan yang tidak berwujud (immaterial); Pasal 504 KUH.Pdt yaitu benda
bergerak ataupun tidak bergerak; Pasal 505 KUH.Pdt yaitu benda yang habis dalam
pemakaian dan tidak habis pemakaian; Pasal 1332 KUH.Pdt yaitu benda didalam
perdagangan dan tidak dalam perdagangan (extra
commercio); Pasal 1334 KUH.Pdt yaitu benda yang sekarang ada (tegen woordige) dan yang akan datang (toekomstige); Pasal 1163 KUH.Pdt yaitu benda
yang bisa dibagi (dellbaar) serta
tidak bisa dibagi (on dellbaar);
Pasal 1694 KUH.Pdt yaitu benda yang bisa diganti (vervangbaar) serta tidak bisa diganti (onvervangbaar) (Martha Eri Safira, 2017).
Pada
dasarnya setiap benda tidak memiliki pemaknaan yang spesifik, hal itu
dikarenakan pemaknaan dalam setiap sistem hukum maupun yuris berbeda-beda dan
juga memiliki sifat yang dinamis karena mengikuti perkembangan zaman.
Senyampang hal itu, suatu benda
pastilah memiliki unsur ekonomis
yang artinya dapat dinilai atau diukur dengan uang; serta mempunyai sifat personalitas yaitu
bisa dialihkan kepada orang lain dengan cara yaitu diperjanjikan atas
kebendaan (zkelijk overeenkomsitein)
serta dengan segala akibat hukum yang ada (Dio
Ariesky, 2016).
Selaras
hal itu, setiap benda pastilah identik
sebagai objek kepemilikan, maka akan melekatnya hak kebendaan, terlebih
jika benda tersebut pergunakan sebagai jaminan. Hukum Perdata telah memberikan
ketentuan atas benda sebagai hak kebendaan, yaitu haruslah memenuhi 3 (tiga)
ketentuan: Pertama, benda
tersebut dapat untuk dikuasai dan dimiliki oleh manusia; Kedua, benda tersebut harus mempunyai nilai bagi manusia (manfaat
ataupun ekonomis); Ketiga, benda
tersebut harus merupakan suatu kebulatan. Hak kebendaan yakni hak yang secara
mutlak terhadap objek tertentu, serta adanya hak yang dapat memberi kekuasaan
secara langsung terhadapt objek serta juga bisa dipertahankan dari klaim orang
lain (Trisadini Prasastinah
Usanti, 2012). Jika
suatu benda digunakan sebagai jaminan dalam bentuk benda bergerak, maka bisa
dipergunakan untuk jaminan berbentuk gadai atau jaminan fidusia. Tetapi, jika
benda tersebut tidak bergerak, maka bisa dipergunakan untuk jaminan berbentuk
hipotek atau hak tanggungan (Moch. Isnaeni, 2016). Dalam sistem hukum jaminan, terdapat 2
jenis, yakni jaminan bersifat umum serta bersifat khusus. Ada dua kategori
jaminan khusus yang berbeda: jaminan perbendaharaan dan jaminan pribadi. Ada
beberapa jenis jaminan Treasury, termasuk:
1. Penjaminan
pribadi (Guaranty personal) mengacu pada janji pihak ketiga untuk
memastikan bahwa debitur akan memenuhi semua komitmen kontraktual mereka.
2. Jaminan
kebendaan, yaitu jaminan yang bersumber dari adanya perjanjian antara debitor
dan kreditor, jaminan kebendaan ini juga merupakan suatu hak yang bersifat
absolut dan melekat terhadap suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan atas
suatu kredit dan bisa dipertahankan dari klaim pihak manapun; benda jaminan.
Selain
itu, ciri-ciri dari hak kebendaan ialah: Pertama, hak mutlak, yaitu dapat
dipertahankan terhadap siapa saja; Kedua, mempunyai sifat droit de suit atau hak yang mengikuti (zaaksgevolg), yaitu hak yang tetap mengikuti bendanya berada
meskipun benda tersebut berpindah tangan; Ketiga, memiliki aturan bahwa
hak-hak material anak sulung lebih diutamakan daripada hak-hak anak kedua; Keempat,
mempunyai sifat droit de preverent (hak
terlebih dahulu), yaitu adanya prefrensi dari pihak yang memiliki hak kebendaan
perihal pelunasan yang harus didahulukan atas pembayarannya. Menurut KUH.Pdt
macam-macam hak kebendaan dapat terbagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Hak
kebendaan yang memberi kenikmatan, meliputi:
a. Hak
kebendaan dengan sifat memberikan kenikmatan dari benda kepemilikan sendiri,
contohnya hak kepemilikan terhadap asset bergerak;
b. Hak kebendaan
dengan sifat memberikan kenikmatan dari benda orang lain, contohnya hak pungut
dan hak pakai dari asset tidak bergerak.
2. Hak
kebendaan yang memberi jaminan, meliputi:
a. Gadai,
untuk jaminan benda yang tidak bergerak;
b. Hipotek,
untuk jaminan benda bersifat tetap.
Hak
kebendaan dengan sifat memberikan suatu jaminan adalah harta yang ditempatkan
sebagai jaminan untuk pembayaran atas suatu kewajiban (Rocky
Marbun et al., 2016), menerapkan
kebijakan di mana kepentingan uang anak sulung diprioritaskan di atas kepentingan anak-anak berikutnya;
dikarenakan hak jaminan merupakan hak kebendaan memberikan rasa aman (zakerheidsreh).
Sesuai
pengklasifikasian dari macam-macam benda pada Buku II KUH.Pdt, cryptocurrency dapat diklasifikasikan sebagai benda tidak berwujud dikarenakan
berbentuk digital; benda bergerak
dikarenakan bisa dipindahkan (kepemilikannya) malaui cara diperjual-belikan; benda yang dapat diperdagangkan
dikarenakan dapat diperjual belikan pada pasar komoditas berjangka dan adanya supplay and deman dengan syarat selama dapat dibuktikannya kepemilkan hak atas
miliknya; serta tergolong kedalam jaminan hak kebendaan khusus yang bersifat
memberikan suatu jaminan.
D. Kepastian
Hukum Penggunaan Cryptocurrency Sebagai Objek Jaminan Fidusia
Seiring
meningkatnya pengguna dari cryptocurrency, hal tersebut juga berdampak terhadap
status penggunaan cryptocurrency itu sendiri di Indonesia; terlebih dengan
munculnya salah satu terobosan yang berupa jasa gadai terhadap cryptocurrency melalui platform Triv. Selaras hal tersebut, jika pada saat
ini cryptocurrency telah menjadi objek gadai, serta
berdasarkan klasifikasi terhadap cryptocurrency dalam hukum benda, maka hal tersebut dapat
memunculkan asusmsi serupa yaitu cryptocurrency sebagai objek fidusia.
Senyampang
dengan pengunaan cryptocurrency sebagai suatu jaminan, hal tersebut juga menimbulkan berbagai
pertanyaan maupun asumsi terkait penggunaan cryptocurrency sebagai salah satu objek
jamianan khususnya sebagai jaminan fidusia. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian untuk mengatasi kekhawatiran publik; Melakukan hal itu sesuai dengan
tujuan menyeluruh hukum untuk memastikan kejelasan hukum, keadilan, dan kepraktisan
(Fence M.
Wantu, 2012). Dalam konteks hukum, kepastian hukum
adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa aturan hukum harus jelas dan pasti,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dan memberikan panduan yang umum bagi
setiap individu untuk bertindak dalam masyarakat. Prinsip ini berfungsi sebagai
batasan dan acuan bagi masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain (Peter Mahmud Marzuki,
2008).
Hukum dan kepastian hukum saling berkaitan, terutama dalam hal norma hukum
tertulis. Kurangnya kepercayaan pada hukum merusak legitimasi aturan hukum dan
merusak kegunaannya sebagai mekanisme norma sosial.
E. Regulasi Penggunaan
Crytocurrency Sebagai Objek
Jaminan Fidusia
Kepastian hukum
dapat tercermin dalam suatu perbuatan yang dianggap sah apabila didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang sah menurut hukum. Akan tetapi, terkadang
masih saja di dapati adanya suatu perbuatan yang telah dilakukan akan tetapi
perbuatan tersebut belum terdapat pengaturan hukum yang mengakomodirnya. Di
sisi lain, terdapat suatu pembenar lain terkait dengan suatu perbuatan yang
masih dapat dikatakan sah menurut hukum yaitu apabila selama perbuatan tersebut
tidaklah melanggar norma hukum lain yang sudah ada dan berlaku, maka perbuatan
tersebut masih dapat dikatakan perbuatan yang sah; kendati belum adanya atau
eksisnya suatu peraturan perundang-undangan yang mengakomodir perbuatan itu (Putri Azura Hana Haryadi dan Taupiqqurrahman,
2022). Tesis Roscoe
Pound, yang menyatakan bahwa hukum adalah kendaraan revitalisasi komunitas,
memberikan kepercayaan pada klaim ini. Gagasan tersebut mengemukakan bahwa
salah satu peran legislasi adalah mengubah norma-norma budaya yang ada (Nazaruddin
Lathif, 2007). Dapat
dipahami bahwa Indonesia, sebagai negara yang berlandaskan hukum, berkewajiban
untuk memastikan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan masyarakat terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan mereka. Adapun perubahan yang terjadi harus diiringi
dengan kesepakatan baru yang konsisten di dalam masyarakat, dan reformasi
menjadi suatu keharusan untuk mencapai tujuan kesempurnaan hukum (Roscoe
Pound, 1959).
Disisi lain, hukum juga harus memiliki ciri prospektif, sehingga hukum dapat
mengatur inidvidu dan/atau masyarakat untuk berprilaku dalam waktu kedepan.
Senyampang
hal tersebut, pada dasarnya peraturan perundang-undangan terkait dengan
penggunaan cryptocurrency sebagai objek dari jaminan fidusia memanglah
belum ada yang secara spesifik mengaturnya, hanya berdasarkan UU No.4/2023, POJK
No.77/POJK.01/2016 serta Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disingkat UU.4/1999);
akan tetapi selama hal tersebut tidak melanggar norma hukum lain yang sudah ada
dan sah berlaku, maka penggunaan cryptocurrency sebagai objek jaminan fidusia dapat
dikatakan masih dapat digolongkan perbuatan yang sah.
F.
Penggunaan Crytocurrency Sebagai Objek Jaminan Fidusia
Berdasarkan POJK No.77/POJK.01/2016, terdapat klausula untuk memperbolehkannya
suatu layanan jasa keuangan berupa pinjam-meminjam dengan berbasiskan sistem
elektronik dan jaringan internet. Senyampang dengan hal tersebut, diketahui
bahwa cryptocurrency dapat dikategorikan sebagai benda dan juga memiliki hak
kebendaan, sehingga dapat dijadikan sebagai objek jaminan terbarukan dalam
sistem hukum jaminan. Hal tersebut senada dengan kesimpulan
dari pemaparan materi dari Prof. Rosnidar Sembiring yang beliau sampaikan dalam
Konfrensi Nasional VII Hukum Perdata bahwa, cryptocurrency sebagai
komoiti digital aset yang tidak berwujud dapat
dijadikan objek jaminan dan untuk lembaga jaminan Aset Kripto adalah Lembaga
Gadai dan Jaminan Fudisia. Pengertian
Fidusia yakni penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan (eigendom
overdact), sedangkan Pasal 1 ayat (1) UU.4/1999, menyebutkan: Fidusia ialah pengalihan suatu
kepemilikan benda berdasar pada kepercayaan dengan ketetapan benda yang
bersangkutan dibawah penguasaan pemiliknya.
Berdasarkan hal tersebut, sebelum
terlalu jauh melangkah maka terlebih dahulu mengetahui asas-asas pokok jaminan fidusia, yaitu (H. Tan Kamelo,
2004):
1. Asas Spesialitas dalam sistem jaminan fidusia
menjelaskan bahwa objek jaminan tersebut harus spesifik dan merupakan jaminan
untuk membayar utang tertentu. Hal ini memberikan posisi yang lebih kuat bagi
penerima fidusia dibandingkan dengan kreditur lainnya. Dalam hal ini, objek
jaminan fidusia harus jelas dan pasti pada satu sisi, dan pada sisi lainnya
jumlah utang debitur harus dapat ditentukan dengan pasti (verrekiningbaar,
deductable); Pasal 1 dan 2 UU.4/1999.
2. Menurut konsep accesoir dalam jaminan fidusia,
perjanjian jaminan fidusia merupakan kelanjutan dari perjanjian awal. Oleh
karena itu, kehadiran perjanjian utama sebagai dasar hutang diperlukan untuk
legalitas perjanjian jaminan fidusia, dan penghapusan perjanjian utama
diperlukan untuk penghapusan objek jaminan fidusia; Pasal 4 UU.4/1999.
3. Perjanjian jaminan fidusia merupakan kelanjutan dari
perjanjian awal berdasarkan doktrin accesoir jaminan fidusia. Menurut Pasal 4
UU.4/1999, perjanjian jaminan fidusia tidak dapat sah tanpa perjanjian utama
yang berfungsi sebagai dasar utang, dan objek jaminan fidusia tidak dapat
diberhentikan tanpa perjanjian utama telah diakhiri.
4. Prinsip Preferen atau Droit de Preference memberikan
penerima jaminan fidusia hak prioritas untuk menagih pembayaran pembayaran
utang dari keuntungan penjualan objek jaminan fidusia, lebih diutamakan
daripada kreditor lain. Bahkan jika debitur menjadi pailit atau dilikuidasi,
hak prioritas penerima fidusia tetap utuh. Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU.4/1999
Berdasarkan uraian diatas, jika
diakitkan dengan penggunaan
crytocurrency
sebagai objek jaminan fidusia maka pembebanan crytocurrency atas penguasaan
benda yang dijaminkan tetap berada di penguasaan debitur sehingga berlaku
asas droit de suit dan juga sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU.4/1999, serta
terkait penjaminannya harus didaftarkan berdasarkan Pasal 11 UU.4/1999
jo. Peraturan Pemerintah No.21/2015 mengenai Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia (selanjutnya disingkat PP.21/2015), yaitu wajib disertai
akta dari notaris serta terdaftar di Kantor Fidusia sehingga tanggal
diterbitkannya jaminan fidusia samadengan tanggal tercatatnya di buku fidusia. Sehingga
berlaku asas publisitas. Penggunaan cryptocurrency sebagai objek jaminan
fidusia tidaklah menjadi permasalahan apabila debitur memiliki niat baik untuk
tidak mengalihkan cryptocurrency tersebut tanpa persetujuan. Namun, bila
terjadi penjualan atau pengalihan, maka cryptocurrency tidak lagi berada di
bawah kendali debitur dan dapat menimbulkan sengketa. Oleh karena itu, untuk
memberikan jaminan fidusia pada cryptocurrency, diperlukan kerja sama dengan
pihak yang terpercaya guna mencegah terjadinya perselisihan di kemudian hari.
Senyampang dengan hal
tersebut, berdasarkan penjelasan dari Staf Ahli Bidang Reformasi
Birokrasi serta Regulasi Kemenparekraf menyatakan bahwa aturan penjaminan
terhadap Non-Fungible Token (selanjutnya disingkat NFT) maupun cryptocurrency lainnya masih
dalam persiapan (Deka Rilana, 2022). Di sisi lain, dikarekanan bukti milik dari asset kripto dibawah pengelola penyedia
penyimpanan berbentuk dokumen (bukti simpan aset kripto), maka sebaiknya sebelum dan setelah dilakukan
penjaminan terhadap cryptocurrency sebagai objek jaminan fisudia juga dilaporkan
kepada Bappepti dan juga OJK selaku otoritas yang menaungi cryptocurrency
serta pihak exchange selaku pihak
sekuritas guna mendapatkan perlindungan sebagai
konsumen. Serta sesuai dari uraian di atas, dikarenakan cryptocurrency memiliki voltalitas serta likuiditasi yang
sangat tinggi maka penggunaan cryptocurrency sebagai objek jaminan fidusia hanya
dijadikan agunan tambahan saja bukan agunan pokok, hal tersebut sesuai Pasal
12 ayat (3) Peraturan bappebti 5/2019 (Shannon Lorelei Wibowo, 2022).
Selaras hal tersebut, dengan semakin berkembang dan bertambahnya jenis cryptocurrency saat ini, Bapebbti telah mengeluarkan edaran No.11/2022 mengenai
Penetapan Daftar Aset Kripto Diperdagangkan di Pasar (Peraturan Bappebti
No11/2022); pada peraturan tersebut, aset kripto yang telah diakui di Indonesia, ialah
sebanyak 383 jenis aset kripto. Hal tersebut menandakan bahwa ketentuan lain
yang harus diperhatikan dalam penggunaan cryptocurrency sebagai objek jaminan fisudia ialah jenis
aset kripto yang telah diakui dan terdaftar di Bappebti.
Kesimpulan
Pengelolaan sumber daya manusia (SDM)
yang optimal di lembaga pendidikan menjadi kunci utama untuk mengatasi berbagai
permasalahan dan mencapai standar pendidikan berkualitas. Teori-teori,
khususnya pendekatan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), membantu memberikan
panduan yang berharga dalam pengelolaan SDM secara strategis. MSDM melibatkan
perencanaan yang matang, rekrutmen selektif, pelatihan terarah, dan evaluasi
kinerja berkesinambungan. Konsep kebutuhan SDM menjadi landasan penting untuk
mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan, memastikan kecocokan antara
kebutuhan lembaga dan kualifikasi karyawan. Rekrutmen dan seleksi berbasis
kompetensi menjadi kunci untuk memperoleh staf berkualitas. Pengembangan
potensi SDM melalui program pelatihan terstruktur penting untuk meningkatkan
kemampuan staf pendidikan. Evaluasi kinerja yang obyektif dan adil membantu
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan SDM. Dalam konteks
ini, komunikasi efektif, kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi yang tepat guna
sangat ditekankan. Integrasi teori-teori ini memungkinkan lembaga pendidikan
mengatasi permasalahan dan mencapai pendidikan berkualitas. Selain itu, untuk
meningkatkan pengelolaan SDM, strategi-strategi seperti penguatan rekrutmen dan
seleksi berbasis kompetensi, peningkatan pelatihan dan pengembangan SDM, serta
penekanan pada komunikasi efektif dan kolaborasi dapat diimplementasikan untuk
memperbaiki hubungan dan mencapai tujuan pendidikan secara lebih efektif.
BIBLIOGRAFI
Ariesky, Dio. (2016). Virtual Property Dalam Hukum
Benda Indonesia. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Bhiantara, Ida Bagus Prayoga. (2018). Teknologi
Blockchain Cryptocurrency Di Era Revolusi Digital. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Teknik Informatika (Senapati) Ke-9.
Efendi, A'an., & Suhaimi, Ahmad. (2021). Filsafat
Hukum Teori-Teori Kepemilikan. Rajagrafindo Persada, Depok.
Franco, Pedro. (2015). Understanding Bitcoin:
Cryptography, Engineering, and Economics. TJ International Ltd, Great Britian
UK, United Kingdom.
Harahap, Khairunnisa., Anggraini, Tuti., & Asmuni.
(2022). Cryptocurrency Dalam Persfektif Syariah: Sebagai Mata Uang Atau Aset
Komoditas. Jurnal Niagawan, Volume 11, Nomor 1.
Haryadi, Putri Azura Hana., & Taupiqqurrahman.
(2022). Potensi Dan Keabsahan Non-Fungible Token Sebagai Objek Jaminan Fidusia.
Jurnal Reformasi Hukum, Volume 26, Nomor 2.
Imanda, Nadia. (2020). Aset Kripto Sebagai Objek
Lembaga Jaminan Gadai Dalam Praktik Peer-To-Peer Lending. Tesis Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya:
Universitas Airlangga.
Isnaeni, Moch. (2016). Hukum Jaminan Kebendaan
Eksistensi, Fungsi dan Pengaturan. LaksBang Predsindo, Surabaya.
Kamelo, H. Tan. (2004). Hukum Jaminan Fidusia; Suatu
Kebutuhan Yang Didambakan. Alumni, Bandung.
Kurnianingrum, Trias Palupi. (2017). Hak Kekayaan
Intelektual Sebagai Jaminan Kredit Perbankan. Jurnal Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI.
Lathif, Nazaruddin. (2007). Teori Hukum Sebagai
Sarana/Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat. Jurnal Palar
(Pakuan Law Review), Volume 3, Nomor 1.
Marbun, Rocky., Bram, Deni., Isnaeni, Yuliasara.,
& A, Nusya. (2012). Kamus Hukum Lengkap Mencakup Istilah Hukum &
Perundang-Undangan Terbaru. Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. (2008). Pengantar Ilmu Hukum.
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
---. (2016). Penelitian Hukum. Cet. Ke-12, Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta.
Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi). (2018).
Kepi & Spi (Kode Etik Penilai Indonesia Dan Standar Penilaian Indonesia)
Edisi Vii � 2018. Kspi-Mappi, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. (2014). Hukum Perdata Indonesia.
Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung.
Nitha, Dewa Ayu Fera., & Westra, I Ketut. (2020).
Investasi Cryptocurrency Berdasarkan Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019.
Jurnal Magister Hukum Udayana, Volume 9, Nomor 4.
Pound, Roscoe. (1959). An Introduction To The
Philosophy of Law. Yale University Press, London.
Rahman, Irham., Sudarmanto, Hery Lilik., &
Satriyani Cahyo Widayati. (2020). Kajian Yuridis Jaminan Kebendaan Pada Digital
Aset Sebagai Objek Jaminan. Jurnal Transparansi Hukum, Volume 3, Nomor 2.
Safira, Martha Eri. (2017). Hukum Perdata. Nata Karya,
Ponorogo.
Santoso, Deny Akbar. (2019). Eksekusi Lelang Benda
Jaminan Hak Tanggungan Akibat Debitur Wanprestasi. Skripsi Fakultas Hukum,
Universitas Jember.
Schueffel, Patrick. (2017). The Concise Fintech
Compendium. School Of Management Fribourg, Switzerland.
Simbolon, Palmira Rotua. (2019). Keabsahan Penggunaan
Cryptocurrency Sebagai Instrument Keuangan Komoditas Berjangka Di Indonesia.
Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya.
Tektona, Rahmadi Indra., & Safilia, Nadya Ulfa.
(2020). Penggunaan Bitcoin Sebagai Alat Pembayaran Zakat Menurut Perspektif
Hukum Islam. Adliya: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan, Volume 14, Nomor 1.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan
Berjangka Komoditi.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan
dan Penguatan Sektor Keuangan.
Surat Menko Perekonomian Nomor S-302/M.EKON/09/2018.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjaman Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Copyright holder: Deny Akbar Santoso, Ermanto Fahamsyah, Firman Floranta Adonara (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |