Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
09, September 2022�����������������������
DAMPAK PEMBERLAKUAN UU CIPTA KERJA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 54/PUU-XXI/2023 DITINJAU
DARI SOSIOLOGI HUKUM
Mursal
Fadhilah1*, Iskandar Zulkarnain2, Yenny
Febrianty3, Mahipal4
1*,2,3,4 Program Studi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana
Universitas Pakuan Bogor, Indonesia
Email: 1*[email protected],
2[email protected],
3[email protected],
4[email protected]
Abstrak
Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja jauh sebelum disahkan pada 5 Oktober 2020 menuai penolakan luas dari masyarakat, mulai dari serikat buruh, aktivis HAM, hingga mahasiswa. Penolakan itu kemudian berlanjut pada gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi dan pada tanggal 25 November 2021, �MK dalam putusan Nomor 91/PUU-XVII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat�, dan memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka dua tahun sejak putusan dibacakan. Selama tenggang waktu itu, UU Cipta Kerja dinyatakan �masih tetap berlaku�. Kemudian pada 30 Desember 2022. Alih-alih memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut seperti perintah MK, Pemerintah malah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan �kegentingan memaksa� dan DPR bersama pemerintah justru mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023, dan dilakukan pula uji materill ke MK, hingga kemudian, pada tanggal 2 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan uji materil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja seperti tertuang dalam putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023. Kajian sosiologis hukum menilai bahwa Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023 tidak berlandaskan pada argumentasi konstitusional dan sosiologis yang sangat kuat dengan mengabaikan partisipasi bermakna (meaningful participation) sejak awal pembentukannya sebagaimana pada putusan terdahulu (Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020), dan merupakan pembangkangan konstitusional (constitutional disobedience), sehingga dapat berdampak pada ancaman disintegrasi sosial, instabilitas keamanan dan hukum.
Kata Kunci: omnibus law, penolakan, sosiologi hukum
Abstract
The Omnibus Law, the Job Creation Law, long before
it was passed on October 5 2020, received widespread rejection from the public,
from labor unions, human rights activists, to students. The rejection then
continued with a formal trial lawsuit at the Constitutional Court and on
November 25 2021, "the Constitutional Court in its decision Number
91/PUU-XVII/2020 declared the Job Creation Law as conditionally
unconstitutional", and ordered the government to improve the Job Creation
Law within two months. Years since the verdict was read. During that grace
period, the Job Creation Law was declared "still in effect". Then on
December 30 2022. Instead of improving the Job Creation Law as ordered by the
Constitutional Court, the Government instead issued Perppu Number 2 of 2022
concerning Job Creation on the grounds of "urgent urgency" and the
DPR together with the government actually ratified the Perppu as Law Number 6
of 2022. 2023, and a judicial review was also carried out at the Constitutional
Court, until then, on October 2 2023, the Constitutional Court (MK) rejected
five lawsuits for judicial review of the Job Creation Law as stated in the
Constitutional Court decision Number 54/PUU-XXI/2023. Legal sociological
studies assess that Constitutional Court Decision Number 54/PUU-XXI/2023 is not
based on very strong constitutional and sociological arguments by ignoring
meaningful participation from the beginning of its formation as in the previous
decision (Number 91/PUU-XVII/2020), and constitutes constitutional disobedience,
so it can have an impact on the threat of social disintegration, security and
legal instability.
Keywords: omnibus law; rejection; sociology of law
Pendahuluan
Omnibus law pertama kali diperkenalkan oleh Presiden RI pada saat menyampaikan pidato
kenegaraan dalam rangka pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7
Periode ke-2 di hadapan sidang MPR-RI Prabowo, A. S., Triputra, A. N., Junaidi,
Y., & Purwoleksono, D. E. (2020). Omnibus
law merupakan konsep yang baru digunakan dalam sistem perundang-undangan di
Indonesia. Sistem ini biasanya disebut sebagai Undang-Undang sapu jagat karena mampu
mengganti beberapa norma undang-undang dalam satu peraturan. Selain itu konsep
ini juga dijadikan misi untuk memangkas beberapa norma yang dianggap tidak
sesuai dengan perkembangan zaman dan merugikan kepentingan negara. Wardhani, D.
K. (2020).
Perdebatan mengenai omnibus law sebagai
sarana penataan regulasi, memunculkan pro kontra di masyarakat, ketika metode omnibus
law yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil
Law -karena konsep omnibus law
banyak adopsi oleh negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental/Anglo Saxon (Common Law)- digunakan
dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi Program Legislasi
Nasional Prioritas Tahun 2020. DPR pada Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan
II Tahun Sidang 2019-2020 menetapkan Program Legislasi Nasional Rancangan
Undang-Undang Prioritas Tahun 2020 (Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020), salah
satunya Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cipta Lapangan Kerja)
yang bersifat omnibus law. Rencana untuk menerbitkan RUU Cipta Kerja
sebagai suatu kebijakan hukum (legal policy) menjadi perhatian publik,
karena omnibus law belum dikenal
dalam sistem hukum Indonesia, ada resentralisasi kewenangan di pemerintah
pusat, berpengaruh pada hak tenaga kerja, serta keberpihakan pada investor.
Terhadap rencana
pembentukan omnibus law Maria Farida Indrati guru besar ilmu perundang-undangan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan hakim konstitusi periode 2008 −
2018 menyampaikan beberapa catatan kritis, pertama, setiap peraturan
perundang-undangan harus dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut (beginselen van behoorlijke regelgeving) dan juga
berlandaskan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang tentunya berbeda
bagi setiap peraturan perundang- undangan. Kedua, mengenai eksistensi dari
berbagai Undang-Undang yang beberapa pasalnya dicabut (dipindahkan) dan
diletakkan dalam omnibus law, karena setiap Undang-Undang selain mengatur
materi muatan yang berbeda juga mengatur subyek (adressat) yang
berbeda−beda.
Maria Farida Indrati
memaknai omnibus law sebagai satu Undang-Undang (baru) yang mengandung atau mengatur
berbagai macam substansi dan berbagai macam subyek untuk langkah penyederhanaan
dari berbagai Undang-Undang yang masih berlaku. Menurut Maria Farida Indrati
Undang-Undang omnibus law tidak tepat jika disamakan dengan Undang-Undang
Payung (raamwet, basiswet, moederwet) yaitu Undang-Undang yang merupakan induk
dari Undang-Undang lain sehingga kedudukannya lebih tinggi dari Undang-Undang
�anaknya� karena Undang-Undang Payung inilah yang melimpahkan berbagai
pengaturan lebih lanjutnya secara delegasi pada Undang-Undang lain.
Pada tanggal 5
Oktober 2020 diselenggarakan Sidang Paripurna untuk mengesahkan RUU Omnibus Law
Cipta Kerja. Undang-undang omnibus law walaupun terus mendapatkan penolakan
dari masyarakat. mulai dari mahasiswa, serikat buruh, pakar, hingga organisasi
keagamaan. Merekapun menggelar aksi dengan berdemo. Meskipun sedang berada pada
kondisi pandemi tidak melunturkan semangat mereka untuk menggelar aksi
penolakan (CNN Indonesia, https://m.cnnindonesia.com/nasional/20201007080539-2--555272/ramai-ramai
tolak-omnibus-law-cipta-kerja, diakses 16 Oktober 2020).
Tidak hanya itu,
kalangan buruh mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, kemudian tepat
pada hari kamis, 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan
Nomor 91/PUUXVIII/2020. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pengujian Undang-Undang,
Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan pengujian formil
terhadap suatu Undang-Undang. Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) cacat formil. Oleh
sebab itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UUCK bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai �tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Dalam
kata lain, UUCK masih tetap berlaku sampai dengan tenggat waktu perbaikan UU a
quo yang telah ditentukan. Apabila hingga tenggat waktu yang diberikan tidak
dilakukan perbaikan, maka UUCK dinyatakan inkonstitusional secara permanen dan
seluruh undang-undang yang diubah dan dicabut oleh UUCK dinyatakan berlaku kembali.
Dalam tenggang waktu
dua tahun, bukannya melaksanakan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, sebaliknya
pada tanggal 30 Desember 2022, Pemerintah mengumumkan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta
Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh MK pada 25 November
2021. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai penerbitan Perppu
ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi
RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan
Joko Widodo. Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki
pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa
dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful
participation) sebagaimana diperintahkan MK.
Perppu itu kemudian
digugat kembali oleh sejumlah serikat buruh ke MK. Di tengah proses gugatan
yang belum selesai, DPR dan pemerintah justru mengesahkan Perppu tersebut
menjadi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023. Dalam sidang
paripurna yang digelar pada 21 Maret 2023, tujuh fraksi di DPR
menyetujui pengesahan Perppu menjadi UU. Hanya dua fraksi yang menolak, yakni
Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pembacaan gugatan
ini juga diwarnai oleh aksi unjuk rasa sejumlah serikat pekerja di sekitar
Gedung MK, Jakarta Pusat. Polisi mengerahkan lebih dari 6.000 personil untuk
mengamankan aksi ini. Mereka meneriakkan agar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023
�dibatalkan�. UU ini dianggap telah �menindas hak-hak pekerja�. Walaupun
diiringi dengan aksi demontrasi buruh, serikat pekerja dan mahasiswa, �Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan
uji formil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan oleh sejumlah
serikat pekerja dalam putusannya Nomor 54/PUU-XXI/2023.
Tujuan penelitian ini
untuk menganalisis dampak pemberlakuan Undang-undang Cipta Kerja ditinjau dari perspektif
sosiologi hukum. Analisis ini diharapkan lebih dapat merangsang kepekaan dan
kepedulian masyarakat atas kebijakan pembentukan perundang-undangan yang dapat
mempengarui kondisi hukum, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan menyangkut
hajat hidup masyarakat. Selain itu, diharapkan mampu menjadi agen perubahan
untuk menyampaikan ide dan pemikiran kritis dalam merekonstruksikan kembali arah
pembangunan hukum di Indonesia yang berkeadilan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan mengumpulkan berbagai
sumber dan pemahaman nyata sebagai teknik pengumpulan data deskriptif. Menurut Nawawi,
H. (1983) metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek artikel
(seseorang, lembaga masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode deksriptif adalah suatu
pemecahan masalah yang berusaha menggambarkan kenyataan yang terjadi.
Penelitian kualitatif digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dengan apa
adanya tanpa menggunakan angka-angka. Moleong menyampaikan �artikel kualitatif
adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka�. Data
yang dipergunakan dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk kalimat serta
uraian-uraian atau pernyataan.
Hasil dan Pembahasan
Dampak
Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan Nomor Mk 54/PUU-XXI/2023 Ditinjau Dari Sosiologi Hukum
Konsep omnibus
law bukanlah istilah baru dalam teori keilmuan hukum global. Dari
sejarahnya, konsep ini lahir dan berkembang di negara-negara yang menganut
sistem hukum anglo-saxon atau yang biasa disebut sebagai common law
system, contohnya Amerika Serikat, Kanada, Singapura, dan Inggris. Bahkan
menurut Glen S. Krutz dan Hitcing dalam Ahmad Ulil Aedi, mengatakan bahwa omnibus
law telah dipraktikkan dalam penyusun regulasi sejak tahun 1970, lebih
jelasnya dikatakan sebagai berikut: �omnibus legislation has �proliferated�
since the 1970s�.
Omnibus law umumnya digunakan sebagai suatu instrumen kebijakan untuk mengatasi permasalahan
peraturan perundang-undangan disuatu negara, khususnya masalah regulasi yang
terlalu banyak (hyper regulated) dan saling tumpang tindih (overlapping).
Konsep ini sering dianggap sebagai �jalan cepat� dalam mengurai dan membenahi
regulasi yang bermasalah, dikarenakan esensi dari omnibus law adalah
suatu undang-undang yang ditujukan untuk menyasar tema atau materi besar disuatu
negara, dimana substansinya adalah untuk merevisi dan/atau mencabut beberapa
peraturan perundang-undangan sekaligus. Oleh karena itu, cara ini dirasa lebih
efisien dan efektif dibanding diselesaikan dengan mekanisme legislasi biasa
atau law by law yang memeras lebih banyak waktu, tenaga, dan anggaran
negara. Terlebih pembahasan suatu peraturan sering kali mengalami jalan buntu (deadlock)
dikarenakan dialektika di parlemen yang terdiri dari berbagai unsur politik. �Amin, R. I.
(2020).
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU
Ciptaker) pada awal pembentukannya, telah mengubah sebanyak 82 undang-undang
termasuk didalamnya mengubah beberapa pasal dalam undang-undang Nomor 13 Tahun
2013 tentang Ketenagakerjaan. UU Ciptaker terdapat 11 (sebelas) kluster pembahasan. Kluster-kluster
tersebut adalah: 1). Penyederhanaan Perizinan; 2). Persyaratan Investasi; 3).
Ketenagakerjaan; 4). Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; 5).
Kemudahan Berusaha; 6). Dukungan Riset dan Inovasi; 7). Administrasi
Pemerintahan; 8). Pengenaan Sanksi; 9). Pengadaan Lahan; 10). Investasi dan
Proyek Pemerintah dan; 11). Kawasan Ekonomi.
Salah satu kluster dalam UU Ciptaker adalah ketenagakerjaan yang salah satunya mengatur dan
memformulasikan penetapan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota. Penentuan upah minimum memperhatikan kelayakan hidup
dari para pekerja melalui pertimbangan aspek pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Khair,
O. I. (2021).
Penyusunan
omnibus law UU Ciptaker sejak awal dianggap telah menyimpang dari ketentuan
pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, dimana proses penyusunan omnibus law UU Ciptaker ini minim
sekali partisipasi publik dan dianggap sangat tertutup sehingga mendapat
berbagai penolakan dari Masyarakat, pragmatis dan kurang demokratis, membatasi
ruang partisipasi maupun disusun tidak sistematis dan kurang hati-hati Anggono,
B. D. (2020). Pemerintah
diharapkan untuk tidak hanya mendukung ekonomi dan memudahkan investasi saja
tetapi dihimbau untuk meninjau kembali regulasi melalui prinsip partisipasi, transparansi,
dan akuntabilitas sebelum diberlakukannya omnibus law.
Pemerintah
selaku pihak penginisiasi yang sejak awal berkeinginan agar UU Ciptaker
diselesaikan dalam waktu 100 hari tentunya menjadikan UU ini minim untuk dapat
menampung aspirasi masyarakat seluas-luasnya terutama pihak terkait. Belum lagi
omnibus law UU Ciptaker mencakup lebih dari satu substansi dan materi (multi
& diverse subject) yang jika merujuk kepada pengalaman negara lain hal ini
memicu munculnya tiga kelemahan yaitu terbatasnya ruang bagi parlemen untuk
membahasnya secara komprehensif, rawan muncul penumpang gelap (black riders)
yang menyelundupkan pasal-pasal, dan terbatasnya ruang partisipasi publik. Dan
ternyata realitanya benar terjadi, menurut Said Iqbal selaku Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan bahwa para buruh tidak
dilibatkan secara maksimal dalam proses pembentukan UU Ciptaker. Padahal dalam
proses perencanaan dan penyusunan peraturan perundang-undangan sejatinya
diperlukan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya dari berbagai latar
belakang kepentingan, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi subjek
hukum utama dalam regulasi tersebut. Dalam hal UU Ciptaker seharusnya pihak
yang harus banyak didengar dan diakomodasi kepentingannya adalah para pekerja
buruh dan para pemamgku kepentingan lainnya. Dengan pembahasan yang sangat
singkat, omnibus law UU Ciptaker sudah pasti tidak mengakomodir kepentingan
masyarakat (baca partisipasi publik) sehingga materi dan muatannya hanya dibuat
sepihak demi kepentingan segelintir oligarki dan kekuasaan.
Menurut
Barbara Sinclair, omnibus law merupakan suatu mekanisme pembentukan regulasi
yang penyelesaiannya memakan waktu lama dikarenakan bahasannya yang kompleks.
Sedangkan menurut Audrey O. Brian, omnibus law merupakan sebuah rancangan
undang-undang (bill) yang meliputi lebih dari satu konsen yang setelahnya
dilebur ke dalam sebuah undang-undang. Dalam referensi asing yang lain (Duhaime
Law Dictionary), omnibus law atau yang dikatakan sebagai omnibus
bill juga diartikan sebagai berikut:
�A draft law before a legislature which contains more
than one substantive matter, or several minor matters which have been combined
into one bill, ostensibly for the sake of convenience.�
Praktek-praktek
penerapan omnibus law di Indonesia
dan yang dilakukan di beberapa negara lainnya dilakukan dengan alasan: 1)
mempercepat proses legislasi; 2) menghemat anggaran negara untuk penyusunan dan
pembahasan UU; dan 3) untuk memudahkan harmonisasi peraturan
perundang-undangan. Namun dibalik itu omnibus law dalam
praktiknya di luar negeri juga memiliki beberapa kelemahan yang dapat memicu
penolakan elemen masyarakat. Umumnya kelemahan ini muncul ketika undang-undang omnibus
law mengatur terlalu banyak topik (multi & diverse subject).
Permasalahan yang mengemuka pada awal
proses pembuatan UU Ciptaker adalah beredarnya draft RUU Cipta Kerja dengan
empat versi, seperti versi 1.028 halaman; 905 halaman; 1,035 halaman; dan
terakhir 812 halaman. Hal ini sekaligus
menunjukkan adanya problem asimetri informasi dalam penyusunan UU Ciptaker.
Terdapat ketimpangan penguasaan informasi antara pemerintah dan DPR, serta publik
luas. Publik mengalami defisit informasi, sementara pemerintah dan DPR
mengalami sebaliknya. Asimetris informasi dalam penyusunan kebijakan publik
adalah hal yang berbahaya karena menjadi pintu masuk praktik-praktik koruptif.
Dalam hal beredarnya berbagai RUU Cipta Kerja berbagai versi, menjadikan RUU
rawan diselundupkan dengan pasal-pasal gelap, akibat masalah asimetris
informasi.
Sementara itu beberapa kalangan menuduh telah terjadi korupsi
legislatif. Korupsi legislasi setidaknya dapat dipahami secara sederhana
sebagai tindakan koruptif yang terjadi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dalam beberapa kajian, tindakan ini dapat dikategorisasikan ke dalam bentuk state
capture corruption, atau yang dapat dipahami sebagai �a situation where
powerful individuals, institutions, companies or groups within or outside a
country use corruption to shape a nation�s policies, legal environment and
economy to benefit their own private interests� (Transparency
International, 2009).
Dalam
state capture corruption, terdapat dua aktor yang dapat dipetakan, yakni
kelompok kepentingan dan pembentuk undang-undang. Purawan (2014), menyebut
aktor pertama, yakni kelompok kepentingan, pada dasarnya memiliki kepentingan
untuk mendorong peraturan perundang-undangan yang
dapat menguntungkan kedudukannya dalam memperoleh laba sebanyak-banyaknya (supernormal
profit) dan mempertahankan market power-nya. Di sisi lain, pembentuk
undang-undang dikatakan mengharapkan uang atau prospek keuntungan pribadi
lainnya dari kelompok kepentingan tersebut sebagai imbalan atas �jasa� yang
telah dilakukan.
Dalam
konteks terkini, khususnya di Indonesia, terdapat aktor ketiga yang sekiranya
dapat turut diidentifikasi. Yakni mereka yang sebenarnya masih tergolong
sebagai kelompok kepentingan, namun di saat yang sama juga berperan sebagai
pembentuk undang-undang. Berdasarkan pegamatan penulis, aktor ini dapat dilihat
menjamur ketika kelompok kepentingan mulai merasakan kepentingan mereka semakin
terancam, dan peran para pembentuk undang-undang mulai tidak dapat diharapkan
dalam mengakomodir kepentingan mereka.
Apa
yang kemudian tergambarkan jelas dalam pemetaan tersebut, dapat dikaitkan
dengan teori oligarki, yang secara sederhana dikemukakan oleh Winters (2011),
sebagai politik pertahanan kekayaan (wealth
defense) oleh pelaku kekayaan material. Secara teknis, pelaku ini disebut
oleh Winters dengan istilah oligark (oligarch), yang didefinisikan
sebagai pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya
material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan
pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.
Dalam
konteks ini, berbagai deretan RUU kontroversial yang sebelumnya telah disahkan
dan diikuti oleh persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja, tentu tidak dapat
dianggap sebagai sebuah kebetulan belaka. Polanya, sekiranya telah sedemikian
jelas memperlihatkan corak politik pertahanan kekayaan para kaum oligark, yang
telah di-setting sedemikian rapi sedari awal. Sejak menjelang akhir
periode pertama masa Pemerintahan Joko Widodo, dengan Pemilihan Presiden
(pilpres) yang dilaksanakan berdasar kebijakan presidential threshold sebagai
momen kunci yang secara terang benderang telah menggelarkan karpet merah
terhadap para oligark untuk melakukan state capture corruption.
Mengapa
demikian? Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh KPK pada 9 Juni 2020, Winters
menyatakan bahwa dalam berbagai kenyataan dan sejarah dunia, para oligark
selalu dapat menentukan apa yang menjadi agenda suatu negara dan siapa saja
yang bisa dipilih dalam suatu pemilu. Melalui kekayaan materialnya, para
oligark selalu berhasil membajak demokrasi dengan cara mengerucutkan pilihan (shape
the choices), yang selanjutnya, baru rakyat bisa memilih (get to choose).
Dalam konteks ini, kebijakan presidential threshold yang telah sukses
memunculkan hanya ada dua kandidat saja dalam kontestasi pilpres kemarin, tentu
juga bukan sekadar angin lalu (kebetulan) belaka.
Terkait
dengan hal di atas, data yang dihimpun oleh Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo
menemukan 262 dari total 575 orang anggota DPR
periode 2019-2024 menduduki posisi penting atau terafiliasi dengan perusahaan.
Nama-nama mereka tercatat pada 1.016 perusahaan yang bergerak di berbagai
sektor. Koalisi #BersihkanIndonesia turut mencatat, salah satu anggota panja,
Arteria Dahlan menjabat sebagai komisaris/direktur Syabas Group yang bergerak
di bisnis properti, perkebunan, dan migas. Anggota panja lainnya Lamhot Sinaga
merupakan CEO di PT Bakrie Infrastruktur yang adalah bagian dari grup Bakrie.
Nama lain yaitu Azis Syamsudin terafiliasi dengan perusahaan tambang batubara
PT Sinar Kumala Naga.� Azis adalah
pimpinan DPR RI yang kerap memimpin sidang-sidang terkait omnibus law.
Pengarah Satgas omnibus law adalah Menteri Perekonomian Airlangga
Hartarto. Dia merupakan Ketua Umum Partai Golkar berlatar belakang pengusaha.
Ketua Tim Satgas Rosan Roeslani adalah Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia
(KADIN). Pada Pemilu 2019, Rosan merupakan Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi �
Ma�aruf Amin. Belakangan dia diangkat menjadi Presiden Komisaris PT Bumi
Resources Tbk, emiten pertambangan batubara milik grup Bakrie. Posisi Wakil
Ketua juga didominasi oleh pengusaha seperti Shinta W. Kamdani, Raden Pardede,
dan Bobby Gafur Umar. Raden Pardede adalah komisaris PT Adaro Energy Tbk dan
Bobby Gafur adalah Komisaris PT Bakrie & Brothers Tbk. Terdapat juga
nama-nama seperti Erwin Aksa, keponakan mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla
dan kini menjabat Komisaris Bosowa Group, serta James Riyadi yang dikenal
sebagai anak dari pengusaha Mochtar Riady, pendiri Lippo Group. Selain itu
masih terdapat sederat nama-nama pengusaha lain yang tergabung dalam Satgas omnibus
law.
Pada saat Omnibus
Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan pada 5
Oktober 2020, pengesahan UU ini menuai penolakan luas dari masyarakat, mulai dari serikat buruh, aktivis HAM, hingga
mahasiswa. Penolakan itu kemudian berlanjut pada gugatan uji formil ke MK. Pada
25 November 2021, MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU
Cipta Kerja sebagai �inkonstitusional bersyarat�. MK memerintahkan pemerintah
untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka dua tahun sejak putusan
dibacakan. Selama tenggang waktu itu, UU Cipta Kerja dinyatakan �masih tetap
berlaku�.
Jika mengacu pada perintah konstitusional
(constitutional instructions) Putusan MK atas
UU Cipta Kerja sejatinya terdapat tiga orientasi utama, yaitu penguatan
partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful partisipation),
perbaikan substansi dalam jangka waktu maksimal dua tahun, serta penataan
pengaturan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Terkait dengan orientasi terakhir yaitu
penataan pengaturan metode omnibus law, sejatinya telah terfasilitasi
dalam pembentukan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Juwana, S., Gianova, G., & Mega, G. (2020). Dalam UU a
quo, ketentuan mengenai metode omnibus law sejatinya telah diatur
dan dapat dijadikan sebagai metode pembentukan peraturan perundang-undangan ke
depannya.
Namun
kemudian, pada tanggal 30 Desember 2022, tiba-tiba Pemerintah mengumumkan penerbitan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang
telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat.
Penerbitan
PERPU ini jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya PERPU yakni adanya hal
ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak
bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa. Presiden seharusnya mengeluarkan PERPU Pembatalan UU Cipta Kerja
sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari
seluruh elemen masyarakat. Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat
yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU
Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan
PERPU. Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa pemerintah harus memperbaiki UU
Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU. Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman
inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada
dan tidak masuk akal dalam penerbitan PERPU ini. Alasan kekosongan hukum juga
alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana
pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah
menyatakan inkonstitusional.
Keberadaan
Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja kemudian digugat kembali oleh
perwakilan serikat pekerja, serikat buruh, namun oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan uji formil terhadap UU
Cipta Kerja yang diajukan oleh sejumlah serikat pekerja. Dengan ditolaknya
gugatan tersebut, MK menyatakan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2023, yang disahkan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja, �tetap memiliki kekuatan hukum mengikat�, artinya, UU ini tetap berlaku.
Kelima gugatan uji formil tersebut pada dasarnya mempermasalahkan proses
pembuatan UU Nomor 6 Tahun 2023 yang dinilai cacat formil, tidak sesuai dengan
ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, karena tidak
melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Namun, MK menilai dalil-dalil
permohonan itu �tidak beralasan menurut hukum�. MK juga menyatakan dapat
memahami alasan �kegentingan mendesak� yang menjadi dasar pemerintah
menerbitkan Perppu Cipta Kerja. �Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan
menurut hukum untuk seluruhnya,� kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman.
Sejak pertama kali disahkan pada 2020 lalu, UU
Cipta Kerja yang ditolak oleh berbagai serikat pekerja, akademisi, pegiat HAM,
hingga mahasiswa. Salah satu penggugat, Elly Rosita Silaban dari Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan putusan ini �sangat
mengecewakan�. Ketika hakim membaca pertimbangan-pertimbangannya dalam sidang
pembacaan putusan, Elly mengaku �sudah bisa memprediksi� bahwa mereka akan kalah
karena semua dalil-dalil gugatan dinilai �tidak beralasan�. �Pada akhirnya,
kami dari serikat buruh menilai bahwa MK ini sama lah, juru bicaranya
pemerintah. Memang saat ini kami sudah kalah, kami akan melanjutkan ke gugatan
materil. Itu saja yang akan kami persiapkan,� kata Elly kepada BBC News
Indonesia.
Pembacaan
gugatan ini juga diwarnai oleh aksi unjuk rasa sejumlah serikat pekerja di
sekitar Gedung MK, Jakarta Pusat. Polisi mengerahkan lebih dari 6.000 personil
untuk mengamankan aksi ini. Mereka meneriakkan agar Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2023 �dibatalkan�. UU ini dianggap telah �menindas hak-hak pekerja�. Pada konferensi pers pada Jumat (29/09), Presiden
Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan putusan MK ini akan menentukan nasib para
pekerja ke depan. �Tentu putusan ini akan berpengaruh sekali untuk jangka
panjang 30 tahun bagi buruh Indonesia, petani, lingkungan hidup, pegiat HAM,
dan kelompok-kelompok lainnya,� kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Pembangkangan
terhadap konstitusi atau Constitutional Disobedience selama ini kerap
dialamatkan kepada pihak yang tidak menjalankan konstitusi sebagaimana tertuang
dalam UUD RI Tahun 1945 dan/atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai
lembaga yang mengawal tegaknya konstitusi. Tapi, dalam eksaminasi publik
terhadap putusan MK No.54/PUU-XXI/2023 tentang pengujian formil UU No.6 tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja Menjadi UU ditemukan sejumlah hal menarik.
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar,
mengatakan melalui putusan itu MK dinilai telah melakukan constitutional
disobedience.� �Dalam putusan itu, MK
seharusnya secara tegas menyebut Perppu bukan cara untuk melaksanakan putusan
MK (putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, red). Constitutional disobedience
tak hanya dilakukan oleh pemerintah dan DPR, tapi juga MK sendiri,� kata Zainal
Arifin Mochtar dalam kegiatan Eksaminasi Putusan MK yang diselenggarakan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat (27/10/2023). Zainal
melihat hakim konstitusi dalam Putusan No. 54/PUU-XXI/2023 menilai putusan MK
No.91/PUU-XVIII/2020 telah dilaksanakan pemerintah. Hal itu menimbulkan
kekhawatiran MK tidak paham esensi putusannya sendiri sebagaimana putusan MK No.
91/PUU-XVIII/2020. Padahal putusan yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat memerintahkan perbaikan UU Nomor
11 Tahun 2020 dengan melibatkan partisipasi bermakna dalam waktu paling lambat
2 tahun.
Dosen
Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Herlambang P Wiratraman, mengatakan sangat
jarang putusan memiliki perspektif konstitusialisme berbasis HAM. Termasuk UU
11/2020 dan 6/2023 yang memasukkan paham neoliberalisme, seperti fleksibilitas
tenaga kerja dan pemberian konsesi tanah serta lahan yang menguntungkan
kelompok tertentu dan menimbulkan persoalan terhadap masyarakat hukum adat
(MHA) dan lainnya.
Substansi pertanahan
tersebut di atas telah mengakomodir pasal-pasal kontroversial yang semula masuk
dalam RUU Pertanahan. Pada saat itu ketentuannya diselundupkan di pertengahan
proses pembahasan tanpa adanya dasar hukum sebagai cantolan, bahkan
bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Negara kian menambah bukti ketidakseriusannya menyelesaikan
konflik-konflik agraria yang tengah menjamur. Berbagai kebijakan hanya didasari
pada kepentingan komersil dan mengabaikan hak-hak warga Negara. Wajar bila
kemudian kasus-kasus perampasan tanah rakyat yang diperuntukkan bagi
pembangunan, perkebunan, pertambangan, industri dan varian kasus lainnya acap
kali terjadi.
Laporan
akhir tahun dan HAM YLBHI tahun 2019 mencatat 364 kasus konflik agraria di
berbagai sektor yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Konflik-konflik agraria
tersebut melanggar sejumlah hak, baik hak atas penghidupan yang layak, hak
milik atas lahan, hak atas lingkungan yang baik dan hak atas pangan, hak ganti
rugi atas pencabutan hak milik hingga hak atas masyarakat adat untuk memiliki,
mengelola dan mempertahankan sistem pengelolaan menurut hukum adatnya.
Berdasarkan
hal di atas, antara UU Cipta Kerja dan aksi demonstrasi memiliki hubungan
kausalitas atau sebab akibat. Proses legislasi, aktor intelektual, dan
perubahan substansi pada sektor perburuhan maupun pertanahan menjadi pemicu
lahirnya embrio gerakan massa berdasar kesadaran. Selama proses pembahasan UU
Cipta Kerja, kekecewaan rakyat terhadap rezim yang tidak berpihak pada �wong
cilik� dimanifestasikan ke dalam aksi-aksi demonstrasi yang mengisi ruang-ruang
publik diberbagai wilayah Indonesia, Demontrasi yang marak terjadi melibatkan
berbagai elemen masyarakat seperti buruh, mahasiswa, pelajar, petani,
perempuan, masyarakat adat dan lainnya. Gerakan ini tumbuh dari kesadaran
publik, ikatan hubungan dan tujuan yang sama Soekanto, S. (2020), yakni membatalkan
pengesahan UU Cipta Kerja.
Peristiwa
yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo merupakan
contoh deretan berbagai permasalahan konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Permasalahan tersebut timbul karena warga menolak penambangan batuan andesit
untuk kebutuhan material Proyek Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis
Nasional (PSN) Kismunthofiah, K., Masyitoh, D., Hidayatullah, A. F., &
Safitri, R. M. (2022), yang telah di tetapkan melalui Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional (PSN).
Penolakan warga terhadap Proyek Strategi
Nasional (PSN) sudah muncul sejak tahap sosialisasi pengadaan tanah untuk
pembangunan Bendungan Bener pada 27 Maret 2018. Dalam sosialisasi Balai Besar
Wilayah Sungai Serayu Opak, warga Desa Wadas menilai pelaksanaannya jauh dari
musyawarah mufakat dan penolakan perpanjangan Izin Penetapan Lokasi (IPL)
penambangan tanah dan batuan andesit di desanya untuk kepentingan
Bendungan atau Waduk Bener di Kantor Balai Besar Wilayah Sungawai (BBWS) Serayu
Opak Yogyakarta. Kemudian mendesak Pemerintah Jawa Tengah dan Balai Besar
Wilayah Sungawai (BBWS) Serayu Opak Yogyakarta tidak berambisi menambang serta
penyerahan petisi desakan pencabutan Izin Penetapan Lokasi (IPL) tambang batu
andesit.
Kasus
Rempang menjadi contoh lainnya bagaimana dampak sosiologis pemberlakukan UU
Cipta Kerja. Pusat
Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum UGM mengupas tuntas konflik
sengketa Pulau Rempang dalam diskusi bertajuk �Konflik Rempang: Memahami dari
Berbagai Sudut Pandang� pada Sabtu (23/9). Menurut Praktisi Hukum Spesialis
Bidang Properti dan Sumber Daya Manusia, Evander Nathanael Ginting, konflik
Rempang memunculkan isu hak tanah, hak asasi manusia, serta kepentingan
investasi pemerintah. �Jadi, di sini tanah adat mereka mau dibikin semacam
Rempang Eco City. Dan di situ akan ada berbagai bentuk usaha, seperti pabrik,
properti, akan dibangun di sana. Tapi dengan catatan, masyarakat adat diminta
untuk keluar dari daerah itu. Nah, tentunya masyarakat adat di Rempang jelas
tidak terima karena merasa tidak adil, hak asasi mereka diganggu gugat di
sana,� ucapnya.
Setidaknya
terdapat dua masalah utama dalam konflik ini. Pertama, masyarakat adat yang
terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati
Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau
Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Kemudian pada tahun
2001-2002, pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada
sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi,
tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau
dikelola oleh investor. Kedua, kewenangan atas pengelolaan lahan di Batam
diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam (BP Batam). Sayangnya, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan
tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, hingga menimbulkan
tumpang tindih penguasaan tanah.
Untuk meletakkan kepentingan utama bahwa
kesuksesan untuk mendapatkan investasi, maka ada penerabasan prinsip dasar dari
proses legislasi dan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan. Proses
legislasi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan harusnya mencerminkan
proses yang partisipatif dan memenuhi prinsip kehati-hatian khususnya dalam masyarakat
yang demokratis dalam kontek negara hukum (rule of law). Pengubahan
sekurang-kurangnya 79 Undang-undang cenderung dilakukan secara serampangan dan
tidak hati-hati. Selain itu ada pengabaian partisipasi masyarakat yang beragam
dalam penyusunan UU ini. Bahkan, dalam substansi di dalam UU, partisipasi
masyarakat atau kelompok sosial lainnya dalam perencanaan pembangunan dianggap
sebagai proses yang penghambat investasi. Secara teknis peraturan
perundang-undangan UU Cipta melakukan pendelegasian setidaknya 476 aturan
turunan. Dalam rancangan Pemerintah akan dibuat 36 PP dan 5 Perpres dan
beberapa aturan lainnya dengan jangka waktu sangat pendek yaitu tiga bulan.
Proses yang cenderung tertutup dengan jangka waktu mendesak berpotensi
menimbulkan peraturan yang tidak matang secara substansi. Belum lagi penyusunan
36 PP akan berpengaruh terhadap ratusan PP yang berarti akan memunculkan model
PP yang omnibus. Riyanto, S., Sumardjono, M. S., Sulistiowati, E. O., Hiariej,
A. H., Hasan, D., & Yuniza, M. E. (2020).
Secara normatif, sebuah produk peraturan perundangan-undangan dibuat
tidak hanya untuk memberikan kepastian hukum, tetapi lebih dari itu adalah
memberikan keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat secara luas. Bahkan
secara filosolfis, substansi atau ruhnya dari hukum adalah keadilan. Hukum
tanpa keadilan, bukan namanya hukum. Kajian sosiologi hukum yang berkarakteristik
empirik, lebih menekankan pada aspek keadilan dan kemanfaatan hukum. Keadilan
tidak hanya sekedar keadilan formil-prosedural, tapi juga keadilan substansial.
Keadilan substantif adalah keadilan yang lebih didasarkan pada aspek nurani dan
moralitas kemanusiaan, bukan pada pasal-pasal yang kaku (rigid). Sementara itu,
Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan hukum
yang berkeadilan adalah hukum nasional yang dalam terapannya dari kasus ke
kasus mampu menyapa kaidah-kaidah moral yang berlaku dimasyarakat lokal.
Sudut
pandang sosiologi mengenai resistensi atau perlawanan masyarakat pada
pengesahan UU Cipta Kerja dapat dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi
modern dari Robert K. Merton tentang strukturalisme
fungsional. Macam-macam fungsionalis yang menggambarkan masyarakat awal sangat
berharga, karena macam tersebut dapat menunjukkan bahwa hukum adalah fenomena
sosial yang bergantung pada faktor lain dalam masyarakat (karena sistem hukum
dibentuk oleh kekuatan-kekuatan di luar sistem. Teori struktural fungsional
adalah sistem yang memiliki pengaruh terbesar pada ilmu sosial di abad ini.
Struktural fungsional ini juga memilih tujuan guna menggapai tatanan sosial.
Para pemeluk teori ini berasumsi bahwa seluruh kejadian dan
seluruh struktur merupakan fungsional di masyarakat. Perubahan bisa terjadi
lambat-laun di masyarakat. Jika terjadi konflik, para ahli teori fungsional
struktural akan fokus pada bagaimana menyelesaikan masalah agar masyarakat
tetap seimbang. Robert K. Merton menjelaskan bahwa fokus analisis struktur
fungsional dalam kelompok, organisasi, masyarakat, dan budaya. Fungsi menurut
Robert K. Merton diartikan sebagai konsekuensi yang dapat dicapai dan membawa
adaptasi pada sistem�. Konsekuensi dapat didefinisikan sebagai akibat atau
dampak dari suatu tindakan yang dilakukan. Robert K. Merton memperkenalkan
konsep fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai
yang dibutuhkan atau dikehendaki, sedangkan fungsi laten didefinisikan sebagai
yang bukan dikehendaki. Menurut pandangan teoritis ini, dalam penelitian
tingkah laku atau tatanan sosial atau hukum yang sebenarnya harus berkaitan
dengan fungsi manifest, artinya fungsi manifest merupakan hasil yang diharapkan
dari perilaku sosial; dan berkaitan dengan fungsi laten. Konsep dari kedua
fungsi tersebut, dapat dilihat dari pengesahan UU Cipta Kerja.
Fungsi
manifest dari pengesahan UU Cipta kerja yaitu memberikan peluang lebih banyak
untuk investor yang akan masuk ke Indonesia,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mempermudah perizinan usaha, membuka lapangan
kerja baru, peningkatan produktivitas pekerja, pemberdayaan Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM) dan koperasi. Selain itu, terdapat juga fungsi laten dalam
pengesahan UU Cipta Kerja yaitu instrument perizinan yang diatur dalam RUU
Cipta Kerja lebih dominan kepada para investor dan tenaga kerja asing yang mana
menjadi semakin lebih mudah untuk masuk ke Indonesia dan berdampak pada tenaga
kerja Indonesia yang akan semakin sulit dalam mencari pekerjaan. Hal ini
disebabkan semakin banyak daya saing, hilangnya upah minimum, semakin mudahnya
pengusaha yang melakukan PHK kepada para pekerja, dan berpotensi mengadakan jam
kerja yang eksploitatif. Oleh karena itu, kemunculan dari fungsi manifest pasti
dibarengi dengan kemunculan fungsi laten. Antoni, S., Hadi, S., & Utami, N. A. T. (2019).
Kesimpulan
Secara
normatif, sebuah produk peraturan perundangan-undangan dibuat tidak hanya untuk
memberikan kepastian hukum, tetapi lebih dari itu adalah memberikan keadilan
dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat secara luas. Bahkan secara filosolfis,
substansi atau ruhnya dari hukum adalah keadilan. Hukum tanpa keadilan, bukan namanya
hukum. Kajian sosiologi hukum yang berkarkateristik empirik, lebih menekankan
pada aspek keadilan dan kemanfaatan hukum. Keadilan tidak hanya sekedar
keadilan formil-prosedural, tapi juga keadilan substansial. Keadilan substantif
adalah keadilan yang lebih didasarkan pada aspek nurani dan moralitas
kemanusiaan, bukan pada pasal-pasal yang kaku (rigid).
Pada tingkat global telah menguat konsepsi
pembangunan yang berkelanjutan yang meletakkan 3 (tiga) pilar Pembangunan
Berkelanjutan: aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemerintah harus
mengoptimalkan agar ketiga pilar Pembangunan Berkelanjutan tersebut berjalan
simultan dan bukan hanya mengedepankan salah satu aspek saja.� Sayangnya di dalam UU Cipta Kerja paradigma
pendekatan pembangunan yang dianut menekankan pembangunan di ranah ekonomi dan
cenderung mengabaikan aspek sosial (keadilan sosial) dan lingkungan. Tendensi
ini adalah kemunduran dari pendekatan yang sebelumnya sudah mengarah pada
inklusivitas dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Berdasarkan kajian sosiologis, teori
keberlakuan hukum tersebut serta fakta banyaknya penolakan dari masyarakat
menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor Tahun 2023 Ttg Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Cipta Kerja memiliki daya legitimasi sosial yang
rendah. Tidak berjalannya partisipasi masyarakat
dalam proses pembuatannya, proses pengundangan yang minim standar prosedur
(bahkan cacat prosedural) dan melanggar aturan, serta banyaknya substansi yang
mencederai rasa keadilan sosial menjadi tolok ukur atas efektivitas keberlakuan
suatu hukum di dalam masyarakat. Akibatnya perlindungan hukum bagi tenaga kerja
akan semakin lemah, perlindungan akan hak-hak tanah masyarakat dan hak adat
semakin tergerus, yang imbasnya akan menciptakan disintegrasi sosial, karena
perlindungan dan penegakan hukum selalu terkait dengan selera kekuasaan.
BIBLIOGRAFI
Wardhani, D. K. (2020). Disharmoni Antara Ruu Cipta Kerja Bab Pertanahan
Dengan Prinsip-Prinsip UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 6(2), 440-455.
Antoni,
S., Hadi, S., & Utami, N. A. T. (2019). Implementasi Hukum Program Keluarga
Harapan (PKH) dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (Studi di Desa Onje
Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga). Soedirman Law Review, 1(1).
Riyanto,
S., Sumardjono, M. S., Sulistiowati, E. O., Hiariej, A. H., Hasan, D., &
Yuniza, M. E. (2020). Kertas Kebijakan: Catatan Kritis Terhadap UU No 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja. UGM: Yogyakarta.
Kismunthofiah,
K., Masyitoh, D., Hidayatullah, A. F., & Safitri, R. M. (2022).
Socio-Ecological Analysis of Andesite Mining Plans in Wadas Village, Purworejo,
Central Java. Masyarakat, Jurnal Sosiologi, 26(1), 3.
Soekanto,
S. (2020). Pokok-pokok sosiologi hukum. Rajawali pers.
Juwana,
S., Gianova, G., & Mega, G. (2020). Sistem dan Praktik Omnibus Law di
Berbagai Negara dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation
Making. Policy Brief, 4.
Amin,
R. I. (2020). Omnibus law antara desiderata dan realita. Jurnal Hukum
Samudra Keadilan, 15(2), 190-209.
Khair,
O. I. (2021). Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Perlindungan Tenaga
Kerja Di Indonesia. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian dan Penelitian
Hukum, 3(2), 45-63.
Nawawi, H. (1983). Metode penelitian bidang sosial. (No Title).
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: UGM
Press., 1991).
Lexy
J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006
Prabowo, A. S., Triputra, A. N., Junaidi, Y., &
Purwoleksono, D. E. (2020). Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia. Jurnal
Pamator: Jurnal Ilmiah Universitas Trunojoyo, 13(1), 1-6.
Dwi Kusumo Wardhani, �Disharmoni
Antara RUU Cipta Kerja Bab Pertanahan Dengan Prinsip-Prinsip UU Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),� Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas
Pendidikan Ganesha 6, No. 2 (2020):
Ima
Mayasari, Kebijakan
Reformasi Regulasi Melalui Implementasi Omnibus Law Di Indonesia,
Jurnal Rechvinding Vol 9 No 1 2020
Hesty
Kartikasari, Agus Machfud Fauzi, Penolakan
Masyarakat Terhadap Pengesahan Omnibus
Law Cipta Kerja dalam Perspektif Sosiologi Hukum, Doktrina:
Journal of Law, 4 (1)
April 2021
Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Policy Paper:
Putusan Mk Terkait UU Cipta Kerja, Februari 2022
Ahmad Ulil Aedi, Sakti Lazuardi,
Ditta Chandra Putri, Arsitektur Penerapan Omnibus Law Melalui Transplantasi
Hukum Nasional Pembentukan Undang-Undang, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum,
Volume 14 No. 1, 2020.
Rizal
Irvan Amin, Riska Ulfasari Dewi, Tegar Satrio W. Omnibus Law Antara Desiderata Dan Realita (Sebuah Kajian
Legislative Intent) Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume 15, Nomor 2,
Juli-Desember 2020
O.I. Khair, Analisis Undang-undang Cipta Kerja Terhadap
Perlindungan Tenaga Kerja di Indinesia, Widya Pranata Hukum, Jurnal Kajian
Dan Penelitian Hukum
Anggono B.D, Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan
Undang-Undang: Peluang Adopsi Dan Tantangannya Dalam Sistem Perundang-undangan
Indonesia, Jurnal Rechhtsvinding
Sodikin, Paradigma
Undang-Undang dengan Konsep Omnibus law Berkaitan dengan Norma Hukum yang
Berlaku di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9 No.1, 2020
Antoni Putra, Penerapan
Omnibus law dalam Upaya Reformasi Regulasi, Jurnal Legislasi Indonesia,
Vol. 17 No. 1, 2020
Maria
Farida Indrati, �Omnibus Law�, UU Sapu
Jagat?, Harian Kompas, 4 Januari 2020
Stephanie Juwana, Gabriella
Gianova, dan Gridanya Mega, Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai
Negara dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making,
Policy Brief 4 Indonesia Ocean Justice Initiative
Catatan Indonesia Corruption Watch,
Pengesahan UU Cipta Kerja: Rentetan Upaya Oligarki Membajak Kebijakan Publik,
httpsantikorupsi.orgsitesdefaultfiles dokumenCatatan%20ICW_ UU%20Cipta%20Kerja_
pdf
UU Cipta Kerja Dan Aturan Pelaksananya: Upaya Perampasan Hak-Hak Rakyat
Atas Tanah Dan Hak-Hak Pekerja, LBH Jakarta, Februari 2022, Hal. 6-7.
Siti Rakhma Mary Herwati, et.all, Laporan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2019 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia:
Reformasi Dikorupsi Oligarki, Jakarta: YLBHI)
Kismunthofiah, Dewi
Masyitoh, and Hidayatullah Ahmad Fauzan, �Socio-Ecological Analysis of
Andesite Mining Plans in Wadas Village, Purworejo, Central Java,� MASYARAKAT:
Jurnal Sosiologi Voume 26, Nomor 1 (2021): 21, https://doi.org/10.7454/MJS.v26i1.13251.
Antoni, Syarif, Saryono Hadi, and Nurani Ajeng Tri Utami.
"Implementasi Hukum Program Keluarga Harapan (PKH) dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat (Studi di Desa Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten
Purbalingga)." Soedirman Law Review 1.1 (2019).
Gridanya Mega Juwana,
Stephanie, Gabriella Gianova Laidha, Sistem Dan Praktik Omnibus Law Di
Berbagai Negara Dan Analisis RUU Cipta Kerja Dari Perspektif Good Legislation
Making, 1st ed. (Jakarta: Indonesia Ocean Justice Initiative, 2020).�
Moh Khory Alfarizi, �LBH
Yogya Ungkap Sejarah Proyek Bendungan Bener Yang Ditolak Warga Wadas,� Tempo
Media Group, 2022,�
Hedi Basri, �Tolak Perpanjangan Izin Tambang Di Desa
Wadas Purworejo, Warga Kembali Datangi BBWS Serayu Opak,� Kompas TV.�
Copyright holder: Mursal Fadhilah, Iskandar Zulkarnain, Yenny Febrianty, Mahipal (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |