Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA ATAS GUGATAN PEMBATALAN WAKAF OLEH AHLI WARIS

 

Fauzan Azizan

Program Studi Hukum Keluarga Islam, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mataram, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan pembatalan wakaf oleh ahli waris pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI, pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI dalam memutuskan perkara pembatalan wakaf oleh ahli waris, dan implikasi pembatalan wakaf pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini dari penelitian kepustakaan dan wawancara. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan menggunakan studi dokumentasi terhadap putusan pengadilan dan wawancara. Analisis bahan hukum menggunakan analisis yurisprudensi atau conten analysis (analisis isi). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: Alasan pembatalan wakaf oleh ahli waris, antara lain: (1) Tanah yang diwakafkan oleh wakif masih berstatus harta bersama (2) Wakif telah melakukan penarikan terhadap tanah yang sudah diwakafkan, dan (3) Tanah wakaf belum memiliki Akta Ikrar Wakaf. Pertimbangan hukum yang diterapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI dalam memutuskan perkara pembatalan wakaf oleh ahli waris, antara lain: (a) pertimbangan fakta hukum, (b) pertimbangan alat bukti, (c) pertimbangan maslahat. Implikasi pembatalan wakaf pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI adalah status tanah sawah/kebun tersebut menjadi tanah wakaf yang selanjutnya menjadi inventaris masjid yang dimanfaatkan untuk memakmurkan masjid.

 

Kata Kunci: Hukum Islam, Putusan, Pembatalan Wakaf, Ahli Waris.

 

Abstract

This study aims to explore the reasons for the cancellation of endowments (wakaf) by heirs in the decisions of the Religious Court of Selong, the High Religious Court of Mataram, and the Supreme Court of the Republic of Indonesia. It also investigates the legal considerations employed by the panels of judges in these courts when deciding cases of endowment cancellations by heirs and examines the implications of the cancellation on the rulings of the Religious Court of Selong, the High Religious Court of Mataram, and the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The research is a normative legal study using a legislative approach, conceptual approach, and case study approach. Legal materials for this research are derived from literature research and interviews. The data collection technique involves a literature review using documentary studies of court decisions and interviews. Legal material analysis utilizes jurisprudential analysis or content analysis. The results of this study indicate that the reasons for the cancellation of endowments by heirs include: (1) the land endowed by the endower still has joint ownership status, (2) the endower has withdrawn land that has already been endowed, and (3) the endowed land does not yet have an Endowment Pledge Deed. Legal considerations applied by the panels of judges in deciding cases of endowment cancellation by heirs include: (a) considerations of legal facts, (b) considerations of evidence, and (c) considerations of benefits. The implication of endowment cancellation on the rulings of the Religious Court of Selong, the High Religious Court of Mataram, and the Supreme Court of the Republic of Indonesia is that the status of the rice fields/gardens becomes endowed land, subsequently becoming part of the mosque's inventory used to enrich the mosque.

 

Keywords: Islamic Law, Decision, Cancellation of Waqf, Heirs.

 

Pendahuluan

Dalam hukum Islam terdapat suatu pranata hukum yang dinamakan wakaf. Wakaf merupakan suatu aktivitas ekonomi di samping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga memiliki fungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf menjadi sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dan diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan di akhirat. Menurut Segaf Baharun, wakaf adalah salah satu dari amal jariyah yang akan terus mengalir pahalanya kepada orang yang melakukannya selama sesuatu yang diwakafkan tersebut masih berguna dan itu merupakan suatu investasi di akhirat (Segaf Hasan Baharun, 2016).

Dalam fungsi sosial, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan dan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial sekaligus sebagai modal dalam perkembangan dan kemajuan agama Islam. Menurut Abdul Halim, wakaf merupakan modal (capital) umat Islam yang sangat potensial, bila dikelola dan dikembangkan dengan manajemen yang baik. Wakaf berfungsi sebagai faktor produksi bagi perkembangan ekonomi yang diperuntukkan bagi kesejahteraan umat Islam (Abdul Halim, 2005).

Quraisy Shihab menjelaskan dalam Tafsir Al-Mishbah bahwa ayat ini memberikan pesan kepada orang yang memiliki harta agar tidak merasa berat membantu karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda (M. Quraish Shihab, 2002), dan sesuatu yang dinafkahkan bisa berupa harta yang yang diwakafkan di jalan Allah.

Wakaf berfungsi sebagai usaha pembentukan karakter seorang Muslim agar menyedekahkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain dan merupakan investasi pahala yang bernilai tinggi. Selain itu, peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan termasuk di antara sekian tujuan wakaf dalam ajaran Islam. Dengan demikian jika wakaf dikelola dengan baik tentu sangat menunjang pembangunan, baik di bidang agama, sosial dan ekonomi.

Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Sehingga keberadaan wakaf menjadikan kemandirian umat, dalam hal ini umat Islam. Sejarah mencatat, bahwasanya dengan wakaf menjadikan bangunan tempat ibadah sangat megah dan nyaman. Membuat jamaah di dalamnya bisa beribadah dengan khusyuk. Itu yang berkaitan dengan wakaf yang diperuntukkan untuk rumah ibadah. Wakaf tidak melulu diperuntukkan untuk rumah ibadah semata, ada untuk pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, semua tempat ibadah umat Islam merupakan tanah wakaf. Banyak rumah sakit, fasilitas pendidikan dan fasilitas kepentingan umum lainnya didirikan di atas tanah wakaf. Menurut data terakhir Kementerian Agama, terdapat kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.672.406 M2. Dari total tersebut 75 % di antaranya sudah bersertifikat wakaf dan sekitar 10% memiliki potensi ekonomi tinggi, dan masih banyak lagi yang belum terdata. Begitu banyak aset wakaf, apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

Pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid, mushalla, sekolah/yayasan, makam, rumah yatim piatu dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan khususnya kaum fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan peribadatan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal diatas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dikelola secara produktif, maka kesejahteraan social ekonomi masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf, tidak akan dapat terealisasi secara optimal. Wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara optimal. Karena institusi perwakafan merupakan salah satu asset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang perlu mendapatkan perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa. Untuk itu, kondisi wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian ekstra apalagi wakaf yang ada di Indonesia pada umumnya berbentuk benda tidak bergerak dan tidak dikelola secara produktif.

Terkait dengan pemanfaatan benda wakaf, adakalanya telah ditentukan wakif, misalnya untuk masjid, rumah sakit, sekolah dan lain sebagainya. Jika wakif dalam ikrar telah menetapkan tujuan dalam pemanfaatan benda yang diwakafkan, maka bagi nadzir tidak ada pilihan kecuali harus mewujudkan yang ditentukan oleh pewakif. Ulama berbagai mazhab sepakat akan kewajiban mengamalkan syarat pewakif sebagai nas{ syar�i. Senada dengan itu, sebagian ulama fiqih mengatakan bahwa nas}-nas} pewakif seperti nas}-nas} syar�I (Wahbah Zuhaili, 2006). Pemanfaatan benda wakaf seiring dengan perkembangan waktu terkadang tidak relevan dengan tujuan awal wakaf. Permasalahan seperti ini membuat benda wakaf tersebut dirubah pemanfaatannya, bahkan sampai dijual untuk diganti dengan benda wakaf yang lebih maslahat. Tidak hanya itu, bahkan pemanfaatan benda wakaf yang tidak sesuai dengan ikrar pun akan menyebabkan sengketa (Muhammad Jawad Mughniyah, 1996).

Meskipun wakaf sudah dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam sejak masuknya Islam ke Indonesia, tetapi tampaknya permasalahan wakaf ini masih muncul dalam masyarakat sampai sekarang. Hal ini dapat dimaklumi karena pada awalnya permasalahan wakaf ini hanya ditangani oleh umat Islam secara pribadi, terkesan tidak ada pengelolaan secara khusus serta tidak ada campur tangan dari pihak pemerintah. Sedangkan di sisi lain, wakaf sebagai salah satu lembaga Islam sangat penting bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan untuk kesejahteraan umat Islam.

Ahli waris almarhum H. Sadaruddin merasa janggal dengan dengan surat pernyataan wakaf yang disampaikan oleh pengurus masjid Al-Firdaus, dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1). Tidak satupun para ahli waris mengetahui tanah kebun tersebut diwakafkan ke Masjid Al-Firdaus; 2). Surat pernyataan penyerahan wakaf tanah dan dokumen-dokumen lainnya hanya diketahui dan disimpan oleh pengurus masjid Al-Firdaus dan tidak satupun dipegang oleh H. Sadaruddin (wa>qif) atau ahli waris lainnya; 3). Tanah kebun yang diwakafkan oleh almarhum H. Sadaruddin (wa>qif) adalah harta bersama antara H. Sadaruddin (wa>qif) dengan istri ketiganya yang belum dibagi.

Sebagaimana telah penulis paparkan di atas, konsekuensi hukum dari putusan dengan frasa �tidak dapat diterima�, para penggugat dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara yang tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung ketika para penggugat mendapatkan bukti-bukti baru (novum) terhadap tanah wakaf yang disengketakan tersebut.

Praktek perwakafan yang dilakukan oleh almarhum H. Sadaruddin merupakan salah satu contoh perwakafan yang masih menggunakan tradisi lama tanpa ada sertifikasi dari badan yang berwenang. Banyak sekali alasan yang mendasari masyarakat untuk mempertahankan tradisi lama dan mengabaikan prosedur yang telah berlaku. Mulai dari keenggan karena membayangkan proses birokrasi yang bahkan sebelum si wa>qif mencobanya terlebih dahulu, merasa cukup dengan cara lama tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang yang mugkin akan terjadi, hingga awamnya masyarakat atas pentingnya substansi dari adanya prosedur itu sendiri. Akhirnya akad terjadi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang.

Pada kasus seperti ini, ketika pihak wakif telah meninggal terlebih dahulu sebelum tanah yang diwakafkan berhasil dimanfaatkan, kemudian sertifikat yang berlaku masih atas nama pemilik semula yakni wa>qif yang telah meninggal, konflik bisa saja terpicu di antara para ahli waris dalam menyikapi tanah tersebut. Sebagian mungkin setuju untuk melanjutkan niat orang tuanya, namun sebagian yang lain bisa saja merasa bahwa sudah menjadi haknya untuk mendapat bagian dari tanah yang ditinggalkan wa>qiftersebut. Kasus seperti ini mungkin tanpa disadari sebenarnya telah banyak terjadi.

Oleh karena itu, permasalahan yang berkaitan dengan sengketa wakaf antara nadzir dengan ahli waris wakif menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Hal ini karena putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Mataram sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat membuka peluang bagi para penggugat (ahli waris wa>qif) untuk kembali mengajukan gugatan pembatalan wakaf. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memberikan putusan, mengingat praktik wakaf di Indonesia sangat banyak. Ditambah lagi, kasus wakaf bukan kasus baru di Indonesia. Seperti kasus penarikan/pembatalan wakaf tanah oleh ahli waris dari masjid Al-Firdaus Lingkungan Kebun Tatar, Kelurahan Kelayu Utara, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur dan masih banyak lagi kasus yang serupa.

Penelitian ini bertujuan menganalisis alasan pembatalan wakaf oleh ahli waris pada putusan Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram, dan Mahkamah Agung RI. Rumusan masalah mencakup pertanyaan mengenai alasan, pertimbangan hukum majelis hakim, dan implikasi pembatalan wakaf. Manfaat penelitian ini secara teoritis memberikan sumbangan pemikiran untuk perkembangan hukum Islam, khususnya dalam penyelesaian masalah perwakafan dan gugatan pembatalan oleh ahli waris. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi akademisi, elit pengambil kebijakan, dan masyarakat untuk memahami isu-isu hukum perwakafan dan kewarisan di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode analisis deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasus. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Selong dan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, dengan bahan hukum primer berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan putusan pengadilan, serta bahan hukum sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan bahan hukum melibatkan studi kepustakaan dan dokumentasi, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan yurisprudensi. Pengecekan keabsahan bahan hukum dilakukan melalui triangulasi sumber dan metode, memperpanjang kehadiran peneliti, ketekunan pengamatan, dan referensi yang cukup. Metode ini diharapkan dapat memberikan hasil penelitian yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

 

Hasil dan Pembahasan

Alasan Pembatalan Wakaf Oleh Ahli Waris Pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI

Rumusan masalah pertama tentang alasan pembatalan wakaf oleh ahli waris pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Dan Putusan Mahkamah Agung RI. Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu: Pertama, gambaran umum lokasi penelitian yang meliputi profil Pengadilan Agama Selong dan Profil Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Kedua, membahas dan menganalisis tentang alasan pembatalan wakaf oleh ahli waris pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Dan Putusan Mahkamah Agung RI.

A.  Alasan Pembatalan Wakaf Oleh Ahli Waris Pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI

Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, disamping berfungsi sebagai kegiatan ibadah dan amal jariyah juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, amalan wakaf ini merupakan amalan shodaqoh yang telah dilembagakan dan harta benda yang telah diwakafkan tersebut digunakan untuk amal kebaikan yang terlepas dari hak milik perorangan, dan menjadi milik Allah SWT.

Tanah yang telah diwakafkan pada intinya tidak dapat dilakukan penarikan kembali atau pembatalan wakaf, pernyataan tersebut telah sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang wakaf yang menyatakan bahwa wakaf yang telah dilakukan ikrar tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali. Penarikan kembali wakaf atau pembatalan wakaf dapat dilakukan dengan pengecualian apabila dalam pelaksanaan wakaf tidak sesuai dengan tatacara perwakafan dan tidak memenuhi dari salah satu unsur-unsur dan syarat wakaf yang telah tercantum dalam peraturan perundang-undangan perwakafan yang berlaku, karena pelaksanaan wakaf yang demikian adalah batal demi hukum.

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dimaksudkan untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, Undang-Undang Wakaf ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf ini, tidak memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

Tanah merupakan salah satu objek yang diwakafkan pada masyarakat dan memiliki fungsi yang sangat penting, karena tanah dapat digunakan untuk tempat ataupun lokasi pembangunan sarana umum, misalnya masjid/mushola dan atau bangunan umum lainnya. Penggunaan tanah wakaf dapat dilakukan selama sarana umum yang ada di atasnya dipergunakan untuk kepentingan umum.

Penyerahan tanah wakaf yang dilakukan oleh pemberi wakaf (wa>qif) kepada penerima wakaf (nadzir) dengan lisan, menyebabkan tidak adanya pengakuan hukum terhadap status wakaf tersebut. Ketika pemberi wakaf (wa>qif) belum mengerti tentang sistem tata cara perwakafan yang telah diatur oleh hukum yang berlaku dan juga belum mengetahui kemanfaatannya, pemberi wakaf (wa>qif) hanya mengetahui tentang hukum yang terdapat dalam syariat Islam.

Penggunaan tanah wakaf tidak ditentukan batas waktunya, sepanjang peruntukannya sesuai dengan kehendak semula pemberi wakaf (wa>qif) maka selama itu juga peruntukan tanah wakaf digunakan. Penggunaan tanah wakaf akan berakhir apabila tanah wakaf tidak lagi digunakan atau peruntukannya tidak sesuai lagi dengan penggunaannya. Tanah yang telah diwakafkan untuk kepentingan pembangunan sarana umum pada prinsipnya tidak dapat ditarik, karena pemberi wakaf (wa>qif) telah melaksanakan haknya dengan niat memperoleh pahala ibadah dari tujuan pembangunan sarana umum tersebut (Asymuni A. Rahman, 1987).

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak menutup kemungkinan praktik perwakafan memiliki potensi yang sangat besar dapat memberikan manfaat dan menyejahterakan masyarakat. Akan tetapi potensi tersebut tidak sejalan dengan realitanya. Banyak praktik perwakafan di Indonesia masih dijalankan secara tradisional, yaitu praktik perwakafan dilaksanakan berdasarkan atas pemahaman �lillahi taala� yang mengakibatkan tidak diperlukannya pencatatan terhadap harta yang telah diwakafkan.

Praktik perwakafan yang semacam itu, pada tengah perjalanannya dapat memunculkan persoalan dikemudian hari, misalnya persoalan mengenai validitas legal terhadap posisi harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan, karena tidak ada bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda yang bersangkutan telah diwakafkan. Dari pernyataan diatas kita pahami harta yang telah diwakafkan tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh wa>qif, terkadang harta yang telah diwakafkan menimbulkan problematika di kemudian hari. Problematika yang sering terjadi di kalangan masyarakat pada umumnya yaitu harta yang telah diwakafkan ditarik atau diminta kembali oleh wa>qif maupun ahli warisnya.

Penarikan kembali tanah yang telah diwakafkan secara tegas dan nyata tidak dibenarkan dan dilarang menurut peraturan perundang-undangan perwakafan yang berlaku, dalam hal ini tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan atau tidak dapat dilakukan penarikan kembali.

Pada kenyataannya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi di daerah yang mengalami perubahan dari sisi ekonomi, maupun dari sisi perkembangannya sehingga keadaan tanah yang memang sudah dianggap produktif atau melambungnya harga tanah dan dengan didukungnya oleh kegiatan yang sudah dapat menghasilkan nilai ekonomis di atas tanah wakaf tersebut, ini menjadi salah satu sebab akan terjadinya sengketa tanah wakaf yang disebabkan karena status tanahnya, sehingga adanya gugatan atau penarikan kembali terhadap keberadaan tanah wakaf, bahkan klaim-klaim yang tanpa dasar, demi mendapatkan atau menguasai tanah wakaf tersebut.

Tindakan penarikan atau pembatalan wakaf karena motif sebagaimana tersebut di atas juga terjadi di Lingkungan Kebun Tatar Kelurahan Kelayu Kecamatan Selong, Lombok Timur sebagaimana termuat pada Putusan Pengadilan Agama Selong No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel., Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr. dan Putusan Mahkamah Agung No. 428 K/Ag/2020.

Tanah yang telah diwakafkan pada intinya tidak dapat dilakukan penarikan kembali atau pembatalan wakaf, pernyataan tersebut telah sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang wakaf yang menyatakan bahwa wakaf yang telah dilakukan ikrar tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali. Penarikan kembali wakaf atau pembatalan wakaf dapat dilakukan dengan pengecualian apabila dalam pelaksanaan wakaf tidak sesuai dengan tatacara perwakafan dan tidak memenuhi dari salah satu unsur-unsur dan syarat wakaf yang telah tercantum dalam peraturan perundang-undangan perwakafan yang berlaku, karena pelaksanaan wakaf yang demikian adalah batal demi hukum.

Mewakafkan tanah milik sebenarnya telah sah sesaat setelah orang yang mewakafkan (wakif) selesai mengucapkan ikrar wakaf kepada orang yang bertugas mengelola tanah wakaf (nadzir) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kantor Urusan Agama dan disaksikan oleh dua orang saksi. Jadi dengan telah dipenuhinya rukun-rukun wakaf maka pemberian wakaf telah sah menurut hukum Islam, namun untuk urusan administrasi dan hukum pertanahan keabsahannya itu belumlah sempurna, artinya belum bisa memperoleh kepastian dan perlindungan hukum apabila perwakafan tersebut tidak sampai diterbitkannya Akta Ikrar Wakaf (AIW) oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kantor Urusan Agama setempat dan sertipikat tanah wakaf oleh Kantor Pertanahan. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang wakaf menyebutkan bahwa harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nadzir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) sesuai dengan peruntukannya.

Menurut sifatnya, praktik perwakafan memang mengandung berbagai kemungkinan yang bisa menimbulkan sengketa. Hal itu disebabkan praktik wakaf melibatkan berbagai pihak dan menyangkut berbagai aspek kehidupan. Wakaf berhubungan dengan persyaratan wakif yang perlu diperhatikan, berhubungan dengan nadzir yang bertugas menjaga dan mengelola wakaf, menyangkut benda yang akan diwakafkan termasuk benda yang sah menurut hukum Islam atau tidak, boleh diwakafkan atau tidak, berhubungan dengan i�tikad baik dari berbagai pihak. Meskipun penarikan wakaf secara undang-undang dibenarkan ketika ada persyaratan yang tidak terpenuhi dari segi administrasi, akan tetapi secara moral dan akhlak islami penarikan atau pembatalan wakaf merupakan perbuatan tercela yang harus dihindari.

Berdasarkan analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Selong No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel., Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr. dan Putusan Mahkamah Agung No. 428 K/Ag/2020. Adapun alasan yang melatar belakangi pengajuan gugatan pembatalan wakaf oleh ahli waris di Pengadilan Agama pada putusan-putusan tersebut dipaparkan pada tabel berikut ini:

 

 

Tabel 1

Alasan Pembatalan Wakaf dalam Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI

No

Putusan

Alasan Pembatalan Wakaf

1

Putusan PA Selong

No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel

a.       Tanah wakaf masih berstatus harta bersama.

b.      Wakif telah melakukan penarikan terhadap tanah yang diwakafkan.

c.       Tanah wakaf belum memiliki Akta Ikrar Wakaf.

2

Putusan PTA Mataram

No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr

a.       Tanah wakaf masih berstatus harta bersama.

b.      Wakif telah melakukan penarikan terhadap tanah yang diwakafkan.

c.       Tanah wakaf belum memiliki Akta Ikrar Wakaf.

3

Putusan Mahkamah Agung RI

No. 428 K/Ag/2020

a.       Tanah wakaf masih berstatus harta bersama.

b.      Wakif telah melakukan penarikan terhadap tanah yang diwakafkan.

c.       Tanah wakaf belum memiliki Akta Ikrar Wakaf.

 

Berdasarkan tabel di atas, alasan pengajuan gugatan pembatalan wakaf pada peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan tingkat kasasi sama saja. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr, sebagai berikut:

�Adapun alasan Para Penggugat/Para Pembanding yang itu-itu saja, baik dalam gugatan maupun dalam Memori Banding yang menyatakan, bahwa obyek sengketa merupakan harta bersama (gono gini) padahal telah jelas didepan persidangan para saksi yang telah disumpah menyatakan harta bersama Amaq Zainab Alias H. Sadaruddin dengan Hj. Nuriah (Penggugat 1) telah dibagi sesuai dengan hukum sejak bercerai yang ketiga (3) kalinya yaitu pada tahun 2000, saksi tau karena saksi adalah sebagai kepala lingkungan mereka di Rekat Lauk dan saksi tau tanah milik Amaq Zainab Alias H. Sadaruddin masih banyak sekitar 4 atau 5 Hektar dan juga telah dibagikan kepada anak-anaknya, oleh karena itu Putusan Pengadilan Agama Selong adalah telah tepat dan benar�.

Adapun alasan pengajuan gugatan pembatalan wakaf oleh ahli waris sebagaimana telah dipaparkan pada tabel di atas adalah sebagai berikut: (1) Tanah wakaf masih berstatus harta bersama, (2) Wakif telah melakukan penarikan terhadap tanah yang diwakafkan, dan (3) Tanah wakaf belum memiliki Akta Ikrar Wakaf.

 

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung Dalam Memutuskan Perkara Pembatalan Wakaf Oleh Ahli Waris

Pembahasan kali ini membahas dan menganalisis rumusan masalah kedua tentang pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI dalam memutuskan perkara pembatalan wakaf oleh ahli waris. Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu: Pertama, gambaran umum putusan perkara pembatalan wakaf di Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI. Kedua, membahas tentang pertimbangan majelis hakim pada putusan perkara pembatalan wakaf di Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI.

A.  Gambaran Umum Putusan Perkara Pembatalan Wakaf di Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI

Aturan mengenai wakaf di Indonesia telah dilaksanakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan berkembang hingga lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Penyelesaian sengketa perwakafan telah diatur Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dalam Pasal 62 Ayat (1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Ayat (2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Pada penjelasan Pasal 62 ayat (2) Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan, yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan mediator yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah. Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan Penjelasan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, maka penyelesaian sengketa perwakafan menurut Hukum Islam yang sudah menjadi Hukum Nasional adalah: Musyawarah untuk mencapai mufakat, mediasi, arbitrase serta melalui pengadilan agama.

Perkara No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel ini terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Selong Kelas 1B pada tanggal 21 Maret 2019. Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong setelah memeriksa dan mempertimbangkan dalil gugatan dan alat bukti yang diajukan oleh para penggugat dan tergugat di dalam persidangan, memutuskan untuk menolak gugatan para penggugat. Para Penggugat tidak menerima atau tidak sependapat dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong dan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram dengan perkara No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr. Berdasarkan putusan Majelis HakimPengadilan Tinggi Agama Mataram, tuntutan para penggugat kembali ditolak dengan redaksi �tidak dapat diterima�. Para penggugat sebagaimana pada putusan tingkat pertama, tidak menerima putusan tingkat banding dan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan perkara No. 428 K/Ag/2020. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, tuntutan para penggugat kembali ditolak dengan redaksi �tidak dapat diterima�. Artinya, dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasi, tututan para penggugat tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim.

B.  Pertimbangan Majelis Hakim Pada Putusan Perkara Pembatalan Wakaf Di Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI

Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan alasan dan dasar hukum, termasuk ketentuan dari peraturan yang relevan. Putusan Pengadilan Agama Selong No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel terkait sengketa penarikan kembali tanah wakaf menciptakan hukum yang berlaku bagi pihak terkait. Tujuan hukum, seperti menciptakan keadilan, menjaga kepentingan manusia, dan memberikan manfaat, harus menjadi dasar pendekatan dalam memutus suatu kasus.

Adil dalam konteks sengketa penarikan kembali tanah wakaf berarti mempertimbangkan dengan cermat kepentingan semua pihak yang terlibat. Pendekatan hukum harus melindungi kepentingan ahli waris dan nadzir tanah wakaf agar tidak saling merugikan. Hukum juga harus memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat, sesuai dengan tujuan hukum untuk menciptakan kebahagiaan sebesar-besarnya.

Dalam menerapkan pertimbangan hukum, hakim harus memastikan kecermatan, kebaikan, dan ketelitian. Putusan hakim yang tidak teliti dapat dibatalkan oleh instansi yang lebih tinggi. Putusan pengadilan harus memperhatikan fakta-fakta hukum yang relevan, alat bukti, dan keterangan saksi. Adapun dasar hukum yang digunakan dalam putusan dapat mencakup peraturan-peraturan tertentu, seperti Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Hadis-hadis riwayat Abu Daud, Nasa�i, Ibnu Majah, Turmuzi, Pasal 17 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan lainnya.

Pertimbangan hakim dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama, yaitu pertimbangan fakta hukum, pertimbangan kepentingan manusia, dan pertimbangan untuk memberikan manfaat. Setiap putusan pengadilan harus mencakup alasan dasar, pasal-pasal perundang-undangan yang berlaku, biaya perkara, serta kehadiran pihak yang bersengketa.

 

Implikasi Pembatalan Wakaf Pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung RI

Pembahasan ini adalah rumusan masalah ketiga tentang implikasi pembatalan wakaf pada Putusan Pengadilan Agama Selong, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung RI. Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu: 1). Implikasi pembatalan wakaf pada Putusan Pengadilan Agama Selong No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel (Gugatan Ditolak), 2). Implikasi pembatalan wakaf pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr. dan Putusan Mahkamah Agung No. 428 K/Ag/2020 (Putusan Tidak Dapat Diterima/ Niet Ontvankelijk Verklaard).

A.  Implikasi Pembatalan Wakaf Pada Putusan Pengadilan Agama Selong No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel (Gugatan Ditolak)

Berdasarkan pembahasan pada Bab III di atas, gugatan pembatalan wakaf pada Putusan Pengadilan Agama Selong No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel ditolak oleh hakim dikarenakan para penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya. Umumnya sebuah surat gugatan mencantumkan subjek gugatan, yang terdiri dari pihak penggugat atau para penggugat dan pihak tergugat atau para tergugat. Mereka ini merupakan pihak materiil yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara bersangkutan, tetapi sekaligus juga sebagai pihak formil yang bertindak beracara di pengadilan untuk dan atas namanya sendiri.

Dalam hal gugatan ditolak, terjadi bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya harus ditolak seluruhnya. Apabila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya, maka tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak. Gugatan ditolak tidak hanya karena tidak dapat mebuktikan dalil-dalil gugatannya, akan tetapi alat bukti yang diajukan oleh pihak penggugat masih dapat dibantah oleh alat bukti dari pihak tergugat yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat kedudukannya. Dalam situasi seperti ini gugatan pihak penggugat harus dinyatakan ditolak dan dianggap tidak mampu membuktikan setelah hakim melakukan pertimbangan.

Fenomena seperti ini kerap kali terjadi dalam dalam sebuah kasus, ditolaknya suatu gugatan karena alat bukti yang digunakan oleh pihak penggugat tidak cukup kuat untuk melawan pihak tergugat. Hal ini sangat merugikan bagi pihak penggugat karna tidak dapat mengajukan kembali tuntutannya ke pengadilan dan hanya dapat menempuh upaya hukum banding. Seperti dalam perkara No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel, penolakan gugatan disebabkan karena dalam proses pembuktian pihak penggugat dianggap gagal membuktikan dalil-dalil gugatannya.

Dalam perkara No. 390/Pdt.G/2019/PA.Sel, yang menjadi faktor pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini menurut majelis hakim gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat kabur (obscuur libel). Hakim menilai gugatan Para Penggugat tidak terpenuhi syarat formal dan syarat substansial, identitas Para Pihak dan letak objek perkara dalam suatu gugatan merupakan syarat substansial yang harus dipenuhi, Para Pihak yang tidak lengkap dalam perkara, letak objek sengketa yang berbeda dengan kenyataan dalam dalil gugatan Para Penggugat serta saksi-saksi yang dihadirkan hanya menjelaskan tentang hubungan darah Para Pihak bukan tentang objek perkara.

 

B.  Implikasi Pembatalan Wakaf Pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr. dan Putusan Mahkamah Agung No. 428 K/Ag/2020 (Putusan Tidak Dapat Diterima/ Niet Ontvankelijk Verklaard)

Proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan diawali dengan pengajuan gugatan oleh pihak yang merasa haknya terganggu atau dirugikan oleh pihak lain. Penggugat yang hendak mengajukan gugatan harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup dan memiliki dasar hukum yang jelas untuk menuntut haknya. Berdasarkan HIR dan Rbg yang berlaku, penggugat bebas merumuskan surat gugatannya, sebab tidak diatur secara tegas oleh HIR dan Rbg tentang syarat-syarat pembuatan suatu gugatan. Beberapa gugatan tersebut memang harus diperhatikan dalam merumuskan gugatan yang akan diajukan kepengadilan yang berwenang sebab sangat mempengaruhi kesempurnaan gugatan. Sempurna tidaknya sebuah gugatan akan berimplikasi terhadap pertimbangan hakim dalam menilai sinkronisasi antara uraian yang menjadi dasar gugatan dengan tuntutan yang dimohonkan ke pengadilan.

Semakin jelas sebuah gugatan semakin memudahkan proses pemeriksaan. Kesempurnaan sebuah gugatan merupakan salah satu langkah awal penggugat untuk meyakinkan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut terkait dalil yang diuraikan dalam surat gugatan. Gugatan yang dikatakan sempurna adalah surat gugatan dengan formulasi yang memenuhi syarat. Apabila formulasi surat gugatan tidak dapat dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

Berdasarkan pembahasan pada Bab III di atas, karena gugatan pembatalan wakaf para penggugat ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong, para penggugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram dengan perkara No. 75/Pdt.G/2019/PTA.Mtr. Setelah melalui tahap pemeriksaan memori banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram mengeluarkan putusan dengan amar putusan �gugatan para penggugat tidak dapat diterima�. Karena merasa tidak puas dengan putusan tersebut, para penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI dengan perkara No. 428 K/Ag/2020. Setelah Mahkamah Agung RI melakukan pengecekan terhadap permohonan kasasi para pemohon/para penggugat, Mahkamah Agung RI mengeluarkan putusan dengan amar putusan �permohonan kasasi para pemohon tidak dapat diterima�, karena permohonan kasasi sudah melampui waktu.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait analisis hukum Islam terhadap putusan pengadilan agama dalam gugatan pembatalan wakaf oleh ahli waris, dapat disimpulkan bahwa alasan pembatalan wakaf melibatkan aspek-aspek seperti status tanah yang masih bersamaan antara wakif dan mantan istri ketiga, penarikan tanah oleh wakif, dan ketiadaan Akta Ikrar Wakaf. Hal ini disebabkan oleh proses mewakafkan tanah hanya melibatkan ikrar wakaf tanpa sertifikasi sebagai alat bukti yang sah. Pertimbangan hukum yang diterapkan oleh Majelis Hakim terdiri dari pertimbangan fakta hukum, alat bukti, dan maslahat yang menekankan kepentingan umum melalui manfaat wakaf daripada kepentingan pribadi ahli waris yang menginginkan pembatalan wakaf. Implikasi hukum dari putusan tersebut adalah status tanah menjadi tanah wakaf yang dijadikan inventaris Masjid Al-Firdaus, dengan Putusan Pengadilan Agama Selong yang menolak gugatan menghentikan kemungkinan pengajuan kembali, sementara Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Putusan Mahkamah Agung membuka peluang penggugat untuk mengajukan kembali gugatan pembatalan wakaf dengan bukti baru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

 

Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, cetakan ke-22, 2015.

 

Sukirno, Sudono. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

 

Sulistiyono, Adi. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia. Surakarta: UNS Press, 2006.

 

Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Warisan Islam dalam Pendekatan Teks & Konteks. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

 

Susilawetty. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Gramata Publishing, 2013.

 

Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju, 1997.

 

Abdullah, Junaidi dan Qodin, Nur. �Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif�, ZIZWAF: Jurnal Zakaf dan Wakaf. Vol. 1, No. 1, Juni 2014.

 

Arfan, Abbas. �Maqasid Al-Syariah Sebagai Sumber Hukum Islam Analisis Pemikiran Jasser Auda,� Almanahij: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. 7 No. 2, Juli 2013.

 

Dahlia. �Kontektualisai Pemikiran Maqasid al-Syari�ah Jasser Auda terhadap Pendidikan Anak di Usia Dini�, Wahana Islamika: Jurnal Staudi Keislaman. Vo. 5, No. 2, Oktober 2019.

 

Faisol, Muhammad. �Pendekatan Sistem Jasser Auda Terhadap Hukum Islam : Kearah Fiqh Post-Postmoderenisme�, Kalam : Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 6 No. 2, Juni 2012.

 

Hidayat, Muhammad Rifqi dan Komarudin, Parman. �Penyelesaian Sengketa Wakaf Melalui Jalur Litigasi dan Non Litigasi,� Al-�Adl. Vol. 11, No. 02 (Juli 2019).

 

Hidayat, M. dkk. �Kewenangan Pengadilan Agama dalam Sengketa Waris Islam Menurut Amandemen Unda-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989,� Jurnal Hasil Penelitian LPPM Untg Surabaya, Vol. 04, No. 01 (Januari 2019).

 

Hendrawati, Dewi dan Islamiyati. �Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Yang Tidak Tersertifikasi Di Wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah,� Masalah-Masalah Hukum. Vol. 47, No. 01 (2018).

 

Ismail, Ilyas. �Sertifikat Sebagai Alat Bukti Hak atas Tanah dalam Proses Peradilan�, Kanun, Jurnal Ilmu Hukum. No. 53, Th. XIII (April, 2011).

 

Jamaludin. �Penyelesaian Sengketa Wakaf Melalui BASYARNAS,� Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat. Vol. 30, No. 1 (2019).

 

Maulidi. �Maqasid Syariah Sebagai Filsafat Hukum Islam : Sebuah Pendektan Sistem Menurut Jasser Auda�, Al-Mazahib. Vol. 3 No. 1, Juni 2015.

 

Mas�udi, Masdar F. �Meletakkan Kembali Mas}lah}ah sebagai Acuan Syari�ah�, dalam �Ulu>m al-Qur�a>n, No. 3, Vol. VI, (1995).

 

Mutholingah, Siti, Zamzami, Muh. Rodhi. �Relevansi Pemikiran Maqashid Al-Syari�ah Jasser Auda terhadap Sistem Pendidikan Islam Multidisipliner�, Jurnal Ta�limuna. No. 2, September, 2018.

 

Nasih, Ahmad Munjin. �Pergeseran Pola Maqasid al-syariah dari Tradisional Menuju Modern: Membaca Pemikiran Jasser Auda,� Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusian. Vol. 11 No. 1, Juni 2011.

 

Rohman, Adi Nur dan Sugeng. �Penyelesaian Sengketa Wakaf Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,� IJTIHAD, Vol. 12, No. 1 (2018).

 

Salahuddin, Muhammad. �Menuju Hukum Islam yang Inklusif-Humanistis : Analisis Pemikiran Jasser Auda tentang Maqasid al-Shari�ah,� Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 16 No. 1, Juni 2012.

 

Sidiq, Sahrul. �Maqasid Syari�ah dan Tantangan Modernitas : Sebuah telaah Pemikiran Jasser Auda�, In Right: Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia. Vol. 7 No. 1, November 2017.

 

Tjung, Aurelia Nadya Pricilia, dkk. �Kedudukan Tanah Wakaf yang Dikuasai Ahli Waris�, Perspektif: Jurnal Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan. Vol. 24 No. 2, Mei 2019.

 

Walim. �Prinsip, Asas, dan Kaidah Hukum Waris Islam Adil Gender,� Jurnal Hukum Mimbar Justitia. Vol. 03, No. 01 (Juni 2017).

 

Yakin, Ainol. �Rekonstruksi Maqasid Al-Syariah dalam Pengembangan Metode Hukum Islam (Kajian Eksploratif Pemikiran Jasser Auda)�, Madania. Vol. 22, No. 1, Juni 2018.

Copyright holder:

Fauzan Azizan (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: