Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

IMPLEMENTASI KEBIRI KIMIA SEBAGAI UPAYA DALAM MENIMBULKAN EFEK JERA TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK

 

Dany Hendra Jaya Harefa*, Hery Firmansyah

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected]*, [email protected]

 

Abstrak

Kebiri kimia, tindakan kontroversial yang melibatkan penyuntikan senyawa kimia anti-androgen ke tubuh seseorang untuk menghambat produksi hormon testosterone, menjadi sorotan setelah Muhammad Aris dihukum kebiri kimia karena pemerkosaan terhadap sembilan anak di bawah umur. Aris dijatuhi hukuman kurungan selama 12 tahun pada 2 Mei 2019, memicu minat peneliti untuk menganalisis penerapan hukuman ini dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2020. Penelitian ini mengacu pada teori keadilan hukum dengan metode Library Research dan pendekatan yuridis normatif untuk menarik kesimpulan akurat. Kebiri kimia dijelaskan sebagai tindakan melanggar kodrat manusia yang menyebabkan penderitaan bagi pelakunya dengan mengurangi atau menghilangkan nafsu. Hukuman ini ditujukan untuk melindungi anak dari kekejaman pelaku kekerasan seksual. Meskipun kontroversial, dukungan dari ahli hukum, ahli kesehatan, dan aktivis HAM memperkuat argumen untuk keberlakuan Undang-Undang khusus yang tegas mengatasi kekerasan seksual yang semakin meresahkan.

Kata Kunci: Kebiri Kimia, Perlindungan Anak, Kekerasan Seksual

 

Abstract

Chemical castration, a controversial act that involves injecting anti-androgen chemicals into a person's body to inhibit the production of the hormone testosterone, came under scrutiny after Muhammad Aris was sentenced to chemical castration for the rape of nine minors. Aris was sentenced to 12 years of confinement on May 2, 2019, sparking the interest of researchers to analyze the application of this sentence by referring to Government Regulation No. 70 of 2020. This research refers to the theory of legal justice with Library Research methods and normative juridical approaches to draw accurate conclusions. Chemical castration is explained as an act of violating human nature that causes suffering to the culprit by reducing or eliminating lust. This punishment is intended to protect children from the cruelty of perpetrators of sexual violence. Although controversial, support from legal experts, health experts, and human rights activists strengthens the argument for the enactment of a special law that firmly addresses increasingly troubling sexual violence.

Keywords: chemical castration, child protection, sexual violence

 

 

 

 

Pendahuluan

Tingkat kejadian kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia semakin meningkat dan menjadi perbincangan hangat melalui berbagai platform media, baik cetak maupun elektronik. Tindakan kekerasan seksual, yang melanggar norma kesusilaan, tidak hanya merugikan korban langsung, tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang luas bagi masyarakat. Jika tidak ditangani dengan serius, perbuatan ini dapat menciptakan ketakutan yang meluas di tengah-tengah Masyarakat (Simandjuntak, 1977). Kerusakan moral melalui tindakan kekerasan seksual merupakan salah satu permasalahan yang melanda Indonesia secara serius, terutama dengan korban yang paling rentan adalah perempuan dan anak-anak.

Tindakan kekerasan seksual melibatkan perbuatan seksual yang melanggar norma-norma sosial dan dapat menyebabkan kerusakan pada kesejahteraan masyarakat serta merugikan korban yang terkena dampaknya. Dampak serius dari kekerasan seksual dapat menyebabkan penderitaan yang berat bagi korban, memerlukan perhatian lebih baik dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi konsekuensi yang timbul (Huraerah, 2018). Kekerasan seksual merujuk pada berbagai bentuk tindakan yang melibatkan aktivitas seksual, seperti pemerkosaan, pencabulan, perbudakan seks, dan sebagainya. Namun, fokus khusus harus diberikan pada kasus kekerasan seksual terhadap anak, di mana tindakan tersebut terjadi pada individu yang berusia di bawah delapan belas tahun. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat berasal dari kalangan yang lebih tua atau memiliki kedudukan yang tinggi, memanfaatkan posisi kuasa mereka untuk melakukan tindakan seksual yang merugikan anak (Hardianti & Rusdiana, 2022).  Pasal 81 Ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 menyatakan bahwa sebagai upaya perlindungan terhadap anak dan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, pemerintah dapat memberlakukan hukuman kebiri kimia bagi mereka.

Meskipun begitu, terdapat kekurangan dalam pemahaman masyarakat mengenai risiko-risiko yang dihadapi oleh perempuan dan anak-anak, terutama terkait hubungan seksual. Informasi yang tersedia belum mencukupi untuk memberikan wawasan yang memadai terhadap konsekuensi yang harus dihadapi oleh perempuan, terutama dalam aspek fisik seperti kehamilan. Namun, risiko juga melibatkan dampak psikologis dan ketidakpastian terkait masa depan, serta pemahaman mendalam mengenai proses kehamilan dan nilai-nilai terkait keberlanjutan kehidupan anak. Hal ini menjadi lebih rumit jika hubungan seksual terjadi melalui tindakan pemerkosaan, suatu kejadian yang tidak pernah diinginkan oleh setiap Perempuan (Surahman et al., 2022). Undang-undang di Indonesia, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU/17/2016 tentang Perlindungan Anak (sebagai pengganti UU/23/2002), dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020, telah menetapkan tindakan kebiri kimia atau kasim sebagai suatu bentuk kejahatan. Tindakan ini melibatkan penyuntikan senyawa kimia kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak atau pengancaman anak untuk terlibat dalam hubungan seksual. Akibat dari tindakan ini dapat mencakup kecacatan fisik, kehilangan akal, penyebaran penyakit menular seksual, ketidakmampuan reproduksi alat vital, dampak fatal hingga menyebabkan kematian, penurunan libido, serta perlunya proses pemulihan bagi korban (Fitriyani, 2022). Meskipun sebelumnya tidak ada ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kebiri kimia dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, namun dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020, kini telah diatur secara rinci mulai dari tahapan awal hingga siapa yang berhak melaksanakannya (Batubara et al., 2023; Fitriyani, 2022).  

Pendekatan terbaru dalam menangani predator kekerasan seksual anak melibatkan penggunaan metode farmakologis yang bertujuan untuk mengurangi hasrat seksual. Metode ini melibatkan pemberian senyawa kimia anti-androgen yang disuntikkan ke tubuh pelaku, bertujuan untuk menekan produksi hormon testosteron. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi dorongan seksual dan mencegah tindakan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Meskipun upaya ini diatur secara ketat dan diimplementasikan dengan harapan mengurangi kasus, statistik menunjukkan bahwa tingkat kejadian masih terus meningkat setiap tahun. Faktor utama penyebab peningkatan tersebut mungkin terletak pada ketidakefektifan hukuman yang diberlakukan terhadap para pelaku, menandakan perlunya perubahan pendekatan dalam menangani kasus kejahatan seksual anak.

Pertama kali di Indonesia, hukuman kasim diberlakukan kepada Muhammad Aris, seorang individu berusia 20 tahun asal Kabupaten Mojokerto. Aris, seorang tukang las, telah terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap sembilan anak perempuan di bawah umur di Mojokerto. Pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhkan hukuman kurungan selama 12 tahun pada tanggal 2 Mei 2019. Namun, dalam penegakan hukuman ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi pelaksana eksekusi, mengacu pada pernyataan bahwa tindakan tersebut dianggap melanggar fatwa Majelis Kehormatan dan Etika Kedokteran, serta prinsip dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Batubara et al., 2023).

Terdapat minat penelitian dalam menggali dampak dari penerapan hukuman eksekusi kebiri kimia terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, khususnya mengingat meluasnya kasus predator anak dan perlunya langkah tegas untuk mencegahnya. Peneliti tertarik menguti judul Analisis Eksekusi Kebiri Kimia (Chemical Castration) terhadap efek jera pelaku tindak pidana kekerasan seksual anak di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Penelitian yuridis normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau hanya menggunakan data sekunder. Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka untuk memperoleh data yang mendukung, alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder dan memperoleh sumber data meliputi: bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Bahan Hukum Primer yang digunakan adalah: UU Nomor 17 Tahun 2016 terkait perubahan kedua dari UU Nomor 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan Anak; dan PP Nomr 70 Tahun 2020 terkait Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Penempatan Alat Pendeteksi Elektronik, Penyembuhan dan Pengumuman Identitas Pelaku Predator anak.

 

Hasil dan Pembahasan

Di Indonesia, penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan (Putra & Adi, 2022).

Penanggulangan kejahatan melibatkan penerapan sanksi pidana, sebuah metode yang telah ada sejak zaman dahulu, sepanjang sejarah peradaban manusia. Hingga saat ini, hukum pidana tetap menjadi alat utama dalam politik kriminal, terbukti dengan keberadaan sub bab "ketentuan pidana" dalam mayoritas produk perundang-undangan. Khususnya, dalam Pasal-pasal KUHP, dijelaskan mengenai sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak kekerasan seksual. Tindakan tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana tertentu (Arief, 1998). Penegakan hukum terhadap tindak pidana dianggap sebagai solusi efektif untuk mencegah terjadinya tindakan kekejaman, dengan memberlakukan hukuman sebagai bentuk sanksi. Pendekatan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap aspek-etik, moral, kemanusiaan, serta keyakinan dan kebutuhan kelompok tertentu (Prasetyo, 2013).

Indonesia dikejutkan oleh kasus kontroversial terkait praktik kebiri, sehingga Pemerintah meresponsnya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016 dalam keadaan mendesak. Peraturan tersebut kemudian melalui proses kajian dan penyempurnaan menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016. Proses perubahan status hukum dari Perpu menjadi UU tidak berlangsung tanpa kontroversi, karena munculnya berbagai pendapat yang berselisih. Beberapa pihak menentang, sementara yang lain setuju terhadap isi dan substansi dari perubahan tersebut. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016, sebagai revisi kedua dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, menghadirkan perubahan signifikan terutama pada Pasal 81 dan Pasal 82. Modifikasi juga dilakukan terhadap Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang merupakan perubahan pertama dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Salah satu aspek penting dalam perubahan ini adalah larangan terhadap tindakan kekejaman, termasuk ancaman paksa terhadap anak untuk melakukan perilaku tidak senonoh, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain.

Sanksi kebiri ditujukan untuk melindungi anak di bawah umur dari potensi bahaya predator anak. Dalam kerangka ini, revisi Pasal 81A (4) dan Pasal 82A UU/1/16 pada amendemen kedua UU/23/2002 tentang Perlindungan Anak, serta ayat 3 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020, menekankan bahwa pelaksanaan kasim, pemasangan perangkat pendeteksi elektronik, dan proses pemulihan harus dilakukan oleh individu yang memiliki kompetensi sesuai petunjuk penuntut umum (Batubara et al., 2023).

Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) mendesak pemerintah segera mengesahkan Perppu terkait kebiri kimia sebagai langkah mendesak mengatasi kejahatan luar biasa, yakni kekerasan seksual terhadap anak. Keberatan ini muncul karena anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual seringkali tidak dapat membela diri, dan seringkali harus membayar dengan nyawa mereka. Selain itu, Arsul Sani, Anggota Komisi III DPR RI, juga mendukung penerapan kebiri kimia untuk pelaku pedofilia. Alasannya adalah bahwa korban pedofilia semakin sering terjadi, dan pelaku tidak hanya melibatkan tindakan bejatnya di tempat tersembunyi, tetapi juga di tempat umum. Pada tanggal 26 Mei 2016, sebagai respons terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, Presiden Joko Widodo secara resmi menyetujui dan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tujuan dari Perppu tersebut adalah untuk menciptakan kerangka hukum yang komprehensif dalam penanggulangan tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, mengingat angka kasusnya yang terus meningkat setiap tahun. Melalui langkah ini, pemerintah berharap dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kemudian, pada tanggal 9 November 2016, Perppu tersebut diresmikan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Handoko, 2019).

Dalam putusan pengadilan, Aris dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun, denda seratus juta Rupiah, subsidi selama enam bulan, dan menjalani kebiri kimia sebagai hukuman akhir. Keputusan ini merujuk pada pelanggaran Undang-Undang, yaitu Pasal 76 D juncto UU Nomor 23/2002, dan Pasal 81 (2) tentang perlindungan anak, serta UU Nomor 17/2016. Aris dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan kasim, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 (2) PP Nomor 70/2020, yang merujuk pada penyuntikan senyawa kimia kepada pelaku kekerasan atau pengancaman terhadap anak untuk melakukan hubungan seksual. Tindakan ini dapat mengakibatkan berbagai konsekuensi serius, seperti kecacatan fisik, kehilangan akal, penularan penyakit seksual, ketidakmampuan reproduksi alat vital, hingga kematian korban. Undang-undang juga menetapkan ketentuan dalam BAB II PP No. 70 tahun 2020, termasuk pelaksanaan kasim, penempatan alat pendeteksi elektronik, dan pemulihan yang diterapkan pada pelaku kejahatan seksual (Pasal 2 ayat 1), pemberlakuan kebiri yang dilakukan oleh orang berkompeten (Pasal 3), serta pengecualian kasim bagi pelaku anak (Pasal 4).

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, memperkenalkan kebijakan baru yang mencetuskan perhatian luas di masyarakat, yakni penggunaan kebiri kimia sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Inisiatif ini dipicu oleh keberhasilan beberapa negara bagian yang telah mengimplementasikan kebiri kimia sebagai upaya untuk menangani kasus pedofilia. Dengan harapan dapat mengurangi libido para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, usulan ini telah mendapatkan respons dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.

Tekanan terhadap pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pemberatan pidana untuk pelaku kekerasan seksual anak semakin kuat. Masyarakat Indonesia meresapi adanya peluang untuk mengurangi angka kekerasan seksual di negara ini dan menjadikan pelaku kekerasan seksual terhadap anak benar-benar terhukum, sehingga korban merasa lebih terlindungi dan hak-haknya terpenuhi. Diharapkan, langkah ini akan menciptakan suasana yang lebih aman dan tenteram di Masyarakat (Paat, 2017).

Pasal 17 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan hak kerahasiaan bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, Pasal 18 UU tersebut memberikan hak kepada anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana, baik sebagai korban maupun pelaku, untuk mendapatkan bantuan hukum dan dukungan lainnya. Walaupun pemerintah menekankan perlindungan kerahasiaan korban dan pemberian bantuan hukum dalam UU tersebut, KUHP cenderung fokus pada sanksi terhadap pelaku pedofilia, menitikberatkan pada tanggungjawab materiil dan pertanggungjawaban personal terkait perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dalam konteks KUHP, regulasi mengenai kekerasan seksual terhadap anak kurang rinci dan khusus, tidak mampu mencerminkan perkembangan pesat dalam jenis dan variasi tindak pidana yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, banyaknya fenomena kejahatan yang berkembang pesat menuntut adanya aturan khusus yang lebih terperinci dalam menangani berbagai tindak pidana yang terjadi (Listiawatie & Suartha, 2017).

Meskipun hukuman pidana pokok yang diberlakukan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak saat ini dibatasi pada rentang penjara lima hingga lima belas tahun dengan denda maksimal Rp5.000.000.000,00, namun sebagian pihak berpendapat bahwa sanksi yang diberikan masih tergolong ringan. Oleh karena itu, beberapa kalangan berpendapat bahwa seharusnya pidana utama yang lebih tegas, seperti pidana penjara seumur hidup atau hukuman mati, harus diberlakukan, terutama dalam kasus-kasus di mana korban mengalami kematian akibat kekerasan seksual. Pendapat ini mengemuka dengan tujuan untuk memberikan efek jera yang lebih kuat dan menegaskan seriusnya hukuman terhadap pelaku kejahatan semacam itu (Handoko, 2019; Listiawatie & Suartha, 2017). Jika terjadi perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang tua, wali, anggota keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang bertanggung jawab terhadap perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu individu secara bersama-sama, maka hukuman yang dijatuhkan akan ditambah sebanyak 1/3 (sepertiga). Apabila perbuatan pencabulan menyebabkan lebih dari satu korban dengan akibat luka berat, gangguan jiwa, penyebaran penyakit menular, kerusakan atau kehilangan fungsi reproduksi, dan/atau kematian korban, maka pidana akan ditambah sebanyak 1/3 (sepertiga). Selain itu, pelaku dapat dikenai sanksi tambahan berupa pengumuman identitasnya, menjalani rehabilitasi, dan dipasangi alat pendeteksi elektronik. Penting untuk dicatat bahwa terhadap pelaku anak, tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan pengumuman identitas pelaku tidak dapat diterapkan (BPSDM Kemenkumham, n.d.).

Dari segi kesehatan, kebiri kimia dapat menimbulkan berbagai dampak. Ahli kesehatan mengingatkan bahwa tindakan ini dapat memberikan efek samping serius pada kondisi fisik dan mental pelaku. Meskipun pelaku kekerasan seksual harus bertanggung jawab atas perbuatannya, tindakan yang bersifat invasif terhadap tubuhnya perlu diimbangi dengan pertimbangan etika dan dampak jangka panjang. Penyidikan yang mendalam mengenai profil psikologis pelaku kekerasan seksual juga menjadi krusial. Pemahaman mendalam terhadap faktor penyebab perilaku tersebut dapat membantu merancang program rehabilitasi yang lebih efektif. Kebiri kimia seharusnya tidak menjadi satu-satunya solusi tanpa pertimbangan komprehensif terhadap aspek kesehatan dan rehabilitasi.

Dalam konteks hak asasi manusia, ketiadaan siksaan dianggap sebagai hak dasar yang diakui, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut menyatakan bahwa tak seorang pun boleh disiksa atau dihukum secara kejam, merendahkan martabat kemanusiaan. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menolak tanggung jawab medis terkait hukuman terhadap predator seksual di bawah umur. IDI berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah indikasi medis dan melanggar prinsip etika kedokteran.

Kontroversi seputar kebiri kimia berkaitan erat dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Beberapa pihak berpendapat bahwa tindakan ini melanggar hak asasi manusia, khususnya hak terhadap kebebasan dan martabat. Sementara itu, pendukungnya menyatakan bahwa kebiri kimia dapat dianggap sebagai langkah preventif yang diperlukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku kekerasan seksual. Dalam konteks hukum internasional, diperlukan keseimbangan antara penegakan hukum dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Beberapa organisasi hak asasi manusia menyoroti pentingnya proses peradilan yang adil dan transparan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual, tanpa harus mengabaikan hak-hak dasar pelaku.

Dalam kerangka Undang-Undang HAM, penyiksaan didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja menyebabkan penderitaan ekstrem secara fisik maupun mental. Hukuman semacam itu dapat memengaruhi karakter seseorang dengan merugikan keseimbangan emosi dan kehilangan motivasi. Ahli kesehatan menyatakan ketidaksetujuan terhadap metode hukuman semacam itu, karena berpotensi meningkatkan agresivitas predator seksual. Bahkan, ada risiko pelaku mengulangi tindakan mereka karena ingatan seksual yang masih ada, meskipun kadar hormon testosteron mereka berkurang (Batubara et al., 2023).

Isu penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu perhatian krusial yang harus terus menjadi fokus pemerintah. Penanganan dan pencegahannya merupakan hal yang rumit, mengingat kejahatan kekerasan seksual memiliki beragam perkembangan dalam masyarakat, termasuk motif, sifat, bentuk, intensitas, dan modus operandi.

Dari aspek sosial, meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak menciptakan ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Kehilangan rasa aman tidak hanya terbatas pada lingkungan di mana kejahatan terjadi, melainkan juga dapat berdampak secara sistemik ke seluruh masyarakat Indonesia. Ini disebabkan oleh sifat kejahatan yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku. Dari aspek politik, tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak menjadi permasalahan yang sulit dicegah oleh pemerintah. Peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun menciptakan situasi di mana anak-anak berada dalam posisi yang rentan di mana pun mereka berada (Pamungkas, n.d.).

Meskipun aturan mengenai penerapan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual telah ada di Indonesia, implementasinya masih belum optimal dalam sistem penegakan hukum. Salah satu hambatannya adalah adanya perbedaan pendapat terkait penggunaan sanksi kebiri kimia untuk pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Perselisihan ini diperkuat oleh ketidaktersediaan tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia yang tertuang dalam peraturan hukum. Peraturan tersebut baru diresmikan oleh pemerintah setelah empat tahun sejak kebijakan tersebut dikeluarkan, yaitu pada 7 Desember 2020 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Dengan demikian, keberlakuan yang terlambat dari peraturan ini telah menyebabkan ketidakefektifan dalam upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak (Irmawanti & Arief, 2021; Pamungkas, n.d.). Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak telah disahkan dan diundangkan, data menunjukkan peningkatan kasus tindak pidana kekerasan terhadap anak dari tahun 2016 hingga 2021. Hal ini menimbulkan pertanyaan efektivitas pengaturan hukum, terutama terkait dengan penerapan kebijakan kebiri kimia, yang ternyata tidak memberikan dampak signifikan dalam mengurangi jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Pemberlakuan kebiri kimia sebagai bentuk hukuman menuai penolakan yang luas, terutama dari lembaga-lembaga HAM yang merujuk pada beberapa alasan. Pertama, penggunaan kebiri tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, penerapan kebiri dianggap melanggar Hak Asasi Manusia seperti yang tercantum dalam berbagai konvensi internasional yang telah diakui dalam hukum nasional, termasuk Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan Konvensi Hak Anak (CRC). Penghukuman berupa kebiri, dalam segala bentuknya, dianggap sebagai tindakan penyiksaan yang merendahkan martabat manusia, terutama jika diterapkan sebagai bentuk balasan dengan efek jera yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketiga, segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya dianggap sebagai ekspresi dari keinginan untuk menguasai, mengontrol, dan mendominasi anak. Oleh karena itu, penggunaan hukuman kebiri dianggap tidak mengatasi akar permasalahan kekerasan terhadap anak (Qamar, 2010).

Meskipun efek dari penggunaan kebiri kimia bersifat sementara dan dapat pulih setelah penghentian pemberian cairan, fungsi libido dan kemampuan ereksi akan kembali normal, terutama karena hormon testosteron berperan penting dalam dorongan seksual. Meskipun dorongan seksual dapat mengalami penurunan drastis selama pengobatan, tetapi masih mungkin pulih setelah penghentian suntikan kimia, karena adanya faktor-faktor psikologis yang memengaruhi dorongan seksual. Pengebiraan juga berpotensi meningkatkan tingkat agresi pada pelaku, dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosial, di mana perasaan negatif seperti sakit hati, kemarahan, dan dendam mungkin telah terbentuk sejak pelaku mengalami perasaan menjadi korban. Penerapan tindakan kebiri kimia diarahkan khusus kepada pelaku dewasa yang telah terbukti bersalah atas tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang memaksa anak untuk terlibat dalam hubungan seksual, baik dengan dirinya maupun dengan orang lain. Keputusan ini ditempuh jika perbuatannya mengakibatkan kerugian pada lebih dari satu korban, termasuk luka berat, gangguan jiwa, penyebaran penyakit menular, terganggunya atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau kematian korban. Pendekatan ini memiliki tujuan untuk mengendalikan dorongan seksual berlebihan, yang senantiasa ditemani dengan program rehabilitasi. Penerapan tindakan kebiri kimia ini dilakukan setelah pelaku menjalani hukuman pidana utamanya. Keberlakuan peraturan ini diharapkan mampu memberikan solusi konkret terhadap pelaksanaan kebiri kimia dalam konteks praktik hukum.

Terdapat dua aliran utama dalam pemahaman pemidanaan di Indonesia, yakni aliran retributif dan aliran utilitarian, yang membentuk berbagai teori tujuan pemidanaan. Aliran retributif menekankan pada konsep pembalasan, di mana hukuman yang diterima oleh pelaku kejahatan dianggap sebagai konsekuensi yang tak terpisahkan dari perbuatannya. Di sisi lain, aliran utilitarian, seperti yang dijelaskan oleh Jeremy Bentham, menekankan pada tujuan pencegahan, baik untuk mencegah semua pelanggaran, mengurangi pelanggaran yang paling serius, menekan tingkat kejahatan, maupun meminimalkan kerugian dengan biaya yang seefisien mungkin. Teori deterrence menjelaskan bahwa pemidanaan tidak hanya berfungsi sebagai balas dendam, tetapi juga memiliki tujuan mencegah kejahatan. Menurut Jeremy Bentham, hukuman bertujuan untuk mencegah semua pelanggaran, khususnya yang paling serius, dengan cara menekan tingkat kejahatan dan mengurangi kerugian dengan biaya yang seminim mungkin.

Sementara itu, teori rehabilitasi berangkat dari pandangan bahwa kejahatan dipicu oleh suatu penyakit atau masalah yang dapat diobati. Oleh karena itu, tujuan pemidanaan dalam konteks ini adalah memperbaiki si pelaku melalui pendekatan pengobatan sosial dan moral, dengan harapan agar mereka dapat kembali berintegrasi ke dalam masyarakat. Kemudian, proses resosialisasi memandang bahwa hukuman harus mempersiapkan pelaku kejahatan untuk kembali ke masyarakat sebagai individu yang terintegrasi. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pelatihan dan keterampilan yang diperlukan agar mereka mampu hidup mandiri. Jika hukuman hanya berorientasi pada pembalasan, penjara, pencegahan, perlindungan masyarakat, pengobatan, pemasyarakatan, dan ganti rugi, maka teori integratif menjadi tujuan yang holistik. Penentuan tujuan hukuman dapat ditemukan dalam aturan hukum, naskah akademik, risalah rapat pembentukan ketentuan, dan pertimbangan putusan. Meskipun sulit untuk mengetahui tujuan pemidanaan yang dianut oleh petugas penegak hukum karena tidak selalu dijelaskan dalam produk hukum, hal ini tetap menjadi aspek penting dalam penegakan hukum.

 

Kesimpulan

Hukum kebiri kimia di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Hukuman kebiri kimia relevan dengan tujuan pemidanaan apabila dilakukan secara sukarela untuk perawatan atau sarana. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, yang menunjukkan bahwa tindakan kebiri kimia bukan hanya sebagai sanksi rehabilitasi, tetapi juga memiliki tujuan lain. Hukuman kebiri kimia dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seksual setelah menyelesaikan masa hukuman pidana penjara yang diputus majelis hakim di pengadilan. Sanksi kebiri kimia bagi predator anak diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun. Dalam penerapannya, hukuman kebiri kimia perlu memperhatikan hak dasar pelaku, seperti pemeriksaan kesehatan dan kejiwaan yang menyeluruh sebagai upaya mitigasi. Meskipun hukuman kebiri kimia telah diatur dalam perundang-undangan, terdapat polemik terkait penerapannya, sehingga perlunya pengkajian ulang atau peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arief, B. N. (1998). Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana. Citra Aditya Bakti.

Batubara, S. A., Leoni, C. C., Salim, F., & Sinaga, F. D. F. (2023). Analisis Hukum terhadap Hukuman Kebiri Bagi pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2020. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 23(1), 882–886.

BPSDM Kemenkumham. (n.d.). Sanksi Kebiri Kimia Bagi Predator Anak. Kementerian Hukum Dan HAM Republik Indonesia. https://bpsdm.kemenkumham.go.id/informasi-publik/publikasi/pojok-penyuluhan-hukum/sanksi-kebiri-kimia-bagi-

Fitriyani, A. (2022). Hukuman Kebiri Sudah Tepatkah? iditolak-eksekusi. https://www.antaranews.com/berita/56661 1/wapres-menghormati-keputusan

Handoko, A. P. (2019). Eksistensi Pidana Kebiri Kimia Ditinjau Dari Teori Tujuan Pemidanaan (Studi Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

Hardianti, F. Y., & Rusdiana, E. (2022). Progresifitas Progresifitas Kebiri Kimia Di Indonesia Dalam Menanggulangi Kekerasan Seksual. Novum: Jurnal Hukum, 21–30.

Huraerah, A. (2018). Kekerasan terhadap anak. Nuansa Cendekia.

Irmawanti, N. D., & Arief, B. N. (2021). Urgensi tujuan dan pedoman pemidanaan dalam rangka pembaharuan sistem pemidanaan hukum pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(2), 217–227.

Listiawatie, L., & Suartha, I. D. M. (2017). Penjatuhan Hukuman Kebiri Kepada Para Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur. Kertha Wicara, 6, 1–15.

Paat, A. (2017). Relevansi Hukum Kebiri Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Lex Crimen, 6(5).

Pamungkas, M. F. I. (n.d.). Urgensi Pengaturan Dan Penerapan Sanksi Kebiri Kimia Dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. DAFTAR ISI, 545.

Prasetyo, T. (2013). Hukum Pidana, cet. 4. Rajawali Press.

Putra, H. F., & Adi, S. (2022). Aspek Hukum Tindak Pidana Terorisme (Genta Publishing (ed.)).

Qamar, N. (2010). Hukum Itu Ada Tapi Harus Ditemukan. Pustaka Refleksi, Makassar.

Simandjuntak, B. (1977). Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Tarsito.

Surahman, M., Satory, A., & Yunio, M. Y. (2022). KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN PENGATURAN KEBIRI KIMIA. Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Riset Sosial Humaniora, 3(1), 119–128.

 

 

Copyright holder:

Dany Hendra Jaya Harefa, Hery Firmansyah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: