Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022�����������

 

TINJAUAN SOSIOLOGIS PADA PERKAWINAN BERBEDA AGAMA DALAM HUKUM DI INDONESIA

 

Lerick Wasito1, Zahirul Hadi2, Yenny Febrianty3, Mahipal4

1*,2,3 Legal Studies, Faculty of Law, Universitas Pakuan Bogor, Indonesia

Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected], 4[email protected]

 

Abstrak

Indonesia, dengan keberagaman budaya dan agama, mengatur perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hukum positif, hanya ada dua ketentuan: perkawinan antar-Islam dan antar-Non Islam. Meski Yurisprudensi Nomor 1400K/PDT/1986 menimbulkan polemik, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 memperbolehkan pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini menggunakan metode normatif, mengkaji data sekunder dan peraturan hukum. Diharapkan, penerbitan SEMA No 2 Tahun 2023 mengakhiri polemik perkawinan beda agama di Indonesia, memastikan keadilan dan kepastian hukum.


Kata Kunci: Perkawinan, SEMA, Sosiologi.

Abstrack

Indonesia, with its cultural and religious diversity, regulates marriage in the Compilation of Islamic Law (KHI) and Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. In positive law, there are only two provisions: marriage between Muslims and between Non-Muslims. Although Jurisprudence Number 1400K/PDT/1986 sparked controversy, SEMA Number 2 of 2023 allows the registration of interfaith marriages. This study uses a normative research method, examining secondary data and applicable legal regulations. The issuance of SEMA No. 2 of 2023 is expected to end the controversy surrounding interfaith marriages in Indonesia, ensuring justice and legal certainty.

 

Keywords: Marriage, SEMA, Sociology.

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan keberagaman budaya dan agama. Keberagaman tersebut telah mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia dan keberagaman tersebut telah membentuk seperangkat nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh yangmudah dilihat dalam masyarakat Indonesia adalah persoalan memilih pasangan hidup.

Perkawinan merupakan perikatan suci antara 2 manusia, dengan tujuan mulia untuk membentuk keluarga. Tujuan utama dalam pernikahan menurut Islam adalah membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah atau keluarga yang diselimuti dengan kedamaian, kecintaan,serta rasa kasih sayang yang besar.

Menikah merupakan kebutuhan untuk pemenuhan biologis manusia itu sendiri dengan maksud untuk melanjutkan generasi dan memperoleh ketentraman hidup di dunia. Para ulama fiqh telah membahas mengenai tata cara pelaksanaan pernikahan mulai dari syarat dan rukun nikah serta proses berupa peminangan (khitbah), akad nikah, dan diakhiri dengan walimah al-ursy atau pesta pernikahan. Pesta pernikahan bertujuan untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa telah diadakan atau terjadinya sebuah pernikahan. Mekanisme ini sering dibahas melalui berbagai macam kitab fiqh (Aidil Alfin dan Busro, 2017).

Berbicara secara norma dasar atau groundrecht, terkait hak asasi manusia terkait kebebasan untuk menentukan agama diatur dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

�Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali�.

Dalam penerapan pasal diatas, berarti setiap orang atau masyarakat di Indonesia berhak atau memiliki kebebasan dalam memilih agama yang diyakini atau dipercayai untuk masyarakat �imani� agama tersebut. Berbicara dalam konteks, pernikahan apabila melihat dari sudut pandang groundrecht artinya pernikahan yang dijalani oleh dua insan manusia haruslah seagama. Hal ini, karena menghindari adanya �pemaksaan� untuk memeluk salah satu agama dalam pasangan tersebut.

Secara hukum positif di Indonesia, perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam atau yang selanjutnya disebut sebagai KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perkawinan.

Secara kontekstual disebutkan bahwa, dalam Pasal 63 ayat (1) dijelaskan bahwa :

�Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b) Pengadilan Umum bagi lainnya�.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa hanya ada 2 ketentuan dalam perkawinan yaitu perkawinan Islam dengan Islam, dan Non Islam dengan Non Islam. Polemik terhadap peraturan ini terjadi ketika banyaknya masyarakat yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Tentu apabila melihat dari sisi yuridis, hal ini bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Salah satu syarat sahnya perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa : 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.

Tentunya hal ini juga bertentangan dengan KHI, dalam Pasal 40 huruf c menyatakan bahwa :

�dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita yangtidak beragama islam�.

Selanjutnya berlaku sebaliknya, dalam Pasal 44 KHI menegaskan bahwa :

�wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam�.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwasanya:

�Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah�.

Hal ini tentunya menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, dimana masyarakat dibuat bingung karena ketika berbicara dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia hal tersebut adalah tidak dibenarkan. Namun melihat dari yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dari Putusan MA No. 1400K/PDT/1986 yang menyatakan bahwa (Nafiatul Munawaro, 2023):

�Dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan�.

Dengan latar belakang pernikahan beda agama yang marak di Indonesia, penelitian ini berjudul "Tinjauan Yuridis dan Sosiologis pada Perkawinan Beda Agama dalam Hukum di Indonesia (Studi Kasus SEMA Nomor 2 Tahun 2023)." Penelitian ini akan membahas fenomena ini dari perspektif yuridis dan sosiologis, mengingat bahwa masyarakat sebenarnya menyadari ketidaksetujuan agama dan hukum positif terkait hal tersebut. Rumusan masalah mencakup implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dalam mengatur perkawinan beda agama dan tinjauan yuridis serta sosiologis terhadap perkawinan semacam itu. Tujuan penulisan meliputi pemahaman dan penjelasan terkait implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 serta perkawinan beda agama dari perspektif yuridis dan sosiologis. Kerangka teori mencakup teori negara hukum, teori kepastian hukum, dan kerangka konseptual yang melibatkan tinjauan, sosiologi hukum, perkawinan, agama, dan SEMA.

Pernikahan beda agama menimbulkan konflik, baik antara kedua pasangan maupun dengan dirinya sendiri. Konflik seperti ini sebenarnya bisa dihindari jika pasanganmemilihmenikah denganorang yang seagama. Namun yangmenarik adalah masih ada masyarakat yang memilihmenikahbeda agama, padahal bentuk pernikahan tersebut dapat menimbulkan konflik yang tidak dapat dihindari misalnya perebutan terkait agama yang nantinya akan dianut oleh anak.

Dengan latar belakang pernikahan beda agama yang marak di Indonesia, penelitian ini berjudul "Tinjauan Yuridis dan Sosiologis pada Perkawinan Beda Agama dalam Hukum di Indonesia (Studi Kasus SEMA Nomor 2 Tahun 2023)." Penelitian ini akan membahas fenomena ini dari perspektif yuridis dan sosiologis, mengingat bahwa masyarakat sebenarnya menyadari ketidaksetujuan agama dan hukum positif terkait hal tersebut. Rumusan masalah mencakup implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dalam mengatur perkawinan beda agama dan tinjauan yuridis serta sosiologis terhadap perkawinan semacam itu. Tujuan penulisan meliputi pemahaman dan penjelasan terkait implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 serta perkawinan beda agama dari perspektif yuridis dan sosiologis. Kerangka teori mencakup teori negara hukum, teori kepastian hukum, dan kerangka konseptual yang melibatkan tinjauan, sosiologi hukum, perkawinan, agama, dan SEMA.

 

Metode Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif, berupa penelitian dengan mengkaji dan mempelajari data sekunder atau library research dan peraturan hukum yang berlaku. Dalam penyusunan penelitian ini diolah secara kualitatif, sehingga dalam proses penyusunan ini menggunakan bahasan yang sistematis dan kompleks.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Implementasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 Dalam Mengatur Perkawinan Berbeda Agama.

Sistem hukum suatu negara berlandaskan pada prinsip kepastian hukum untuk menjamin penerapan hukum yang jelas, konsisten dan adil. Ini adalah prinsip fundamental yang menjadi pilar penting bagi berfungsinya negara hukum dengan baik. Aspek-aspek berikut ini sangat penting dalam mencapai kepastian hukum. Dalam mencapai kepastian hukum tersebut dibutuhkan pembuatan dan penyusunan peraturan perundang-undangan yang nantinya akan menjadi langkah awal dalam proses mencapai kepastian hukum tersebut.

Hukum yang dicita-citakan oleh masyarakat, tentunya hukum yang dapat menjamin hak-hak setiap manusia dapat dipenuhi tanpa adanya diskriminasi dari pihak-pihak manapun. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan publik seharusnya membuat sebuah peraturan yang seadil-adilnya demi masyarakat.

Tinjauan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa : (Nomor, U. U. (1).)

�membentukkeluarga(rumahtangga) yang bahagiadankekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak dijelaskan secara jelas mengenai larangan perkawinanbedaagama.Selainitutidakterdapatperaturanperundang-undangan yang secara rinci mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga ada kekosongan hukum yang kemudian dapat dimasuki oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentangAdministrasi Pendudukan dalampasal35hurufaUndang-UndangAdministrasi Pendudukanmenyatakanbahwa pencatatan perkawinan yang diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Administrasi Pendudukan berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Dalam penjelasannya yang dimaksud denganperkawinanyangditetapkanolehpengadilanadalahperkawinanyang dilakukan antar-umat berbeda agama. Kharisma, B. U. (2023).

Ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Pendudukan inilah yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara permohonan perkawinan beda agama. Dan dari putusan hakim yang satu, kemudian dapat menjadikan putusan tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim untuk memutuskan suatu perkara berikutnya. Mengingat dalam ketentuanPasal10ayat(1)Undang-UndangNo.48Tahun2009tentangKekuasaan Kehakiman�� yang�� berbunyi : Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

�Pengadilan�� dilarang�� menolak�� untuk�� memeriksa, mengadili,danmemutussuatuperkarayangdiajukandengandalihbahwahukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya�.

DiterbitkannyaSEMANo2Tahun2023diharapkandapatmengakhiripolemik mengenaiperkawinanbedaagamayangterjadidiIndonesia,sehinggahakimtidak lagi�� mengabulkan�� permohonan�� perkawinan�� beda�� agama�� yang�� diajukan�� oleh Pemohon.�� Ketentuan Undang-Undang�� Nomor�� 23�� Tahun�� 2006 diubah�� dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 35 huruf�� a�� terkait�� dengan�� masalah�� perkawinan�� beda�� agama�� menjadi�� wewenang pengadilan�� negeri�� untuk�� memeriksa�� dan�� memutusnya�� menjadi�� tidak�� dapat dilaksanakan. SEMA merupakan petunjuk bagi hakim peradilan di bawah Mahkamah Agung�� dalam�� menjalankan�� fungsi�� pembinaan�� dan�� pengawasan�� sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 ayat (4) UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Para hakim wajib tunduk pada SEMA karena isi dari SEMA bersifat menerangkan hal yang masih belum jelas atau masih terdapat perbedaan antara teori dan praktek dalam dunia peradilan. Petunjuk tersebut merupakan penjelasan atau penafsiran peraturan Undang-undang�� agar�� dalam�� praktek�� pengadilan�� tidak�� terjadi�� disparitas�� dalam memberikan keadilan yang menimbulkan tidak tercapainya kepastian hukum, sebagai salahsatuidedasarhukum.Sehinggasekiranyadalamperadilanterdapat suatu disharmonidalamsuatuhal,MahkamahAgungberwenangmembuatperaturan sebagaipelengkapuntukmengisikekurangandandapatmemberikankeadilandan kepastian hukum. ParaHakimwajibtundukpadaSEMAkarenamerupakankebijakaninternaldan menurutfungsinyadiatasadalahuntukmenjelaskanperbedaanantarateoridan praktekyangadadimasyarakat.Hakimatauanggotabadanperadilanyangtidak tundukpadaSEMAdapatdikenaisanksiberupahukumandisiplinyangdiberikan olehBadanPengawasMahkamahAgung.HalinitercantumdalamPasal12ayat3 UndangUndangNomor1Tahun1950tentang Susunan,KekuasaandanJalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia yang berbunyi:

�Tingkah-lakuperbuatan(pekerjaan)pengadilan-pengadilantersebutdanpara hakim di pengadilan-pengadilan itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. GunakepentinganjawatanmakauntukituMahkamahAgungberhakmemberi peringatan-peringatan,tegurandanpetunjuk-petunjukyangdipandangperludan berguna kepada pengadilan-pengadilan dan para hakim tersebut, baik dengan surat tersendiri maupun dengan surat edaran.�

Hukumandisiplinertidakhanyadiberikankepadahakim,akantetapijugadapat diberikan�� kepada�� kepaniteraan�� dan�� bagian�� kesekretariatan�� yang�� melanggar. SedangkanbagiHakimyangmelanggardapatdikenakansanksi sesuaiKodeEtik Hakim.SEMANomor 2Tahun2023inidianggapdapatmenjadisebuahpencerahan terhadap polemik berkepanjangan mengenai perbedaan pendapat terkait perkawinan beda agama. Akan tetapi tidak dapat berhenti di SEMA No.2 Tahun 2023 Perkawinan bedaagamamasihmenjadimasalahselamaUUAdmindukmengenaipencatatan perkawinan dalam pasal 35 huruf a masih berlaku dan pemahaman masyarakat atau penggiat Hak Asasi Manusia tidak dapat dibenturkan dengan ajaran agama.

B.  Perkawinan Beda Agama Apabila Ditinjau Dari Sudut Pandang Yuridis dan Sosiologis

Menurut Undang Undang No 1. Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1 dinyatakan perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara pria dan wanita saja.Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di kantor Urusan Hukum Agama (KUA) dan Catatan Sipil (Fatoni, S. N., & Rusliana, I, 2019).

Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu; perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapatkan izin kedua orang tua atau salah satu bila salah satu orangtua sudah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila kedua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali. Orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut diatas atau salah satu atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat melakukan izin perkawinan. Ketentuan ini tidak bertentangan atau tidak diatur oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan. Fatoni (S. N., & Rusliana, I. (2019).

Sementara, untuk larangan kawin, Undang-Undang Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susunan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamnya atau peraturan lain. UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama.6 Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah.Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.

Wahyono Darmabrata mengungkapkan bahwa, ada 4 cara yang dapat ditempuh oleh pasangan yang ingin menikah dengan agama yang berbeda. Antara lain :

1.    Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.

2.    Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.

3.    Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.

4.    Perkawinan dilakukan di luar negri.

Selanjutnya, perkawinan beda agama merupakan bentuk dari sociological jurisprudence dimana terdapat kecenderungan masyarakat keluar dari hukum yang berlaku. Hukum yang selama ini terbentuk melalui moral serta nilai yang berlaku dalam masyarakat, namun pada kenyataannya dilanggar sendiri oleh masyarakat. Terdapat gradasi moral pada aspek hukum Indonesia yang berpeluang menimbulkan dampak negatif, baik secara individu, kelompok, maupun kenegaraan (Surahman, S, 2022).

Dalam pandangan psikologi, perkawinan beda agama berpotensi menimbulkan beberapa gangguan perilaku, salah satunya adalah resiliensi, dimana ia merupakan kecenderungan kemampuan seseorang dalam menghadapi atau melalui suatu masalah (Rachmadhani & Herdiana, 2021). Resiliensi sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: stres; faktor protektif; faktor resiko; kemampuan koping dan kompetensi individu. Selain itu terdapat tantangan yang dihadapi isteri dalam menjalani hubungan perkawinan beda agama. Sementara itu dalam sudut pandang sosiologi, perkawinan beda agama merupakan bentuk kesadaran kolektif yang diakibatkan adanya hubungan organik individu dalam masyarakat (Dakhi, 2019). Dalam masyarakat organik, perkawinan beda agama bersifat mekanik, dalam arti melibatkan keputusan masyarakat, dan tidak hanya individu yang akan menjalani perkawinan. Masyarakat ikut �memutuskan� apa yang seharusnya ada dalam sebuah perkawinan, termasuk pertimbangan beda agama mempelai. Sedangkan dalam pandangan antropologi, perkawinan beda agama terjadi atas pertimbangan berbagai pendapat yang ada dalam masyarakat. Seorang individu menerima segala informasi yang ada dalam masyarakat hingga akhirnya menentukan secara individu pula apa yang akan diputuskan (Fatimah et al., 2019). Hal ini menunjukkan bahwa individu belajar dari berbagai pengalaman individu lain yang melakukan perkawinan beda agama, termasuk menyadari sepenuhnya potensi konflik dan kondisi dilematis yang dapat terjadi.

 

Kesimpulan

Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa SEMA No. 2 Tahun 2023 memiliki tujuan mengakhiri polemik seputar perkawinan beda agama di Indonesia dengan mengubah ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Perubahan ini mengalihkan wewenang pemeriksaan dan keputusan perkawinan beda agama ke pengadilan negeri, bertujuan memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan pasti serta mencegah interpretasi yang beragam dari hakim. Perkawinan dianggap sah jika sesuai dengan hukum agama atau kepercayaan para pihak, dan harus dicatatkan di Kantor Urusan Hukum Agama (KUA) dan Catatan Sipil. Undang-Undang Perkawinan mengatur persyaratan dan larangan tertentu, termasuk kemungkinan izin dari pengadilan dalam situasi tertentu. Penting untuk memahami bahwa perkawinan beda agama memiliki dampak sosial, moral, psikologis, dan sosiologis yang perlu diperhatikan, dan dapat menimbulkan tantangan dan konflik bagi pasangan dan masyarakat secara keseluruhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Kharisma, B. U. (2023). Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, Akhir Dari Polemik Perkawinan Beda Agama?. Journal of Scientech Research and Development, 5(1), 477-482.

 

Fatoni, S. N., & Rusliana, I. (2019). Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama di Kota Bandung. Varia Hukum1(1), 95-114.

 

Surahman, S. (2022). Perkawinan Beda Agama Itu Boleh (?). Jurnal Multidisiplin Madani2(4), 1711-1720.

 

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 28 E ayat (1).

 

Shalilah, Fithriatus. Sosiologi Hukum. Depok : Raja Grafindo, 2017.

 

Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2013.

 

Alfin, Aidil. dan Busro, �Nikah Siri Dalam Tinjauan Hukum Teoritis Dan Sosiologi Hukum Islam Indonesia�, Jurnal Kajian Hukum Islam : Al-Manahij, Volume IX No. 1, Juni 2017.

 

Asir, Ahmad. �Agama dan Fungsinya Dalam Kehidupan Umat Manusia�, Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, Februari 2014.

 

Cahyadi, Irwan Adi. �Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam Hukum Positif di Indonesia�, Media Neliti 2014.

 

Fatoni, Siti Nur dan Iu Rusliana. �Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama Di Kota Bandung�, Varia Hukum, Volume 1, Nomor 1, 1 Januari 2019.

 

Hukum Online, �Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama�, https://www.hukumonline.com/berita/a/empat-cara-penyelundupan-hukum-bagi-pasangan-beda-agama-hol15655/, diakses pada 10 November 2023.

 

KBBI Daring sv, �Tinjauan�, https://kbbi.web.id/tinjau, diakses pada 1 November 2023.

 

Kharisma, Bintang Ulya. �Surat Edaran MahkamahAgung(Sema)Nomor 2Tahun2023, Akhir Dari Polemik Perkawinan Beda Agama?�, Journal of Scientech Research and Development, Volume 5, Issue 1, June 2023.

 

Munawar, Azam. �Data Fakta Angka Pernikahan Beda Agama dari Tahun ke Tahun�, https://www.melansir.com/news/8499528788/data-fakta-angka-pernikahan-beda-agama-dari-tahun-ke-tahun, diakses pada 31 Oktober 2023.

 

Munawaro, Nafiatul. �Bolehkan Nikah Beda Agama di Indonesia?" " Ini Hukumnya�, https://www.hukumonline.com/klinik/a/nikah-beda-agama-cl290/, diakses pada 31 Oktober 2023.

 

Surahman, Susilo. �Marriages Of Different Religions Can Be?�, Jurnal Multidisiplin Madani (MUDIMA), Vol.2, No.4, 2022.

Copyright holder:

Lerick Wasito, Zahirul Hadi, Yenny Febrianty, Mahipal (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: