Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

����������������������������������������������������������

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN FINTECH PINJAMAN ONLINE

 

Yudi Pebriansyah1*, Fitrie Aryani Rahayu2, Yenny Febrianty3, Mahipal4

1*,2,3,4 Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor, Indonesia

Email: 1*utrecht7284@gmail.com, 2[email protected], 3[email protected]

4[email protected]

 

Abstrak

Perkembangan teknologi berpengaruh besar pada industri jasa keuangan, yang menuntut inovasi dalam menyesuaikan kebutuhan masyarakat, yang memunculkan salah satunya industri teknologi finansial (Financial Technology/Fintech). Perkembangan Fintech sangat pesat, khususnya pada Fintech berjenis Industri Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau lebih dikenal dengan istilah Pinjaman Online/Pinjol, yang sangat diminati oleh masyarakat. Penulisan ini bertujuan untuk memahami apakah praktek LPMUBTI ini telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan bagaimana perlindungan kepada masyarakat penggunanya. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan studi kepustakaan terhadap buku pustaka, jurnal penelitian dan artikel, serta peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan objek penelitian. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya regulasi tentang Fintech berjenis LPMUBTI ini kami nilai sudahmemadai, baik itu pengaturan pelaksanaan dan perlindungan kepada nasabahnya, hanya saja dalam prakteknya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan baik itu oleh pelaksana Fintech maupun Nasabah, sehingga aspek hukum dinilai menjadi lemah dalam pelaksanaanya.

 

Kata Kunci: Fintech, Financial Technology, Pinjaman Online, Pinjol, OJK.

 

Abstract

Technological developments have had a major impact on the financial services industry, which demands innovation in adapting to society's needs, which has given rise to the financial technology (Fintech) industry. The development of Fintech is very rapid, especially in the Fintech type of Information Technology Based Money Lending and Borrowing Service Industry (LPMUBTI) or better known as Online Loans/Pinjol, which is very popular with the public. This writing aims to understand whether LPMUBTI practices are in accordance with the legal regulations in force in Indonesia and how to protect the user community. This research is descriptive in nature, using a literature review of library books, research journals and articles, as well as statutory regulations relating to the research object. From the results of this research, it can be seen that we actually consider the regulations regarding Fintech of the LPMUBTI type to be adequate, both in terms of implementation and protection for customers, but in practice there are many violations committed by both Fintech implementers and customers, so this aspect the law is considered to be weak in its implementation.

 

Keywords: Fintech, Financial Technology, Online Loans, Pinjol, OJK.

 

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi berpengaruh besar pada Industri Jasa Keuangan (IJK). Digitalisasi IJK telah mendorong IJK untuk berinovasi secara cepat dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu IJK yang berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir adalah industri teknologi finansial (financial technology/fintech), khususnya industri Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).

Sejak mulai diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2016, perkembangan industri LPMUBTI mencatat pertumbuhan yang sangat tinggi, jauh di atas pertumbuhan IJK lainnya. Jumlah pengguna terus bertambah secara signifikan. Model bisnis dan kerja sama pihak lain dalam ekosistem terus berkembang dan makin kompleks. Perkembangan industri yang positif ini perlu diarahkan agar memberikan kontribusi optimal kepada bangsa Indonesia melalui pendanaan kepada masyarakat, wilayah, dan sektor usaha yang belum didanai oleh lembaga keuangan yang telah ada secara optimal.

Industri LPMUBTI ditopang oleh teknologi informasi dengan karakteristik yang berbeda dengan IJK yang telah ada, seperti mekanisme transaksi tanpa tatap muka, frekuensi transaksi tinggi, proses cepat, persyaratan sederhana, termasuk dukungan artificial intellegence. Karakteristik tersebut yang menghasilkan sifat bisnis yang membutuhkan pengawasan berbeda dengan metode pengawasan secara konvensional. Pengawasan harus dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi secara optimal untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Dukungan teknologi informasi dalam pengawasan juga untuk dapat mengakomodasi perkembangan industri yang semakin kompleks.

Perkembangan pengguna FinTech juga terus berkembang dari tahun ke tahun. Bersumber pada World Bank, pengguna FinTech yang awalnya 7% di tahun 2007, berkembang menjadi 20% di tahun 2011, kemudian meningkat menjadi 36% di tahun 2014, dan di tahun 2017 sudah menginjak angka 78% atau tercatat sebanyak 135-140 perusahaan, dengan total nilai transaksi FinTech di Indonesia pada tahun 2017 tersebut diperkirakan mencapai Rp 202,77 Triliun.

Perkembangan yang sangat cepat dan karakteristik industri seperti diuraikan sebelumnya, membutuhkan model pengaturan berbasis prinsip (principle based) yang lebih fleksibel dalam mengakomodasi perkembangan industri. Pendekatan pengawasan juga perlu diarahkan pada disiplin pasar (market conduct) dengan melibatkan asosiasi industri. Selain itu transparansi kepada publik juga perlu dikedepankan agar publik dapat turut menilai kualitas industri dan Penyelenggara, serta dapat meningkatkan kepercayaan publik.

Terdapat beberapa manfaat adanya FinTech di lingkungan masyarakat, manfaat pertama yaitu, FinTech dapat membantu perkembangan baru di bidang start up teknologi yang tengah menjamur. Hal ini dapat membantu perluasan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tersebut mendatangkan manfaat kedua yaitu peningkatan taraf hidup masyarakat. FinTech dapat menjangkau masyarakat yang tidak dapat dijangkau oleh perbankan konvensional. Selain itu, FinTech juga dapat meningkatkan ekonomi secara makro. Kemudahan yang ditawarkan oleh FinTech dapat meningkatkan penjualan e-commerce. Manfaat terakhir yang paling dapat dinikmati oleh masyarakat besar adalah penurunan bunga pinjaman.

Sayangnya, di balik kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkannya, tak sedikit orang yang memanfaatkan produk pinjaman online ini dengan tidak bijak. Padahal, jika dibandingkan dengan pinjaman konvensional, pinjaman online memiliki tingkat suku bunga yang cenderung lebih tinggi dan tenor cicilan yang lebih ringkas. Pada pinjaman online, biaya administrasi tidak transparan. Alhasil para nasabah berisiko harus membayar hutang lebih besar dari kesepakatan diawal. Selain itu, nasabah juga harus membayar biaya denda keterlambatan dan denda lainnya yang notabene tidak masuk akal.

Keberadaan pinjaman online ini menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia. Hal ini tentu berisiko membuat debitur pinjaman online untuk terjebak jeratan utang yang terlalu berat hingga tak mampu membayar cicilannya. Pemberian data diri pada pinjaman online membuat nasabah mudah dikejar-kejar tentang utangnya. Debt collector menebar ancaman mulai dari masuk pengadilan, ke penjara, sampai siap dipecat dari pekerjaan. Tak hanya itu, beberapa warganet lain memang menyoroti Fintech pinjaman online yang bisa membaca data-data di ponsel nasabah (Tantri Dewayani, 2021).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk mengeksplorasi perlindungan hukum terhadap konsumen dalam industri Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), khususnya Pinjaman Online (Pinjol). Fokus penelitian adalah memahami sejauh mana praktek LPMUBTI sesuai dengan aturan hukum di Indonesia dan bagaimana perlindungan terhadap masyarakat pengguna dapat ditingkatkan. Metode studi kepustakaan digunakan dengan mengacu pada buku, jurnal penelitian, artikel, dan peraturan perundang-undangan terkait. Evaluasi hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi terkait Fintech jenis LPMUBTI dianggap memadai dalam mengatur pelaksanaan dan perlindungan terhadap nasabahnya. Namun, dalam prakteknya, banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana Fintech dan nasabah, sehingga aspek hukum dalam implementasinya dinilai masih lemah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam mengenai perbaikan perlindungan hukum bagi konsumen di industri Pinjol.

 

Hasil dan Pembahasan

Di Indonesia,  hadirnya FinTech telah membantu masyarakat menyelesaikan berbagai masalah. Berikut beberapa jenis-jenis FinTech yang sedang berkembang dan memberikan solusi finansial bagi masyarakat Indonesia :

1.        Crowdfunding

Crowdfunding atau penggalangan dana, merupakan salah satu model FinTech yang sedang populer di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan adanya teknologi ini, masyarakat dapat menggalang dana atau berdonasi untuk suatu inisiatif atau program sosial yang mereka pedulikan. Salah satu contohya adalah penggalangan dana untuk membangun Pesawat R80 yang didesain oleh BJ Habibie. Contoh startup FinTech dengan model crowdfunding yang kini tengah populer di Indonesia adalah KitaBisa.com

2.        Microfinancing

Microfinancing adalah salah satu layanan FinTech yang menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk membantu kehidupan dan keuangan mereka sehari-hari. Karena masyarakat dari golongan ekonomi ini kebanyakan tidak memiliki akses ke institusi perbankan, maka mereka pun mengalami kesulitan untuk memperoleh modal usaha guna mengembangkan usaha atau mata pencaharian mereka. Microfinancing berusaha menjembatani permasalahan tersebut dengan menyalurkan secara langsung modal usaha dari pemberi pinjaman kepada calon peminjam. Sistem bisnis dirancang agar return bernilai kompetitif bagi pemberi pinjaman, namun tetap attainable bagi peminjamnya. Salah satu startup yang bergerak dalam bidang microfinancing ini adalah Amartha yang menghubungkan pengusaha mikro di pedesaan dengan pemodal secara online.

3.        Peer to Peer (P2P) Lending Service

Jenis ini lebih dikenal sebagai FinTech untuk peminjaman uang. FinTech ini membantu masyarakat yang membutuhkan akses keuangan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan FinTech ini, konsumen dapat meminjam uang dengan lebih mudah untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanpa harus melalui proses berbelit-belit yang sering ditemui di bank konvensional. Salah satu contoh dari FinTech yang bergerak dalam bidang peminjaman uang ini adalah AwanTunai, sebuah startup yang memberikan fasilitas cicilan digital dengan aman dan mudah. 

4.        Market Comparison 

Dengan FinTech ini, kita dapat membandingkan macam-macam produk keuangan dari berbagai penyedia jasa keuangan. FinTech juga dapat berfungsi sebagai perencana finansial. Dengan bantuan FinTech, penggunanya dapat mendapatkan beberapa pilihan investasi untuk kebutuhan di masa depan.

5.        Digital Payment System 

FinTech ini bergerak di bidang penyediaan layanan berupa pembayaran semua tagihan seperti pulsa & pascabayar, kartu kredit, atau token listrik PLN. Salah satu contoh FinTech yang bergerak dalam digital payment system ini adalah Payfazz yang berbasis keagenan untuk membantu masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tidak memiliki akses ke bank, untuk melakukan pembayaran berbagai macam tagihan setiap bulannya.

 

Salah satu jenis Fintech yang paling awal berkembang di Indonesia adalah P2P Lending (Peer-to-Peer Lending) atau yang lebih akrab disapa Pinjol (Pinjaman Online), yang berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pinjol ini berhasil menarik perhatian publik dengan cepat karena dapat memungkinkan pemberian pinjaman kepada siapapun dengan syarat yang jauh lebih mudah dibandingkan bank dan proses yang jauh lebih sederhana melalui aplikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, Pinjol kerap kali juga menjadi bahan perbincangan yang penuh kontroversi. Disatu sisi, Pinjol membawa dampak positif berupa peningkatan inklusi keuangan yang menjadi salah satu target utama Pemerintah, serta peningkatan kontribusi sektor keuangan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Disisi lain, Pinjol juga membawa berbagai dampak negatif, sampai memunculkan mosi penghapusan Pinjol dari berbagai pihak.

Kesulitan pengembangan bisnis yang relatif rendah, membuat Pinjol ilegal yang tidak terdaftar dan berizin di OJK semakin menjamur. Pinjol ilegal berjalan tanpa mengikuti regulasi yang ada, dengan penerapan bunga mencekik, sistem penagihan disertai ancaman dan kekerasan, serta berujung pada tidak sedikitnya konsumen yang tertekan hingga bunuh diri. Ironisnya, kasus serupa tidak hanya ditemukan pada Pinjol ilegal, namun juga Pinjol legal. Baru-baru ini didapati juga kasus bunuh diri dari salah satu pengguna AdaKami yang merupakan Pinjol legal, namun diduga tetap melakukan berbagai praktik yang melanggar ketentuan, yang membuatnya tidak jauh berbeda dengan Pinjol ilegal. Ironisnya lagi, pengambilan pinjaman pada Pinjol kerap kali tidak didasari desakan kebutuhan ekonomi dan hanya untuk mendukung gaya hidup konsumerisme. Berbagai hal ini membawa kita pada pertanyaan mendasar mengenai Pinjol. Apakah sebetulnya Pinjol baik atau buruk? Haruskah kita mempertahankan atau menghapus eksistensi dari bisnis Pinjol?.

Selama ini, Pemerintah cenderung mendukung pengembangan Fintech, termasuk Pinjol, karena dianggap mampu menjadi penggerak roda ekonomi dan dapat bersesuaian dengan roadmap revolusi industri 4.0. Jika kita melihat dari perspektif positif, Pinjol memang juga dapat memberikan berbagai manfaat dan mengisi gap yang belum bisa dicapai dengan mengandalkan pada Lembaga Keuangan lainnya. Seperti misalnya terkait pembukaan akses kredit untuk UMKM yang sering kali tidak memenuhi persyaratan pengajuan kredit perbankan. Namun demikian, berbagai fenomena yang terjadi dan membuat persepsi publik menjadi cenderung negatif terhadap Pinjol menjadi bukti nyata bahwa hal ini merupakan isu yang serius dan tentunya juga tidak dapat diabaikan. Penegakan regulasi yang ada terkait Pinjol masih jauh dari sempurna. Namun isu lainnya yang membuat dampak negatif dari Pinjol semakin teramplifikasi adalah rendahnya literasi keuangan dari masyarakat kita sendiri (Zahrin Haznina Qalby, 2023).

Bahwa gejala Pinjol ini muncul salah satunya karena pola masyarakat kita yang komsumtif dan terdapat kecenderungan berprilaku menjadi impulsive buyer, berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara impulsive buying dengan perilaku berhutang terhadap pengguna pinjaman online. Artinya semakin tinggi impulsive buying seseorang, maka akan semakin tinggi perilaku hutang yang dilakukan dan semakin rendah impulsive buying seseorang maka semakin rendah pula perilaku berhutang tersebut. Berdasarkan hasil analisis data diketahui hubungan antara impulsive buying dan perilaku berhutang mempunyai keeratan yang bersifat lemah.Rosadi, D. S., & Andriani, I. (2023).

Pinjol yang terus berkembang dan cenderung tidak terkendali harus segera disikapi oleh pemerintah sebagai pengendali regulasi di sebuah negara, menjadikan regulasi atau hukum untuk mengendalikan masyarakat (law as a tool of social enggineering � Roscoe Pond) karena pola atau kebiasaan masyarakat dapat dirubah atau dikendalikan menggunakan aturan ataupun regulasi, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat di mana hukum diharapkan dapat berperan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.

Konsep law as a tool of social engineering ini lahir dari pemikiran Roscoe Pound tentang sociological jurisprudence sebagai reaksi dari ajaran formalisme klasik yang memandang ilmu hukum masuk dalam golongan ilmu eksakta, di mana hukum bekerja atas dasar temuan sebab-akibat. Para yuris melalui analisis kasus di perpustakaan, idealnya dapat dengan mudah menemukan hubungan antara suatu perbuatan hukum (sebab) dengan apa yang akan menjadi akibat hukumnya. Atas ajaran formalisme klasik tersebut, Pound berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat melalui idenya tentang hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Fungsi hukum law as a tool of social engineering, menurut Pound adalah hukum dapat menjaga stabilitas dan keseimbangan dalam masyarakat. Wignjosoebroto, S. (2013).

Maka kemudian sejak tahun 2016 Pemerintah melalui OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang kemudian diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).

Perkembangan yang sangat cepat dan karakteristik industri seperti diuraikan sebelumnya, membutuhkan model pengaturan berbasis prinsip (principle based) yang lebih fleksibel dalam mengakomodasi perkembangan industri. Pendekatan pengawasan juga perlu diarahkan pada disiplin pasar (market conduct) dengan melibatkan asosiasi industri.

Selain itu transparansi kepada publik juga perlu dikedepankan agar publik dapat turut menilai kualitas industri dan Penyelenggara, serta dapat meningkatkan kepercayaan publik. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK 77/2016) dinilai tidak mampu lagi mengakomodasi perkembangan industri yang cepat dan tuntutan industri ke depan. Banyak hal yang belum diatur dalam POJK 77/2016, termasuk juga banyak ketentuan yang tidak akomodatif pada kebutuhan industri saat ini dan ke depan. Hal ini berdampak kepada kurang optimalnya dukungan peraturan pada perkembangan, kualitas, dan kontribusi industri. Selain itu, POJK 77/2016 juga belum mampu memberikan pengaturan yang optimal pada perlindungan konsumen.

POJK 77/2016 yang mengatur industri LPMUBTI perlu diganti dengan peraturan baru yang dapat mengakomodasi kebutuhan ke depan. Melalui peraturan baru, diharapkan kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan terkait efektivitas dan efisiensi pengawasan, kebutuhan industri agar dapat berkembang optimal, sehat, dan kontributif, serta kebutuhan konsumen atas perlindungan yang lebih optimal dapat diakomodasi.[1]

Oleh karena itulah OJK merespon kebutuhan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Peraturan OJK ini diharapkan dapat mengakomodir semua kebutuhan baik bagi penyedia jasa keuangan maupun nasabah yang menggunakan jasanya.

 

Berikut beberapa istilah penting dalam POJK 10 Tahun 2022, yaitu :

1.      Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disingkat LPBBTI adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan konvensional atau berdasarkan prinsip syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet.

2.      Pendanaan adalah penyaluran dana dari pemberi dana kepada penerima dana dengan suatu janji yang akan dibayarkan atau dikembalikan sesuai dengan jangka waktu tertentu dalam transaksi LPBBTI.

3.      Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik di bidang layanan jasa keuangan.

4.      Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi di bidang layanan jasa keuangan.

5.      Penyelenggara LPBBTI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan LPBBTI baik secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.

6.      Penerima Dana adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang menerima Pendanaan.

7.      Pemberi Dana adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang memberikan Pendanaan.

8.      Pengguna LPBBTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah Pemberi Dana dan Penerima Dana.

 

Peraturan OJK 10/2022 ini merupakan gambaran aturan yang lebih detil dan cukup mengakomodir kritikan-kritikan dari para pemerhati jasa keuangan terhadap praktik fintech khususnya Pinjol. Diantaranya yaitu kejelasan perusahaan penyelenggara, perizinannya, dan bahkan sampai ke perlindungan hukum bagi konsumen atau nasabah fintech. Pada peraturan ini, OJK akhirnya membatasi bentuk badan hukum yang dapat menjadi penyelenggara. Jika sebelumnya Pada POJK 77/2016 OJK memperbolehkan koperasi menjadi penyelenggara, maka pada POJK 10/2022 OJK hanya mengizinkan perseroan terbatas (PT) sebagai satu-satunya entitas Penyelenggara. [2]

Selain itu, POJK 10/2022 juga membatasi kepemilikan saham warga negara asing (WNA) dan/atau badan hukum asing yang harus dimiliki bersama-sama dengan warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia. WNA dapat menjadi pemilik saham mandiri hanya melalui transaksi di bursa efek. Dalam hal syarat permodalan, terdapat peningkatan syarat modal penyelenggara yang mulanya paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran menjadi minimal adalah Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) pada saat pendirian.

POJK 10/2022 mengatur detail mengenai Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang sebelumnya tidak diatur oleh POJK 77/2016. POJK 10/2022 mengatur secara detail mengenai pemegang saham pengendali, baik mengenai kewajiban, tanggung jawab, dan penunjukannya. Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat POJK 10/2022 diundangkan wajib melaporkan penetapan PSP dan perubahannya. Selain itu, setiap pihak dilarang menjadi PSP pada lebih dari satu penyelenggara konvensional atau satu penyelenggara berdasarkan prinsip syariah. POJK 10/2022 ini juga mengatur tanggung jawab PSP dalam hal terjadi kerugian oleh perusahaan jika timbul karena:

  1. PSP baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan penyelenggara untuk kepentingan PSP;
  2. PSP terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara; atau 
  3. PSP baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan penyelenggara, yang mengakibatkan kekayaan penyelenggara menjadi tidak cukup untuk memenuhi kewajiban keuangan.

 

POJK 10/2022 mengakomodir dengan baik mengenai upaya perusahaan pendanaan konvensional yang berkeinginan untuk menjadi perusahaan pendanaan berdasarkan prinsip syariah. Penyelenggara konvensional yang melakukan konversi menjadi penyelenggara berdasarkan prinsip syariah wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan konversi dari OJK. Nantinya, OJK akan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan konversi dalam jangka waktu paling lama 20 hari semenjak permohonan diterima dengan lengkap. Apabila disetujui, penyelenggara harus melaksanakan RUPS paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal surat persetujuan dari OJK.

Akses dan penggunaan data pribadi, Penyelenggara wajib memperoleh persetujuan dari pemilik data pribadi untuk memperoleh dan menggunakan data pribadi. Terdapat beberapa ketentuan lain mengenai akses dan penggunaan data pribadi, antara lain:

1.        Persetujuan dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2.        Pemilik Data Pribadi dapat mengajukan permintaan akses dan salinan atas Data Pribadi miliknya kepada penyelenggara;

3.        Pemilik Data Pribadi memiliki hak untuk melengkapi, memperbaiki kesalahan dan ketidakakuratan, dan memusnahkan Data Pribadi yang dikirimkan ke penyelenggara; dan

4.        Pemenuhan hak dilakukan melalui permohonan secara tertulis.

 

Selain itu, penyelenggara wajib menyimpan data pribadi dalam sistem elektronik paling singkat lima tahun sejak berakhirnya hubungan usaha. Kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, pemilik data dapat meminta penyelenggara untuk menghapus data pribadi miliknya. Untuk mekanisme penghapusan data pribadi adalah sebagai berikut:

1.        Penyediaan saluran komunikasi antara penyelenggara dengan pemilik Data Pribadi;

2.        Fitur yang memungkinkan pemilik Data Pribadi meminta penyelenggara untuk menghapus Data Pribadi miliknya; dan

3.        Pendataan atas permintaan penghapusan informasi elektronik.

 

Sanksi Administratif Terhadap penyelenggara yang melanggar ketentuan mengenai akses dan penggunaan data pribadi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas penyelenggara dapat dikenai sanksi administratif yang dapat pula disertai dengan pemblokiran Sistem Elektronik milik penyelenggara. Adapun bentuk-bentuk sanksi administratif tersebut berupa:

1.        Peringatan tertulis;

2.        Denda untuk membayar sejumlah uang tertentu;

3.        Pembatasan kegiatan usaha; dan/atau

4.        Pencabutan izin.

 

Ekuitas dan Tingkat Kualitas Pendanaan Penyelenggara, ketentuan pada POJK 10/2022 menyatakan bahwa penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp 12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah). Penyelenggara wajib untuk mencapai ekuitas paling sedikit Rp 12.500.000.000 setelah melalui beberapa milestones, yaitu:

1.        Milestone Pertama, Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) berlaku satu tahun sejak POJK 10/2022 diundangkan;

2.        Milestone Kedua, Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) berlaku dua tahun terhitung POJK 10/2022 diundangkan; dan 

3.        Milestone Ketiga, Rp 12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) berlaku tiga tahun terhitung sejak POJK 10/2022 diundangkan.

 

Selain itu, POJK 10/2022 juga mengatur mengenai tingkat kualitas pendanaan penyelenggara, antara lain:

1.        Lancar;

2.        Dalam perhatian khusus;

3.        Kurang lancar;

4.        Diragukan; dan

5.        Macet.

 

Hal yang menjadi bagian penting dan menarik dariPOJK 10/22 adalah pada Bab XII, yaitu terkait dengan edukasi dan perlindungan pengguna LPBBTI, yang mengatur mengenai 3 hal yaitu perlindungan konsumen, transparansi penyelenggara, dan penagihan. Bab ini secara tegas mengatur bagaimana konsumen atau nasabah dilindungi dengan cara adanya transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan, dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Bagian dari transparansi perusahaan penyelenggara mulai dari Penyelenggara wajib mencantumkan secara jelas nama Penyelenggara pada kantor pusat, kantor selain kantor pusat, dan Sistem Elektronik, Penyelenggara wajib mencantumkan koordinat sistem pemosisian global (global positioning system) pada laman Penyelenggara mengenai lokasi kantor pusat dan kantor selain kantor pusat, Sistem Elektronik yang digunakan oleh Penyelenggara wajib paling sedikit memuat nama Penyelenggara; logo; nama Sistem Elektronik; profil seluruh Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pemegang saham Penyelenggara; kinerja Pendanaan; dan informasi bahwa Penyelenggara diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pada bagian penagihan, dalam hal penerima dana/konsumen wanprestasi, Penyelenggara wajib melakukan penagihan kepada Penerima Dana, paling sedikit dengan memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian Pendanaan antara Pemberi Dana dan Penerima Dana. Surat peringatan sebagaiman dimaksud harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1.        jumlah hari keterlambatan pembayaran kewajiban;

2.        posisi akhir total Pendanaan yang belum dilunasi atau pokok terutang;

3.        manfaat ekonomi Pendanaan; dan

4.        denda yang terutang.

 

Bagian menarik dan sering menjadi kontroversi di masyarakat dari penagihan ini adalah Penyelengara Jasa Keuangan dapat bekerja sama dengan pihak lain, meskipun syarat-syarat pihak lain yang dapat diajak kerja sama juga tidak sembarangan dan Penyelenggara tetap bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pihak lain yang diajak kerja sama tersebut, syarat-syarat pihak lain yang dapat diajak kerja sama yaitu :

1.        pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;

2.        pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang;

3.        pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi profesi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan

4.        pihak lain bukan merupakan afiliasi dari pihak Penyelenggara atau Pemberi Dana.

 

Perlindungan lain bagi konsumen atau nasabah Fintech Pinjol juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Perlindungan dalam undang-undang ini adalah terkait perlindungan data pribadi nasabah yang disalahgunakan oleh Penyelenggara Pinjol dan tindakan pengancaman tergadap mnasabah. Pasal 32 ayat (2) menyebutkan, �Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak�. Pasal ini ancaman hukumannya mencapai 9 tahun. Sementara pengancaman terhadap orang melalui media elektronik, terancam maksimal 4 tahun penjara. Pasal 29 UU ITE menyebutkan, �Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.�[3]

Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas, secara regulasi sudah sangat cukup mengatur dan mengendalikan pihak penyelenggara fintech dalam melakukan aktifitasnya, sehingga secara normatif konsumen atau nasabah sudah cukup terlindungi berdasarkan aturan-aturan tersebut, hanya memang dalam praktiknya seringkali ada beberapa pihak baik dari sisi penyelenggara mapun pihak konsumen yang pada dasarnya ingin berbuat curang atau mengelabui pihak lainnya.

Hal ini terlihat berdasarkan catatan dari OJK sendiri Jumlah pinjaman online (pinjol) yang terdaftar dan berizin dari OJK berkurang. Bila akhir Oktober 2021 ada 116 pinjol yang terdaftar dan berizin sekarang tinggal 107 pinjol terdaftar dan berizin OJK. OJK mencatat saat ini ada 85 pinjol berizin dari OJK dan 22 pinjol terdaftar. Selain itu ada 7 pinjol yang tanda bukti terdaftarnya dibatalkan. Alasannya, ketidakmampuan penyelenggara meneruskan kegiatan operasional. Oleh karena itu OJK mengimbau masyarakat untuk selalu menggunakan jasa penyelenggara fintech lending yang sudah terdaftar/berizin dari OJK.[4]

Kesenjangan yang terjadi antara aturan hukum yang sudah ada dengan praktik dilapangan adalah karena penegakan hukum yang ada saat ini yang masih lemah atau memang korban yang tidak melakukan tindak lanjut pelaporan kepada instansi yang berwenang, beberapa kejadian tindakan persekusi yang dilakukan oleh Penyelenggara Pinjol melalui perusahaan penagihannya dengan menyebar data pribadi nasabah seakan luput dari proses penegakan hukum, meskipun kementerian terkait yaitu Kominfo sudah secara tegas mengutuk persekusi digital yang dilakukan oleh Penyelenggara pinjol. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai pemain Financial Technology (Fintech) lending melanggar aturan jika menerapkan pola persekusi digital dalam melakukan penagihan ke debiturnya yang belum melunasi piutang.[5]

Beberapa kasus lain yang terjadi terkait adanya persekusi atau tindakan berlebihan yang dilakukan oleh debt collector juga disikapi oleh ojk dengan serius. Menyikapi maraknya pemberitaan adanya dugaan korban bunuh diri dan penagihan pinjaman tidak sesuai ketentuan yang dilakukan oleh salah satu platform penyelenggara fintech peer-to-peer lending yaitu PT Pembiayaan Digital Indonesia, atau AdaKami, OJK telah memanggil penyelenggara P2P tersebut pada Rabu (20/9) dan Kamis (21/9). Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, Aman Santosa menyatakan pemanggilan dilakukan untuk meminta klarifikasi dan konfirmasi berita yang beredar di media sosial dan media massa mengenai adanya dugaan korban bunuh diri, teror penagihan, dan tingginya bunga atau biaya pinjaman.[6]

Beberapa permasalahan tersebut terjadi darikurangnya masyarakat atau konsumen pinjol dalam memahami fintech tersebut, karena tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih kurang dan juga gempuran dari penyelenggara Fintech dengan berbagai kemudahan yang diberikan dan juga promosi-promosi yang kadang-kadang apabila dicermati tidak masuk akal atau tidak mungkin. Akan tetapi kemudian bahwa aturan yang sudah cukup rigid dan lengkap ternyata tidak cukup kuat untuk mengendalikan masyarakat atau merubah pola masyarakat agar sesuai aturan, perlu hal lain dan langkah lain yang dilakukan untuk merubah pola dan kebiasaan masyarakat selain hukum atau aturan itu sendiri. Penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Piotr Sztompka dalam bukunya Sosiologi Perubahan Sosial yang mengutip para pakar bahwa peran khas gerakan sosial sebagai salah satu cara utama untuk menata ulang masyarakat modern Piotr, S. (2007).Gerakan sosial ini lah yang menurut penulis dapat membantu penerapan hukum yang sudah bagus dengan menekan masyarakat itu sendiri oleh masyarakat lainnya, seperti yang selama ini bisa kita lihat di beberapa daerah yang secara terang-terangan memasang spanduk menolak kehadiran pinjol di daerahnya.

Bahwa selain itu pula penulis beranggpan ketiadaan kontrol yang ketat baik dari pemerintah ataupun dari elemen lainnya menjadikan permasalahan pinjol ini sulit sekali diselesaikan, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Steven Vago yang menyatakan bahwa bentuk kontrol itu dapat berupa sanksi positif dan negatif.

Sanksi positif dan negatif ini adalah bentuk kontrol sosial. Jenis kontrol sosial itu, dilihat dari penjelasan di atas, bisa bersifat formal atau resmi, dan juga bisa bersifat informal atau tidak resmi. Reaksi yang khas terhadap penyimpangan dan pemutusan aturan dapat menghasilkan sanksi baik formal maupun informal. Metode kontrol sosial informal paling baik dicontohkan oleh folkways (norma-norma yang ditetapkan praktik umum seperti yang menentukan mode pakaian, etiket, dan penggunaan bahasa) dan adat istiadat atau mores (norma-norma sosial yang terkait dengan perasaan yang kuat dari benar atau salah dan aturan yang pastiyang sama sekali tidak dilanggar - misalnya, perbuatan zinah). Kontrol informal ini terdiri dari "teknik di mana individu yang mengenal satu sama lain secara pribadi sesuai dengan kehendak mereka, yang memenuhi harapan mereka, dan mereka juga dapat menunjukkan ketidaksenangan kepada mereka yang tidak senang". Sedangkan kontrol formal melibatkan penetapan prosedur secara eksplisit (undang-undang, peraturan, kode, keputusan) dan mengambil dua bentuk umum : (1) kontrol sosial yang dilembagakan oleh negara dan diberi wewenang untuk menggunakan kekuatan (2) kontrol sosial yang dikenakan oleh lembaga selain negara, seperti kelompok bisnis dan buruh, organisasi keagamaan, dan akademi serta universitas Amal, B. (2018). Kontrol sosial seperti inilah yang dibutuhkan dalam penanganan permasalahan Pinjol di Indonesia, yaitu kontrol sosial yang dilakukan oleh lembaga selain negara dan bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat itu sendiri.

 

Kesimpulan

Bahwa berdasarkan pembahasan di atas Penulis beranggapan Praktik Fintecht Pinjaman Online di Indonesia sebetulnya telah secara rigid dan lengkap diatur melalui POJK 10/2022, beberapa celah aturan yang sebelumnya tidak diatur telah diakomodir dalam POJK tersebut dan telah secara lengkap dibenahi oleh OJK, hanya memang kemudian dalam praktik masih saja banyak penyelenggara pinjol yang berbuat curang dan tidak mematuhi aturan yang ada, hal ini terjadi karena pertumbuhan pinjol ini yang begitu pesat dan berbagai kemudahan yang diberikan diluar dari lembaga keuangan konvensional lain, membuat masyarakat ini tergoda untuk setidaknya mencoba-coba layanan pinjaman online ini. Sehingga kemudian sisi pengamaanan atau perlindungan hukum atas dirinya menjadi lemah, meskipun dalam aturan POJK sudah secara rigid diatur mengenai perlindungan konsumen dan menurut penulis sudah cukup untuk melindungi secara hukum, akan tetapi kembali kepada konsumen sendiriagar lebih arif dan bijaksana memperlakukan fenomena kemudahan pinjaman melalui aplikasi ini sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Sebagai saran penulis mengajukan agar dilakukan pembatasan dalam aturan baik pembatasan untuk sisi penyelenggara maupun dari sisi konsumen. Penyelenggara dapat dibatasi dengan menambah persyaratan-persyaratan lain dalam pendirian perusahaan penyelenggara pinjol ataupun memperketat syarat-syarat yang sudah ada. Dari sisi konsumen Penulis beranggapan dapat dilakukan pembatasan lebih ketat dengan memberikan jatah maksimal pinjaman baik darisisi jumlah pinjaman maupun jenis-jenis pinjaman lain yang dipakai oleh si konsumen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Rosadi, D. S., & Andriani, I. (2023). Hubungan Impulsive Buying dengan Perilaku Berhutang pada Pengguna Pinjaman Online. JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 8(4), 3655-3664.

 

Wignjosoebroto, S. (2013). Pergeseran paradigma dalam kajian-kajian sosial dan hukum. Setara Press.

 

Piotr, S. (2007). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: prenada.

 

Amal, B. (2018). Hukum & masyarakat: sejarah, politik, dan perkembangannnya. Thafa Media.

 

Amal, Bakhrul, �Hukum dan Masyarakat, Sejarah, Politik, dan Perkembangannya�, Cetakan Kesatu, (Yogyakarta, Thafa Media, September 2018) Hal. 35.

 

Sztompka, Piotr, �Sosiologi Perubahan Sosial�, Cetakan Kedelapan, (Jakarta, Kencana, 2017) hal. 305.

 

Wignjosoebroto, Soetandyo, �Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum�, (Malang: Setara Press, 2013), hal. 126 � 127

 

Delfira Syelfiyola Rosadi dan Inge Andriani, �Hubungan Impulsive Buying dengan Perilaku Berhutang pada Pengguna Pinjaman Online�, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 5 Agustus 2023.

 

Abdul Malik, �Heboh Nasabah Bunuh Diri, OJK Panggil Pinjol AdaKami dan Ambil 4 Tindakan Ini�, 21 September 2023, Bareksa, https://www.bareksa.com/berita/belajar-investasi/2023-09-21/heboh-nasabah-bunuh-diri-ojk-panggil-pinjol-adakami-dan-ambil-4-tindakan-ini.

 

Kementerian Kominfo �Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digital�, 23 Juli 2018, https://www.kominfo.go.id/content/detail/13541/fintech-lending-langgar-aturan-lakukan-persekusi-digital/

 

Novina Putri Bestari, �OJK Cabut Izin 7 Fintech Pinjol, Ini Daftarnya�, 27 September 2021, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210927103849-37-279370/ojk-cabut-izin-7-fintech-pinjol-ini-daftarnya.

 

Otoritas Jasa Keuangan �Yuk Mengenal Fintech! Keungan Digital yang Tengah Naik Daun�, https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/10468.

 

Poin Penting POJK 10/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi�, 20 September 2022, https://bplawyers.co.id/2022/09/20/poin-penting-pojk-10-2022-tentang-layanan-pendanaan-bersama-berbasis-teknologi-informasi/

 

Tantri Dewayani, �Menyikapi Pinjaman Online, Anugrah atau Musibah�, Kementerian Keuangan, 5 Juli 2021, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-jabar/baca-artikel/14040/Menyikapi-Pinjaman-Online-Anugerah-atau-Musibah.html

 

Zahrin Haznina Qalby, S.M., M.Sc.,�Pinjol dan Segala Kontroversinya: Haruskah Kita Pertahankan atau Hapuskan?� Universitas Airlangga, 25 Oktober 2023, https://unair.ac.id/pinjol-dan-segala-kontroversinya-haruskah-kita-pertahankan-atau-hapuskan/

 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

 

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

 

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.

Copyright holder:

Yudi Pebriansyah, Fitrie Aryani Rahayu, Yenny Febrianty, Mahipal (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 



[1] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.

[2]Poin Penting POJK 10/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi�, 20 September 2022, https://bplawyers.co.id/2022/09/20/poin-penting-pojk-10-2022-tentang-layanan-pendanaan-bersama-berbasis-teknologi-informasi/

[3] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

[4] Novina Putri Bestari, �OJK Cabut Izin 7 Fintech Pinjol, Ini Daftarnya�, 27 September 2021, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210927103849-37-279370/ojk-cabut-izin-7-fintech-pinjol-ini-daftarnya.

[5] �Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digital�, 23 Juli 2018, Kementerian Kominfo, https://www.kominfo.go.id/content/detail/13541/fintech-lending-langgar-aturan-lakukan-persekusi-digital/

[6] Abdul Malik, �Heboh Nasabah Bunuh Diri, OJK Panggil Pinjol AdaKami dan Ambil 4 Tindakan Ini�, 21 September 2023, Bareksa, https://www.bareksa.com/berita/belajar-investasi/2023-09-21/heboh-nasabah-bunuh-diri-ojk-panggil-pinjol-adakami-dan-ambil-4-tindakan-ini.