Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 09, September 2022�����������
TINJAUAN SOSIOLOGIS PADA PERKAWINAN
BERBEDA AGAMA DALAM HUKUM DI INDONESIA
Lerick Wasito1, Zahirul Hadi2,
Yenny Febrianty3, Mahipal4
1*,2,3 Legal Studies, Faculty of Law,
Universitas Pakuan Bogor, Indonesia
Email:
1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected],
4[email protected]
Abstrak
Indonesia,
dengan keberagaman budaya dan agama, mengatur perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
hukum positif, hanya ada dua ketentuan: perkawinan antar-Islam dan antar-Non
Islam. Meski Yurisprudensi Nomor 1400K/PDT/1986 menimbulkan polemik, SEMA Nomor
2 Tahun 2023 memperbolehkan pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini
menggunakan metode normatif, mengkaji data sekunder dan peraturan hukum.
Diharapkan, penerbitan SEMA No 2 Tahun 2023 mengakhiri polemik perkawinan beda
agama di Indonesia, memastikan keadilan dan kepastian hukum.
Kata Kunci: Perkawinan, SEMA,
Sosiologi.
�
Abstrack
Indonesia, with its
cultural and religious diversity, regulates marriage in the Compilation of
Islamic Law (KHI) and Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. In positive
law, there are only two provisions: marriage between Muslims and between
Non-Muslims. Although Jurisprudence Number 1400K/PDT/1986 sparked controversy,
SEMA Number 2 of 2023 allows the registration of interfaith marriages. This
study uses a normative research method, examining secondary data and applicable
legal regulations. The issuance of SEMA No. 2 of 2023 is expected to end the
controversy surrounding interfaith marriages in Indonesia, ensuring justice and
legal certainty.
Keywords: Marriage, SEMA, Sociology.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara
dengan keberagaman budaya dan agama. Keberagaman tersebut telah mewarnai
berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia dan keberagaman tersebut telah
membentuk seperangkat nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh yang� mudah dilihat dalam masyarakat Indonesia
adalah persoalan memilih pasangan hidup.
Perkawinan merupakan perikatan
suci antara 2 manusia, dengan tujuan mulia untuk membentuk keluarga. Tujuan
utama dalam pernikahan menurut Islam adalah membangun rumah tangga yang sakinah
mawaddah wa rahmah atau keluarga yang diselimuti dengan kedamaian,
kecintaan,serta rasa kasih sayang yang besar.
Menikah merupakan kebutuhan
untuk pemenuhan biologis manusia itu sendiri dengan maksud untuk melanjutkan
generasi dan memperoleh ketentraman hidup di dunia. Para ulama fiqh telah
membahas mengenai tata cara pelaksanaan pernikahan mulai dari syarat dan rukun
nikah serta proses berupa peminangan (khitbah), akad nikah, dan diakhiri dengan
walimah al-ursy atau pesta pernikahan. Pesta pernikahan bertujuan untuk
memberitahukan kepada orang-orang bahwa telah diadakan atau terjadinya sebuah
pernikahan. Mekanisme ini sering dibahas melalui berbagai macam kitab fiqh (Aidil
Alfin dan Busro, 2017).
Berbicara secara norma dasar
atau groundrecht, terkait hak asasi manusia terkait kebebasan untuk menentukan
agama diatur dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
�Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali�.
Dalam penerapan pasal diatas,
berarti setiap orang atau masyarakat di Indonesia berhak atau memiliki
kebebasan dalam memilih agama yang diyakini atau dipercayai untuk masyarakat
�imani� agama tersebut. Berbicara dalam konteks, pernikahan apabila melihat
dari sudut pandang groundrecht artinya pernikahan yang dijalani oleh dua insan
manusia haruslah seagama. Hal ini, karena menghindari adanya �pemaksaan� untuk
memeluk salah satu agama dalam pasangan tersebut.
Secara hukum positif di
Indonesia, perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam atau yang selanjutnya
disebut sebagai KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perkawinan.
Secara kontekstual disebutkan
bahwa, dalam Pasal 63 ayat (1) dijelaskan bahwa :
�Yang
dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a) Pengadilan Agama
bagi mereka yang beragama Islam; b) Pengadilan Umum bagi lainnya�.
Dalam hukum positif yang
berlaku di Indonesia mengatur bahwa hanya ada 2 ketentuan dalam perkawinan
yaitu perkawinan Islam dengan Islam, dan Non Islam dengan Non Islam. Polemik
terhadap peraturan ini terjadi ketika banyaknya masyarakat yang ingin melakukan
perkawinan beda agama. Tentu apabila melihat dari sisi yuridis, hal ini
bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Salah satu syarat sahnya
perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa : 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.
Tentunya hal ini juga
bertentangan dengan KHI, dalam Pasal 40 huruf c menyatakan bahwa :
�dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang� tidak beragama islam�.
Selanjutnya berlaku
sebaliknya, dalam Pasal 44 KHI menegaskan bahwa :
�wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam�.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwasanya:
�Perkawinan
beda agama adalah haram dan tidak sah�.
Hal ini tentunya menimbulkan
kebingungan di tengah masyarakat, dimana masyarakat dibuat bingung karena
ketika berbicara dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia hal tersebut
adalah tidak dibenarkan. Namun melihat dari yurisprudensi yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung dari Putusan MA No. 1400K/PDT/1986 yang menyatakan bahwa (Nafiatul
Munawaro, 2023):
�Dengan
pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil telah memilih untuk
perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, pemohon
sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan
Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak
pernikahan beda agama yang dilangsungkan�.
Dengan latar belakang
pernikahan beda agama yang marak di Indonesia, penelitian ini berjudul
"Tinjauan Yuridis dan Sosiologis pada Perkawinan Beda Agama dalam Hukum di
Indonesia (Studi Kasus SEMA Nomor 2 Tahun 2023)." Penelitian ini akan
membahas fenomena ini dari perspektif yuridis dan sosiologis, mengingat bahwa
masyarakat sebenarnya menyadari ketidaksetujuan agama dan hukum positif terkait
hal tersebut. Rumusan masalah mencakup implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023
dalam mengatur perkawinan beda agama dan tinjauan yuridis serta sosiologis
terhadap perkawinan semacam itu. Tujuan penulisan meliputi pemahaman dan
penjelasan terkait implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 serta perkawinan beda
agama dari perspektif yuridis dan sosiologis. Kerangka teori mencakup teori
negara hukum, teori kepastian hukum, dan kerangka konseptual yang melibatkan
tinjauan, sosiologi hukum, perkawinan, agama, dan SEMA.
Pernikahan beda agama
menimbulkan konflik, baik antara kedua pasangan maupun dengan dirinya sendiri.
Konflik seperti ini sebenarnya bisa dihindari jika pasangan� memilih�
menikah dengan� orang yang
seagama. Namun yang� menarik adalah masih
ada masyarakat yang memilih� menikah� beda agama, padahal bentuk pernikahan
tersebut dapat menimbulkan konflik yang tidak dapat dihindari misalnya
perebutan terkait agama yang nantinya akan dianut oleh anak.
Dengan latar belakang
pernikahan beda agama yang marak di Indonesia, penelitian ini berjudul
"Tinjauan Yuridis dan Sosiologis pada Perkawinan Beda Agama dalam Hukum di
Indonesia (Studi Kasus SEMA Nomor 2 Tahun 2023)." Penelitian ini akan
membahas fenomena ini dari perspektif yuridis dan sosiologis, mengingat bahwa
masyarakat sebenarnya menyadari ketidaksetujuan agama dan hukum positif terkait
hal tersebut. Rumusan masalah mencakup implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023
dalam mengatur perkawinan beda agama dan tinjauan yuridis serta sosiologis
terhadap perkawinan semacam itu. Tujuan penulisan meliputi pemahaman dan
penjelasan terkait implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 serta perkawinan beda
agama dari perspektif yuridis dan sosiologis. Kerangka teori mencakup teori
negara hukum, teori kepastian hukum, dan kerangka konseptual yang melibatkan
tinjauan, sosiologi hukum, perkawinan, agama, dan SEMA.
Metode Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini
menggunakan metode penelitian normatif, berupa penelitian dengan mengkaji dan
mempelajari data sekunder atau library
research dan peraturan hukum yang berlaku. Dalam penyusunan penelitian ini
diolah secara kualitatif, sehingga dalam proses penyusunan ini menggunakan
bahasan yang sistematis dan kompleks.
Hasil
dan Pembahasan
A. Implementasi
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 Dalam Mengatur Perkawinan Berbeda Agama.
Sistem hukum suatu negara
berlandaskan pada prinsip kepastian hukum untuk
menjamin penerapan hukum yang jelas, konsisten dan
adil. Ini adalah prinsip fundamental yang menjadi pilar penting bagi
berfungsinya negara hukum dengan baik. Aspek-aspek berikut ini sangat penting
dalam mencapai kepastian hukum. Dalam mencapai kepastian hukum tersebut
dibutuhkan pembuatan dan penyusunan peraturan perundang-undangan yang nantinya akan menjadi langkah awal dalam proses
mencapai kepastian hukum tersebut.
Hukum yang dicita-citakan oleh
masyarakat, tentunya hukum yang dapat menjamin hak-hak setiap manusia dapat
dipenuhi tanpa adanya diskriminasi dari pihak-pihak manapun. Pemerintah sebagai
pemangku kebijakan publik seharusnya membuat sebuah peraturan yang
seadil-adilnya demi masyarakat.
Tinjauan perkawinan menurut
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa : �(Nomor, U. U. (1).)
�membentuk� keluarga�
(rumah� tangga) yang bahagia� dan�
kekal� berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa�.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang
Perkawinan tersebut tidak dijelaskan secara jelas mengenai larangan
perkawinan� beda� agama.�
Selain� itu� tidak�
terdapat� peraturan� perundang-undangan yang secara rinci mengatur
mengenai hal tersebut. Sehingga ada kekosongan hukum yang kemudian dapat
dimasuki oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diperbaiki dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang� Administrasi Pendudukan
dalam� pasal� 35�
huruf� a� Undang-Undang�
Administrasi Pendudukan�
menyatakan� bahwa pencatatan
perkawinan yang diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Administrasi Pendudukan
berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Dalam
penjelasannya yang dimaksud dengan�
perkawinan� yang� ditetapkan�
oleh� pengadilan� adalah�
perkawinan� yang dilakukan
antar-umat berbeda agama. Kharisma, B. U. (2023).
Ketentuan dalam Undang-Undang
Administrasi Pendudukan inilah yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan bagi
hakim untuk memutus perkara permohonan perkawinan beda agama. Dan dari putusan
hakim yang satu, kemudian dapat menjadikan putusan tersebut sebagai dasar
pertimbangan hakim untuk memutuskan suatu perkara berikutnya. Mengingat dalam
ketentuan� Pasal� 10�
ayat� (1)� Undang-Undang�
No.� 48� Tahun�
2009� tentang� Kekuasaan Kehakiman�� yang��
berbunyi : �Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
�Pengadilan�� dilarang��
menolak�� untuk�� memeriksa, mengadili,� dan�
memutus� suatu� perkara�
yang� diajukan� dengan�
dalih� bahwa� hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya�.
Diterbitkannya� SEMA�
No� 2� Tahun�
2023� diharapkan� dapat�
mengakhiri� polemik mengenai� perkawinan�
beda� agama� yang�
terjadi� di� Indonesia,�
sehingga� hakim� tidak lagi��
mengabulkan�� permohonan�� perkawinan��
beda�� agama�� yang��
diajukan�� oleh Pemohon.�� Ketentuan Undang-Undang�� Nomor��
23�� Tahun�� 2006 diubah�� dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 35
huruf�� a�� terkait��
dengan�� masalah�� perkawinan��
beda�� agama�� menjadi��
wewenang pengadilan�� negeri�� untuk��
memeriksa�� dan�� memutusnya��
menjadi�� tidak�� dapat dilaksanakan. SEMA merupakan petunjuk
bagi hakim peradilan di bawah Mahkamah Agung��
dalam�� menjalankan�� fungsi��
pembinaan�� dan�� pengawasan��
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 ayat (4) UU No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Para hakim wajib tunduk pada
SEMA karena isi dari SEMA bersifat menerangkan hal yang masih belum jelas atau
masih terdapat perbedaan antara teori dan praktek dalam dunia peradilan.
Petunjuk tersebut merupakan penjelasan atau penafsiran peraturan
Undang-undang�� agar�� dalam��
praktek�� pengadilan�� tidak��
terjadi�� disparitas�� dalam memberikan keadilan yang menimbulkan
tidak tercapainya kepastian hukum, sebagai salah� satu�
ide� dasar� hukum.�
Sehingga� sekiranya� dalam�
peradilan� terdapat suatu
disharmoni� dalam� suatu�
hal,� Mahkamah� Agung�
berwenang� membuat� peraturan sebagai� pelengkap�
untuk� mengisi� kekurangan�
dan� dapat� memberikan�
keadilan� dan kepastian hukum.
Para� Hakim� wajib�
tunduk� pada� SEMA�
karena� merupakan� kebijakan�
internal� dan menurut� fungsinya�
diatas� adalah� untuk�
menjelaskan� perbedaan� antara�
teori� dan praktek� yang�
ada� di� masyarakat.�
Hakim� atau� anggota�
badan� peradilan� yang�
tidak tunduk� pada� SEMA�
dapat� dikenai� sanksi�
berupa� hukuman� disiplin�
yang� diberikan oleh� Badan�
Pengawas� Mahkamah� Agung.�
Hal� ini� tercantum�
dalam� Pasal� 12�
ayat� 3 Undang� Undang�
Nomor� 1� Tahun�
1950� tentang Susunan,� Kekuasaan�
dan� Jalan-Pengadilan Mahkamah
Agung Indonesia yang berbunyi:
�Tingkah-laku� perbuatan�
(pekerjaan)�
pengadilan-pengadilan�
tersebut� dan� para hakim di pengadilan-pengadilan itu
diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. Guna�
kepentingan� jawatan� maka�
untuk� itu� Mahkamah�
Agung� berhak� memberi peringatan-peringatan,� teguran�
dan� petunjuk-petunjuk� yang�
dipandang� perlu� dan berguna kepada pengadilan-pengadilan dan
para hakim tersebut, baik dengan surat tersendiri maupun dengan surat edaran.�
Hukuman� disipliner�
tidak� hanya� diberikan�
kepada� hakim,� akan�
tetapi� juga� dapat diberikan�� kepada��
kepaniteraan�� dan�� bagian��
kesekretariatan�� yang�� melanggar. Sedangkan� bagi�
Hakim� yang� melanggar�
dapat� dikenakan� sanksi �sesuai�
Kode� Etik Hakim.� SEMA�
Nomor 2� Tahun� 2023�
ini� dianggap� dapat�
menjadi� sebuah� pencerahan terhadap polemik berkepanjangan
mengenai perbedaan pendapat terkait perkawinan beda agama. Akan tetapi tidak dapat
berhenti di SEMA No.2 Tahun 2023 Perkawinan beda� agama�
masih� menjadi� masalah�
selama� UU� Adminduk�
mengenai� pencatatan perkawinan
dalam pasal 35 huruf a masih berlaku dan pemahaman masyarakat atau penggiat Hak
Asasi Manusia tidak dapat dibenturkan dengan ajaran agama.
B. Perkawinan
Beda Agama Apabila Ditinjau Dari Sudut Pandang Yuridis dan Sosiologis
Menurut Undang Undang No 1. Tahun 1974
tentang perkawinan, dalam pasal 1 dinyatakan perkawinan adalah sebuah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Dari pasal
ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan
antara pria dan wanita saja.Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-undang tersebut
disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan,
perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di kantor Urusan
Hukum Agama (KUA) dan Catatan Sipil (Fatoni, S. N., & Rusliana, I, 2019).
Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan
menetapkan beberapa persyaratan untuk
melakukan perkawinan, yaitu; perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus
mendapatkan izin kedua orang tua atau salah satu bila salah satu orangtua sudah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya.
Apabila kedua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali. Orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara
orang-orang yang disebut diatas atau salah satu atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat melakukan izin perkawinan. Ketentuan ini tidak
bertentangan atau tidak diatur oleh hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya yang bersangkutan. Fatoni (S. N., & Rusliana, I.
(2019).
Sementara, untuk larangan kawin,
Undang-Undang Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya melarang terjadinya
perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah,
semenda, susunan atau hubungan-hubungan yang
dilarang oleh agamnya atau peraturan lain. UU Perkawinan memandang perkawinan
tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek
agama.6 Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan
aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila
perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang negara, tanpa
memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah.Sebaliknya, apabila
perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur agama saja, tanpa memperhatikan
atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak
sah.
Wahyono Darmabrata mengungkapkan bahwa,
ada 4 cara yang dapat ditempuh oleh pasangan yang ingin menikah dengan agama
yang berbeda. Antara lain :
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.
4. Perkawinan dilakukan di luar negri.
Selanjutnya, perkawinan beda
agama merupakan bentuk dari sociological jurisprudence dimana terdapat kecenderungan masyarakat keluar dari hukum yang berlaku. Hukum yang
selama ini terbentuk melalui moral serta nilai yang berlaku dalam masyarakat,
namun pada kenyataannya dilanggar sendiri oleh masyarakat. Terdapat gradasi
moral pada aspek hukum Indonesia yang berpeluang menimbulkan dampak negatif, baik secara individu, kelompok, maupun
kenegaraan (Surahman, S, 2022).
Dalam pandangan psikologi,
perkawinan beda agama berpotensi menimbulkan beberapa gangguan perilaku, salah
satunya adalah resiliensi, dimana ia merupakan kecenderungan kemampuan
seseorang dalam menghadapi atau melalui suatu masalah (Rachmadhani & Herdiana,
2021). Resiliensi sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: stres; faktor protektif; faktor resiko; kemampuan
koping dan kompetensi individu. Selain itu terdapat tantangan yang dihadapi
isteri dalam menjalani hubungan perkawinan beda agama. Sementara itu dalam
sudut pandang sosiologi, perkawinan beda agama merupakan bentuk kesadaran
kolektif yang diakibatkan adanya hubungan organik individu dalam masyarakat
(Dakhi, 2019). Dalam masyarakat organik, perkawinan beda agama bersifat
mekanik, dalam arti melibatkan keputusan masyarakat, dan tidak hanya individu
yang akan menjalani perkawinan. Masyarakat ikut �memutuskan� apa yang
seharusnya ada dalam sebuah perkawinan, termasuk pertimbangan beda agama
mempelai. Sedangkan dalam pandangan antropologi, perkawinan beda agama terjadi
atas pertimbangan berbagai pendapat yang ada dalam masyarakat. Seorang individu
menerima segala informasi yang ada dalam masyarakat hingga akhirnya menentukan
secara individu pula apa yang akan diputuskan (Fatimah et al., 2019). Hal ini
menunjukkan bahwa individu belajar dari berbagai pengalaman individu lain yang
melakukan perkawinan beda agama, termasuk menyadari sepenuhnya potensi konflik
dan kondisi dilematis yang dapat terjadi.
Kesimpulan
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa SEMA
No. 2 Tahun 2023 memiliki tujuan mengakhiri polemik seputar perkawinan beda
agama di Indonesia dengan mengubah ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
Perubahan ini mengalihkan wewenang pemeriksaan dan keputusan perkawinan beda
agama ke pengadilan negeri, bertujuan memberikan landasan hukum yang lebih
jelas dan pasti serta mencegah interpretasi yang beragam dari hakim. Perkawinan
dianggap sah jika sesuai dengan hukum agama atau kepercayaan para pihak, dan
harus dicatatkan di Kantor Urusan Hukum Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Undang-Undang Perkawinan mengatur persyaratan dan larangan tertentu, termasuk
kemungkinan izin dari pengadilan dalam situasi tertentu. Penting untuk memahami
bahwa perkawinan beda agama memiliki dampak sosial, moral, psikologis, dan
sosiologis yang perlu diperhatikan, dan dapat menimbulkan tantangan dan konflik
bagi pasangan dan masyarakat secara keseluruhan.
BIBLIOGRAFI
Kharisma, B. U. (2023). Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, Akhir Dari Polemik Perkawinan Beda
Agama?. Journal of Scientech Research and Development, 5(1), 477-482.
Fatoni, S. N., & Rusliana, I. (2019).
Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama di Kota Bandung. Varia
Hukum, 1(1), 95-114.
Surahman, S. (2022). Perkawinan Beda Agama
Itu Boleh (?). Jurnal Multidisiplin Madani, 2(4),
1711-1720.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 28 E ayat (1).
Shalilah, Fithriatus. Sosiologi Hukum. Depok : Raja Grafindo, 2017.
Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Yogyakarta :
Kaukaba Dipantara, 2013.
Alfin, Aidil. dan Busro, �Nikah Siri Dalam
Tinjauan Hukum Teoritis Dan Sosiologi Hukum Islam Indonesia�, Jurnal Kajian Hukum Islam : Al-Manahij,
Volume IX No. 1, Juni 2017.
Asir, Ahmad. �Agama dan Fungsinya Dalam
Kehidupan Umat Manusia�, Jurnal
Penelitian dan Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, Februari 2014.
Cahyadi, Irwan Adi. �Kedudukan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam Hukum Positif di Indonesia�, Media Neliti 2014.
Fatoni, Siti Nur dan Iu Rusliana.
�Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama Di Kota Bandung�, Varia Hukum, Volume 1, Nomor 1, 1
Januari 2019.
Hukum Online, �Empat Cara Penyelundupan
Hukum Bagi Pasangan Beda Agama�, https://www.hukumonline.com/berita/a/empat-cara-penyelundupan-hukum-bagi-pasangan-beda-agama-hol15655/,
diakses pada 10 November 2023.
KBBI Daring sv, �Tinjauan�,
https://kbbi.web.id/tinjau, diakses pada 1 November 2023.
Kharisma, Bintang Ulya. �Surat
Edaran Mahkamah� Agung� (Sema)Nomor 2�
Tahun� 2023, Akhir Dari Polemik
Perkawinan Beda Agama?�, Journal of
Scientech Research and Development, Volume 5, Issue 1, June 2023.
Munawar, Azam. �Data Fakta Angka
Pernikahan Beda Agama dari Tahun ke Tahun�, https://www.melansir.com/news/8499528788/data-fakta-angka-pernikahan-beda-agama-dari-tahun-ke-tahun,
diakses pada 31 Oktober 2023.
Munawaro, Nafiatul. �Bolehkan Nikah Beda
Agama di Indonesia?" " Ini Hukumnya�,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/nikah-beda-agama-cl290/, diakses pada 31
Oktober 2023.
Surahman, Susilo. �Marriages
Of Different Religions Can Be?�, Jurnal
Multidisiplin Madani (MUDIMA), Vol.2, No.4, 2022.
Copyright holder: Lerick Wasito, Zahirul Hadi, Yenny Febrianty, Mahipal (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |