Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 1, Januari 2024
ANALISIS PRAGMATIK KRITIS
TERHADAP TINDAK TUTUR UJARAN KEBENCIAN YANG BERDAMPAK HUKUM DI MEDIA SOSIAL
Faiz Fadhlurrohman, Aceng
Ruhendi Saifullah, Andika Dutha Bachari
Pascasarjana Linguistik, Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
Abstrak
Bahasa seharusnya menjadi sarana komunikasi
yang harmonis. Namun dalam beberapa fenomena bahasa dapat digunakan secara
negatif untuk tujuan yang dimaksudkan, seperti ujaran kebencian. Ujaran
kebencian adalah bahasa yang ditujukan kepada orang lain dengan dampak yang
negatif. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan beberapa karakteristik
pribadi seperti ras, golongan, kebangsaan, jenis kelamin, atau agama. Tujuan
penelitian ini untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur dalam ujaran kebencian
yang berdampak hukum di media sosial. Metode dalam penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif. Data penelitian ini berupa tuturan yang mengandung
ujaran kebencian di media sosial yang berdampak hukum. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian adalah teknik simak dan catat kemudian dianalisis menggunakan
pendekatan pragmatik kritis untuk mengonseptualisasikan refleksi aspek-aspek
kritis dalam penyalahgunaan bahasa. Hasil dari penelitian ini bahwa dari bentuk
tuturan serta mekanisme pragmatik kritis dalam ujaran kebencian menunjukkan
adanya prasangka negatif terhadap kelompok atau pihak yang berbeda dari penutur
yang berdampak pada kegaduhan pada masyarakat luas serta dapat merusak tatanan
sosial.
Kata Kunci: Ujaran Kebencian, Tindak Tutur, Pragmatik Kritis
Abstract
Language is supposed to be a harmonious means of
communication. But in some phenomena language can be used negatively for its
intended purpose, such as hate speech. Hate speech is language directed at
others with negative repercussions. This is motivated by differences in several
personal characteristics such as race, class, nationality, gender, or religion.
The purpose of this study is to describe the form of speech acts in hate speech
that have legal impacts on social media. The method in this study is descriptive
qualitative. This research data is in the form of speech containing hate speech
on social media that has legal impacts. Data collection techniques in research
are listen and record techniques then analyzed using a critical pragmatic
approach to conceptualize reflection on critical aspects of language abuse. The
results of this study that from the form of speech and critical pragmatic
mechanisms in hate speech show negative prejudice against groups or parties
that are different from speakers which has an impact on noise in the wider
community and can damage social order.
Keywords: hate
speech, speech acts, critical pragmatics
Pendahuluan
Ujaran kebencian didefinisikan sebagai ujaran dan/atau tulisan yang dibuat individu/kelompok di muka umum untuk tujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu/kelompok lain, baik karena suku, agama, keyakinan, ras, antargolongan, warna kulit, etnisitas, gender, difabel, dan orientasi seksual. Pendapat lain menyatakan bahwa ujaran kebencian dapat juga dipahami sebagai ungkapan yang mengandung prasangka, stereotip, dan persepsi atas perbedaan dan hierarki antar kelompok (Fladmoe & Nadim, 2017). Dalam Laili (2017) penggunaan bahasa baik kata, frasa, klausa atau kalimat yang kasar dan tidak sopan serta cenderung menyakitkan atau mengganggu orang lain dikategorikan sebagai defimisme. Dalam arti hukum Ujaran Kebencian (Hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Ujaran kebencian menggunakan bahasa untuk mengekspresikan ide dan keyakinan negatif tentang orang lain. Ini adalah bentuk tuturan yang ditujukan untuk merendahkan individu yang termasuk dalam kelompok tertentu (Jassim & Ahmed, 2021). Ujaran kebencian menyatakan kebencian terhadap orang lain untuk mempermalukan atau menghina anggota atau kelompok yang berbeda ras, golongan, kebangsaan, jenis kelamin, atau agama. Ujaran Kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain yaitu melalui orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak maupun elektronik, dan pamflet. Ujaran kebencian juga bisa mendorong terjadinya kekacauan dan ketidakharmonisan dalam masyarakat seperti kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantaian etnis atau genosida terhadap kelompok.
Berbagai isu dan topik yang dibicarakan dalam media sosial memicu adanya kesadaran kritis publik dalam menilai dan memandang peristiwa tertentu. Implikasi yang ditimbulkan kemudian adalah aktivitas menilai dan memandang sesuatu yang berpotensi akan berdampak hukum bila tidak dibersamai dengan kesadaran untuk selalu mengutamakan kesantunan dalam berkomunikasi di ranah publik, khususnya media sosial. Kondisi inilah yang turut menyemai peningkatan jumlah kasus ujaran kebencian di media sosial.
Dalam hukum online, ujaran kebencian didefinisikan sebagai ujaran (tuturan), tulisan, tindakan, atau pertunjukan yang ditujukan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu/kelompok atas dasar atribut kelompok tertentu. Pendapat lain menyatakan bahwa ujaran kebencian dapat juga dipahami sebagai ungkapan yang mengandung prasangka, stereotip, dan persepsi atas perbedaan dan hierarki antar kelompok (Fladmoe & Nadim, 2017).
Sedangkan dari perspektif linguistik, ujaran kebencian merupakan fenomena yang bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa (Ningrum et al., 2018). Tidak heran bila yang terjadi adalah ketidaksantunan dalam aktivitas berbahasa yang dapat berdampak hukum. Fenomena ujaran kebencian merupakan tindak kejahatan verbal murni yaitu tindak kejahatan yang memiliki bukti verbal (berupa lisan atau tulisan) sebagai bukti utama (Mahsun, 2018). Selain itu, Gibbons (Momeni, 2012) juga menjelaskan bahwa ada sejumlah tindak tutur yang mungkin ilegal atau dengan kata lain menggunakan kata-kata yang buruk dan dapat menyakitkan (hurtful) atau membahayakan(harmful) bagi orang lain (Carney, 2014).
Dengan demikian, kasus ujaran kebencian dapat ditelaah menggunakan tindak tutur. Searle (1969) mengemukakan tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur. Menurut Bublitz dan Norrick (2011) tindak tutur adalah makna tuturan yang memiliki perbedaan fungsi dari tuturan yang telah diujarkan sehingga semua tuturan tersebut seolah-olah bentuk dari suatu tindakan. Tindak Tutur Searle menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain: (1) tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. (2) tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. (3) tindakan perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Selanjutnya, Searle (1969) mengelompokan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif tertentu.
Kelima bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi komunikatif itu adalah sebagai berikut.
a)
Asertif, yakni bentuk tuturan yang
mengikat penutur semua pada kebenaran proposisi yang diungkapkan dalam
tuturanya, misalnya menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh , dan
meng-klaim.
b)
Direktif, yakni bentuk tuturan yang
dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan
tindakan yang diinginkannya. Contoh tuturan direktif adalah memesan,
memerintah, memohon, menasehati, dan merekomendasi.
c)
Ekspresif, yakni bentuk tuturan yang
berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap
suatu keadaan hasil pengamatan atau evaluasi. Contoh tuturan ini adalah
berterimakasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, kebencian, memuji,
dan berbelasungkawa.
d)
Komisif, yakni bentuk tuturan yang
berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Contoh tuturan ini adalah
berjanji, bersumpah, ancaman dan menawarkan sesuatu.
e)
Deklarasi, yakni bentuk tuturan yang
menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan yang dihadapi. Contoh tuturan ini
adalah pasrah, memecat, membaptis, memberi nama, me ngangkat, mengucilkan, dan
menghukum.
Kasus ujaran kebencian juga dapat ditelaah menggunakan analisis pragmatik kritis. Korta dan Perry (2011) mengemukakan tujuan utama pragmatik kritis adalah untuk mendeskripsikan mengenai bagaimana bagian-bagian bahasa digunakan untuk mewujudkan pemikiran serta tindakan manusia secara kritis untuk menyelidiki bagaimana manusia menggunakan bahasa sehingga membentuk dan mempengaruhi realitas masyarakat di tempat mereka berada. Dengan demikian, pragmatik kritis sebagai metodologi analitis mencari isu-isu kritis seperti rasisme atau seksisme dan sejenisnya untuk memahami bagaimana relasi kekuasaan dan ideologi dimanipulasi dalam penyalahgunaan bahasa. Kata 'kritis' di sini merujuk pada proses reproduksi untuk menggantikan bentuk awal yang juga sejalan dengan gerakan koreksi politik. Reproduksi mungkin juga menyinggung sekadar komentar tentang fenomena kritis karena membongkar suatu masalah, menjelaskan dan mengurainya adalah upaya untuk mengakhirinya.
Terdapat beberapa konsep dasar dalam analisis pragamtik kritis, antara lain:
a)
Stance
Muhammed (2020) mengatakan bahwa
stance merupakan suatu bentuk tindakan sosial yang melibatkan ekspresi sikap
pribadi, evaluasi, atau keyakinan tentang peristiwa. Dalam interaksi
sehari-hari, penutur melakukan berbagai aktivitas dalam percakapannya. Mereka
bertanya dan menjawab pertanyaan, bercerita, memberikan pendapat atau nasihat,
mengungkapkan perasaannya, dan sebagainya.
b)
Critique
Reisigl dan Wodak (2005) berpendapat bahwa
kritik adalah istilah berbasis pengetahuan berkaitan dengan menilai isu-isu
seperti konflik, inkonsistensi, atau kontradiksi dalam struktur internal teks
yang berfokus pada isu-isu linguistik formal. Dengan kata lain, fungsinya
adalah untuk menangani yang sebenarnya makna atau aspek kebahasaan tertentu
dari sebuah tuturan. Tujuannya adalah untuk mendeteksi tujuan sosial dan
politik yang bermasalah yang dipandang sebagai fungsi dari praktik diskursif.
Ini berusaha mengungkap maksud, tujuan, klaim, dan kepentingan penutur yang
terselubung, tersembunyi atau kontradiktif.
c)
Reproduction
Nashmi (2022)
mengemukakan reproduksi merupakan bagian dalam analisis kritis yang menawarkan
metode yang dapat bermanfaat dalam memberikan alternatif untuk tujuan
menghindari ekspresi atau ucapan yang berciri negatif sebagai berbasis
ideologis. reproduksi dalam pragmatik kritis mendalilkan pilihan dari berbagai
alternatif lain untuk mengubah hal yang bersifat ofensif. Satu pilihan yang
optimal dapat dipilih sejauh menyangkut pragmatik kritis. Serangkaian
alternatif tersebut antara lain: 1) Menambahkan sebuah kata atau frasa, 2)
Mengubah sebuah kata atau frasa, 3) Menggunakan hedges, 4) Menghapus sebuah
kata atau frasa, 5) Penghindaran secara penuh.
Dalam sudut pandang pragmatik kritis, sebuah tuturan dengan berbagai strategi dan penggunaan leksikal di dalamnya tidak terlepas ditujukan untuk mencapai sebuah maksud dan tujuan. Berbagai fitur bahasa dapat digunakan sebagai sebuah alat dalam mengidentifikasi sebuah maksud dan tujuan dari suatu tuturan. Subagyo (2010) lebih jauh mengungkapkan nuansa kritis dalam kajian pragmatik kritis secara garis besar dirumuskan sebagai kemampuan atau daya dalam mengungkap makna sosial sebuah wacana bahasa yang merefleksikan penggunanya sehingga untuk mencapai daya tersebut, pragmatik kritis perlu memiliki prasangka ideologis dalam setiap telaahnya tanpa menghilangkan identitasnya sebagai kajian pragmatik. Pendekatan kritis penting kehadirannya dalam memberikan nuansa baru terhadap kajian pragmatik. Untuk menelaah atau menangani wacana-wacana pada tuturan tertentu, penjelasan pragmatik saja dinilai tidaklah cukup, baik dalam mengkaji berbagai fenomena seperti deiksis, praanggapan, tindak tutur, implikatur percakapan, maupun prinsip-prinsip komunikasi lainnya. Interpretasi dan analisis yang dilakukan dalam menggali sebuah makna dinilai akan lebih komprehensif dengan adanya kehadiran pragmatik kritis, yakni akan sampai pada titik dan asumsi bahwa fenomena-fenomena tersebut tidak terbebas dari berbagai motif dan konteks seperti konteks situasi, historis, hubungan kekuasaan, hubungan dengan masyarakat, pencerminan ideologi, dan sebagainya.
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus penelitian deskriptif kualitatif dengan acuan teori pragmasemantik. Metode ini dipandang Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik lisan maupun tulisan (Moleong, 2017). Istilah deskriptif menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa data bahasa yang terjadi secara apa adanya. Data berupa tuturan yang diperoleh dari kasus ujaran kebencian yang dilakukan oleh Ahmad Dhani pada tahun (2017), Jerinx (2020), Yahya Waloni (2021), Ferdinand Hutahean (2021) dan Edy Mulyadi (2021). Tahap pertama adalah mengidentifikasi bentuk data tuturan yang terindikasi adanya kalimat yang termasuk kategori asertif, direktif, ekspresif, komisif,dan deklaratif pada tuturan ujaran kebencian, dan ini dilakukan secara kualitatif dengan berpedoman pada teori tindak tutur (Searle 1969 dalam Bachari 2017). Tahap kedua adalah menganalisis menggunakan mekanisme pragmatik kritis dengan menentukan stance, critique, serta reproduction (Korta dan Perry, 2011). Langkah-langkah analisis data dalam penelitian : 1) mengumpulkan data, 2) mereduksi data, 3) mengklasifikasikan data, 4) menyajikan data, dan 5) menyimpulkan data.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang dikumpulkan, dilakukan analisis berupa tuturan di media sosial yang diduga mengandung ujaran kebencian. Adapun temuan dan analisis data tuturan disajikan sebagai berikut.
Data 1:
Ujaran Kebencian Ahmad Dhani (2017)
“Siapa
saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi muka nya -
ADP” |
Tuturan tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ilokusi bentuk komisif. Tindak tutur yang mengikat penuturnya pada suatu tindakan di masa depan termasuk ke dalam tuturan komisif (Searle, 1979). Tuturan di atas merupakan jenis tindak tutur komisif dalam bentuk mengancam. Tuturan tersebut digunakan untuk menuntut penutur melakukan sesuatu, yakni meludahi muka.
Stance dalam tuturan Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi muka nya direalisasikan dalam tindak tutur komisif mengancam yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian jenis provokasi. Ahmad Dhani menyatakan bahwa orang yang telah menista agama tidak layak untuk mendapat dukungan, sehingga Ahmad Dhani mengecam pihak-pihak yang masih mendukung penista agama. Ahmad Dhani menunjukkan rasa tidak hormat dan penghinaannya terhadap pihak yang mendukung seorang penista agama.
Critique dalam tuturan ini adalah alih-alih menyebutkan nama, Ahmad Dhani menggunakan kata “bajingan” kepada pihak yang mendukung penista agama. Kata “bajingan” dalam tuturan tersebut merujuk kepada pendukung orang yang menista agama. Selain itu, kata diludahi pada tuturan tersebut merupakan suatu kata yang bersifat ofensif, dan merupakan suatu tindakan yang tidak terpuji. Hal ini dapat terlihat bahwa Ahmad Dhani ingin mengungkapkan kekesalan serta kebencian kepada pihak tersebut.
Dalam bagian reproduksi menekankan untuk menghindari kata-kata yang bersifat sarkasme. Dalam tuturan ini, kata-kata yang dimaksud adalah bajingan, dan diludahi.
Data 2: Ujaran Kebencian Jerinx (2020)
“Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yg akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tes-nya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab?” |
Tuturan tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ilokusi bentuk ekspresif. Tindak tutur yang menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan dikategorikan ke dalam tuturan ekspresif (Searle, 1979). Tuturan di atas merupakan jenis tindak tutur ekspresif dalam bentuk menghina.
Stance dalam tuturan tersebut direalisasikan dalam tindak tutur ekspresif menghina yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian jenis pencemaran nama baik. Tuturan tersebut mengandung ejekan serta labelisasi negatif. Dalam tuturan tersebut, Jerinx menunjukkan rasa tidak hormat dengan menyebut “kacung” terhadap IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Critique dalam tuturan ini adalah penggunaan kalimat “kacung” terhadap IDI mengenai protokol kesehatan covid-19. Tuturan tersebut merupakan kata yang termasuk ke dalam labelisasi negatif yang menyakiti perasaan serta merendahkan martabat para dokter. Hal ini dapat terlihat bahwa Jerinx menyebutkan bahwa IDI merupakan kacung dari WHO. Kacung itu sendiri memiliki pengertian pesuruh, pelayan, pembantu dengan ragam kata yang memiliki makna negatif. Ketika kata tersebut diarahkan pada pihak yang bukan yang dimaksud maka berpotensi menimbulkan ketersinggungan atau pencemaran nama baik.
Dalam bagian reproduksi merekomendasikan untuk menghindari penggunaan kata “kacung” dalam tuturan tersebut.
Data 3: Ujaran Kebencian Yahya Waloni (2021)
“bible kristen ini tales based superstitious become non sense dongeng tambah takhayul sama dengan omong.. omong kosong, makanya di situ judulnya matius, markus, lukas, stefanus, tetanus, spiritus, cap tikus” |
Tuturan tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ilokusi bentuk ekspresif. Tindak tutur yang menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan dikategorikan ke dalam tuturan ekspresif (Searle, 1979). Tuturan di atas merupakan jenis tindak tutur ekspresif dalam bentuk menghina.
Stance dalam tuturan tersebut direalisasikan dalam tindak tutur asertif spekulasi yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian jenis penistaan. Tuturan tersebut mengandung tuduhan serta labelisasi negatif. Dalam tuturan tersebut, Yahya Waloni menunjukkan rasa tidak hormat dengan menyebut “tales based superstitious become non sense dongeng tambah takhayul sama dengan omong.. omong kosong, makanya di situ judulnya matius, markus, lukas, stefanus, tetanus, spiritus, cap tikus”.
Critique dalam tuturan ini adalah penggunaan kalimat “tales based superstitious become non sense dongeng tambah takhayul sama dengan omong.. omong kosong, makanya di situ judulnya matius, markus, lukas, stefanus, tetanus, spiritus, cap tikus” terhadap kitab dari penganut agama kristen. Tuturan tersebut merupakan kata yang termasuk ke dalam labelisasi negatif yang menyakiti perasaan penganut agama kristen. Hal ini dapat terlihat bahwa Yahya Waloni menyebutkan bahwa kitab tersebut hanya berisi takhayul, dongeng, serta omong kosong. Selain itu, Yahya Waloni memelesetkan nama figur yang dihormati dalam ajaran kristen menggunakan istilah “tetanus, spiritus, cap tikus”.
Dalam bagian reproduksi merekomendasikan untuk menghindari penggunaan kalimat tersebut.
Data 4: Ujaran Kebencian Ferdinand Hutahaean
(2021)
“Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.” |
Tuturan tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ilokusi bentuk ekspresif. Tindak tutur yang menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan dikategorikan ke dalam tuturan ekspresif (Searle, 1979). Tuturan di atas merupakan jenis tindak tutur ekspresif dalam bentuk menyindir.
Stance dalam tuturan tersebut direalisasikan dalam tindak tutur ekspresif menyindir yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian jenis penistaan. Ferdinand Hutahaean menyatakan dalam twitnya bahwa “Allahmu ternyata lemah harus dibela”. Tuturan Ferdinand Hutahaean menunjukkan rasa tidak hormat dengan membandingkan keyakinan dua umat beragama.
Critique dalam tuturan ini, Ferdinand Hutahaean menggunakan kata “lemah” dan “harus dibela” yang merujuk kepada Allah. Kata “lemah” dan “harus dibela” dalam tuturan tersebut memiliki daya luka terhadap pihak yang disinggung. Selain itu, kata tersebut merupakan kata yang bersifat ofensif dan merupakan suatu tindakan yang tidak terpuji. Hal ini dapat terlihat bahwa Ferdinand Hutahean ingin membandingkan keyakinannya bahwa tuhannya luar biasa dan tak perlu dibela.
Dalam bagian reproduksi menekankan untuk menghindari kata-kata yang bersifat menyinggung yang berkaitan dengan keyakinan di media sosial. Dalam tuturan ini, kata-kata yang dimaksud adalah “Allahmu ternyata lemah harus dibela”.
Data 5: Ujaran Kebencian Edy Mulyadi (2021)
“Ini ada sebuah tempat elit, punya sendiri, yang harganya mahal, punya gedung sendiri, lalu dijual pindah ke tempat jin buang anak, lalu nyewa.” |
Tuturan tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ilokusi bentuk ekspresif. Tindak tutur yang menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan dikategorikan ke dalam tuturan ekspresif (Searle, 1979). Tuturan di atas merupakan jenis tindak tutur ekspresif dalam bentuk mengkritik.
Stance dalam tuturan tersebut direalisasikan dalam tindak tutur ekspresif menghina yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian jenis pencemaran nama baik. Tuturan tersebut mengandung ejekan serta labelisasi negatif. Dalam tuturan tersebut, Edy Mulyadi menunjukkan rasa tidak hormat dengan menyebut “tempat jin buang anak” terhadap IKN (Ibu Kota Negara).
Critique dalam tuturan ini adalah penggunaan kalimat “tempat jin buang anak” terhadap IKN. Tuturan tersebut merupakan kata yang termasuk ke dalam labelisasi negatif yang menyakiti perasaan serta merendahkan suatu wilayah. Istilah “tempat jin buang anak” itu sendiri mengacu pada tempat-tempat yang sepi, tempat yang belum terjamah oleh peradaban manusia. Akan tetapi, dalam beberapa konteks dan situasi sosial, penggunaan kata “tempat jin buang anak” merupakan ungkapan ketidaksetujuan, ketidaksukaan atas suatu tempat.
Dalam bagian reproduksi merekomendasikan untuk menghindari penggunaan kata “jin buang anak” dalam tuturan tersebut.
Kesimpulan
Pada penelitian ujaran kebencian di media sosial ditemukan tindak tutur Ilokusi berbasis Searle (1969) yaitu asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif. Dari lima data ujaran kebencian kemunculan ujaran yang lebih dominan adalah data berupa ekspresif dan komisif. Dari semua bentuk tindak tutur tersebut bersifat eksplisit yang bermuatan kebencian dan penghinaan. terkait mekanisme pragmatik kritis dalam ujaran kebencian di media sosial yang berdampak hukum memiliki tiga konsep dasar, yakni stance, critique, dan reproduction. Masing-masing konsep menunjukkan bahwa setiap tuturan yang disampaikan berfungsi mencerminkan sistem nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, atau mencerminkan sistem nilai pengambil sikap dan dengan demikian dapat mengambil bagian dalam mengubah sistem nilai atau ideologi tersebut. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian terjadi disebabkan adanya prasangka negatif kepada pihak tertentu, seperti penilaian negatif kepada kelompok, agama, etnis tertentu yang berdampak pada kegaduhan pada masyarakat luas serta dapat merusak tatanan sosial. Kondisi ini senantiasa mendorong penutur mengujarkan ujaran kebencian.
Bachari,
A. D., & Juansah, D. E. (2017). Pragmatik: analisis penggunaan
bahasa. Bandung: Prodi Linguistik SPs UPI.
Bublitz, W., & Norrick, N. R. (2011). Foundations
of pragmatics (Vol. 1). Walter de Gruyter.
Carney, T. (2014). Being (im) polite: A
forensic linguistic approach to interpreting a hate speech case. Language
Matters, 45(3), 325–341.
Fladmoe, A., & Nadim, M. (2017).
Silenced by hate? Hate speech as a social boundary to free speech. Boundary
Struggles. Contestations of Free Speech in the Public Sphere. Oslo: Cappelen
Damm Akademisk, 45–76.
Jassim, I. N., & Ahmed, M. S. (2021).
Classism Hate Speech in Katherine Mansfield’s Short Story ‘The Doll’s House’: A
Pragmatic Study: ايمان نوري جاسم, مصلح شويش احمد. Journal of the College of
Education for Women, 32(3), 25–42.
Korta, K., & Perry, J. (2011). Critical
pragmatics: An inquiry into reference and communication. Cambridge
University Press.
Laili, E. N. (2017). Disfemisme Dalam
Perspektif Semantik, Sosiolinguistik, Dan Analisis Wacana. Lingua, 12(2).
Mahsun, M. (2018). Linguistik Forensik:
Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA. Depok: Rajawali Pers.
Moleong, L. J. (2017). Metodologi
Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). In PT. Remaja Rosda Karya.
Momeni, N. (2012). ’Fraud in Judicial
System’as a Language Crime: Forensic Linguistics Approach. Theory &
Practice in Language Studies, 2(6).
Muhammed, W. S. M. (2020). A critical
pragmatic study of racism as conceptualized in the glorious Quran. Journal
of the College of Education for Women, 31(2), 1–18.
Nashmi, B. H., & Mehdi, W. S. (2022). A
Pragmatic Study of Identity Representation in American Political Speeches. Journal
of the College of Education for Women, 33(1), 16–32.
Ningrum, D. J., Suryadi, S., &
Wardhana, D. E. C. (2018). Kajian ujaran kebencian di media sosial. Jurnal
Ilmiah KORPUS, 2(3), 241–252.
Reisigl, M., & Wodak, R. (2005). Discourse
and discrimination: Rhetorics of racism and antisemitism. Routledge.
Searle, J. R., & Searle, J. R. (1969). Speech
acts: An essay in the philosophy of language (Vol. 626). Cambridge
university press.
Subagyo, P. A. (2010). Pragmatik kritis:
paduan pragmatik dengan analisis wacana kritis. Jurnal Linguistik Indonesia,
28(2), 177–187.
Copyright holder: Faiz Fadhlurrohman, Aceng Ruhendi Saifullah, Andika
Dutha Bachari (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |